BAB IV ANALISA ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
A. Sidang BPUPKI-PPKI Sebagai Landasan Tindakan Komunikatif Tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI-PPKI secara sepotong-sepotong.
Dalam bermusyawarah sudah menjadi ketentuan ada proses
memberi dan menerima sebelum keputusan bersama atau mufakat itu dapat dicapai. Dalam persidangan BPUPKI-PPKI, seperti yang telah dijelaskan pada bab tiga, mengalami begitu banyak perdebatan serius tentang nasib negara baru yang akan dibentuk. Salah satunya adalah perdebatan mengenai dasar negara. Perdebatan ini mempunyai perjalanan hingga mencapai suatu kesepakatan antar para pendiri negara untuk bersama menggunakan Pancasila dan segala isi peraturannya menjadi landasan bersama untuk hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada persidangan BPUPKI telah muncul perdebatan sengit yang menjadi fokus perhatian sampai kepada Proklamasi Kemerdekaan. Pembicaraan awal sidang BPUPKI ialah mengenai dasar negara yang akan digunakan. Arah model negara ingin dibawa menjadi negara agama (Islam) dan di sisi lain ingin dibawa menjadi negara nasional (kesatuan). Melalui pidato-pidato mereka pada awal persidangan dapat dilihat bahwa dasar negara menjadi titik tolak model negara apa yang akan dipilih.
101
Melalui data-data yang penulis dapatkan, terutama dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, pidato Soekarno seakan-akan telah menjadi persetujuan sebahagian besar peserta sidang melalui tepuk tangan riuh dari para sidang rapat tersebut. Dalam penjelasan pidato Soekarno juga terlihat jelas bahwa ia tidak mengusung model negara agama, melainkan negara kesatuan yang mengusung nilai Ke-Tuhanan. Pidato Soekarno ini mendapat perhatian khusus dari Ketua Radjiman dan membentuk Panitia Kecil dengan beberapa anggotanya guna merumuskan kembali Pancasila yang diucapkan Soekarno itu.
Melalui Panitia Kecil ini dugaan penulis
terdapat perdebatan antara peserta yang masih bertekad untuk membentuk negara Islam dan di pihak lain ada yang masih berupaya menatap Indonesia ini menjadi negara kesatuan. Hal ini tersirat dari dibentuknya panitia kecil lagi dengan sebutan “panitia sembilan” untuk menghasilkan suatu rumusan kolektif dari kedua golongan (Islam dan Kebangsaan). Rumusan kolektif ini kelihatan nyata bahwa ada upaya mengangkat ideologi Islam di dalamnya, a.l. sebagai berikut: 1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya; 2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. (dan)
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilan; 5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penulis mengatakan demikian karena ada beberapa hal alasannya, a.l. keberatan Golongan Islam dengan peletakan prinsip Ke-Tuhanan pada sila terakhir.
Mereka
memandang prinsip Ke-Tuhanan ini sebagai skala prioritas, serta penambahan kalimat “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan
102
dasar negara telah terbentuk untuk sementara di dalam kesepakatan Panitia Sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai hasil kompromis antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan. Kesepakatan ini pada awalnya merupakan termasuk dalam teori tindakan teleologis. Hal ini disebabkan melalui tindakan strategis yang turut memperhitungkan sarana dan langkah-langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama (tentunya dengan persetujuan aktor/anggota sidang lainnya).
Penulis mengatakan
melalui tindakan strategis karena dalam perbincangan sebelum-setelah panitia sembilan ini ada pembicaraan mengenai jumlah mayoritas penduduk yang memeluk agama Islam mencapai 90-95%. Ada kecenderungan bahwa suasana pengambilan keputusan (pada panitia sembilan) bukan dalam pemahaman general will, melainkan the will of all. Sedikit-banyaknya
pokok
diskusi
rapat
panitia
sembilan
seputar
mengenai
pertimbangan suara rakyat yang lebih banyak menganut agama Islam. Rumusan ini dilemparkan kepada forum ketika dimulai rapat sidang BPUPKI kembali. Pembicaraan pada sidang tersebut mencakup beberapa hal, yakni (1) panitia perancang hukum dasar, (2) panitia perancang keuangan, (3) panitia perancang pembelaan tanah air. Pada tiga pembahasan ini ada tiga pokok perdebatan yang timbul, yaitu: (1) Di dalam Republik apakah menjadi unitarisme atau federalisme?; (2) Keberatan dengan “tujuh kata” anak kalimat; (3) Perhatian pada isu Hak Asasi Manusia (HAM). Pada keberatan pertama dan ketiga kesepakatan yang dicapai tidak terlalu mengalami kesukaran persetujuan karena pengalaman sosial dan dalam bidang politik pemerintahan mempunyai banyak persamaan terlebih lagi sama-sama berangkat dari
103
perjuangan melawan penjajah. Pada kenyataan taraf ini – unitarisme dan isu HAM – para pendiri negara telah mencapai kesepakatan model tindakan komunikatif, karena perjuangan mereka terhadap rasa nasionalis dan kemanusiaan mengindikasikan bahwa setiap interpretasi mereka terhadap keadaan yang terjajah dan sama-sama merindukan kemerdekaan yang bersatu dan bebas dari ketertindasan (menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan) ialah interpretasi definisi-situasi yang sama. Namun, lain halnya dengan ideologi agama yang tidak dapat disatukan dengan ideologi atau konsep lainnya. Penulis mencatat ada beberapa percakapan mengenai perdebatan-perdebatan tersebut. Pertama, keberatan ini diajukan oleh Latuharhary (11 Juli) tentang “tujuh kata” anak kalimat. Baginya hal ini merupakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa macam-macam, dan menimbulkan perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan.
Kemudian
ditambah lagi dengan terjadinya benturan pada adat-istiadat karena agama Islam dalam menjalankan Syariat Islam harus murni tanpa ada unsur adat-istiadat. Perdebatan ini memicu beberapa anggota angkat bicara, seperti: Agus Salim (menyangkal ketakutan Latuharhary dengan mengatakan bahwa ketakutan itu berlaku pada orang Islam yang umur agamanya masih muda. Orang Minangkabau yang sudah menganut Islam sejak lama tidak lagi kesulitan tentang hal tersebut); Wongsonagoro (tujuh kata jangan diubah, tetapi ditambahkan “bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan lain menurut agamanya masing-masing); Djajadiningrat (tujuh kata itu bisa menimbulkan fanatisme, seperti memaksa sembahyang, shalat, dan lain-lain); dan Wachid Hasjim (memberi solusi pada Djajadinigrat kalau hal itu terjadi, akan ada wadah perwakilan rakyat untuk menyelesaikan paksaan-paksaan itu dan menyarankan untuk tidak lagi memperpanjang perdebatan tersebut). 104
Perdebatan ditutup oleh
Soekarno dengan mengatakan bahwa rumusan itu adalah hasil kompromis antara dua golongan dan menegaskan kembali bahwa kompromi itu telah diterima oleh Panitia. Upaya-upaya dari beberapa tokoh ini merupakan tindakan ilokusi. Hal ini dapat dilihat pada upaya penjelasan yang diberikan oleh Salim, Wongsonagoro, dan W. Hasjim agar pendengar dapat memahami dan menerimanya (tentu dengan maksud agar dapat menjadi aturan yang normatif).
Dalam pengertian bahwa segala tindakan yang
akan dilakukan di masyarakat Indonesia mengacu pada kesepakatan-kesepakatan tersebut. Hal yang ingin dicapai bukan berdasarkan pada pendapat dan alasan pribadi, melainkan untuk mempertahankan kesepakatan Piagam Jakarta itu sendiri. Keteguhan Wachid Hasjim terhadap ajaran dan ideologi Islam terlihat kembali ketika ia mengusulkan perubahan pada pasal 4 dan pasal 29. Hasjim menjelaskan bahwasannya hal itu erat berhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan perlokusioner pembicara melalui tindakannya akan mengarahkan pendengar untuk mencapai pemahaman, artinya tujuan ini hanya bisa dipahami lewat maksud dari pembicara.
Djajadinigrat mampu
menyimpulkan tujuan perlokusioner dari konteks atau keadaan pada saat itu. Perdebatan ini untuk kesekian kalinya diangkat lagi dalam persidangan berikutnya, 14 Juli 1945. Dalam percakapan itu ada keberatan yang diajukan oleh Hadikoesoemo dan itu ditangkis oleh Soekarno. Pada kalimat Soekarno nampak sekali terdapat masalah koordinasi tindakan. Rumusan Rancangan UUD masih belum dapat
105
diterima oleh peserta. Soekarno berusaha mencapai pemahaman dalam bahasa yang direpresentasikan pada model subjek secara teleologis, yang saling mempengaruhi yaitu tindakan
rasional-bertujuan.
Artinya
ada
tindakan-tindakan
individu
yang
diorientasikan pada harapan untuk mancapai pemahaman demi suatu makna yang dimaksud. Hadikoesoemo bersikeras dengan pendapatnya yang nasionalistik terhadap kalimat tersebut sampai empat kali. Dalam pandangan Habermas ini bukan merupakan komunikasi karena ketidaksetujuannya terhadap rumusan itu.
Ia dengan jelas
mengutarakan “ketidakenakan” terhadap warga yang bukan umat Islam karena ada pengkhususan di salah satu golongan yang mengakibatkan akan ada dua peraturan yakni satu untuk umat Islam dan satu untuk yang bukan Islam di dalam satu negara. Hal ini bisa diartikan bahwa kesepakatan dalam rumusan itu merupakan sikap orientasi kepada keberhasilan. Secara mekanismenya rumusan tersebut mencapai suatu pemahaman tapi ketika banyak perdebatan mengenai ini terlihat ada penghubungan rencana tindakan terstruktur dengan kombinasi tindakan individu yang terlebih dahulu ke dalam kompleks interaksi. Penulis mengamati melalui beberapa pendapat yang memberikan sesuatu untuk dipahami kepada subjek lainnya dan secara tidak langsung menyuruhnya membentuk opini tertentu atau menjalankan kehendak tertentu. Lagi-lagi perdebatan ini muncul kembali. Kali ini usul diutarakan oleh Abd. Pratalykrama yang mencoba mengusulkan perubahan supaya presiden minimal usia 40 tahun dan beragama Islam. Usul ini ditambahkan oleh Masjkoer supaya kalo tidak dapat diubah tentang presiden, pasal 28 menjadi “Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah
106
agama Islam”. Upaya-upaya seperti ini dapat dijadikan alasan bahwa beberapa orang bersikeras mengiginkan menjadi negara Islam.
Usul-usul ini membuat Soekarno
mengambil keputusan pada keesokan harinya. Melalui
keputusan
ini,
penulis
melihat
bagaimana
cara
Soekarno
mengompromiskan kedua golongan ini agar memperoleh suatu pencapaian pemahaman yang komunikatif. Pertimbangan banyaknya penduduk lebih diutamakan. Menurut Soekarno, ini merupakan jalan tengah. Jalan tengahnya ada pada permohonan khusus kepada kaum kebangsaan, terutama kepada yang beragama non-Islam, yang merelakan dan berkorban untuk pasal tertentu ada dikaitkan Islam, namun, pada pasal lainnya, 29 ayat ke-2 menggambarkan tindakan bijak dari Soekarno agar pihak Islam tidak terlalu memiliki kekuasaan besar yang menindas agama lainnya, melainkan bisa hidup berdampingan. Pada kalimat kompromis Soekarno ini, dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan untuk mencapai klaim validitas. Kesepakatan harus diterima atau diyakini validitasnya oleh para partisipan.
Kesepakatan terletak pada keyakinan bersama.
Keyakinan yang dimaksud adalah jika orang lain menerima tawaran yang ada dalam pembicaraan dengan “ya“ atau “tidak” terhadap klaim validitas dan mendasarkan keputusannya masing-masing pada alasan-alasan potensial. Hal ini dapat dilihat pada model percakapan, di mana akan dianalisa maksud kedua subjek untuk sampai kepada pemahaman satu sama lain. Habermas menyatakan bahwa pada dasarnya percakapan dan pemahaman tidak terkait satu sama lain seperti antara sarana dan tujuan. Keterkaitan itu baru dapat dilihat dan dijelaskan jika menspesifikasikan tujuan dari penggunaan kalimat yang menjadi maksud komunikatif.
107
Keterkaitan sarana dan tujuan Soekarno mengatakan hal itu ada pada kalimat: a. “Kepada kaum yang dinamakan kaum kebangsaan Indonesia, saya minta dengan tegas, supaya suka menjalankan sesuatu pengorbanan, menjalankan suatu offer kepada keyakinan itu,” b. “Terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai.” Ini merupakan kalimat komunikatif, keputusan yang ia ambil lebih condong kepada golongan kaum Islam karena pertimbangan banyaknya jumlah penduduk dan butuh pengorbanan dari pihak lainnya. Respons peserta terhadap kalimat kompromis Soekarno ini lebih condong kepada menyepakatinya dengan sikap tidak dipertentangkan lagi. Kemungkinan besar maksud komunikatif-nya ada pada kalimat “pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai”, walaupun ada tiga orang bangsa Tiong Hoa tidak mufakat. Perdebatan ini berakhir pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Keberatan terakhir pada sidang tersebut datang dari
masyarakat Indonesia Timur yang meminta anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.
Keberadaan kalimat-
kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang
108
beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Kesepakatan yang dianggap sah dan disepakati pada 16 Juli menuai protes pada keberatan yang sama. Keberatan ini masuk dalam kegagalan klaim validitas normatif, klaim validitas kebenaran, dan klaim validitas kejujuran. Pada tataran klaim validitas normatif, masyarakat Indonesia Timur meragukan validitas norma-normanya bahwa kesepakatan tersebut tidak mencakup dunia sosial keseluruhan bangsa Indonesia. Pada tataran klaim validitas kebenaran, masyarakat Indonesia Timur mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap suatu kondisi yang ingin diciptakan dari kesepakatan tersebut.
Hal ini dapat dilihat pada respons mereka yang mengatakan bahwa
keberadaan kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Sedangkan pada tataran klaim validitas kejujuran, kesepakatan tersebut tidak menunjukkan adanya kompromitas yang komunikatif di antara kedua golongan. Ciri khas dari klaim kejujuran ini ialah bagaimana kesepakatan tersebut merupakan perjumpaan dan pertunjukkan. Kesepakatan tersebut bersifat konstitutif bagi interaksi sosial secara umum selama dalam kesepakatan itu terdapat aspek pribadi-pribadi yang berjumpa satu sama lain. Pada kenyataannya, kesepakatan hasil kompromis itu tidak menjadi wadah Konstitusi yang komunikatif karena bagaimana mungkin bisa berjumpa satu sama lain jikalau sudah didiskriminasi melalui Konstitusi.
109
Terjadi percakapan di mana Hatta bersama Ki Bagoes Hadikoesoemo, Teuku Muhammad Hassan, dan Kasman Singodimedjo menjelang pembukaan rapat pertama PPKI.
Percakapan itu mencapai kesepakatan pada sidang rapat bahwa sungguh
menggambarkan kuatnya keinginan para pendiri negara untuk menjaga keutuhan bangsa sehingga mengganti anak kalimat yang dipermasalahkan itu menjadi “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Ucapan Kasman pada rapat kecil yang mereka buat mengatakan bahwa upaya terakhir dilakukan olehnya dengan mengajukan argumen, bahwa dalam situasi krisis, di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam harus bisa mengalah. Proses sidang ini penulis jadikan sebagai landasan model tindakan komunikatif karena media linguistik begitu terlihat jelas di dalamnya. Tercapainya pemahaman dalam bahasa dipandang sebagai mekanisme yang mengoordinasikan tindakan. Pengoordinasian tindakan di sini meliputi seluruh proses persidangan sehingga sering didapat ketika di satu pihak ada Rancangan UUD yang berbicara A, maka dalam pasal lainnya yang berhubungan dengan itu akan mengacu kepada A tersebut.
Lalu
bagaimana proses penerimaan para pendiri negara terhadap Pancasila sebagai dasar negara bisa menjadi beberapa tahap (ada dalam bagian “B” bab ini) dan apakah konsensus pada tahap terakhir merupakan model tindakan komunikatif atau bukan dengan meninjau kepentingan politik dan ideologi di dalamnya? Penjabaran analitis ada di bagian berikut.
110
B. Analisa Terhadap Alasan Para Pendiri Negara dalam Menerima Pancasila Telah penulis kemukakan pada bab III mengenai Pancasila dalam dokumendokumen sejarah. Pancasila secara kronologis mengalami perjalanan panjang untuk menjadi yang sesuai dengan kepribadian dan rasa kebangsaan rakyat Indonesia. Perjalanan itu menjadikannya mengalami tiga tahap dari awal lahirnya sampai rapat sidang PPKI, yaitu: (1) dalam pidato 1 Juni 1945; (2) dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian dijadikan naskah Rancangan Pembukaan UUD 1945; (3) dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Pertama, dalam pidato 1 Juni 1945 Soekarno mencetuskan ide tentang Pancasila sebagai landasan atau dasar negara. Ide Soekarno tentang Pancasila ini tidak dapat dihindari dari pengalaman sosio-historis kehidupannya dan paham-paham yang mempengaruhi pola pikirnya. Pola pikir Soekarno sedikit-banyak terpengaruh oleh Mitologi Jawa yang memuat kepercayaan tentang Ratu Adil, yang berkenaan dengan frustasi, harapan, dan kedatangan juru selamat. Situasi penjajahan pada masa itu yang sangat membuat rakyat menderita dan membentuk pengharapan kepada datangnya keadilan dan kebebasan. Selain itu, Soekarno menawarkan Pancasilanya dengan berdalih pada pemahamannya mengenai Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Ketiga paham ini merupakan nyawa pergerakan rakyat.
Di satu sisi rakyat sama-sama menyadari
penjajahan yang terjadi di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu keinsafan rakyat bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Pada lain sisi Soekarno memahami agama yang ia anut ialah agama yang mendukung pergerakan-pergerakan rakyat yang nasionalistis, yang secara nasionalis dan sosialis selalu anti-kolonialisme. Sedangkan di
111
pihak lainnya Soekarno menemukan paham sosialis yang menentang penjajahan, borjuasi, dan kapitalisme yang ada dalam diri si penjajah. Soekarno sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang pokok sebagai cita-cita persatuan nasionalnya.
Satu-satunya kelebihan yang
dimiliki Indonesia ketika berhadapan dengan penjajah adalah kelebihannya dalam jumlah penduduk, pemanfaatan ini bergantung pada persatuan nasional.
Melalui
paparan ini, tindakan Soekarno mengusung Pancasila penulis yakini adanya relasi antara aktor dengan keadaan yang sedang terjadi pada saat itu. Pancasila pada 1 Juni ini merupakan klaim validitas kebenaran dan klaim kejujuran.
Klaim validitas kebenaran ini dimotori oleh tindakan teleologis oleh
Soekarno yang bertindak strategis dengan membekali dirinya melalui kemampuan kognitif untuk membentuk keyakinan tentang segala keadaan yang melalui persepsinya sendiri dan mengembangkan maksud-maksudnya dengan tujuan mewujudkan hal-hal yang diinginkannya dalam sistem pengambilan keputusan. Klaim validitas kejujuran dapat dilihat ketika Soekarno menjelaskan kelima sila ini berdasarkan pergumulan rakyat Indonesia.
Klaim validitas kejujuran ditekankan melalui dua sisi, yaitu
perjumpaan dan pertunjukkan. Pada aspek perjumpaan, Soekarno di sini sebagai aktor yang menampilkan diri di hadapan sidang dengan menampilkan penilaian subjektivitasnya. Hal ini mengakibatkan pembentukan ekspresi pengalaman sendiri melalui ketiga –isme yang diusung Soekarno. Ide ini akan menjadi konstitutif bagi interaksi sosial karena Pancasila yang dicetuskan Soekarno ini memberikan ruang bagi tiap orang Indonesia untuk berjumpa satu sama lain. Pada aspek pertunjukkan atau penampilan diri, Soekarno sebagai aktor mengekspresikan pengalaman yang
112
dimilikinya sehingga nyata jelas bahwa Pancasila yang dicetuskan Soekarno merupakan asli pemikiran Soekarno. Pancasila pada 1 Juni belum sampai mencapai kemufakatan yang menjadi klaim validitas normatif karena pada sidang pertama BPUPKI, yang diakhiri dari pidato Soekarno ini, tidak ada perumusan dasar negara apa yang hendak digunakan. Akan tetapi, panitia kecil yang dipilih oleh Ketua Radjiman menuntaskan perumusan ini dan diberitakan ke forum pada sidang selanjutnya. Menurut pengakuan beberapa tokoh yang mengatakan bahwa panitia kecil tersebut dibentuk untuk mengolah Pancasila Soekarno menjadi rumusan dasar negara, dapat diartikan sebagai adanya klaim validitas normatif “sementara”. Tidak ada catatan dari para pendiri bangsa yang berkeberatan untuk merumuskan Pancasila yang diusung oleh Soekarno pada tugas panitia kecil itu. Soekarno, dalam tinjauan Habermas telah melakukan klaim validitas kejujuran dan klaim validitas kebenaran. Kedua, dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian dijadikan naskah Rancangan Pembukaan UUD 1945. Naskah politik ini lebih dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Menurut data yang penulis peroleh bahwa dalam rapat Panitia Sembilan ini ada beberapa masukan bagi Pancasila Soekarno, seperti: perpindahan urutan sila-sila Pancasila yang terutama pada prinsip Ke-Tuhanan dan penambahan anak kalimat pada prinsip Ke-Tuhanan.
Bunyinya menjadi yang
tertera sebagai berikut: 1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya; 2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia;
113
4. (dan)
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan perwakilan; 5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Hasil kompromi pada Piagam Jakarta ini merupakan kesatuan gagasan terhadap perbedaan pendapat antara golongan Islam dan Kebangsaan.
Kata kompromi ini
pertama kali dilontarkan pertama kali oleh Ketua Panitia, Soekarno ketika menghadapi pertanyaan Latuharhary yang juga sempat ditanggapi oleh peserta sidang lain sebelumnya. Kompromis merupakan proses persilangan pendapat yang telah mendapat suatu persetujuan, jalan damai.
Sinyal-sinyal adanya kompromi ini sudah ada pada
perumusan Pancasila pertama pada pidato Soekarno. Sebelum pidato Soekarno, sudah ada lebih dulu beberapa tokoh yang mengusulkan dasar negara dengan rangkaiannya mendasarkan pada ideologi/ajaran Islam dan negara kesatuan. Soekarno jeli melihat permasalahan ideologis ini sehingga ia memasukkan ide/gagasan kompromis pada prinsip ketiga, di mana ia mengatakan: “dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.” Pada kajian berikutnya, penulis beranggapan bahwa ide/gagasan kompromis Soekarno pada prinsip ketiga ini tidak serta-merta memuaskan pihak Islam, sehingga pada Piagam Jakarta ditambah beberapa kalimat lagi yang menunjukkan ide Islam. Artinya, di dalamnya ada persetujuan (aras kompromis) yang dimufakati dengan pertimbangannya, yaitu isu mayoritas penduduk. Pada taraf Piagam Jakarta ini, Pancasila bukan merupakan tindakan komunikatif. Dapat dikatakan hampir karena harus diakui adanya perundingan di dalam panitia
114
sembilan yang mencari kompromi berbagai pihak dengan cara menoleransi berbagai alasan/keyakinan etis-politis.
Dalam hal ini keseimbangan ditemui karena adanya
kompromi tersebut. Akan tetapi, ide mayoritas di dalamnya tidak menjadikan Piagam Jakarta ini model tindakan yang bebas tekanan, sama rata sama rasa. Artinya, ada yang ditonjolkan salah satu pihak dalam institusional, yaitu pihak Islam. Jadi Piagam Jakarta ini merupakan tindakan model teleologis karena orientasinya pada tujuan keputusan dengan memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat, dalam hal ini ialah ide mayoritas penduduk (klaim kebenaran). Pancasila dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945 ini diberitakan ke forum agar mendapat berbagai tanggapan dan lekas diterima untuk menjadi Pembukaan UUD. Perdebatan yang paling menonjol dalam sidang BPUPKI ialah mengenai negara dan agama, a.l. sebagai berikut: a. Soekarno. Menurut teori Habermas, Soekarno melakukan tindakan rasionalitasbertujuan, artinya alasannya menerima Piagam Jakarta ini sebagai alasan ideologinya yang nasionalis, yang menjadi tujuan dasarnya. b. Agoes Salim. Menurut teori Habermas, Salim melakukan tindakan rasionalitasbertujuan dengan ide nasionalisnya dan ia meyakini bahwa Piagam Jakarta ini menghasilkan model tindakan yang diatur secara normatif.
Piagam Jakarta
diharapkan oleh Salim sebagai wadah untuk pemenuhan perilaku terhadap norma yang disepakati.
Tidak mendeskriminasikan golongan lain, dengan
kalimatnya: “Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?” c. Wachid Hasjim.
Menurut teori Habermas, Hasjim melakukan tindakan
teleologis yang memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat. Sarana
115
tersebut adalah Piagam Jakarta sebagai rancangan konstitusi, dan penerapannya melalui pemasukan ideologi Islam di dalamnya. d. Hoessein Djajadiningrat. Menurut teori Habermas, Djajadiningrat melakukan koordinasi tindakan, untuk sebelum terjadinya tindakan komunikatif. Setiap pertanyaannya melalui tujuan spesifik menurut situasi dan keadaan, sesuai dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul. Pencapaian tujuan yang ia maksudkan mengidentifikasikan sebuah objek itu harus tergantung kepada situasi karena tidak bisa lepas dari konteks. Selain itu, makna perilaku melalui peran fungsional yang dimainkan dalam sistem pola perilaku dapat memahami simbol yang sama dengan makna yang sama dalam konteksnya. Artinya dengan penduduk mayoritas Islam, bagi Djajadiningrat kemungkinan besar akan mewujudkan Pasal 4 ayat 2 tanpa mencantumkannya di dalam batang tubuh UUD. e. Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Menurut teori Habermas, Hadikoesoemo telah
melakukan tanda-tanda/sinyal-sinyal model tindakan yang diatur secara normatif. Segala yang diputuskan dalam sidang akan menjadi kesepakatan yang siap dijalankan pada konteks sosial Indonesia.
Ia melihat adanya pertanda
perpecahan ketika dasar negara yang dipilih tidak berada pada posisi yang jelas sehingga menimbulkan kerancuan dalam koordinasi tindakan tiap individu. f. Abikoesno. Menurut teori Habermas, Abikoesno mengambil tindakan teleologis dalam melihat perumusan Piagam Jakarta. Kompromi final dari rapat panitia sembilan dirasa telah termasuk dalam proses perhitungan sarana dan langkahlangkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama.
116
g. Soepomo.
Menurut teori Habermas, orientasi Soepomo kepada persatuan
nasional ini menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis yang mengarah kepada model tindakan komunikatif. Bagi Soepomo panitia sembilan merupakan arena diskursus untuk mencapai konsensus. Arena di mana setiap orang memandang diri mereka sendiri sebagai mahluk rasional yang mampu berargumentasi atas pernyataan mereka.
Setelah keputusan Piagam Jakarta
dibuat maka itu adalah hasil keputusan kolektif pada saat itu. h. Yamin. Menurut teori Habermas, orientasi Yamin kepada persatuan nasional ini menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis.
Bagi Yamin
panitia sembilan merupakan ajang kompromi untuk mencapai konsensus. i. Mohammad Hatta. Menurut teori Habermas, ideologi kebangsaan Hatta berada pada posisi pengajuan klaim-klaim yang mengarah kepada model tindakan komunikatif. Hatta pernah angkat bicara ketika ada diskusi yang berkaitan dengan agama dalam sidang BPUPKI, yang menyatakan ketegasannya bahwa ia tidak sepakat dibentuk negara Islam. j. Abdul Fatah Hasan.
Menurut teori Habermas, tindakan A.F. Hasan dapat
dikategorikan sebagai tindakan teleologis.
A.F. Hasan menggunakan model
tindakan strategis yang memperhitungkan sarana. k. Pratalykrama. Tokoh ini juga memiliki gaya pemikiran yang sama dengan A.F. Hasan.
Pratalykrama dalam kategori teori Habermas termasuk melakukan
tindakan strategis, di mana ia bertindak berdasar aspek aturan-aturan pilihan rasional dalam mempengaruhi keputusan lawan yang rasional. l. Masjkoer. Menurut teori Habermas, hal ini merupakan koordinasi tindakan. Tindakan sosial dapat dirujuk melalui mekanisme koordinasi tindakan individu
117
dengan apa relasi sosialnya didasarkan kepada kepentingan semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif. m. Moezakir. Moezakir berpikir tentang kepentingan ideologi persatuan-kesatuan dan politik agar tidak terjadi kerancuan dalam menjalani pemerintahan dan bertangung jawab kepada rakyat.
Menurut teori Habermas, Moezakir ini
mengambil model tindakan koordinasi. n. Ahmad Sanoesi. Menurut teori Habermas, Sanoesi mengambil tindakan model proses tindakan komunikatif
(koordinasi tindakan).
Sanoesi melakukan
interpretif keadaan pada sidang rapat dan menginterpretasikannya menjadi mekanisme pengoordinasian tindakan agar bagaimana negara Indonesia ke depannya sehingga permintaannya agar proses pengambilan keputusan pada saat itu tidak tergesa-gesa, membuatnya menjadi salah satu pendiri negara yang mempunyai pemikiran model tindakan komunikatif, Sanoesi penulis hargai sebagai pendiri negara yang menekankan pentingnya mufakat (bukan dengan vote). Pancasila pada Piagam Jakarta ini telah disepakati sebagai hasil kompromis antara kedua pihak antara golongan Islam dan kebangsaan. Jikalau dilihat dengan seksama, ternyata perselisihan paham antara kedua golongan ini tidak hanya terjadi di dalam tubuh panitia sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Perselisihan paham itu pun juga ada dalam tubuh peserta sidang BPUPKI. Namun, kedua golongan ini sama-sama memiliki rasa superioritas bagi terbentuknya suatu negara yang akan keluar dari cengkeraman penjajahan.
Rasa
superioritas ini yang terkadang dapat disalahartikan oeh beberapa pendiri bangsa ketika mengambil bentuk dasar negara apa yang akan digunakan. Tidak dapat dipungkiri
118
bahwa pola dasar pemikiran mereka untuk bangsa yang sebesar Indonesia dengan jumlah terbanyak penduduknya, dan salah satu golongan terpaut besar kuantitasnya hingga 90-95%, ialah mengambil bentuk negara berdasar atas satu agama atau golongan. Pada awal perumusan Piagam Jakarta, Soekarno memilih sembilan orang yang sudah sekaligus menjadi wakil dari dua pihak golongan. Harapan Soekarno dalam perumusan ini ialah benar-benar menjadi kompromis di antara kedua pihak tersebut. Namun, begitu disajikan di forum persidangan BPUPKI hal ini tidak dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah dirembukkan dalam panitia sembilan. Momen ini dapat dikategorikan sebagai masih adanya pola diri yang masih membekali dirinya sendiri dengan maksud-maksud tertentu merujuk kapada tercapainya pemahaman.
Ketika
dipetakan menurut jenis-jenis tindakannya, tindakan teleologis-lah yang paling banyak terlontar di percakapan sidang yang secara timbal balik saling memengaruhi dan akhirnya membentuk kesepakatan sidang pada 16 Juli 1945. demikian tidaklah gagal.
Kesepakatan yang
Kesepakatan demikian sangat memerlukan tenaga ekstra
dalam pelaksanaannya. Kesadaran tentang komplementaris sungguh dibutuhkan demi menjaga validitas normatif yang telah terbentuk. Namun, kesadaran komplementaris ini menimbulkan kompetitif rasional dalam bersosialisasi yang membuat posisi mereka tidak menentu, seperti ada yang merasa di atas sebagai warga kelas satu, sedangkan yang lain merasa menjadi substitusi sebagai warga kelas dua. Pada akhir kesepakatan Piagam Jakarta ini pergolakan di tubuh peserta sidang BPUPKI ini semakin terasa dan semua itu berputar pada: (1) hal-hal teknis yang akan dilakukan dan terjadi di masyarakat ketika Piagam Jakarta itu digunakan sebagai dasar konstitusi negara ketika ada permakluman bagi salah satu golongan yang mendapat hak 119
istimewa masuk dalam UUD; dan (2) Piagam Jakarta ini menjadi diskriminatif dalam memperlakukan rakyat Indonesia. Piagam Jakarta ini dapat ditinjau berdasar teori tindakan komunikatif. Sebelum terjadinya tindakan komunikatif, setiap orang membekali dirinya sendiri dengan pola tindakan sendiri-sendiri. Pada titik peralihan pertama relasi yang diciptakan bukan relasi kepada antar pribadi, melainkan relasi yang merujuk kepada tercapainya pemahaman di dalam bahasa. Artinya aktivitas yang bertujuan dari subjek yang bertindak sendiri-sendiri.
Tercapainya pemahaman dalam bahasa direpresentasikan
pada model subjek yang bertindak secara teleologis, yang secara timbal balik saling memengaruhi, yaitu tindakan rasional-bertujuan oleh tindakan-tindakan individu yang diorientasikan pada harapan untuk mencapai pemahaman demi suatu makna yang dimaksud. Tindakan sosial dapat dibedakan menurut mekanisme koordinasi tindakan individu, misalnya: apakah suatu relasi sosial didasarkan pada posisi kepentingan semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan cara melakukan validitas yang didasarkan pada kesepakatan. Interaksi yang didasarkan pada kepentingan yang saling melengkapi tidak hanya berbentuk adat kebiasaan, namun juga pada level perilaku kompetitif rasional, di mana partisipan telah membentuk suatu kesadaran yang jelas tentang komplementaritas (melengkapi) sekaligus ketidakmenentuan posisi kepentingan mereka sendiri. Inilah yang disebut sebagai masalah koordinasi tindakan. Jadi menurut pisau analisa Habermas, kesepakatan Pancasila pada tataran ini belum mencapai model tindakan komunikatif karena beberapa alasan yang telah penulis kemukakan di atas.
120
Dalam pisau analisa Rousseau, kesepakatan dalam Piagam Jakarta ini merupakan the will of all. Hasil kompromis yang dijunjung tinggi oleh beberapa tokoh pendiri bangsa dalam persidangan BPUPKI terlihat hanya berlandaskan alasan bahwa ini adalah hasil kompromis dua pihak golongan yang sama-sama telah disepakati dan diterima dengan terbuka.
Hasil kompromis ini mengalami beberapa kali mentah
kembali ke dalam perdebatan. menempati posisi sentral.
Ideologi paham ke-Islaman menjadi ideologi yang
Bahkan untuk memperkuat alasan mengapa ideologi ini
menempati posisi sentral dalam perdebatan ialah dikarenakan jumlah penduduk Islam di Nusantara terpaut jauh perbedaannya mencapai 90-95%.
Isu mayoritas ini terus
didengungkan sehingga setiap ada pertanyaan tentang masuknya ideologi Islam dalam Piagam Jakarta seolah-olah diperhadapkan dengan 90-95% rakyat. Lain halnya lagi ketika pengaruh ideologi Islam masuk dalam Rancangan Pembukaan UUD, ada beberapa tokoh yang menghendaki sampai ke dalam Perancangan Batang Tubuh UUD juga disusun segala hal yang berhubungan dengan ke-Islaman. Sebenarnya perjalanan suasana rapat ini dapat dipahami sedikit-banyaknya ketika membaca risalah sidang BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945, di mana ada keluar perkataan di dalamnya bahwa suasana pada saat itu ditakutkan sampai kepada suasana yang berbau agama.1 Suasana yang menjurus kepada rasialisme ini segera dihadang oleh pendapat Hadikoesoemo dan beberapa tokoh lainnya hingga mencapai sebuah perkataan: “kalau ideologie Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi, nyata negara ini tidak berdiri atas agama Islam dan negara akan netral…. Jangan diambil sedikit kompromis … untuk keadilan dan kewajiban tidak ada kompromis, tidak ada…. 1
Istilah “berbau agama” ini merupakan pernyataan Sanoesi menanggapi perdebatan sengit pada tanggal 15 Juli 1945.
121
Siapa yang mufakat yang berdasar Islam, minta supaya menjadi satu negara Islam. Kalau tidak, harus netral terhadap agama. Itulah terangterangan, itulah yang lebih tegas, kalau-kalau sudah nyata netral jangan mengambil-ambil perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai ujung-ujung saja.”2 Begitu nyata dalam hal ini usul beberapa tokoh ini merupakan sebagian dari kepentingan umum. Lain halnya dengan beberapa tokoh lainnya yang mempertahankan ideologi Islam dengan cara fanatik dalam sidang rapat BPUPKI, mereka mewakili sebagian dari kepentingan orang banyak. Kesepakatan hasil kompromis ini diakhiri oleh Soekarno yang meminta berbagai pengorbanan di kedua pihak dengan masuknya ideologi Islam di dalamnya. Kesepakatan semacam ini merupakan kesepakatan yang didapat melalui suara mayoritas – secara implisit. Kesepakatan ini akan memperbesar jumlahnya untuk dapat disepakati oleh semuanya melalui komunikasi atau lobying. Dalam hal ini, Piagam Jakarta ini seandainya menjadi konstitusi dalam RI, maka akan menjadi tindakan yang diatur secara normatif bagi yang tidak sepakat (bagian kecil) di dalam NKRI dan secara tidak sadar akan menjadi “seolah-olah” kepentingan bersama. Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, yaitu proses deliberasi sangat nyata selama persidangan BPUPKI membahas Piagam Jakarta ini.
Tujuan-tujuan
kolektif yang selama sidang disepakati melalui diskursus-diskursus etis-politis, di mana masih dipersoalkan dengan menghadapkan kepentingan-kepentingan di dalamnya dengan asas universalisasi.
Oleh karena banyak perdebatan, sanggahan, dan
penerimaan selama sidang, para peserta sidang berupaya untuk menguji kontribusikontribusi yang masuk dengan pertanyaan apakah kontribusi-kontribusi itu dapat
2
Ini adalah pernyataan Ki Bagoes Hadikoesoemo.
122
dijadikan acuan bersama sebagai kepentingan bersama (acuan etis-pragmatis). Diskursus seperti ini diharapkan sebagai diskursus moral karena pengujian tersebut diharapkan mengarahkan kepada kesepakatan yang melampaui perspektif yang dibatasi etnosentrisme, sehingga perundingan-perundingan itu akan menemukan keseimbangan bagi NKRI. Akan tetapi, hal ini juga harus diwaspadai terhadap opini mayoritas yang diklaim legitimitasnya menjadi opini publik. Oleh karena itu, diperlukan perundinganperundingan yang sangat deliberatif karena dalam posisi deliberasi lebih dipentingkan prosedur dalam suatu diskursus dengan persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif. Piagam Jakarta ini merupakan deliberasi yang tidak seimbang. Banyaknya perundingan-perundingan tentang keberadaan tujuh kata dan beberapa ideologi Islam dalam Batang Tubuh UUD. Perundingan-perundingan ini dianggap tidak sesuai dengan hasil kompromis karena keberatan selanjutnya ada di pihak Islam (yang sudah menyepakati bulat-bulat pada rapat panitia sembilan) jikalau keberadaan ketujuh kata tersebut dihilangkan. Kompromis ulang yang dibacakan oleh Soekarno pada 16 Juli 1945 merupakan kesepakatan kali kedua setelah Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Artinya beberapa
perundingan dari para pendiri negara mengalami perkembangan. Alasan para pendiri negara menerima kompromis ulang 16 Juli ini lebih condong kepada menyepakati karena toh sebenarnya akar pembicaraan (mengenai keyakinan agama) tidak dapat disentuh secara mendalam, sehingga aras pemikiran atau pemahaman yang dicapai hanya pada tataran sosiologis (kesepakatan sosial untuk mencapi hidup bersama dan merdeka – alasan nasionalisme). Soekarno dalam hal ini melakukan tindakan teleologis dengan memanfaatkan ilokusioner untuk menciptakan pemahaman baru bagi peserta
123
sidang bahwa kemerdekaan pada saat itu lebih penting ketimbang urusan keyakinan yang tidak berujung dalam perdebatan sidang. Dalam teori Habermas, pada tanggal 16 Juli ini para pendiri negara telah mencapai kesepakatan atau konsensus ketika ditandai dengan tidak adanya keberatan pada sidang. Namun, apakah berarti telah nyata menjadi sesuatu yang normatif bagi Indonesia Merdeka? Ternyata belum. Rancangan Pembukaan UUD dan pasal-pasal yang akan disahkan pada 18 Agustus pun mengalami perubahan. Ketiga, dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Rumusan Pancasila pada masa sidang PPKI ini sudah mengalami beberapa pertimbangan lainnya di luar para peserta sidang BPUPKI tempo hari yang lalu. Ada beberapa percakapan di sini yang perlu diperhatikan, a.l. ialah: a. Moh. Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda. Keperluannya adalah mengungkapkan keberatan yang diajukan oleh sebagian masyarakat Indonesia Timur terhadap anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.
Keberadaan
kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.3 Keberatan ini merupakan keberatan yang dirasakan sebagai tindakan diskriminatif bagi sebagian masyarakat Indonesia Timur. Respons dari keberatan ini 3
Penulis belum mendapatkan percakapan antara Hatta dan Tuan Nishiyam. Keterangan ini didapat melalui buku dari Hatta yang menuliska otobiografinya.
124
tidak lagi diperpanjang oleh para peserta dari golongan Islam yang diajak oleh Hatta untuk berunding. Kemungkinan kuat karena ini berbicara mengenai wilayah (Indonesia Timur), maka Hatta memperhitungkan ini sebagai awal perpecahan nantinya. “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.” Ini merupakan respons awal yang ditunjukkan oleh Hatta.
Respons ini
memengaruhi respons-respons selanjutnya, seperti dari Hasan yang mengaku bahwa dia meyakinkan Hadikoesoemo dengan alasan bahwa untuk sementara akan masuk dalam aturan peralihan; dan Kasman yang mengungkapkan bahwa bahwa dalam situasi krisis, di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam harus bisa mengalah. Pengakuan Hasan dalam hal ini membingungkan penulis karena pada sidangsidang BPUPKI sebelumnya Hadikoesoemo merupakan orang yang membela terbentuknya dasar negara yang tidak diskriminatif dengan dalil di Indonesia masih banyak perpecahan-perpecahan.
Justru respons (perkiraan) Hadikoesoemo lebih
cenderung menerima itu dengan persetujuan yang dilandaskan pada beberapa idenya yang dimunculkannya. Artinya tidak ada rasa keberatan denga permintaan masyarakat Indonesia Timur. Namun, pengakuan Hasan ini seolah-olah dengan kata “meyakinkan Hadikoesoemo”-nya membuat figur seorang Hadikoesoemo sebagai orang yang, bisa dikatakan, sebagai orang yang “susah” diajak untuk bersepakat. Melalui pendekatan ini 125
tokoh-tokoh Islam yang diajak berunding menyepakati perubahan kata tersebut. Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan ketika tidak adanya perwakilan golongan Islam yang ikut menandatangani Piagam Jakarta hadir dalam rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. b. Percakapan yang dilontarkan oleh I Gusti Ktut Pudja yang meminta untuk mengubah kata “Allah” pada Pembukaan UUD diganti dengan kata “Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Hal ini diangkat oleh Soekarno ke forum rapat dan
disetujui oleh peserta. Dengan usulan I Gusti Ktut Pudja ini menambah daya tawar Pancasila yang disepakati kali ini benar-benar konsekuen terhadap bentuk persamaan derajat. Persamaan tersebut sampai kepada jenis tiap-tiap agama yang memiliki cara khusus memanggil Tuhan-nya. Penyebutan “Allah” akan memengaruhi salah satu kelompok agama di Indonesia melalui cara penyebutannya.
Penyebutan Tuhan dirasa
menyejajarkan antar agama untuk berkeyakinan terhadap Sang Tuhan. Menurut Penulis, perubahan pada 18 Agustus ini bermakna besar bagi rakyat Indonesia. Ada dua hal yang bisa diambil dari peristiwa 18 Agustus ini. Pertama, ketika dikaji berdasarkan penyebab perubahannya – ajuan keberatan dari Masyarakat Indonesia Timur dan usulan dalam sidang PPK oleh I Gusti Ktut Pudja – dapat disimpulkan bersama bahwa proses tersebut berlangsung dengan cepat. Perubahan ini diakibatkan karena dirasa kurang adilnya Rancangan Pembukaan UUD yang dikompromikan pada 16 Juli lalu. Penulis cenderung memperkirakan adanya kaitan ajuan keberatan yang mengatasnamakan Masyarakat Indonesia Timur dengan beberapa tokoh Kristen dalam sidang BPUPKI 16 Juli, namun hal ini belum terlalu kuat karena data yang penulis
126
miliki belum terlalu sempurna untuk data seorang Latuharhary – salah satu tokoh Kristen dalam sidang itu. Dalam kajian ini alasan nasionalisme (ingin merdeka dan bersatu) cukup berpengaruh kuat untuk mendominasi semangat kesepakatan pada saat itu karena alasan utama dari ajuan keberatan tersebut ialah adanya beberapa pernyataan dalam pembukaan UUD dan pasal di dalamnya yang diskriminatif dan itu berakibat kepada tuntutan mereka untuk diubah atau mereka berdiri di luar RI. Artinya, Pancasila pada 18 Agustus ini ialah model tindakan komunikatif yang dikatakan oleh Habermas. Kedua, ketika dilihat efeknya hingga saat ini, kesepakatan pada 18 Agustus bukan merupakan akhir dari kesepakatan.
Kejadian-kejadian berulang seperti
perubahan UUD, masalah sosial keagamaan, dan bahkan satu dekade yang lalu ada amandemen UUD yang mengubah pasal terkait dalam perdebatan pada masa sidang BPUPKI-PPKI, yaitu pasal mengenai presiden.
Penulis ingin menjelaskan bahwa
kesepakatan Pancasila terus mengalami perubahan. Kesepakatan rancangan Pembukaan UUD dan pasal-pasalnya pada 16 Juli yang hendak disahkan pada 18 Agustus mengalami perubahan. Apa penyebabnya mengenai hal ini dan apakah kaitan teori Habermas dengan perubahan-perubahan ini?
Apakah bangsa Indonesia belum
mencapai model mayarakat yang komunikatif dengan beberapa konsensus-konsensus yang dimilikinya? Apakah alasan nasionalisme tidak cukup kuat untuk menjelaskan konsensus-konsensus tersebut? Analisa penulis tidak dapat dilepaskan dari hasil Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (kompromi pertama), kesepakatan terhadap Rancangan Pembukaan UUD dan pasalpasalnya pada 16 Juli 1945 (kompromi kedua), dan pengesahan Pembukaan UUD dan
127
pasal-pasalnya pada 18 Agustus. Menurut teori Habermas yang menjadi dasar kajian penulis, perubahan-perubahan dan perundingan-perundingan di dalamnya merupakan upaya-upaya pendiri negara untuk membentuk suatu konsensus atau kesepakatan yang komunikatif. Berbagai alasan diajukan untuk mencapai suatu titik temu supaya hidup berbangsa dan bernegara dapat adil, setara, dan sejahtera sosial. Melalui perjalanan historis ini apakah Pancasila pada 18 Agustus telah menemukan formulanya yang tepat, yang sesuai dengan Habermas sebagai model tindakan komunikatif? Ternyata masih belum. Ada beberapa pertimbangan yang mengacu pada problematik ini.
Jikalau
diperhatikan secara mendalam, proses perubahan Pancasila pada 18 Agustus tidak memakan banyak waktu seperti pada perundingan-perundingan sebelumnya. Penulis menjelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya kalau hal ini didasarkan pada alasan nasionalisme yang kuat dari para pendiri negara. Namun, akan menjadi lain artinya ketika alasan nasionalisme ini diperhadapkan dengan situasi pada saat itu yang sangat mendesak untuk mengesahkan UUD bagi bangsa Indonesia Merdeka. Bahkan, akan menjadi lebih lain lagi ketika perwakilan golongan Islam yang diajak berunding oleh Hatta menjelang rapat PPKI pada 18 Agustus bukan perwakilan Islam yang menyusun Piagam Jakarta. Tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan pada saat itu memang benarbenar karena alasan nasionalisme ketika memperhatikan sejenak pernyataan Hatta kepada perwakilan Islam yang diajak berunding, sehingga dalam kurun waktu 5-10 menit dapat menghasilkan kesepakatan kecil. Pernyataan ini sangat didukung oleh pernyataan asli Hatta di dalam buku Otobiografinya dan oleh karenanya penulis berani mengangkat ini ke permukaan bab ini. 128
Tidak menutup kemungkinan juga ketika yang diajak berunding pada saat itu ialah lima orang perwakilan golongan Islam pada panitia sembilan, maka hasilnya akan berbeda. Namun, pada tataran sosial Pancasila 18 Agustus ini telah memenuhi syaratsyarat klaim kesahihan Habermas untuk menjadi masyarakat komunikatif. Apa artinya ini? Secara sosiologis para pendiri negara telah mencapai konsensus untuk mendirikan suatu negara. Akan tetapi, perdebatan religius – yang berkaitan dengan keyakinan agama – belum selesai hingga kini. Bahkan lebih prolematik lagi bahwa kehidupan religius ini membawa pengaruh kuat kepada kehidupan sosial rakyat Indonesia sebagian besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sering dirundung oleh berbagai masalah sosial-keagamaan yang tidak kunjungi selesai.
Tentunya dengan sadar bahwa
kesepakatan tentang keyakinan agama pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara belum tuntas. Kaitannya dengan ini bahwa bangsa Indonesia belum selesai mencapai kesepakatan atau konsensus. Tawaran model masyarakat komunikatif Habermas berhasil pada tataran rasional-sosiologis.
Akan tetapi pada tataran religius-sosiologi (sosial-keagamaan),
konsep masyarakat komunikatif Habermas belum menyentuh titik itu.
Tindakan
rasional memang sebagian besar dimiliki oleh kebudayaan Barat sehingga upaya pencapaian kesepakatan yang hanya berdasarkan pada titik rasional-sosiologis merupakan konsensus.
Sungguh berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat Indonesia, yang tidak hanya membutuhkan sisi rasional-sosiologis dalam mencapai konsensus, melainkan juga harus dalam tataran religius-sosiologi. Dalam pengamatan penulis Pancasila 18 Agustus 1945 dapat dijadikan konsensus (tanpa perubahan lagi) ketika melihat kenyataan Pancasila ini sebagai
129
kenyataan keyakinan agama. Penulis mencoba mengkajinya dari konsep masyarakat Durkheim: C. Adakah Nilai Kesakralan dalam Pancasila? Perundingan hebat antar permasalahan kedua golongan dalam sidang BPUPKI cukup banyak menyita pikiran dan waktu para pendiri negara. Maksud kalimat penulis ini tidak lain dari pengakuan penulis bahwa sosok Tuhan (red: agama) menempati skala prioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Merdeka. Soekarno dalam pidato 1 Juni-nya menyadari bahwa rakyat Indonesia memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing, oleh karenanya prinsip Ke-Tuhanan yang ia usung merupakan pertanda bahwa setiap agama memperoleh tempat dalam kenyataan berbangsa dan bernegara. Fakta dalam perundingan mengenai perdebatan paham kedua golongan merupakan kenyataan sosial bangsa Indonesia. Hal ini sangat disadari oleh para pendiri negara bahwa kemerdekaan yang diperoleh ialah “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”. Pada awal Piagam Jakarta, kalimat ini ada dalam preambule yang disepakati oleh peserta sidang. Kemudian, pada rapat terakhir PPKI mengenai preambule ini juga terdapat kalimat ini. Menurut kacamata Durkheim, proses persidangan BPUPKI-PPKI ini merupakan proses terjadinya masyarakat yang akan disepakati. Individu-individu bersepakat di dalamnya untuk mencapai suatu tujuan yang hanya bisa dilakukan oleh masyarakat, bukan per-individu.
Oleh karena itu, masing-masing individu bersedia untuk
mengikatkan dirinya menjadi satu masyarakat. mereka mengikatkan diri menjadi satu masyarakat?
130
Lantas, apakah tujuan atau alasan
Melalui analisa penulis di atas, begitu banyak macam alasan dan tujuan mereka. Masing-masing alasan mereka membawa tujuan mereka per individu, dan memang ada tujuan per individu yang merupakan bagian dari tujuan bersama. Kesepakatan para pendiri negara berujung pada Piagam Jakarta.
Inilah model masyarakat yang siap
dijalankan oleh bangsa Indonesia ke depannya. Perdebatan panjang dilalui bersama demi menemukan sebuah persetujuan.
Kaitannya dengan persetujuannya ini ada
baiknya memberangkatkan kajian ini mulai dari dorongan awal para pendiri negara. Dorongan awal pendiri negara ada dalam ajuan kompromi Soekarno pada 16 Juli 1945. Soekarno meletakkan kompromi itu di dasar pengalaman bersama dan tujuan bersama, yaitu Indonesia Merdeka dengan bersatu.
Para peserta sidang golongan
keagamaan menerima usulan Soekarno dengan menciptakan jalan tengah, menurut Soekarno, yang memberi sedikit keistimewaan kepada mereka karena pertimbangan mayoritas penduduk.
Para peserta golongan kebangsaan pun menerima usulan
Soekarno karena inilah rupa-rupa jalan tengah tersebut, dalam hal ini Soekarno mengakui kalau ini merupakan pengorbanan yang sehebat-hebatnya (red: pengorbanan yang sangat besar). Kesepakatan ini akan menjadi persetujuan yang dimufakatkan. Dorongan bersatu menjadi satu masyarakat, yaitu masyarakat Indonesia Merdeka. Seiring berjalannya waktu, akan sah-lah bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang merdeka. Tepatnya 17 Agustus 1945 akan segera diproklamasikan kemerdekaan sebagai tanda sah bangsa ini menjadi bangsa Indonesia yang merdeka, menjadi satu masyarakat secara kenyataan pengakuan dunia. Keesokan harinya, 18 Agustus, bangsa Indonesia Merdeka siap menjadi satu masyarakat yang sama-sama terikat dan mempunyai tanggung jawab secara hukum dan sosial melalui pengesahan UUD sebagai landasan berbangsa dan bernegara. 131
Namun, sesuatu telah terjadi kepada bangsa yang ingin men-sah-kan keberadaannya ini di dalam landasan bersama.
Sore hari setelah proklamasi
kemerdekaan datang informasi mengenai keberatan masyarakat Indonesia Timur terhadap pengistimewaan salah satu kelompok agama di dalam Undang-undang Dasar Negara.
Hatta yang mendapat informasi tersebut dengan sigap keesokan harinya
mengajak beberapa peserta dari pewakilan golongan Islam. Perundingan mereka tidak memakan waktu begitu lama dan akhirnya mereka sepakat untuk menerima keberatan tersebut atas dasar supaya bangsa jangan pecah sebagai bangsa (persatuan dan kesatuan). Keberatan itu disampaikan kepada forum sehingga oleh karenanya diambil keputusan untuk menerima keberatan tersebut dengan menghapuskan ketujuh kata dan mengenai pernyataan tentang presiden.
Pancasila yang disepakati menjadi seperti
demikian: Ke-Tuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
1. 2. 3. 4.
dan pasal 6 ayat 1: “Presiden Indonesia ialah orang Indonesia Asli”. Kemudian, diajukan lagi usul oleh I Gusti Ktut Pudja bahwa kata “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” menjadi “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”. Usul ini pun diterima oleh peserta sidang. Perubahan-perubahan ini diterima oleh para pendiri negara tanpa pemungutan suara, melainkan dengan MUFAKAT. Kemudian disahkan menjadi Undang-undang Dasar rakyat Indonesia bersama.
132
Dalam pandangan Durkheim bahwa kenyataan bangsa ini telah menjadi suatu masyarakat ialah ditanggalkannya seluruh kepentingan-kepentingan pribadi menuju kepentingan bersama. Segalanya telah diatur secara seimbang (tidak berat sebelah) dalam aturan-aturan pasal UUD Negara. Tidak ada lagi mayoritas dan minoritas. Segala proses dalam persidangan ini sampai dengan disahkannya menjadi kesepakatan bersama, bagi Durkheim, bukanlah semata-mata diciptakan untuk kepuasan pribadi. Akan tetapi, hal ini telah menjadi sesuatu yang harus dihormati dan junjung tinggi.
Durkheim menyadari ada dorongan-dorongan dasariah dari masing-masing
individu untuk mencapai kesepakatan. Apakah dorongan itu? Itulah kekuatan yang mengontrol manusia itu sendiri. Kekuatan yang demikian jauh dari kajian saintifik manusia. Artinya kekuatan ini dipahami sebagai kekuatan eksternal yang turut ambil bagian di dalam diri manusia karena langsung bersentuhan dengan mental (mental state) dan kesadaran (states of consciouness) manusia. Di sinilah letak kesakralan pancasila sebagai kekuatan yang menyatukan. Golongan Islam sejak awal menyertakan paham Ke-Tuhanan dalam kesepakatan dasar negara Indonesia Merdeka, yang memilki arti bahwa kesadaran mereka atar penyertaan Allah ada dalam setiap usaha mereka sampai Indonesia Merdeka. Ketika paham Ke-Tuhanan diangkat menjadi satu bagian yang sakral dalam landasan dasar negara, ini disepakati secara mufakat oleh seluruh aliran baik itu agama dan kebangsaan. Artinya sama-sama sepakat bahwa ada campur tangan Tuhan dalam usaha manusia Indonesia untuk merdeka yang hadir melalui roh-roh persatuan dan kesatuan dalam diri masing-masing sampai disahkannya landasan dasar negara Indonesia Merdeka.
133
Dengan demikian, di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai sosiologis dan nilainilai religius. Pada aras sosial, bangsa Indonesia telah resmi menjadi suatu masyarakat dengan aturan-aturan normatifnya yang komunikatif.
Kenyataan sosial bangsa
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kesadaran terhadap kemajemukan.
Pada aras
religius seruan masyarakat Indonesia Timur ialah seruan ilahiah yang menyadarkan rakyat Indonesia tentang arti persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan yang membuka mata kepada keadilan dan kesetaraan. Alasan utama yang menjadi keberatan masyarakat Indonesia Timur pada saat itu – diskriminasi – seharusnya tetap menjadi musuh bangsa Indonesia selama negara ini menjunjung tinggi nilai-nilai kesatuan. Jika hal ini diingkari, tidak lain bahwa bangsa Indonesia telah menodai kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan samapai sekarang ini.
Bagaimana seorang umat yang mengaku percaya kepada
Tuhannya tapi tidak memelihara apa yang telah diberikanNya kepadanya?
134