BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KAJEN TENTANG CERAI TALAK AKIBAT ISTERI MENJADI TKW (TENAGA KERJA WANITA) DI LUAR NEGERI (Putusan Nomor: 1079/Pdt.G/2010/PA.Kjn)
A. Analisis Terhadap TKW (Tenaga Kerja Wanita) Menurut Hukum Islam. Tenaga kerja Indonesia Wanita adalah sebutan bagi kelompok perempuan Indonesia yang pergi ke luar negeri sebagai buruh tamu. 1 Sebagian besar mereka bertujuan memperoleh penghasilan yang lebih baik dari pada di Tanah Air, untuk meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga. Banyak diantara mereka (TKW) yang belum pernah merantau keluar daerahnya, apalagi ke Negara lain. Namun didalam Hukum Islam seorang wanita bekerja atau meninggalkan keluarga yaitu hukumnya : 1. Wajib Seseorang wanita bekerja apabila dalam keadaan terpaksa dan darurat. Seperti digambarkan dalam kehidupan sehari-hari seorang wanita yang ditinggal mati suaminya, sehingga wanita tersebut mencari nafkah untuk menghidupi keluargannya karena sudah tidak ada lagi orang yang membiyai atau menafkahinya. 1
Prihatini Ambaretnani dan Selly Rianawanti, Upaya Meningkatkan dan Melindungi kesehatan Republik TKIW, (Yogyakarta : Galang Press, 1999), hal 1
66
67
Tetapi dalam ia bekerja harus memenuhi tiga criteria, yaitu : a. Tidak boleh menggunakan pakaian yang menampakkan auratnya, sehingga menimbulkan rangsangan lawan jenis. b. Tidak diperbolehkan berdandan yang berlebihan dan menggunakan wewangian. c. Tidak
berdesak-desakkan.
Dalam
hal
ini
dikhawatirkan
akan
menimbulkan nafsu syahwat bagi lawan jenisnya. 2. Haram Seorang wanita haram bekerja apabila keluarnya perempuan yang bersuami pergi dari rumah tanpa seizing suaminnya, sekalipun karena matinya seorang dari keluarga kedua orang taunya guna menghormati jenazahnya. Seperti yang kita ketahui keikutsertaan seorang wanita untuk bekerja dalam
lapangan
pekerjaan
seorang
laki-laki
akan
menyebabkan
percampuran dalam pergaulan yang tercela dan berdua-duaan dengannya. Hal tersebut memiliki dampak yang kurang baik, yakni bertentangan dengan dalil-dalil Islam. Antara lain tidak berpakaian yang islami, memakai wewangian, dan berhias. Seperti firman Allah dalam surat Al-Ahzab yang artinya “ Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
68
sholat, tunaikanlah zakat dan taati Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihka kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang yang dibacakan dirumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunah Nabi) sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lai Maha Mengetahui”.
Islam telah menjamin hak wanita untuk bekerja sesuai dengan tabiatnya dan aturan-aturan syariat dengan tujuan untuk menjaga kepribadian dan kehormatan wanita. Meskipun demikian isteri harus mengatur rumah tangga. Suami juga mempunyai keyakinan bahwa segala pekerjaan dan usahanya itu adalah ibadah dan sebagai suatu ketaan kepada Allah SWT. Bekerja bukan hanya merupakan suatu kreatifitas akan tetapi bekerja dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah, pekerjaannya akan memiliki nilai ibadah. Sesungguhnya, Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batasan-batas kemampuan manusia. Pada hakikatnya, wanita tidak dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri karena sudah merupakan kewajiban ayah atau suaminya. Karena itu wilayah kerja wanita hanya di rumah. Meskipun demikian, perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja keluar kota atau keluar
Negeri,
pada
dasarnya
diperbolehkan
sepanjang
disertai
mahramnya, atau keluarga/ lembaga atau perempuan yang terpercaya, jika tidak disertai mahram hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan secara syar’I, qanuni dan
69
‘adiy, serta dapat menjamin keamanan dan kehormatan tenaga kerja wanita. Jelas bahwa Islam tidak melarang seorang wanita untuk bekerja. Mereka diperbolehkan untuk melakukan jual beli atau usaha dengan harta benda pribadinya. Tidak seorang pun melarang mereka selama mengikuti Rambu-rambu yang telah ditetapkan agama. Menurut hemat penulis, atas dasar inilah para wanita diperbolehkan untuk memperlihatkan wajah atau telapak tangannya saat melakukan pekerjaan. Selain hal-hal yang memperbolehkan wanita bekerja seperti telah disebutkan di atas, ada hal yang dapat dijadikan sebab diperbolehkannya wanita bekerja, yaitu apabila suami tidak dapat memberi nafkah pada istrinya, maka istrinya dapat memilih dua jalur yakni menggugat cerai atau tetap tinggal bersama suami dengan tanpa melayaninya. Dalam hal ini istri diperbolehkan keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. B. Analisis Fakta Hukum yang Terkandung Dalam Putusan Nomor: 1079/P.dt./G/2010/PA.Kjn Sebagaimana
putusan
yang
terlampir,
bahwa
putusan
tersebut
dikeluarkan atas dasar berbagai pertimbangan Majelis Hakim, misalnya fakta hukum yang terjadi antara Pemohon dan Termohon. Fakta hukum menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam mengeluarkan putusan, disebabkan
70
mempunyai kekuatan hukum yang dapat dijadikan sebagai alat bantu, bahkan dapat dijadikan bukti, apabila fakta hukum itu disampaikan oleh saksi.2 Adapun fakta hukum yang ada dalam putusan adalah sebagai berikut: 1. Pemohon adalah seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dengan alamat Gg.5 RT 016 RW 006 desa Wonoyoso, kecamatan Buaran, kabupaten Pekalongan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan oleh Camat Buaran, kabupaten Pekalongan pada tanggal 27 Februari 2007 dengan nomor 3326142705770001. Jadi wilayah hukum dengan perkara terkait, ada di wilayah Pengadilan Agama Kajen. Sebagaimana dikatakan Ahmad Saebani, bahwa Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan sebuah tanda atau simbol pengakuan Pemerintah setempat terhadap masyarakat pemilik KTP tersebut. Selain itu, KTP mempunyai kekuatan hukum yang kuat serta dapat dijadikan sebagai bukti tertulis.3 2. Pemohon adalah suami sah Termohon, hal ini dibuktikan dengan adanya Kutipan Akta Nikah atas nama Zumawan dan Baroyah dengan Nomor : 10/10/I/2005 pada tanggal 14 Januari 2005 yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Buaran, kabupaten Pekalongan.
2
Eko Budiono, Mimbar Hukum dan Peradilan, Yurisdiksi Pengadilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PPHIMM, 2010), hal. 56 3 Ahmad Saebani, Pengantar Hukum Perdata, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 45
71
3. Pemohon dan Termohon telah menjalani hubungan perkawinan yang berakibat timbulnya hak dan kewajiban antara keduanya. Di mana hak dan kewajiban itu dilakukan dengan saling pengertian. Awalnya mereka menjalani kehidupannya dan bertempat tinggal di rumah orang tua Termohon, yang kemudian menempati rumah orang tua Pemohon. Dan terakhir keduanya tinggal di rumah orang tua Termohon. 4. Setelah menjalin ikatan perkawinan, antara Pemohon dan Termohon terjadi pertengkaran dan perselisihan, disebabkan Termohon berkehendak untuk pergi ke luar negeri (Saudi Arabia) sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW), sedangkan Pemohon tidak memberikan izin Termohon. Alasan Termohon ingin bekerja sebagai TKW karena Pemohon tidak mau bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 5. Selang berganti waktu, akhirnya Pemohon memberikan izin Termohon untuk bekerja di luar negeri sebagai TKW dengan syarat dalam kurun waktu 2 tahun. Persetujuan Pemohon atas kepergian Termohon ditandai dengan Surat Persetujuan yang telah ditanda tangani oleh Pemohon. 6. Akhirnya, setelah adanya persetujuan tersebut Termohon pergi ke luar negeri, akantetapi setelah 2 tahun,ternyata Termohon tidak kembali ke Indonesia. 7. Dengan adanya fakta hukum di atas (poin ke 6) yaitu sebuah perbuatan yang dilakukan oleh Termohon sehingga menimbulkan akibat hukum bagi Termohon.
72
8. Maka dari itu, Pemohon berkehendak untuk mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama setempat, yaitu Pengadilan Agama Kajen terkait dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh istrinya.4 Sebagaimana fakta hukum poin 1 (satu) bahwa Kartu Tanda Penduduk (KTP) memiliki kekuatan hukum yang dapat dijadikan bukti dalam perkara hukum. Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan sebuah identitas atau Akta Autentik yang dibuat oleh Pemerintah setempat yang berwenang, dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Katu Tanda Penduduk (KTP) digunakan sebagai identitas induk dalam sebuah persyaratan administrasi. Seperti dalam proses persidangan sebagaimana disebutkan dalam putusan Nomor: 1079/P.dt./G/2010/PA.Kjn tentang perkara cerai talak. Selanjutnya pada fakta hukum poin 2 (dua), bahwa Buku Catatan Nikah atau Akta Nikah merupakan Akta Autentik yang mempunyai kekuatan hukum sebagaimana Kartu Tanda Penduduk (KTP). Perbedaannya ada pada kompetensi pejabat yang mengeluarkan. Akta Nikah ini yang berwenang mengeluarkannya adalah Pejabat Kantor Urusan Agama (KUA), yakni Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, atas nama Pemerintah setempat pula. Fakta hukum pada poin 3 (tiga), 4 (empat) dan 5 (lima) merupakan terjadinya perselisihan yang menjadi prolog dari terjadinya perceraian, yang 4
Disalin dari Putusan Pengadilan Agama Kajen Nomor : 1079/Pdt.G/2010/PA.Kjn tanggal 03 Nopember 2010 M/26 dzulqo’dah 1431 H.
73
diawali dengan perkawinan antara Pemohon dan Termohon. Sebab tidak ada perceraian jika tidak terjadinya perkawinan. Yang kemudian disusul berbagai perselisihan dengan sebab Pemohon tidak memberikan izin bagi Termohon untuk bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Tetapi dengan luluhnya hati Pemohon, akhirnya dia memberikan izin untuk Termohon selama 2 (dua) tahun dengan bukti penandatanganan surat perjanjian di atas materai. Tetapi perjanjian tersebut telah diingkari oleh Termohon dengan memperpanjang masa kerjanya hingga melebihi 2 (dua) tahun tanpa seizing Pemohon. Dalam hal ini sebagaimana fakta hukum pada poin 6 (enam) dan 7 (tujuh), hal tersebut dianggap sebagai tindakan yang mempunyai akibat hukum khususnya bagi Termohon. Dalam hal ini tindakan Termohon dapat dijadikan sebagai faktor putusnya perkawinan, yaitu nusyuz. Adapun bentuk nusyuznya berupa pengingkaran janji (sebagaimana poin 6) terhadap Pemohon, sebagai suami. Sedangkan pengertian nusyuz sendiri yaitu kata yang yang berasal dari bahasa arabyang secara etimologi berarti meninggi atau terangkat. Jika isteri dikatakan nusyuz terhadap suaminya berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukanya dari suami, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara definitif, nusyuz diartikan dengan kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.
74
Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui alquran dan hadist Nabi. Dalam hubungannya dengan Allah pelaku berhak atas dosa dari Allah pelaku berhak atas dosa dari Allah SWT dan dalam hubunganya dengan suami dan rumah tangga merupakan suatu pelanggaran terhadap kehidupan suami isteri.5 Sebagaimana surat putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Kajen yang Bernomor 1079/Pdt.G/2010/PA.Kjn. yang isinya berupa putusan perceraian (cerai talak) yang diajukan suami terhadap isterinya sebab isterinya telah nusyuz. Dalam hal ini, isteri dikatakan nusyuz sebab telah membangkang atau membantah nasehat yang duberikan suaminnya. Tak adanya izin dari suami untuk tindakan isteri merupakan sebuah hal yang harus dipatuhi, selagi masih ada koridor alquran dan hadist. Isteri yang pergi atau keluar rumah tanpa seizin suami bahkan suami tidak memberikan izin, isteri telah bertindak nusyuz. Baiknya dalam menghadapi isteri yang nusyuz dengan cara-cara sebagai berikut : Pertama : bila isteri terlihat tanda-tanda bahwa isteri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran kepada isterinya dengan menjelaskan bahwa tindakannya itu adalah salah menurut agama dan menimbulkan resiko, ia dapat kehilangan haknya sebagai isteri. Kedua : bila isteri tidak memperlihatkan adanya perbaikan sikapnya da nyata nusyuz itu terjadi dengan perhitungan yang obyektif, suami melakukan
5
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahannya, hal.120
75
usaha berikutnya yaitu dengan pisah ranjang atau pisah tempat tidur, dalam arti menghentikan hubungan seksual. Ketiga : bila dengan pisah ranjang isteri belum memperhatikan adanya perbaikan, bahkan tetap dalam keadaan nusyuz, maka suami boleh memukul isteri dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam hal ini adalah bukan atas dasar kebencian. Apabila dengan cara yang terahir (pukulan yang tidak menyakiti) belum dapat diselesaikan, maka dibolehkan suami untuk menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian. C. Analisis Dasar Hukum yang Melandasi Fakta-Fakta Dalam Putusan Sebuah perbuatan, dapat dikatakan mempunyai akibat hukum jika dilandasi dengan adanya dasar hukum.Di Indonesia, kriteria dasar hukum yang memiliki kekuatan hukum yaitu jika dasar tersebut telah dibentuk dalam sebuah peraturan, baik Peraturan Pemerintah maupun Undang-Undang.6 Beberapa fakta hukum yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti terjadinya nusyuz yang dijadikan alasan Pemohon dalam pengajuan permohonannya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 tentang perceraian yaitu: Ayat (1) :Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
6
Fanani Ahmad, Sosiologi Hukum Indonesia, (Surabaya: Anwar Offset, 2005), hal. 56
76
Ayat (2) :Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri;
Ayat (3) :Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan Perundangan tersendiri.7
Pasal 39 ayat (1), bahwa secara eksplisit dijelaskan bahwa suami istri diputuskan bercerai bila prosesnya dijalani di depan sidang Pengadilan setelah adanya usaha-usaha perdamaian seperti mediasi yang dilakukan oleh pihak Pengadilan Agama. Jadi, jelasnya jika suami mengucapkan talak di depan istri saja, secara yuridis belum dikatakan putus ikatan perkawinannya. Pasal 39 ayat (2) memiliki penjelasan bahwa untuk mengajukan proses perceraian, Pemohon harus memiliki alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar seperti sebagai berikut: a. Salah satu pihaknya berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun beturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 7
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2008), hal. 22
77
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan pekerjaannya sebagai suami/istri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam Rumah Tangga.8 Pada poin (b) di atas, disebutkan bahwa salah satu pihak meninggalkan lebih dari 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya. Hal tersebut yang dapat dijadikan alasan sebagai pertimbangan dikeluarkannya putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Kajen. Menurut Penulis, penyebabnya adalah Termohon sebelum pergi ke luar negeri sebagai TKW, hanya diberi izin 2 (dua) tahun oleh Pemohon, dan selebihnya Termohon dianggap pergi tanpa izin. Kepergian Termohon yang dianggap melebihi batas izin Pemohon, merupakan tindakan nusyuz, dan antisipasi nusyuz yang berujung perceraian sudah dijalani oleh Pemohon dan Termohon.Dan berakhir denganberpisahnya tempat tinggal yang masing-masing tinggal bersama orang tuanya. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, dasar hukum yang dijadikan Majelis Hakim sebagai landasan dalam putusan perceraian berupa
8
Mohd, Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hal. 128
78
permohonan Pemohon dianggap telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf (b) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf (b) dan Kompilasi Hukum Islam, serta sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 227 sebagai berikut:
Artinya: “Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.9 Tak hanya bersikukuh untuk bercerai, antara Pemohon dan Termohon harus memiliki bukti untuk menguatkan fakta-fakta hukum yang terjadi. Dalam hal ini, Pemohonlah yang harus lebih signifikan dalam mengajukan bukti-bukti sebagai penguat fakta-fakta hukum yang terjadi. Menurut
hemat Penulis sebagaimana disampaikan Jumhur Ulama
dalam berbagai literatur, ada beberapa hal yang patut dicatat terkait dengan talak, hal-hal yang dimaksud adalah sebagai berikut10: Pertama: persetujuan isteri yang ditalak Pelaksanaan talak adalah tindakan sepihak dari suami, oleh karenanya tidak ada yang namanya qabul.Namun apakah untuk terjadinya talak itu diperlukan persetujuan istri atau setidaknya sepengetahuan istri, kelihatannya
9
Depag RI , Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1992, hal. 88 10 Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: PT Zaman, 2009), hal. 85
79
tidak dibahas oleh ulama fikih, baik secara umum atau dalam bahasan khusus.Hal ini disebabkan oleh karena pendapat ulama secara umum talak itu adalah hak mutlak seorang suami.Hak itu dapat digunakannya meskipun tidak mendapat persetujuan dari istri yang ditalaknya itu.11 Sesuai dengan putusan cerai talakNomor: 1079/P.dt./G/2010/PA.Kjn, putusan tersebut bersifat verstek, yaitu putusan tanpa hadirnya Termohon, dalam hal ini istri. Putusan tersebut tetap dikeluarkan meski tanpa sepengetahuan istri. Hal ini berhubungan dengan surat panggilan yang ditujukan kepada Termohon. Ketidakhadiran Termohon yang tanpa alasan menunjukkan adanya persetujuan terhadap proses persidangan yang nantinya menghasilkan putusan. Kedua: adanya alasan untuk menjatuhkan talak Dalam alquran, banyak ditemukan beberapa ayat yang mengisyaratkan adanya alasan untuk terjadinya talak, di antaranya terjadinya nusyuz di pihak isteri maupun suami. Kejadian tersebut merupakan prolog terjadinya talak, dan tanpa adanya prolog tersebut, talak tidak mesti terjadi. Dari beberapa hadis Nabi terkesan adanya sebab-sebab untuk dapat terjadinya talak. Hal yang perlu diketahui adalah anggapan bahwa talak itu adalah hak penuh seorang suami tidak mempunyai dasar sama sekali baik dalam alquran maupun hadis Nabi. Yang demikian hanyalah merupakan kebiasaan atau urf bangsa Arab yang terbawa semenjak zaman Jahiliyyah. 11
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal
214
80
Dalam rangka untuk menjaga prinsip maslahat terutama terhadap isteri yang mempunyai kedudukan sama di depan Allah, maka perlu dibatasi hak suami itu sehingga ia tidak mentalak isterinya kecuali sudah cukup alasan untuk itu. Talak tanpa adanya alasan apapun tidak dinyatakan sah. Sebagaimana putusan Nomor: 1079/P.dt./G/2010/PA.Kjn, penyebab putusnya perkawinan berasal dari nusyuznya isteri terhadap suami yang tidak memberikan izin kepada isteri untuk bekerja di luar negeri sebagai TKW. Kontradiktifnya, kepergian isteri untuk bekerja di luar negeri juga memiliki alasan kuat, yaitu karena suami dianggap tidak berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketiga: keberadaan saksi Tentang keberadaan dua orang saksi dalam pengucapan talak itu memang menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Tetapi sesuai Peraturan Pemerintah berupa Undang-Undang perkawinan, bahwa Majelis Hakimlah yang menjadi saksi ucapan talak, bahkan Pemohon mengikuti ikrar talak yang diucapkan oleh Hakim dalam persidangan.