63
BAB IV GERAKAN ANGKATAN PERANG RATU ADIL DI WILAYAH SUMEDANG
4.1 GERAKAN ANGKATAN PERANG RATU ADIL Sebelum mengkaji tentang Peristiwa APRA yang terjadi di wilayah Sumedang, ada baiknya untuk mengkaji terlebih dahulu mengenai latar belakang munculnya APRA secara umum yang dipimpin oleh Westerling. Dimana dalam gerakan tersebut terdapat beberapa poin yang menarik untuk dikaji yaitu penggunaan nama Ratu Adil sebagai nama gerakan dan latar belakang kemunculan APRA itu sendiri.
4.1.1 KONSEP RATU ADIL Westerling menggunakan nama Ratu Adil dalam gerakan yang dibentuknya, hal tersebut cukup mengherankan mengingat Westerling adalah seorang Belanda dan tidak memiliki kaitan emosional dengan ramalan Ratu Adil. Menurut Adas (1988) konsep ratu adil termasuk dalam gerakan millenarian. Tipe dari gerakan ini ditandai dengan adanya sosok pemimpin yang di identikan sebagai seorang Nabi atau Ratu Adil yang akan membawa kelompoknya pada kemenangan dan kesejahteraan. Pada umumnya gerakan-gerakan tersebut muncul sebagai reaksi terhadap tekanan dan kebijakan penguasa yang menyengsarakan kelompok yang bersangkutan. Begitupun menurut Kartodirdjo (1984) konsep Ratu Adil termasuk dalam gerakan millenarian. Gerakan ini merupakan akibat
64
dari adanya rasa ketidak puasan dari golongan masyarakat terhadap para penguasa yang dianggap telah menindas mereka, sehingga melahirkan sebuah gerakan perlawanan. Konsep Ratu Adil sendiri sudah sangat melekat dalam masyarakat Indonesia, hal ini merupakan sebuah kepercayaan masyarakat yang ada sejak dahulu. Terbukti dengan adanya ramalan Jayabhaya, adanya kepercayaan akan hadirnya Erucakra, Ratu Adil, Satria Piningit dan sebagainya. Adanya kepercayaan ini merupakan sebuah harapan dari masyarakat yang tidak puas terhadap kondisi sosial ekonominya dan kekecewaan terhadap para penguasa yang dianggap telah menindas mereka. Fenomena tersebut dimanfaatkan oleh Westerling dengan memanfaatkan simbol Ratu Adil sebagai nama gerakannya untuk menampung golongan-golongan yang tidak puas terhadap keberadaan Republik Indonesia Serikat sekaligus untuk menarik simpati masyarakat, (Matanasi, 2007: 8-9). Khusus untuk daerah Sumedang, konsep Ratu Adil dalam masyarakat sudah ada jauh sebelum Peristiwa APRA meletus. Tepatnya pada abad ke-19 dengan munculnya sebuah gerakan millenarian yang dikenal dengan Gerakan Nyi Aciah. Menurut Ekadjati et al. (1990) Gerakan Perlawanan Nyi Aciah (18701871) adalah salah satu gerakan millenarian yang terjadi di Pulau Jawa yang muncul sebagai akibat dari rasa ketidak puasan rakyat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang dianggap telah menindas rakyat. Awalnya pengaruh dari gerakan ini hanyalah bersifat lokal dari kalangan keluarga saja dan juga bersifat keagamaan. Pada akhirnya Gerakan Nyi Aciah
65
kemudian berkembang menjadi gerakan sosial yang mencita-citakan untuk mendirikan sebuah Negara yaitu Kerajaan Sunda. Cita-cita tersebut ternyata membuat gerakan tersebut merah simpati dan dukungan dari kalangan masyarakat biasa dan juga beberapa pejabat pribumi. Seperti yang diungkapkan oleh Lubis et al, (2003:401): Kepadanya banyak orang yang datang untuk berobat dan sebagai tanda terima kasih, Nyi Aciah sering mendapat imbalan berupa hadiahhadiah. Sebagai salah seorang gadis sunda yang memiliki keluarbiasaan ia mulai terkenal di kalangan penduduk Sumedang dan sekitarnya sejak usia empat atau lima tahun. Dengan bekal kesaktiannya, ia makin terkenal lagi setelah berhasil menyembuhkan penyakit mata yang diderita ayahnya, Bapa Naip. Pada akhirnya penduduk setempat memandangnya sebagai orang suci dan berbuat hormat kepadanya. Kutipan diatas menggambarkan bahwa masyarakat Sumedang pada awalnya menganggap Nyi Aciah sebagai orang sakti yang mampu mengobati penyakit. Hal itu merupakan salah satu syarat dari gerakan millenarian yaitu adanya sosok nabi atau sosok yang dianggap sebagai Ratu Adil. Gerakan tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan sosial yang mampu menarik simpati masyarakat karena adanya kepercayaan dan pengkultusan terhadap sosok Nyi Aciah oleh masyarakat. Hal tersebut membuktikan bahwa konsep ratu adil sebagai salah satu ciri dari gerakan millenarian telah dikenal dalam masyarakat Sumedang. Beberapa puluh tahun setelah munculnya Gerakan Nyi Aciah, Gerakan APRA muncul dengan menggunakan konsep Ratu Adil untuk mendapatkan simpati masyarakat. Akan tetapi gerakan tersebut tidak mendapatkan yang respon positif dari masyarakat Sumedang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sabar Djoehro pada tanggal 1 April 2010, penyebab masyarakat tidak tertarik dengan
66
ide tentang Ratu Adil yang ditawarkan Gerakan APRA karena masyarakat menganggap Gerakan APRA adalah bentukan Belanda atau setidak-tidaknya masih berkaitan dengan Belanda. Hal tersebut menyebabkan masyarakat menyambut dingin munculnya gerakan tersebut karena mereka masih memiliki dendam terhadap Belanda meskipun gerakan itu menggunakan nama Ratu Adil.
4.1.2
LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN APRA OLEH WESTERLING Lahirnya APRA tidak terlepas dari pertentangan antara militer dengan
politisi sipil Belanda. Latar belakang dari pertentangan tersebut adalah kekalahan diplomasi yang dialami Belanda. Bentuk kekalahan tersebut adalah adanya kesepakatan antara Belanda, Republik Indonesia dan negara-negara bagian bentukan Belanda yang tergabung dalam BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg) atau Majelis permusyawaratan Federal, untuk bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil dari KMB. Selain itu dalam butir lain KMB mengharuskan dibentuknya UNI Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Hal tersebut merupakan buah dari banyaknya desakan internasional kepada Belanda atas Agresi Militer ke-II yang melanggar hasil perjanjian Renville. Akibatnya, Pemerintah Belanda terpaksa harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia seperti yang tertuang dalam hasil dari Konferensi Meja Bundar. Keputusan tersebut menimbulkan kekecewaan di kalangan militer Belanda. Menurut pihak militer, Republik Indonesia telah berhasil dikalahkan dalam Agresi Militer Belanda ke-II dan secara de facto Ibukota Republik
67
Indonesia telah dikuasai. Golongan militer yang tidak puas kemudian bergabung dalam sebuah gerakan yang dipimpin oleh seorang bekas Kapten tentara Kerajaan Belanda / KNIL yang bernama Raymond Pierre Westerling, Tersedia [online] http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Kudeta_Angkatan_Perang_Ratu_Adil, [diakses: Bandung: 2 Juli 2009]. Westerling sendiri adalah seorang tentara Kerajaan Belanda keturunan Turki. Ketika Perang Dunia ke-II meletus, Westerling terlibat dalam berbagai misi dari Pasukan Sekutu. Setelah Belanda mulai masuk ke Indonesia, Westerling sempat ditugaskan menjadi komandan KNIL yang ditugaskan di Sulawesi Selatan. Bersama pasukannya, Westerling terlibat dalam pembantaian 40.000 orang pejuang dan orang-orang Pro-Republik. Akibatnya pemerintah Belanda terpaksa memindahkan Westerling ke Batujajar untuk menghindari tekanan dari berbagai pihak. Pada saat menjadi komandan RST di Batujajar inilah Westerling mulai menanamkan pengaruhnya sehingga bekas anak buahnya di sana kemudian menjadi pendukung utama Gerakan APRA. Menurut Matanasi (2007: 134) sebenarnya Westerling tidaklah bergerak sendiri dalam merencanakan pembentukan APRA. Di belakang Westerling ada nama Jenderal Spoor yang merupakan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia. Matanasi menyebutkan bahwa: Peristiwa APRA di Bandung sebenarnya rencana Jenderal Spoor yang mentah, bahkan dibatalkan sendiri oleh Spoor. Spoor berambisi menguasai Indonesia secara militer, karena Spoor kerap bersebrangan dengan politisi sipil Belanda lain. Dalam APRA, Westerling bukan seorang inisiator, lebih tepat Westerling adalah motor dari gerakan itu, inisiator tentu saja Spoor (Matanasi, 2007: 134)
68
Bersama Westerling, Spoor berencana untuk melakukan Agresi Militer keIII, akan tetapi Spoor kemudian menarik dukungannya, bahkan kemudian dia bunuh diri karena kecewa akan kegagalan Belanda. Westerling yang sudah terlanjur mulai menyusun gerakan dengan membeli senjata gelap dari Singapura, terpaksa melanjutkan sendiri gerakannya. Akhirnya, beberapa bagian dari militer Belanda kemudian mendukung Gerakan APRA. Pada umumnya mereka berasal dari pasukan KNIL yang merupakan bekas anak buah Westerling dan sebagian lagi adalah pelarian dari KL. Bagi para anggota KNIL yang terlibat dalam Gerakan APRA, bergabung dengan gerakan Westerling adalah salah satu cara bagi mereka untuk mempertahankan hak istimewa mereka yang pernah didapat sebagai Anggota Tentara Kolonial Belanda. Salah satu alasan mengapa banyak anggota KNIL yang memilih untuk bergabung ke dalam APRA adalah hasil konferensi meja bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda. Salah satu point dari perjanjian tersebut mengharuskan puluhan ribu anggota KNIL harus bergabung dengan TNI yang sebelumnya merupakan musuh mereka. Proses peleburan tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Antara kedua pihak yang dilebur, telah tercipta permusuhan yang cukup lama. Selain itu para anggota KNIL juga enggan masuk kedalam APRIS karena beberapa alasan seperti adanya penurunan pangkat dan penghasilan bagi para perwira KNIL yang telah memperoleh kedudukan tinggi,apabila masuk ke dalam APRIS menjadi salah satu penyebab penolakan dari para anggota KNIL, apalagi perwira mereka nanti adalah bekas bawahan mereka seperti Nasution. Selain itu, dalam jiwa para anggota KNIL mereka sudah
69
ditanamkan rasa benci terhadap segala sesuatu yang berbau Republik termasuk pada TNI. Disisi lain, anggota TNI pun enggan untuk bergabung dengan KNIL yang mereka anggap sebagai pengkhianat bangsa. Bukti dari adanya dukungan militer Belanda juga terlihat dari laporanlaporan yang diperoleh Dinas Intelejen Belanda pada bulan November 1949, dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Westerling telah mendirikan sebuah organisasi rahasia yang beranggotakan sekitar 500.000 orang. Laporan tersebut diterima oleh Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada tanggal 8 Desember 1949. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Westerling membentuk sebuah organisasi yang bernama "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki kesatuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Selain itu Westerling juga mengklaim bahwa dia bisa mengumpulkan 8.000 tentara, meskipun
jumlah
ini
diragukan,
Tersedia
[online]
http://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Kudeta_Angkatan_Perang_Ratu_Adil, [diakses: Bandung: 2 Juli 2009]. Suherman (2006: 76-77) dalam skripsinya, menyebutkan bahwa dukungan dari anggota militer Belanda juga berasal dari para perwira Belanda. Hal tersebut tergambar dalam struktur komando APRA, dimana didalamnya terdapat juga nama Jenderal Engels yang merupakan pengganti Spoor. Beberapa alasan munculnya dukungan tersebut adalah adanya kekaguman dari para perwira Belanda terhadap prestasi Westerling, adanya pengaruh kuat yang dimiliki Westerling dalam bekas anak buahnya yang tergabung dalam KST / RST dan
70
adanya perasaan yang sama yang di miliki oleh para anggota tentara Belanda yaitu kekecewaan mereka pada para politisinya yang kalah dalam meja perundingan. Sebagian besar perwira militer Belanda bisa di katakan tahu akan gerak gerik Westerling. Banyak di antaranya yang terlibat langsung dalam proses pemberontakan APRA. Sedangkan sebagian lainnya terlibat dalam upaya larinya Westerling ke Singapura yang memanfaatkan fasilitas militer Belanda. Oleh sebab itu juga tidaklah mengherankan apabila komposisi dari Pasukan APRA sendiri kebanyakan berasal dari mantan tentara KNIL yang desersi dari pasukan khusus KST/RST, beberapa golongan anggota APRIS yang berasal dari TNI maupun para pegawai yang sebelumnya merupakan kaki tangan Belanda. Pihak-pihak yang terlibat tersebut kemudian disusun oleh Westerling ke dalam organisasi APRA, susunan awal dari organisasi tersebut bisa dilihat di halaman berikutnya.
71
Gambar 4.1. Susunan Awal Organisasi APRA
STRUKTUR KOMANDO GERAKAN APRA (AWAL) General Engels
Westerling Luit Organisasi Pemuda
Sneep
Kalimantan
CML
Negara Pasundan dan DI Pasundan
Propaganda
Patroli Kota
Gerilya Organisasi Pemuda Tionghoa
KNIL Stoot Tropen (Bekas Polisi pada masa Belanda)
(Diolah dari Suherman, 2006: 78) Berdasarkan bagan di atas dapat disimpulkan bahwa Gerakan APRA adalah sebuah gerakan yang terstruktur. Peran Westerling sangat penting disitu karena merupakan tokoh yang menghimpun pihak-pihak yang tidak suka terhadap keberadaan RIS. Selain dari para anggota militer Belanda seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Westerling juga dengan cerdik memanfaatkan pihak-pihak yang sakit hati seperti para elit feodal yang ingin mempertahankan status istimewa
72
mereka yang selama ini didapatkan dari pemerintah Belanda seperti Sultan Hamid II yang merupakan seorang Menteri Negara Non-Departemen, sekaligus perwakilan dari BFO. Beberapa pejabat di Negara Pasundan juga kemudian diajak untuk menjalin kerja sama dengan Westerling, meskipun sebenarnya para pejabat tersebut kurang populer dimata masyarakat di Jawa Barat sendiri. Kerjasama tersebut terlihat dari tuntutan Westerling kepada pemerintah RIS agar Pasukan APRA dijadikan tentara di Negara Pasundan. Tuntutan tersebut dijadikan sebagai alat bagi Westerling untuk melegalkan Gerakan APRA-nya yang sebelumnya dianggap sebagai gerakan liar. Tentu saja hal tersebut ditolak oleh pemerintah RIS karena tentara yang diakui hanyalah APRIS yang merupakan gabungan dari TNI, bekas KNIL dan badan perjuangan. Westerling juga bergabung dengan golongan yang ingin mendirikan sebuah Negara Islam yaitu pihak Darul Islam, untuk dijadikan sekutu. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat Westerling sendiri bukanlah orang Islam dan tujuan dari Westerling dan DI/TII itu sendiri berbeda bahkan bisa dikatakan bertolak belakang. Ternyata hal yang menyatukan mereka adalah adanya musuh bersama yang harus mereka hadapi yaitu pemerintah RIS. Banyaknya pihak yang terlibat dalam gerakan tersebut tampak dari penyempurnaan susunan organisasi APRA seperti yang terdapat dalam bagan di halaman berikutnya.
73
Gambar 4.2 Penyempurnaan Susunan Organisasi APRA
STRUKTUR KOMANDO GERAKAN APRA Pemerintah Belanda Pemerintah Pasundan
General Engels Westerling
D.I. Pasundan
komandan Persenjataan Supply Propaganda
BFO
Org. Pemuda Kalimantan
Stoot-Tropen Politie Let.SNEEP CMI (Nefis) Pelebar Sayap Pelindung
Dekking Kota: Toto Suherman
Controle Perhubungan: 1. Otto Sergt. 2. Hangenback JM 3. De Lagda Korporal 4. Wushof J semua dari C.M.I
(Diolah dari Suherman, 2006: 79)
Patroli Dekking Letkol Sukarya
Gerilya Troepen
Organisasi Pemuda Indonesia Beraliran Merah Pasukan DI Pimpinan Zaenal Abidin
Org. Pemuda Tionghoa: Goan Yoe Tio KNIL V.B Tentara Federal
74
Berdasarkan bagan penyempurnaan susunan organisasi APRA di halaman sebelumnya, jelas digambarkan tentang beberapa golongan yang menjadi bagian dari APRA yaitu, Pemerintah Negara Pasundan, Darrul Islam, Militer Belanda, BFO dan beberapa pihak lainnya yang sama-sama bermusuhan dengan RIS. Adanya keterlibatan dari berbagai pihak termasuk keterlibatan militer Belanda, menyebabkan
munculnya
dugaan
tentang
adanya
konspirasi
untuk
menghancurkan keberadaan RIS. Selain itu, dari bagan itu juga diperoleh sebuah nama yaitu Toto Suherman yang berperan sebagai Staff Dekking Kota. Toto Suherman inilah yang dikemudian hari menjadi pucuk pimpinan dari Gerakan APRA di wilayah Cimuruy. Usaha untuk menggalang dukungan dari pihak-pihak yang memiliki persamaan kepentingan yang dilakukan oleh Westerling, juga diimbangi dengan usaha untuk menarik perhatian dan simpati rakyat dengan menggunakan nama “Ratu Adil” sebagai nama gerakannya. Nama Ratu Adil sendiri dipakai Westerling agar gerakannya didukung oleh masyarakat. Matanasi (2007:8-9) menyebutkan bahwa: Penggunaan mitos “Ratu Adil” bagi Westerling dikarenakan sebagian rakyat Indonesia masih percaya pada mitos tersebut. Banyak gerakan sosial di Indonesia semasa kolonial Belanda yang dilakukan sekelompok orang yang mengusung mitos Ratu Adil, yang percaya akan datangnya pemimpin yang sempurna dalam kehidupan. Para pengikut dari gerakan-gerakan tersebut meyakini karisma pemimpinnya sebagai penjelmaan dari Ratu Adil, Imam Mahdi atau Heru Cokro. Para pengikut biasanya meyakini bahwa pemimpinnya adalah orang yang memperoleh wangsit atau semacam wahyu untuk menjadi penguasa, (Matanasi, 2007: 8-9). Westerling mengetahui akan adanya kepercayaan yang kuat tentang kemunculan Ratu Adil yang dipercaya masyarakat sebagai ramalan Jayabhaya.
75
Oleh sebab itu Westerling kemudian memposisikan diri sebagi sosok Ratu Adil yang dimaksud. Meskipun demikian menurut Matanasi (2007) Westerling sendiri tidak mempercayai akan ramalan tersebut karena dia adalah seseorang yang menganggap apa yang dilakukannya sebagai petualangan. termasuk peristiwa pembantaian 40.000 rakyat Sulawesi Selatan.
4.2 KONDISI UMUM DAERAH SITURAJA PADA SAAT MUNCULNYA ANGKATAN PERANG RATU ADIL (DESEMBER 1949 - JANUARI 1950) Keberadaan APRA di wilayah Sumedang terpusat di wilayah Cimuruy yang pada saat itu termasuk ke dalam Desa Situraja, Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang. Sebelum penulis mengkaji tentang kegiatan APRA maka terlebih dahulu dikaji tentang kondisi geografis, politik, kehidupan sosial ekonomi dan kebudayaan masyarakat Sumedang pada umumnya dan wilayah Situraja pada khususnya. Dengan demikian maka akan diketahui tentang latar belakang munculnya gerakan APRA di daerah Sumedang. Adapun kondisi umum daerah Situraja pada masa gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (Desember 1949 Januari 1950) adalah sebagai berikut.
4.2.1 SEJARAH SINGKAT KABUPATEN SUMEDANG DAN KECAMATAN SITURAJA Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh pada abad ke 16, akibat diserbu oleh pasukan gabungan dari kerajaan Banten, Pakungwati, Demak dan Angke, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian diserahkan kepada Kerajaan Sumedang Larang. Alasan dari penyerahan tahta tersebut adalah adanya kaitan keturunan antara rajaraja di Sumedang dengan Prabu Siliwangi. Kerajaan Sumedang Larang sendiri
76
tidak ikut diserang karena pada saat itu telah memeluk Agama Islam. Ibukota Kabupaten Sumedang adalah Kota Sumedang. sebelumnya posisi ibukota sempat berpindah-pindah mulai dari Darmaraja, Situraja, Canukur, Dayeuh Luhur dan beberapa tempat lainnya. Adapun urutan para pimpinan Sumedang yang memegang tampuk Pemerintahan dari dahulu sampai sekarang adalah : 1. Pangeran Koesoemahdinata I (Pangeran Santri) dari tahun 1530-1578. 2. Pangeran Koesoemahdinata II (Pangeran Geusan Ulun) dari tahun 15781601. 3. Pangeran Koesoemahdinata III (Pangeran Rangga Gempol I) dari tahun 1601-1625. 4. Pangeran Koesoemahdinata IV (Pangeran Rangga Gede) dari tahun 16251633. 5. Raden Bagus Weruh (Pangeran Rangga Gempol II) dari tahun 1633-1656. 6. Pangeran Koesoemahdinata V (Pangeran Panembahan/Pangeran Rangga Gempol III) dari tahun 1656-1706. 7. Dalem Adipati Tanoemadja dari tahun 1706-1709. 8. Raden Tumenggung Koesoemahdinata VII (Pangeran Rangga Gempol IV/Pangeran Karuhun) dari tahun 1709-1744. 9. Dalem Istri Radjaningrat dari tahun 1744-1759. 10. Dalem Adipati Koesoemahdinata VIII (Dalem Anom) dari tahun 1759-1761. 11. Dalem Adipati Soerianagara II dari tahun 1761-1765. 12. Dalem Adipati Soerialaga dari tahun 1765-1773.
77
13. Dalem Adipati Partakoesoemah (Tusschen Bestur Parakanmuncang) dari tahun 1773-1789. 14. Dalem Aria Satjapati III dari tahun 1789-1791. 15. Raden Tumenggung Soerianagara (Pangeran Koesoemahdinata IX/Pangeran Kornel) dari tahun 1791-1828. 16. Dalem Adipati Koesoemahjoeda (Dalem Ageung) dari tahun 1828-1833. 17. Dalem Adipati Koesoemahdinata (Dalem Alit) dari tahun 1833-1834. 18. Raden Tumenggung Soeriadilaga dari tahun 1834-1836. 19. Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Sugih) dari tahun 18361882. 20. Pangeran Aria Soeriaatmadja (Pangeran Mekah) dari tahun 1882-1919. 21. Adipati Aria Koesoemadilaga dari tahun 1919-1937. 22. Tumenggung Aria Soeria Koesoema Adinata dari tahun 1937-1946. 23. Tumenggung Hasan Satjakoesoemah dari tahun 1946-1947. 24. Tumenggung Mohamad Singer dari tahun 1947-1949. 25. Tumenggung Hasan Satjakoesoemah dari tahun 1949-1950. 26. Raden Abdoerachman Kartadipoera dari tahun 1951-1958. 27. Sulaeman Soemitakoesoemah dari tahun 1951-1958. 28. Tahun 1958-1960. a. Antam Sastradipura (Kepala daerah). b. R. Enoh Soeriadikoesoemah (Pj. Bupati). 29. Mohamad Chafil dari tahun 1960-1966. 30. Adang Kartaman dari tahun 1966-1970. 31. Drs. Supian Iskandar (Pejabat Bupati) dari tahun 1970-1972.
78
32. Drs. Sopian Iskandar dari tahun 1972-1977. 33. Drs. Soeyoed (Pejabat Bupati) dari tahun 1977-1978. 34. Drs. H. Kustandi Abdoerachman dari tahun 1978-1983. 35. Drs. H. Sutardja dari tahun 1983-1993. 36. Drs. H. Moch Husein Jachjasaputra dari tahun 1993-1998. 37. Drs. H. Misbach dari tahun 1998-2003. 38. H. Don Murdono, S.H,M.Si 2003-sekarang. Tersedia [online] http://www.sumedang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=22 &Itemid=34 [diakses: Bandung. 6 Juni 2010]. Dari susunan tersebut, bisa terlihat pimpinan Sumedang ketika gerakan APRA muncul adalah Tumenggung Hasan Satjakoesoemah dari tahun (19491950) yang merupakan Pejabat Bupati pada saat Sumedang menjadi bagian dari Negara Pasundan. Penerusnya adalah Raden Abdoerachman Kartadipoera dari tahun (1951-1958) yang merupakan Pejabat Bupati setelah Sumedang kembali bergabung dengan RIS. Situraja sendiri merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang. Daerah ini memiliki sejarah yang panjang sejak Sumedang masih berbentuk kerajaan dan pernah juga dijadikan Ibukota Kerajaan Sumedang Larang. Pada masa revolusi Kecamatan Situraja memiliki peran yang cukup penting sebagai kantong gerilya para pejuang. Selain letaknya yang berbukit-bukit yang sangat ideal dengan konsep gerilya, posisinya juga sangat strategis karena dilewati jalan yang menghubungkan antara Sumedang dan Garut serta hanya berjarak sekitar delapan kilometer dari jalan Raya Pos yang menghubungkan
79
antara Bandung dan Cirebon. Maka tidaklah mengherankan apabila pada saat Divisi Siliwangi dipimpin oleh Nasution, daerah Situraja pernah dijadikan markas. Peran daerah Situraja dalam perjuangan juga terjadi pada saat Divisi Siliwangi melakukan Long March untuk kembali ke Jawa Barat sebagai akibat dari Agresi Militer Belanda ke-II. Pada saat itu tentara Siliwangi yang hendak menuju titik kumpul di Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang, pada umumnya melewati kecamatan Situraja terlebih dahulu. Para tentara tersebut umumnya menjadikan Situraja sebagai tempat persinggahan untuk beristirahat sebelum menuju Buahdua, (Wawancara dengan E. Wantadireja, 31 Maret 2010).
4.2.2 KONDISI GEOGRAFIS KABUPATEN SUMEDANG DAN KECAMATAN SITURAJA Secara topografis, kondisi alam Kabupaten Sumedang sangat bervariatif mulai dataran rendah sampai pegunungan, sedangkan ketinggiannya secara keseluruhan terletak antara 20 sampai dengan lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan luas wilayah sekitar 1.522,20 km2. Pusat –pusat kecamatan di wilayah Sumedang terletak pada kisaran ketinggian 40-800 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan rata-rata, 43,73 persen dari keseluruhan wilayah Kabupaten Sumedang terletak pada ketinggian 501-1000 meter di atas permukaan laut. Sedangkan Kecamatan Situraja terletak pada ketinggian 101 - 500 meter di atas permukaan laut.
80
Peta 4.1 Peta Lokasi Kecamatan Situraja Tahun 1949
(diolah dari Sukatma, 1995: 46) Pada saat ini, Kecamatan Situraja terdiri dari 14 desa dan berbatasan dengan beberapa kecamatan seperti di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Paseh, Cisarua dan Tomo. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cisitu dan Kecamatan Darmaraja. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sumedang Selatan. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Ganeas dan Kecamatan Sumedang Selatan, Tersedia [online] http://www.sumedang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61 &Itemid=54 [diakses: Bandung. 6 Juni 2010].
81
4.2.3 KONDISI SOSIAL POLITIK KABUPATEN SUMEDANG DAN KECAMATAN SITURAJA Menurut Wiyanarti (2007 : 142) dalam Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah menyebutan bahwa sejak zaman VOC, daerah Sumedang sudah dikenal sebagai daerah pertanian. Kontur tanahnya yang berbukit-bukit menyebabkan kegiatan pertanian yang dominan di Sumedang adalah ladang dan sebagian lainnya adalah sawah tadah hujan. Maka tidaklah mengherankan apabila daerah Sumedang pernah dijadikan sebagai daerah pelaksanaan sistem tanam paksa “Cultuur Stelsal” hingga awal abad ke-20. Khusus untuk kegiatan perdagangan di Sumedang sendiri lebih terpusat di daerah perkotaan dan lebih di dominasi oleh etnis Tionghoa. Salah satu produk yang dihasilkan oleh etnis Tionghoa yang masih terkenal sampai sekarang adalah Tahu. Pada umumnya, masyarakat Sumedang sendiri berasal dari suku Sunda, dimana mereka merupakan keturunan dari kerajaan Sumedang Larang. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan masih menjalankan tradisi leluhur mereka. Salah satu pengaruhnya adalah adanya keyakinan akan “Ratu Adil”. Akan tetapi keyakinan tersebut lebih dikarenakan oleh adanya kepercayaan dalam Agama Islam tentang akan munculnya Imam Mahdi. Dalam masyarakat Sumedang sendiri pernah muncul sebuah gerakan millenarian yaitu Gerakan Nyi Aciah, (Wawancara dengan Mohamad Achmad Wiriaatmaja, 12 April 2010). Gerakan Nyi Aciah yang dimaksud di atas, tidak hanya sebuah gerakan millenarian semata. Pada pelaksanaannya, sosok Nyi Aciah yang dikultuskan oleh masyarakat ternyata dijadikan simbol pemersatu oleh para pendukung gerakannya. Adapun tujuan sebenarnya lebih bersifat politis dimana gerakan itu
82
sendiri dipengaruhi oleh rasa tidak puas dari masyarakat di daerah Sumedang dan sekitarnya terhadap kakuasaan Belanda. Adapun ramalan yang dikaitkan dengan sosok Nyi Aciah sendiri dijadikan sebegai alat untuk melegitimasi gerakan mereka di mata rakyat. Jadi bisa disimpulkan bahwa Gerakan Nyi Aciah juga merupakan sebuah gerakan politik. Sejak zaman dahulu, masyarakat Sumedang memiliki kedekatan dengan pemimpin mereka. Menurut Wiyanarti (2007 : 147) yang juga dikutip dari Supriatna bahwa : Hubungan patron-client yakni hubungan para bupati dan para menak Sumedang dengan para petani bawahannya cenderung bersifat simbiosis mutualistis yakni hubungan timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah fihak, artinya hubungan bentuknya adalah pengabdian kawula terhadap hamba dan perlindungan hamba terhadap kawula, (Wiyanarti, 2007 : 147). Meskipun lama dalam penudukan Belanda, tetapi masyarakat Sumedang sendiri lebih memihak kepada TNI. Sukatma dalam bukunya menyebutkan bahwa “..., setiap malam diadakan gerakan/ tembakan di pusat kota atau yang diarahkan kepada bivak / pos Belanda dengan maksud untuk menyibukan dan melemahkan moril pasukan Belanda dan sebaliknya meninggikan moril dan kepercayaan kaum Republiken pada khususnya dan rakyat pada umumnya terhadap kekuatan TNI dan perjuangan kemerdekaan…,(sukatma, 1995 : 53)”. Dukungan dari masyarakat terhadap TNI terbukti dengan penyambutan dari masyarakat terhadap TNI yang kembali dari Yogyakarta dan dijadikannya daerah Buahdua sebagai markas TNI yang kembali dari Yogyakarta. Untuk menuju kesana anggota TNI banyak yang melewati daerah Situraja. Banyak diantara mereka yang ditangkap oleh Pasukan Belanda.
83
Kondisi masyarakat Situraja sendiri pada umumnya hampir sama dengan kondisi masyarakat Sumedang pada umumnya. Masyarakat Situraja merupakan masyarakat agraris yang bergantung pada hasil pertanian. Mayoritas masyarakat Situraja sendiri berasal dari Suku Sunda dengan sistem kekerabatan dan tradisi masih dipegang teguh oleh masyarakat. Hal ini dimanfaatkan oleh Mayor Toto Suherman yang menyusun Gerakan APRA dengan melibatkan keluarganya dan memanfaatkan kedudukan mertuanya yang merupakan seorang Kumetir yang memiliki kedudukan terpandang di masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat di daerah Situraja sendiri tidak berani mengusik keberadaan mereka, (Wawancara dengan E.Wantadireja, 31 Maret 2010). Pada saat Gerakan APRA muncul, wilayah Sumedang masih menjadi bagian dari Negara Pasundan. Adapun Pejabat Bupati Sumedang saat itu adalah Tumenggung Hasan Satjakoesoemah (1949 – 1950). Ketika Negara Pasundan dinyatakan bubar, terjadi peralihan kekuasaan dimana kemudian jabatan Bupati dijabat oleh Raden Abdoerachman Kartadipoera (1951 – 1958). Adanya kekosongan kekuasaan selama satu tahun menunjukan kondisi politik Sumedang pada saat itu yang tidak stabil. Sama halnya dengan di daerah lain, di daerah Situraja sendiri periode antara tahun 1949-1950 merupakan masa transisi kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada pemerintahan RIS. Pada saat itu kondisi keamanan wilayah Sumedang cukup genting, mengingat daerah Sumedang merupakan tempat tujuan Long March Divisi Siliwangi, padahal di Sumedang sendiri masih terdapat pasukan Belanda. Akibatnya sering kali terjadi pertempuran antara kedua belah
84
pihak. Kondisi di daerah Situraja sendiri pada dasarnya tidak jauh berbeda. Meskipun sekilas tampak kehidupan sehari-hari masyarakat cukup damai tetapi pasukan Belanda tetap mengawasi daerah ini. Hal tersebut dikarenakan wilayah Situraja dijadikan tempat transit bagi anggota TNI yang menuju ke Buahdua sebagai titik kumpul pasukan. Gerakan APRA yang muncul di Sumedang pada saat itu ternyata tidaklah muncul di kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, meskipun sama-sama pernah diduduki oleh Belanda. APRA sendiri hanya muncul di Bandung, Sumedang dan Cirebon. Hal tersebut ternyata dipengaruhi oleh adanya tokoh lokal yang sebelumnya merupakan bekas pegawai Belanda. Tetapi tidak semua bekas pegawai Belanda mendirikan sebuah gerakan untuk menentang RIS. Dalam kasus Gerakan APRA di Sumedang, tokoh lokal yang sangat berperan adalah. Sebagai Putra Daerah yang berasal dari kalangan pegawai Belanda, Toto Suherman memiliki romantisme masa lalu ketika Belanda berkuasa. Oleh sebab itu, Mayor Toto Suherman berkeinginan untuk mengembalikan kejayaan Belanda seperti dahulu. Akan tetapi Belanda yang sudah menyetujui hasil KMB, tidak bisa lagi melakukan upaya-upaya untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia. Oleh sebab itu, Mayor Toto Suherman kemudian bergabung dengan Gerakan APRA pimpinan Westerling. Mayor Toto Suherman sendiri adalah bekas anggota KNIL tepatnya dari Korps Speciale Troepen (KST) yang merupakan anak buah dari Westerling. Bagi masyarakat dan pejuang di daerah Sumedang sendiri, pasukan ini sudah terkenal keganasannya. Masyarakat dan para pejuang menenal pasukan khusus Belanda
85
tersebut dengan sebutan Pasukan Baret Hijau nama tersebut diambil dari warna baret yang dikenakan oleh Pasukan KST. Kehadiran pasukan KST di daerah Sumedang sebenarnya baru ada pada bulan Maret 1949. Pada saat itu pasukan TNI dari Batalyon II/ Taruma Negara, dari Divisi Siliwangi yang telah kembali dari Yogyakarta telah kembali ke Jawa Barat dengan wilayah operasi di daerah Sumedang. Banyaknya serangan yang dilakukan oleh TNI menyebabkan Pasukan Belanda di Sumedang terpaksa meminta bantuan kepada Pasukan Belanda di Bandung. Bala bantuan yang dikirim adalah Pasukan KST, dan salah satu komandannya adalah Mayor Toto Suherman. Seperti yang di katakan oleh Sukatma (1995:53) bahwa : Gerakan-gerakan/operasi-operasi pembalasan dari pihak belanda dilancarkan dengan mendatangkan pasukan bantuan dari luar Sumedang berupa pasukan pilihan Tentara Belanda/ Korps Speciale Troepen (Baret Hijau) ke daerah darmaraja yang sebelumnyaa telah diserang oleh Kompi II Kapten Komir Kartaman dan daerah Tanjungkerta yang sebelunya diserang oleh Kompi I Kapten Amir Machmud, (Sukatma 1995: 53) . Salah satu pimpinan pasukan tersebut adalah Mayor Toto Suherman yang berasal dari salah satu daerah di Sumedang yaitu Situraja. Sebulam setelah kehadirannya Pasukan KST terlibat dalam peristiwa 11 April yang menyebabkan gugurnya komandan Batalyon II/ Taruma Negara mayor Abdurakhman Natakusumah dari Divisi Siliwangi. Setelah Belanda kalah di meja perundingan, yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB), Pasukan-pasukan dari KNIL harus dilebur kedalam APRIS bersama unsur TNI. Ternyata tidak semua pasukan setuju, Mayor Toto Suherman adalah salah satunya. Bersama adik iparnya Subandi, Toto Suherman mendirikan Pasukan APRA di wilayah Situraja sebagai bagian dari Gerakan APRA yang dipimpin oleh Westerling.
86
4.3 ANGKATAN PERANG RATU ADIL DI WILAYAH SUMEDANG 4.3.1
PERANAN MAYOR. TOTO SUHERMAN DALAM PEMBENTUKAN ORGANISASI APRA DI WILAYAH SUMEDANG Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kehadiran APRA di daerah Sumedang sendiri tidak lepas dari kehadiran Toto Suherman. yang merupakan bekas anak buah Westerling di KNIL. Menurut Sabar Djoehro (wawancara tanggal 1 dan 12 April 2010), Mayor Toto Suherman sendiri berasal dari daerah Kasongambang yang berjarak sekitar tujuh kilometer ke arah timur Situraja sedangkan ayahnya bernama Etong yang merupakan seorang bekas pegawai di zaman Belanda. Dia merupakan menantu dari Kumetir yang tinggal di daerah Cimuruy yang pada saat itu termasuk dalam Desa Situraja, Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang. Nama asli dari Haji Kumetir sendiri tidak diketahui. Nama tersebut merupakan julukan karena pada beliau pernah menjadi seorang Kumetir yang bertugas sebagai sekretaris atau juru tulis di gudang pangan Belanda di Situraja. Bersama dengan adik iparnya yaitu Subandi, Mayor Toto Suherman mendirikan sebuah kelompok bersenjata yang menjadi bagian dari Gerakan APRA Westerling. Mayor Toto Suherman memanfaatkan kedudukan mertuanya sebagai seorang Kumetir yang memiliki kedudukan terpandang di masyarakat ketika menyusun Gerakan APRA di Situraja. Karena pengaruh dari mertua Mayor. Toto Suherman tersebut maka masyarakat di daerah Situraja sendiri tidak berani mengusik keberadaan Gerakan APRA. Menurut Kosam Erawan (wawancara tanggal 12 April 2010), ketika masih muda, Toto Suherman pernah masuk di sekolah guru yang ada di daerah
87
Tegalega Bandung, namun ternyata Toto Suherman kemudian bergabung dengan NEFIS yang merupakan dinas intelejen Belanda. Kosam Erawan sendiri yang pada saat itu adalah anggota Tentara Pelajar, pernah dikejar-kejar oleh Toto Suherman. Di kemudian hari, Toto Suherman masuk menjadi anggota KNIL sampai mencapai pangkat Mayor. Dalam salah satu tugasnya sebagai anggota KNIL, Mayor. Toto Suherman pernah memimpin penyerbuan Pasukan KNIL ke daerah Buahdua yang pada saat itu merupakan basis TNI. Dalam penyerbuan ini menyebabkan gugurnya komandan Batalyon II / Taruma Negara, Mayor Abdurakhman Natakusumah dari Divisi Siliwangi pada tanggal 11 April 1949. Peristiwa tersebut dikenal oleh masyarakat Sumedang dengan sebutan peristiwa 11 April. Pada peristiwa tersebut nama Toto Suherman telah mulai dikenal di kalangan Pejuang Republik sebagai seorang musuh karena dia adalah pemimpin Basukan KNIL yang melakukan penyerbuan ke Buahdua. Sukatma (1995) menyebutkan bahwa Toto Suherman adalah salah seorang tentara KNIL yang terlibat dalam peristiwa 11 April. Hal ini disebutkan oleh Sukatma dalam salah satu bagian dari bukunya bahwa Selesai penguburan rakyat disuruh berkumpul untuk endengarkan salah seorang anggota pasukan Baret Hijau berpidato, yang isinya antara lain, agar rakyat tunduk dan patuh kepada perintah Belanda dan jangan menerima kedatangan TNI. Bila ternyata ada TNI maka rakyat harus melapor kepada Belanda bagi yang tidak melaksanakan ketegasan itu tentu nyawa akan melayang akibatnya. Orang yang berpidato itu akhirnya diketahui bernama Toto Suherman asal Situraja Sumedang (Sukatma, 1995:70). Kehadiran Pasukan KNIL di Sumedang tentu saja membawa dampak negatif bagi masyarakat dan para pejuang di Sumedang. Akan tetapi dibalik itu semua ternyata ada juga dampak positif yang diperoleh para pejuang. Berdasarkan
88
hasil wawancara dengan E. Wantadireja (wawancara tanggal 31 Maret 2010), dikatakan bahwa banyak diantara anggota KNIL tersebut yang ternyata memihak kepada Republik. Salah satu buktinya adalah dengan memberikan informasi kegiatan
pasukan
Belanda
maupun
dengan
memberikan
peluru
untuk
dipergunakan oleh para pejuang.
4.3.2
KEBERADAAN GERAKAN ANGKATAN PERANG RATU ADIL DI WILAYAH SUMEDANG Ketika membahas tentang peristiwa APRA, maka yang akan terbayang pertama kali adalah peristiwa pembunuhan anggota TNI oleh tentara APRA yang terjadi di Bandung. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ternyata peristiwa APRA juga terjadi di wilayah Sumedang. Apabila di wilayah Bandung tokoh utamanya adalah Westerling, maka untuk Gerakan APRA di wilayah Sumedang tokoh utamanya adalah Mayor Toto Suherman. Gerakan APRA di Sumedang sendiri sebenarnya merupakan bagian dari Gerakan APRA yang dibentuk oleh Westerling. Gerakan ini muncul di dua wilayah yaitu di Buahdua dibawah pimpinan Letkol Sukarya yang merupakan bekas anggota TNI. Selain itu, APRA juga muncul di daerah Situraja tepatnya di Kampung Cimuruy yang berjarak kurang lebih satu setengah kilometer di sebelah selatan pusat Kecamatan Situraja. Gerakan APRA yang terdapat disana dipimpin oleh Mayor Toto Suherman dan tergabung ke dalam Batalyon X.0.5. Alasan dari bergabungnya Mayor Toto Suherman dengan Gerakan APRA lebih kepada romantisme masa lalu ketika Belanda berkuasa. Latar belakang Toto Suherman yang merupakan seorang anak bekas pegawai Belanda dan juga
89
menikah dengan anak bekas pegawai Belanda menyebabkan adanya ikatan tersendiri antara dia dengan pemerintah Belanda. Selain itu, sebagai seorang bekas anggota KNIL Toto Suherman menginginkan agar pemerintah Belanda bisa kembali berkuasa. Maka ketika Westerling mengajak Toto Suherman untuk bergabung ke dalam APRA, ajakan tersebut di sambut oleh Toto Suherman. Setelah kembali ke Situraja Mayor Toto Suherman mulai menyusun Gerakan APRA di daerah tersebut. Mayor Toto Suherman mendapatkan bantuan dari beberapa tokoh yaitu Subandi dan H. Bashari. H. Bashari sendiri adalah seorang jaksa pada masa Belanda. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sabar Djoehro dan Kosam Erawan (12 April 2010), diperoleh keterangan bahwa H. Bashari adalah orang yang berpihak pada Belanda. Hal tersebut terbukti dengan tindakan H. Bashari yang secara terang-terangan memberikan informasi pada pasukan Belanda tentang para pejuang di Sumedang. Bahkan menurut Kosam Erawan, pada akhir hayatnya H. Bashari memilih untuk lari ke Belanda setelah RIS bubar dan Indonesia kembali menjadi Republik, sampai akhirnya beliau meninggal disana. Berkat orang-orang tersebut akhirnya Gerakan APRA muncul di Wilayah Sumedang tepatnya di Situraja. Karakteristik APRA di Sumedang sendiri berbeda dengan Gerakan APRA yang terjadi di Bandung. Perbedaan pertama adalah pimpinan dari Gerakan APRA. Apabila di Bandung pimpinan dari Gerakan APRA kebanyakan berasal dari orang Belanda, Gerakan APRA di Sumedang sendiri dipimpin oleh orang pribumi yang sebelumnya merupakan anggota militer dan pegawai Belanda. Perbedaan kedua adalah komposisi Pasukan APRA di Bandung dan Sumedang.
90
Apabila di Bandung komposisi Pasukan APRA terdiri dari bekas Pasukan KNIL yang berasal dari KST, maka Pasukan APRA di wilayah Sumedang pada umumnya adalah anggota TNI dari Divisi Siliwangi yang sebelumnya ditangkap oleh Belanda ketika melakukan Long March kembali dari Yogyakarta. Bagi pasukan APRA yang ada di Bandung, TNI adalah musuh mereka sehingga dalam peristiwa APRA di Bandung, banyak sekali korban yang jatuh dari kalangan TNI. Sedangkan bagi Pasukan APRA di Sumedang sendiri yang asalnya adalah TNI, mereka merasa enggan untuk bermusuhan dengan APRIS yang juga sama-sama berasal dari TNI karena alasan mereka masuk ke dalam Pasukan APRA sendiri sebenarnya karena ditipu oleh Mayor. Toto Suherman yang menjanjikan bahwa pasukan yang dibentuknya akan digabungkan dengan Divisi Siliwangi pimpinan Kolonel Sadikin di Buahdua. Akibatnya adalah Pasukan APRA di Sumedang tidak seagresif Pasukan APRA di Bandung, dan ketika mereka disergap oleh TNI maka mereka tidak banyak memberikan perlawanan.
4.3.3 STRATEGI GERAKAN APRA DI WILAYAH SUMEDANG Peran Mayor. Toto Suherman dalam organisasi APRA ternyata tidak hanya di wilayah Sumedang saja. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagan 4.2, Mayor. Toto Suherman juga berperan dalam organisasi APRA yang ada di Bandung. Dalam bagan tersebut, Toto Suherman menjabat sebagai komandan Staff dekking (komandan pasukan cadangan, pen) dari pasukan APRA. Sebagai pimpinan pasukan cadangan dari Gerakan APRA, Toto Suherman memiliki peran
91
penting dalam Gerakan APRA secara umum. Apabila pada Saat itu Toto Suherman memberikan bantuan kepada gerakan Pasukan APRA di Bandung, tentu saja Pasukan APRA akan lebih kuat. Sebagai kekuatan inti dari Batalyon X.0.5 APRA, Mayor Toto Suherman merekrut rekan-rekannya yang merupakan bekas pegawai dan tentara Belanda. Selain itu, Toto Suherman yang bekas anggota KNIL tentu saja memiliki akses kepada tentara Belanda. Oleh sebab itu dia bisa membebaskan anggota TNI yang ditangkap oleh Pasukan Belanda pada saat Long March kembali dari Yogyakarta. Mereka kemudian dihimpun oleh Toto Suherman kedalam sebuah pasukan dan kemudian di beri perlengkapan. Perlengkapan itu sendiri didapat oleh Toto Suherman dari Pasukan Belanda yang ada di Situraja. Bagi para anggota TNI yang bergabung ke dalam pasukan tersebut, mereka tidak merasa curiga kepada tujuan Toto Suherman karena menurutnya pasukan yang dia bentuk akan digabungkan dengan Divisi Siliwangi pimpinan Kolonel Sadikin di Buahdua. Mereka kemudian tergabung kedalam Batalyon X.0.5 APRA dengan Cimuruy sebagai pusat kedudukan mereka. Menurut E. Wantadireja, pada umumnya pasukan tersebut bukan berasal dari Sumedang melainkan dari Bandung, Bekasi, Karawang dan Jakarta. Mereka kemudian di latih baris berbaris dan diberi seragam oleh Toto Suherman, (hasil wawancara dengan E. Wantadireja 31 Maret 2010). Gerakan APRA di Situraja pada saat itu tidak secara terang-terangan berhadapan dengan APRIS. Bahkan mereka cenderung lamban dalam bergerak sehingga mereka tidak sempat melakukan gerakan pengacauan di Situraja karena
92
APRIS medahului menyergap mereka. Gerakan APRA di daerah Situraja tidak terpusat di pusat kecamatan dimana tentara Belanda bermarkas. Mereka memilih untuk memusatkan gerakannya di daerah Cimuruy. Karena inti dari kekuatan APRA di Sumedang sendiri berasal dari bekas anggota TNI dari Divisi Siliwangi, berbeda dengan kekuatan APRA di Bandung yang berasal dari KNIL. Pasukan APRA di Sumedang tidak seagresif Pasukan APRA di Bandung, dan ketika mereka disergap oleh TNI maka mereka tidak banyak memberikan perlawanan. Jumlah kekuatan Pasukan APRA di Situraja sendiri tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para saksi yang mengetahui peristiwa tersebut, jumlah pasukan mereka berjumlah kurang lebih sekitar 150 orang. Dari arsip yang didapat dari Disjarah TNI AD diperoleh keterangan tentang perkiraan jumlah Pasukan APRA di Sumedang, dimana diperkirakan kekuatan persenjataannya cukup untuk kebutuhan dua divisi. Persenjataan tersebut di bawa dari Bandung ke Sumedang oleh seorang tentara berpangkat Mayor. Hal tersebut ternyata hampir sama dengan keterangan Sabar Djoehro dalam wawancara dengan beliau yang menyebutkan bahwa: “Malahan kakuping yen, Subandi pernah aya nu mendakan ku masyarakat yen, narik pestol cap kuda sebanyak tilu karung dina oplet, oplet teh berarti ayeuna mah angkot, namung harita teh dipilari teh teu kapendak”(1).
(1)“Malah terdengar kabar bahwa, Subandi pernah dipergoki oleh masyarakat membawa pistol cap “kuda” sebanyak tiga karung di oplet, oplet kalau sekarang sama dengan Angkot, tapi waktu dicari pada saat itu tidak ditemukan (terjemahan penulis)”.
93
Penjelasan tersebut menunjukan adanya keterlibatan Belanda baik sebagai pendukung maupun pemasok senjata bagi Gerakan APRA. Hal ini disebabkan oleh adanya fakta bahwa ada anggota militer Belanda yang menyelundupkan senjata yang cukup banyak. Selain itu, menurut Sabar Djoehro, salah satu kecurigaan dari pihak APRIS yang dalam hal ini berasal dari TNI adalah adanya bantuan berupa peralatan dari Pasukan Belanda yang pada saat itu bermarkas di pusat kecamatan. Peta 4.2 Lokasi Gerakan APRA
SUMEDANG-GARUT
U
DS.SITURAJA
KP.CIMURUY
Ke Cijeler
Ke Cikadu
94
Keterangan: : Jalan Raya
: Markas Gerakan APRA
: Batas Desa
: Pos Ronda
: Markas Belanda
(diolah dari hasil wawancara dengan E. Wantadireja (31 Maret) dan Sabar Djoehro 1,12 April 2010).
Gambar 4.3 Bekas Rumah Kediaman Subandi yang Dulu Dijadikan Markas Gerakan APRA
(Dok Pribadi penulis, diambil tanggal 12 April 2010) Dalam susunan Gerakan APRA, kelompok tersebut kemudian dinamakan Batalyon X.0.5 dengan berkedudukan di Cimuruy tepatnya di rumah Subandi. Selain di Sumedang, Gerakan APRA yang dipimpin oleh Westerling juga muncul di berbagai wilayah seperti Bandung, lembang dan Cirebon. Sama seperti di Sumedang, di daerah-daerah tersebut juga muncul Gerakan APRA mulai dari Batalyon X.0.1 sampai Batalyon X.0.6. Hal itu bisa terlihat dari dislokasi Pasukan
95
APRA dalam bagan di halaman berikut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dislokasi berarti pemindahan atau penyebaran kesatuan militer dari suatu pangkalan
atau
pertahanan
ke
daerah
lain,
Tersedia
[online]
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, [diakses: Bandung: 6 Juli 2010].
Gambar 4.4 Dislokasi Pasukan APRA DISLOKASI PASUKAN APRA
X.0.1 B I Maj. H. Rusli Lembang
X.0.2 B II Maj. Suhardjo Staf depan sekolah G. Pabaki Bdng
X.0.5 B V Maj. Toto Suherman Tjimuruy- Sumedang H. Basari-Sat. Sidik
X.0.3 B III Maj. Gaos (T.P) Balai Desa = Astana Anjar Bdng
X.0.4 B IV Maj…….. Tegallega nord Klurmaker “Mas Sodik”
X.0.6 B VI Maj. Ribut Chirebon-Kanoman
Belum Compleet, 30 Jan. 50.-
(diolah dari Arsip DISJARAH TNI AD, tertanggal 30 Jan. 1950) Pasukan APRA di Cimuruy menjadikan beberapa rumah penduduk sebagai asrama mereka. Asrama utamanya sendiri ditempatkan di rumah H. Kumetir. Beliau adalah mertua dari Mayor Toto Suherman sekaligus ayah dari
96
Subandi. Lokasinya sendiri terletak berhadapan dengan rumah Subandi yang dijadikan markas Gerakan APRA.
Gambar 4.5 Bekas Rumah Kediaman H. Kumetir yang Dulu Dijadikan Asrama Gerakan APRA
(Dok Pribadi penulis, diambil tanggal 12April 2010)
4.4. REAKSI MASYARAKAT, PEMERINTAH DAN APRIS TERHADAP GERAKAN APRA DI WILAYAH SUMEDANG Keberadaan pasukan APRA sebenarnya cukup meresahkan masyarakat. Menurut hasil wawancara dengan E. Wantadireja (31 Maret) dan Sabar Djoehro (1,12 April 2010), masyarakat Situraja sendiri bingung dengan keberadaan Pasukan APRA di daerah mereka. Kebingungan masyarakat sendiri didasari oleh komposisi dari Gerakan APRA, dimana pasukan yang ada didalamnya banyak yang merupakan bekas anggota TNI dan propaganda dari gerakan tersebut bahwa mereka adalah pasukan dari “Ratu Adil” yang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Akan tetapi masyarakat sendiri melihat bahwa pasukan tersebut
97
diperlengkapi oleh Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Meskipun tidak terlibat langsung ke dalam Gerakan APRA tetapi secara tidak langsung pasukan Belanda ikut mendukung mereka dengan memberikan perlengkapan. Pada akhirnya masyarakat Situraja lebih memilih untuk bersifat acuh dan tidak mengganggu Gerakan APRA untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Pemerintah setempat juga memilih untuk berhati-hati terhadap Gerakan APRA. Pertimbangan tersebut diambil oleh pemerintah daerah mengingat pada saat itu di pusat kecamatan masih terdapat Pasukan Belanda yang cukup banyak. Sedangkan Pasukan APRIS sendiri yang merupakan pasukan pendukung pemerintah, berada sekitar lima kilometer dari pusat kecamatan. Akan tetapi sikap hati-hati dari pemerintah tersebut bukan berarti pemerintah mendukung Gerakan APRA, terbukti dari kebijakan pemerintah yang bekerja sama dengan APRIS yang berasal dari TNI yang memilih untuk menyergap Gerakan APRA di Situraja setelah melihat kegiatan Gerakan APRA di Bandung. Bagi pasukan APRIS yang berasal dari TNI sendiri, keberadaan Pasukan APRA yang dianggap sebagai pasukan liar, tentu saja merupakan ancaman bagi daerah Situraja. Pasukan APRIS di Situraja pada saat itu dipimpin oleh Kapten. Awik yang berkedudukan di Pajagan, sekitar lima kilometer di sebelah timur pusat kecamatan. Sedangkan pimpinan APRIS di daerah Cijeler sendiri adalah Kapten. Saad dan Kapten Rifaat.yang kedudukannya berjarak kurang lebih lima kilometer dari pusat kecamatan dan sekitar tiga kilometer dari markas Gerakan APRA ke arah sebelah barat. Meskipun demikian, pihak APRIS sangat berhatihati dalam menyikapi keberadaan Gerakan APRA.
98
Sikap hati-hati yang ditunjukan oleh Pasukan APRIS juga didasarkan atas hasil pengamatan mereka terhadap kegiatan Pasukan APRA. Pihak APRIS menilai kegiatan dari Pasukan APRA yang ada di Cimuruy belum membahayakan karena pada saat itu mereka belum bertindak. Ancaman baru terasa setelah Pasukan APRA mulai dipersenjatai oleh Mayor Toto Suherman. Ancaman itu sangat terasa karena markas APRA sendiri berada di antara markas APRIS dan pusat Kecamatan Situraja. Kekhawatiran tersebut pada akhirnya terbukti ketika pasukan APRA mulai melakukan razia terhadap anggota APRIS yang lewat ke Cimuruy. Razia ini pernah dialami oleh E. Wantadireja yang pada saat itu merupakan anggota Organisasi Keamanan Desa (OKD) seperti yang diungkapkan dibawah ini. Waktu bapa mulih ti Cijeler saatosna rapat sareng Pa Awik, bapa dipegat ku tentara APRA. Bapa ditaros, “tas timana maneh? Ti Cijelernya? Naon wae nu dirapatkeun ku tentara?”. Kaleresan sateuacan mulih bapa sindang heula ka bibi di Cijeler teras dibahanan aseupan sareng jeruk dua jadi weh ku bapa diwaler kieu, “muhun juragan tapi abdi teu terang perkawis rapat di Cijeler da abdi mah tos ti wargi, tah ieu buktosna abdi dipasihan aseupan sareng jeruk”. Untungna di antawis tentara APRA teh aya nu kenaleun ka bapa jadi bapa teu ditaros deui(2).
(2)Waktu bapak pulang dari Cijeler sesudah rapat dengan Pak Awik, bapak dicegat oleh tentara APRA. Bapak kemudian ditanya, “darimana kamu? Dari Cijeler ya? Apa saja yang dirapatkan oleh tentara?. Kebetulan sebelum pulang bapak mampir terlebih dahulu ke rumah bibi di Cijeler yang kemudian diberikan oleh-oleh kukusan dan jeruk dua buah, jadi oleh bapak dijawab seperti ini, “iya tuan tapi saya tidak tahu mengenai rapat di Cijeler karena saya sudah dari rumah saudara, nah ini buktinya saya diberikan kukusan dan jeruk” untungnya diantara tentara APRA tersebut ada yang mengenal bapak jadi bapak tidak ditanya lagi (terjemahan penulis).
99
Dari pernyataan tersebut diperoleh keterangan bahwa sebenarnya APRIS yang berasal dari TNI tidak tinggal diam dalam menghadapi Gerakan APRA. Pasukan APRIS di Situraja segera melakukan rapat dipimpin oleh Kapten. Awik untuk mengambil langkah yang harus mereka lakukan. Langkah pertama yang diambil oleh tentara adalah mengamati keadaan di Situraja mengingat APRIS masih memperhitungkan kehadiran pasukan Belanda di Situraja. Pasukan APRIS khawatir Pasukan Belanda justru akan berbalik bergabung dengan APRA. Keputusan untuk menumpas Gerakan APRA sendiri baru diambil setelah pihak APRIS mendapat berita tentang pengacauan yang dilakukan oleh Pasukan APRA di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950. Pihak APRIS kembali melakukan rapat di Cijeler pada tanggal 30 Januari 1950. Keputusan dari rapat tersebut adalah APRIS akan melakukan penyergapan terhadap pasukan APRA di Cimuruy. Kegiatan penyergapan dilakukan pada hari itu juga sekitar pukul 11 malam. Pasukan APRIS mulai bergerak dari arah markas mereka di Cijeler ke arah Cimuruy. Ketika sampai di Cimuruy, mereka bertemu dengan beberapa pemuda yang sedang bertugas ronda malam. Pasukan APRIS memerintahkan mereka untuk menghindar dari daerah itu tapi boleh menimbulkan kecurigaan dari Pasukan APRA. Tidak berapa lama kemudian pasukan APRIS memulai penyergapan terhadap Pasukan APRA. Keterangan tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi Omo dan Sahrip (hasil wawancara tanggal 12 April) dan saksi E. Wantadireja yang di razia setelah pulang rapat melewati daerah Cimuruy (hasil wawancara tanggal 31 Maret 2010).
100
Peta 4.3 Arah Serangan APRIS
SUMEDANG-GARUT
U
DS.SITURAJA
KP.CIMURUY
Ke Cijeler
keterangan
Ke Cikadu
: : Jalan Raya
: Markas Gerakan APRA
: Batas Desa
: Pos Ronda
: Markas Tentara Belanda
: Serangan APRIS
(diolah dari hasil wawancara dengan E. Wantadireja (31 Maret) ,Sabar Djoehro, Omo dan Sahrip(12 April 2010))
101
Pada saat disergap malam itu, kondisi Pasukan APRA sedang lengah. Meskipun mereka mengetahui bahwa induk gerakan mereka di Bandung telah mulai bergerak tapi mereka belum mengambil tindakan apa-apa. Disisi lain mereka juga telah mencurigai adanya kegiatan dari pasukan APRIS di Cijeler. Tapi hal tersebut tidak menyebabkan mereka mningkatkan kewaspadaan. Buktinya pada saat mereka disergap oleh Pasukan APRIS tidak ada kontak senjata yang terjadi karena sebagian besar senjata mereka masih tersimpan dalam peti di gudang senjata. Pasukan APRIS yang telah mengepung markas APRA hanya memberikan tembakan peringatan agar anggota APRA menyerah dan hal tersebut diikuti oleh para anggota APRA yang tidak bersenjata. Berdasarkan hasil wawancara dengan Sabar Djoehro disebutkan bahwa. “Waktu ngiring pembersihan, malahan dikhususkeun bapa kudu mimpin peleton ngahapuskeun Cimuruy. Nya kitu harita teh. Mung mun teu lepat, duka kamana ayeuna teh mung kenging senjata teh 17 pucuk.”(3)
Dari pernyataan sebelumnya disebutkan bahwa pada saat itu senjata yang berhasil disita hanya 17 pucuk. Padahal menurut laporan dari pihak intelejen APRIS seperti yang disebutkan sebelumnya, pihak APRA disebutkan memiliki persenjataan yang cukup banyak. Sampai saat ini, keberadaan senjata-senjata tersebut tidak pernah diketahui.
(3)“Pada saat ikut pembersihan, malah dikhususkan bapak harus memimpin peleton menghapuskan Cimuruy (Pasukan APRA.pen). ya waktu itu seperti itu.kalau tidak salah, entah saat ini ada dimana, hanya mendapat senjata 17 pucuk (terjemahan penulis).
102
Kekhawatiran dari pihak APRIS terhadap adanya bantuan dari Tentara Belanda di Situraja ternyata tidak terbukti. Pihak Belanda sendiri pada saat itu tidak melakukan tindakan apa-apa. Para anggota APRA yang menyerah kemudian diperiksa tentang sejauh mana keterlibatan mereka. Bagi para anggota biasa yang tidak tahu apa-apa kemudian dilepaskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Sebagian dari mereka ada juga yang bergabung ke dalam APRIS. Sedangkan bagi pimpinan mereka yaitu Mayor Toto Suherman dan Subandi, mereka kemudian ditangkap dan dibawa oleh tentara. Dikemudian hari terdengar kabar bahwa mereka dieksekusi di daerah Hamawang yang berada di perbatasan antara Tomo dan Ujung Jaya, (hasil wawancara dengan Omo dan Sahrip, 12 April 2010). Akhirnya Gerakan APRA yang dipimpin oleh Mayor Toto Suherman mengalami kegagalan karena kesigapan APRIS di daerah Situraja yang lebih dahulu menyergap mereka sebelum sempat melakukan pengacauan seperti yang terjadi di wilayah Bandung. Faktor lain yang menyebabkan gagalnya Gerakan APRA di Situraja adalah tidak adanya dukungan dari rakyat sekitar. Masyarakat menganggap bahwa APRA adalah kaki tangan Belanda sedangkan masyarakat sendiri masih memiliki dendam kepada Belanda, selain itu masyarakat
juga
merasa terganggu kehidupannya karena kehadiran Pasukan APRA yang dianggap sebagai pasukan liar. Pada akhirnya masyarakat lebih memilih untuk bersikap acuh terhadap Gerakan APRA meskipun gerakan tersebut menggunakan nama “Ratu Adil” sebagai penarik simpati masyarakat. Sedangkan masyarakat sendiri cenderung lebih memihak kepada APRIS yang dalam hal ini berasal dari TNI
103
untuk menumpas Gerakan APRA yang mereka anggap sebagai kaki tangan Belanda.
4.4.1
DAMPAK DARI KEBERADAAN GERAKAN APRA DI WILAYAH SITURAJA Sebuah peristiwa yang terjadi biasanya membawa dampak. Begitu juga dengan keberadaan Pasukan APRA di daerah Situraja. Dampak-dampak tersebut diantaranya adalah dampak di bidang Politik. Munculnya Gerakan APRA di Cimuruy menimbulkan ketegangan politik khususnya antara Pemerintah RIS di Wilayah Situraja dengan Pemerintah Belanda yang dalam hal ini adalah militer mereka. Hal ini disebabkan karena adanya bantuan dari militer Belanda kepada Gerakan APRA di Situraja, sedangkan Gerakan tersebut adalah ancaman bagi Pemerintah RIS di sana. Dalam bidang sosial, masyarakat di daerah Cimuruy sebenarnya tidak begitu terganggu dengan kehadiran Gerakan APRA. Hal ini terjadi karena pada saat itu Pasukan APRA belum sempat melakukan pengacauan seperti yang terjadi di Bandung. Masyarakat di Situraja lebih memilih untuk bersikap apatis untuk menghindari pertentangan dengan Pasukan APRA. Meskipun demikian, dibalik ketidak pedulian masyarakat, tetap saja kehadiran Pasukan APRA di daerah Cimuruy menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Sedangkan dampak dalam bidang ekonomi lebih terasa setelah Gerakan APRA disergap oleh APRIS. Kegiatan perekonomian masyarakat terganggu karena kondisi yang masih mencekam.
104
Dampak terakhir adalah dampak dalam bidang militer, meskipun Gerakan APRA di Situraja tidak bisa berbuat banyak karena lebih dulu disergap Pasukan APRIS, akan tetapi tetap saja keberadaan mereka mengganggu keamanan daerah Situraja khususnya di daerah Cimuruy yang menjadi basis Gerakan APRA. Masyarakat disana merasa cemas karena di tengah-tengah mereka hadir pasukan ilegal yang secara tidak langsung di dukung oleh Belanda. Bagi APRIS sendiri, munculnya Pasukan APRA merupakan sebuah ancaman kepada mereka dan Negara Republik Indonesia Serikat.