BAB IV ANALISIS PASAL 8 DAN PASAL 21 TENTANG KEWAJIBAN DAN PENERAPAN TA’ZIR BAGI YANG MENINGGALKAN SHALAT JUM’AT DI NANGROE ACEH DARUSSALAM “Hukuman” dalam hukum pidana Islam terbagi dalam tiga macam hukuman berdasarkan berat ringannya hukuman. Pertama, jarimah hudud, yaitu tindak pidana yang kadar hukumannya telah ditentukan oleh Allah. Kedua, jarimah qishash dan diyat, yaitu tindak pidana yang dikenai sanksi qishash dan diyat. Meskipun kedua sanksi ini telah ditentukan kadarnya, namun bisa bersifat fleksibel karena bisa berubah tergantung pada kesepakatan antara keluarga korban dengan pelaku (bila keluarga korban memaafkan tindakan pelaku, maka hukuman tersebut bisa menjadi batal). Ketiga, jarimah ta’zir, yaitu perbuatan pidana yang hukumannya tidak disyari’atkan oleh syara dengan hukuman tertentu1 Pembagian jenis sanksi menjadi penting karena di sini dapat dipisahkan antara wewenang hakim, individu yang dirugikan, dan hak allah yang merupakan kepentingan bersama yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. A.
Analisis terhadap Pengaturan Shalat Jum’at dalam Pasal 8 Qanun Nangroe Aceh Darussalam Aceh merupakan satu-satunya propinsi di Indonesia yang memiliki hak khusus dalam otonomi daerah berupa hak membuat undang-undang yang disusun oleh Pemerintah Propinsi dan disepakati oleh masyarakat (dalam hal ini adalah para ulama) dan dilaksanakan secara bersama, serta perubahan 1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2000, hlm 26-31
53
٥٤
nama dari Daerah Istimewa Aceh menjadi Nangroe Aceh Darusalam. Pemerintahan di Nangroe Aceh Darusalam mempunyai target dan tujuan untuk dapat menerapkan dan melaksanakan syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk
mewujudkan
pelaksanaan
Pemerintahan
Propinsi
yang
berlandaskan syari’at Islam maka harus ditopang dengan undang-undang yang jelas sehingga pada akhirnya akan mendukung penerapan syari’at Islam itu sendiri. Sebagai landasan untuk mencapai tujuan tersebut, maka Pemerintah Propinsi Nangroe Aceh Darusalam membuat sebuah Undang-Undang yang disebut qanun. Qanun Nangroe Aceh Darussalam saat ini hanya berisi dua peraturan yang termuat dalam dua qanun yaitu qanun nomor 10 tentang peradilan syari’ah dan nomor 11 tentang pelaksanaan syari’at Islam bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam. Dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk menganalisa mengenai salah satu peraturan dalam qanun Nangroe Aceh Darusalam yaitu nomor 11 tahun 2002 terutama yang tertuang dalam pasal 8 tentang kewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Pengaturan shalat Jum’at dalam pasal 8 qanun Nangroe Aceh Darusalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan shalat Jum’at, dimana setiap orang Islam wajib untuk melaksanakan shalat Jum’at, hal ini berlaku untuk setiap muslim laki-laki yang baligh, berakal, mukallaf, dan sehat serta dianjurkan bagi seorang perempuan untuk melaksanakan shalat Jum’at.
٥٥
Kewajiban melaksanakan shalat Jum’at diwajibkan untuk orang Islam yang tidak mempunyai uzur syar’i. Bila seorang muslim mempunyai uzur, maka tidak diwajibkan sebagaimana dalam pasal 8 seperti hamba sahaya, anak-anak, perempuan, musafir, sakit, atau orang yang sedang melakukan tugas “darurat” seperti perawat atau dokter jaga. Dalam pasal 8 tersebut sifatnya masih umum dimana dalam kata “setiap orang Islam” bisa laki-laki dan perempuan. Hal ini lebih lanjut dijelaskan bahwa perempuan dianjurkan untuk melaksanakan shalat Jum’at, akan tetapi pelaksanaan shalat Jum’at oleh perempuan sifatnya tidak wajib dan tidak terkena sanksi pidana bila tidak melaksanakan shalat Jum’at, hal ini disebabkan karena perempuan lazimnya sibuk dengan urusan rumah tangganya dan ketika pada zaman Nabi saw perempuan ada yang hadir dan tidak, disamping itu adanya hadis yang menjelaskan bahwa shalat jum’at itu diwajibkan atas laki-laki yang telah balig2
ﺭﻭﺍﺡ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻭﺍﺟﺐ ﻋﻠﻲ ﻛﻞ ﳐﺘﻠﻢ Tidak diwajibkannya perempuan untuk melaksanakan shalat jum’at bukan pada mengerjakan shalat jum’at, tetapi dalam menghadiri jama’ah jum’at, sekiranya yang tidak diwajibkan atas perempuan shalat jum’at itu sendiri, tentulah mereka tidak diperkenaan mengerjakan shalat jum’at dan meninggalkan shalat dzuhur, padahal ulama menetapkan bahwa jika orang-
2
hlm 240.
Teugku Hasbi As-Sidiqi , Anabiyah al Ahkam, Jakarta : Magenta Bhakti Guna , 1994,
٥٦
orang itu mengerjakan jum’at, tidaklah perlu bagi mereka dituntut mengerjakan shalat dzuhur. Peraturan ini tidak bersifat individual atau perorangan, lembagalembaga yang berada di wilayah hukum Nangroe Aceh Darusalam juga harus mematuhi dan melaksanakan peraturan, baik lembaga swasta ataupun lembaga pemerintahan. Bila adzan shalat Jum’at telah dikumandangkan, maka setiap institusi pemerintah atau swasta wajib melaksanakan shalat Jum’at dan menghentikan kegiatan apapun sehingga pelaksanaan shalat Jum’at tidak terganggu dan mempermudah seseorang untuk melaksanakan shalat Jum’at, kecuali dalam keadaan darurat atau emergency dan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Disamping itu setiap institusi pemerintah atau swasta wajib memberikan fasilitas guna melaksanakan shalat Jum’at. Ditinjau dari segi kemashlahatan umat, pengaturan shalat Jum’at sebagaimana termaktub dalam pasal 8 qanun Nangroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 sangat baik dan ada relevansinya dengan substansi ajaran dan anjuran Islam sendiri sebagaimana tersebut dalam beberapa firman Allah, antara lain : Q.S. al-Ashr ayat 3,
ﺤ ﱢﻖ َﻭَﺗﻮَﺍﺻَـﻮْﺍ َ ﺻﻮْﺍ ﺑِـﺎﹾﻟ َ ﺕ َﻭَﺗﻮَﺍ ِ ِﺇﻟﱠﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺍ َﻣﻨُﻮﺍ َﻭ َﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺍﻟﺼﱠﺎِﻟﺤَﺎ (٣)ﺼْﺒ ِﺮ ﺑِﺎﻟ ﱠ
٥٧
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran merupakan jaminan bagi kita untuk menjadi orang yang tidak merugi baik di dunia maupun di akhirat. Q.S. Ali-Imran ayat 3 yang berbunyi :
ﻑ َﻭَﻳْﻨ َﻬ ْﻮ ﹶﻥ َﻋ ِﻦ ِ ﺨْﻴ ِﺮ َﻭَﻳ ﹾﺄ ُﻣﺮُﻭ ﹶﻥ ﺑِﺎﹾﻟ َﻤ ْﻌﺮُﻭ َ َﻭﹾﻟَﺘ ﹸﻜ ْﻦ ِﻣْﻨ ﹸﻜ ْﻢ ﹸﺃ ﱠﻣ ﹲﺔ َﻳ ْﺪﻋُﻮ ﹶﻥ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟ (١٠٤)ﻚ ُﻫ ُﻢ ﺍﹾﻟ ُﻤ ﹾﻔِﻠﺤُﻮ ﹶﻥ َ ﺍﹾﻟﻤُْﻨ ﹶﻜ ِﺮ َﻭﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ Ayat ini menerangkan bahwa Allah “menghendaki” agar (sebagian) umat Islam bisa menjadi penunjuk ke arah kebaikan dan mencegah kemunkaran bagi (sebagian) umat Islam lainnya maupun umat yang lain. Disamping ayat-ayat di atas, ada beberapa fungsi dari qanun tersebut yang mengarahkan kepada kebaikan umat (al-mashlahat al-ummat). Fungsifungsi tersebut adalah : 1. Sebagai penjabaran hukum Islam Suatu perkara jika belum ada ketentuan hukumnya di dalam hukum dasar Islam (al-Qur’an, al-Hadits, dan ijma’) maka sangat dianjurkan agar umat Islam menggunakan pikirannya untuk mencari ketentuan hukum perkara tersebut
dengan
tidak
menafikkan
sumber
dasar
hukum Islam,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi, sebagai berikut :
ﻓﺎﻥ: ﻗﺎﻝ، ﺃﻗﻀﻲ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﷲ:ﻛﻴﻒ ﺗﻘﻀﻰ ﺇﺫﺍ ﻋﺮﺽ ﻟﻚ ﻗﻀﺎﺀ؟ ﻗﺎﻝ ﻓﺎﻥ ﱂ ﲡﺪ ﰲ ﺳﻨّﺔ: ﻗﺎﻝ، ﻓﺒﺴﻨّﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ: ﻗﺎﻝ،ﱂ ﲡﺪ ﰲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ
٥٨
.ﻡ. ﻓﻀـﺮﺏ ﺭﺳـﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ. ﺍﺟﺘﻬﺪ ﺭﺃﻳﻲ ﻭﻻ ﺃﻟﻮﺍ:ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ؟ ﻗﺎﻝ ﺍﳊﻤﺪ ﷲ ﺍﻟﺬﻱ ﻭﻓﹼﻖ ﺭﺳﻮ ﹶﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﳌـﺎ ﻳﺮﺿـﻲ ﺍﷲ:ﺻﺪﺭﻩ ﻭﻗﺎﻝ (ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ )ﺭﻭﻩ ﺍﲪﺪ ﻭ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭ ﺍﻟﺘّﺮﻣﺬﻯ Artinya : “Bagaimana kamu memutuskan suatu perkara? “kuhukumi dengan kitab Allah”, jawabnya. Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah? “Dengan Sunah Rasulullah” jawab Muazd. Jika engkau tidak temukan dalam Sunah Rasul? Muadz menjawab, “Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya.” Rasulullah lalu menepuk dadanya seraya memuji sambil berkata, “ Al-Hamdulillah, Allah telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridloi Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudzi) Merujuk pada hadits di atas, maka qanun (pasal 8 Nomor 11 Tahun 2002) Nangroe Aceh Darussalam merupakan suatu ijtihad yang berfungsi untuk menjabarkan hukum suatu perkara yang belum diketahui (secara jelas). 2. Untuk memperkuat kualitas keimanan dan mencegah kekafiran Walaupun pada awalnya mungkin qanun tentang pelaksanaan shalat Jum’at ini dirasakan ada unsur paksaan, namun 3. Untuk mempererat tali persaudaraan (ukhuwah Islamiyyah) Sebagaimana pengertian dari kata Jum’at (baik secara etimologi atau terminologi) yang termuat dalam bab sebelumnya (lihat bab II), maka adanya qanun yang mengatur pelaksanaan shalat Jum’at berarti semakin mempermudah proses menciptakan keeratan ukhuwah Islamiyyah. Sedangkan dalam sudut pandang hukum nasional (dalam hal ini landasan hukum dasar Indonesia, Pancasila dan UUD 1945), pengaturan perintah shalat Jum’at dalam sebuah undang-undang daerah sekilas memang terkesan janggal dan “agak aneh”. Kejanggalan dan keanehan itu adalah
٥٩
ketika salah satu proses hubungan manusia (orang Islam) dengan Tuhan dalam hal ini shalat Jum’at (dalam kajian sempitnya dan agama dalam wilayah yang lebih luas) mendapat campur tangan dari Pemerintah Daerah sebagaimana yang tertuang dalam qanun Nangroe Aceh Darusalam nomor 11 pasal 8 tahun 2002. Padahal permasalahan keagamaan termasuk di dalamnya ritualitas keagamaan individu merupakan salah satu hak azasi manusia yang paling azasi. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 yang menerangkan tentang jaminan kebebasan yang diberikan oleh negara bagi warga negara untuk memeluk dan melaksanakan agama atau kepercayaannya masing-masing, dimana jika kita melakukan “pengaturan” terhadap peribadatan seseorang maka kita telah dengan jelas melanggar Hak Azazi Manusia (HAM). Bahkan ada beberapa orang yang berpandangan bahwa urusan ibadah adalah urusan antara satu individu dengan Tuhannya, sehingga orang lain atau bahkan negara tidak berhak mengaturnya, terlebih lagi memberikan sanksi. Meskipun ada pertentangan antara sudut pandang agama (hukum Islam) dengan sudut pandang hukum nasional Indonesia, namun usaha Pemerintah Propinsi Nangroe Aceh Darusalam untuk menerapkan dan menjadikan syari’at Islam sebagai landasan hukum khusus bagi umat Islam di Aceh patut mendapat acungan jempol. Kesulitan yang terjadi ketika kita ingin menerapkan hukum qanun tersebut adalah kita akan berhadapan dengan landasan dasar negara Indonesia. Sebagai satu contoh, adanya pengaturan kewajiban melaksanakan shalat
٦٠
Jum’at bagi masyarakat muslim Aceh dan adanya sanksi bila mengabaikan, berarti secara tidak langsung telah memaksa seseorang dalam pelaksanaan ibadah individu agamanya, padahal telah jelas disebutkan bahwa negara menjamin kebebasan warga untuk memeluk dan melaksanakan ibadah agamanya masing-masing. B.
Analisis terhadap Ta’zir bagi yang Meninggalkan Shalat Jum’at dalam Pasal 21 Nangroe Aceh Darussalam Dalam praktek hukum pidana di Indonesia, kesadaran masyarakat akan hukum Islam mempunyai arti tersendiri dan telah menjadi living law
secara positif. Hukum positif yang baik (dan
karenanya) efektif adalah hukum yang sesuai dengan living law yang sebagai inner order daripada masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup didalamnya. Hal ini nampak dengan adanya perubahan suatu sikap terhadap perundang-undangan yang merupakan suatu keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan di satu pihak dan kesadaran bahwa dalam usaha demikian perlu diperhatikan nilai-nilai dan kenyataan yang ada dalam masyarakat di pihak lainnya. Sehingga dapat ditarik penegasan tentang hukum bahwa pertama hukum adalah tidak semata-mata undang-undang tapi juga kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat, kedua bahwa hukum tidak hanya mempertahankan status quo untuk mejaga ketertiban, akan tetapi aktif mengarahkan dan memberi jalan pembaharuan, ketiga kecuali hukum
٦١
mengarahkan pembangunan juga membangun dirinya sendiri sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan yang harus ditertibkan, keempat pembinaan hukum selain pembaharuan hukum melalui undangundang juga alat -alat penegak hukum dan cara mencapai tujuan.3 Dalam satu kondisi hukum Islam dapat berjalan dengan hukum positif di Indonesia atau KUHP, karena pada dasarnya prinsip-prinsip hukum Islam dalam hukum pidana Nasional Indonesia ialah menyumbangkan dan melegalisasi prinsip-prisip hukum pidana Nasional yang bersifat umum yang sesuai dengan tujuan-tujuan hukum Islam yang bersifat primer yaitu Maqosid al-Syari’ah atau lima universal (Al–Kulliiyat AlKhams) yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, kehormatan dan keturunan serta pemeliharaan harta. Hukum Islam (Hukum Pidana Islam) mempunyai dua fungsi yaitu, pertama sebagai social control atau pengendalian sosial dimana merupakan bagian dari sistem yang mengintegrasikan individu ke dalam masyarakat. Kedua, sebagai social engineering, ia merupakan sarana penegak masyarakat yang ditujukan untuk merubah peri kelakuan warga masyarakat sesuai dengan tujuan yang ditentukan sebelumnya. Hukum Islam atau juga sering disebut dengan syari’at Islam juga mengandung perintah dan larangan sebagaimana hukum pidana nasional Indonesia. Dalam hukum Islam konsekuensi dari pelaksanaan perintah mendapat pahala dan jika melanggarnya akan mendapat hukuman, baik yang 3
JCT. Simongkir, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Juhaya S Praja, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Angkasa, 1982, hlm 27
٦٢
bersifat duniawi maupun ukhrawi yang berdasar pada hukum dasar Islam (alQur’an, al-Hadits, dan ijma’). Jika suatu tindak pidana belum ada ketentuan hukumnya di dalam hukum syara’, maka permasalahan ketentuan hukum tersebut diserahkan kepada ulil amri melalui ijtihad yang berdasar pada kemashlahatan umat yang disebut ta’zir yang penjatuhan hukumannya dilaksanakan oleh hakim. Bentuk hukuman ta’zir bagi mereka yang terbukti melanggar dibedakan menjadi tiga, yakni hukuman penjara, denda, dan hukuman cambuk. Apabila dalam keputusan itu nantinya hakim memutuskan hukuman cambuk, maka yang bersangkutan tidak lagi didenda atau kena hukuman penjara4. Adanya pidana ta’zir hukuman penjara atau hukuman cambuk adalah karena hukum disyari’atkan demi kemaslahatan umum, maka sesungguhnya hukuman-hukuman itu bukan karena hukuman an sich merupakan maslahat, tetapi karena hukuman-hukuman itu adalah mafasid (kerusakan) namun kendati demikian, syari’at Islam mewajibkan hukum-hukum itu karena hukum ini menuju kemaslahatan masyarakat.5 Salah satu bentuk nyata dari ijtihad mengenai ketentuan hukuman yang belum termaktub dalam hukum dasar Islam adalah ijtihad dari ulil amri Nangroe Aceh Darussalam mengenai ta’zir bagi orang Islam yang tanpa uzur meninggalkan kewajiban shalat Jum’at sebagaimana yang termaktub dalam qanun Nangroe Aceh Darussalam Nomor 11 pasal 21 Tahun 2002. 4
Swa (ed) Serambi Indonesia, Selasa 21 Januari, 2003, kode 16 a, hlm. 54 Juhaya S Praja, op.cit., hlm 77.
5
٦٣
Pengaturan shalat jum’at dan penerapan ta’zir dalam pasal 8 dan 21 qanun Nangroe Aceh Darusalam adalah suatu hasil ijtihad yang dasar ijtihad tersebut menggunakan maslahtul mursalah dimana aturan dibuat untuk ketertiban dan kepentingan umum yang harus diterapkan dalam masyarakat Aceh dan merupakan pedoman ulil amri di Nangroe Aceh Darusalam guna mengatur masyarakat dalam bidang ibadah. Jarimah ta’zir bagi yang meninggalkan shalat Jum’at dalam pasal 21 qanun Nangroe Aceh Darussalam adalah adanya perbuatan melawan hukum, sehingga orang yang meninggalkan shalat Jum’at tanpa uzur syar’i tiga kali dianggap telah melakukan sebuah tindak pidana karena telah melanggar salah satu pasal dalam qanun nomor 11 yakni pasal 8 mengenai peraturan pelaksanaan shalat Jum’at, dan berhak dijatuhi ta’zir berupa pidana dengan enam bulan penjara atau dicambuk di muka umum paling banyak tiga kali. Sebelum ta’zir dijatuhkan pelaku pidana mendapat peringatan atau teguran, bila pelaku masih tetap tidak berubah maka vonis hukuman dapat diterapkan yakni penjara enam bulan atau hukuman cambuk di muka umum bagi orang yang meninggalkan shalat Jum’at dan pencabutan izin usaha bagi perusahaan
atau
instansi
yang
tidak
memberi
kesempatan
kepada
karyawannya untuk melaksanakan shalat Jum’at. Peringatan atau teguran ini dilakukan oleh Wilayatul Hisbah, dengan mempertimbangan keadaan lingkungan sosial orang yang bersangkutan.
٦٤
Pelaksanaan hukuman pada jarimah ta’zir menjadi hak penguasa negara atau petugas yang ditunjuk olehnya karena suatu hukuman yang dilaksanakan untuk melindungi masyarakat, oleh karena itu menjadi haknya dan dilaksanakan wakil masyarakat.6 dan dalam menentukan batas hukuman ta’zir diserahkan kepada penguasa atau ulil amri disetiap masa dan tempat. dan keadaan berbeda-beda menurut perbedaan kejahatan yang dilakukannya dan mengingat pula keadaan si pelaku sendiri, karena dalam menentukan hukuman ta’zir pelaksanaannya terbuka luas, dan masing-masing ahli ijtihad dapat mengembangkan ijtihadnya.7 Hukuman cambuk diharapkan akan lebih efektif sebab terpidana merasa malu karena ta’zir cambuk dilakukan di tempat umum yang dapat dilihat oleh semua orang dan di hadapan orang banyak,8 tidak menimbulkan resiko bagi keluarganya dan hukuman cambuk juga menjadikan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibanding dengan jenis hukuman seperti yang dikenal dalam setiap KUHP sekarang ini. Pelaksanaan ta’zir dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan pembinaan, sehingga si pelaku akan menyadari dan menyesali kesalahan yang diperbuat dan mengantarnya ke posisi dalam tobat nasuha serta sebagai upaya preventif dan pendidikan sehingga setiap orang berupaya untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap qanun dan segala ketentuan syari’at Islam pada umumnya, juga dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si
6
Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Jakarta: Bulan Bintang, 1968., hlm. 340 Hasbi Ash-Shiddiqi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki 2000, hlm. 122 8 Qanun Propinsi NAD Tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, dalam Mahkamah Agung RI, Suara Uldilag, Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI, 2003,hlm 114. 7
٦٥
pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Dalam melakukan analisa, penulis memfokuskan kajian analisa pada ta’zir dilihat dari segi substansi hukum dalam pandangan hukum syar’i dan dari segi pelaksanaannya serta dari segi pembuatan qanun khususnya dalam pasal 8 dan 21 Nangroe Aceh Darusalam. 1. Segi Substansi Hukum Oleh ijtihad ulama fiqh atau jumhur ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali dianggap kafir sehingga tidak dapat menerima kebaikan bahkan yang didapat adalah kekafiran belaka, sebab mata hatinya telah ditutup oleh Allah dan dicap sebagai orang yang lalai, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 7 yang berbunyi
ﺧﺘﻢ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﻗﻠﻮﻬﺑﻢ ﻭ ﻋﻠﻲ ﲰﻌﻬﻢ ﻭﻋﻠﻲ ﺍﺑﺼﺎﺭﻫﻢ ﻏﺸﺎﻭﺓ ﻭﳍﻢ ﻋﺬﺍﺏ (٧ : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺍﺓ.ﻋﻈﻴﻢ Artinya : “Allah telah mengunci mata hati–hati mereka dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka di tutup, dan bagi mereka siksa yang berat (Q.S alBaqarah ayat 7 ) Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan Hakim dari Abul Ja’ad adh-Damiri r.a. telah menceritakan bahwa Nabi Muhamad saw. bersabda:9
ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﺛﻼﺙ ﲨﻊ ﻬﺗﺎ ﻭﻧﺎ ﻬﺑﺎ ﻃﺒﻊ ﺍﷲ ﻋﻠﻰﻗﻠﺒﻪ 9
Bahrun Abu Bakar, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rosullah jilid I, Bandung: Sinar Baru, 1993, hlm 838.
٦٦
Artinya :“Barangsiapa yang meningalkan shalat Jum’at tiga kali karena meremehkannya, niscaya Allah akan mengunci mata hatinya. Dan hadist Nabi saw. :
ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﻣﻦ ﻏﲑ ﺿﺮﻭﺭﺓ ﻛﺘﺐ ﻣﻨﺎﻓﻘﺎ ﰲ ﻛﺘﺎﺏ ﻻ ﳝﺤﻰ ﻭﻻ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ.ﻳﺒﺪﻝ Artinya :“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum’at tanpa uzur (halangan), niscaya ia dicatat sebagai orang munafik dalam sebuah kitab yang tidak dapat dihapus dan tidak dapat diganti. (Riwayat Imam Syafi’i).10 Dari deskripsi di atas, maka penulis berpendapat bahwa adanya sanksi pidana dalam hal meninggalkan shalat jum’at tiga kali berturut-turut dalam pasal 8 dan 21 dita’zir pidana penjara enam bulan penjara atau hukuman cambuk, penulis tidak sependapat sebagaimana dalam qanun tersebut, karena antara ta’zir yang ditetapkan oleh syara dan ta’zir yang ditetapkan oleh penguasa berbeda dan bertentangan sedangkan hukum syara tingkatnya lebih tinggi maka yang harus diutamakan adalah ta’zir dari syara, yaitu untuk orang yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut maka sanksi terhadapnya adalah disebut orang kafir dimana orang tersebut telah ditutup mata hatinya oleh Allah dan dicap sebagai orang yang lalai yang menerima hanya kekafirannya belaka dan termasuk orang yang tersesat, sebagaimana dalam firman Allah Surat Az-Zukhruf ayat 36 yang berbunyi :
10
Ibid
٦٧
(٣٦:ﻭﻣﻦ ﻳﻌﺶ ﻋﻦ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺮ ﲪﻦ ﻧﻘﻴﺒﺾ ﻟﻪ ﻓﻬﻮ ﻟﻪ ﻗﺮﻳﻦ) ﺍﻟﺰ ﺣﺮﻑ Artinya : “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang maha pemurah, kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itu menjadi teman-temannya.”11 Disamping itu orang tersebut tidak lagi menjadi saudara umat Islam karena telah keluar dari ajaran Allah dengan tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah untuk melaksanakan shalat Jum’at dan terhadapnya disebut orang yang murtad dan dapat dihukum had karena kemurtadannya. Seharusnya dalam pasal 21 qanun NAD tidak menyebutkan tiga kali berturut-turut disebut sebagai pidana, karena didalam syara sudah jelas hukumnya sebagai orang kafir, akan tetapi dirubah dengan meninggalkan shalat jum’at sekali atau dua kali berturut-turut maka dita’zir pidana enam bulan penjara atau hukuman cambuk penulis sependapat, sebab jika ditetapkan tiga kali berturut-turut maka maksud hukuman ta’zir tidak sesuai dengan maksud tujuan syari’at Islam karena sanksi yang diberikan Allah berupa “kafir” tidak bisa dibayar dengan hukuman penjara atau hukuman cambuk, akan tetapi harus dibayar dengan tobat nasuha dengan tidak mengulangi perbuatan serupa, sebab hukuman tersebut tidak bisa mengembalikan seseorang dalam keimanan kecuali dengan tobat nasuha. Dari deskripsi di atas, maka penulis berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali adalah mendapat predikat “kafir”
11
Bahrun Abu Bakar, loc.cit. hlm 294-295.
٦٨
sedangkan dalam qanun Nangroe Aceh Darusalam dipidana dengan ancaman pidana penjara dan hukum cambuk, maka dapat ditarik benang merah bahwa pada dasarnya orang yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali tidak termasuk kategori jarimah ta’zir penguasa maupun ta’zir dalam jarimah ta’zir syara, Sedangkan dalam qanun Nangroe Aceh Darusalam meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut sebagai pidana dan mendapat ta’zir penguasa, adalah bertentangan dengan syari’at Islam dimana orang yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali diberi sebutan “kafir” bukan pidana penjara atau hukuman cambuk, sehingga dalam pasal 21 Qanun Nangroe Aceh Darusalam harus diadakan pembaharuan tentang ketentuan orang yang meninggalkan shalat Jum’at yaitu dari batasan tiga kali tidak melaksanakan shalat Jum’at dirubah kurang dari tiga kali sehingga antara hukum syara dan hasil ijtihad tidak bertentangan sesuai dengan maqosid al-syar’iyah yang memprioritaskan kebutuhan primer manusia yaitu pemeliharaan agama, jiwa, kehormatan dan keturunan serta pemeliharaan harta, Memang ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasa’i yang menjelaskan mengenai hukuman bagi orang yang meninggalkan shalat Jum’at dengan membayar denda berupa uang,
ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﺍﳉﻤﻌﺔ ﺑﻐﲑ ﻋﺬﺭ ﻓﻠﻴﺘﺼﺪﻕ ﺑﺪﻳﻨﺎﺭ ﻓﺈﻥ ﱂ ﳚﺪ ﻓﺒﻨﺼﻒ .ﺩﻳﻨﺎﺭ
٦٩
Oleh karena dasar hukum pidana dalam Islam hukum syara lebih tinggi daripada Qanun Nangroe Aceh Darusalam yang merupakan hasil Ijma para mujtahidin dan ulil amri di Nangroe Aceh dengan dasar kemaslahatan umat, maka hukum yang tertinggi dalam pengambilan suatu hukum harus diambil daripada di bawahnya, maka ketentuan pidana tersebut merupakan hasil Ijtihad di daerah Aceh dengan memperhatikan keadaan masyarakat Aceh yang memberlakukan syari’at Islam, sehingga ketentuan tersebut dijadikan pedoman dalam rangka
pemberlakuan
syari’at Islam bidang Ibadah sesuai dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelanggaraan keistimewaan Propinsi Nagroe Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Nangroe Aceh Darusalam. Namun karena di Nangroe Aceh Darusalam sudah menjadi Undang-undang yang bersifat regional atau lokal, maka ketentuan tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat sebagai pedoman bagi umat Islam di Nangroe Aceh dalam bidang ibadah dan menjadi Undang-undang Negara yang mengatur masyarakat guna menjaga kepentingan dan ketertiban umum di masyarakat Aceh, namun hukum tersebut tidak bisa dijadikan dasar dan ketentuan hukum apalagi diterapkan di daerah lain, walaupun pada dasarnya hukum Islam itu bersifat universal tidak mengenal daerah, ataupun suku lain namun hukum Islam telah memberi petunjuk dimana hukum Islam bukanlah hukum yang menyempitkan atau menyusahkan akan tetapi hukum Islam adalah hukum yang memberikan kemudahan-
٧٠
kemudahan bagi umatnya sebagaimana firman Allah dalam surat Al-hajj ayat 78 yang berbunyi :
( ٧٨ ) ﺍﳊﺞ٠٠٠ ﻭﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﰲ ﺍﻟﺪ ﻳﻦ ﻣﻦ ﺣﺮ ﺝ Artinya : “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian agama ١٢ suatu kesempitan”.
2.
Segi pelaksanaan
Namun dalam prakteknya pelaksanaan qanun tersebut akan sulit direalisasikan secara optimal, karena sulitnya seseorang bisa disebut sebagai orang yang melanggar yang disengaja meninggalkan shalat Jum’at karena tidak adanya seseorang yang melihat sendiri selama tiga kali berturut-turut meninggalkan shalat Jum’at atau dengan melaporkan kepada Wilayatul hisbah, hal ini prakteknya sangat sulit dan dengan mudah pelangggar terhindar dari hukuman karena tidak adanya control dari pemerintah itu sendiri dan sulitnya pengawasan terhadap tiap-tiap orang yang dilakukan pengawasan secara terus menerus dan pengawasan ini dilakukan hanya ketika ada laporan, tanpa adanya laporan pengawasan tidak dilakukan dan orang tidak bisa disebut sebagai orang yang melakukan pelanggaran yang disebut sebagai pidana. Sehingga seseorang tidak mudah ditangkap dan diadili serta diputusan dalam pengadilan karena tidak adanya aduan dari pihak masyarakat terhadap orang yang meninggalkan shalat jum’at, hal ini disebabkan orang yang meninggalan shalat jum’at dianggap tidak ١٢
Ibid., hlm. 849
٧١
merugikan masyarakat atau menyakiti orang lain sebab shalat jum ‘at dianggap sebagai suatu ibadah yang berstatus Habluminallah yang tidak bisa orang lain mencampuri urusan pribadinya dengan sang kholik yang dalam pandangan mata masyarakat tidak disebut pidana atau orang yang jahat dimata masyarakat, hanya saja orang tersebut sebagai orang yang melakukan dosa yang akan menerima balasan di hari akherat kelak. 3.
Segi pembuatan Qanun dalam pasal 8 dan 21 Nangroe Aceh Darusalam.
Bentuk ta’zir berupa penjara enam bulan penjara dan hukuman cambuk bagi orang yang meninggalkan shalat jum’at dalam hukum Islam tidak dijelaskan secara khusus, akan tetapi karena ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak ditentukan kadar hukumannya oleh syara’, maka diperlukan suatu ijtihad yang dilakukan oleh ulil amri di Nangroe Aceh Darusalam dengan landasan kaidah ushul fiqh yang berbunyi : 13
ﺗﺼﺮ ﻑ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮ ﻳﺎﺗﻰ ﻣﻨﻮ ﻁ ﺑﺎﳌﺼﻠﺤﺔ
Artinya : “Kebijaksaan pemimpin kepada rakyatnya didasarkan kepada maslahat.” Adanya hukuman tersebut merupakan kebijaksanaan ulil amri Nangroe
Aceh
Darusalam
dalam
mengatur
rakyatnya
dengan
mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial yakni dengan diberlakukanya syari’at Islam di Aceh Bentuk ta’zir berupa hukuman penjara dan cambuk ini dianggap paling tepat dalam pelaksanaan syari’at Islam di Aceh dibidang ibadah 13
Abdul Qodir Audah, Al Tasyri’ Al’jina’i Al Islami, Darul Kutub: Beirut tth, hlm 112.
٧٢
yakni
pelaksanaan
shalat
Jum’at,
sehingga
orang
yang
tidak
melaksanakan shalat Jum’at dianggap mengganggu kehidupan rakyat Aceh di dunia bagi yang tidak melaksanakan shalat Jum’at, karena undang-undang ini diberlakukan guna mendorong dan menggalakan orang Aceh untuk melaksanakan dan meningkatkan kualitas iman dan amal yang hanya diperuntukan hanya kepada Allah semata. Hal ini merupakan suatu usaha metode ijtihad yang dilakukan penguasa di Aceh, bahwa orang yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali dianggap mengganggu kehidupan orang Aceh dan kedamaian serta ketentraman
14
dalam rangka pemberlakuan syari’at Islam di Aceh,
sehingga bentuk ta’zir ini ditetapkan15 Bentuk dan kadar hukuman ta’zir diserahkan kepada ulil amri atau hakim
dalam
menentukan
batas-batas
ta’zir
seperti
memukul,
mencambuk, dan hukuman penjara16sehingga orang yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut tanpa uzur dipidana penjara dan cambuk adalah bentuk dari ijtihad yang dilakukan oleh ulil amri.
14
Abdurohman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, Jakarta : Rineka Cipta ,1992.hlm141 15 Lihat wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa’adilatuhu, Darul Fiqr, Beirut 1984, hlm 206. 16 Op cit, hlm 198.