64
BAB III TINJAUAN EMPIRIS POLA ASUH ISLAMI ORANGTUA DALAM MEMBENTUK MORAL ANAK
A.
Profil Keluarga Iqbal 1.
Profil Marsono Rahardjo Marsono Rahardjo, populer dengan panggilan Pak Hardjo, lahir di
Cilacap pada tanggal 18 Desember 1967. Berasal dari keluarga terdidik terutama dalam bidang agama Islam. Keadaan keluarga yang sangat prihatin tidak menghentikan keinginannya untuk terus mendalami dan mengamalkan ilmu Allah. Menurutnya, mempelajari, mendalami, dan mengamalkan ilmu Allah tidak ada hubungannya dengan keadaan hidup kaya atau miskin, tapi itu semua berhubungan dengan hati dan pikiran kita untuk berusaha mencapai ridhonya Allah. Marsono Rahardjo mengawali pendidikan formalnya di SD Negeri Dondong
I,
pengembaraan
dan
lulus
pada
tahun
intelektualnya di Pondok
1980.
Kemudian
melanjutkan
Pesantren al-Ihya Ulumuddin
Cilacap yang dikenal dengan Pesantren Kesugihan, dan selesai pada tahun 1986. Di pondok pesantren inilah Marsono Rahardjo dipertemukan dengan jodohnya. Selama hampir empat tahun Marsono Rahardjo mengabdi sebagai pengajar di pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu. Namun, karena keinginannya untuk memperistri Siti Khadijah, ia harus merantau ke negeri
65
seberang bertugas sebagai awak kapal pesiar pariwisata. Pekerjaan yang dulu ia jalani, ia dapatkan dari ajakan seorang teman yang telah bekerja terlebih dahulu di kapal pesiar tersebut. Bekerja sebagai awak kapal, dan bertemu dengan berbagai macam orang dari berbagai negara membuatnya pandai menggunakan beberapa bahasa. Bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Arab, dapat ia kuasai dengan baik. Sepulangnya
ia
ke
Indonesia,
Marsono
Rahardjo
menyatakan
keseriusannya untuk menikahi Siti Khadijah. Pada tahun 1995 akhirnya Marsono Rahardjo dan Siti Khadijah pun mengucapkan janji suci dalam sebuah ikatan pernikahan dan dikaruniai dua orang anak. Pada tahun 2000 ketika Iqbal anak keduanya berumur baru lima bulan, Marsono dan keluarga mencoba mencari peruntungan di kota lain, dan Bandung Jawa Barat menjadi pilihannya. Uang hasil ia bekerja selama hampir 7 tahun, ia gunakan sebagai modal untuk membuka dealer motor tempatnya mengais rezeki. Ditengah-tengah
kebahagiannya
berkumpul dengan
keluarga
harus
terhenti karena istrinya Siti Khadijah terserang penyakit jantung, dan itu butuh biaya yang sangat luar biasa. Penghasilannya sebagai wiraswasta tidak dapat menutupi pengeluaran keluarga yang begitu membengkak, hingga akhirnya ketika Iqbal berusia sembilan tahun, Marsono Rahardjo memutuskan untuk kembali pergi berlayar. Sebagai kepala keluarga, ia sangat bahagia karena dikaruniai dua orang anak dari rahim perempuan yang taat dan takut akan Allah. Sebagai hamba Allah, ia masih juga merasa
66
belum sanggup mensyukuri anugerah-Nya. Kini, istri dan kedua anak Marsono Rahardjo tinggal di Kp. Junti Hilir RT. 03/01 No. 79 Ds. Sangkan Hurip Kec. Katapang Kab. Bandung 40971.
2.
Profil Siti Khadijah Siti Khadijah, yang akrab dengan panggilan Bu Ustadzah, lahir di
Cilacap pada tanggal 19 September 1973. Berasal dari keluarga yang syarat akan aturan-aturan agama. Di tempat kelahirannya, orangtua Siti Khadijah menjadi salah satu pengurus di Pondok Pesantren al-Ihya Ulumuddin. Maka tak jarang hari-harinya ia lewatkan dengan menuntut ilmu agama. Siti
Khadijah
Cilongkrang pengembaraan
I,
mengawali
pendidikan
formalnya
dan lulus pada tahun 1984. intelektualnya di Pondok
di
SD
Negeri
Kemudian melanjutkan
Pesantren al-Ihya Ulumuddin
Cilacap yang dikenal dengan Pesantren Kesugihan, dan selesai pada tahun 1990. Di pondok pesantren inilah Siti Khadijah dipertemukan dengan Marsono Rahardjo yang menjadi imamnya kini. Selama hampir empat tahun Siti Khadijah juga mengabdi sebagai pengajar di pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu. Penantiannya terhadap Marsono Rahardjo yang telah mengucap janji untuk menjadikan ia istri berakhir pada tahun 1995. Setelah Siti Khadijah menikah, dan dikaruniai dua orang anak, pada tahun 2000 ia dan keluarga mencoba mencari peruntungan di kota lain, dan Bandung Jawa Barat menjadi pilihannya. Ditengah-tengah kebahagiannya
67
berkumpul dengan keluarga harus terhenti karena ia terserang penyakit jantung, dan itu butuh biaya yang sangat luar biasa. Penghasilan suaminya sebagai wiraswasta tidak dapat menutupi pengeluaran keluarga yang begitu membengkak,
hingga
akhirnya
ketika
Iqbal berusia
sembilan tahun,
suaminya memutuskan untuk kembali pergi berlayar. Sebagai istri, kini ia harus berjuang untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya meski tanpa
didampingi
oleh
suaminya.
Jarak
yang
memisahkan
tidak
menghalangi ia dan anak-anak untuk terus menjalin komunikasi dengan suaminya. Menurutnya, dalam kondisi seperti ini kepercayaan dan selalu mendekatkan diri kepada Allah adalah kunci utamanya. Karena dengan itu semua ia yakin bahwa Allah akan selalu menjaga keutuhan dan kebahagiaan keluarganya. Di kondisinya yang sekarang ini, Siti Khadijah termasuk perempuan kuat
dan
hebat.
Selain
terus
berjuang
melawan
penyakitnya
yang
menghabiskan uang sampai belasan juta rupiah tiap bulannya, ia juga mengurus anak-anaknya dan mengurus usaha dealer motor yang didirikan oleh suaminya.
Bahkan aktifitas lain pun tidak kalah hebatnya. Di
rumahnya, setiap hari Siti Khadijah memberikan pengajaran ilmu agama kepada anak-anak dan remaja. Kemudian, setiap satu minggu sekali ia melatih marawis dan MTQ untuk anak-anak, remaja, dan ibu-ibu. Mengisi pengajian keliling setiap satu minggu sekali pun tidak pernah ia lewatkan. Meski hanya sebagai pendatang, namun Siti Khadijah dan keluarga sangat dihormati karena ilmu dan akhlaknya.
68
3.
Profil Reka Ningtiyas Rahardjo Reka Ningtiyas Rahardjo ialah anak pertama dari dua bersaudara yang
lahir di Cilacap pada tanggal 23 Maret 1997. Perempuan yang akrab dipanggil Eka ini merupakan buah cinta dari pasangan Marsono Rahardjo dan Siti Khadijah. Kini, Eka tinggal bersama orangtua dan adiknya di Kp. Junti Hilir RT. 03/01 No. 79 Ds. Sangkan Hurip Kec. Katapang Kab. Bandung 40971. Reka mengawali pendidikan formalnya di SD Negeri Junti Hilir IV dan lulus pada tahun 2009. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 2 Katapang di Bandung, selesai pada tahun 2012. Pendidikan Tingkat Menengah Atas kini ditempuhnya di SMA Negeri 1 Katapang, yang akan selesai pada tahun 2015. Pendidikan informal pun ia tempuh sebagai santri di Masjid Jami’ Khusnul Khotimah hingga sekarang. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke kesehatan tidak tercapai dikarenakan banyak sekali pengeluaran di keluarganya. Eka sangat sedih dan kecewa, namun ia harus menerimanya dengan ikhlas dan sabar demi kesembuhan ibunya. Walaupun demikian, Eka tetap semangat belajar untuk menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Cita-citanya menjadi dokter tumbuh ketika ibunya mulai sakit-sakitan, dan dokter spesialis jantunglah yang ingin ia tempuh. Anak pertama dari pasangan Marsono Rahardjo dan Siti Khadijah ini sedikit berbeda dengan adiknya. Eka lebih suka diam di rumah membantu ibunya dibandingkan banyak bermain diluar. Ia keluar rumah ketika mau
69
sekolah dan mengaji di Masjid Jami’ Khusnul Khotimah. Sekali-kalinya ia keluar rumah kalau ada belajar kelompok atau apapun tugas dari sekolah dan tempatnya mengaji.
4.
Profil Muhammad Iqbal Rahardjo Muhammad Iqbal Rahardjo ialah anak terakhir dari pasangan Marsono
Rahardjo dan Siti Khadijah. Ia lahir di Cilacap pada tanggal 01 September 2000. Laki-laki yang akrab dipanggil Dede ini, kini tinggal bersama orangtua dan kakaknya. Iqbal mengawali pendidikan formalnya di TK al-Istiqamah dan lulus pada tahun 2007. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke SD Negeri Junti Hilir 1, yang akan selesai pada tahun 2013. Sama halnya dengan kakak perempuannya, pendidikan informal pun ia tempuh sebagai santri di Masjid Jami’ Khusnul Khotimah hingga sekarang. Tugasnya sebagai pelajar tingkat sekolah dasar ia tunaikan dengan baik. Karena, menurut penuturan dari teman-teman sekolahnya, Iqbal merupakan murid yang rajin, pintar, dan selalu masuk rangking 5 besar. Disela-sela waktunya ia gunakan untuk aktif di satuan pramuka sekolahnya, dan rajin juga menuntut ilmu agama di Masjid Khusnul Khotimah. Penghargaan pun banyak dirahinya, baik dalam bidang pendidikan maupun keagamaan. Diantaranya, selalu masuk 5 besar dari kelas 1 SD sampai sekarang, meraih juara kedua tingkat desa bersama kelompok
70
marawisnya, dan juga memenangkan lomba tahfidz Qur’an meski hanya menjadi juara ketiga. Perilaku
yang
melekat pada diri Iqbal membuat kagum orang
sekitarnya. Bagaimana tidak, anak di usianya kini belum tentu melakukan tindakan yang sama seperti yang Iqbal lakukan. Seorang anak yang berusia 12 tahun mempunyai kemampuan empati terhadap seorang pemulung yang melintas di depan halaman rumahnya, yang pada akhirnya Iqbal pun memutuskan untuk menolong dan memberikan seluruh uang tabungannya kepada pemulung tersebut. Hal yang tidak biasa terjadi pada anak seusianya, mencoba melewati proses berfikir dan menggunakan hati nurani sehingga berimplikasi pada tindakan yang harus dilakukannya. Selain memiliki jiwa penolong, Iqbal juga sangat santun dan hormat baik terhadap orangtuanya maupun orang lain. Taat dalam menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim pun ia lakukan dengan baik, seperti mengaji, shalat, puasa, dan sebagainya (data hasil observasi dan wawancara pada tanggal 12 s.d 24 Juli 2013).
B.
Aktivitas Orangtua Iqbal dalam Mengasuh Anak-anaknya Menurut Daradjat, pengasuhan terhadap anak di mulai ketika anak masih
kecil, dengan kata lain anak sudah lahir. Namun, pada kenyataannya memberikan pengasuhan pada anak yang dilakukan oleh orangtua Iqbal tidak cukup hanya diberikan setelah anak hadir ke dunia, tapi sejak anak dalam kandungan, orangtua Iqbal sudah mulai memberikan perhatian penuh terhadap calon dari buah hatinya.
71
Seperti, membaca al-Qur’an dan shalawatan. Selain itu, setiap orangtua Iqbal hendak melakukan aktivitas berupa shalat, membaca al-Qur’an, shalawatan, orangtua Iqbal selalu mengajak anak yang ada dalam kandungannya. Terjadi ketidaksesuaian antara teori dan temuan. Namun yang dilakukan oleh orangtua Iqbal didukung oleh teori dari M. Nur Abdul Hafizh Suwaid bahwa pengasuhan terhadap anak bermula ketika anak masih dalam kandungan, karena anak yang dilahirkan selalu membawa fitrah keimanan. Bagaimana tidak? Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. al-A’raf ayat 172 bahwa Allah telah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (jabang bayi). Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan mengenal Allah dan mengakui keberadaan-Nya. Maka dari itu, setiap bayi yang dilahirkan instingnya sudah dipersiapkan untuk menerima syariat. Dengan orangtua menjaga fitrah ilahiah anak, seiring pertumbuhan bayi yang dilahirkan akan terus berpegang teguh pada-Nya, dan tidak berpaling kepada yang lain. Untuk orangtua yang awam dalam hal seperti ini, tapi dia tetap mengerjakan amalan-amalan shaleh selama anak dalam kandungan, maka janin yang tengah berkembang dalam rahim ibu benar-benar dalam perlindungan Allah SWT. Hal yang dilakukan oleh orangtua Iqbal telah dicontohkan oleh Sahal atTustari yang berusaha sekuat tenaga untuk menjaga anaknya. Padahal, anaknya belum dilahirkan. Dia menjaganya dengan melakukan berbagai amal shaleh dengan harapan Allah SWT memuliakannya dengan mengaruniainya anak yang shaleh. Dia berkata, “Aku akan menepati janji yang telah diambil Allah SWT dariku di alam dunia ini. Aku akan memelihara anak-anakku dari mulai saat ini
72
sampai Allah SWT menghidupkan mereka di alam persaksian. Oleh karenanya, memberikan pengasuhan pada anak sejak masih di dalam kandungan merupakan suatu keniscayaan setiap orangtua (calon ibu dan calon ayah). Kemudian, saat kelahiran tiba, penerimaan atas kehadiran bayi dari kedua orangtua sangatlah penting. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh orangtua Iqbal dalam melaksanakan pengasuhan terhadap anak-anaknya ketika mereka lahir, diantaranya; memberinya ASI eksklusif dan memberikannya nama yang indah. Dari hasil wawancara dengan orangtua Iqbal, dapat diketahui bahwa pemeliharaan terhadap anak berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam perspektif Islam, hal terpenting pada masa bayi adalah memberikan nutrisi yang berkualitas (halal dan thoyib). Nutrisi terbaik dari Allah SWT untuk bayi yang belum bisa ditiru manusia adalah air susu ibu (ASI). Seorang Muslim yang taat dalam menjalankan syariat Islam tidak akan merasa perlu mengganti ASI dengan susu kemasan. Hal ini termaktub dalam Firman Allah SWT Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 233. Dari ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa Allah memerintahkan seorang ibu untuk menyusui bayinya selama dua tahun penuh. Sebab, Allah tahu bahwa dalam jangka waktu ini sang ibulah yang lebih tepat untuk melakukannya ditinjau dari segala segi untuk si jabang bayi, baik segi kesehatan maupun segi kejiwaan. Bahkan Rasulullah SAW memerintahkan semua ibu untuk menyusui bayinya, meskipun bayi tersebut hasil perzinaan (HR. Muslim, dalam M. Nur Abdul Hafizh Suwaid).
73
Secara
psikologis
pemberian
ASI,
selain
memiliki efek
fisik
yang
membentuk sistem imun bagi bayi dalam melawan kuman penyakit sehingga daya tahan tubuh bayi menjadi kuat, juga memiliki efek psikis yang membuat anak merasakan kehangatan cinta kasih ibunya ketika berada di pangkuan dan pelukan ibu, sehingga bayi akan merasa aman, nyaman dan merasakan acceptance (penerimaan) dari ibunya. Kondisi tersebut membawa bayi menuju ke arah perkembangan psikososial “trust”, yang merupakan modal dasar bagi bayi untuk dapat mengembangkan potensi diri sebagai makhluk sosial. Selain pemberian ASI penuh, orangtua Iqbal juga memberikan nama yang (bermakna) baik kepada anak-anaknya. Dalam Islam nama berarti do’a, sehingga ketika orangtua memberi nama kepada anaknya, maka mengandung harapan agar anak tersebut kelak menjadi seperti nama yang disandangnya. Bila dilihat dari perspektif psikologis, menurut Adhim nama merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan konsep
diri,
sehingga bila nama anak
(bermakna) baik, maka hal ini akan berpengaruh pada proses pembentukan konsep diri, harga diri, dan keyakinan diri, yang akan bermuara pada pembentukan identitas diri anak. Setelah anaknya mulai bisa berbicara, orangtua Iqbal mulai membangun kedekatan anak-anaknya dengan Tuhan-Nya dengan cara mengajak mereka berbicara dan membimbingnya berdo’a berupa mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota tubuh anaknya. Hal ini dilakukan selain untuk memperkenalkan pencipta-Nya lebih jauh, juga untuk mendekatkan anak-anak kepada penciptaNya.
74
Ternyata sesuatu hal yang dilakukan oleh orangtua Iqbal menurut M. Fauzil Adhim sangatlah memberikan efek positif bagi anak-anaknya. Suara orangtua yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi pengaruh yang lebih besar bagi anak. Selain menguatkan pesan pada diri anak, cara orangtua berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ anak. Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh orangtua Iqbal ketika anakanak mulai bisa berbicara ialah al-Khaliq, sebagaimana firman-Nya yang pertama kali turun Q.S. al-A’laq ayat 1-5. Ada dua hal yang orangtua Iqbal lakukan dalam mengaplikasikan ayat di atas. Pertama, orangtua Iqbal memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifatNya yang pertama kali dikenalkan, yakni al-Khaliq. Orangtua Iqbal mulai menumbuhkan kesadaran dan kepekaan kepada anaknya, bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Dengan demikian, akan muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya. Kedua, orangtua Iqbal mengajak anaknya untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sinilah orangtua Iqbal mengajak anaknya menyadari bahwa Allah Yang Maha Menciptakan semua itu. Perlahan-lahan orangtua Iqbal merangsang anak-anaknya untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya.
75
Selanjutnya, usaha nyata orangtua Iqbal untuk lebih menanamkan dan meneguhkan anak-anaknya dengan pencipta-Nya ialah dengan menyibukkannya membaca al-Qur’an, menunaikan shalat, puasa, senantiasa menjaga wudhunya, dan aktivitas ibadah lainnya. Dengan harapan agar anak terbiasa melakukannya. Karena pada masa ini menurut Jalaluddin sifat agama pada anak ialah imitasi (meniru). Dengan pembiasaan yang intensif dari orangtua Iqbal, orangtua Iqbal memiliki harapan lebih supaya anak-anaknya tidak meninggalkan shalat dan mencintai al-Qur’an serta dapat mengamalkannya. Usaha nyata yang dilakukan oleh orangtua Iqbal telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Ibnu an-Najjar dari Ali karramallahu wajhahu bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Ajarkanlah kepada anak-anak kalian tiga perkara: cinta kepada Nabi kalian, cinta kepada keluarga beliau, dan membaca al-Qur‟an. Sebab, sesungguhnya para pembaca al-Qur‟an berada di bawah naungan „Arsy Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya, bersama para Nabi dan orang-orang pilihan-Nya”. Kemudian, cara orangtua Iqbal dalam menanamkan kecintaan anak terhadap ajaran al-Qur’an, sesuatu yang dicontohkan Nabi yakni dengan memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk menjaga waktu shalat. Dengan ini, orangtua Iqbal senantiasa bertanya kepada anak-anaknya ketika sudah masuk waktu adzan tiba. Sehingga hati anak benar-benar terpaut dengan ibadah shalat. Bahkan dengan cara ini orangtua Iqbal membiasakan kepada anaknya bahwa menyegerakan sesuatu itu adalah baik. Selain itu, orangtua Iqbal berusaha menanamkan amanah
76
dengan cara memberikan kepercayaan kepada anak untuk mengantarkan sejumlah uang dan makanan kepada orang yang berhak untuk mendapatkannya. Namun usaha orangtua Iqbal dalam membentuk aktivitas ibadah untuk anak-anaknya
tidak
hanya
sebatas
praktiknya
saja,
akan
tetapi dengan
memberikan penjelasan terhadap anak-anak sesuai dengan nalar anaknya. Dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa orangtua Iqbal dalam memberikan penjelasan terhadap anaknya sesuai dengan nalar anaknya, dan di waktu yang tepat untuk memengaruhi anak. Tidak terkesan mempersulit, bahkan dengan
sesuatu
yang
sifatnya
menyenangkan
dan
menyegarkan,
sehingga
membuat anak semakin menarik untuk melaksanakannya. Dalam aktivitas lain pun orangtua Iqbal melakukan hal yang sama. Memberitahukan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan mempunyai dampak positif dan negatif. Semua hal di atas yang orangtua Iqbal lakukan terhadap anaknya, peneliti melihat dan merasakan adanya keterhubungan antara orangtua Iqbal dengan Tuhan-Nya yang tercermin dari sikap dan perilakunya. Suatu keharusan yang menjadi dasar bagi orangtua dalam mengasuh buah hatinya, sehingga yang pertama kali ditanamkan adalah keyakinan adanya Tuhan yang selalu menemani, mengawasi, dan selalu disisinya. Sehingga seiring perkembangan anak, nilai-nilai moral akan tumbuh dalam diri anak. Setelah hal pertama mengajarkan adanya Allah SWT., maka selanjutnya ialah keyakinan bahwa semua benda dan makhluk hidup di dunia ini dalam sebuah rangkaian yang saling berhubungan dan bertujuan. Keterhubungan ini mendasari adanya keyakinan bahwa segalanya sudah diatur dengan sempurna.
77
Tujuan kehidupan ini juga merupakan sebuah keyakinan akan adanya makna lain dari apa yang dilihat. Bagi orangtua Iqbal hal ini mengajarkan keyakinan bahwa apa yang kita lakukan pasti ada manfaat/hikmahnya. Pemahaman sebab-akibat menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami oleh anak dengan harapan dapat mengamalkannya. Beberapa hal yang dilakukan di antaranya, menjaga lingkungan agar tetap asri, membersihkan rumah, dan menjaga silaturahim. Dari kutipan hasil wawancara, dapat dilihat bahwa sesuatu yang dilakukan oleh orangtua Iqbal yakni berupaya untuk memberikan pemahaman kepada anaknya bahwa keberadaan semua kehidupan ada alasannya, dan orangtua Iqbal menanamkan keyakinan itu kepada anaknya. Orangtua Iqbal membantu anakanaknya
untuk
melihat hubungan antara mereka sendiri,
orang lain dan
lingkungan sekitar sebagai hal yang penting bagi kehidupan mereka sendiri. Dengan ini, ketika anak-anak percaya bahwa semua kehidupan berhubungan dan bertujuan, maka mereka akan menghormati dan menghargai diri mereka sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Kebaikan, empati, kasih sayang, dan cinta tumbuh dari penghargaan dan rasa hormat, serta pada gilirannya semakin menguatkan penghargaan dan rasa hormat tersebut. Sebagaimana hal yang telah diuraikan di atas, selanjutnya, dalam melakukan pengasuhan terhadap anaknya orangtua Iqbal berusaha untuk mendidik anakanaknya dengan menggunakan kata-kata yang baik. Bahkan keluar kalimatkalimat spiritual yang menyejukkan hati.
78
Menurut Mimi D. & Marsha Walch bahasa merupakan salah satu aspek luar biasa dari manusia, dan penting anak-anak atau orangtua menggunakan sarana ini dengan hati-hati. Karena kata-kata dapat membantu dan menjadi penghalang, dapat
digunakan
untuk
menyampaikan
pikiran-pikiran,
dan
juga
dapat
mengguncangkan keseimbangan manusia. Anak-anak menjadi lebih bijaksana berkomunikasi jika mereka ditunjukkan bagaimana mengatakan maksud mereka, dan bertanggung jawab atas kata-kata mereka. Dari hasil observasi dan wawancara selama penelitian berlangsung, ada beberapa hal yang peneliti catat, seperti: a) Orangtua Iqbal menunjukkan kepada anaknya dalam hal berkomunikasi dengan orang lain harus disesuaikan dengan usianya. Seperti memanggil teteh atau kakak pada yang lebih tua dari usianya. Jika hal ini sudah tertanam dalam diri anak dan tercermin dalam ucapannya, apabila anak menemukan sesuatu yang diluar pemahamannya maka ia akan protes terhadap sesuatu yang menurutnya tidak sesuai. Hal inilah yang terjadi pada Iqbal. b) Beberapa kalimat-kalimat spiritual yang terlontar dari mulut orangtua Iqbal.
Seperti
Alhamdulillah,
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
dan
Subhannallah. Kata-kata yang sangat ringan untuk diucapkan namun luar biasa maknanya. Bahkan disaat anaknya melakukan kesalahan pun bukan hujatan yang terlontar dari mulut orangtua Iqbal, tapi kalimat yang luar biasa indah didengar yakni “Subhannallah”.
79
Dari hasil penelitian, antara teori dan temuan sangatlah sejalan. Peneliti baru menyadari terkadang kita keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak dalam bentuk ucapan. Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan. Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat jalaliyyahNya, sementara sifat jamaliyyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui kecuali namanya saja. Anak-anak sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat “keliru” asma Allah terdengar keras di telinga mereka oleh teriakan kita, “De, tidak boleh! Dosa! Allah tidak suka sama orangorang yang berbuat dosa”. Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal, kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk kepada anak, dengan cara “mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari”. Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Ucapan santun yang senantiasa orangtua Iqbal lontarkan, bahkan dalam hal aktivitas biasa pun setiap mengawali pekerjaan meskipun anak-anaknya sudah beranjak remaja, orangtua Iqbal selalu mengucapkannya dengan nada suara yang cukup
keras
untuk
bisa
diikuti
olah
anak-anaknya
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Maka dari itu, salah satu alasan manusia dikarunia kata-kata yakni untuk mengkomunikasikan
perasaan
kepada
mereka
yang
dicintai.
Jika manusia
80
menganggap
kata-kata
sebagai karunia,
maka akan lebih hati-hati untuk
mengucapkannya. Selanjutnya, untuk memengaruhi akal anak orangtua Iqbal melakukannya dengan cara membacakan kisah atau dongeng. Kisah atau dongeng menjadi penghubung antara pengalaman mereka dengan pengalaman orang lain, serta memperkenalkan dunia baru kepada anak, baik dunia nyata maupun khayal. Dongeng dapat membuat anak tertawa, merasa sedih atau takut, kemudian tertarik dan terheran-heran, sehingga mendorong anak untuk berfikir. Dari hasil wawancara, ada beberapa kisah yang orangtua Iqbal bacakan untuk anaknya. Di antaranya sebagai berikut: a) Ceritanya Nenek miskin yang ingin memperingati Maulid Nabi. Kisah ini mempunyai makna besar akan kecintaan sang nenek terhadap Rasulullah SAW. Melalui cerita ini orangtua Iqbal ingin menumbuhkan rasa cinta anaknya terhadap Rasulullah yang dicintai oleh semua umat-Nya. b) Ceritanya
si Harimau
dan si Kancil.
Cerita ini menggambarkan
kesombongan sang Kancil yang bangga dengan tanduknya yang indah. Namun dibalik itu semua sang Kancil masih merasa kekurangan. Melalui cerita ini orangtua Iqbal ingin menepis kesombongan yang hadir dalam diri anaknya, dan selalu bersyukur atas apa yang telah dimiliki. c) Ceritanya Nabi Ibrahim ketika Allah perintahkan untuk menyembelih Nabi Ismail. Melalui cerita ini orangtua Iqbal ingin menanamkan kepada mereka bahwa keimanan dan ketaqwaan kepada Allah itu sangatlah utama, serta bijak dalam mengambil keputusan.
81
Selain memengaruhi akal anak, orangtua Iqbal juga memengaruhi perasaan anak dengan caranya sendiri. Dari hasil observasi dan wawancara ada beberapa hal yang peneliti catat, di antaranya sebagai berikut: a) Orangtua Iqbal berusaha memengaruhi perasaan anak dengan cara memenuhi keinginan
anak.
Meskipun
tidak
serta
merta
langsung
mengabulkannya. Dalam hal ini orangtua Iqbal melihat kebutuhan dari anak. Jika keinginannya itu benar-benar dibutuhkan dengan segera, maka orangtua Iqbal langsung mengabulkannya. Tapi jika keinginannya tidak terlalu
dibutuhkan
dalam jangka
waktu
terdekat,
orangtua
Iqbal
memberikan beberapa syarat kepada anak-anaknya untuk dilakukan, dan jika syaratnya sudah dilakukan maka orangtua Iqbal akan memberikan hadiah kepada anaknya sesuai dengan keinginan anak. Hal ini dilakukan untuk menjauhkan anak dari rasa manja. Karena dengan memanjakan dapat menjadikan anak tumbuh sebagai sosok yang berjiwa rapuh (melankoli). Tidak akan sanggup memikul beban hidup dengan dengan sungguh-sungguh karena tidak mengenal kata kerja keras dan perjuangan dalam hidup. b) Memberikan pujian atau sanjungan kepada anak. Dalam memberikan pujian
kepada
anak,
orangtua
Iqbal melakukannya
ketika
anak
mengerjakan sesuatu yang baik, baik dalam hal sekolahnya ataupun ibadahnya.
Hal ini dilakukan
dengan
tujuan
supaya
anak
lebih
termotivasi lagi dalam mengerjakan sesuatu yang baik. Orangtua Iqbal memahami betul bahwa pujian dapat menggerakkan perasaan anak.
82
Hatinya akan merasa senang dan akan terus melakukan perbuatan yang terpuji. Namun, orangtua Iqbal tetap mengingatkan kepada anaknya bahwa Allah sangat menyukai umat-Nya yang senantiasa rendah hati apapun yang dimiliki atau kebaikan yang telah dilakukannya. c) Orangtua Iqbal selalu mencium kening anaknya. Ciuman yang dilakukan oleh orangtua Iqbal memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menggerakkan perasaan dan emosi anak, selain juga berdampak dalam meredakan kemarahan dan kemurkaannya. Selain itu, juga menimbulkan perasaan ikatan yang kuat dalam hubungan cinta antara orangtua dan anak. Ciuman merupakan bukti kasih sayang dan kerendahan hati orangtua
terhadap
anaknya.
Bahkan
hal
ini
telah
dicontohkan
sebagaimana dituturkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Rasulullah SAW pernah mencium cucunya, Hasan ibn Ali”. d) Orangtua Iqbal mengusap kepala anaknya. Dengan ini, anak akan merasakan kasih sayang, kerinduan, harga diri, dan cinta dari orangtua. Sesuatu yang dengannya anak merasakan bahwa kehadirannya dihargai. Anak
akan
merasakan
cinta
dan
perhatian
orang-orang
dewasa
kepadanya. Dalam Zawa’id Ibnu Hibban dari Anas r.a bahwa “Rasulullah SAW ketika mengunjungi kaum Anshar, Beliau mengucapkan salam kepada anak-anak dan mengusap kepalanya”. Telah diketahui bahwa hal di atas sebelumnya sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. e) Orangtua Iqbal selalu bercanda dengan anak-anaknya. Bercanda dengan anak, selain kedekatan antara anak dan orangtua lebih terjalin, candaan
83
akan menghadirkan kegembiraan, jauh dari kekerasan hati dan sifat kejam. Sehingga akan tumbuh hubungan yang hangat antara orangtua dan anak. f) Orangtua Iqbal mempersilakan anaknya untuk memimpin do’a. hal ini dilakukan selain untuk melatih anak supaya mempunyai keberanian untuk tampil di depan orang lain, juga mengakui keberadaan anaknya dengan berusaha menempatkan anak dalam posisi yang penting di dalam rumah. Sehingga anak merasa dihargai keberadaannya. g) Orangtua Iqbal selalu berusaha untuk adil terhadap anak-anaknya. Adil dengan
memberikan sesuatu kepada anaknya sesuai kebutuhannya
masing-masing. anaknya.
Kemudian adil dengan tidak membandingkan anak-
Dengan
berusaha
adil,
orangtua
Iqbal berusaha
untuk
menghindarkan anaknya dari perasaan iri hati/dengki. Karena hal inilah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah untuk umat-Nya supaya berusaha berlaku adil terhadap anak-anak. Kemudian untuk menjaga kesehatan anak, orangtua I menjaga pola makannya dan mengajaknya untuk berolahraga ke alam. Setiap manusia tidak pernah luput dari kesalahan, begitupun dengan anak dari orangtua Iqbal. Maka sebagai konsekuensi dari perbuatannya, orangtua Iqbal memberikan hukuman terhadap anak-anaknya. Dari hasil observasi dan wawancara selama penelitian berlangsung, peneliti melihat ketika anak melakukan kesalahan, orangtua Iqbal terlihat tenang tidak memasang muka yang menyeramkan, dan tidak memaki atau memarahi anak di
84
depan orang lain. Karena apabila hal itu dilakukan, maka anak akan merasa semakin tersudut. Tetapi yang orangtua Iqbal lakukan itu ialah dengan memeluk sang anak menyentuh perasaannya yang paling dalam. Bahkan pada saat seperti itu orangtua Iqbal bersedia mendengarkan penjelasan anak dengan penuh perhatian. Sehingga anak merasa terbuka untuk mengungkapkan sesuatu terhadap orangtuanya. Bentuk hukuman yang orangtua Iqbal berikan lebih kepada aktivitas ibadah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menanamkan rasa malu anak terhadap Allah. Dari pengasuhan yang orangtua Iqbal lakukan tidak hanya kemudahan yang didapatkan, tapi kesulitan sebagai orangtua dalam mendidik anak pun tidak lepas dari kehidupannya. Namun orangtua Iqbal selalu berusaha untuk tenang, sabar, dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Berbagai hal yang orangtua Iqbal lakukan terhadap anak ialah hanya untuk sebatas
mensyukuri karunia
yang
Allah
berikan.
Karena
orangtua
Iqbal
memahami betul bahwa anak adalah titipan dari Allah SWT yang senantiasa harus dipelihara kefitrahannya. Anaknya yang akan menjadi penerus keluarganya, menjaga nama baik dirinya dan keluarga dihadapan Allah SWT.
C.
Deskripsi Perilaku Iqbal Menurut Kholberg (1995) ketika dilahirkan, anak belum bisa membedakan
antara yang benar dan salah. Kohlberg juga berpendapat, bahwa kemampuan tersebut merupakan sesuatu yang berkembang dan dikembangkan. Perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari interaksi komponen moral.
85
Dalam wacana keagamaan (Islam), suatu perbuatan dianggap bermoral atau memiliki makna ketika ia dilakukan dengan kesadaran/akal sehat. Al-Ghazali menyatakan bahwa suatu tindakan pertama-tama akan dilihat dari ada atau tidak adanya pengetahuan terhadap tindakan yang harus dijalani atau bahkan larangan yang harus dijauhi, sebelum diputuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Dari sini, maka penalaran (rasio/akal) dan hati nurani (qalb) menjadi aspek penting untuk menilai apakah keputusan moral atas suatu perbuatan ('amal) itu bermakna (ibadah) ataukah tidak. Orang yang tidak memiliki penalaran sehat akan tidak dikenai sanksi ketika tidak melakukan kebajikan (tuntutan moral/kewajiban agama). Melalui pengukuran tingkat moral anak yang melibatkan adanya interaksi komponen-komponen
moral,
akan dapat diketahui tinggi rendahnya moral
tersebut. Hal inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa moral Iqbal yang peneliti tangkap, di antaranya sebagai berikut: Pertama, orangtua Iqbal meminta tolong kepada Iqbal untuk memberikan sejumlah uang dan makanan kepada fakir miskin. Sebagai anak-anak bisa saja Iqbal memberikan sejumlah alasan untuk menolak perintah orangtua atau sedikit menyimpang ketika diperjalanan. Namun, menurut Iqbal hal itu merupakan sesuatu yang salah dan tidak sepatutnya untuk dilakukan. Dari hasil wawancara dengan Iqbal, Iqbal memahami betul bahwa sebagai seorang anak harus mentaati perintah orangtua selama itu baik untuk dilakukan.
86
Apalagi kalau perintah tersebut ditujukan kepada pribadinya, maka sebagai seorang yang diberi amanah, orang tersebut harus bertanggung jawab atas amanah yang tengah di emban. Menurut Iqbal, amanah yang diembannya harus segera ditunaikan, karena apabila mengabaikannya, orang yang memberi amanah tidak akan
menaruh
kepercayaannya
lagi
terhadapnya.
Bahkan
perilaku
yang
dilakukannya bukan karena menginginkan sesuatu imbalan dari orangtuanya, tapi hanya untuk sekedar menunaikan ketaatannya terhadap orangtua. Kedua, Iqbal menegur saudara perempuannya yang tidak menghabiskan makanannya ketika berbuka puasa. Dari hasil wawancara dengan Iqbal, Iqbal menuturkan bahwa di dalam menyampaikan suatu kebenaran tidak melihat usia apakah dia anak kecil atau bahkan sudah dewasa, namun tetap harus dengan cara yang baik. Menurut Iqbal, menghabiskan makanan dan tidak menyia-nyiakannya merupakan bentuk syukur kita terhadap sesuatu yang telah dimiliki, karena masih banyak yang kurang beruntung darinya. Iqbal meyakini bahwa rezeki datangnya dari Allah, dan apabila kita dapat menjaga serta memelihara nikmat yang telah dimiliki, maka Allah akan menambahkan nikmat-nikmat yang lainnya. Berdasarkan jawaban tersebut, terlihat jelas bahwa moral pada anak bukanlah hasil turunan, akan tetapi hasil dari hubungan anak dengan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan antara Iqbal dengan Kakaknya. Namun, jawaban Iqbal diwarnai oleh pengasuhan orangtuanya yang senantiasa memberikan contoh kepada anaknya untuk mensyukuri nikmat Allah. Seperti hal di atas, orangtua Iqbal senantiasa
87
menyisihkan sebagian rizkinya untuk fakir miskin yang diberikannya melalui Iqbal. Ada peniruan (imitasi) yang Iqbal lakukan terhadap orangtuanya. Ketiga, Iqbal memberikan pensilnya kepada teman sebelahnya. Padahal ketika itu, guru Iqbal menyarankan semua muridnya untuk menulis dengan menggunakan pensil supaya tidak terlalu banyak kesalahan dalam menulis. Namun Iqbal tetap memberikan pensilnya, dan Iqbal menulis menggunakan pulpen. Dari hasil wawancara dengan Iqbal, dalam hal tolong menolong tidak mesti menunggu bola tapi harus menjemputnya. Dengan arti lain, baru akan menolong apabila
ada
yang
meminta
pertolongan.
Bahkan Iqbal menuturkan kalau
mempunyai rezeki harus dibagi kepada orang lain. Sesuatu yang biasa mungkin juga dilakukan oleh anak-anak lain. Namun yang luar biasanya, Iqbal menolong orang lain ketika Iqbal pun dalam keadaan sempit. Pertolongan terhadap temannya dilatarbelakangi karena rasa kasihan melihat teman di sampingnya tidak memiliki peralatan untuk menulis. Pengasuhan orangtua Iqbal yang lebih condong kepada aspek afektif berimplikasi kepada berkembangnya perasaan moral Iqbal yang akhirnya perasaan moral itu mendorong Iqbal untuk melakukan kewajibannya. Keempat,
Iqbal
terlihat
hanya
tersenyum-senyum
bersama
teman
sebangkunya dan tenang ketika anak-anak yang lain saling berteriak untuk mendapatkan kesempatan menjawab pertanyaan dari gurunya. Kelas semakin gaduh dan guru pun terlihat bingung, sehingga murid yang tunjuk tangan terlebih dahulu tidak mendapat kesempatan menjawab pertanyaan, termasuk Iqbal.
88
Dari hasil wawancara dengan Iqbal, Iqbal berusaha tenang karena tidak mau menambah
suasana
kelas
semakin
gaduh
dan
membuat
guru
semakin
kebingungan. Karena, aturan awal dari gurunya ialah tunjuk tangan terlebih dahulu,
tidak
bersuara,
baru
setelah
guru
mempersilakan,
murid
dapat
memberikan jawabannya. Terlihat jelas dari jawaban-jawabannya Iqbal berusaha untuk memelihara ketertiban sosial dan menghormati otoritas lingkungannya. Kelima, Iqbal terlihat ketakutan sambil menundukkan kepalanya, bahkan sampai menangis. Ternyata Iqbal pergi main bersama temannya sampai-sampai lupa waktu, akibatnya Iqbal lupa menunaikan shalat Ashar. Dari hasil wawancara dengan Iqbal, Iqbal merasa malu kepada orangtuanya terhadap sesuatu yang telah diperbuatnya, karena tidak biasanya seperti ini. Padahal bisa saja Iqbal berkata bohong kepada orangtuanya, namun Iqbal meyakini betul bahwa Allah melihatnya. Karena itu, Iqbal merasa sangat menyesali perbuatannya. Dari jawaban Iqbal, terlihat jelas kepatuhan Iqbal terhadap orangtuanya. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui ada beberapa moral dasar yang tertanam dalam diri Iqbal, di antaranya: amanah, syukur, tolong menolong, sabar, dan jujur. Kemudian, berdasarkan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang peneliti lontarkan mengenai perilakunya, perkembangan moral Iqbal terjadi bukan karena unsur genetik dari orangtuanya. Karena hal yang membedakan terlihat jelas antara Kakaknya
dengan
dirinya.
Selanjutnya,
melalui
pengukuran
tingkat
perkembangan moral anak yang melibatkan penalaran moralnya, dapat diketahui
89
tingkat perkembangan moral Iqbal berada pada tahap empat, yaitu orientasi hukum dan ketertiban. Dimana hidup dipahami sebagai sesuatu yang suci, dengan melaksanakan atau menunaikan tugas/kewajiban sendiri, menghormati otoritas, dan memelihara ketertiban sosial.
D.
Analisis Hasil Penelitian Menurut Kohlberg, proses perkembangan perilaku moral tidak diturunkan
secara genetik dari orangtua terhadap anaknya, melainkan terjadi dalam dan melalui interaksi anak
tersebut dengan lingkungannya. Ini artinya keluarga
mempunyai peran vital dalam proses perkembangan perilaku moral anak. Keluarga menurut Daradjat merupakan lingkungan sosial pertama, tempat berinteraksi anak dengan anggota keluarga yang lain. Pengaruh keluarga terhadap pembentukan kepribadian sangat besar artinya. Orangtua sebagai pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orangtua, sikap dan cara hidupnya merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan mempengaruhi pertumbuhan anak. Ada beberapa hal yang peneliti analisis dari moral Iqbal dengan penerapan pola asuh Islami yang dilakukan oleh orangtuanya. Pertama, ketaqwaan orangtua Iqbal kepada Allah SWT tercermin dari aktivitas
keagamaan yang senantiasa dijalankan oleh orangtua Iqbal juga
dibiasakan kepada anak-anaknya, baik secara vertikal (shalat, puasa, membaca alQur’an, dan sebagainya) maupun horizontal (silaturahim, menolong orang lain, menjaga lingkungan, dan sebagainya). Menurut M. Nur Abdul Hafizh Suwaid, kesalehan orangtua kepada Allah SWT merupakan teladan baik bagi anak yang
90
mampu mendorong anak menjadi insan yang taat dan tunduk kepada Allah. Didukung oleh Syamsu Yusuf bahwa penghayatan dan pengamalan agama yang di anut orangtua dapat menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang keyakinan dan penghayatannya kepada Allah SWT, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik. Dengan demikian, antara teori dan temuan di lapangan sejalan, terlihat dari kepatuhan atau ketaatan Iqbal terhadap orangtuanya yang berusaha menunaikan kewajiban-kewajibannya. Kemudian, dapat kita lihat pula bahwa perkembangan moral pada anak itu melalui proses yang berkelangsungan. Kedua, orangtua Iqbal senantiasa konsisten dalam menerapkan norma. seperti dalam hal ketika anak menginginkan sesuatu, namun tidak segera dikabulkan, orangtua Iqbal tidak membuat alasan dengan mengungkapkan bahwa ia tidak mempunyai uang, karena anak-anaknya pun tahu profesi Ayahnya sebagai Pelayar ke berbagai Negara bukan hanya profesi yang biasa saja. Menurut M. Nur Abdul Hafizh Suwaid kemampuan seorang anak untuk mengingat dan mengerti akan segala hal sangat besar sekali. Sehingga memungkinkan mereka selalu memerhatikan gerak-gerik orangtuanya. Terlihat kekonsistenan orangtua dalam mendidik tercermin dalam perilaku moral Iqbal yang menghormati otoritasnya. Ketiga, cara orangtua Iqbal memberikan perhatian dan kasih sayang yaitu dengan cara memperhatikan keinginan anak, memberikannya sanjungan atau pujian ketika anaknya melakukan suatu kebaikan, mencium keningnya dan mengusap kepalanya. Kemudian, cara orangtua Iqbal menempatkan anaknya dalam posisi yang penting di dalam keluarga ialah dengan mempersilakannya
91
memimpin do’a baik
itu ketika makan dan sebagainya. Mengembangkan
hubungan yang hangat dengan anaknya orangtua Iqbal lakukan dengan candaan. Mengembangkan komunikasi dengan anaknya orangtua Iqbal lakukan ketika di sela-sela Iqbal mengerjakan tugas sekolahnya. Menurut Hurlock, bahwa bentuk penerimaan seperti ini, menjadikan anak merasa diakui keberadaannya. Sehingga akan tumbuh kepercayaan dan keterbukaan anak kepada orangtuanya. Keempat,
orangtua
Iqbal
selalu
bermusyawarah
dalam memberikan
pengasuhan kepada anak-anaknya. Contohnya dalam hal pendidikan ibu dari Iqbal menginginkan
anaknya
untuk
mengeyam pendidikan di pondok
pesantren.
Namun, hal itu tidak serta merta langsung dilakukan. Karena, orangtua Iqbal mendiskusikan kembali hal ini dengan ayahnya dan anak-anaknya, yang akhirnya anak dari orangtua Iqbal lebih memilih di sekolah formal dinilai karena lebih dekat dari rumah. Menurut Kohlberg, dalam membantu proses perkembangan moral
anak
salah
(bermusyawarah),
satunya
menyajikan
dengan
selalu
alternatif-alternatif,
mengajak dan
anak
berdiskusi
meminta
pendapat-
pendapatnya mengenai hal yang tengah diperbincangkan. Dengan ini, akan melatih keterampilan anak di dalam mengambil suatu keputusan. Bahkan hal ini dapat membantu anak dalam hal penalaran moralnya. Kelima, orangtua Iqbal selalu berusaha untuk adil terhadap anak-anaknya. Namun bukan berarti menyamaratakan kebutuhan anak. Adil dalam hal ini, orangtua Iqbal menyesuaikannya dengan kebutuhan anak-anaknya. Namun, terkait hal ini untuk menghindari kecemburuan sosial anak-anaknya, orangtua Iqbal selalu menjelaskannya kepada anak-anaknya. Menurut M. Nur Abdul Hafizh
92
Suwaid, orangtua dituntut untuk selalu konsisten dalam melaksanakannya agar mereka dapat merealisasikannya apa yang mereka inginkan, yaitu bersikap adil terhadap anak-anaknya. Baik secara material maupun spiritual. Mereka juga tidak diperkenankan untuk menampakkan kecintaan yang berlebihan kepada salah satu anak dihadapan anak yang lain. Dalam perekmbangan moral anak, hal ini sangat berpengaruh besar terhadap sikap berbakti dan ketaatan anak. Berdasarkan temuan dan teori, hal di atas dilakukan untuk menghindarkan anak dari sifat dengki.