BAB III SOLUSI BISNIS
3.1
Alternatif Solusi Bisnis
Untuk memecahkan rumusan tantangan bisnis yang dihadapi Trijaya Transport dalam implementasi sistem hybrid, terdapat beberapa alternatif solusi yang dapat ditempuh, dengan syarat desain rumusan yang akan disajikan sebagai solusi tersebut harus pula mempertimbangkan kondisi dan batasan-batasan yang telah terdefinisikan dalam analisis five forces dan TOWS pada bab sebelumnya. Dengan menggunakan kerangka proses pengembangan produk baru yang terdapat pada buku Peter & Donnelly, akan didapat kerangka analisis untuk menelaah pros & cons beberapa alternatif solusi secara sistematis dengan tujuan akhir untuk memberikan alternatif terbaik beserta rencana implementasinya berdasarkan karakteristik perusahaan Trijaya Transport.
Gambar 3.1 New Product Development Process (Peter&Donnelly, 2004:103)
Sesuai dengan diagram proses diatas, system hybrid Trijaya Transport akan dianalisis melalui tahapan idea generation, idea screening dan project planning untuk mengkaji berbagai alternatif yang ada dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang akan mempengaruhinya beserta kondisi internal Trijaya Transport sendiri. Tahap product development dan test marketing adalah pengkajian analisis solusi bisnis dimana alternatif implementasi terbaik telah dipilih dan ditelaah lebih dalam dengan memanfaatkan masukan dari pengguna. Tahap terakhir, commercialization adalah rencana implementasi yang akan dibahas dalam bab terakhir penelitian ini.
30
3.1.1
Proses Idea Generation Sistem Hybrid
Sistem hybrid dalam Trijaya Transport muncul sebagai ide pertama kali sebagai reaksi atas dua hal berikut: •
Mulai beroperasinya PO Primajasa sebagai penyelenggara travel rute Bandung-Bandara Soekarno Hatta dengan harga murah pada Oktober 2006. Munculnya PO Primajasa ini telah mengakibatkan menurunnya pendapatan karena para pelanggan Trijaya lebih memilih untuk menggunakan PO Primajasa yang adalah penyelenggara sistem Point-toPoint.
•
Terdapat indikasi bahwa sistem Door-to-Point yang dianut Trijaya Transport memiliki banyak kelemahan dari segi biaya operasional yang harus dikeluarkan, juga ketidakteraturan waktu perjalanan karena beragamnya alamat yang harus dijemput. Keberagaman ini selain karena Trijaya Transport harus menjemput pelanggan di alamat yang telah ditentukan oleh pelanggan, juga karena dalam industri travel dikenal adanya high season yaitu momen-momen seperti liburan panjang dan hari besar seperti Idul Fitri dan Tahun Baru dimana arus penumpang yang melaksanakan mudik atau pulang kampung sangat tinggi, namun terdapat pula low season yang ditandai oleh menurunnya arus penumpang yang biasa terjadi di bulan-bulan diantara dua libur panjang. Pada saat high season, tidak jarang seorang penumpang harus ikut berputar-putar selama hampir dua jam menjemput penumpang lain. Disaat lain, tidak jarang pula Trijaya harus melakukan penjemputan yang sangat jauh walaupun jumlah penumpang yang harus dijemput tidak banyak. Tidak efektifnya sistem Door-to-Point Trijaya dijelaskan dalam lembar lampiran, yang dianalisis dari manifest penumpang bulan Agustus sampai November 2006.
Untuk mengantisipasi kelemahan tersebut, maka Trijaya Transport memiliki keinginan untuk menyediakan layanan lebih baik pada pelanggannya dan disaat yang sama mengurangi beban operasinya. Keinginan ini dimanifestasikan dalam upaya untuk mengambil keunggulan sistem Door-to-Point yang biasa dianggap mementingkan kenyamanan dan Point-to-Point yang dianggap sebagai cara murah dan tepat waktu untuk melakukan perjalanan. Dengan pertimbangan hasil survey
31
yang mengungkapkan adanya unfulfilled needs dari konsumen terhadap sistem yang ada saat ini maka rumusan sistem hybrid tersebut adalah sebagai berikut: •
Membuka tidak hanya satu, tapi beberapa titik penjemputan di daerah Bandung yang digunakan sebagai rally point (tempat berkumpul) para pengguna jasa di jam-jam tertentu sesuai jadwal yang ditentukan Trijaya.
•
Beberapa titik ini akan dilayani oleh satu kendaraan yang akan menjemput pengguna di satu-persatu titik keberangkatan pada jam-jam tertentu sebelum akhirnya berangkat ke Bandara Soekarno Hatta.
•
Pengguna dapat memesan tempat dan menunggu di titik penjemputan terdekat dengan domisilinya, agar memudahkan mobilitas dan mengurangi hassle (kerepotan) dalam bepergian.
•
Harga yang ditawarkan oleh Trijaya untuk sistem ini lebih murah daripada harga rata-rata sistem Point-to-Point Rp 100,000.- rupiah.
Dalam merumuskan perpaduan sistem ini, Trijaya Transport mengaplikasikan salah satu langkah yang disebut oleh Kim & Mauborgne dalam ‘Blue Ocean Strategy’ yaitu konsep looking across alternative industries as a path towards a blue ocean strategy, dimana sistem hybrid meminjam modus operasi industri kereta api/subway yang memiliki banyak pemberhentian dalam satu daerah dan akan menjemput pengguna jasa di titik tersebut pada waktu-waktu yang tetap. Rumusan sistem hybrid ini apabila dikaji dalam kerangka analytical tool ‘Eliminate-Reduce-Raise-Create Grid’ dari Kim & Mauborgne maka akan didapat paparan sebagai berikut:
Gambar 3.2 Analisa Grid Sistem Hybrid Trijaya Transport
32
Setelah tahap perumusan idea tentang sistem hybrid, maka tahap selanjutnya adalah pengkajian kecocokan rumusan ini dengan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi bisnis Trijaya Transport.
3.1.2
Proses Idea Screening Sistem Hybrid
Proses idea screening adalah pengkajian atas ide yang telah dirumuskan sebelumnya untuk meminimalisasi resiko-resiko yang akan dihadapi apabila ide tersebut diimplementasikan. Secara lebih rinci, proses idea screening menilik sistem hybrid Trijaya dari tiga jenis resiko yaitu: •
Market Risk, yang merupakan analisa apakah sistem hybrid akan dapat memenuhi kebutuhan pasar dan memberikan added-value yang cukup signifikan untuk menjadi terdiferensiasi daripada value offering yang sudah ada di pasar saat ini (Peter & Donnelly, 2004:104). Sesuai dengan analisa in-depth interview yang dilakukan terhadap para pengguna jasa travel pada bab 2.3, terdapat peluang untuk memenuhi unfulfilled needs dari konsumen yang saat ini menginginkan travel Bandung-Bandara yang murah, tepat waktu tetapi juga nyaman dalam arti tidak membutuhkan upaya ekstra untuk menggunakannya. Sistem Point-to-Point yang saat ini populer memiliki karakteristik murah dan tepat waktu namun terdapat anggapan
bahwa
terkadang
merepotkan
untuk
mencapai
tempat
penjemputan, terutama untuk para pengguna yang membawa banyak barang bawaan dan pengguna wanita yang melakukan perjalanan malam. Riset eksploratif lebih lanjut menemukan bahwa para pengguna jasa sering merasakan adanya faktor biaya tambahan berupa uang transport (kendaraan umum, taksi ataupun bensin kendaraan pribadi) yang harus dikeluarkan yang terkadang cukup banyak sehingga menyamai atau bahkan melebihi biaya yang harus dikeluarkan apabila memakai sistem Door-to-Point, tergantung dari jauh-dekatnya posisi pengguna terhadap titik penjemputan. Sistem Door-to-Point sendiri dipersepsikan sebagai merupakan sistem yang lebih mahal daripada Point-to-Point dengan ketepatan waktu yang tidak bisa diandalkan namun sering diasosiasikan
33
sebagai sistem yang nyaman karena pengguna tidak harus mengeluarkan upaya ekstra untuk menggunakan sistem ini. Berdasarkan kajian market risk ini maka sistem hybrid yang berupaya menyediakan layanan murah, tepat waktu dan dengan titik penjemputan sebisa mungkin mendekati lokasi pelanggan dapat dinilai sebagai sistem yang akan dapat memberikan added value yang cukup tinggi bagi pengguna jasa. •
Internal Risk adalah analisa tentang kemampuan perusahaan dalam menyelenggarakan ide yang dirumuskan. Sesuai dengan hasil analisa tentang strength & weakness yang saat ini dihadapi oleh perusahaan, didapati bahwa Trijaya saat ini memiliki armada yang berada dalam posisi under-utilized sehingga tidak harus mengorbankan operasi sehari-harinya maupun menambah armada baru untuk mengimplementasikan sistem hybrid. Namun, potensi hambatan internal datang dari cara operasi Trijaya yang masih mengandalkan manual order taking dan juga sistem filing & database yang masih mengandalkan tulisan tangan. Hal ini berpotensi membuat koordinasi antar-titik penjemputan akan menjadi sulit apabila Trijaya hendak mendelegasikan order taking di titik-titiknya. Alternatif pemecahan masalah ini adalah tetap mensentralkan order taking di kantor pusat Trijaya untuk kemudian kantor pusat mengkoordinasikan pada caretaker point-point penjemputannya. Selain masalah administrasi diatas, posisi Trijaya yang bukan merupakan perusahaan berkapasitas modal besar dapat membatasi kemampuan untuk membiayai investasi yang dibutuhkan untuk pembukaan titik-titik penjemputan dalam skala besar. Alternatif yang dapat dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan existing businesses dengan sistem bagi hasil atau sewa sebagian kecil ruang usahanya sebagai ruang tunggu dan keberangkatan Trijaya Transport. Hal ini dinilai feasible untuk dilakukan karena secara garis besar kebutuhan untuk sebuah titik penjemputan tidak banyak, hanya berupa sarana menunggu, counter administrasi dan akses parkir bagi kendaraan Trijaya.
•
Strategic Risk adalah pengkajian mengenai kecocokan ide yang dikembangkan dengan isu-isu strategis yang menjadi kebutuhan
34
perusahaan. Dalam hal ini terdapat dua strategic issue utama yang saling terkait yang menjadi perhatian yaitu profitability dari sistem hybrid dan juga reaksi agen terhadap diberlakukannya sistem ini. Dari sisi profitability, sistem hybrid hendak mengambil posisi penawaran harga yang lebih rendah dari harga rata-rata Point-to-Point Rp. 100,000 . Pada saat ini Trijaya Transport memiliki harga break even point sekitar Rp. 77,000 yang termasuk didalamnya komponen biaya operasional, biaya perawatan kendaraan, depresiasi kendaraan dan amortisasi asuransi (Sudana 2007:31). Hal ini memiliki implikasi bahwa penawaran harga Trijaya akan berada dalam kisaran Rp. 77,000 s/d Rp 100,000. Dilain pihak, dalam menjalankan bisnisnya, Trijaya saat ini dapat dikatakan bergantung pada para agen yang mendatangkan sekitar 65% dari total pesanan yang dilayani Trijaya. Dalam kerjasama ini, para agen mendapatkan 9% s/d 18%
dari harga tiket untuk tiap penumpang
tergantung pada frekuensi dan besar pesanan yang didatangkannya (Efendi 2007:4). Hal ini menimbulkan implikasi tersendiri dalam perhitungan profitabilitas karena dengan potongan 18% maka harga minimum yang dapat diterapkan oleh Trijaya adalah diatas Rp. 94,000 untuk masih tetap mendapatkan profit. Untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi maka Trijaya harus dapat mengurangi cost structure nya atau melakukan negosiasi ulang tarif komisi terhadap para agen. Dari analisis yang dilakukan terhadap tiga jenis resiko tersebut terungkap batasanbatasan yang harus dihadapi untuk dapat mengimplementasikan sistem hybrid yang memenuhi kebutuhan konsumen dan tetap menjaga profitabilitas perusahaan.
3.1.3
Project Planning Sistem Hybrid
Langkah Project Planning ini dilakukan dengan memfokuskan pada aspek marketing mix, dan tidak membahas aspek aspek internal seperti budgeting, scheduling dan lain-lain secara rinci, sesuai dengan tujuan awal yang disebutkan didalam pendahuluan penelitian ini.
35
3.1.3.1 Pemilihan Daerah Potensial Penjemputan Setelah menganalisis resiko yang mungkin dihadapi dalam menjalankan sistem hybrid, langkah selanjutnya adalah menentukan lokasi-lokasi yang paling potensial untuk pembukaan titik penjemputan di kota Bandung. Untuk keperluan itu, maka penelitian ini menganalisis passenger manifest Trijaya Transport selama bulan Agustus-Desember 2006 dan memetakan lokasi-lokasi pesanan yang dilayani Trijaya selama periode tersebut. Analisis ini mengungkapkan 1970 lokasi penjemputan yang didatangi oleh Trijaya Transport dari 1 Agustus s/d 31 Desember 2006, dengan rincian sebagai berikut:
Gambar 3.3 Pemetaan Lokasi Asal Pesanan Trijaya Transport Aug-Dec 2006
Dalam pemetaan diatas, digunakan ilustrasi warna untuk menjelaskan intensitas pesanan, dimana dalam suatu grid, tingginya pesanan berbanding lurus dengan terangnya warna yang digunakan. Khusus untuk daerah Jatinangor dan sekitarnya tidak termasuk didalam peta melainkan dikelompokkan dalam grid J9 untuk menjaga agar skala grid tidak terlalu kecil apabila daerah Sumedang juga disertakan dalam pemetaan tersebut. Sesuai dengan needs dari konsumen yang menginginkan lokasi penjemputan yang dekat agar tidak merepotkan dan mengeluarkan biaya banyak, maka lokasi titik penjemputan paling strategis adalah di daerah dengan intensitas pesanan yang paling tinggi. Dari pemetaan ini didapat
36
setidaknya tujuh daerah dengan intensitas pesanan lebih tinggi secara signifikan dari daerah-daerah lainnya yaitu: 1
Daerah Jl. Setiabudi, Geger Kalong dan Setrasari (grid B3, C4)
2
Daerah Dago/ Jl. Juanda, Jl. Dipati Ukur, ruas Surapati-Cicaheum, Pahlawan , Diponegoro dan sekitarnya (grid C5, C6, D5-D8, E6)
3
Daerah Kompleks Antapani, Kompleks Arcamanik (grid F8-F9)
4
Daerah Kopo, Terminal LeuwiPanjang (grid H4-H5)
5
Daerah Kompleks Margahayu Permai (grid H8)
6
Daerah Jatinangor, Jalan Sayang, sekitar Universitas Padjajaran/STPDN (grid J9)
Riset eksploratif terhadap daerah-daerah yang tertera diatas menunjukkan bahwa ada beberapa ciri demografis yang sama sehingga daerah-daerah diatas dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: •
Daerah Residensial. Daerah yang termasuk dalam daerah ini adalah area nomor (1), (3), (4), (5) dengan ciri-ciri sebagian besar daerah dalam masing-masing grid adalah kompleks perumahan. Riset eksploratif yang dilakukan bersamaan dengan in-depth interview menemukan bahwa pengguna jasa yang tinggal di daerah semacam ini biasanya adalah masyarakat Bandung yang hendak bepergian ataupun pesanan atas nama saudara yang bertandang dan akan pulang kembali ke daerah asalnya diluar Kota Bandung.
•
Daerah Komersial/Zona Pendidikan. Yang termasuk dalam daerah ini adalah area (2) dan (6) dengan ciri-ciri memiliki banyak lokasi perdagangan, perkantoran dan terutama tempat kost. Para pelanggan yang berasal dari daerah ini kebanyakan adalah pelajar/mahasiswa/pegawai yang bukan warga asli Bandung yang secara periodik pulang ke tempat asalnya menggunakan pesawat dari Bandara Soekarno Hatta, khususnya pada musim liburan/ hari besar agama seperti Idul Fitri yang menyebabkan mobilitas dan frekuensi penggunaan travel menjadi lebih tinggi dibandingkan penghuni daerah perumahan/residensial.
37
Berdasarkan data tersebut diatas maka didapati kesimpulan bahwa aplikasi sistem hybrid dapat mendatangkan kemungkinan sukses lebih besar apabila titik-titik penjemputan diletakkan pada daerah-daerah potensial yang tertera diatas, dengan zona pendidikan menjadi prioritas utama karena karakteristik penghuni yang berdomisili di zona tersebut.
3.1.3.2 Benchmark Terhadap Kompetitor Sejenis Sebelum merancang bauran pemasaran sistem hybrid, penelitian ini melakukan perbandingan/benchmark dengan sistem yang ada untuk menentukan parameterparameter yang menyusun batasan level pelayanan yang saat ini diterima oleh pelanggan. Untuk keperluan benchmark, penelitian ini memilih menganalisis sistem Cipaganti Travel. Hal ini dilakukan sebab Cipaganti Travel adalah salah satu leader dalam usaha travel Bandung-Bandara Soekarno Hatta dan juga menyelenggarakan kedua sistem yang ada, Point-to-Point dan Door-to-Point, untuk rute tersebut. Riset eksploratif yang dilakukan terhadap bauran pemasaran Cipaganti Travel mengungkapkan beberapa fakta dibawah ini terhadap rute Bandung-Bandara nya: •
Price: Cipaganti Travel memasang harga Rp. 115,000 untuk sistem Doorto-Point dan Rp. 100,000 untuk sistem Point-to-Point
•
Product: Untuk Door-to-Point, Cipaganti Travel akan menjemput pelanggan di alamat yang telah ditentukan oleh pelanggan. Reservasi dilakukan melalui Cipaganti Travel pusat (Jl. Gatot Subroto Bandung). Rata-rata lama perjalanan adalah empat jam, dengan kecenderungan untuk lebih tinggi tergantung pada jumlah pengguna yang harus dijemput. Untuk Point-to-Point, pelanggan dapat melakukan reservasi dan menunggu penjemputan dari tiga titik yaitu Factory Outlet ‘Paris van Java’ Jl. Cihampelas, Bandung Trade Center (BTC) Jl. Terusan Pasteur, dan Cipaganti Pusat Jl Gatot Subroto. Hal yang unik dalam operasi Cipaganti adalah sistem pooling yang dilakukan, dimana pelanggan yang menunggu di Jl Cihampelas dan BTC Pasteur akan diantar menuju ke Jl. Gatot Subroto untuk kemudian berpindah mobil sebelum akhirnya berangkat ke Bandara Soekarno Hatta. Rata-rata lama waktu perjalanan total adalah
38
empat jam dengan perincian satu jam untuk standby dan pooling, tiga jam waktu perjalanan ke tujuan. •
Place: Seperti yang disebutkan diatas, untuk sistem Point-to-Point Cipaganti menyediakan tiga tempat menunggu dengan sistem pooling. Sebagai ilustrasi, proses keberangkatan Cipaganti Travel tergambar dibawah ini:
Gambar 3. 4 Proses Penjemputan Point-to-Point Cipaganti Travel •
Promotion: Dalam berpromosi, Cipaganti sering memasang iklan di media cetak seperti Pikiran Rakyat dan Tribun Bandung. Selain metode promosi konvensional melalui iklan, Cipaganti juga melakukan kerjasama dengan beberapa bisnis, salah satunya adalah pemberian diskon untuk pembelian produk sepatu Edward Forrer tiap menggunakan Cipaganti Travel.
3.1.3.3 Disain Purwarupa Sistem Hybrid Dari bauran pemasaran Cipaganti Travel terutama strategi operasi Point-to-Point dengan sistem pooling, dapat ditarik beberapa parameter pelayanan, khususnya harga Rp 100,000.- dan waktu tempuh perjalanan selama empat jam. Apabila Trijaya hendak mengaplikasikan sistem hybrid, maka bentuk idealnya adalah yang memberikan harga lebih murah dengan waktu tempuh yang sama atau lebih
39
sedikit. Dalam analisa bab 3.1.3.1 didapati enam zona yang potensial untuk dijadikan titik penjemputan. Hal ini menjadi masalah karena jarak antar titik tersebut tidak saling berdekatan. Riset yang dilakukan menemukan bahwa untuk menempuh daerah-daerah tersebut dengan kendaran roda empat membutuhkan waktu sekitar 150 menit (2 ½ jam) dengan perincian sebagai berikut:
Gambar 3.5 Ilustrasi Perjalanan 7 Titik Penjemputan Trijaya Transport
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menempuh titik-titik tersebut membuat waktu total yang dibutuhkan untuk mencapai bandara adalah sekitar lima sampai enam jam. Rentang waktu ini lebih lama daripada yang ditawarkan oleh pesaing sehingga menjadi tidak menarik. Untuk menekan waktu yang diperlukan untuk menjemput para pelanggan, penelitian ini memberikan solusi sebagai berikut: •
Membagi tujuh titik diatas menjadi dua daerah operasi (Daop), yang dilayani oleh dua mobil yang berbeda.
•
Daop 1 akan melayani ring Bandung selatan dengan rute penjemputan Jatinangor- Arcamanik-Margahayu- Kopo-Bandara
•
Daop 2 akan melayani Kota Bandung dengan rute penjemputan SurapatiDago-Gegerkalong-Bandara
•
Setelah melayani penjemputan, kedua mobil Daop tersebut dapat keduanya menuju Bandara atau berkumpul terlebih dahulu untuk pooling dan
40
menggabungkan penumpang dalam satu mobil seandainya jumlah penumpang mencukupi satu mobil saja. Dengan strategi diatas maka rute masing masing DaOp dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 3. 6 Ilustrasi Sistem Hybrid Trijaya Dengan Dua Daerah Operasi
Dengan membagi dua rute yang harus dijemput, waktu penjemputan bisa dikurangi menjadi paling lama sekitar 80 menit untuk Daop 1 dan 60 menit untuk Daop 2, sehingga waktu total perjalanan bisa ditekan menjadi sekitar empat jam saja. Waktu tempuh penjemputan ini bisa menjadi lebih rendah karena tidak setiap waktu para pelanggan akan selalu ada di tiap titik penjemputan sehingga tidak setiap titik dalam rute yang ditempuh perlu didatangi. Sebagai tambahan, Trijaya dapat menjalin kerjasama sejenis seperti yang dilakukan Cipaganti dengan berbagai usaha yang ada di Kota Bandung berupa potongan harga atau program kemitraan lainnya sebagai servis pada pelanggan, terutama apabila Trijaya hendak memberlakukan sistem kerjasama pengadaan titik penjemputan dengan usaha yang ada di daerah-daerah potensial.
41
3. 2
Analisis Solusi Bisnis
Setelah melalui beberapa tahapan untuk memilih solusi terbaik dalam implementasi sistem hybrid Trijaya Transport, didapat kesimpulan bahwa sistem hybrid akan mempunyai kemungkinan sukses lebih besar apabila dilaksanakan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: •
Menerapkan prinsip jasa travel yang tepat waktu, nyaman, dan murah.
•
Trijaya harus memperbaiki sistem administrasi dan order taking agar memudahkan koordinasi, juga pengumpulan informasi guna memudahkan evaluasi dan pengambilan keputusan strategis tentang implementasi berjalan sistem hybrid.
•
Trijaya harus dapat menyiasati keterbatasan modalnya dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang berpotensi sebagai mitra kerjasama dalam pembukaan titik penjemputan di Bandung.
•
Trijaya harus dapat menegosiasikan kembali komisi untuk agen apabila ingin
memposisikan
penawarannya
secara
murah
namun
tetap
menguntungkan secara finansial. •
Penyebaran asal pesanan Trijaya menunjukkan adanya konsentrasi pelanggan Trijaya di daerah-daerah tertentu. Trijaya disarankan untuk membuka titik-titik penjemputannya di daerah yang telah dianalisis, dengan prioritas pada zona pendidikan yang karakteristik penghuninya lebih sering menggunakan travel daripada zona residensial.
•
Trijaya harus dapat menekan waktu tempuh perjalanannya menjadi maksimal
empat
jam
sehingga
diperlukan
pembagian
titik-titik
penjemputan menjadi dua daerah operasi, daerah Bandung selatan dan Kota Bandung.
Dengan mengasumsikan bahwa semua langkah diatas dapat diaplikasikan oleh Trijaya, maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan bauran pemasaran untuk sistem hybrid Trijaya Transport dan melakukan test pasar untuk mengetahui apakah sistem ini dapat diterima dengan baik oleh para pengguna jasa. Pengembangan bauran pemasaran sistem ini akan dibahas dalam proses Project Development dan test pasar dilakukan dalam kerangka proses Test Marketing.
42
3.2.1
Project Development Sistem Hybrid
Setelah menyaring berbagai masukan alternatif dan menganalisis berbagai data yang tersedia, maka penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa marketing mix untuk sistem hybrid Trijaya Transport adalah sebagai berikut:
Product: Survey persepsi yang telah dilakukan mengungkapkan bahwa konsumen mengidentifikasikan Point-to-Point dengan harga murah, tepat waktu tetapi menimbulkan kerepotan dan biaya tambahan karena tempat penjemputannya jauh dari domisili konsumen, sedangkan Door-to-Point diidentifikasikan sebagai layanan yang mahal, sering tidak tepat waktu tetapi nyaman karena konsumen tidak harus meninggalkan rumah. Keunggulan Value offering sistem hybrid Trijaya adalah memberikan jasa travel Bandung-Bandara Soekarno Hatta yang memadukan the best of both sides antara sistem Point-to-Point dan Door-to-Point. Sistem ini merupakan sistem yang tepat waktu, mempunyai titik penjemputan relatif dekat dengan domisili pengguna jasa, tetapi dengan penawaran harga yang ringan. Untuk lebih memberikan kepuasan pada pelanggan, waktu total perjalanan dari tempat penjemputan sampai ke bandara ditetapkan maksimal empat jam. Waktu tempuh ini dicapai dengan memisahkan titik-titik penjemputan menjadi dua daerah operasi, walaupun berarti membutuhkan investasi yang lebih besar. Pada prakteknya dalam sistem ini konsumen tidak memerlukan edukasi yang tinggi ataupun level keterlibatan baru dalam menggunakan sistem ini karena kemiripannya dengan sistem Point-to-Point namun dengan elemen commuter yang melayani beberapa titik penjemputan seperti layaknya kereta api/subway. Mudahnya penggunaan oleh konsumen terhadap sistem baru ini akan memudahkan penerimaan dan penyerapan produk ini oleh pasar. Faktor lain yang mempermudah penerimaan dan penyerapan produk ini oleh pasar adalah Trijaya Transport sebagai perusahaan yang telah berdiri cukup lama dan memiliki credentials cukup baik dimata konsumen selain customer base yang cukup banyak yang dibuktikan oleh jumlah pelanggan yang dilayani oleh Trijaya selama Agustus-Desember 2006. Hal ini memudahkan pengenalan produk
43
baru karena selain Trijaya mempunyai akses kepada existing customers yang cukup besar, nama Trijaya juga cukup familiar di kalangan pengguna travel Bandung-Bandara sehingga mengurangi rasa distrust kepadanya oleh para calon konsumen saat diperkenalkannya produk baru ini. Aspek yang harus diperbaiki oleh Trijaya apabila ingin memperkenalkan layanan ini adalah sistem koordinasi dan pencatatan pesanan, agar dapat mengantisipasi kemungkinan lonjakan pesanan apabila sistem ini berhasil dan diminati oleh konsumen. Perbaikan pencatatan juga sangat berguna untuk pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan tindak lanjut di masa depan.
Place: Penelitian ini telah menemukan bahwa pelanggan Trijaya berasal dari tujuh zona utama di Kota Bandung dan sekitarnya, yaitu daerah Setiabudi, Dago, Surapati, Kopo, Margahayu, Antapani dan Jatinangor. Berdasarkan hal ini maka kesimpulan logis yang dapat diambil adalah Trijaya harus meletakkan titik-titik penjemputannya pada zona-zona tersebut sehingga Trijaya akan memiliki tujuh lokasi penjemputan. Lokasi penjemputan ini idealnya merupakan kantor-kantor cabang Trijaya yang mampu melayani order dan menyediakan tempat menunggu yang nyaman. Namun, mengingat Trijaya bukan perusahaan dengan dukungan modal yang terlalu besar, maka lokasi titik penjemputan ini dapat berupa sepetak lokasi yang disewa Trijaya untuk memenuhi tiga fasilitas dasar yang harus dimiliki sebuah titik penjemputan: (1) tempat menunggu kendaraan datang, (2) akses dan tempat parkir untuk kendaraan Trijaya dan (3) counter bagi caretaker/staf Trijaya di lokasi. Perwujudan tempat penjemputan sederhana seperti yang disebutkan diatas mudah untuk dilakukan dan sudah menjadi praktek yang cukup umum ditemui di Kota Bandung, antara lain dengan sering ditemuinya jasa cuci/semir mobil yang hanya menyewa beberapa slot parkir di basement parking beberapa tempat perbelanjaan di Bandung. Bentuk usaha potensial yang dapat dipilih untuk diajak bekerjasama dalam pembukaan titik penjemputan adalah tempat usaha jenis food & beverages, hotel/penginapan, atau supermarket dengan alasan bahwa jenis usaha seperti ini dapat dikategorikan sebagai industri komplementer bagi travel, dimana para pengguna travel jurusan
44
bandara seringkali adalah pendatang yang menginap di hotel, dan juga para pengguna travel biasanya membeli makanan, minuman, snack ataupun bahan bacaan untuk di perjalanan, sehingga merupakan tempat yang nyaman bagi pengguna jasa untuk melewatkan waktunya menunggu datangnya kendaraan penjemput. Selain itu, tempat usaha seperti jenis diatas seringkali memiliki kapasitas parkir lebih dari cukup yang dapat dimanfaatkan oleh Trijaya. Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas maka penelitian ini memilih tempattempat sebagai berikut sebagai tempat paling potensial untuk dijadikan titik penjemputan di masing-masing daerah: •
Ruko Indomart/Kentucky Fried Chicken Margahayu Raya/Metro
•
Ruko Borma/Dunkin’ Donuts Antapani pertigaan Jl Jakarta/Jl. Purwakarta
•
Lapangan parkir Hotel terbesar di Jatinangor: ‘Puri Khatulistiwa’
•
Pertokoan sekitar Terminal Leuwi Panjang
•
Lapangan parkir Hero persimpangan Jl. Pahlawan/Jl. Surapati
•
Lapangan parkir Salon & Wartel Memory, Simpang Dago
•
Pujasera pertigaan Jl. Setiabudi-Jl Gerlong Girang
Promotion: Salah satu faktor yang cukup signifikan dalam aplikasi sistem hybrid adalah kemungkinan reaksi kompetitor. Telah disinggung sebelumnya bahwa munculnya sistem ini dapat memicu berbagai reaksi dari kompetitor, dengan tiga kecenderungan reaksi utama yaitu meniru sistem Trijaya, tetap dengan sistemnya tetapi menurunkan harga, atau rival mengkombinasikan keduanya dengan mengaplikasikan sistem Trijaya yang dimodifikasi sesuai dengan kemampuan atau karakteristik perusahaan rival tersebut. Karena reaksi-reaksi ini merupakan reaksi yang sifatnya tidak dapat dihindarkan/inevitable, maka penelitian ini menyarankan agar dalam melakukan promosi produknya Trijaya melakukan halhal berikut ini: •
Mengkomunikasikan produk ini dengan penekanan bahwa Trijaya adalah pelopor sistem hybrid yang memadukan keuntungan dua jenis sistem travel yang ada saat ini, sehingga pengguna mengidentifikasikan sistem hybrid sebagai sistem Trijaya
45
•
Dalam mengkomunikasikan sistem yang baru ini Trijaya disarankan untuk menghindari penggunaan jargon ‘hybrid’ karena diperkirakan bahwa berkat maraknya pemberitaan media mengenai mesin berbahan baker bio-diesiel dan mulai dimasyarakatkannya kendaraan berbahanbakar gas, persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya pada konsep ‘hybrid’ adalah kendaraan berbahan bakar alternatif.
•
Karena sistem baru ini mengadopsi sebagian cara operasinya dari kereta api/subway
maka
sebagai
pengganti
istilah
‘hybrid’
pada
saat
mengkomunikasikan produk diusulkan penggunaan jargon Trijaya Rapid Transport, atau dipersingkat menjadi ‘Trijaya Rapid’ yang meminjam istilah dari Mass Rapid Transportation (MRT), nama sebuah layanan subway di Singapura yang identik dengan layanan tepat waktu, efektif dan terjangkau, sehingga dalam mengkomunikasikan produknya Trijaya dapat pula menonjolkan aspek-aspek keunggulan yang ditawarkan seperti ‘murah’ dan ‘tujuh pilihan tempat keberangkatan’. Agar tidak menimbulkan kerancuan penelitian ini tetap akan menggunakan istilah hybrid.
Secara above the line, komunikasi produk yang menonjolkan aspek-aspek diatas dapat dilakukan melalui media cetak. Langkah ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa media pilihan pertama pengguna Trijaya untuk mendapatkan informasi mengenai travel adalah koran, lebih khususnya koran pada akhir pekan edisi hari Sabtu yang selalu memuat lebih banyak proporsi iklan dan penawaran-penawaran dibanding hari lain (Prasojo, 2007:70). Untuk jenis iklan di koran ini, Trijaya disarankan untuk menyediakan anggaran belanja iklan lebih tinggi untuk beralih ke iklan blok yang dapat memuat lebih banyak informasi serta lebih menarik perhatian daripada iklan baris yang selama ini digunakan. Untuk jenis promosi below the line, cara yang diperkirakan akan efektif untuk dilakukan oleh Trijaya adalah mengusahakan level pelayanan jasa yang prima pada pelanggannya untuk mendapatkan word of mouth yang positif, karena walaupun tidak ada studi mengenai efektifitas word of mouth dalam konteks
46
bisnis Trijaya Transport, pendapat Lovelock & Writz dalam ‘Services Marketing’ patut diperhatikan bahwa dalam usaha jasa ‘..Reccomendations from other customers are generally viewed as more credible than…firm-initiated promotional activities’ (2004:141).
Price: Sebagai elemen terakhir dalam bauran pemasaran sistem hybrid Trijaya, penelitian ini menganggap hasil survey Riani K. Sudana tahun 2007 terhadap pengguna jasa Trijaya mengenai persepsi pricing ideal yang pantas dibayar untuk jasa travel Bandung-Bandara Soekarno Hatta sebesar Rp 90,000 merupakan harga yang ideal karena lebih rendah dari harga travel Point-to-Point pengusaha travel leader Cipaganti Travel Rp 100,000,- sedangkan menurut penelitian yang sama harga break even point (BEP) Trijaya adalah Rp 77,000 sehingga Trijaya masih mendapatkan untung yang cukup besar per penumpang. Namun, informasi terkini yang diperoleh adalah adanya komisi kepada agen yang bisa mencapai 18% dari harga tiket yang menyebabkan apabila Trijaya menetapkan harga Rp. 90,000 maka revenue yang diterimanya setelah potongan komisi berada dibawah BEP. Untuk mengantisipasi hal ini maka Trijaya harus mengadakan negosiasi ulang dengan para agen mengenai tarif komisinya. Negosiasi ini bisa dilakukan karena Trijaya memiliki bargaining leverage berupa sistem baru yang berpotensi menjaring lebih banyak penumpang sehingga para agen kemungkinan besar bisa dibujuk untuk setuju dengan komisi lebih rendah untuk ditukar dengan volume yang lebih tinggi, sehingga harga Trijaya bisa ditetapkan sebesar Rp 90,000
3.2.2
Test Marketing Sistem Hybrid
Setelah merumuskan bauran pemasaran yang akan diimplementasikan oleh Trijaya, maka langkah selanjutnya adalah langkah Test Marketing yang disebut oleh Peter&Donnelly sebagai langkah untuk ‘…to evaluate and adjust, as necessary, the general product marketing strategy and the appropriate marketing mix’ (2004:106). Karena keterbatasan sumber daya Trijaya Transport, maka tes pasar sistem hybrid ini tidak dapat dilakukan dengan mengadakan test market sebenarnya yang
47
melibatkan berjalannya transaksi jual-beli sistem hybrid. Tes pasar yang dilakukan bersifat in-depth interview dengan alat bantu berupa ilustrasi mengenai berjalannya sistem hybrid yang akan diberlakukan beserta ilustrasi pembanding yang
menjelaskan
sistem Point-to-Point. Dalam melakukan
wawancara
diberlakukan parameter-parameter sebagai berikut terhadap responden: •
Responden adalah laki-laki/perempuan yang pernah menggunakan jasa travel sistem Point-to-Point dan Door-to-Point
•
Responden mewakili berbagai elemen pengguna jasa travel (mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga, dan lain-lain)
•
Responden berdomisili di salah satu daerah potensial pembukaan titik penjemputan
Berdasarkan batasan tersebut dan sumberdaya yang disediakan Trijaya maka penelitian ini memilih untuk mewawancara 30 responden yang berdomisili di daerah Surapati-Dipati Ukur-Dago. Hal ini dilakukan karena masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut lebih majemuk daripada daerah lain karena di daerah tersebut banyak dijumpai institusi pendidikan, tempat kost, zona perdagangan, juga residensial. Hasil Content Analysis terhadap keywords yang muncul saat wawancara terhadap para responden adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Content Analysis Wawancara Mengenai Sistem Hybrid Trijaya
Dari hasil diatas terdapat beberapa fakta yang dapat dianalisis yaitu: •
Responden lebih banyak mengeluarkan komentar positif daripada negative terhadap sistem hybrid
48
•
Hal yang paling dianggap menarik oleh responden mengenai sistem ini adalah harga murah (45% dari pendapat positif) dan lokasi titik penjemputan yang dekat rumah (35%)
•
Para responden memiliki persepsi bahwa sistem hybrid memiliki potensi keterlambatan yang besar (50% dari pendapat negatif). Hal ini dikarenakan responden melihat potensi macet dalam perjalanan antar titik dan juga stigma tradisional mengenai perilaku orang Indonesia yang sering terlambat, dalam hal ini baik konsumen maupun kendaraan sehingga akan merusak ketepatan waktu.
•
Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, sebagian yang cukup besar dari responden memilih untuk menunggu referensi dari pihak ketiga bahwa sistem hybrid dapat berjalan dengan sukses (40%)
Dari hasil tersebut dapat ditarik evaluasi bahwa konsumen menghargai aspek harga murah, ketepatan waktu dan dekatnya titik jemput dengan domisili mereka. Kurang percayanya konsumen pada suatu sistem baru merupakan hal yang wajar dan Trijaya harus dapat melaksanakan sistem ini dengan baik agar konsumen menyebarkan word of mouth yang positif dan menciptakan product image yang baik.
49