Bab III Tren Perkembangan CSR di Indonesia dan Faktor yang Mempengaruhinya
3.1. Sejarah Singkat CSR Bermula diawal abad ke-19, perusahaan sebagai organisasi bisnis berkembang pesat di Amerika (Suharto 2008d: 2). Kemudian, kebijakan publik secara tegas merubah lingkup sosial yang mesti direspon perusahaan secara lebih spesifik, seperti kesehatan dan keselamatan kerja (K3), jaminan sosial pekerja, pelestarian lingkungan, perlindungan konsumen, dll. Perusahaan perlu merespon tuntutantuntutan pasar secara sukarela, karena merefleksikan tuntutan moral dan sosial konsumen, di sisi lain juga memiliki tanggungjawab sosial, juga harus patuh terhadap hukum dan kebijakan publik. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) sebetulnya sudah muncul sejak lama. Tahun 1933, dalam buku The Modern Corporation and Private Property, dikemukakan bahwa korporasi modern seharusnya mentransformasi diri menjadi institusi sosial, ketimbang institusi ekonomi yang semata memaksimalkan laba. Pemikiran ini dipertajam oleh Peter F Drucker pada tahun 1946, lewat bukunya, The Concept
of
Corporation.
manajemen.ac.id/index.php?wb=11&mib=highlights.detail&id=9)
16
(http://www.ppm-
17
Kemudian pada tahun 1953 nama CSR pertama kali digaungkan dalam diskursus resmi akademik Howard R. Bowen dengan bukunya yang berjudul Social Responsibility of the Businessman. Ide dasar yang dikemukakan Bowen mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya sejalan dengan nilai- nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaannya beroperasi. Prinsip-prinsip yang dikemukakannya mendapat pengakuan publik dan akademisi sehingga Howard R Bowen dinobatkan sebagai “Bapak CSR”. (Susiloadi, 2008 : 124) Namun pada tahun 1970, ekonom Milton Friedman menjelaskan pandangan yang berbeda tentang CSR. Bahwa tanggungjawab sosial perusahaan adalah menghasilkan keuntungan (profit) dalam batasan moral masyarakat dan hukum. Ia mengingatkan bahwa inisiatif perusahaan untuk menjalankan CSR dapat membuat arah manajemen menjadi tidak fokus, membuat pengelolaan sumber daya menjadi tidak efisien, memperlemah daya saing, serta mempersempit pilihan-pilihan dan kesempatan. Namun seiring waktu berjalan, CSR semakin berkembang dan terus menjadi isu kunci dalam konteks manajemen, pemasaran dan akuntansi di Inggris, Amerika, Eropa, Canada dan negara- negara lain. Masih didalam konteks global, istilah CSR semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington. (Suharto, 2008a) Publikasi atas bukunya tersebut membuat pergeseran perspektif tentang CSR semakin populer.
18
Kemudian KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep CSR yang bersifat sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) adalah aspek yang harus diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporat yang kekuatan kapitalnya semakin “menggila”. Lewat riset yang dilakukan James Collins dan Jerry Porras dalam Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies yang mereka luncurkan di tahun 1994, dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang bertahan hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak
uang semata.
(http://www.ppm- manajemen.ac.id/index.php?wb=11&mib=highlights.detail&id=9) 3.2. Tren Perkembangan CSR Diawal perkembangannya, bentuk CSR yang umum adalah pemberian bantuan terhadap masyarakat miskin juga organisasi lokal di sekitar perusahaan. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara sementara, parsial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look good, berbuat baik agar terlihat baik. (Suharto, 2008a). Dalam bukunya, Elkington mengemas CSR yang bersifat sustainable development ke dalam tiga fokus atau 3P, sebagai singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Juga harus memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). (Gambar 3.1)
19
Profit (Keuntungan Bersama)
Planet (Keberlanjutan Lingkungan Hidup)
People (Kesejahteraan Manusia/Masyarakat)
Sumber: Suharto (2006 : 5)
Gambar 3.1. Triple Bottom Lines dalam CSR Dilihat dari perspektif pembangunan yang lebih luas, CSR terlibat pada kontribusi perusahaan terhadap konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni “pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan generasi saat ini tanpa mengabaikan kebutuhan generasi masa depan.” Prinsip-prinsip good corporate governance, seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility kemudian menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. Dalam konteks empowerment (pemberdayaan), CSR merupakan bagian dari policy perusahaan yang dijalankan secara profesional dan melembaga. CSR kemudian identik dengan CSP (corporate social policy), yakni strategi dan roadmap perusahaan yang mengintegrasikan tanggung jawab ekonomis korporasi dengan tanggung jawab legal, etis, dan sosial sebagaimana konsep piramida CSR- nya Archie B. Carol (Suharto, 2007a) .
20
Konsep triple bottom line (3P) kemudian berkembang dengan adanya ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility. Secara langsung standar ini akan memberikan warna baru dalam definisi dan implementasi bentuk CSR. Berdasarkan ISO 26000, CSR sangat berkait dengan tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatankegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi
dengan
organisasi
secara
menyeluruh
(http://www.mediaqitafoundation.org/Mediaqita_Foundation/CSR.html). Dengan melihat konsep Triple Bottom Lines
dan mengaitkannya dengan
prinsip ISO 26000 tersebut maka konsep 3P dapat disempurnakan dengan dikombinasikan line tambahan, yaitu procedure. Meski tidak sebagai line yang mendasar, tetapi konsep procedure ini dapat menyempurnakan konsep 3P yang sudah ada. Dengan demikian, CSR menjadi bentuk kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional. Skema konsep baru CSR menjadi:
21
Profit
Planet
People
Procedure
Sumber : Alois A. Nugroho, Kompas, 2006 dalam Hartono, 2009 Gambar 3.2. Skema Quadruple Bottom Line dalam pelaksanaan CSR Terkait dengan hal tersebut, maka implementasi CSR dengan konsep 4P ini selaras dengan konsep dalam ISO 26000. Konsep planet secara luas akan berkaitan dengan aspek the environment. Konsep people di dalamnya merujuk pada konsep social development dan human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan kerja) tetapi akan banyak bersentuhan dengan kesejahteraan sosial (semisal pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga- lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedure bisa mencakup konsep
organizational governance
(tata kelola organisasi), Praktek ketenagakerjaan (labor practices), Praktek
22
pelaksanaan yang adil (fair operating practices), dan issu- issu konsumen (consumer issues) yang termasuk didalamnya adalah komunitas dan masyarakat. Jika dilihat dari motivasinya, ada beberapa motivasi perusahaan melakukan CSR. Saidi (2004 : 69) membuat matriks yang kemudian dikembangkan Suharto yang menggambarkan tiga tahap atau paradigma yang berbeda. 1. Tahap pertama adalah corporate charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan. 2. Tahap
kedua
adalah
corporate
philantrophy,
yakni
dorongan
kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan kemerataan sosial. 3. Tahap ketiga adalah corporate citizenship, yaitu motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial Memang pada awalnya bibit CSR diwujudkan dalam bentuk karitatif dan filantropi namun karena adanya tekanan yang kuat dari masyarakat, terutama di tengah masyarakat yang kritis seperti masyarakat Eropa, CSR menjadi seperti social license to opertation bagi sebuah perusahaan. Kini mulai adanya upaya untuk mendorong agar CSR bergeser dari filantropi menjadi corporate citizenship yang berarti terdapat rekonsiliasi dengan ketertiban sosial dan lebih memberikan kontribusi kepada masyarakat. (Susiloadi 2008 : 124)
23
Kalau
dipetakan,
tampaklah
bahwa
gambaran
paradigma
CSR
bermetamorfosis dari “sekadar menjalankan kewajiban” hingga “demi kepentingan bersama”
atau
dari
“membantu
dan
beramal
kepada
sesama”
menjadi
“memberdayakan sesama”. Pada umumnya perusahaan melakukan CSR didorong oleh 3 motivasi yaitu motivasi karitatif, motivasi kemanusiaan dan motivasi kewargaan (Tabel 1). Tabel 3.1. : Motivasi CSR Motivasi
Karitatif
Tahapan/Paradigma Filantropis Norma, etika dan hukum universal: redistribusi kekayaan
Semangat/Prinsip
Agama, Tradisi, adat
Misi
Mengatasi masalah sesaat/saat itu
Menolong sesama;
Pengelolaan
Jangka pendek dan parsial
Terencana, terorganisasi, terprogram
Pengorganisasian
Kepanitiaan
Yayasan/Dana Abadi
Penerima Manfaaat
Orang miskin
Masyarakat Luas
Kontribusi
Hibah sosial
Hibah pembangunan
Inspirasi
Kewajiban
Kemanusiaan
Kewargaan Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial Mencari dan mengatasi akar masalah; memberikan kontribusi kepada masyarakat Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan Profesional: keterlibatan tenagatenaga ahli di bidangnya Masyarakat Luas dan perusahaan Hibah sosial maupun pembangunan dan keterlibatan sosial Kepentingan bersama
Sumber : Dikembangkan Suharto (2006 : 7) dari Saidi dan Abidin Corporate Citizenship merupakan suatu cara pandang perusahaan dalam bersikap dan berperilaku ketika berhadapan dengan pihak lain, misalnya pelanggan , pemasok, masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Tujuan Good Corporate
24
Citizenship (GCC)
adalah sebagai salah satu cara untuk memperbaiki reputasi
perusahaan, meningkatkan keunggulan kompetitif
serta membantu memperbaiki
kualitas hidup manusia (Harian BISNIS INDONESIA : 7). Sekarang ada banyak perusahaan yang mulai perubahan pendekatan dari sifat karitatif
menjadi kewargaan,
karena
konsep
kewargaan dianggap
mampu
meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat local juga karena dianggap lebih
mendekati konsep
pemberdayaan
(empowerment)
dan
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Perusahaan di Indonesia yang telah menjalankan corporate citizenship secara konsisten dan berkesinambungan, antara lain Telkomsel. Beberapa waktu yang lalu Telkomsel telah melakukan program SMS Infak bekerjasama dengan Manajemen Qolbu Corporation yang merupakan salah satu upaya perusahaan dalam mewujudkan kegiatan amal sebagai wujud tanggung jawab perusahaan, kemudian Program CSR TELKOMSEL bersifat filantropi, yaitu “Program PELUK ASA” dengan program melawan demam berdarah. Pada awal tahun 2012 ini, telah difokuskan program kemitraan sebagai salah satu bentuk CSR mereka untuk pengembangan UMKM yang bergerak dalam bidang industri komunitas atau sentra industri. Sedikitnya Rp 36 Miliar dana khusus untuk pembinaan kemitraan di Jatim ini telah disiapkan oleh Telkomsel. CSR pada tataran ini tidak sekadar to look good, melainkan pula to make good,
menciptakan kebaikan atau
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
25
(http://publiknasional.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1325:2 012-csr-kemitraan-telkom- lebih- fokus-bina-cluster&catid=36:jawa-timur). Implementasi dari konsep kewargaan salah satunya adalah Community Development (I) dan Community Organizing (CO). Meskipun mirip, Comdev dapat dibedakan dengan CO. Dilihat dari motivasi dan paradigma CSR di atas, maka sesungguhnya pendekatan ComDev merupakan satu bentuk CSR yang lebih banyak didorong oleh motivasi kewargaan (citizenship), meskipun pada beberapa aspek lain masih diwarnai oleh motivasi filantropis (Saidi dan Abidin dalam Suharto, 2006). Dikatakan masih berbau filantropis karena dalam sejarahnya, karena ComDev lebih sering diterapkan pada masyarakat pedesaan di negara- negara berkembang. Karena permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan struktural, maka dalam praktiknya ComDev lebih sering diwujudkan dalam bentuk
“pengembangan ekonomi
masyarakat” atau Community Economic Development (Suharto, 2008; Suharto, 2006; Ife 1995 dalam Suharto 2009 : 5). Berbeda dengan kegiatan-kegiatan amal atau karitatif yang bergaya sinterklas yang lebih banyak didorong oleh motivasi karitatif dan pendayagunaan hibah sosial, ComDev berangkat dari pendayagunaan hibah pembangunan yang dicirikan oleh adanya langkah pro aktif beberapa pihak dan kemampuan mereka dalam mengelola program dalam merespon kebutuhan masyarakat di suatu tempat. ComDev biasanya
26
difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan lokal di sebuah pemukiman atau wilayah yang relatif kecil. Program-programnya biasanya berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan kesadaran dan partisipasi politik warga yang bersifat langsung dirasakan oleh penduduk setempat. Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan kegiatan terencana dan kolektif dalam memperbaiki kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui program peningkatan kapasitas orang, terutama kelompok lemah atau kurang beruntung (disadvantaged groups). Meskipun pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan terhadap semua kelompok atau kelas masyarakat, namun pada umumnya pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok masyarakat yang dianggap lemah atau kurang berdaya yang memiliki karakteristik lemah atau rentan dalam beberapa hal atau aspek (Suharto, 2006). Bila dilihat lebih dalam, tujuan utama pendekatan ComDev adalah bukan sekadar membantu atau memberi barang kepada si penerima. Melainkan berusaha agar si penerima memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong dirinya sendiri. Dengan kata lain, motivasi ComDev adalah pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan ComDev biasanya diarahkan pada proses pemberian kuasa, peningkatan kekuasaan, atau penguatan kemampuan para penerima pelayanan.
27
Selanjutnya, melalui program-program pelatihan, pemberian modal usaha, perluasan akses terhadap pelayanan sosial, dan peningkatan kemandirian, proses pemberdayaan diarahkan agar kelompok lemah tersebut memiliki kemampuan atau keberdayaan. Ada beberapa tahapan proses pemberdayaan masyarakat. Mulai dari menentukan populasi atau kelompok sasaran; mengidentifikasi masalah dan kebutuhan kelompok
sasaran;
merancang program kegiatan dan cara-cara
pelaksanaanya; menentukan sumber pendanaan; menentukan dan mengajak pihakpihak yang akan dilibatkan; melaksanakan kegiatan atau mengimplementasikan program; hingga memonitor dan mengevaluasi kegiatan. Sedangkan Community Organizing (CO) dijelaskan dalam Suharo (2009 : 5) pada hakikatnya merupakan sebuah proses dengan mana warga masyarakat didorong agar bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan bersama. Makna “pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan orang berinteraksi dengan orang lain secara formal. Gerakan atau aksi-aksi sosial CO biasanya melalui pembentukan kelompok masa, dan kemudian memobilisasi para anggotanya untuk bertindak, mengembangkan kepemimpinan, serta relasi diantara mereka yang terlibat. Dijelaskan dalam Makalah Kebijakan Sosial dan Pengembangan Masyarakat: Perspektif Pekerjaan Sosial (Suharto, 2009) yang membedakan CO dari ComDev adalah CO lebih sering diterapkan pada masyarakat perkotaan yang relatif sudah maju. CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek politik warga, seperti penyadaran hak-hak sipil (civil right), pembentukan forum warga, penguatan demokrasi,
28
pendidikan warga yang merayakan pluralisme, kesetaraaan dan partisipasi publik. CO seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang melibatkan pengorganisasian masyarakat (CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks politik. Program-program CO juga bermacam- macam, seperti perumusan dan pengusulan naskah kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin, advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan KDRT, dst. Singkatnya, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan pelatihan ekonomi mikro, maka CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu bertindak melawan status quo, kaum pemodal rentenir, atau kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak adil dan menindas. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pembedaan antara CO dan ComDev bersifat absolut. Dalam prakteknya dan pada kasus tertentu, pencampuran pendekatan keduanya sangat mungkin terjadi di antara berbagai kategori masyarakat. Dengan tujuan tidak membedakan antara CO dan CD, penulis menggunakan istilah yaitu PM (Pemberdayaan Masyarakat) saja. Selain istilah ini lebih mudah ditangkap,
29
bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM dirasa lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka. Dalam lingkup Pekerjaan Sosial, PM didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto, 2008; Suharto, 2006; Ife, 1995; Netting, Kettner dan McMurtry, 1993; DuBois dan Milley, 1992 da lam Suharto 2009 : 2). PM adalah strategi Pekerjaan Sosial dengan mana anggota masyarakat didorong agar memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan, meskipun tidak menutup kemungkinan kelompok lain untuk berpartisipasi. PM memiliki tujuan utama yaitu memberdayakan individu- individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan komunitas mereka. PM tidak seperti pendekatan “cetak biru” (blue print) sekali jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan berkelanjutan. Pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan adalah inti PM. Dalam proses mencapai tujuan bersama ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan kesempatan hidup; difasilitasi dalam merancang solusi-solusi yang tepat; serta dilatih agar memiliki
30
kapasitas agar mampu mengakses sumber-sumber yang ada di dalam maupun diluar komunitasnya. Sayangnya, menurut argumen dalam bukunya “Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat”, Suharto (2006) berpendapat bahwa terjadi penyimpangan dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Penyimpangan yang dimaksud adalah pendekatan yang diterapkan seringkali terlalu terkesima (untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan) konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas seperti pembangunan sosial, kebijakan sosial, relasi kekuasaan, ketidakad ilan jender, ekslusifisme, pembelaan hak- hak publik, dan kesetaraaan sosial seringkali kurang mendapat perhatian. Komunitas lokal dianggap seakan entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program PM yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro seperti dikatakan Suharto yaitu “warungisasi” (setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau “kambingisasi” (pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok). Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti itu. Namun tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan lokal dengan analisis kelembagaan dan Kebijakan Sosial secara terintegrasi, pendekatan
31
pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan. Tak hanya “terjebak dalam lokalitas” seperti ditunjukkan diatas, tetapi kegagalan PM juga disebabkan oleh adanya bias-bias yang menghinggapi perencanaan dan pelaksanaan PM. Dalam buku Rural Development: Putting the Last First (1985) oleh Robert Chambers dan buku “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia” (2004) oleh Suharto, dikatakan ada 10 bias dalam PM. Seperti yang dikemukakan dalam Tabel 3.2. Tabel 3.2. Jenis-jenis Bias No
Jenis Bias
Penjelasan PM cenderung banyak di laksanakan di wilayah perkotaan. Sementara itu
1
Bias perkotaan daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan. PM lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah yang dekat dengan jalan
2.
Bias jalan utama
utama. Daerah-daerah terpencil yang
jauh dari
jalan
raya kurang
menarik perhatian karena sulit d ijangkau dan ku rang terekpose media massa. Masyarakat seringkali
mengalami masalah kekurangan pangan dan
penyebaran penyakit pada saat mus im hujan dan banjir. Namun, p rogramBias musim 3.
program PM kerap dilaku kan pada saat musim kering ketika mobil para kering. “development tourist” mudah menjangkau lokasi dan sepatu mengkilat mereka tidak mudah terperosok lu mpur. Bias Donor
4.
dan aktivis PM
lebih
menyukai
melaksanakan
program
pembangunan pembangunan fisik yang mudah terukur dari pada pembangunan manusia. fisik.
32
Saat melakukan needs assessment dan Participatory Rural
Appraissal
(PRA), baik anggota masyarakat maupun para akt ivis PM tidak jarang Bias modal
terjebak pada pemberian prioritas yang tinggi pada perlunya penguatan
5. finansial.
modal
finansial (kredit
mikro, simpan pin jam). Padahal dalam kondisi
modal sosial yang tipis, kemungkinan terjadinya korupsi, pemotongan dana, dan pemalsuan nama orang-orang miskin, sangat besar. Program PM seringkali d iberikan pada “orang-orang itu saja” yang relat if lebih 6.
Bias aktivis
menonjol dan
aktif
dalam
menghadiri
pertemuan,
mengemukakan pendapat dan mengikuti berbagai kegiatan di wilayahnya. Kecenderungan kepada “good persons” ini menyebabkan “silent majority” men jadi terabaikan. Program PM diterapkan berulangkali pada wilayah-wilayah yang sering menerima proyek, karena dianggap telah mampu men jalankan kegiatan
7.
Bias proyek. dengan baik. Daerah-daerah yang dikategorikan “good locations” ini biasanya menjadi target rut in pelaksanaan proyek-proyek percontohan. Anak-anak dan kelo mpok lanjut usia yang pada umu mnya dianggap Bias orang
kelo mpok “minoritas” jarang tersentuh program PM. Mereka jarang
8. dewasa.
dilibatkan
dalam identifikasi
kebutuhan
dan
perencanaan program,
apalagi dimasukan sebagai penerima program. Di daerah-daerah terpencil di Indonesia, laki-laki pada u mu mnya lebih 9.
Bias laki-laki. sering terlibat dalam kegiatan PM ketimbang perempuan. Para penyandang cacat, termasuk anak-anak dengan kebutuhan
khusus
Bias orang 10
jarang
tersentuh
“normal”. tidak “normal”.
Sumber : Suharto (2009 : 7)
program
PM.
Mereka
dipandang kelo mpok yang
33
Dalam mengatasi tragedi PM diperlukan perumusan dan pengembangan platform kebijakan dalam tataran yang lebih luas dan holistik. Perumusan Kebijakan Sosial yang tepat merupakan strateginya. Kebijakan Sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan Publik. Kebijakan Sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu- isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Secara konseptual, tren perkembangan CSR dijelaskan secara sederhana dalam skema dibawah.
Motivasi CSR
Pemberdayaan dan pembangunan berkelanjutan
Karitatif
Charity
Filantropi
Kewargaan
Community Development
Pemberdayaan Masyarakat
Community Organizing
Gambar 3.3 : Skema Konseptual Tren Perke mbangan CSR di Indonesia
34
3.2.1. Implementasi CSR di Indonesia Implementasi CSR merupakan perwujudan komitmen yang dibangun oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat (Susiloadi, 2008 : 124) CSR sangat relevan diterapkan oleh dunia usaha di Indonesia. Selain karena kebijakan sosial dan kebijakan kesejahteraan di Indonesia cenderung bernuansa residual dan parsial (tidak melembaga dan terintegrasi dengan sistem perpajakan seperti halnya di negara-negara yang menganut welfare state), mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup dalam kondisi serba kekurangan. (Suharto, 2006) Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara implementasinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “kontribusi” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Saat ini penerapan CSR di Indonesia semakin meningkat baik dalam kuantitas maupun kualitas. Diperoleh data bahwa tak kurang dari 30-40% atau 6-9 juta perusahaan di Indonesia dari sekitar 22,7 juta perusahaan yang beroperasi, telah menjalankan program CSR. Dana CSR di Indonesia mencapai Rp 1-2 triliun lebih yang tercatat dari 200 perusahaan (http://www.lptti.com/csr.html).
35
Keragaman kegiatan dan pengelolaannya semakin bervariasi, dilihat dari kontribusi finansial, jumlahnya semakin besar. Pada tahun 2001 PIRAC melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari 115 miliar rupiah atau sekitar 11,5 juta dollar AS dari 180 perusahaan yang dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media massa. Angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana bagi kegiaran CSR adalah sekitar 640 juta rupiah atau sekitar 413 juta per kegiatan. Mesk ipun dana ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dana CSR di Amerika Serikat, dilihat dari angka kumulatif tersebut, perkembangan CSR di Indonesia cukup menggembirakan. Sebagai perbandingan, di AS porsi sumbangan dana CSR pada tahun 1998 mencapai 21,51 miliar dollar dan tahun 2000 mencapai 203 miliar dollar atau sekitar 2,03 triliun rupiah (Saidi dan Abidin dalam Suharto 2007 : 6) Lewat konsep investasi sosial perusahaan, sejak tahun 2003, Departemen Sosial adalah lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari landasan filosofis bahwa kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Berdasarkan data yang tercatat Departemen Sosial RI namun tidak dicantumkan tahunnya, sedikitnya ada 74 perusahaan yang sudah bermitra dengan melakukan CSR. (Lampiran)
36
Model pelaksaan CSR pun bermacam- macam. Paling tidak ada empat model pelaksanaan CSR yang umum digunakan di Indonesia. Keempat model tersebut antara lain: 1.
CSR yang dilaksanakan langsung oleh perusahaan Perusahaan melakukannya sendiri tanpa melalui perantara atau pihak lain. Perusahaan memiliki satu divisi tersediri atau bisa juga digabung dengan divisi yang lain yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan sosial perusahaan termasuk CSR. Perusahaan juga bisa menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manajer atau menjadi bagian dari tugas divisi human resource development atau public relations. (Susiloadi, 2008: 128)
2.
Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan memiliki yayasan sendiri dibawah perusahaan atau groupnya yang dibentuk terpisah dari organisasi induk perusahaan namun tetap harus bertanggung jawab ke CEO atau dewan direksi. Dalam kegiatan yayasan biasanya perusahaan sudah menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan untuk operasional yayasan. Model ini merupakan adopsi yang lazim dilakukan di negara maju. Contoh yayasan yang didirikan oleh perusahaan sebagai perantara dalam melakukan CSR antara lain; Yayasan Coca Cola Company,
37
Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, Danamon peduli, dan Samporna Foundation, 3.
Menjalankan CSR melalui kerjasama atau bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menjalin kerjasama dengan pihak lain seperti perguruan tinggi, lembaga pemerintah, LSM dan organisasi lainnya. Kerjasama dapat dilakukan dalam mengelola maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/Lipi, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar). Contoh lain adalah Bank Rakyat Indonesia yang memiliki program CSR yang terintegrasi dengan strategi perusahaan dan bekerjasama dengan pemerintah mengeluarkan produk pemberian kredit untuk rakyat atau yang di kenal dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
4.
Mendukung atau bergabung dengan suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium
yang
dipercaya
oleh
perusahaan-perusahaan
yang
mendukungnya akan secara proaktif mencari kerjasama dari berbagai
38
kalangan dan kemudian mengembangkan program yang te lah disepakati. (Susiloadi, 2008 : 128) Model mana yang dipilih sangat tergantung pada visi dan misi perusahaan, sumberdaya yang dimiliki, serta tuntutan eksternal (misalnya kondisi masyarakat lokal, tekanan pemerintah atau LSM). Namun dari keempat model diatas, model yang banyak dijalankan selama tahun 2001 adalah model ketiga yakni perusahaan bermitra dengan organisasi sosial atau lembaga lain dengan dana yang teralokasi mencapai 79 miliar rupiah (tabel 3.3). Tabel 3.3. : CSR be rdasarkan Jumlah Kegiatan dan Dana No
Model
Jumlah Kegiatan
Jumlah Dana (rupiah)
1
Langsung
113 kegiatan (40,5%)
14,2 miliar (12,2%)
2
Yayasan Perusahaan
20 Keg iatan (7,2%)
20,7 miliar (18%)
3
Bermitra dengan Lembaga Sosial
144 kegiatan (51,6%)
79 miliar (68,5%)
4
Konsorsium
2 kegiatan (0,7%)
1,5 miliar (1,3%)
Jumlah total
279 kegiatan
115,3 miliar
Sumber : Saidi dan Abidin (2004 : 66) dalam Suharto (2006 : 9) Pada tabel 3.4 akan diperlihatkan mengenai jenis kegiatan CSR dilihat dari jumlah kegiatan dan jumlah dana yang dikeluarkan. Tabel 3.4. : Jenis Kegiatan CSR be rdasarkan Jumlah Kegiatan dan Dana No
Jenis/Sektor Kegiatan
Jumlah Kegiatan
Jumlah Dana (Rupiah)
1
Pelayanan Sosial
95 keg iatan (34,1%)
38 miliar (33,0%)
2
Pendidikan dan Penelit ian
71 keg iatan (25,4%)
66,8 miliar (57,9%)
3
Kesehatan
46 keg iatan (16,4%)
4,4 miliar (3,8%)
4
Kedaruratan (emergency)
30 keg iatan (10,8%)
2,9 miliar (2,5%)
39
5
Lingkungan
15 keg iatan (5,4%)
395 juta (0,3%)
6
Ekonomi Produktif
10 keg iatan (3,6%)
640 juta (0,6%)
7
Seni, Olah Raga dan Pariwisata
7 kegiatan (2,5%)
1,0 miliar (0,9%)
8
Pembangunan Prasarana dan
5 kegiatan (1,8%)
1,3 miliar (1,0%)
0
0
279 kegiatan
115,3 miliar
Peru mahan 9
Huku m, Advokasi dan Polit ik
Jumlah Total
Sumber: Saidi dan Abidin (2004:67) dalam Suharto (2006 : 9) 3.2.2. Integrasi CSR dalam Bauran Pe masaran Bauran pemasaran merupakan seperangkat alat yang dapat digunakan pemasar untuk membentuk karakteristik barang/jasa yang ditawarkan kepada pelanggan (http://frenndw.wordpress.com/2011/01/18/bauran-pemasaran/). Berdasarkan pandangan klasik „komponen 4P‟ dalam bauran pemasaran meliputi Product (Produk), Price (Harga), Promotion (Promosi) dan Place (Distribusi dan/atau tempat). Konsep CSR sebetulnya dapat diintergrasikan dalam bauran pemasaran. Namun tak berarti bauran pemasaran ini kemudian sengaja dikemas dengan format CSR demi kuntunga n perusahaan semata. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang Sosio-Ekonomi dalam konsep Sustainable Development, integrasi CSR dalam bauran pemasaran di perusahaan dapat menjadi sarana perusahaan mengungkapkan tanggung jawabnya sekaligus dapat menjadi seperangkat alat pemasaran oleh perusahaan
secara
berkelanjutan.
Ilustrasinya,
konsep
CSR
yang
diintegrasikan dengan bauran pemasaran itu bukan “ada udang di balik batu”
40
tetapi lebih ke-“sekali tepuk dua lalat”. Namun dalam beberapa kasus, integrasi CSR tidak selalu sama antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain. Integrasinya berbeda-beda tergantung kebijakan dan kreativitas pemasar di perusahaan tersebut. “4P” dan kaitannya dengan bauran pemasaran adalah: (1) Produk : penawaran baik berupa barang maupun jasa yang ditujukan untuk pemuasan kebutuhan. Integrasi CSR dapat dilakukan melalui Produk yang digunakan berasal dari bahan yang ramah lingkungan. Jika jasa, perekrutan karyawan sebagian berasal dari lingkungan sekitar perusahan. Contohnya adalah plastik pembungkus atau sering disebut plastik kresek yang dibuat oleh Alfamart. Plastik yang digunakan lebih cepat terurai dalam tanah. (2) Harga: bauran pemasaran yang
melibatkan komponen yang
digunakan dalam mempengaruhi harga. Integrasi CSR dengan harga berkaitan dengan sejumlah rupiah yang dibayarkan oleh pelanggan digunakan untuk kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan. Starbucks adalah salah satu perusahaan yang melakukannya. (3) Saluran Distribusi: keputusan distribusi menyangkut kemudahan akses terhadap jasa bagi para pelanggan. Tempat dimana produk tersedia dalam sejumlah saluran distribusi dan outlet yang memungkinkan konsumen dapat dengan mudah memperoleh suatu produk; Integrasi CSRnya bisa
41
melalui outlet yang didirikan bekerja sama dengan lingkungan sekitar dalam rangka pemberdayaan dengan branding perusahaan dioutlet tersebut. Beberapa perusahaan rokok seperti PT. HM. Sampoerna dengan Sampoerna Ijonya atau beberapa provider seluler seperti Axix dan XL mendirikan beberapa outlet di desa-desa dengan mencantumkan mereknya. (4) Promosi: bauran promosi meliputi berbagai metode, yaitu Iklan, Promosi Penjualan, Penjualan Tatap Muka dan Hubungan Masyarakat. Menggambarkan berbagai macam cara yang ditempuh perusahaan dalam rangka menjual produk ke konsumen. Integrasi CSR disini lebih terlihat tebar pesona dengan melakukan kegiatan promosi dan dikaitkan dengan CSR yang dilakukan perusahaan. Bank BNI, Bank Mandiri, PT. Djarum, dan berbagai perusahaan sering melakukan metode ini. 3.3. Faktor yang me mpengaruhi perke mbangan CSR Perkembangan CSR dipengaruhi oleh fenomena DEAF (yang dalam Bahasa Inggris berarti tuli) di dunia industri. DEAF adalah singkatan dari Dehumanisasi, Emansipasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi (Suharto, 2008a: 5): Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia industri akibat perkembangan teknologi telah menciptakan persoalanpersoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan,
42
maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. Perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang PHK dan pengangguran. Ekspansi dan eksploitasi industri telah melahirkan ketimpangan sosial, polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat. Emansipasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggung jawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut kepedulian perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya. Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu profit dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis dan filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup. Feminisasi dunia kerja. Keterlibatan wanita di dunia kerja yang semakin banyak semakin menuntut penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan
43
melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu- ibu di rumah dan tentunya di lingkungan masyarakat. Pendirian fasilitas pendidikan, kesehatan dan perawatan anak (child care) atau pusat pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja adalah beberapa bentuk respon terhadap isu ini. Fenomena DEAF tersebut dipaparkan dalam beberapa data menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan sosial akibat globalisasi. Saat ini dunia menjadi pusat perbelanjaan raksasa dimana kesejahteraan manusia dan kedaulatan negara dipaksa tunduk pada hukum hedonisme dan pasar bebas (Suharto, 2008c). Para penguasa dan pengusaha harus mampu menjaga agar CSR tidak terseret untuk memperkuat realitas ini. Dalam majalah Bisnis dan CSR edisi Oktober 2007 bertajuk “Regulasi Setengah Hati” diturunkan laporan utama tentang paradoks kejayaan dunia bisnis dan fenomena kemiskinan di aras global (Bisnis dan CSR, 2007: 84-91). Disimpulkan bahwa dunia bisnis kini telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa di muka bumi selama setengah abad terakhir ini. ( Suharto, 2008d : 4) Dari 100 besar penguasa ekonomi dunia, 51 di antaranya adalah korporasi dan 49 nya adalah negara. Mengutip laporan The United Nations Conference on Trade
44
and Development (UNCTAD) dan The World Investment (2002), ditemukan bahwa sekitar 65 ribu korporasi transnasional bersama 850 ribu affiliasi asingnya menguasai 10% total Gros Domestic Product (GDP) dan 33% ekspor dunia (Suharto 2008d : 4). Sejumlah korporasi multinasional memiliki pendapatan sebanding dengan GDP negara maju dan melebihi puluhan negara miskin dan berkembang. Misalnya, penjualan tahunan GDP Denmark sebanding dengan General Motor dan gabungan GDP 180 negara miskin dan berkembang lebih sedikit dibanding omset Exxon Mobil. Sayangnya, kejayaan perusahaan transnasional tersebut ternyata tidak selaras dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat dunia. Sampai awal abad ini, didalam 5,4 miliar populasi dunia, 24 persennya (1,3 miliar ) terdapat manusia yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari. Diluar itu ada ratusan juta keluarga yang tidak memiliki rumah layak, anak-anak usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan, kekurangan air bersih, ibu- ibu yang meninggal ketika melahirkan, dan bayi-bayi yang tidak sempat melihat dunia saat dilahirkan. Juga belum termasuk kerusakan lingkungan yang disebabkan (baik langsung maupun tidak langsung) oleh beroperasinya perusahaan yang rentetannya mengakibatkan bencana kemanusiaan berkepanjangan. Kelamnya potret kesejahteraan manusia global ini tidak jauh berbeda dengan potret di Indonesia. Sampai saat ini, jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat mencemaskan. Angka kemiskinan ini menggunakan poverty line dari BPS sekitar Rp.5.500 per kapita per hari. Tahun 2006, jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun
45
tersebut. Setahun setelah itu jumlah penduduk miskin adalah 37,17 juta orang atau 16,58% dari total penduduk Indonesia. Ini berarti jumlah orang miskin turun sebesar 2,13 juta jiwa. (Suharto, 2008a : 5) Sekilas memang terjadi penurunan, tetapi angka ini tetap saja besar dan melampaui keseluruhan jumlah penduduk negara tetangga seperti Malaysia (25 juta), Australia (12 juta), dan Selandia Baru (4 juta). Jika menggunakan poverty line dari Bank Dunia sebesar US$ 2 per kapita per hari, diperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia berkisar antara 40-60% dari total penduduk. Potret kesejahteraan ini terlihat lebih parah jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang diberi label oleh Departemen Sosial : Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). (Suharto, 2008a : 5) Di dalam kelompok ini terdapat jutaan Anak Balita Terlantar; Anak Jalanan, Korban Tindak Kekerasan; Lanjut Usia Terlantar; Penyandang Cacat; Tuna Susila, Pengemis; Gelandangan; Korban Penyalahgunaan Napza; Keluarga Fakir Miskin; Keluarga yang Tinggal di Rumah Tak Layak Huni; Komunitas Adat Terpencil; Korban Bencana Sosial; Orang dengan HIV/AIDS dan seterusnya. Mereka bukan saja menghadapi kesulitan ekonomi, melainkan pula mengalami pengucilan sosial ( social exlusion) akibat diskriminasi, stigma, dan eksploitasi. Dari paparan diatas terlihat bahwa globalisasi memiliki dampak negatif salah satunya melahirkan paradoks. Disatu sisi dunia bisnis yang makin jaya tapi di sisi lain
46
membuat buruk tatanan ekonomi, keadilan sosial dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dalam perkembangannya di aras global, hembusan CSR dan perkembangan konsep-konsep yang terkait, seperti corporate citizenship dan corporate sustainability semakin meluas, terutama dalam merespon tantangan-tantangan baru akibat menguatnya globalisasi. 3.4. Manfaat Sustainable Development CSR Menurut A.B. Susanto (2007), CSR dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan dapat dipandang sebagai aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah iklim bisnis yang semakin kompetitif. Keuntungan yang dapat diambil adalah : 1.
Peningkatan nilai saham bagi perusahaan dan kinerja finansial yang
lebih baik. Pandangan ini didasari dengan pemikiran bahwa konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang secara konsisten menjalankan CSRnya sehingga memiliki reputasi yang baik. 2.
Menurunkan resiko benturan dengan komunitas masyarakat sekitar.
Sesungguhnya esensi keberadaan CSR salah satunya adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dalam kawasannya dengan lingkungannya dengan membangun kerjasama dengan para stakeholdernya. 3.
Dapat meningkatkan reputasi perusahaan yang dapat dipandang
sebagai social marketing bagi perusahaan tersebut yang juga merupakan
47
bagian dari pembangunan citra perusahaan (corporate image building). Pembentukan brand image perusahaan melalui social marketing dapat memberikan manfaat dalam kaitannya dengan kemampuan perusahaan terhadap komitmen yang tinggi terhadap lingkungannya. 4.
Layak mendapatkan ijin untuk beroperasi (sosial license to operate)
dan insentif- insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. 5.
Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. Karyawan akan
merasa bangga pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik dan konsisten melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR banyak sedikit dipengaruhi Milton Friedman yang cenderung tidak sejalan dengan CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih positif, bahkan terkadang overestimate. Seakan-akan CSR adalah obat yang bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan tidaklah “taken for granted” dan otomatis. Salah satu tokoh yang kritis terhadap CSR adalah David Vogel, penyandang Solomon Lee Professor of Bussines Ethics pada Haas School of Business dan Profesor of Political Science di University of California Berkeley. Menurutnya, perkembangan literatur CSR memiliki kelemahan yang seragam, yakni “tidak
48
menimbang dengan hati- hati apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR” (Jajal, 2006). Berdasarkan hasil studinya, Vogel menemukan bahwa “tesis” yang menyatakan bahwa CSR akan meningkatkan keuntungan perusahaan merupakan keyakinan yang kurang didukung data empiris. Investasi CSR mirip belanja iklan, yang belum tentu mendongkrak keuntungan perusahaan.