Bab III Tinjauan Pustaka|
16
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Tinjauan Umum Perencanaan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) memerlukan bidangbidang ilmu pengetahuan lain yang dapat mendukung untuk memperoleh hasil perencanaan konstruksi PLTMH yang handal dan komprehensif dan bangunan multiguna. Bidang bidang ilmu yang mendukung perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo bisa kita bagi didalam analisa hidrologi, analisa hidrolika, stabilitas bendung dan dimensi angker block dan power house. 3.2. Analisis Hidrologi Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan dan di dalam tanah untuk mendapat nilai aliran disungai. Parameter yang ditinjau dari analisa hidrologi meliputi debit banjir, debit andalan, neraca air. 3.2.1. Debit Banjir Perhitungan debit banjir meliputi curah hujan rencana, perhitungan intensitas curah hujan dan perhitungan debit banjir. A.
Curah Hujan Rencana Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam
perencanaan pembuatan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Penentuan besar curah hujan rencana meliputi penentuan luas DAS, penentuan curah hujan harian, penentuan curah hujan maksimum harian rata-rata. A.1.
Penentuan Luas DAS DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan,
menampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau ke laut. Komponen masukan dalam DAS adalah curah hujan, sedangkan keluarannya terdiri dari debit air dan muatan sedimen (Suripin, 2004). Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi tersusun dari DAS-DAS kecil, dan DAS kecil ini juga tersusun dari DAS-DAS yang lebih kecil lagi sehingga dapat didefinisikan sebagai suatu
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
17
wilayah yang dibatasi oleh batas alam seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul dimana air hujan yang tuRun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). A.2.
Penentuan Curah Hujan Harian 1.
Metode Rata-rata Aljabar Curah hujan didapatkan dengan mengambil rata-rata hitung (arithematic mean) dari
penakar hujan areal tersebut dibagi dengan jumlah stasiun pegamatan (Sosrodarsono dan Takeda, 1976). Cara ini digunakan apabila :
Daerah tersebut berada pada daerah yang datar
Penempatan alat ukut tersebar merata
Variasi curah hujan sedikit dari harga tengahnya
∑
P =
=
…
Dimana : P
= Tinggi curah hujan rata – rata ( mm )
P1, P2, P3, Pn
= Tinggi curah hujan pada stasiun penakar 1,2,…n (mm)
n 2.
= Banyaknya stasiun penakar
Metode Thiessen Metode perhitungan berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Metode ini
memberikan proporsi luasan daerah pengaruh stasiun hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua stasiun hujan terdekat, dapat dilihat pada gambar 3.1. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa variasi hujan antara stasiun hujan yang satu dengan lainnya adalah linear dan stasiun hujannya dianggap dapat mewakili kawasan terdekat (Suripin, 2004). Metode ini cocok jika stasiun hujan tidak tersebar merata dan jumlahnya terbatas dibanding luasnya. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor pembobot atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun. Besarnya koefisien thiessen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (CD.Soemarto, 1999) :
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
C =
18
Ai Atotal
Dimana : C
=
Koefisien thiessen
Ai
=
Luas daerah pengaruh dari stasiun pengamatan i (km2)
Atotal
=
Luas total dari DAS (km2)
Langkah-langkah metode thiessen sebagai berikut : 1.
Lokasi stasiun hujan di plot pada peta DAS. Antar stasiun dibuat garis lurus penghubung.
2.
Tarik garis tegak lurus di tengah-tengah tiap garis penghubung sedemikian rupa, sehingga membentuk poligon thiessen. Semua titik dalam satu poligon akan mempunyai jarak terdekat dengan stasiun yang ada di dalamnya dibandingkan dengan jarak terhadap stasiun lainnya. Selanjutnya, curah hujan pada stasiun tersebut dianggap representasi hujan pada kawasan dalam poligon yang bersangkutan.
3.
Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dengan planimeter dan luas total DAS (A) dapat diketahui dengan menjumlahkan luas poligon.
4.
Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan rumus :
R
A1 R1 A2 R2 ... An Rn A1 A2 ... An
=
Dimana :
R A 1 ,A 2 ,...,A n
= Curah hujan rata-rata DAS (mm) = Luas daerah pengaruh dari setiap stasiun hujan (km2)
R 1 ,R 2 ,...,R n
= Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm)
n
= Banyaknya stasiun hujan
2 1 A
A 3
A
A
4 A
A 5
6
A 7
Gambar 3.1 Metode Poligon Thiessen Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
3.
19
Metode Isohyet Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak
merata. Pada setiap titik di suatu kawasan dianggap hujan sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili suatu luasan (Sosrodarsono dan Takeda, 1976). Metode ini digunakan dengan ketentuan :
Dapat digunakan pada daerah datar maupun pegunungan
Jumlah stasiun pengamatan harus banyak
Bermanfaat untuk hujan yang sangat singkat Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapat hujan areal rata – rata, tetapi
memerlukan jaringan pos penakar yang relative lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet. Sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (hujan orografik). Untuk lebih jekasnya mengenai metode ini dapat diilustrasikan pada gambar inpi.
Gambar 3.2 Metode Poligon Isohyet
.
R =
.
..….
.
……
Dimana : R
= Curah hujan rata – rata ( mm )
R1, R2, …..,Rn = Curah hujan di garis isohyets ( mm ) A1,A2,……,An = Luas bagian yang dibatasi oleh isohyet – isohyet ( Km2 )
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
20
Berdasarkan statiun hujan yang dimiliki oleh DAS Bogowonto maka disimpulkan menggunakan metode Thiessen.
A.3.
Curah Hujan Maksimum Harian Rata-Rata Metode cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan hujan maksimum harian rata-
rata DAS adalah sebagai berikut : 1.
Tentukan hujan maksimum harian pada tahun tertentu di salah satu pos hujan.
2.
Cari besarnya curah hujan pada tanggal-bulan-tahun yang sama untuk pos hujan yang lain.
3.
Hitung hujan DAS dengan salah satu cara yang dipilih.
4.
Tentukan hujan maksimum harian (seperti langkah 1) pada tahun yang sama untuk pos hujan yang lain.
5.
Ulangi langkah 2 dan 3 setiap tahun.
Dari hasil rata-rata yang diperoleh (sesuai dengan jumlah pos hujan) dipilih yang tertinggi setiap tahun. Data hujan yang terpilih setiap tahun merupakan hujan maksimum harian DAS untuk tahun yang bersangkutan (Suripin, 2004). B.
Perhitungan Intensitas Curah Hujan Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramalkan besarnya hujan dengan
periode ulang tertentu (Soewarno, 1995). Parameter untuk menentukan intensitas curah hujan meliputi parameter statistik, jenis sebaran, uji sebaran, uji kecocokan dan perhitungan intensitas curah hujan. B.1.
Parameter Statistik Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi parameter
nilai rata-rata ( X ), standar deviasi ( S d ), koefisien variasi (Cv), koefisien kemiringan (Cs) dan koefisien kurtosis (Ck). Perhitungan parameter tersebut didasarkan pada data catatan tinggi hujan harian rata-rata maksimum 17 tahun terakhir. 1.
Nilai rata-rata
X
X
i
n
Dimana : Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
2.
X
= nilai rata-rata curah hujan
Xi
= nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
N
= jumlah data curah hujan
21
Standar deviasi Ukuran sebaran yang paling banyak digunakan adalah deviasi standar. Apabila penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata maka nilai Sd akan besar, akan tetapi apabila penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka nilai Sd akan kecil. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut (Soewarno, 1995) : n
X Sd
i
X
2
i 1
n 1 Dimana :
S d = standar deviasi curah hujan
X = nilai rata-rata curah hujan = nilai pengukuran dari suatu curah hujan ke-i
Xi
n = jumlah data curah hujan 3.
Koefisien variasi Koefisien variasi (coefficient of variation) adalah nilai perbandingan antara standar deviasi dengan nilai rata-rata dari suatu sebaran. Koefisien variasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Soewarno, 1995) : Cv=
Sd X
Dimana :
4.
Cv
= koefisien variasi curah hujan
Sd
= standar deviasi curah hujan
X
= nilai rata-rata curah hujan
Koefisien kemencengan Koefisien kemencengan (coefficient of skewness) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat ketidak simetrisan (assymetry) dari suatu bentuk distribusi. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagi berikut (Soewarno, 1995):
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Untuk populasi
: Cs
3
Untuk sampel
: Cs
a 3 Sd
22
3
1 n X i n i1
n n a Xi X n 1n 2 i 1
3
Dimana :
5.
Cs
= koefisien kemencengan curah hujan
= standar deviasi dari populasi curah hujan
Sd
= standar deviasi dari sampel curah hujan
= nilai rata-rata dari data populasi curah hujan
X
= nilai rata-rata dari data sampel curah hujan
Xi
= curah hujan ke i
n
= jumlah data curah hujan
a ,
= parameter kemencengan
Koefisien Kurtosis Koefisien kurtosis adalah suatu nilai yang menunjukkan keRuncingan dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai Ck = 3 yang dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam yang dinamakan leptokurtik, sedangkan Ck > 3 berpuncak datar dinamakan platikurtik. Bentuk dari koefisien kurtosis dapat dilihat pada gambar 3.3.
Leptokurtik Leptokurtik Mesokurtik
Mesokurtik
Platikurtik
Gambar 3.3 Koefisien Kurtosis
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
23
Koefisien kurtosis biasanya digunakan untuk menentukan keruncingan kurva distribusi, dan dapat dirumuskan sebagai berikut : Ck
MA4 Sd
4
Dimana :
Ck
= koefisien kurtosis
MA(4) = momen ke-4 terhadap nilai rata-rata Sd
= standar deviasi
Untuk data yang belum dikelompokkan, maka :
1 n Xi X n i 1 Ck 4 Sd
4
dan untuk data yang sudah dikelompokkan
1 n Xi X n i1 Ck 4 Sd
4
fi
Dimana :
Ck
= koefisien kurtosis curah hujan
n
= jumlah data curah hujan
Xi
= curah hujan ke i
X = nilai rata-rata dari data sampel
B.2.
fi
= nilai frekuensi variat ke i
Sd
= standar deviasi
Jenis Sebaran Sebaran yang dikaji meliputi analisa distribusi Gumbel, Log Pearson tipe III, Normal,
Log Normal. 1. Sebaran Gumbel Tipe I Digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir. Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode sebaran Gumbel Tipe I
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
24
digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut (CD.Soemarto, 1999) : Rumus
Xt = X +
:
(Yt - Yn) × Sx Sn
Dimana : XT
= nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun.
X
= nilai rata-rata hujan
Sx
= standar deviasi (simpangan baku)
YT
= nilai reduksi variat ( reduced variate ) dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode ulang T tahun, dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Yn
= nilai rata-rata dari reduksi variat (reduce mean) nilainya tergantung dari jumlah data, dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Sn
= deviasi standar dari reduksi variat (reduced standart deviation) nilainya tergantung dari jumlah data, dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.1 Reduced Mean (Yn) metode Sebaran Gumbel tipe I ( Sumber:CD.Soemarto, 1999) N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,4952
0,4996
0,5035
0,5070
0,5100
0,5128
0,5157
0,5181
0,5202
0,5220
20
0,5236
0,5252
0,5268
0,5283
0,5296
0,5300
0,5820
0,5882
0,5343
0,5353
30
0,5363
0,5371
0,5380
0,5388
0,5396
0,5400
0,5410
0,5418
0,5424
0,5430
40
0,5463
0,5442
0,5448
0,5453
0,5458
0,5468
0,5468
0,5473
0,5477
0,5481
50
0,5485
0,5489
0,5493
0,5497
0,5501
0,5504
0,5508
0,5511
0,5515
0,5518
60
0,5521
0,5524
0,5527
0,5530
0,5533
0,5535
0,5538
0,5540
0,5543
0,5545
70
0,5548
0,5550
0,5552
0,5555
0,5557
0,5559
0,5561
0,5563
0,5565
0,5567
80
0.5569
0,5570
0,5572
0,5574
0,5576
0,5578
0,5580
0,5581
0,5583
0,5585
90
0,5586
0,5587
0,5589
0,5591
0,5592
0,5593
0,5595
0,5596
0,5598
0,5599
100
0,5600
Tabel 3.2 Reduced Standard Deviation (Sn) Metode Sebaran Gumbel Tipe 1 ( Sumber:CD.Soemarto, 1999) N
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565
20
1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0315 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
25
30
1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388
40
1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590
50
1,1607 1,1923 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734
60
1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844
70
1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930
80
1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001
90
1,2007 1,2013 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2046 1,2049 1,2055 1,2060
100 1,2065
Tabel 3.3 Reduced Variate (YT) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1 ( Sumber:CD.Soemarto, 1999) Periode Ulang (Tahun)
Reduced Variate
2
0,3665
5
1,4999
10
2,2502
20
2,9606
25
3,1985
50
3,9019
100
4,6001
200
5,2960
500
6,2140
1000
6,9190
5000
8,5390
10000
9,9210
2. Sebaran Log-Pearson Tipe III Digunakan dalam analisis hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum) dengan nilai ekstrim. Bentuk sebaran Log-Pearson tipe III merupakan hasil transformasi dari sebaran Pearson tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik. Metode Log-Pearson tipe III apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan sebagai berikut (CD.Soemarto, 1999) : Y = Y+ K.S Dimana : Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
26
Y
=
nilai logaritmik dari X atau log (X)
X
=
data curah hujan
Y
=
rata-rata hitung (lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y
S
=
deviasi standar nilai Y
K
=
karakteristik distribusi peluang Log-Pearson tipe III,
_
dapat dilihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Harga K untuk Metode Sebaran Log Pearson III Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut :
Mengubah data curah hujan sebanyak n buah X1,X2,X3,...Xn menjadi log ( X1 ), log (X2 ), log ( X3 ),...., log ( Xn ).
Menghitung harga rata-ratanya dengan rumus : n
log Xi log( X )
i 1
n
Dimana :
log(X )
= harga rata-rata logaritmik
n
= jumlah data
Xi
= nilai curah hujan tiap-tiap tahun (R24 maks)
Menghitung harga standar deviasinya dengan rumus berikut :
n
log Xi log X
2
i 1
Sd
n 1 Dimana : Sd
= standar deviasi
Menghitung koefisien skewness (Cs) dengan rumus : n
log Xi log( X ) Cs
3
i 1
n 1n 2Sd 3 Dimana : Cs
= koefisien skewness
Menghitung logaritma hujan rencana dengan periode ulang T tahun dengan rumus :
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
27
Log (XT) = log(X) + K .Sd Dimana :
XT
= curah hujan rencana periode ulang T tahun
K
= harga yang diperoleh berdasarkan nilai Cs
Menghitung koefisien kurtosis (Ck) dengan rumus : n
n 2 log Xi log( X ) Ck
4
i 1
n 1n 2n 3Sd 4
Dimana : Ck
= koefisien kurtosis
Menghitung koefisien variasi (Cv) dengan rumus :
Cv
Sd log(X )
Dimana : Cv
= koefisien variasi
Sd
= standar deviasi
3. Sebaran Normal Perhitungan curah hujan rencana distribusi normal dapat dihitung dengan rumus : Xt
=
X + Kt* Sx
Di mana : Xt =
curah hujan rencana
X =
curah hujan maksimum rata-rata
Sx =
standar deviasi
Kt =
faktor frekuensi, dapat dilihat pada Tabel 3.5 Tabel 3.5 Penentuan Nilai Kt pada Sebaran Normal (Sumber : Soewarno, 1995)
Tugas Akhir |
Periode Ulang T (tahun)
Peluang
Kt
1,001
0,999
-3,05
1,005
0,995
-2,58
1,010
0,990
-2,33
1,050
0,950
-1,64
1,110
0,900
-1,28
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka| 1,250
0,800
-0,84
1,330
0,750
-0,67
1,430
0,700
-0,52
1,670
0,600
-0,25
2,000
0,500
0
2,500
0,400
0,25
3,330
0,300
0,52
4,000
0,250
0,67
5,000
0,200
0,84
10,000
0,100
1,28
20,000
0,050
1,64
50,000
0,200
2,05
100,000
0,010
2,33
200,000
0,005
2,58
500,000
0,002
2,88
1000,000
0,001
3,09
28
4. Sebaran Log Normal Sebaran log normal merupakan hasil transformasi dari sebaran normal, yaitu dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variat X (Soewarno, 1995). Perhitungan curah hujan rencana distribusi normal dapat dihitung dengan rumus : _
XT = X Kt.S Dimana : XT
= Besarnya curah hujan dengan periode ulang T tahun.
X
= curah hujan rata-rata (mm)
S
= Standar Deviasi data hujan harian maksimum
Kt
= Standard Variable untuk periode ulang t tahun, nilainya dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Standard Variable (Kt) untuk Metode Sebaran Log Normal (Sumber : CD. Soemarto, 1999) T (Tahun)
Kt
T (Tahun)
Kt
T (Tahun)
Kt
1
-1.86
20
1.89
90
3.34
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
B.3.
2
-0.22
25
2.10
100
3.45
3
0.17
30
2.27
110
3.53
4
0.44
35
2.41
120
3.62
5
0.64
40
2.54
130
3.70
6
0.81
45
2.65
140
3.77
7
0.95
50
2.75
150
3.84
8
1.06
55
2.86
160
3.91
9
1.17
60
2.93
170
3.97
10
1.26
65
3.02
180
4.03
11
1.35
70
3.08
190
4.09
12
1.43
75
3.60
200
4.14
13
1.50
80
3.21
221
4.24
14
1.57
85
3.28
240
4.33
15
1.63
90
3.33
260
4.42
29
Plootting data Plooting data distribusi frekuensi dalam kertas probabilitas bertujuan untuk
mencocokkan rangkaian data dengan jenis sebaran yang dipilih, dimana kecocokan dapat dilihat dengan persamaan garis yang membentuk garis lurus (Soewarno, 1995). Plooting data pada statistic paper dilakukan dengan cara 1.
Urutkan data dari besar ke kecil atau sebaliknya. Penggambaran posisi (plooting position) yang dipakai adalah cara yang dikembangkan oleh Weilbull dan Gumbel, yaitu :
P( Xm)
m x100% n 1
Dimana :
2.
P(Xm)
= data yang telah dirangking dari kecil ke besar
m
= nomor urut
n
= jumlah data
Plooting dalam statistic paper, simbol titik merupakan nilai curah hujan maksimum harian rata-rata terhadap P (Xm), sedangkan garis lurus merupakan fungsi jenis sebaran dengan periode ulang tertentu, yaitu: LogXt = LogXrt + k*Sd
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
30
Dimana :
3. B.4.
Xt
= Curah hujan
k
= Koefisien tiap distribusi
Sd
= Standar deviasi
Cari nilai Dmaks, yaitu jarak terjauh simbol titik terhadap garis lurus.
Uji Kecocokan Uji kecocokan disini meliputi Uji Kecocokan Chi-Square dan Uji Kecocokan
Smirnov-Kolmogorof. Sebelum uji kecocokan dipilih terlebih dahulu jenis sebarannya menggunakan Tabel 3.7. Tabel 3.7 Pedoman Pemilihan Sebaran (Sumber : Sutiono. dkk) DISTRIBUSI NORMAL Parameter
GUMBEL
LOG-NORMAL
LOG-PEARSON III
Cs ≈ 0
Cs ≈ 1,1396
Cs ≈ 1,137
Cs ≠ 0
Ck ≈ 3
Ck ≈ 5,4002
Ck ≈ 3Cv
Cv ≈ 0,3
1. Uji Kecocokan Chi-Square Uji kecocokan Chi-Square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan sebaran peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistik sampel data yang dianalisis didasarkan pada jumlah pengamatan yang diharapkan pada pembagian kelas dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut atau dengan membandingkan nilai Chi-Square ( 2 ) dengan nilai Chi-Square kritis ( 2 cr). Uji kecocokan Chi-Square menggunakan rumus (Soewarno, 1995): 2
G
h i 1
(Oi Ei ) 2 Ei
Dimana :
h
2
= harga Chi-Square terhitung
Oi
= jumlah data yang teramati terdapat pada sub kelompok ke-i
Ei
= jumlah data yang secara teoritis terdapat pada sub kelompok ke-i
G
= jumlah sub kelompok
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Parameter h
2
31
merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai h
2
sama atau lebih besar dari pada nilai Chi-Square yang sebenarnya ( 2 ). Suatu distrisbusi dikatakan selaras jika nilai 2 hitung < 2 kritis. Nilai 2 kritis dapat dilihat di Tabel 3.8. Dari hasil pengamatan yang didapat dicari penyimpangannya dengan Chi-Square kritis paling kecil. Untuk suatu nilai nyata tertentu (level of significant) yang sering diambil adalah 5 %. Prosedur uji kecocokan Chi-Square adalah : Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya). Kelompokkan data menjadi G sub-group, tiap-tiap sub-group minimal terdapat lima buah data pengamatan. Hitung jumlah pengamatan yang teramati di dalam tiap-tiap sub-group (Oi). Hitung jumlah atau banyaknya data yang secara teoritis ada di tiap-tiap subgroup (Ei). Tiap-tiap sub-group hitung nilai :
(Oi Ei ) 2 Oi Ei dan Ei Jumlah seluruh G sub-group nilai
(Oi Ei ) 2 untuk menentukan nilai ChiEi
Square hitung. Tentukan derajat kebebasan dk = G-R-1 (nilai R=2, untuk distribusi normal dan binomial, dan nilai R=1, untuk distribusi Poisson) (Soewarno, 1995). Derajat kebebasan yang digunakan pada perhitungan ini adalah dengan rumus sebagai berikut : Dk = n – 3 Dimana : Dk = derajat kebebasan n
= banyaknya data
Adapun kriteria penilaian hasilnya apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima. Apabila peluang lebih kecil dari 1%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
32
Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, misal perlu penambahan data. Tabel 3.8 Nilai 2 kritis untuk uji kecocokan Chi-Square ( Sumber : Soewarno, 1995) dk 1
Tugas Akhir |
α Derajat keprcayan 0,995
0,99
0,975
0,95
0,05
0,025
0,01
0,005
0,00003 0,0001 0,0009 0,00393
3,841
5,024
6,635
7,879
9,210 10,597
2
0,010 0,0201 0,0506
0,103
5,991
7,378
3
0,071
0,115
0,216
0,352
7,815
9,348 11,345 12,838
4
0,207
0,297
0,484
0,711
9,488 11,143 13,277 14,860
5
0,412
0,554
0,831
1,145 11,070 12,832 15,086 16,750
6
0,676
0,872
1,237
1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7
0,989
1,239
1,690
2,167 14,067 16,013 18,475 20,278
8
1,344
1,646
2,180
2,733 15,507 17,535 20,090 21,955
9
1,735
2,088
2,700
3,325 16,919 19,023 21,666 23,589
10
2,156
2,558
3,247
3,940 18,307 20,483 23,209 25,188
11
2,603
3,053
3,816
4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12
3,074
3,571
4,404
5,226 21,026 23,337 26,217 28,300
13
3,565
4,107
5,009
5,892 22,362 24,736 27,688 29,819
14
4,075
4,660
5,629
6,571 23,685 26,119 29,141 31,319
15
4,601
5,229
6,262
7,261 24,996 27,488 30,578 32,801
16
5,142
5,812
6,908
7,962 26,296 28,845 32,000 34,267
17
5,697
6,408
7,564
8,672 27,587 30,191 33,409 35,718
18
6,265
7,015
8,231
9,390 28,869 31,526 34,805 37,156
19
6,844
7,633
8,907
10,117 30,144 32,852 36,191 38,582
20
7,434
8,260
9,591
10,851
21
8,034
8,897 10,283
11,591 32,671 35,479 38,932 41,401
22
8,643
9,542 10,982
12,338 33,924 36,781 40,289 42,796
23
9,260 10,196 11,689
13,091 36,172 38,076 41,683 44,181
24
9,886 10,856 12,401
13,848 36,415 39,364 42,980 45,558
25
10,520 11,524 13,120
14,611 37,652 40,646 44,314 46,928
26
11,160 12,198 13,844
15,379 38,885 41,923 45,642 48,290
27
11,808 12,879 14,573
16,151 40,113 43,194 46,963 49,645
28
12,461 13,565 15,308
16,928 41,337 44,461 48,278 50,993
29
13,121 14,256 16,047
17,708 42,557 45,722 49,588 52,336
30
13,787 14,953 16,791
18,493 43,773 46,979 50,892 53,672
31,41 34,170 37,566 39,997
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
2. Uji Kecocokan Smirnov-Kolmogorof Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof
33
dilakukan dengan membandingkan
probabilitas untuk tiap-tiap variabel dari distribusi empiris dan teoritis didapat perbedaan (∆). Perbedaan maksimum yang dihitung (∆ maks) dibandingkan dengan perbedaan kritis (∆cr) untuk suatu derajat nyata dan banyaknya variat tertentu, maka sebaran sesuai jika (∆maks)< (∆cr). Rumus yang dipakai (Soewarno, 1995) =
Pmax P xi P x Cr
Prosedur uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof adalah : Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya nilai masing-masing data tersebut : X1
→ P(X1)
Xm
→ P(Xm)
Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya) : X1
→ P’(X1)
Xm
→ P’(Xm)
Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D = maksimum [ P(Xm) – P`(Xm)]
Tabel 3.9 Nilai D0 kritis untuk uji kecocokan Smirnov-Kolmogorof ( Sumber : Soewarno,1995) α derajat kepercayaan
Jumlah data
Tugas Akhir |
N
0,20
0,10
0,05
0,01
5
0,45
0,51
0,56
0,67
10
0,32
0,37
0,41
0,49
15
0,27
0,30
0,34
0,40
20
0,23
0,26
0,29
0,36
25
0,21
0,24
0,27
0,32
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka| 30
0,19
0,22
0,24
0,29
35
0,18
0,20
0,23
0,27
40
0,17
0,19
0,21
0,25
45
0,16
0,18
0,20
0,24
50
0,15
0,17
0,19
0,23
n>50
1,07/n
1,22/n
34
1,36/n 1,63/n
Dimana α = derajat kepercayaan Berdasarkan Tabel nilai kritis (Smirnov – Kolmogorof test), tentukan harga D0 pada Tabel 3.9. B.5.
Perhitungan Intensitas Hujan Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum
hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Analisis intesitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau. Rumus yang digunakan dipakai jika data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian (Sosrodarsono, 2003): 2
R I 24 24
24 3 t
Dimana :
C.
I
= Intensitas curah hujan (mm/jam)
t
= lamanya curah hujan (jam)
R24
= curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
Perhitungan Debit Banjir Rencana Analisa debit banjir rencana adalah analisa untuk mengetahui debit banjir pada tahun
rencana 20, 50 dan 100 tahunan. Metode yang digunakan ada dua cara yaitu Hidrograf Satuan Sintetik GAMA I dan HEC-HMS dengan Passing Capacity C.1.
Hidrograf Satuan Sintetik GAMA I Cara ini dipakai sebagai upaya memperoleh hidrograf satuan suatu DAS yang belum
pernah diukur. Dengan pengertian lain tidak tersedia data pengukuran debit maupun data AWLR (Automatic Water Level Recorder) pada suatu tempat tertentu dalam sebuah DAS yang tidak ada stasiun hidrometernya (Soemarto, 1999). Cara ini dikembangkan oleh Synder
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
35
pada tahun 1938 yang memanfaatkan parameter DAS untuk memperoleh hidrograf satuan sintetik. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pengalihragaman hujan menjadi aliran baik pengaruh translasi maupun tampungannya dapat dijelaskan dipengaruhi oleh sistem DAS-nya. Hidrograf satuan Sintetik Gama I dibentuk oleh empat variabel pokok yaitu waktu naik (TR), debit puncak (Qp), waktu dasar (TB) dan koefisien tampungan (k) (Sri Harto,1993). Kurva naik merupakan garis lurus, sedangkan kurva tuRun dibentuk oleh persamaan sebagai dibawah ini :
Qt Qp e
t k
Dimana : Qt
= debit yang diukur dalam jam ke-t sesudah debit puncak dalam (m³/det)
Qp
= debit puncak dalam (m³/det)
T
= waktu yang diukur dari saat terjadinya debit puncak (jam)
K
= koefisien tampungan dalam jam
Untuk bentuk dari persamaan diatas dapat dilihat pada gambar 3.4.
tr T
(-t/k)
Qt = Qp.e
t tp
Qp t TR
t Tb
Gambar 3.4 Sketsa Hidrograf satuan sintetik Gama I Variabel pokok Hidrograf satuan Sintetik Gama I dihitung sebagai berikut : 3
L 1. Waktu naik (TR) T R 0,43 1,0665SIM 1,2775 100.SF Dimana : TR
Tugas Akhir |
= waktu naik (jam)
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
36
L
= panjang sungai (km)
SF
= faktor sumber yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat I dengan panjang sungai semua tingkat
SIM
= faktor simetri ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas relatif DAS sebelah hulu (RUA)
WF
= faktor lebar adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak 0,75 L dan lebar DAS yang diukur dari titik yang berjarak 0,25 L dari tempat pengukuran, penerapanya dapat dilihat pada gambar 3.5.
X-A=0,25L X-B=0,75L WF=WU/WL
WL B A
WU
X Gambar 3.5 Sketsa Penetapan WF 2.
Debit puncak (QP)
Qp 0,1836A0,5886.TR0, 4008.JN 0,5886 Dimana :
3.
Qp
= debit puncak (m3/det)
JN
= jumlah pertemuan sungai yaitu jumlah seluruh pertemuan sungai
TR
= waktu naik (jam)
A
= luas DAS (km2).
Waktu dasar (TB) TB 27,4132 TR 0,1457 S 0, 0986 SN 0,7344 RUA 0,2574
Dimana :
Tugas Akhir |
TB
= waktu dasar (jam)
TR
= waktu naik (jam)
S
= landai sungai rata-rata
SN
= nilai sumber adalah perbandingan antara jumlah segmen sungai-
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
37
sungai tingkat 1(satu) dengan jumlah sungai semua tingkat untuk penetapan tingkat sungai RUA
= luas DAS sebelah hulu (km2), yaitu perbandingan antara luas DAS yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS (Au), dengan luas seluruh DAS, dapat dilihat pada Gambar 3.6.
Au
RUA=Au/A Gambar 3.6 Sketsa Penetapan RUA Dimana : WU
= Lebar DAS diukur di titik sungai berjarak 0,75 L dari titik kontrol (km).
WL
= Lebar DAS diukur di titik sungai berjarak 0,25 L dari titik kontrol (km).
A
= Luas Daerah Aliran Sungai (km2)
AU
= Luas Daerah Aliran Sungai di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara titik kontrol dengan titik dalam sungai, dekat titik berat DAS (km2)
H
= Beda tinggi antar titik terjauh sungai dengan titik kontrol (m)
WF
= WU/ WL
RUA = AU /DAS SN
=
Jml L1/L
= Nilai banding antara jumlah segmen sungai tingkat
satu dengan jumlah segmen sungai semua tingkat = jaringan = Nilai banding panjang sungai dan luas DAS JN Tugas Akhir |
= Jumlah pertemuan anak sungai didalam DAS Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Kerapatan
Bab III Tinjauan Pustaka|
4.
38
Koefisien tampungan (k)
k 0,5617.A 0,1798 .S 0,1446 .SF 1,0897 .D 0,0452 Dimana : A
= Luas Daerah Aliran Sungai (km2)
S SF
= Kemiringan Rata-rata sungai diukur dari titik kontrol =
Faktor sumber yaitu nilai banding antara panjang sungai
tingkat satu dan jumlah panjang sungai semua tingkat D
= Jml L/DAS
Dalam pemakaian cara ini masih ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan, diantaranya sebagai berikut :
Penetapan hujan efektif untuk memperoleh hidrograf dilakukan dengan menggunakan index-infiltrasi. Ø index adalah menunjukkan laju kehilangan air hujan akibat depresion storage, inflitrasi dan sebagainya. Untuk memperoleh indeks ini agak sulit, untuk itu dipergunakan pendekatan tertentu (Barnes, 1959). Perkiraan dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh parameter DAS yang secara hidrologi dapat diketahui pengaruhnya terhadap indeks infiltrasi (Sri Harto, 1993): Persamaan pendekatannya adalah sebagai berikut :
=
10,4903 3,859 x106. A2 1,6985x1013 ( A / SN ) 4
Untuk memperkirakan aliran dasar digunakan persamaan pendekatan berikut ini. Persamaan ini merupakan pendekatan untuk aliran dasar yang tetap, besarnya dapat dihitung dengan rumus : Qb =
0,4751 A 0,6444 D 0,9430
Dimana : Qb
= aliran dasar
A
= luas DAS (km²)
D
= kerapatan jaringan kuras (drainage density) atau indeks kerapatan
sungai yaitu perbandingan jumlah panjang sungai semua tingkat dibagi dengan luas DAS
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
C.2.
39
HEC-HMS HEC-HMS merupakan model terbaru yang telah dibuat untuk mensimulasikan
hubungan hujan-air larian permukaan. HEC-HMS merupakan singkatan bagi Hydrological Engineering Centre-Hydrologic Modelling System. Model ini telah dibuat oleh Tentara Amerika Serikat dari bagian pusat penyelidikan pencitraan hidrologi. Model ini menyediakan berbagai pilihan untuk mensimulasikan proses hubungan hujan-air larian permukaan. Selain menganalisis unit hidrograf dan pilihan rekayasa hidrologi. Elemen hidrologi adalah termasuk SubBasin, Reach, Junction, reservoir, diversion, source dan sink. Kawasan DAS dimodelkan dengan menyusun elemen hidrologi dalam satu rangkaian yang saling berhubung. Elemen hidrologi merupakan bagian - bagian di dalam sebuah model Basin. Ia menerangkan proses saling berhubungan yang berlaku di muka bumi seperti kawasan tadahan, saluran, pertemuan dua sungai dan lain-lain lagi. Setiap elemen ini berperanan menerangkan hubungan antara kawasan tadahan dengan curahan yang berlaku. Terdapat 3 jenis elemen hidrologi yang dipakai disini antaranya :
SubBasin SubBasin berkonsepkan aliran keluar saja dimana beranggapan tiada aliran masuk ke dalam kawasan tadahan. Pengaliran boleh dikira dengan tiga cara mudah yaitu menolak kehilangan yang berlaku daripada data kaji cuaca yang diperolehi, menukar lebihan curahan dan juga menjumlah aliran dasar. Ia boleh digunakan untuk berbagai luasan kawasan tadahan. Reach Reach berkonsepkan satu atau lebih aliran masuk dan satu saja aliran keluar. Aliran masuk datang dari unsur yang lain dalam model Basin. Konsepnya adalah sama seperti reservoir jika terdapat lebih daripada satu aliran masuk. Aliran keluar pula dihitung menyerupai seperti konsep saluran terbuka.
Junction Junction berkonsepkan suatu unsur atau lebih aliran masuk dan satu aliran keluar. Dijumlahkan semua aliran masuk untuk mendapatkan aliran keluar dengan menganggap permulaan simpang adalah sifat.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
40
Tahapan dalam pemrograman HEC-HMS dapat dilihat pada gambar 3.7, untuk uraian tahapan HEC-HMS sebagai berikut :
1. Projek Baru Pengisisan HEC-HMS 3.1.0 dapat dimulai dengan membukanya melalui Programs yang terdapat di dalam Start Menu atau dengan hanya double-click pada ikon HECHMS 3.1.0 yang terdapat pada desktop. Projek baru dibina dengan memilih File > New pada screen HEC-HMS 3.1.0 yang muncul apabila dimulai dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Gambar 3.7 Bagan alir HEC-HMS 2. Membuat Model Basin Model Basin merupakan tempat di mana ciri-ciri fisik kawasan tadahan akan dimasukkan. Cara untuk membuat adalah dengan memilih menu Components > Basin Model Manager pada menu pilihan dapat dilihat pada Gambar 3.9.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
41
Gambar 3.8 Memulai proyek baru HEC-HMS
Gambar 3.9 Model Basin HEC-HMS Setelah model Basin dibuat, berbagai elemen hidrologi boleh ditambah kepada peta background yaitu Sub Basin, Reach, dan Junction, untuk membentuk kawasan yang menyerupai kawasan sebenarnya. Untuk itu dipakai beberapa metode, yaitu :
Kehilangan Hidrologi (Loss Method)
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
42
Memakai metode SCS Curve Number (CN) beranggapan bahwa hujan yang menghasilkan limpasan merupakan fungsi dari hujan kumulatif yang dipengaruhi oleh tata guna lahan, jenis tanah serta luas DAS.
Transformasi Air Larian (Transform) Memakai metode SCS unit Hidrograf adalah suatu Unit Hidrograf yang berdimensi, yang dicapai puncak tunggal Unit Hidrograf. Data yang dimasukan adalah t Lag, yaitu perbedaan waktu antara pusat massa dari kelebihan curah hujan dan puncak dari unit hidrograf. Didapat dari rumus yang dikembangkan oleh Kirpich (1940)
tc
0 , 87 xL 2 1000 xS
t Lag
0 . 385
= 0.6 x tc x 60
Keterangan
Tc
= Waktu Konsentrasi
(jam)
L
= Panjang Sungai Utama
(km)
S
= Kemiringan
T Lag
= Lag Time
(jam)
Penelusuran Banjir (Flood Routing Method) Metode yang dipakai adalah metode Muskingum, yaitu metode untuk mensimulasi bergeraknya gelombang banjir melalui aliran arus sungai. Metode ini dipengaruhi oleh panjang dan kemiringan sungai pada Reach untuk menghitung muskingum tc dan muskingum x. Perhitungan Tc dan tLag sama seperti diatas,
3. Membuat Model Meteorologi Model meteorologi berfungsi untuk membuat perkiraan terhadap Input curahan bagi sesuatu elemen Sub Basin. Ia dibuat dengan memilih menu Components > Meteorologic Model Manager pada menu pilihan, dapat dilihat pada gambar 3.10. Metode yang digunakan untuk menentukan curahan adalah Specified Hyetograph. Kemudian untuk data curahan diambil dari Time-Series Data, yang dibahas setelah ini.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
43
Gambar 3.10 Model Meteorologi HEC-HMS
4. Membuat Spesifikasi Kontrol (Control Specifications) Dibuat dengan memilih menu Components > Control Specifications Manager pada menu pilihan, dapat dilihat pada gambar 3.11. Beberapa data yang diInput seperti tanggal mulai, tanggal akhir, waktu mulai dan waktu akhir. Spesifikasi control penting untuk menentukan waktu bagi analisa yang dijalankan.
5. MengInput Data Curahan Membuatnya dengan memilih menu Components > Time-Series Data Manager > Precipitation Gages pada menu pilihan. Data yang perlu dimasukkan adalah kaedah kemasukan data, jenis data dan maklumat lanjut
kawasan
tadahan
yaitu longitud dan latitude nya. Data curahan akan dimasukkan secara manual ke dalam jadual yang disediakan berdasarkan spesifikasi control
yang
telah
ditentukan, dapat dilihat pada Gambar 3.12.
6. Simulasi Simulasi dijalankan untuk menjalankan pemodelan yang telah dibuat berdasarkan data hujan daripada model meteorologi pada suatu jangka waktu tertentu berdasarkan spesifikasi kontrol. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut harus
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
44
lengkap pengisiianya sebelum simulasi dijalankan. Simulation Run yang baru perlu dibentuk dengan memilih menu Compute > Create Simulation Run pada menu pilihan, dapat dilihat pada Gambar 3.13. Setelah Simulation Run yang diperlukan telah dibuat, simulasi boleh dimulai dengan memilih Compute > Select Run pada menu pilihan untuk memilih Simulation Run yang dikehendaki, dapat dilihat pada Gambar 3.14. Kemudian Compute Current Run untuk menjalankan Run yang dipilih. Setelah itu baru akan terlihat hasil dari simulasi.
Gambar 3.11 Spesifikasi Kontrol HEC-HMS
Gambar 3.12 Input data curah hujan pada HEC-HMS
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
45
Gambar 3.13 Membuat Running pada HEC-HMS
`
Gambar 3.14 Simulasi HEC-HMS C.3.
Passing Capacity Passing Capacity adalah nilai pembanding untuk penentuan debit banjir rencana. Nilai
tersebut dapat diambil dari data teknis Bendung Boro, sehingga dapat nilai debit banjir rencana yang paling mendekati dan rasional. 3.2.2. Debit Andalan Debit andalan adalah rangkaian debit bulanan yang diperoleh melalui perhitungan dengan metode tertentu untuk beberapa tahun pengamatan dan mempertimbangkan keadaan alam alur sungai. Maksud dari perhitungan debit ini adalah menentukan jumlah air yang dapat disediakan untuk memenuhi kebutuhan operasional PLTMH. Untuk menghitung debit andalan digunakan metode Water Balance FJ. Mock yang dikembangkan khusus untuk sungai-sungai di Indonesia. Data-data yang diperlukan antara lain :
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
46
1. Data curah hujan bulanan (R) dan hari hujan (n) pada bulan tersebut. 2. Data iklim daerah rencana. 3. Catchment Area (Daerah Tangkapan Air) 4. Data tanah. Tahap-tahap perhitungan debit andalan meliputi Data Curah Hujan, Evaporasi terbatas, Keseimbangan air di permukaan tanah (water balance), Debit dan Storage air tanah, Aliran Sungai, Penentuan Debit Andalan A.
Data Curah Hujan
Rs
= curah hujan bulanan (mm)
N
= jumlah hari hujan.
Data Curah Hujan yang Data Curah Hujan yang digunakan adalah data curah hujan rata-rata 2 mingguan. B.
Evaporasi terbatas yaitu penguapan aktual dengan mempertimbangkan kondisi tanah, frekuensi curah hujan, dan
prosentase vegetasi pada daerah setempat.
E Ep
d m 30
(Soewarno, 1991) Di mana : E =
Perbedaan antara Evaporasi potensial dengan Evaporasi terbatas.
Ep =
Evapotranspirasi potensial.
d =
Jumlah hari kering dalam satu bulan.
m =
Prosentase lahan yang tidak tertutup vegetasi (tanaman)
m =
0% untuk lahan dengan hutan lebat.
m =
0% pada akhir musim hujan, dan bertambah 10% setiap bulan kering untuk lahan dengan hutan sekunder.
m =
10-40% untuk lahan yang tererosi.
m =
30-50% untuk lahan pertanian yang diolah.
Berdasarkan frekuensi curah hujan di Indonesia, sifat infiltrasi, dan penguapan dari tanah permukaan, diperoleh hubungan persamaan berikut:
d
3 (18 n) 2
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
47
Sehingga dari dua persamaan diatas didapat :
E m (18 n) Ep 20 Et = Ep – E (Soewarno, 1991) Di mana : n
=
Jumlah hari hujan.
Et =
Evaporasi terbatas.
Besarnya evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan metoda Penman yang dimodifikasi oleh Nedeco/Prosida seperti diuraikan dalam PSA – 010. Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan rumus-rumus teoritis empiris dengan memperhatikan faktorfaktor meteorologi yang terkait seperti suhu udara, kelembaban, kecepatan angin dan penyinaran matahari. Evapotranspirasi tanaman yang dijadikan acuan adalah rerumputan pendek (abeldo = 0,25). Selanjutnya untuk mendapatkan harga evapotaranspirasi harus dikalikan denagn koefisien tanaman tertentu. Sehingga evapotranspirasi sama dengan evapotranspirasi potensial hasil perhitungan Penman x crop factor. Dari harga evapotranspirasi yang diperoleh, kemudian digunakan unutuk menghitung kebutuhan air bagi pertumbuhan dengan menyertakan data curah hujan efektif. Rumus evapotranspirasi Penman yang telah dimodifikasi adalah sebagai berikut :
Eto
Eq 1 ne ne A L x H sh H lo 1
(Soewarno, 1991) di mana : Eto
= Indek Evaporasi yang beasrnya sama dengan evpotranspirasi dari rumput yang dipotong pendek (mm/hr)
H shne
= Jaringa radiasi gelombang pendek (longley/day) = { 1,75{0,29 cos Ώ + 0,52 r x 10-2 }} x α ahsh x 10-2 = { aah x f(r) } x α ahsh x 10-2 = aah x f(r) (Tabel Penman 5)
α
= albedo (koefisien reaksi), tergantung pada lapisan permukaan yang ada untuk rumput = 0,25
Ra
Tugas Akhir |
= α ah x 10-2
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
48
= Radiasi gelombang pendek maksimum secara teori (Longley/day) = jaringan radiasi gelombang panjang (Longley/day) = 0,97 α Tai4 x (0,47 – 0,770
ed x1 8 / 10 1 r
H shne f Tai f Tdp f m
f Tai Tai 4 TabelPenma n1
= efek dari temperature radiasi gelombang panjang m
= 8 (1 – r)
f (m)
= 1 – m/10 = efek dari angka nyata dan jam penyinaran matahari terang maksimum pada radiasi gelombang panjang
r
= lama penyinaran matahari relatif
Eq
= Evaporasi terhitung pada saat temperatur permukaan sama dengan temperatur udara (mm/hr) = 0,35 (0,50 + 0,54 µ2) x (ea – ed) = f (µ2) x PZwa) sa - PZwa
µ2
= kecepatan angin pada ketinggian 2m diatas tanah
Pzwa
= ea = tekanan uap jenuh (mmHg) = ed = tekanan uap yang terjadi (mmHg)
L
= panas laten dari penguapan (longley/minutes)
Δ
= kemiringan tekanan uap air jenuh yag berlawanan dengan dengan kurva temperatur pada temperatur udara (mmHg/0C)
δ
= konstata Bowen (0,49 mmHg/0C), kenudian dihitung Eto. catatan : 1 longley/day = 1 kal/cm2hari Untuk perhitungan evapotranspirasi selain diperlukan data klimatologi daerah
proyek, juga diperlukan Tabel–Tabel koefisien sebagai berikut :
Tabel 3.10 Koefisien suhu Suhu Udara 0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
20
8,370
8,380
8,400
8,410
8,420
8,430
8,440
8,460
8,470
8,480
21
8,430
8,500
8,510
8,520
8,530
8,540
8,550
8,700
8,570
8,590
(celcius)
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
49
22
8,600
8,610
8,620
8,630
8,640
8,650
8,670
8,680
8,690
8,710
23
8,720
8,730
8,740
8,760
8,770
8,780
8,790
8,810
8,820
8,930
24
8,840
8,850
8,860
8,880
8,890
8,900
8,910
8,930
8,940
8,950
25
8,960
8,970
8,980
9,000
9,010
9,020
9,030
9,050
9,060
9,070
26
9,080
9,090
9,100
9,120
9,130
9,140
9,150
9,170
9,180
9,190
27
9,200
9,210
9,220
9,240
9,250
9,260
9,270
9,270
9,300
9,310
28
9,320
9,330
9,350
9,366
9,370
9,390
9,400
9,410
9,430
9,440
29
9,450
9,460
9,470
9,490
9,500
9,510
9,520
9,540
9,550
9,560
30
9,570
9,580
9,600
9,610
9,620
9,640
9,650
9,660
9,680
9,690
Tabel 3.11 Tekanan udara Suhu Udara 0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
20
17,53
17,64
17,75
17,86
17,97
18,08
18,20
18,31
18,43
18,54
21
18,65
18,77
18,86
19,00
19,11
19,23
19,35
19,46
19,58
19,70
22
19,82
19,94
20,06
20,19
20,31
20,43
20,56
20,69
20,89
20,93
23
21,09
21,19
21,32
21,45
21,58
21,71
21,84
21,97
22,10
22,23
24
22,37
22,50
22,63
22,76
22,91
23,05
23,19
23,31
23,45
23,60
25
23,75
23,90
24,03
24,20
24,35
24,49
24,64
24,79
24,94
25,08
26
25,31
25,45
25,60
25,74
25,89
26,03
26,10
26,32
26,46
26,60
27
26,74
26,90
27,00
27,21
27,37
27,53
27,69
27,85
28,10
28,16
28
28,32
28,49
28,66
28,83
29,00
29,17
29,34
29,51
29,68
29,85
29
30,03
30,20
30,38
30,56
30,74
30,92
31,30
31,28
31,46
31,64
30
31,82
32,00
32,19
32,38
32,57
32,76
32,95
33,14
33,33
33,52
(celcius)
Tabel 3.12 Koefisien tekanan udara Suhu Udara 0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
20
1,58
1,58
1,59
1,60
1,60
1,61
1,61
1,62
1,63
1,63
21
2,64
1,65
1,66
1,66
1,66
1,67
1,68
1,68
1,69
1,70
22
1,70
1,71
1,72
1,72
1,73
1,74
1,75
1,75
1,75
1,76
23
1,77
1,78
1,78
1,79
1,83
1,80
1,81
1,82
1,82
1,83
24
1,83
1,84
1,85
1,86
1,87
1,87
1,88
1,89
1,89
1,90
25
1,91
1,92
1,92
1,93
1,94
1,95
1,95
1,96
1,97
1,98
26
1,98
1,99
2,00
2,01
2,01
2,02
2,03
2,04
2,04
2,05
27
2,06
2,07
2,08
2,08
2,09
2,09
2,10
2,11
2,12
2,13
28
2,14
2,15
2,16
2,17
2,18
2,18
2,19
2,20
2,21
2,22
29
2,23
2,24
2,25
2,25
2,26
2,27
2,28
2,29
2,30
2,31
(celcius)
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka| 30
2,32
2,33
2,34
2,35
2,36
2,37
2,38
50
2,38
2,39
2,40
Tabel 3.13 Koefisien tekanan udara dan angin Harga
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
12
0,195
0,195
0,195
0,195
0,195
0,195
0,195
0,195
0,194
0,194
13
0,193
0,192
0,191
0,190
0,189
0,187
0,186
0,185
0,184
0,183
14
0,182
0,181
0,180
0,179
0,177
0,176
0,175
0,175
0,174
0,173
15
1,172
0,171
0,170
0,169
0,168
0,197
0,166
0,165
0,164
0,163
16
0,162
0,161
0,160
0,159
0,158
0,157
0,156
0,560
0,155
0,145
17
0,153
0,152
0,151
0,150
0,149
0,148
0,147
0,146
0,146
0,135
18
0,144
0,143
0,142
0,141
0,140
0,139
0,138
0,137
0,136
0,126
19
0,134
0,133
0,132
0,131
0,131
0,130
0,129
0,128
0,127
0,117
20
0,126
0,125
0,124
0,123
0,122
0,122
0,121
0,120
0,119
0,110
21
0,117
0,116
0,115
0,114
0,114
0,113
0,112
0,111
0,110
0,102
22
0,109
0,108
0,107
0,107
0,106
0,105
0,104
0,104
0,103
0,094
23
0,102
0,101
0,100
0,099
0,099
0,097
0,096
0,096
0,095
0,087
24
0,093
0,092
0,091
0,091
0,091
0,090
0,089
0,089
0,088
0,086
25
0,086
0,086
0,086
0,086
0,086
0,086
0,086
0,086
0,086
0,086
Pz,wa
Tabel 3.14 Koefisien angin Kec, Pd V2
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0
0,086
0,095
0,104
0,123
0,132
0,142
0,151
0,151
10,160
0,169
1
0,178
0,187
0,197
0,206
0,215
0,225
0,234
0,244
0,258
0,262
2
0,271
0,280
0,290
0,299
0,308
0,318
0,327
0,337
0,346
0,355
3
0,364
0,373
0,382
0,392
0,401
0,410
0,420
0,429
0,438
0,447
4
0,456
0,465
0,475
0,484
0,493
0,503
0,512
0,522
0,531
0,540
5
0,549
0,558
0,570
0,548
0,586
0,599
0,605
0,614
0,624
0,633
6
0,642
0,651
0,550
0,670
0,678
0,688
0,698
0,707
0,716
0,725
7
0,734
0,743
0,752
0,762
0,771
10,780
0,790
0,799
0,808
0,817
8
0,826
0,835
0,845
0,854
0,863
0,873
0,882
0,891
0,901
0,910
9
0,919
0,928
0,938
0,947
0,956
0,966
0,975
0,984
0,994
1,003
10
1,012
0,021
1,031
1,040
1,049
1,059
1,068
1,077
1,087
1,096
M/dt
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
51
Tabel 3.15 Tekanan udara Lintang
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
0
8,590
8,870
8,930
8,670
8,230
7,950
8,030
8,410
8,770
8,830
8,620
8,460
1
8,660
8,920
8,930
8,620
8,150
7,850
7,940
8,340
8,740
8,850
2
8,740
8,960
8,920
8,570
8,060
7,750
7,850
8,270
8,710
8,880
8,750
8,630
3
8,820
9,000
8,920
8,520
7,980
7,650
7,750
8,210
8,680
8,810
8,810
8,720
4
8,890
9,040
8,910
8,470
7,890
7,550
7,660
8,140
8,670
8,930
8,880
8,800
5
8,970
9,080
8,910
8,420
7,810
7,450
7,560
8,080
8,640
8,950
8,940
8,890
6
9,040
9,120
8,910
8,370
7,720
7,350
7,470
8,010
8,620
8,970
9,010
8,970
7
9,120
9,160
8,900
8,320
7,640
7,250
7,370
7,950
8,590
8,880
9,080
9,060
8
9,190
9,200
8,900
8,270
7,550
7,150
7,280
7,880
8,570
9,010
9,140
9,140
9
9,270
9,240
8,900
8,220
7,470
7,050
7,180
7,810
8,540
9,030
9,210
9,230
10
9,350
9,280
8,890
8,170
7,380
9,950
7,090
7,740
8,510
9,060
9,270
9,320
Selatan
8,550
Tabel 3.16 Koefisien radiasi matahari Lintang
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0
0,218
0,257
0,296
0,335
0,374
0,413
0,452
0,491
0,530
0,569
0,603
6
0,216
0,255
0,294
0,333
0,372
0,411
0,450
0,489
0,280
0,567
0,606
10
0,214
0,253
0,292
0,331
0,370
0,409
0,449
0,487
0,526
0,565
0,604
20
0,204
0,243
0,282
0,321
0,360
0,399
0,438
0,477
0,526
0,555
0,591
30
0,188
0,227
0,266
0,305
0,344
0,383
0,422
0,461
0,500
0,539
0,573
40
0,167
0,206
0,245
0,284
0,323
0,362
0,401
0,440
0,479
0,518
0,557
50
0,140
0,179
0,218
0,257
0,296
0,335
0,374
0,413
0,452
0,491
0,530
60
0,120
0,159
0,198
0,237
0,276
0,315
0,354
0,393
0,432
0,471
0,510
70
0,074
0,113
0,152
0,191
0,230
0,269
0,308
0,347
0,386
0,425
0,461
80
0,019
0,058
0,097
0,136
0,175
0,214
0,253
0,292
0,331
0,370
0,409
90
0,000
0,039
0,078
0,117
0,156
0,195
0,234
0,273
0,312
0,351
0,390
Selatan
C.
Keseimbangan air di permukaan tanah (water balance) Hal-hal yang berkaitan dengan keseimbangan air di permukaan tanah, antara lain:
1. Curah hujan yang mencapai permukaan tanah (Storage) S = R-Et Jika harga S (+) bila R>Et, air masuk ke dalam tanah, Jika harga S (-) bila R>Et, sebagian air tanah akan keluar, terjadi defisit
2. Soil Storage yaitu perubahan kandungan air tanah Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
52
3. Soil Moinsture yaitu kelembaban permukaan tanah yang ditaksir berdasarkan kondisi porositas lapisan tanah atas catchment area.
4. Water Surplus ialah banyaknya air yang berada di permukaan tanah Water Surplus = (R-Et) - Soil Storage Perubahan kandungan air tanah, soil storage (ds) = selisih antara soil moisture capacity bulan sekarang dengan bulan sebelumnya. Soil moisture capacity ini ditaksir berdasarkan kondisi porositas lapisan tanah atas catchment area. Biasanya ditaksir 60 s/d 250 mm, yaitu kapasitas kandungan air dalam tanah per m2. Jika porositas tanah lapisan atas tersebut makin besar, maka soil moisture capacity akan makin besar pula. D.
Debit dan Storage air tanah Hal-hal yang mempengaruhi debit dan storage air tanah yaitu :
1. Koefisien infiltrasi (Ic) ditentukan berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan alur sungai. Pada lahan yang datar Ic besar, dan pada lahan yang terjal air bergerak dengan kecepatan tinggi sehingga Ic kecil.
2. Storage air tanah ditentukan dengan persamaan berikut: Vn = k.V(n-1)+ (0,5.I(l + k)) (Soewarno, 1991) Di mana : Vn
=
Volume air tanah bulan ke-n
k
=
qt/qo = Faktor resesi aliran di tanah
qt
=
Aliran air tanah pada bulan t
qo
=
Aliran air tanah pada bulan awal (t = 0)
I
=
Infiltrasi
Vn-1
=
Volume air tanah bulan ke (n-1)
Harga k yang tinggi akan memberikan resesi yang lambat seperti pada kondisi geologi lapisan bawah yang sangat lulus air. Koefisien infiltrasi ditaksir berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Lahan yang porous mempunyai infiltrasi lebih tinggi dibanding tanah lempung berat. Lahan yang terjal menyebabkan air tidak sempat berinfiltrasi ke dalam tanah sehingga koefisien infiltrasi akan kecil. E.
Debit Andalan
Aliran dasar
Tugas Akhir |
= infiltrasi – perubahan volume air dalam tanah
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
B (n)
53
= I – dV (n)
Aliran permukaan = volume air lebih – infiltrasi D (ro)
= WS – I
Aliran sungai
= aliran permukaan + aliran dasar
Run off
= D (ro) + B(n)
Debit
=
F.
aliransung ai luasDAS satubulan (det ik )
Debit Andalan Desain Pemilihan debit andalan sebagai Q desain dengan mengambil rata-rata waktu dari
garis masa debit. Langkah-langkah pemilihian Q desain : 1. Membuat discharge Desain hubungan debit dan waktu seperti pada Gambar 3.15 2. Dibuat garis potong : I-II ; II-III dan seterusnya, makin rapat garis potong mikin teliti 3. Misal periode 10 tahun ada10 garis masa debit 4. Perpotongan garis masa debit I dan garis I-I = Q1 5. II dan garis I-I = Q2 6. Hasil rata-rata
Q1 Q 2 .......... ..Qn n
Qrata rata
n n 1
n
Keterangan :
Potongan I-I : didapat Q rata-rata I Potongan II-II : didapat Q rata-rata II
Gambar 3.15 Discharge Desain (BTA, Teknik Sipil Undip) Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
54
3.3. Analisa Hidrolika Parameter analisa hidrolika meliputi yang ditinjau dari analisa sungai sebelum bendung, bendung, Intake, sand trap, spillway, head race, penstock, turbin, tail race.
3.3.1. Sungai Penampang atau profil potongan sungai yang tidak beraturan sehingga untuk menentukan muka air banjir dengan menggunakan bantuan software HEC-RAS Elevasi muka air banjir digunakan untuk menentukan tinggi dinding sayap bendung dan digunakan untuk mencari elevasi power house.
Penampang memanjang sungai.
Potongan melintang sungai.
Data debit yang melalui sungai.
Angka manning penampang sungai. Data penampang memanjangdan potongan melintang sungai dapat dilihat pada
Lampiran Data Perencanaan. Sebelum mulai analisis hidrolika ini, data-data yang diperlukan harus dipersiapkan. Tahap-tahap analisa hidrolika dengan program HEC-RAS adalah Membuat file HEC-RAS baru, Input data geometri sungai, Input data debit, Analisa hirolika dari data-data yang dimasukkan A.
Membuat File HEC-RAS Baru Tahap-tahap membuat file HEC-RAS baru meliputi Buka program HEC-RAS dan
New project dari menu file. A.1. Buka program HEC-RAS Membuka program HEC-RAS seperti pada Gambar 3.16
Gambar 3.16 Tampilan Utama Program HEC-RAS Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
55
A.2. Pilih New Project dari menu file
Gambar 3.17 Tampilan Pengisian Nama File Program HEC-RAS Isi nama file pada title, dan nama file dengan akhiran .prj seperti pada Gambar 3.17 pada File Name. Klik OK B.
Input Data Geometri Sungai Tahap-tahap dalam Input data geometri sungai meliputi Menggambar alur sungai dan
Input Data Penampang Melintang (Cross Section) B.1. Menggambar alur sungai Ditampilan seperti Gambar 3.16 pada menu Edit pilih Geometric Data….. Tampilan yang keluar adalah seperti Gambar 3.18 Menggambar alur sungai dengan klik pada River Reach. B.2. Input Data Penampang Melintang (Cross Section) Dengan klik pada cross section, keluar tampilan seperti Gambar 3.18. Pilih add a new cross section pada menu option tampilan seperti pada Gambar 3.9
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
56
Data-data yang dimasukkan pada input data : River Sta
= Nama potongan melintang,diisi dengan angka yang berurutan
Station
= Jarak komulatif antara titik elevasi potongan dari titik paling pinggir yang bernilai 0
Elevation
= Elevasi titik pada station
Downstream Reach legth
= Jarak tiap potongan melintang sungai dengan potongan melintang sebelumnya.
Manning’s n value
= Nilau angka manning saluran
Main Channel Bank Station
= Station titik saluran utama sungai
Cont/Exp Coeficiens
= Koefisien kontraksi dan ekpansi
Gambar 3.18 Tampilan Input Data Geometri Sungai Program HEC RAS
Gambar 3.19 Tampilan Input Data Potongan Melintang Sungai Program HEC-RAS C.
Input Data Debit Ditampilkan seperti Gambar 3.16 pada menu Edit pilih Steady Flow Data. Tampilan
yang keluar seperti Gambar 3.20 Data debit yang digunakan adalah debit banjir sungai Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
57
Gambar 3.20 Tampilan Input Data Debit Sungai Program HEC-RAS D.
Analisa Data-data yang Telah Dimasukkan Setelah semua data dimasukkan pada tampilan Gambar 3.21 Pilih Steady Flow
Analysis pada menu Run. Lalu klik Compute
Gambar 3.21 Tampilan Analisis Project Program HEC-RAS Setelah selesai, hasil analisis dapat dilihat pada menu View dengan memilih jenis tampilan 3.3.2. Bendung Analisis hidrolis bendung meliputi tubuh bendung itu sendiri dan bangunan-bangunan pelengkap sesuai dengan tujuan bendung. Dari saluran Intake ini dapat diketahui elevasi muka air pengambilan, dimana elevasi ini digunakan sebagai acuan dalam menentukan tinggi mercu bendung. Setelah elevasi mercu diketahui maka analisis struktur bendung dapat dihitung, yaitu menentukan lebar bendung, Mercu Bulat, Tinggi Air Banjir di Atas Mercu, Muka Air Banjir di Hilir dan Hulu, Kolam Olak, Lantai Muka.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
A.
58
Lebar Bendung Lebar bendung adalah jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment) dan sebaiknya
sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Pada bagian ruas bawah sungai, lebar rata-rata tersebut dapat diambil pada debit penuh (bankfull discharge), sedangkan pada bagian atas sungai sulit untuk menentukan debit penuh. Lebar maksimum bendung sebaiknya tidak lebih dari 1,2 kali rata-rata lebar sungai pada alur yang stabil. Lebar total bendung tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk melewatkan debit air karena adanya pilar dan bangunan penguras, jadi lebar bendung yang bermanfaat untuk melewatkan debit disebut lebar efektif (Be), yang dipengaruhi oleh tebal pilar dan koefisien kontraksi pilar dan pangkal bendung untuk lebih jelas seperti pada Gambar 3.22. Dalam menentukan lebar efektif perlu diketahui mengenai eksploitasi bendung, dimana pada saat air banjir datang pintu penguras dan pintu pengambilan harus ditutup. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah masuknya benda yang terangkut oleh banjir yang dapat menyumbat pintu penguras bila pintu terbuka dan air banjir masuk ke saluran induk. Rumus :
Be = B – 2(n.Kp + Ka)H1…(Irigasi dan Bangunan Air, Gunadharma,
Hal :114) dimana: Be
= lebar efektif bendung (m)→ (Be1+Be2+Be3)
B
= lebar mercu sebenarnya (m)→ (B1+B2+B3)
Kp
= koefisien kontraksi pilar (Tabel 3.17)
Ka
= koefisien kontraksi pangkal bendung (Tabel 3.18)
n
= jumlah pilar
H1
= tinggi energi (m)
Gambar 3.22 Sketsa Lebar Efektif Bendung Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
59
Tabel 3.17 Harga-harga Koefisien Kontraksi Pilar (Kp) (Sumber : Irigasi dan Bangunan Air, Gunadarma) No 1 2 3
Kp Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang bulat pada jari-jari yang hampir sama dengan 0,1 dari tebal pilar Untuk pilar berujung bulat Untuk pilar berujung Runcing
0,02 0,01 0,00
Tabel 3.18 Harga-harga Koefisien Kontraksi Pangkal Bendung (Ka) (Sumber : Irigasi dan Bangunan Air, Gunadarma) No Ka 0 Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90 ke 1 0,20 arahn aliran
B.
2
Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 90 0 ke arah aliran dengan 0,5 Hl > r > 0,15 Hl
0,10
3
Untuk pangkal tembok bulat dimana r > 0,5 Hl dan tembok hulu tidak lebih dari 45 0 ke arah aliran
0,00
Mercu Bulat Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Pada sungai ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif ada mercu.
Gambar 3.23 Bendung dengan Mercu Bulat (Sumber : KP-02 Bangunan Utama)
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Tekanan
60
pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/ r). Untuk
bendung dengan dua jari-jari (R2), jari-jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga koefisien debit. Untuk menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung harus dibatasi sampai –4 m tekanan air jika mercu tersebut dari beton. Untuk pasangan batu tekanan subatmosfer sebaiknya dibatasi sampai –1 m tekanan air. Persamaan energi dan debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat adalah sebagai berikut : 2 2 3/ 2 Q C d . . .g .Be.H 1 3 3
dimana: Q
= debit (m3/dt)
Cd
= koefisien debit (Cd = C0C1C2)
g
= percepatan gravitasi (9,81 m/dt2)
b
= panjang mercu (m)
H1
= tinggi di atas mercu (m)
C0
= fungsi H1/r (lihat Gambar 3.25)
C1
= fungsi p/H1 (lihat Gambar 3.26)
C2
= fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung (lihat Gambar 3.26)
C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0 (lihat Gambar 3.25)
Gambar 3.24 Tekanan pada Mercu Bendung Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r (Sumber : KP-02 Bangunan Utama)
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
61
Gambar 3.25 Harga-harga Koefisien C0 untuk Bendung Ambang Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r (Sumber : KP-02 Bangunan Utama)
Gambar 3.26 Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan p/H1 (Sumber : KP-02 Bangunan Utama)
Gambar 3.27 Harga-harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Ogee dengan Muka Hulu Melengkung ( menurut USBR,1960 ) Harga-harga faktor pengurangan aliran tenggelam f sebagai fungsi perbandingan tenggelam dapat diperoleh dari Gambar 3.28. Faktor pengurangan aliran tenggelam mengurangi debit dalam keadaan tenggelam
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
62
Gambar 3.28 Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi H2/H1 (Sumber : KP-02 Bangunan Utama)
C.
Tinggi Air Banjir di Atas Mercu Persamaan tinggi energi di atas mercu (H1) menggunakan rumus debit bendung
dengan mercu bulat, yaitu: 2 2 3/ 2 Q C d . . .g .Be.H 1 3 3
(Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi, PU Pengairan, Hal :80) dimana: Q
= debit (m3/det)
Cd
= koefisien debit
g
= percepatan gravitasi (m/det2)
Be
= lebar efektif bendung (m)
H1
= tinggi energi di atas mercu (m)
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.28
Gambar 3.29 Elevasi Air di Hulu dan Hilir Bendung Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
D.
63
Muka Air Banjir di Hilir dan Hulu Perhitungan dengan menggunakan bantuan software HEC-RAS. Langkah-langkah
seperti pada hidrolika sungai E.
Kolam Olak Kolam olak adalah suatu bangunan berupa olak di hilir bendung yang berfungsi untuk
meredam energi yang timbul di dalam aliran air superkritis yang melewati pelimpah. Dalam perencanaan kolam olah meliputi pemilihan tipe kolam olak dan tebal kolam olak E.1. Pemilihan Tipe kolam olak 1. Berdasarkan Bilangan Froude, kolam olak dikelompokan sebagai berikut : Untuk Fr 1,7 tidak diperlukan kolam olak. Pada saluran tanah bagian hilir harus dilindungi dari bahaya erosi. Bila 1,7 < Fr 2,5 maka kolam olak diperlukan untuk meredam energi secara efektif. Kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan baik. Jika 2,5 < Fr 4,5 maka loncatan air tidak terbentuk dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Kolam olak yang digunakan untuk menimbulkan turbulensi (olakan) yakni tipe USBR tipe IV. Untuk Fr 4,5 merupakan kolam olak yang paling ekonomis, karena kolam ini pendek. Kolam olak yang sesuai adalah kolam USBR tipe III.
2. Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam Jika kedalaman konjungsi hilir dari loncat air terlalu tinggi dibanding kedalaman air normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada lantai kolam yang panjang akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas bendung, maka dapat dipakai peredam energi yang relatif pendek tetapi dalam. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.30 Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan pada bendung-bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan Froude rendah. Bahan ini diolah oleh Institut Teknik Hidrolika di Bandung untuk menghasilkan serangkaian perencanaan untuk kolam dengan tinggi energi rendah ini. Dapat dihitung dengan rumus:
hc 3
Tugas Akhir |
q2 g
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
64
dimana : hc = kedalaman air kritis (m) q = debit per lebar satuan (m3/dt.m) g = percepatan gravitasi (9,81 m/dt)
Gambar 3.30 Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam ( Sumber: Buku Pegangan Kuliah Bangunan Air) 3.
Kolam Vlugter Kolam Vlugter Gambar 3.31 dikembangkan untuk bangunan terjun di saluran irigasi. Batas-batas yang diberikan untuk Z/hc 0,5; 2,0; 15,0 dihubungkan dengan bilangan Froude. Bilangan Froude itu diambil dalam Z di bawah tinggi energi hulu. Kolam Vlugter bisa dipakai sampai beda tinggi energi Z tidak lebih dari 4,50 m.
Gambar 3.31 Kolam Vlugter 2
hc =
Tugas Akhir |
3
q g
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Jika 0,5 <
65
z ≤ 2,0 hc
t = 2,4 hc + 0,4 z Jika 2,0 <
z ≤ 15,0 hc
t = 3,0 hc + 0,1 z a = 0,28 hc
hc z
D = R = L ( ukuran dalam m ) 4. Kolam Schoklitsch Armin Schoklitsch Gambar 3.32 menemukan kolam olakan yang ukuranukurannya tidak tergantung pada tinggi muka air hulu maupun hilir, melainkan tergantung pada debit per satuan lebar.
Gambar 3.32 Kolam Schoklitsch ( Sumber: Buku Pegangan Kuliah Bangunan Air)
Panjang kolam olakan L = ( 0,5-1 ) w 1
Tinggi ambang hilir dari lantai S = β q 2 (
1
w 4 ) dengan harga minimum 0,1 w. g
Untuk faktor β dapat diambil dari Gambar grafik di bawah, dan faktor ξ diambil antara 0,003 dan 0,08. Harga ρ pada umumnya diambil 0,15 dapat dilihat pada Gambar 3.33
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
66
Gambar 3.33 Grafik Faktor β ( Sumber: Buku Pegangan Kuliah Bangunan Air) E.2. Tebal Lantai Kolam Olak Untuk menentukan tebal lantai kolam olak harus ditinjau pada dua kondisi yaitu pada kondisi air normal dan kondisi air banjir.
Lx Px Hx * H ' * w L t min
s.Px Wx pas
(Standar Perencanaan Irigasi KP-02)
dimana : Px
= Uplift Pressure (T/m2)
Hx
= tinggi muka air di hulu bendung diukur dari titik x (m)
Lx
= panjang creep line sampai titik x (m)
L
= panjang creep line total (m)
ΔH
= perbedaan tinggi tekan di hulu dan di hilir bendung (m)
γw
= berat jenis air (1 T/m3 )
t min
= tebal minimum lantai kolam (m)
s
= faktor keamanan untuk:
1,5
= untuk kondisi air normal
1,25
= untuk kondisi air banjir
Wx
= kedalaman air pada titik X (m)
γbeton
= berat jenis beton (2,4 T/m3)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.34
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
67
Gambar 3.34 Gaya Angkat pada Pondasi Bendung E.3. Panjang Lantai Muka Perencanaan panjang lantai muka bendung menggunakan garis kemiringan hidrolik. Garis Gradien Hidrolik ini digambarkan di hilir ke arah hulu dengan titik ujung hilir bendung sebagai permukaan dengan tekanan sebesar nol. Kemiringan garis hidrolik gradien disesuaikan dengan kemiringan yang diijinkan untuk suatu tanah dasar tertentu, yaitu menggunakan Creep Ratio (Cr). Untuk mencari panjang lantai depan hulu yang menentukan adalah beda tinggi energi terbesar dimana terjadi pada saat muka banjir di hulu dan kosong di hilir. Garis Gradien hidrolik akan membentuk sudut dengan bidang horisontal sebesar α, sehingga akan memotong muka air banjir di hulu. Proyeksi titik perpotongan tersebut ke arah horisontal (lantai hulu bendung) adalah titik ujung dari panjang lantai depan minimum.
1 Lw Lv Lh 3 (Perbaikan dan Pengaturan Sungai, Dr.Ir S. Sosrodarsono dan Dr. Masateru T) dimana : Lw
= panjang garis rembesan (m)
Σ Lv
= panjang creep line vertikal (m)
Σ Lh
= panjang creep line horisontal (m)
Faktor Rembesan / creep ratio (Cw) = Σ Lw / ΔHw dimana, Cw > C (aman). Harga-harga Minimum Angka Rembesan Lane (CL) Tabel 3.17
Tabel 3.19 Harga Angka Rembesan Lane (CL) ( Sumber : Irigasi dan Bangunan Air, Gunadharma)
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Jenis Material Pasir sangat halus / lanau
CL 8,5
Pasir halus
7
Pasir sedang
6
Pasir kasar
5
Kerikil halus
4
Kerikil sedang Kerikil kasar termasuk berangkal Bongkah dengan sedikit berangkal dan
68
3,5 3 2,5
kerikil Lempung lunak
3
Lempung sedang
2
Lempung keras
1,8
Lempung sangat keras
1,6
3.3.3. Intake Selain faktor profil sungai, penempatan intake juga tergantung faktor penanganan sedimentasi dan pola perawatan (maintenance). Ada dua macam bentuk intake, yakni direct intake dan side intake. Profil sungai pada intake memungkinkan kita menggunakan bentuk side intake. Bentuk intake ini dapat didesain tanpa trashrack dan pintu air dapat dilihat pada gambar 3.35.
Gambar 3.35 Potongan Intake (Sumber: Harvey, 1993) Qintake * a * b * 2 gz Q int ake Qsungai
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
69
Dimana: Q
= debit rencana (m3/s)
µ
= koefesien debit
g
= percepatan gravitasi (= 9.8 m/det2).
a
= tinggi bersih bukaan (m).
b
= lebar bersih bukaan (m).
z
= kehilangan tinggi energi pada bukaan (m).
3.3.4. Spillway Spillway direncanakan karena pada intake tidak ada pintu air, bangunan ini dipakai untuk melindungi saluran dan bangunan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh jumlah air yang berlebihan. spillway harus direncanakan berdasarkan tinggi muka air maksimum atau debit banjir rencana, desain rencana spillway dapat dilihat pada gambar 3.36.
Gambar 3.36 Spillway (Sumber: KP.04)
q x * x * 2g * (hsp)2 / 3 qx Qx - Qa
Dimana :
Tugas Akhir |
nΔx
= Panjang akhir Spillway Flooding (m)
Δx
= Panjang Spillway Flooding (m)
Qa
= Debit Head race (m3/s)
Qx
= Debit Banjir rencana (m3/s)
qx
= Debit limpahan (m3/s) Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
µ
= Efisiensi Spillway Flooding (%)
Hsp
= Tinggi Spillway Flooding (m)
g
= Gravitasi (m/sˉ²)
70
3.3.5. Sand Trap Air yang mengalir dari sungai dan yang akan menuju turbin, tentunya akan membawa beberapa partikel kecil (sedimen). Partikel-partikel ini bersifat keras (solid) inilah yang dapat merusak turbin. Untuk meniadakan material-material perusak ini, arus air harus diperlambat di kolam pengendap, maka material-material ini akan mengendap di dasar kolam dan dibersihkan secara periodik. Parameter yang ditinjau adalah panjang (L) sand trap dan tinggi tank sand trap, desain sand trap dapat dilihat pada gambar 3.37.
Gambar 3.37 Potongan Sand Trap (Sumber: Standar Perencanaan Mikro Hidro)
A.
Panjang Sand trap Panjang sand trap ditinjau dari arah x (tx) dan arah y (ty), sehingga dari kedua tinjauan kita bisa dapat nilai L dari sand trap.
tx L / v ty H / w Q v* H * B tx ty L
Tugas Akhir |
Q w* B
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
71
Dimana : L
= Panjang sand trap (m)
B
= Lebar sand trap (m)
H
= Tinggi sand trap (m)
Q
= Debit head race (m3/s)
w
= Kecepatan alir sediment (m/s), diambil dari gambar 3.38
v
= Kecepatan alir air di head race (m/s)
Gambar 3.38 Grafik Kecepatan Sedimen (Sumber: Standar Perencanaan Mikro Hidro) 3.3.6. Head Race Bangunan yang berfungsi untuk memasok air pada PLTMH umunmya adalah bangunan terjun dan saluran irigasi. PLTMH yang direncanakan pada. Tugas Akhir ini adalah menggunakan saluran irigasi. Bentuk penampang yang akan direncanakan adalah penampang tunggal berbentuk trapesium, desainya dapat dilihat pada gambar 3.39.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
72
Gambar 3.39 Penampang Tunggal Berbentuk Trapesium (Bambang Triatmodjo, 1993) V
2/ 3 1/ 2 = (1/n)* m * I
Q head race
= V*A
P
= B+2H
A
= H(B+mH)
R
= A/P
Q head race
= Q Intake
1 m2
dimana: V
= Kecepatan aliran (m/detik)
N
= Koefisien kekasaran manning
R
= Jari - jari hidrolis (m)
I
= Kemiringan saluran
A
= debit aliran (m3/s)
A
= Luas penampang saluran atau sungai (m²)
P
= Keliling basah saluran (m)
m
= Nilai perbandingan horisontal terhadap satu satuan vertical
3.3.7. Penstock Penstock atau pipa pesat adalah pipa yang yang berfungsi untuk mengalirkan air dari bak penenang menuju ke Rumah Pembangkit. Perencanaan pipa pesat mencakup pemilihan material, diameter dan ketebalan. Desain posisi saringan pada awalan pipa pesat dapat dilihat pada gambar 3.40.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
73
Gambar 3.40 Posisi Saringan (Sumber: Standar Perencanaan Mikro Hidro) A.
Menghitung Hidrolis Pipa Hidrolis pipa meliputi mayor losses, minor losses dan perhitungan Hnetto turbin.
Desain garis energi dan tekanan dapat dilihat pada gambar 3.41.
EGL
HGL
Gambar 3.41 Garis Energi (EGL) dan Garis Tekanan (HGL) A.1.
Mayor Losses (kehilangan energi primer) Kehilangan energi primer adalah kehilangan energi yang disebabkan gesekan
didalam pipa.
hf f *
L v2 * b 2g
Di mana:
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
A.2.
f
= Koefisien gesekan Darcy-Weisback
L
= Panjang pipa (m)
D
= Diameter pipa (m)
V
= Kecepatan Aliran (m2/s)
g
= Percepatan gravitasi (m2/det)
Minor Losses (kehilangan energi primer) 1. Apabila ada trash rack pada awalan penstock dapat dihitung dengan rumus :
t 4 3 K sin Vo 2 b hr 2g Dimana : K
=Koefisien losses untuk elemen
t
= Tebal elemen (cm)
b
= Celah antar 2 elemen (cm)
α
= Sudut kemiringan trash rack (°)
Q
= Debit air yang direncanakan (m3/det)
Vo
= Kecepatan rata-rata dalam aliran (m3/det)
2. Kehilangan energi pada awal pipa hf k *
v2 2g
Dimana :
B.
74
k =
Koefisien bentuk ujung pipa.
V =
Kecepatan Aliran (m2/s)
g
Percepatan gravitasi (m2/det)
=
Diameter Penstock D = 0,72 * (Qair)0.5..... (Standar Perencanaan Mikro Hidro) Dimana :
Qair Tugas Akhir |
= Debit
andalan (m3/s)
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
D C.
75
= Diameter penstock (m)
Ketebalan Penstock
P * Do to ………...(Mosonyi,1991) * Di mana:
D.
to
=
Tebal pipa penstock (mm)
Do
=
jari – jari penstock (m)
P
=
Tinggi tekanan air dalam pipa pesat (kg/cm2)
=
Tegangan ijin bahan penstock (kg/cm2)
η
=
Efisiensi sambungan las
ε
=
Korosi plat yang diijinkan.
Tinggi Netto Turbin Hnetto = H statis – hf total
3.3.8. Turbin Untuk menentukan dimensi dan ukuran turbin yang akan ditempatkan di power house kita terlebih dahulu harus menentukan jenis dari turbin tersebut. Parameter penentuan turbin meliputi penentuan Hnetto, daya terbangkit, penentuan jenis turbin. A.
Daya Terbangkit Pt = Hn . Q . g . η Dimana:
B.
Pt
= Daya terbangkit (Kwh)
Hn
= Tinggi terjun bersih (m)
η
= Efisiensi
g
= Gaya gravitasi bumi (m/sˉ²)
Penentuan Turbin Parameternya meliputi penentuan tipe turbin, mencari spesifikasi turbin, menentukan
jenis turbin. B.1. Tipe Turbin
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
76
Nsj = 85,49/Hn0,243
Ns Nsj z ….Desiervo dan Lugaresi (1978) Dimana : Nsj
: Putaran spesifik turbin untuk single jet
Hn
: H netto
Z
: Jumlah jet
Ns
: Putaran spesifik turbin
Untuk penentuan jenis turbin berdasarkan nilai Ns, dapat dilihat pada Tabel 3.18. Tabel 3.20 Kecepatan Spesifik Untuk Bermacam-macam Tipe Turbin Pelton
Type of Runner
Ns (Specific speed) (rpm) 12-30
Turgo
20-70
Cross Flow
20-80
Francis
80-400
Propeller and Kaplan
340-1000
Untuk penentuan jenis turbin (Gambar 3.42 dan 3.43) , putaran turbin (Gamba 3.44) dan juga sambungan turbin dengan generator (Gambar 3.45) menggunakan grafik keluaran PT. Entec Indonesia (Consulting and Engineering)
Gambar 3.42 Grafik Penentuan Jenis Turbin (Ns dan Hnetto)
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Gambar 3.43 Grafik Penentuan Jenis Turbin (Flow dan Hnetto)
Gambar 3.44 Grafik Penentuan Sambungan Generator dan Turbin
Gambar 3.45 Grafik Penentuan Putaran Turbin
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
77
Bab III Tinjauan Pustaka|
78
B.2. Mencari Spesifikasi turbin Parameternya meliputi diameter turbin, jarak guide vane dan panjang Runner. 1.
Diameter Runner (D Runner) Drunner
2.
Hnetto rpm(Turbin )
Menentukan jarak guide vane dengan Runner (tjet)
tjet 0,2 xDrunner 3.
Mentukan panjang Runner (L Runner) atau Bo Qmaks Dimana : Lrunner * 2 *andalan g * Hnetto Q maks tjet * Cd = Debit (m3/s) Cd
= Koefisien turbin
Hnetto
= Tinggi bersih (m)
B.3. Menentukan Jenis Turbin Dari jenis turbin, putaran turbin, diameter runner, jarak guide vane dengan Runner dan panjang runner, bisa kita dapat jenis turbin yang akan dipakai. C.
Pemilihan Generator Nilai putaran turbin berhubungan dengan putaran sesuai spesifikasi generator yang
diinginkan. Parameter yang ditunjau dalam menentukan jenis generator meliputi gear ratio dan jumlah kutub magnetik generator.
1.
Gear Ratio Gear Ratio
2.
Generator ( rpm ) 2 Turbin ( rpm )
Jumlah kutub magnetik Jumlah kutub magnetik pada generator dihitung dengan rumus : P = (60.f)/N Di mana: P = Jumlah kutub magnetik generator f
= Frekuensi generator (rpm)
N = Kecepatan putar generator
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
79
3.3.9. Tail race Bangunan yang berfungsi untuk mengalirkan air pada pembuangan PLTMH. Bentuk penampang yang akan direncanakan adalah penampang tunggal berbentuk trapesium rumus yang dipakai sama dengan sub bab 3.3.6. Untuk desain tail race dsapat dilihat pada gambar 3.46.
Gambar 3.46 Penampang Tunggal Berbentuk Trapesium (Bambang Triatmodjo,1993)
3.4. Analisis Stabilitas Bendung
Gambar 3.47 Gaya-gaya Yang Bekerja pada Bendung
Keterangan : W
: Gaya Hidrostatis
Pa
: Tekanan Tanah Aktif
G
: Gaya Aibat Berat Sendiri
Tugas Akhir |
Up Pp
: Gaya Angkat (Uplift Pressure) : Tekanan Tanah Pasif
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
80
Gaya-gaya yang bekerja pada bendung seperti pada Gambar 3.47. Stabilitas bendung dianalisis pada dua macam kondisi yaitu pada saat sungai normal dan pada saat sungai banjir. Tinjauan stabilitas yang diperhitungkan dalam perencanaan suatu bendung meliputi Analisis Gaya-Gaya Horisontal, Analisis Gaya Vertikal dan Analisis Stabilitas Bendung 3.4.1. Analisis Gaya-Gaya Horisontal Gaya-gaya horisontal meliputi Gaya akibat tekanan lumpur, Tekanan Hidrostatis dan Tekanan tanah aktif dan pasif. A.
Gaya akibat tekanan lumpur
Rumus: Ps
s xh 2 1 sin 2 1 sin (Irigasi dan Bangunan Air, Gunadharma, hal 132)
di mana: Ps = gaya yang terletak pada 2/3 kedalaman dari atas lumpur yang bekerja secara horisontal = sudut geser dalam Τs = berat jenis lumpur (ton/m3) h = kedalaman lumpur (m) B.
Tekanan Hidrostatis
Rumus: Wu = c.yw[h2 + ½ (h1 – h2)]A (Irigasi dan Bangunan Air, Gunadharma, hal 131) di mana: c
= proposan luas di mana tekanan Hidrostatis bekerja (c = 1 untuk semua tipe pondasi)
yw
= berat jenis air (kN/m3)
h2
= kedalaman air hilir (m)
h1
= kedalaman air hulu (m)
= proporsi tekanan, diberikan pada Tabel 3.19 (m)
A
= luas dasar (m2)
Wu
= gaya tekanan keatas resultante (kN)
Tabel 3.21 Harga-harga (Sumber : Irigasi dan Bangunan Air,Gunadarma) Tipe Pondasi Batuan Proporsi Tekanan Berlapis horisontal
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
1,00
Bab III Tinjauan Pustaka|
C.
Sedang, pejal (massive)
0.67
Baik, pejal
0.5
Tekanan tanah aktif dan pasif
Tekanan tanah aktif dihitung dengan rumus sebagai berikut:
1 Pa sub * Ka * h 2 Ka tan 2 45 0 / 2 2
sub sat w Gs e w w 1 e
di mana γ w = 1 T/m3
Gs 1 w 1 e
Tekanan tanah pasif dihitung dengan rumus sebagai berikut:
1 Pp sub * Kp * h 2 2
Kp tan 2 45 0 / 2
sub sat w Gs e w w 1 e
di mana γ w = 1 T/m3
Gs 1 w 1 e Keterangan : Pa
= tekanan tanah aktif (T/m2)
Pp
= tekanan tanah pasif (T/m2)
= sudut geser dalam ( 0 )
g
= gravitasi bumi = 9,8 m/detik2
h
= kedalaman tanah aktif dan pasif (m)
γsub
= berat jenis submerged/ tanah dalam keadaan terendam (T/m3)
γsat
= berat jenis saturated/ tanah dalam keadaan jenuh (T/m3)
γw
= berat jenis air ( ton/m3)
Gs
= Spesifik Gravity
e
= Void Ratio
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
81
Bab III Tinjauan Pustaka|
82
3.4.2. Analisis Gaya Vertikal Gaya vertikal meliputi Akibat berat bendung, Gaya Angkat (uplift pressure) dan Gaya Gempa A. Akibat Berat Bendung Rumus : G V * pas ... (Standart Perencanaan Irigasi KP-02) di mana : V = Volume (m3) γpas = berat jenis bahan (pasangan) = 2,2 ton/m3
B. Gaya Angkat (uplift pressure) Rumus : Px Hx H
Px Hx ( Lx *
H ) (Irigasi dan Bangunan Air, Gunadharma,Hal :131) L ....
di mana : Px
= tekanan air pada titik x (ton/m2)
Lx
= jarak jalur rembesan pada titik x (m)
L
= panjang total jalur rembeasn (m)
H
= beda tinggi energi (m)
Hx
= tinggi energi di hulu bendung
C. Gaya Gempa Rumus: Ad n a c xz m ...(Standar Perencanaan Irigasi KP-06)
E
ad g
Di mana: Ad
= percepatan gempa rencana (cm/dt2)
n, m
= koefisien untuk masing-masing jenis tanah
ad
= percepatan kejut dasar
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
z
83
= faktor yang tergantung dari letak geografis/ peta zone seismik (untuk perencanaan bangunan air tahan gempa = 0,56)
E
= koefisien gempa
g
= percepatan gravitasi = 9,8 m/dt2.
Dari koefisien gempa di atas, kemudian dicari besarnya gaya gempa dan momen akibat gaya gempa dengan rumus: Gaya Gempa: K=ExG Di mana: E = 0,10 (Koefisien gempa) K = gaya gempa G = berat bangunan (ton) Momen: M = K x Jarak (m) Setelah menganalisis gaya-gaya tersebut, kemudian diperiksa stabilitas bendung terhadap guling, geser, pecahnya struktur, erosi bawah tanah (piping) dan daya dukung tanah.
3.4.3. Analisis Stabilitas Bendung Analisa stabilitas bendung meliputi Terhadap Guling, Terhadap Geser, Terhadap Daya Dukung Tanah dan Terhadap Erosi Bawah Tanah (Piping) A. Terhadap Guling SF
MT 1.5 MG
... (Teknik Bendung, Ir.Soedibyo, Hal 105)
di mana : SF
= faktor keamanan
Σ MT = jumlah momen tahan Σ MG = jumlah momen guling B. Terhadap Geser SF f
Tugas Akhir |
RV RH
1.5 …(Engineering For Dams, Hinds Creager Justin, Hal:297)
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
di mana : SF
= faktor keamanan
Σ RV = total gaya vertikal Σ RH = total gaya horisontal f
= koefisien gesekan = ( 0,6-0,75 )
C. Terhadap Daya Dukung Tanah Dari data tanah pada lokasi bendung Sukomerto, diperoleh : γ
= ton/m3
c
= kohesi
= sudut geser dalam
Nc, Nq, Nγ didapat dari grafik Terzaghi.
Rumus daya dukung tanah Terzaghi :
qult c.Nc .Nq 0,5. .B.N
.....
(Mekanika Taanah Jilid I, Braja M. Das )
qult SF
Kontrol :
maks
RV 6.e x1 BL B
min
RV 6.e x1 0 .... (Teknik Bendung, Ir.Soedibyo, Hal : 107 ) BL B
di mana : SF
= faktor keamanan
RV
= gaya vertikal (ton)
L
= panjang bendung (m)
σ
= tagangan yang timbul (ton/m2)
= tegangan ijin (ton/m2)
D. Terhadap Erosi Bawah Tanah (Piping) Keamanan bendung terhadap erosi bawah bendung dihitung dengan rumus :
S
s(1 a / s) …. (Standar Perencanaan Irigasi, KP-02, hal : 127) hs
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
84
Bab III Tinjauan Pustaka|
85
di mana : S
= factor keamanan
s
= kedalaman tanah (m)
a
= tebal lapisan pelindung (m)
hs
= tekanan air pada kedalaman s (kgm2)
Rumus di atas mengasumsikan bahwa berat volume tanah di bawah air dapat diambil 1 (w = s = 1 T/m3). Berat volume bahan lindung di bawah air adalah 1. harga keamanan S sekurang-kurangnya 2.
3.5. Dimensi Angker Block dan Power House Parameter yang ditinjau adalah struktur angker block
(sebelum masuk power
house) dan dimensi power house. Desain power house dapat dilihat pada gambar 3.48.
Gambar 3.48 Layout Tata Ruang Power house
3.5.1. Perhitungan Angker Block Angker blok yang didesain disini pada awalan dan akhiran penstock, dikarenakan elevasi tanah yang relatif landai tanpa belokan. Kestabilan konstruksi ditinjau dari gaya yang terjadi dan stabilitas angker block , dapat dilihat pada gambar 3.49.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
86
Gambar 3.49 Gaya yang Bekerja pada Angker Blok (Sumber: Mosonyi. 1991) A.
Gaya Angker Block Penstock berada pada ujung dekat dengan power house sehingga beban yang kita
desain adalah penstock diatas angker block meliputi beban mati dari pipa pesat dan gaya akibat tekanan hidrostatik. A.1.
Beban Mati dari Pipa Pesat (P’o) ′ = Σ ′ sin [ ] Dimana :
A.2.
G’o
= Volume penstock (m³)
β
= Sudut kemiringan (°)
Gaya akibat tekanan hidrostatik (P’w) ′ =
4
[
]
Dimana : Apipa = Luas penampang (m³) = Berat jenis (kg/m3) H B.
= Tinggi dinamis berdasar pressure rise (m)
Stabilitas Angker Block Parameter yang ditinjau meliputi stabilitas terhadap daya dukung tanah, geser dan
guling. B.1.
Daya Dukung Tanah
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Untuk melihat keamanan dari daya dukung tanah besarnya ) dan kuat tekan tanah lempung
dengan kuat tekan beton K125 ( ≪
87
, akan ditinjau .
≪ sin
=
1+
6
[
⁄
]
Dimana : A
=
Luasan Angker Blok (m²)
B
=
Lebar Angker Blok (m)
=
Sudut yang dibentuk oleh R dengan bidang horizontal.
= B.2.
−
dan
>
(lihat gambar 3.36)
Geser Faktor keamanan / Safety Factor (SF) > 1,5 Koefisien geser
= 0,6 – 0,7
=
≫ 1,5
Dimana : n
B.3.
=
besarnya factor keamanan / Safety factor (n > 1,5)
=
koefisien geser / sliding coefficient (0,6 - 0,7)
Guling <
6
=
−
2
<
6
< 0,833
Dimana: A
= = −
Luasan Angker Blok (m²) dan
>
(lihat gambar 3.36)
3.5.2. Dimensi Power House Desain rumah pembangkit yang baik akan melindungi dan mengatur tata letak turbin, generator dan peralatan lain (didalam power house) dalam jangka waktu yang cukup lama. Dimensi power house dirancang berdasar kebutuhan ruang untuk bagian – bagian didalam power house. Sedangkan untuk struktur power house didesain berdasarkan dimensi praktis karena hanya satu lantai (tanpa ada tingkatan) maka beban yang terjadi adalah beban sendiri dari struktur. Desain dimensi power house dapat dilihat 3.50.
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
Bab III Tinjauan Pustaka|
Gambar 3.50 Layout Power House
Tugas Akhir |
Perencanaan PLTMH Kedungsari Purworejo
88