Akad Produk Pembiayaan BAB IV AKAD PRODUK PEMBIAYAAN1
Ada empat prinsip yang biasa digunakan dalam pembiayaan di LKS, yaitu: prinsip bagi hasil, prinsip jual beli, prinsip sewa/upah, dan prinsip utang piutang. Berikut ini akan dijelaskan berbagai macam akad yang digunakan dalam produk pembiayaan dengan empat prinsip tersebut. 4.1. Prinsip Bagi Hasil 4.1.1.Musyarakah
4.1.1.1. Pengertian Syirkah dalam arti bahasa adalah: “Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.2 Pengertian syirkah dengan ikhtilath (percampuran) banyak ditemukan dalam literatur fiqh mazhab empat. Syirkah diartikan ikhtilath karena di dalamnya terjadi percampuran harta antara beberapa orang yang berserikat, dan harta tersebut kemudian menjadi satu kesatuan modal bersama. Adapun musyarakah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran. Syirkah adalah pembiayaan berdasar akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha (Sholihin, 2010).
4.1.1.2.Dasar Hukum Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan al-Qur‟an dan alHadits. Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara 1 2
Disusun oleh: KH. Kasmudi Ashshidiqi, SE., M.Akt dan Dr. H. Ardito Bhindai, M.Si Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islaamiy wa Adilatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm. 792.
Bab IV - 58
Akad Produk Pembiayaan implisit syirkah tersebut di bawah ini.
42
…
Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu niscaya berbuat aniaya sebagian mereka kepada sebagian, kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan kebaikan, dan mereka itu sedikit.
Dari Abu Hurairah, bersabda Nabi SAW: ”Sesungguhnya Alloh berfirman: ”Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang bersyirkah, selama tidak mengkhianati salah satu dari keduanya pada saudaranya. Maka ketika ia mengkhianati pada saudaranya, maka Aku keluar dari syirkah mereka berdua.”
Dari Abdullah bin Mas‟ud RA ia berkata: “Saya bersyirkah dengan „Ammar dan Sa‟ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa‟ad datang
Bab IV - 59
Akad Produk Pembiayaan
dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan „Ammar datang dengan tidak membawa apa-apa”. 4.1.1.3.Macam-Macam Syirkah Adapun jenis-jenis al-musyarakah ada dua, yaitu musyarakah kepemilikan (amlak) dan musyarakah akad (uqud). Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lain yang mengakibatkan kepemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset riil dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Jenis-jenis musyarakah akad adalah berikut ini.
4.1.1.3.1.Syirkah „Anan Adalah kontrak antara dua orang atau lebih di mana setiap pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi yang dibutuhkan dan ikut berpartisipasi dalam pengelolaannya. Kedua pihak berbagi pula dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana investasi maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Contoh: A dan B bersepakat untuk syirkah membuka warung pecel lele. A setor modal Rp 2 juta dan B setor modal Rp 3 juta. Keduanya ikut bekerja mengelola warung pecel lele tersebut. Hasil keuntungan/kerugiannya dibagi dengan nisbah A 40 persen dan B 60 persen.
Bab IV - 60
Akad Produk Pembiayaan
4.1.1.3.2.Syirkah Mufawadhah Adalah kontrak/kerjasama antara dua orang atau lebih di mana masingmasing pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama rata. Dengan demikian, syarat utama dari jenis ini adalah kesamaan jumlah dana investasi yang diberikan, kerja, tanggung jawab dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak. Contoh: A dan B bersepakat untuk syirkah membuka warung pecel lele. A setor modal Rp 2,5 juta dan B setor modal Rp 2,5 juta. Keduanya ikut bekerja mengelola warung pecel lele tersebut. Hasil keuntungan/kerugiannya dibagi dengan nisbah A 50 persen dan B 50 persen. Perbedaan dengan syirkah „anan selain terkait dengan porsi modal adalah dalam syirkah mufawadhah masing-masing memberikan hak perwakilan pada temannya untuk mewakili dia. A bekerja sebagai mewakili B dan B bekerja sebagai mewakili A. Jika salah satu atau kedua-duanya meninggal dunia, maka bisa dilimpahkan pada ahli warisnya.
4.1.1.3.3.Syirkah Abdan (A‟mal) Adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (a‟mal), tanpa kontribusi modal (Sholihin, 2010). Contoh: A dan B masing-masing adalah konsultan bisnis, masing-masing sepakat hasil usahanya sebagai konsultan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Pihak-pihak yang bersyirkah bisa jadi berlainan profesi atau keahlian. Hasil kerjanya dibagi sesuai dengan kesepakatan. Contoh lain: tiga orang bersyirkah dalam mengerjakan pesanan mebel. Ada yang memiliki keahlian membuat mebel, ada yang ahli mengukir, dan ada yang ahli mengecat. Hasil pekerjaannya dibagi bertiga.
Bab IV - 61
Akad Produk Pembiayaan
4.1.1.3.4.Syirkah Wujuh Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama melakukan kerja („amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan modal (maal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat (Sholihin, 2010). Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuanketentuan syirkah mudharabah padanya (An-Nabhani, 1990:154). Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah „abdan (An-Nabhani, 1990:154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (misalkan: seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (Penjelasan
Bab IV - 62
Akad Produk Pembiayaan mengenai macam-macam akad syirkah ada juga dalam hadis Sunan Nasa‟i Bab Syarikati „Anan baina tsalatsah....). 4.1.2. Mudharabah Di dalam pembiayaan bisa juga digunakan akad mudharabah. Mudharabah dalam pembiayaan ini adalah bentuk kerjasama dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung (profit sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung pemilik dana (jika disebabkan faktor-faktor di luar kelalaian dan kecerobohan pengelola dana). Pengelola menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, disebabkan
akan
ditanggung sendiri oleh si investor. Kecuali kerugian tersebut
kelalaian
atau
ketidakamanahan
pengelola, maka kerugiannya
ditanggung oleh pengelola (Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103; Abd. Al-Qadir, Fiqh al-Mudharabah, hal. 8-9; Abu Saud, Money, Interest and Qiradh, hal. 66). Contoh: Pak Saleh menyerahkan uang kepada pak Khalid sebesar 100 juta rupiah untuk dikembangkan dalam bentuk usaha jual-beli kurma dengan perjanjian pak Saleh mendapat rasio laba 70% dan pak Khalid selaku pihak pengelola mendapat rasio laba 30%. Kerugian sepenuhnya ditanggung pemberi modal (pak Saleh) dan pihak yang bekerja (pak
Khalid)
tidak
menanggung
kerugian modal, karena dia telah menanggung kerugian dalam bentuk kerja, kecuali ada unsur kesengajaan atau kelalaian dari pihak pak Khalid, maka dia menanggung kerugian sebanyak unsur kelalaian (Dr. Yusuf Al Subaily, “Fiqh
Bab IV - 63
Akad Produk Pembiayaan Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern”, Universitas Islam Imam Muhammad Saud, Riyadh, Arab Saudi).
Gambar 4.1. Mekanisme Pembiayaan Mudharabah Dalil-dalil yang berkaitan dengan mudharabah:
Dari „Ala bin Abdurrohman dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Utsman bin Affan menyerahkan hartanya sebagai modal, di mana kakeknya „Ala (Ya‟qub) bekerja mengelola harta, dan bahwa untungnya dibagi dua diantara mereka.
Bab IV - 64
Akad Produk Pembiayaan
Tiga hal di dalamnya ada kebarokahan, jual beli sistim jatuh tempo, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan syair untuk di rumah bukan untuk dijual.
Adalah Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib ketika menyerahkan hartanya sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah/jurang, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratannya dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Maka sampai persyaratan itu kepada Rasululah SAW, dan beliau memperbolehkannya.
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab, Aisyah, Ibnu Mas‟ud dan Ibnu Umar mereka berkata perdagangkanlah harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh zakat, maka
Bab IV - 65
Akad Produk Pembiayaan
para shahabat melakukan kerjasama mudharabah dengan harta bendanya anak yatim dan sungguh-sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: Gunakanlah untuk usaha harta anak yatim supaya tidak dimakan oleh zakat dan dia bersabda: supaya tidak dihilangkan oleh zakat (hadits ini kedudukannya mursal).
Dan Amr bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya dia berkata: Rasulullah SAW berkhutbah dan bersabda: ketahuilah barang siapa yang meramut harta anak yatim hendaknya diperdagangkan dan jangan sampai dibiarkan lantas dimakan oleh zakat. Atsar shahabat yang saya sebutkan dan yang semisalnya menunjukkan atas bolehnya kerjasama mudharabah dalam hal yang telah kami sebutkan dari ijma‟ para ulama‟ dan kesepakatan para fuqaha‟ / imam-imam ahli fatwa atas bolehnya kerjasama mudharabah sebagai hujjah yang cukup memuaskan insya Allah dan berdasarkan taufiq dari Allah.
4.2.Prinsip Jual Beli 4.2.1.Murabahah
Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha ( katanya rabiha (
( artinya beruntung atau tambahan )
( yang akar
(. Menurut fuqaha,
Bab IV - 66
Akad Produk Pembiayaan pengertian murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan yang diinginkannya. Misal, seseorang membeli sepeda motor Rp 12 juta termasuk biaya, pajak dan lain-lain. Pada waktu menjual sepeda motornya pada orang lain, ia menyebutkan harga pembelian ditambah dengan keuntungan yang ia inginkan sebesar Rp 2 juta, sehingga harga penjualan menjadi Rp 14 juta. Jual beli murabahah bisa dilakukan secara kontan maupun tempo (cicilan atau bai‟ bitsaman ajil). Pengertian murabahah dapat disimpulkan adalah akad yang dipergunakan dalam perjanjian jual beli barang dengan menyatakan harga pokok barang dan keuntungan (marjin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Lembaga Keuangan Syariah membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya, di mana LKS membeli barang yang diperlukan oleh nasabah atas nama LKS sendiri, kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah sebesar harga jual yaitu harga pokok barang ditambah keuntungan. Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan transaksi jual-beli murabahah:
472 Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dari Muhammad, tidak bahaya/tidak mengapa (menjual harga) sepuluh dengan sebelas, dan dia mengambil untung sebagai nafkah. Dan bersabda Nabi SAW
Bab IV - 67
Akad Produk Pembiayaan
kepada Hindun:” Mengambillah engkau pada apa-apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan sesuatu yang baik.”
Dari Hakim bin Hizam berkata ia, bersabda Rasululah SAW: ”Dua orang yang berjual beli itu berhak memilih selama keduanya belum berpisah”, atau beliau bersabda: ”Sehingga keduanya berpisah. ”Jika keduanya jujur dan terus-terang, maka
keduanya
mendapat
berkah
dalam
jual-belinya.
Jika
keduanya
menyembunyikan (cacad) dan berdusta maka dihapuslah berkah jual-belinya itu.
2
1 Lembaga Keuangan Syariah
Supplier Barang 3
Nasabah 4
Gambar 4.2. Mekanisme Pembiayaan Murabahah Keterangan: 1. Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan pembelian barang tertentu kepada LKS. 2. LKS membelikan barang sesuai dengan surat pengajuan permohonan nasabah kepada supllier barang. 3. Pemasok barang menjual barang yang dimaksud kepada LKS. 4. LKS menjual barang yang dimaksud kepada nasabah dengan mengambil margin keuntungan atas harga pembelian kepada nasabah.
Bab IV - 68
Akad Produk Pembiayaan Dalam memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah, LKS dapat mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang tersebut dari pihak ketiga untuk dan atas nama LKS, kemudian barang tersebut dijual kepada nasabah. Dalam hal ini akad murabahah baru dapat dilakukan setelah secara prinsip barang tersebut menjadi milik LKS. Pembayaran oleh nasabah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh (pada akhir periode atau secara angsuran) sesuai kesepakatan. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada LKS ditentukan berdasarkan kesepakatan LKS dan nasabah. LKS dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah. Uang muka adalah sejumlah uang yang diminta oleh LKS kepada nasabah sebagai tanda kesungguhan nasabah dalam transaksi murabahah. Pembayaran uang muka dilakukan sebelum transaksi murabahah terjadi. Pada prinsipnya uang muka adalah milik nasabah sehingga LKS tidak
boleh
mempergunakannya. Apabila transaksi murabahah jadi dilaksanakan, maka uang muka dipergunakan sebagai pengurang dari piutang murabahah. Apabila transaksi murabahah tidak jadi dilaksanakan (batal) maka uang muka harus dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi kerugian riil yang dialami oleh LKS sehubungan dengan pembatalan tersebut, dan apabila uang muka tidak mencukupi maka nasabah wajib membayar kekurangannya kepada LKS. Dalam pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah LKS dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai LKS. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan tidak berubah selama periode akad. Apabila LKS memperoleh potongan harga (diskon) dari pemasok sebelum terjadinya transaksi murabahah maka besarnya potongan harga (diskon) merupakan hak nasabah dan sebagai pengurang harga jual murabahah. Apabila LKS memperoleh potongan harga (diskon) dari pemasok setelah terjadinya transaksi murabahah maka pembagian potongan harga (diskon) dilakukan
Bab IV - 69
Akad Produk Pembiayaan berdasarkan kesepakatan antara LKS dan nasabah dan dituangkan dalam akad serta ditandatangani oleh kedua belah pihak. LKS dapat memberikan potongan pelunasan dalam transaksi murabahah: a. bagi nasabah yang telah melakukan pelunasan piutang murabahah secara tepat waktu; atau b. bagi nasabah yang melakukan pelunasan piutang murabahah lebih cepat dari waktu yang telah disepakati. LKS dapat memberikan potongan tagihan murabahah (al-hashmu fi al-
murabahah) bagi: a. nasabah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu; b. nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran. Pengertian nasabah yang membayar cicilannya dengan tepat waktu adalah nasabah yang membayar cicilannya (pokok ditambah marjin) sesuai dengan jadwal yang telah disepakati di dalam akad. Pengertian nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar adalah nasabah yang usahanya mengalami penurunan karena business risk (risiko bisnis). Rukun Murabahah: 1. Penjual (
) yaitu pihak yang membeli barang dari pemasok dianalogikan
bank. 2. Pembeli (
) yaitu orang yang membutuhkan (membeli) barang
dianalogikan nasabah. 3. Barang yang akan diperjualbelikan (
) dan harga (
).
4. Akad. Ketentuan akad murabahah dalam Bank Syariah atau LKS: Bab IV - 70
Akad Produk Pembiayaan
Akad murabahah dilaksanakan setelah barang secara prinsip dimiliki oleh bank
Bank tidak boleh melakukan akad (menjual barang kepada nasabah), sementara barang tersebut belum dimiliki oleh bank.
Selama ini, bank syariah mencairkan dana setelah akad murabahah ditandatangani
Sekarang bank syariah harus mencairkan dana untuk membeli barang sebelum akad murabahah ditandatangani dengan nasabah.
4.2.3.Jual beli sistem pesanan
4.2.3.1.Salam Salam dan salaf mempunyai pengertian yang sama. Dalam kamus Al Mu‟jam Al Wasith disebutkan “as salaf” diartikan dengan “bai‟us-salam” yang artinya jual beli salam. Pengertian salaf atau istalafa: iqtaradha yang artinya berutang. Jual beli salam adalah akad yang digunakan dalam perjanjian jual beli barang dengan cara
pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih
dahulu secara penuh di muka. Lembaga Keuangan Syariah membeli barang dari
pemasok dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati di muka. Pembayaran harga oleh LKS kepada pemasok harus dilakukan secara penuh pada saat akad disepakati atau selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah akad disepakati. Pembayaran oleh nasabah kepada LKS tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya baik berupa uang, barang, atau manfaat sesuai dengan kesepakatan. Dalam rangka meyakinkan bahwa pemasok dapat menyerahkan barang sesuai kesepakatan maka LKS dapat meminta jaminan pihak kedua atau bentuk agunan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal pemasok menyerahkan barang kepada LKS dengan kualitas yang lebih tinggi maka pemasok tidak boleh meminta tambahan harga. Dalam hal pemasok menyerahkan barang kepada LKS dengan kualitas yang lebih rendah dan LKS bersedia menerima maka LKS tidak Bab IV - 71
Akad Produk Pembiayaan boleh meminta pengurangan harga atau diskon. Dalam hal pemasok menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati, kualitas dan jumlah barang yang diserahkan telah sesuai dengan kesepakatan, maka pemasok tidak boleh menuntut tambahan harga. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan
waktu
penyerahan
(baik
kualitas
atau
jumlahnya)
sebagaimana
kesepakatan maka LKS memiliki pilihan untuk: a. membatalkan (mem-fasakh-kan) akad dan meminta pengembalian dana hak LKS; b. menunggu penyerahan barang tersedia; c. meminta kepada pemasok untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula. Lembaga Keuangan Syariah sebagai pembeli dalam kontrak salam dapat membuat kontrak salam paralel dengan pihak lainnya, di mana LKS bertindak sebagai penjual. Kewajiban dan hak dalam kedua akad salam tersebut harus terpisah, sehingga pelaksanaan kewajiban salah satu salam tidak boleh tergantung pada akad salam lainnya. Dalam hal LKS sebagai penjual, tetap harus memenuhi kewajibannya kepada nasabah apabila pemasok tidak memenuhi kontrak salam. Semua ketentuan yang berlaku pada akad salam berlaku juga pada akad salam paralel. Secara hukum muamalah, salam merupakan akad yang dibolehkan meskipun obyeknya tidak ada di majelis akad, sebagai pengecualian dari persyaratan jual beli yang berkaitan dengan obyeknya harus ada di majelis akad. Dasar hukum dibolehkannya salam adalah:
484 Bab IV - 72
Akad Produk Pembiayaan
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hedaklah kamu menulisnya.... Dalam menafsirkan ayat di atas, Muhammad Ali As-Says mengatakan: “menurut kebanyakan ahli tafsir, jual beli itu ada empat macam, yaitu (1) jual beli barang dengan barang, (2) jual beli utang dengan utang. Kedua macam jual beli ini tidak termasuk dalam ayat di atas, (3) jual beli barang dengan utang, (4) jual beli utang dengan barang, dan ini yang disebut dengan salam. Kedua jenis jual beli yang terakhir ini termasuk ke dalam ayat di atas. Ibnu Abbas dalam atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi‟i, Thabrani, al-Hakim
dan
Baihaqi
mengatakan:
“saya
bersaksi
(meyakini)
bahwa
sesungguhnya salaf (salam) yang ditanggungkan (dijanjikan) untuk masa tertentu, sesungguhnya telah dihalalkan oleh Alloh di dalam kitab-Nya dan diizinkan untuk dilakukan”, kemudian beliau membaca al-Baqarah ayat 282. Dalam al-Hadits:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi SAW datang ke Madinah, dan mereka meminjamkan uang untuk pembelian kurma dua atau tiga tahun mendatang. Maka Nabi bersabda: ”Barangsiapa mengutangkan dalam sesuatu, hendaklah dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.”
Bab IV - 73
Akad Produk Pembiayaan
Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya jual beli itu berdasarkan saling ridla.
Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, perdamaian itu boleh diantara kaum muslimin,
kecuali
perdamaian
yang
mengharamkan
barang
halal
atau
menghalalkan barang haram. Orang-orang Islam itu tergantung persyaratan mereka kecuali syarat yang mengharamkan barang halal atau menghalalkan barang haram.
4.2.3.2.Istishna’ (
)
Istishna‟ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria tertentu antara pemesan (pembeli/
(pembuat/
) dan penjual
). Berdasarkan akad istishna‟ tersebut, penjual (produsen/
Bab IV - 74
Akad Produk Pembiayaan
wajib membuat
atau mengadakan barang
yang dipesan (
) sesuai
spesifikasi yang disyaratkan pembeli untuk kemudian diserahkan kepada pembeli pada waktu yang telah disepakati. Lembaga Keuangan Syariah menjual barang kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati. Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah. Uang muka adalah sejumlah uang yang diminta oleh LKS kepada nasabah sebagai tanda kesungguhan nasabah dalam transaksi istishna‟. Pembayaran uang muka dilakukan sebelum transaksi istishna‟ terjadi. Pada prinsipnya uang muka adalah milik nasabah sehingga LKS tidak boleh mempergunakannya. Apabila transaksi istishna‟
jadi dilaksanakan, maka uang
muka dipergunakan sebagai pengurang dari piutang istishna‟. Apabila transaksi istishna‟ tidak jadi dilaksanakan (batal) maka uang muka harus dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi kerugian riil yang dialami oleh LKS sehubungan dengan pembatalan tersebut, dan apabila uang muka tidak mencukupi maka nasabah wajib membayar kekurangannya kepada LKS. Pembayaran oleh nasabah kepada LKS tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya baik berupa uang, barang, atau manfaat sesuai dengan kesepakatan. Pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada LKS dapat dilakukan secara tunai ataupun secara angsuran atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu. Dalam hal LKS menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih tinggi maka LKS tidak boleh meminta tambahan harga. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan dan atau kualitas atau jumlahnya tidak sesuai kesepakatan maka nasabah memiliki pilihan untuk: a. membatalkan (mem-fasakh-kan) akad; b. menunggu penyerahan barang tersedia; atau
Bab IV - 75
Akad Produk Pembiayaan c. meminta kepada LKS untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis sesuai kesepakatan. Lembaga Keuangan Syariah sebagai penjual (shani‟) dalam kontrak istishna' dapat membuat kontrak istishna' paralel dengan pihak lainnya di mana LKS bertindak sebagai pembeli (mustashni‟). Kewajiban dan hak dalam kedua akad
istishna' tersebut harus terpisah, sehingga pelaksanaan kewajiban salah satu akad istishna' tidak boleh tergantung pada akad istishna' lainnya. Semua ketentuan yang berlaku pada akad istishna‟ berlaku juga pada akad istishna' paralel. 4.3.Prinsip Jasa/Sewa-Menyewa 4.3.1.Ijarah Sewa menyewa atau ijaarah berasal dari kata
„akraa yang artinya menyewakan;
upah; dan
yang sinonimnya
yang artinya ia memberinya
yang artinya memberinya pahala. Ali Fikri mengartikan ijaarah
menurut bahasa dengan
yang artinya sewa menyewa itu jual
beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq mengemukakan: ijaarah diambil dari kata yang artinya
dinamakan
(imbalan), dari pengertian ini pahala (
)
(upah/pahala). Ijarah adalah akad yang digunakan untuk transaksi
sewa menyewa suatu barang dan atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit Bab IV - 76
Akad Produk Pembiayaan mengenai akad ijarah adalah berikut ini.
٦: Maka jika telah menyusui mereka untuk (anak) kalian, maka hendaknya kalian memberikan kepada mereka upah mereka.
Dari Abu said al Khudri dan Abu Hurairah mereka berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa memperkerjakan pekerja, maka beritahukanlah upahnya .
Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering keringatnya
Bab IV - 77
Akad Produk Pembiayaan
Dari Sa‟id dia berkata: Bahwasanya kami menyewakan tanah dengan (bayaran) tanaman-tanaman yang ditanam di parit-parit dan tanaman-tanaman yang mendapatkan aliran air dari parit tersebut. Maka Rasululah SAW melarang pada kami dari demikian itu, dan beliau perintah pada kami agar menyewakan tanah dengan emas atau perak. Akad ijarah dapat digunakan untuk dua jenis transaksi yaitu: a. Akad ijarah untuk transaksi sewa-menyewa; b. Akad ijarah untuk transaksi multijasa. Di dalam praktek perbankan syariah di Indonesia pembiayaan ijarah ada ketentuan untuk transaksi sewa menyewa: 1) LKS dapat menyewakan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki LKS atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan; 2) Objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas nilai barang, jumlah pembayaran sewa dan jangka waktunya; 3) LKS wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan; 4) LKS wajib menanggung biaya pemeliharaan barang atau aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan; Bab IV - 78
Akad Produk Pembiayaan 5) LKS dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah; 6) Penyewa wajib membayar sewa secara tunai atau secara angsuran. Penyewa wajib menjaga dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewanya sesuai dengan kesepakatan; 7) Kerusakan barang yang disebabkan karena kejadian luar biasa tidak menjadi tanggungjawab penyewa. Penyewa bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewa akibat pelanggaran perjanjian atau kelalaiannya. Lebih jelasnya Fatwa DSN MUI No: 09/DSN-MUI/IV/2000 menetapkan antara lain: Pertama: Rukun dan syarat Ijaroh 1. Sighat Ijarah yaitu ijab dan qobul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak) baik secara verbal atau dalam bentuk lain. 2. Pihak-pihak yang berakad, terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa. 3. Obyek akad ijaroh; yaitu: a. Manfaat barang dan sewa; atau b. Manfaat jasa dan upah. Kedua: Ketentuan obyek ijarah: 1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa. 2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. 3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan). 4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah. 5. Manfaat barang atau jasa harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidakjelasan) yang akan mengakibatkan sengketa.
Bab IV - 79
Akad Produk Pembiayaan 6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik. 7. Sewa atau upah harus disepakati dalam akad dan wajib dibayar oleh penyewa/pengguna jasa kepada pemberi sewa/pemberi jasa (LKS) sebagai pembayaran manfaat atau jasa. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam ijarah. 8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak. 9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. Ketiga: kewajiban LKS dan dan nasabah dalam pembiayaan ijarah 1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa: a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan; b. Menanggung biaya pemeliharaan barang. c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan. 2.Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa: a. membayar sewa atau upah dan bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak); b. menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil); c. jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Bab IV - 80
Akad Produk Pembiayaan Ketentuan Syariah Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) 1) LKS dan nasabah yang melakukan
(sewa menyewa
yang berakhir dengan kepemilikan) harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. 2) LKS sesuai kesepakatan dapat memberikan opsi pengalihan kepemilikan barang atau aset sewa kepada nasabah yang merupakan janji (
) yang
mengikat LKS dan harus dituangkan dalam akad ijarah. 3) LKS dapat mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah berdasarkan hibah, hadiah, atau pembayaran harga sisa barang pada akhir periode perjanjian sewa dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad yang terpisah. 4) Akad pengalihan kepemilikan barang atau aset sewa, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai. Dalam rangka memitigasi/meringankan risiko pembiayaan Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik LKS dapat melakukan langkah-langkah antara lain: a. Menahan dokumen bukti kepemilikan barang/aset sewa sampai dengan berakhirnya akad ijarah dan pelunasan kewajiban nasabah kepada LKS; b. Meminta agunan tambahan kepada nasabah sesuai ketentuan yang berlaku. Semua ketentuan yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam akad Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik. Ilustrasi: Dengan semakin pesatnya kemajuan usaha Fulan di bidang penjualan sembako, maka Fulan memerlukan sebuah ruko untuk kegiatan operasional toko. Fulan memerlukan ruko tersebut pada tanggal 1 April 2013 dengan cara menyewa selama 1 tahun kemudian membelinya di akhir masa penyewaan yaitu tanggal 1 April 2014. Penjual ruko menginginkan pola pembayaran sewa tunai di muka
Bab IV - 81
Akad Produk Pembiayaan sebesar Rp 60 juta (1 April 2013) dan Rp 90 juta di akhir masa sewa (1 April 2014) untuk dapat memiliki ruko tersebut, dengan pola pembayaran seperti di atas, kemampuan keuangan Fulan tidak memungkinkan. Beliau hanya dapat membayar cicilan sebesar Rp 15 juta per bulan. Untuk itu Fulan mengajukan pembiayaan kepada Bank Syariah yang menginginkan prosentase keuntungan sebesar 20% per tahun. Analisis Bank: Harga barang: Harga sewa 1 tahun (tunai di muka): Rp 60.000.000. Harga ruko (di akhir masa sewa): Rp 90.000.000. Keuntungan bank: Rp 30.000.000. Total harga barang: Rp 180.000.000. Kemampuan membayar nasabah: Pembayaran sewa cicilan Rp 15 juta per bulan. Per tahun: Rp 180.000.000,Pembelian ruko di akhir masa sewa: Rp 0. Total kemampuan membayar: Rp 180.000.000. Posisi Bank dalam IMBT: Dalam IMBT bank bertindak selaku pihak yang menyewakan dalam akad pertama dan selaku pemberi hibah atau penjual dalam akad kedua. Sedangkan nasabah bertindak selaku penyewa pada tahap pertama dan selaku penerima hibah/pembeli pada akad kedua. Hal itu karena akad ijarah dan akad hibah/jual beli tidak bisa digabungkan pada waktu penyerahan aset. Tahapan IMBT di Bank Syariah: 1) nasabah menjelaskan kepada bank bahwa suatu saat di tengah atau di akhir periode ijarah ia ingin memiliki;
Bab IV - 82
Akad Produk Pembiayaan 2) setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewakan asset itu kepada nasabah; 3) apabila bank setuju, bank terlebih dahulu memiliki aset tersebut; 4) bank membeli atau menyewa aset yang dibutuhkan nasabah; 5) bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk jangka waktu tertentu dan menyerahkan asset itu untuk dimanfaatkan; 6) nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan; 7) bank melakukan penyusutan terhadap asset; biaya penyusutan dibebankan kepada laporan laba rugi; 8) di tengah atau di akhir masa sewa, bank dan nasabah dapat melakukan pemindahan kepemilikan asset tersebut secara jual beli cicilan; 9) jika pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa, akadnya dilakukan secara hibah. Ketentuan Syariah Ijarah untuk Transaksi Multijasa Lembaga Keuangan Syariah dapat memberikan pembiayaan kepada nasabah dengan menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa keuangan
antara
lain
dalam
bentuk
pelayanan
pendidikan,
kesehatan,
ketenagakerjaan dan kepariwisataan. Dalam pembiayaan kepada nasabah yang menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee. Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase. Ijarah menurut sebagian ulama dapat pula dibagi menjadi dua macam, yakni; 1) ijarah atas manfaat, disebut sewa menyewa, obyek akadnya adalah manfaat dari suatu benda; dan 2) ijarah atas pekerjaan, disebut upah mengupah, obyek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Ijarah atas manfaat sudah
Bab IV - 83
Akad Produk Pembiayaan diuraikan di atas. Adapun ijarah atas pekerjaan terdiri dari wakalah dan wadi‟ah yang akan diuraikan di sub bab berikutnya. 4.3.2.Wakalah Al wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pihak lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Maka dari itu, pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Unsur yang terpenting dalam al-wakalah ini adalah tanggung jawab yang tinggi dari wakil untuk melaksanakan amanat dari muwakil serta muwakil memberikan kepercayaan penuh pada wakil untuk melaksanakan tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Di dalam dunia bisnis dan perdagangan, akad wakalah dapat digunakan untuk kerjasama keagenan seperti sistem penjualan dengan perantara (broker),
dealership, dan pihak LKS yang menyerahkan urusan untuk membelikan keperluan barang modal nasabah yang mengajukan pembiayaan modal kerja dan atau produk konsumtif lainnya. Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit mengenai akad wakalah adalah berikut ini.
99 Bab IV - 84
Akad Produk Pembiayaan
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.
Dan Ibnu Sirin, Atho, Ibrahim tidak berpendapat bahwa upah makelar itu berbahaya (terlarang), Ibnu Abbas berkata: Tidak berbahaya (tidak mengapa) dengan mengatakan: Jualkanlah pakaian ini, selebihnya harga sekian dan sekian adalah milikmu. Dan berkata Ibnu Sirin: Apabila ada orang berkata: Jualkanlah barang ini dengan harga sekian-sekian, dan keuntungannya untukmu atau keuntungannya untuk antaraku dan kamu, maka hal ini tidak bahaya. Nabi SAW bersabda: ” Orang-orang Islam di sisi persyaratan mereka.”
Bab IV - 85
Akad Produk Pembiayaan
Dan sungguh, Umar dan Ibnu Umar mewakilkan untuk tukar-menukar.
Dari Sulaiman bin Yasar sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengutus Aba Rafi‟ dan seorang laki-laki dari Anshar untuk mengawinkan beliau (qobul nikah beliau) kepada Maimunah binta al-Harits, dan Rasulullah SAW berada di Madinah sebelum beliau keluar. Beberapa ketentuan umum mengenai akad wakalah3. Pertama: Ketentuan tentang Wakalah: 1) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad). 2) Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Kedua: Rukun dan Syarat Wakalah: 1) Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan) a. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan. b. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya. 3
Menurut Fatwa DSN MUI Nomor 10 Tahun 2000.
Bab IV - 86
Akad Produk Pembiayaan 2) Syarat-syarat wakil (yang mewakili) a. Cakap hukum, b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya, c. Wakil adalah orang yang diberi amanat. 3) Hal-hal yang diwakilkan a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, b. Tidak bertentangan dengan syari‟ah Islam, c. Dapat diwakilkan menurut syari‟ah Islam. d. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. 4.3.3.Wadi’ah Wadi‟ah berasal dari akar kata wada‟a, yang sinonimnya: taraka, artinya: meninggalkan. Menurut Sayid Sabiq, sesuatu yang dititipkan oleh seseorang kepada orang lain untuk dijaga dinamakan wadi‟ah, karena sesuatu (barang) tersebut ditinggalkan di sisi orang yang dititipi. Menurut istilah syara‟, wadi‟ah digunakan untuk arti „iidaa‟a dan untuk benda yang dititipkan (syai‟un al muuda‟u). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wadi‟ah adalah akad atau produk jasa berupa titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja, bila si penitip menghendaki.
Wadi‟ah terbagi menjadi dua jenis, yaitu wadi‟ah yad al-amanah dan wadi‟ah yad adh-dhamanah. Wadi‟ah yad al-amanah adalah jenis titipan yang bersifat amanah di mana pihak yang menerima jasa penitipan tidak boleh menggunakan dan atau memanfaatkan barang atau uang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai dengan kelaziman.
Wadi‟ah yad adh-dhamanah adalah jenis titipan dengan risiko ganti rugi di mana pihak penerima jasa penitipan diperbolehkan menggunakan dan atau
Bab IV - 87
Akad Produk Pembiayaan memanfaatkannya. Adanya risiko ganti rugi inilah yang menyebabkan pihak penerima jasa penitipan diperbolehkan mengambil keuntungan yang ada. Pemberian bonus kepada pemilik barang titipan tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dperjanjikan dalam akad, tetapi benar-benar diberikan secara sepihak sebagai ucapan terima kasih dari pihak penerima titipan dan nilainya sepenuhnya menjadi kewenangan dari pihak penerima titipan (lihatlah penjelasan tentang wadi‟ah pada Bab III). Ibnu Qudamah Rahumahullah menyatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW sampai generasi berikutnya, wadi‟ah telah menjadi ijma‟ „amali yaitu konsensus dalam praktek bagi umat Islam dan tidak ada orang yang mengingkarinya. Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah berijma‟ (konsensus) akan legitimasi al-Wadi‟ah, karena kebutuhan manusia terhadapnya hal ini jelas terlihat seperti yang dikutip Dr. Wahbah Azzuhaily dalam al Fiqh al Islami wa adillatuhu dari al-Mughni wa syarh Kabir li Ibn Qudamah dan al-Mabsuth Imam Sarakshsy. 4.4.Prinsip Utang Piutang 4.4.1.Utang piutang murni (Qardh) Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha (
) yang
sinonimnya: qatha‟a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (
). Qardh secara etimologi adalah pinjaman.
Secara terminologi muamalah adalah memiliki sesuatu (hasil pinjaman) yang dikembalikan (pinjaman tersebut) sebagai penggantinya dengan nilai yang sama. Secara teknis qardh adalah akad pemberian pinjaman dari seseorang/lembaga keuangan syariah kepada orang lain/nasabah yang dipergunakan untuk keperluan
Bab IV - 88
Akad Produk Pembiayaan mendesak. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai kesepakatan besama) dan pembayarannya bisa dilakukan secara tunai atau angsuran. Dasar Hukum Firman Allah Azza wa jalla :
422 Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Alloh pinjaman yang baik, maka Alloh akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak
dan
Alloh
menggenggam
(menyempitkan
rezeki)
dan
membentangkan (melapangkan rezeki) dan kepada Alloh dikembalikan kamu sekalian.
.... 484 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang` untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Bab IV - 89
Akad Produk Pembiayaan Beberapa hadits Nabi SAW:
Dari Abu Hurairah dia berkata : Ada seorang laki-laki yang memiliki piutang seekor unta pada Rasulullah SAW maka dia datang menagih utang kepada beliau lantas beliau bersabda (kepada para shahabat): Hendaknya kalian memberikan pengembalian unta kepadanya, lantas para shahabat mencari unta yang umurnya sama dengan unta yang dipinjam oleh Rasulullah SAW tetapi mereka tidak menemukannya kecuali unta yang umurnya di atasnya. Nabi bersabda: Berikanlah unta itu kepadanya, lantas laki-laki tersebut berkata: Engkau mengembalikan kepadaku dengan unta yang lebih baik, mudah-mudahan Allah memberikan yang lebih baik kepadamu. Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya pilihan (sebaik-baik) kalian adalah yang lebih baik pengembalian utangnya.
Bab IV - 90
Akad Produk Pembiayaan
Dari Abdillah bin Abi Rabi‟ah, ia berkata: Nabi SAW telah meminjam dariku 40.000 dirham, kemudian Nabi mendapatkan harta, maka beliau menyerahkan harta itu padaku (sebagai pengembalian pinjaman). Beliau bersabda: ”Semoga Alloh memberi barokah untukmu, di dalam keluargamu dan hartamu. Sesungguhnya balasannya pinjaman adalah pujian dan pengembalian .” (HR Nasai, Kitab al-Buyu‟) Para ulama sepakat bahwa setiap utang yang mengambil manfaat hukumnya haram, apabila hal itu disyaratkan atau ditetapkan dalam perjanjian. Hal ini sesuai dengan kaidah:
Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberikan pinjaman, muqridh) maka ia adalah riba. Kaidah ini tersebut juga dalam kitab mushonnaf Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozaq dari perkataan Ibrahim. Apabila manfaat (kelebihan) tidak disyaratkan pada waktu akad maka hukumnya boleh. Pengembalian utang dianjurkan untuk dilakukan secepatnya, apabila orang yang berutang telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Apabila kondisi orang
yang
sedang
berutang
sedang
berada
dalam
kesulitan
dan
ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar utangnya. Hal ini sesuai dengan firman Alloh:
482 Bab IV - 91
Akad Produk Pembiayaan
Dan jika (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan bahwasanya kamu menyedekahkan itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Ketentuan Umum Qardh4 Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh 1. Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. 2. Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. 3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah. 4. LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu. 5. Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad. 6. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada
saat
yang
telah
disepakati
dan
LKS
telah
memastikan
ketidakmampuannya, LKS dapat: a. memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau b. menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya. Kedua: Sanksi 1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah. 2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan.
4
Fatwa DSN MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al Qardh
Bab IV - 92
Akad Produk Pembiayaan 3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh. Ketiga: Sumber Dana Dana al-Qardh dapat bersumber dari: a. Bagian modal LKS; b. Keuntungan LKS yang disisihkan; dan c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS. 4.4.2.Gadai barang (Rahn) Gadai dalam bahasa Arab
menurut arti bahasa berasal dari kata:
yang sinonimnya:
yang artinya tetap;
yang artinya kekal atau langgeng;
yang artinya menahan5. Menurut istilah syara‟, gadai atau rahn didefinisikan oleh Sayid Sabiq yang
mengutip pendapat Hanafiah berikut ini. Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan
5
Ibrahim Anis, et al., dalam Ahmad Wardi Muslich, “Fiqh Muamalat”, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 286.
Bab IV - 93
Akad Produk Pembiayaan dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut6. Syafi‟iyah sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, memberikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut: “Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang, di mana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan) tersebut ketika pelunasannya mengalami kesulitan”7. Hanabilah mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang berutang”. Malikiyah mendefinisikan gadai sebagai berikut: “Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap”. Dasar Hukum Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit mengenai akad rahn adalah berikut ini:
482 Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.
6
Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, 1981, hal. 187. Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam wa Adillatuhu”, Darul Fikr, Damaskus, 2007, terjemahan, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011. 7
Bab IV - 94
Akad Produk Pembiayaan
Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.
Dari Said bin Musayyab, sesungguhnya Rasululah SAW bersabda: ”Barang jaminan tidak berpindah hak” Malik berkata: menurut pendapatku, dan Alloh lebih mengetahui (kebenarannya), bahwa seorang lelaki menggadaikan suatu barang gadai (rahin) kepada seorang laki-laki lain (murtahin), di mana barang gadainya itu memiliki nilai lebih daripada pinjamannya, maka Rahin berkata kepada Murtahin: Jika aku dapat mengembalikan pinjaman darimu pada
waktu yang telah
ditentukan (maka barang gadai tersebut dikembalikan kepadaku), dan jika aku tidak bisa mengembalikan, maka barang gadai itu menjadi milikmu dengan sebab apa-apa yang telah digadaikan (kepadamu) di dalamnya.
Bab IV - 95
Akad Produk Pembiayaan
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya. Dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya. Keterangan: jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman, maka barang jaminannya diberikan pada pemberi pinjaman senilai pinjaman yang dia tanggung. Apabila ada sisa nilai jaminan dari pinjamannya, maka harus dikembalikan, jika kurang maka pemberi pinjaman berhak meminta kekurangannya. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam gadai syariah secara umum8. 1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. 3) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
8
Menurut Fatwa DSN MUI No. 25 Tahun 2002.
Bab IV - 96
Akad Produk Pembiayaan 4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5) Penjualan Marhun a)Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya. b)Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. c) Hasil
penjualan
Marhun
digunakan
untuk
melunasi
utang,
biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan d)Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin. Ketentuan terkait dengan Gadai Emas Beberapa ketentuan umum mengenai akad gadai emas adalah berikut ini9. 1. Rahn emas diperbolehkan berdasarkan prinsip rahn. 2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin). 3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. 4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.
9
Menurut Fatwa DSN MUI Nomor 26 Tahun 2002.
Bab IV - 97