BAB IV ANALISA
A. Hubungan Tujuh Macam Jalan Dalam Ibadah Menurut Imam AlGhazâlî dengan Tasawuf Imam Al-Ghazâlî telah menguraikan tujuh macam jalan ibadah yang harus dilalui oleh setiap orang, ketujuh jalan tersebut hanya bisa ditempuh dengan baik bila manusia bersikap sabar, tawakal dan beriman. Jalan ini cukup sulit dan berliku-liku. Banyak yang jatuh hanya dalam tahap kedua atau ketiga dan seterusnya. Tujuh jalan ini seringkali ditempuh oleh kaum sufi, dan kaum sufi melintasi tahapan-tahapan ini dengan ikhlas. Karena itu, ketujuh jalan yang dikembangkan Al-Ghazâlî sangat berhubungan dengan tasawuf. Sebab tasawuf itu sangat memperhatikan ketujuh jalan tersebut. Hal ini dapat dijumpai pada beberapa tokoh sufi yang telah mampu melewati tujuh jalan itu. Ketujuh jalan ini lebih memfokuskan pada aspek ibadah. Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian, ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila hal ini dapat dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT. Ini berarti tidak akan terbuka peluang bagi penyimpangan-penyimpangan yang dapat merusak pengabdian kepada Allah SWT. Penyimpangan pengabdian berarti akan merusak diri manusia itu sendiri, bukan merusak dan berakibat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, beribadah atau tidaknya manusia kepada-Nya tidaklah manusia dapat mengurangi keagungan dan kebesaran Allah SWT sebagai Rabb (Pemelihara) bagi semesta. Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdikan diri kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti
73
74
pengakuannya sebagai seorang muslim diragukan dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi syari'at tentang kewajiban pengabdian kepada Allah SWT, sebab ia adalah wujud yang kreatif yang telah menciptakan manusia serta alam. Sebagai Rabb bagi manusia Allah SWT tidak membebankan kewajiban beribadah di luar batas kemampuan manusia itu sendiri. Melaksanakan perintah Allah SWT itu saja telah bernilai ibadah, sebab tidak satupun anjuran dan perintah-Nya yang tidak bernilai ibadah. Demikian juga dengan larangan-larangan-Nya; jika manusia mematuhinya, maka semuanya mempunyai nilai ibadah. Bahkan, menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT bernilai ibadah. Tujuan ibadah dalam Islam bukan sejenis perbuatan magis, yang bermaksud mengundang campur tangan adikodrati di dunia yang terikat dengan hukum kausalitas (sebab akibat). Ibadah juga bukan pemujaan yang mengandung maksud berlebihan dengan mengharapkan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Tetapi ibadah merupakan pengabdian dan dedikasi terhadap semangat hidup yang bertujuan untuk mendapatkan keridaan Allah SWT karena Allah SWT-lah yang telah menciptakan dan memberi kehidupan kepada manusia dan makhluk lainnya. Manusia yang mampu menjadikan semua aktifitas dirinya untuk mendapatkan rida Allah SWT berarti melakukan suatu amal ibadah yang amat besar artinya dalam mencapai tujuan hidup yang telah ditetapkan Allah SWT. Yang dimaksud aktifitas di sini ialah semua bentuk usaha yang dilakukannya, baik itu bidang pertanian, perdagangan, sebagai buruh, sebagai pengusaha, jihad menegakkan agama Islam, menuntut ilmu pengetahuan, berdakwah meningkatkan penghayatan dan pengamalan agama, dan berbagai usaha lainnya. Semuanya akan menjadi ibadah bila dilandasi dengan niat mencari keridaan Allah SWT dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan-peraturan Allah SWT. Allah SWT berfirman
75
ﺒ ﹰﺔﻴﺎ ﹰﺓ ﹶﻃﺣﻴ ﻨﻪﻴﺤِﻴ ﻦ ﹶﻓﹶﻠﻨ ﺆ ِﻣ ﻣ ﻮ ﻭﻫ ﻭ ﺃﹸﻧﺜﹶﻰ ﻦ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮ ﹶﺃﺎﻟِﺤﹰﺎ ﻣﻋ ِﻤ ﹶﻞ ﺻ ﻦ ﻣ ﻤﻠﹸﻮﻥ ﻌ ﻳ ﻮﹾﺍﺎ ﻛﹶﺎﻧﺴ ِﻦ ﻣ ﺣ ﻢ ِﺑﹶﺄﺮﻫ ﺟ ﻢ ﹶﺃ ﻨﻬﻳﺠ ِﺰ ﻨﻭﹶﻟ Artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (QS.16:97). Manusia yang mempunyai pandangan hidup bahwa semua aktifitasnya diarahkan pada amal saleh berarti memandang materi atau harta benda, pangkat, jabatan, dan lainnya sebagai alat untuk mencapai tujuan hidupnya yang diridai Allah SWT. Sikap yang demikian sangat terpuji di sisi Allah SWT karena ia telah mengikuti jalan yang baik yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada umat manusia yang beramal saleh. Hal ini seperti firman Allah SWT
ﺴﻨِﲔ ِﺤ ﻤ ﻊ ﺍﹾﻟ ﻤ ﻪ ﹶﻟ ﻭِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺎﺒﹶﻠﻨﺳ ﻢ ﻨﻬﻳﻬ ِﺪ ﻨﺎ ﹶﻟﻭﺍ ﻓِﻴﻨﻫﺪ ﺎﻦ ﺟ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻭ Artinya; "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik" (QS.29: 69). Jadi jelas bahwa semua bentuk aktivitas dan kreativitas manusia dapat dikategorikan sebagai amal saleh. Yang dimaksudkan amal saleh di sini adalah seluruh aktivitas hidup manusia yang dilandasi niat karena Allah SWT (ikhlas) dalam rangka mencapai keridaan-Nya. Semua ini dilaksanakan berdasarkan aturan Allah SWT, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT (hablun min Allah), antarmanusia (hablun min an-nas), maupun hubungan dengan alam (hablun min al-alam) dalam suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan sesama manusia secara luas disebut muamalah, yaitu segala kegiatan yang dilakukan pribadi maupun secara bersama dengan maksud untuk memperoleh kemaslahatan bersama serta menghindari kemudaratan. Dalam Islam dibedakan antara ibadah dan muamalah, tetapi keduanya tidak mungkin
76
dipisahkan. Ibadah dan muamalah terjalin dalam satu kesatuan yang utuh; yang menjalin adalah niat keikhlasan mencari rida Allah SWT, sehingga semua bentuk aktivitas muamalah akan menjadi ibadah 'ammah. Ibadah khassah dan ibadah 'ammah dapat diterima oleh Allah SWT, jika keduanya dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT dalam nas Al-Qur'an dan hadis sebagai dasarnya. Adapun ketentuan itu, antara lain adalah ikhlas dan sah. Ikhlas adalah ibadah yang dilaksanakan atas dasar karena Allah SWT. Adapun sah artinya amal ibadah yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syarak (hukum Islam atau memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Ibadah khassah yang telah ditentukan bentuk dan tata cara pelaksanaannya memerlukan adanya pemenuhan ketentuan tersebut.1 Dalam pengertiannya yang lebih khusus, "ibadah", sebagaimana juga umumnya dipahami dalam masyarakat, menunjuk kepada amal perbuatan tertentu yang secara khas bersifat keagamaan. Dari sudut ini, kadang-kadang
juga
digunakan
istilah
ubudiyah
(ubudiyyah),
yang
pengertiannya mirip dengan kata-kata ritus atau ritual dalam bahasan ilmuilmu sosial. Sesuatu yang amat penting untuk diingat mengenai ibadah atau ubudiyah ini ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang harus hanya mengikuti petunjuk agama dengan referensi kepada sumbersumber suci (Kitab dan Sunnah), tanpa sedikit pun hak bagi seseorang untuk menciptakan
sendiri
cara
dan
pola
mengerjakannya.
Justru
suatu
"kreasi","penambahan" atau "inovasi" di bidang ibadah dalam pengertian khusus ini akan tergolong sebagai penyimpangan keagamaan (bid'ah, heresy) yang terlarang keras.2 1
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 144. 2 Inilah makna kaedah dalam ilmu Ushul al-Fiqh bahwa pada prinsipnya ibadah itu terlarang, kecuali yang telah ditetapkan oleh agama (sehingga, misalnya, dengan adanya ketetapan itu suatu bentuk ibadah menjadi wajib atau sunnat dengan beberapa variasi seperti wajib 'ayn, wajib kifayah, sunnat mu'akkadah, dan lain-lain). Yang dimaksud dengan "terlarang" dalam kaedah itu ialah tidak dibenarkannya seseorang "menciptakan" sendiri bentuk dan cara suatu ibadah, sebab hal itu merupakan hak prerogatif Allah yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), hlm. 25-29
77
Telah diketahui bahwa ibadah dalam pengertian khas inilah yang menjadi salah satu bagian dari ilmu Fiqh bersama dengan mu'amalat.3 Berkenaan dengan hubungan antara ibadah dan iman, Kitab Suci sendiri juga selalu berbicara tentang "iman" dan "amal saleh," dua serangkai nilai yang harus dipunyai oleh manusia. Tetapi, dalam penelaahan lebih lanjut, pertanyaan itu bisa menimbulkan berbagai problema. Pertama, dalam kenyataan historis tidak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus-ritus. Bahkan pandangan hidup yang tidak berpretensi relijiositas sama sekali, malahan berprogram menghapuskan agama seperti Komunisme, juga mempunyai sistem ritualnya sendiri. Melalui ritus-ritus itu, yang wujudnya bisa berupa sejak dari sekedar menunjukkan rasa hormat kepada lambang partai sampai kepada penghayatan dogmatis doktrin-doktrin dan ideologi partai, seorang komunis memperkukuh komitmen dan dedikasinya kepada anutan hidup dan cita-cita bersamanya. Demikian pula ajaran-ajaran kebatinan atau spiritualisme "nonformal" seperti yang ada pada gerakan teosofi semisal Masonry, juga mengintrodusir bentuk-bentuk ritual tertentu bagi para anggotanya. Sekurang-kurangnya tentu ada proses inisiasi keanggotaan, dalam bentuk upacara konfesi dan ucapan janji setia semisal bai'at. Maka, secara empiris, setiap sistem kepercayaan selalu melahirkan sistem ritual atau ibadahnya sendiri. Problema kedua, dari persoalan iman tanpa ibadah ialah bahwa iman, berbeda dari sistem ilmu atau filsafat yang hanya berdimensi rasionalitas, selalu memiliki dimensi suprarasional atau spiritual yang mengekspresikan diri dalam tindakan-tindakan kebaktian melalui sistem ibadah. Tindakantindakan kebaktian itu tidak hanya meninggalkan dampak memperkuat rasa kepercayaan dan memberi kesadaran lebih tinggi tentang implikasi iman dalam bidang perbuatan, tetapi juga menyediakan pengalaman keruhanian 3
Mu'amalat (kegiatan transaksi antara sesama manusia dalam masyarakat), munakahat (hal-hal berkenaan dengan masalah pernikahan), dan ,'uqubat atau jinayat (hal-hal berkenaan masalah penghukuman orang bersalah). Maka dalam perbandingannya terhadap ibadah itu, ilmu Ushul al-Fiqh menyebutkan sebuah kaedah bahwa suatu bentuk mu'amalat pada dasarnya diperbolehkan, kecuali jika terdapat ketentuan lain dari ajaran agama (sehingga karena ketentuan itu suatu bentuk mu'amalat menjadi haram, makruh, dan lain-lain).
78
yang tidak kecil artinya bagi rasa kebahagiaan. Pengalaman keruhanian itu misalnya ialah rasa kedekatan kepada sesembahan (Allah, Tuhan Yang Maha Esa) yang merupakan wujud makna dan tujuan hidup manusia. Problema ketiga, ialah bahwa memang benar yang penting adalah iman dan amal saleh, yaitu suatu rangkaian dari dua nilai yang salah satunya (iman) mendasari yang lain (amal saleh). Tetapi iman yang abstrak itu, untuk dapat melahirkan dorongan dalam diri seseorang ke arah perbuatan yang baik, haruslah memiliki kehangatan dan keakraban dalam jiwa seorang yang beriman, dan ini bisa diperoleh melalui kegiatan ubudiyah. Justru memahami bahwa wujud nyata hidup keagamaan selalu didapatkan dalam bentuk-bentuk kegiatan ubudiyah ini. Dari hal-hal di atas itu kiranya menjadi jelas bahwa sistem ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis sistem iman yang melahirkan aqidah, sistem ihsan yang melahirkan tasawuf dan sistem ibadah itu sendiri yang melahirkan fikih. Selanjutnya fikih menjadi obyek kajian syariah. Jika tidak dikehendaki iman menjadi sekedar rumusan-rumusan abstrak, tanpa kemampuan memberi dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yang sejati, maka keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadahan sebagai ekspresi perhambaan seseorang kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yaitu Tuhan. Persoalan di atas dapat dikembangkan menjadi pokok pembicaraan tentang kedudukan ibadah sebagai institusi iman, atau institusi yang menengahi antara iman dan konsekuensinya, yaitu amal-perbuatan. Sebagai sikap batin, iman atau keimanan bisa berada pada tingkat keabstrakan yang sangat tinggi, yang sulit ditangkap hubungannya dengan perilaku nyata sehari-hari. Semua agama samawi, menekankan keselamatan melalui iman. Tekanan itu terutama terdapat pada agama-agama Ibrahimi (Abrahamic religions, karena dari segi pokok-pokok ajaran bernenek moyang kepada ajaran Nabi Ibrahim a.s. dari sekitar abad XVIII S.M.) yaitu agamaagama Yahudi, Kristen dan Islam. Tetapi agama-agama itu juga sangat menekankan adanya keterkaitan atau konsekuensi langsung antara iman dan
79
amal atau perbuatan nyata manusia. Maka bagi agama-agama samawi itu Tuhan tidak dipahami sebagai yang bersemayam pada benda-benda (totemisme) atau upacara-upacara (sakramentalisme) seperti pada beberapa agama lain, tetapi sebagai yang mengatasi alam dan sekaligus menuntut pada manusia untuk menjalani hidupnya mengikuti jalan tertentu yang ukurannya ialah kebaikan seluruh anggota masyarakat manusia sendiri. Dengan kata-kata lain, di samping bersifat serba transendental dan mahatinggi, menurut persepsi agama-agama samawi Tuhan juga bersifat etikal, dalam arti bahwa Dia menghendaki pada manusia tingkah laku yang akhlaqi atau etis, bermoral. Maka menengahi antara iman yang abstrak dan tingkah laku atau amalperbuatan yang konkret itu ialah ibadah-ibadah. Seolah-olah suatu kongkretisasi rasa keimanan, ibadah mengandung makna intrinsik sebagai pendekatan kepada Tuhan (taqarrub). Dalam ibadah itu seorang hamba Tuhan atau 'abd Allah merasakan kehampiran spiritual kepada Khalik-Nya. Pengalaman keruhanian ini sendiri merupakan sesuatu yang dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau relijiositas, yang dalam pandangan mistis seperti pada kalangan kaum sufi memiliki tingkat keabsahan yang tertinggi. (Bahkan kaum sufi itu cenderung melihat bahwa rasa keagamaan harus selalu berdimensi esoteris (batiniah), dengan penegasan bahwa setiap tingkah laku eksoteris (lahiriah) absah hanya jika menghantar seseorang kepada pengalaman esoteris (batiniah) ini. Dari sini tampak hubungan erat antara ibadah dengan tasawuf. Demikian pula bila tujuh macam jalan dalam ibadah menurut Imam AlGhazâlî dihubungkan dengan tasawuf maka konsep pemikiran Al-Ghazâlî sangat erat hubungannya dengan tasawuf. Dikatakan demikian, karena tujuh jalan ibadah yang dikembangkan Al-Ghazâlî merupakan jalan yang ditempuh oleh para sufi. Sebagai contohnya yaitu konsep taubat yang dikembangkan dalam kitab Minhâj al-‘Âbidîn adalah merupakan salah satu maqam (tahap atau stasiun) yang harus dilalui seorang sufi. Al-Ghazâlî dalam kitab Minhâj al-‘Âbidîn telah memberi penerangan yang cukup jelas dan merupakan proses ibadah menuju surga. Dia
80
menguraikan tentang tujuh jalan yang merintangi ibadah, ia mulai dengan istilah (1) ‘aqabah al-ilmi wa al ma'rifat; (2) ‘aqabah at-taubah; (3) ‘aqabah ‘awa'iq; (4) ‘aqabah ‘awârid; (5) ‘aqabah bawâ'is; (6) ‘aqabah qowâdih; (7) ‘aqabah al-hamdi wa-as syukri.4 Dalam konteksnya dengan ‘aqabah pertama, ilmu dan ibadah merupakan bagian yang penting dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tanpa ilmu maka ibadah bisa menjadi keliru, sebaliknya ilmu tanpa ibadah akan menjadi sia-sia. Karenanya keduanya harus dijalankan dan dipahami secara baik. Namun demikian ilmu sangat penting untuk menerangi cara ibadah yang benar dan diridhai Tuhan. Selain ilmu dan ibadah, maka yang lainnya merupakan perkara yang pasti hilang, rusak, tidak ada kebaikannya, kosong dan tidak ada faedahnya (faedah yang kekal). Ilmu itu lebih mulia dan lebih utama daripada ibadah. Meskipun demikian, manusia harus beribadah, selain berilmu. Jika ia tidak mau beribadah, maka ilmunya sama dengan debu yang bertaburan. Sebab, kedudukan ilmu bagaikan pohon, sedangkan ibadah bagaikan buah pohon tersebut Kemuliaan tentu menjadi milik pohon, karena pohon merupakan asal, tetapi pohon itu tidak ada gunanya kalau tanpa buah. Bila demikian jelaslah bahwa hamba tidak bisa lepas dart ilmu dan ibadah. Dalam konteksnya dengan tobat, bahwa tobat mempunyai sejumlah hikmah, di antaranya: agar memudahkan melakukan ta'at (ibadah) kepada Allah. Sebab, buruknya dosa itu dapat mengakibatkan terhalangnya ta'at dari diri seseorang dan bisa menimbulkan kehinaan (tidak bisa mendekat kepada Allah). Dosa yang menjerat manusia bisa menghalangi ibadah. Karena, beratnya dosa dapat mencegah ringannya diri untuk melakukan kebaikan dan gairah berbakti kepada Allah. Al-Ghazâlî sangat menyadari bahwa ketujuh jalan yang merintangi ibadah ini memerlukan proses waktu dan tidak mudah melewatinya. Itulah sebabnya Al-Ghazâlî mengatakan:
4
Imam Al-Ghazâlî, Minhâj al-Â'bidîn, (Beirut: Dar-al-Fikri, tth), hlm. 3-5
81
Kemudian aku melihat tentang ibadah ini dan menelusuri jalanjalannya, sejak permulaan hingga akhir tujuan yang menjadi harapan para penempuhnya. Ternyata, jalan ibadah adalah jalan yang rumpil, jalan yang sulit dilalui karena banyak tanjakannya, bersangatan kepayahannya, jauh jaraknya, besar marabahayanya, tidak sedikit rintangan dan halangannya, terkepung kebinasaan dan penuh penghadang, banyak musuh dan penjegal, sedikit sekali teman dan pengikutnya.5 Apabila tujuh jalan yang merintangi ibadah itu bisa dilampaui dengan baik maka orang bisa menjauhkan diri dari maksiat dan pada gilirannya ia akan merasakan manisnya ibadah. Ketujuh jalan ini merupakan bagian yang sudah lazim harus ditempuh oleh seorang calon sufi dan pada umumnya jalan ini sangat sukar dan mudah terjatuh, hal ini sebagaimana dikatakan Harun Nasution, " jalan yang harus dilalui seorang sufi itu sulit, dan untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun yang lain, itu menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat. Terkadang seorang calon sufi harus bertahuntahun tinggal dalam satu stasiun".6 Berdasarkan keterangan diatas jelaslah bahwa tujuh jalan yang harus ditempuh seorang hamba dalam kitab Minhâj al-‘Âbidîn merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan seorang sufi. Dari sini tampak bahwa tujuh jalan tersebut ada hubungannya dengan tasawuf. B. Implikasi Pemikiran Al-Ghazâlî di Abad Modern Kajian-kajian mendalam tentang khazanah intelektual Islam, tidak akan pernah meninggalkan kontribusi Al-Ghazâlî dalam pemikiran Islam berikut pengaruhnya yang luar biasa terhadap praktik keagamaan di dunia Islam. Tetapi, di tengah-tengah kebesaran Al-Ghazâlî dengan para pendukungnya juga tidak sepi dari para pengkritiknya yang kontra atas pandangan pemikiran Al-Ghazâlî, baik dari ulama Salaf maupun Khalaf. Sebagai seorang ulama yang menguasai bidang Ushul Fiqih, fiqih, llmu Kalam, Sosiologi, Psikologi, Metatisika dan Fisika, menempatkan dirinya sebagai ulama Ensiklopedis yang tak tertandingi. Apalagi prestasinya dalam 5
Ibid, hlm. 2 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 61 6
82
menenggelamkan pemikiran kefilsafatan, semakin mengukuhkan bahwa AlGhazâlî adalah filosuf besar. Prestasi itulah yang memahkotainya sebagai Mujtahid dan Mujaddid abad ke-5 Hijriyah. Kedudukan Al-Ghazâlî di kalangan ummat Islam bukan sekadar karena kehebatan dan kebesaran karya ilmiahnya, atau karena usahanya untuk membendung bahaya aliran kebatinan dan perang pemikiran terhadap fllsafat Yunani. Juga bukan karena keberhasilannya memukul berhala besar dengan pukulan yang gemanya terdengar di Timur dan Barat. Bukan karena hal itu saja, tetapi kedudukannya semakin tinggi justru karena cahaya ruhaniyah dan pengaruh perasaannya yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Di mana cahaya ruhaniyah ini meninggalkan pengaruh di seluruh kalangan ummat Islam sepanjang abad hingga sekarang. Sebelum Al-Ghazâlî telah ada imam-imam besar seperti gurunya, yakni Imamul Haramain, guru dari sang guru, yaitu al-Qadhi al-Baqillani, guru al-Baqillani, Abul Hasan al-Asy'ari. Semuanya adalah Imam pemberi petunjuk dan pelita di dalam kegelapan. Akan tetapi, pengaruh mereka terbatas pada kalangan orang-orang pandai saja, tidak menyentuh kepada seluruh ummat Islam secara umum, yang berhasil dipengaruhi oleh Al-Ghazâlî yang telah belajar dari gurunya dan menyebarkan ilmu serta pemikiran mereka. Apa rahasianya, sehingga pengaruh Al-Ghazâlî meliputi seluruh dunia Islam dan memanjang beberapa abad hingga sekarang? Bahkan pengaruh ini menyentuh bidang akidah, pemikiran, akhlak dan amal? Mungkin bisa dikatakan bahwa hal itu disebabkan oleh keindahan dan kejelasan argumentasi Al-Ghazâlî. Kejelasan ini tercermin dalam kemampuan bahasanya untuk menyederhanakan masalah yang rumit agar dapat diterima akal, dengan menggunakan keterangan bagus, menuangkan contoh-contoh dan menyusun tulisan yang menunjukkan kemahiran seorang guru dan semangat seorang dai. Karena kemahirannya itulah Al-Ghazâlî mendapat gelar "Guru Semua Manusia". Boleh jadi ada yang mengatakan, pengaruh Al-Ghazâlî disebabkan intelektualitasnya yang mampu menangkap ilmu-ilmu rasional dan syariat
83
yang berkembang saat itu, kemudian dikunyah, diserap dan dari berbagai ilmu itu disajikan mana yang bermanfaat dan segar bagi konsumennya. Barangkali ada yang mengatakan, kemasyhurannya di dunia ilmu dan pemikiran, kemudian di bidang pengembangan ruhani, telah membuka cakrawala akal dan hati manusia, sehingga dapat menerima pengaruhnya, seperti sumber air tawar yang nikmat bagi yang dahaga. Ada yang mengatakan ini dan itu, sekitar sebab kemasyhuran Al-Ghazâlî. Semuanya itu benar. Akan tetapi di belakang kemasyhuran Al-Ghazâlî terdapat rahasia lain berupa keikhlasannya, sikap tawakalnya kepada Allah SWT dan sikap berjibaku mencari keridhaan Allah SWT dengan mengesampingkan hak-hak dirinya. Namun demikian sebagai manusia, menurut penulis bahwa Al-Ghazâlî tidak luput dari kekurangan yaitu bila seluruh pandangan dan pikirannya yang tertuang di antaranya dalam Kitabnya Minhâj al-‘Âbidîn, ternyata ada kekurangan yang bisa berdampak dengan kehidupan manusia modern saat ini. Kekurangannya adalah terletak pada ajaran tawakkal yang terlalu berlebihan. Itulah sebabnya Hamka mengkritiknya dengan mengatakan: Al-Ghazâlî sangat memperhatikan pembangunan akhlak. Besar jasanya membawa manusia kembali Tasawuf ke dalam lingkungan Sunnah. Tetapi, sebagai manusia besar, ada pula cacatnya. Perhatian AlGhazâlî lebih banyak tertuju kepada pembangunan Akhlak untuk kebersihan jiwa sendiri, dan untuk kemurnian jiwa sendiri. Perbanyak zikir, perbanyak puasa, jangan menoleh ke kiri dan ke kanan! Biar miskin, biar pakaian tidak diganti-ganti sampai satu tahun. Jangan perdulikan hari-hari dunia. Terimalah takdir Allah ta'ala dengan sabar, dan tahanlah menderita kelaliman raja-raja, karena itu adalah cobaan. Alhasil, apabila pelajaran Al-Ghazali dituruti keseluruhannya, yang akan terdapat ialah jiwa "nrimo", jiwa "mengalah" berbeda sangat dengan inti jiwa ajaran Muhammad SAW.7 Selanjutnya jika konsep Al-Ghazâlî tentang tujuh macam aqabah itu dicermati, maka tampaklah kepiawaiannya dalam membaca fenomena sosial, khususnya cara beribadah umat Islam. Al-Ghazâlî dengan analisis yang tajam telah menempatkan ilmu sebagai urutan pertama. Di sini memperlihatkan
7
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 229
84
kecermatan Al-Ghazâlî dalam melihat cara beribadah umat Islam yang tampaknya kurang dilapisi ilmu. Sehingga kenyataan menunjukkan masih banyak umat Islam yang keliru dalam mempraktekkan ibadah. Dengan menempatkan ilmu sebagai urutan pertama, maka implikasi pemikiran Al-Ghazâlî bisa diterima kalangan intelektual. Demikian pula dengan tujuh macam aqabah menimbulkan tanggapan umat Islam bahwa AlGhazâlî sangat dalam pandangan dan pengalaman individualnya. Kondisi ini telah memberikan implikasi diterimanya konsep Al-Ghazâlî di kalangan dunia pesantren. Itulah sebabnya karya-karya Al-Ghazâlî selalu menjadi prioritas bahasan hampir di semua pesantren.