BAB III SISTEM FONEM BAHASA JAWA
1. Tata Bunyi dan Fonem Bahasa Jawa Bahasa Jawa seperti bahasa pada umumnya bunyi bahasa dan fonemnya dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu vokal, konsonan, dan semi-vokal. Ketiga kelompok bunyi dan fonem-fonemnya tertata menurut kaidah-kaidah struktur tertentu. Uraian secara terperinci atas fonem vokal, konsonan, dan semi-vokal beserta realisasinya yang berupa alofon-alofon akan diberikan di bawah (Marsono, 1993:107-116). 2. Fonem Vokal dan Alofonnya Fonem vokal bahasa Jawa berjumlah enam buah, yaitu : /i, e, , a, u, o/ (Marsono, 1993:107). Keenam fonem vokal itu berdasarkan ketinggian lidah sewaktu diucapkan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: vokal tinggi /i, u/; madya /e, , 0/; dan rendah /a/. Berdasarkan bagian lidah yang bergerak sewaktu fonem vokal itu diucapkan dapat dibagi menjadi tiga juga, yaitu depan: /i, e/; tengah / , a/; dan belakang /u, o/. Berdasarkan jarak lidah dengan langit-langit atau striktur sewaktu fonem vokal diucapkan dapat dibagi menjadi empat, yaitu: tertutup /i, u/; semi-tertutup /e, o/; semiterbuka / /; dan terbuka /a/. Berdasarkan bentuk bibir sewaktu fonem vokal diucapkan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: tak bulat /i, e, , a/ dan bulat /u, o/. Bagan keenam fonem vokal berdasarkan empat kriterian itu seperti terlihat dalam bagan lima berikut. Bagan 5 Fonem Vokal Bagian Lidah yang Bergerak Depan Keting
Tinggi
gian Lidah
Tengah
Belakang
i
u
Tertutup
Striktur (jarak
e
o
Semi tertutup
lidah dengan langit-langit)
Madya
Semi terbuka
Rendah
a
Terbuka
Tak bulat
Bulat
Bentuk bibir (Marsono, 1993:108) Fonem seperti disebutkan di depan (lihat halaman 2) sifatnya abstrak. Yang terucap dan terdengar oleh telinga adalah alofon atau variannya yang berupa bunyi. Realisasinya berbeda-beda menurut distribusi dan lingkungannya. Suatu fonem vokal yang berada pada suku kata tertutup alofonnya sering tidak sama dengan jika berada Universitas Gadjah Mada
1
pada suku kata terbuka. Alofon dan ketujuh fonem vokal itu menurut distribusinya akan diberikan di bawah. Urutan uraian disesuaikan berdasarkan ketinggian lidah seperti dalam gambar 5 di atas. a. Fonem Vokal Tmggi dan Alofonnya Fonem vokal tinggi dalam bahasa Jawa ada dua, yaitu tingi depan tak bulat tertutup /i/ dan tinggi belakang bulay tertutup /u/. Disebut vokal depan tinggi tak bulat tertutup karena fonem /i/ realisasi alofonnya diucapkan dengan meninggikan bagian depan lidah, bentuk bibir dalam keadaan tidak bulat, dan striktur dalam keadaan tertutup. Yang kedua, disebut vokal belakang tinggi bulat tertutup kerana fonem /h/ realisasi alofonnya diucapkan dengan meninggikan bagian belakang lidah, bentuk bibir dalam keadaan bulat, dan striktur dalam keadaan tertutup. Alofon masing-masing fonem itu menurut distribusi dan lingkungannya seperti di bawah. i. Alofon vokal tinggi /i/ Fonem vokal tinggi depan /i/ mempunyai dua alofon. Pertama, diucapkan dengan cara meninggikan bagian depan lidah, bentuk bibir dalam keadaan tidak bulat, jarak Iidah dengan langit-langit dekat sehingga strikturnya tertutup, yang terjadi adalah bunyi [i]. Kedua, diucapkan dengan bagian depan lidah diletakkan dalam posisi lebih rendah sedikit daripada alofon [i], bentuk bibir dalam keadaan tidak bulat, jarak lidah dengan langit-langit agak dekat sehingga strikturnya semitertutup, yang terjadi adalah bunyi [I]. Ketinggian lidah bagaian depan dalam mengucapkan bunyi [I] ini hampir sama dengan ketinggian lidah dalam mengucapkan bunyi [e]. Perbedaannya, posisi ketinggian dalam mengucapkan [e] sedikit lebih rendah. Uraian kedua alofon itu berdasarkan distribusinya sebagai berikut. 1) Alofon [i] Alofon [i] muncul jika /i/ berdistribusi pada suku kata terbuka, seperti dalam kata berikut: iki [iki] ‘ini’
mari [mari] ‘sembuh’
miri [miri] ‘kemiri’
kursi [kUrsi] ‘kursi’
Alofon [i] atas fonem /i/ dapat juga muncul pada tertutup tetapi hanya terbatas pada kata-kata yang benilai menyangatkan, seperti: amis [amis] ‘sangat anyir’ anyis [aňisj ‘sangat dingin’ pait [pait] ‘sangat pahit’ 2) Alofon [I] Alofon [1] muncul jika /i/ berdistribusi pada suku kata tertutup, contoh:
Universitas Gadjah Mada
2
sing [sI η ] ‘yang’
kaping [kapI η ] ‘kali’
ting [tI η ] ‘lampu tradisional’
garing [gharI η ] ‘kering’
ii. Alofon vokal tinggi /u/ Fonem vokal tinggi belakang /u/ mempunyai dua alofon. Pertama, diucapkan dengan cara meninggikan bagian belakang Iidah, bentuk bibir dalam keadaan bulat, jarak bagian depan lidah dengan langit-langit dekat sehingga strikturnya tertutup, yang terjadi adalah bunyi [u]. Kedud, diucapkan dengan bagian lidah belakang diletakkan dalam posisi lebih rendah sedikit daripada alofon [u], bentuk bibir dalam keadaan bulat, jarak lidah dengan langit-langit agak dekat sehingga strikturnya semi-tertutup, yang terjadi adalah bunyi [U]. Ketinggian lidah bagian belakang dalam mengucapkan bunyi [U] ini hampir sama dengan ketinggian lidah dalam mengucapkan bunyi [o]. Perbedaannya, posisi ketinggian dalam mengucapkan bunyi [0] sedikit lebih rendah. Uraian kedua alofon itu berdasarkan distribusinya sebagai berikut: 1) Alofon [u] Alofon [u] muncul jika /u/ berdistribusi pada suku kata terbuka, contoh: kuru [kuru] ‘kurus’
adu [adhu] ‘adu’
luku [luku] ‘bajak’
alu [alu] ‘antan’
Alofon [u] atas fonem /u/ dapat pula muncul pada suku kata tertutup tetapi
hanya
terbatas
pada
kata-kata
yang
benilai
kadar
rasa
menyangatkan, seperti: aduh [adhuh] ‘sangat jauh’ adhuh [adhuh] ‘aduh (kata seru)’ 2) Alofon [U] Alofon [U] muncul jika /u/ berdistribusi pada suku kata tertutup, contoh: lung [iU η ] ‘jalar’
umuk [umU?] ‘sombong’
mung [mU η ] ‘hanya’ thukul [tukUl] ‘tumbuh’
b. Fonem Vokal Madya dan Alofonnya Fonem vokal madya dalam bahasa Jawa berjumlah tiga, yaitu: vokal madya depan tak bulat semi-tertutup /e/, vokal madya tengah tak bulat semi-terbuka / /, dan vokal madya belakang bulat semi-tertutup /o/. Alofon ketiga fonem itu menurut distribusi dan Iingkungannya seperti di bawah.
Universitas Gadjah Mada
3
i. Alofon vokal masya /e/ Fonem vokal madya depan /c/ mempunyai dua alofon. Pertama, diucapkan dengan cara meletakkan bagian depan lidah dalam posisi madya, bentuk bibir tidak bulat, jarak lidah dengan langit-langit agak dekat sehingga strikturnya semi-tertutup, yang terjadi bunyi [e]. Ketinggian lidah bagian depan dalam mengucapkan bunyi [e] ini sedikit lebih rendah daripada dalam mengucapkan bunyi [I]. Kedua, diucapkan dengan cara meletakkan bagian depan Iidah dalam posisi madya tetapi lebih rendah sedikit daripada bunyi [e], bentuk bibir tidak bulat, jarak lidah dengan langit-langit agak jauh sehingga strikturnya semi-terbuka, yang terjadi adalah bunyi [ ]. Uraian kedua alofon itu berdasarkan distribusinya seperti di bawah. 1) Alofon [e] Alofon [e] dapat muncul apabila /e/ dalam distribusi terbuka atau tertutup, contoh: elok [el ?] ‘hebat’
bale [bhale] ‘balai’
eman [eman] ‘sayang’
sate [sate] ‘sate’
encok [eñc ?] ‘encok, rermatik’ mencok [meñc ?J ‘hinggap’ 2) Alofon [ ] Alofon [ ] dapat muncul apabila /e/ dalam distribusi terbuka atau tertutup, contoh: edi [ dhi] ‘indah’ meri [msn] ‘iri’ kalen [kalen] ‘selokan’
kilen [kill n] ‘barat’
lepen [l p n] ‘sungai’
pakel [pak l] ‘pakel’
ii. Alofon vokal madya 1.31 Fonem vokal madya tengah / / hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan cara meletakkan bagian tengah lidah dalam posisi madya, bentuk bibir tidak bulat, jarak bagian tengah lidah dengan langit-langit agak jauh sehingga striktumya semi-terbuka, yang terjadi adalah bunyi [ ]. Alofon [ ] ini dapat terjadi dalam ditribusi suku kata terbuka atau tertutup, contoh: êloh [ l h] ‘subur’
ulér [ul r] ‘ulat’
êmoh [ m h] ‘enggan’
karêp [kar p] ‘kehendak’
lêmu [l mu] ‘gemuk’ métu [m tu] ‘keluar’ Universitas Gadjah Mada
4
iii. Alofon vokal madya /o/ Fonem vokal masya belakang /o/ mempunyai dua alofon. Pertama, diucapkan dengan cara meletakkan bagian belakang lidah dalam posisi madya, bentuk bibir bulat, jarak bagian belakang lidah dengan langit-langit agak dekat sehingga strikturnya semi-tertutup, yang terjadi adalah bunyi [o]. Kedua, diucapkan dengan cara meletakkan bagian belakang lidah dalam posisi madya tetapi lebih rendah sedikit daripada bunyi [o], bentuk bibir bulat, jarak lidah dengan langit-langit agak jauh sehingga strikturnya semiterbuka, yang terjadi adalah bunyi [ ]. Uraian kedua alofon itu berdasarkan distribusinya seperti di bawah. 1) Alofon [o] Alofon [o] terjadi apabila /o/ dalam distribusi suku kata terbuka, seperti dalam: obah [obhah] ‘gerak’
kono [kono] ‘sana’
olah [olah] ‘olah, masak’
loro [loro] ‘dua’
Dapat juga alofon [o] dari /o/ terjadi pada suku kata tertutup tetapi jumlahnya terbatas, seperti dalam taka: oh [oh] ‘o (kata seru)’ 2) Alofon [ ] Alofon [ ] terjadi apabila /o/ dalam distribusi suku kata terbuka atau tertutup, seperti dalam kata: gori [gh ri] ‘nangka muda’
obor [ bhr] ‘obor’
lori [1 ri] ‘gerbong’
goroh [gh r h] ‘tidak jujur’
c. Fonem Vokal Rendah dan Alofonnya Fonem vokal rendah dalam bahasa Jawa hanya satu yaitu rendah tengah tidak bulat terbuka /a/. Fonem ini mempunyai dua alofon. Pertama, diucapkan dengan cara meletakkan bagian depan Iidah dalam posisi rendah ke tengah, bentuk bibir tidak bulat, jarak lidah dengan langit-langit jauh sehingga strikturnya terbuka, yang terjadi adalah bunyi [a]. Kedua, diucapkan dengan cara seperti alofon [ ]. Uraian kedua alofon itu berdasarkan distribusinya seperti di bawah. i.
Alofon [a] Alofon [a] muncul jika /a/ dalam distribusi suku kata tertutup atau terbuka pada penultima (suku kedua dari belakang) dan antepenultima (suku ketiga dan belakang), contoh: akal [?akal] ‘akal’
banter [bhant r] ‘cepat’ Universitas Gadjah Mada
5
apal [?apal] ‘apal’
pangkat [pa kat’ ‘pangkat, derajat’
bakat [?akat] ‘bakat’ bali [bhali] ‘pulang’ kaloka [kalok ] ‘termashur’ bathara [bha r ] ‘betara’ nagara [nag r] ‘negara’ Alofon [a] untuk /a/ pada ultima (suku pertama dan belakang) terbuka hanya terjadi pada kata-kata negasi dan kata seru sebagai berikut: ora [ora] ‘tidak’ la [iha] ‘lha (kata seru)’ ha [ha] ‘ha (kata seru)’ na [na] ‘nah (kata seru)’ ii.
Alofon ] Alofon [1 muncul jika Ia! dalam distribusi suku kata terbuka, contoh: apa [ p ] ‘apa’
kaya [k y ] ‘seperti’
bala [bh l ] ‘bala’
sapa [s p ] ‘siapa’
Dari uraian fonem-foriem vokal beserta alofon-alofonya di atas dapat dibuat bagan fonetis vokal seperti dalam bagan enam berikut.
Keterangan: 1) = Tinggi rendah lidah. 2) = Bagian lidah yang bergerak. 3) = Striktur (jarak lidah dengan langit-langit).
(Marsono, 1993:116).
Universitas Gadjah Mada
6
3. Fonem Konsonan dan Alofonnya Fonem konsonan bahasa Jawa berjumlah 23 buah (Marsono, 1993:8-105). Berdasarkan tempat artikulasinya dan 23 buah fonem itu dapat dikelompokkan menjadi 10 jenis. Kesepuluh jenis itu, ialah bilabial /p, b, m/; labio-dental /f, w/; apiko-dental /t, d/; apiko-alveolar /n, l, r/; apiko-palatal /t, d/; lamino-alveolar /s, z/; medio-palatal /c, j, ň, y/; dorso-velar /k, g, η /; laringal /h/; dan glotal stop /?/. Berdasarkan cara dihambat atau cara diartikulasikannnya dapat dibagi menjadi enam jenis, yaitu konsonan hambat letup /p, b, t, d, t, d, c, j, k, g, ?/; nasal /m, n, ň, η /; sampingan /l/; geseran /f, s, z, h/; getar /r/; dan semi-vokal /w, y/. Selain itu, konsonan bahasa Jawa dapat dibagi pula menurut hubungan posisional antar penghambat-penghambatnya atau striktur, bergetar tidaknya pita suara, dan apakah konsonan itu dapat diartikulasikan secara berkelanjutan (kontinuan) atau tidak (onkontinuan). Bagan 23 buah fonem konsonan berdasarkan lima pembagian dalam bagan tujuh berikut.
Universitas Gadjah Mada
7
(Marsono, 1993:8)
Seperti fonem vokal, fonem konsonan sebagai pembeda arti adalah abstrak. Yang terucap dan terdengar oleh telinga adalah bunyi, disebut alofon atau varian (bdk. dengan fonem vokal di depan). Alofon atau varian sebuah fonem konsonan realisasinya berbeda-beda menurut distribusinya. Suatu fonem konsonan yang berdistribusi pada awal, tengah, dan akhir sering alofonnya tidak sama. Alofon 23 fonem konsonan itu berdasarkan distribusinya akan diberikan di bawah. Urutan uraian disesuaikan menurut tempat artikulasinya seperti dalam bagan tujuh di atas.
i.
Fonem Konsonan Bilabial dan Alofonnya Fonem konsonan bilabial dalam bahasa Jawa berjumlah tiga, yaitu /p, b, m/. disebut bilabial karena ketiga fonem itu realisasi alofonnya diucapakan dengan hambatan kedua bibir, yaitu atas dengan bawah. Alofon masing-masing fonem itu menurut distribusinya sebagai berikut. i.
Alofon bilabial nonkontinuan /p/ Fonem bilabial nonkontinuan /p/ mempunyai lima alofon. Pertama diucapkan dengan cara arus udara dan paru-paru dihambat secara rapat kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba sehingga terjadi letupan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [p]. Kedua diucapkan tanpa letupan, letupannya dilepaskan atau dihilangkan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [p-]. Ketiga diucapkan dengan lepas nasal, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi adalah bunyi [Nasal]. Keempat diucapkan dengan lepas sampingan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [p1]. Kelima diucapkan dengan lepas bergeser pelan-pelan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi adalah bunyi [ps]. Uraian keempat alofon itu berdasarkan distribusinya seperti di bawah. 1) Alofon [p] Alofon [p] muncul jika /p/ berdistribusi pada awal kata, awal suku kata, atau sebagai pengunci kata, seperti dalam kata-kata berikut: pasa [p s ] ‘puasa’
bapa [bh p ] ‘ayah’
pitik [pitl?] ‘ayam’
sapi [sapi] ‘lembu’
ganêp [
an∂p] ‘genap’
têtêp [t∂t∂p] ‘tetap’
Universitas Gadjah Mada
8
Fonem /p/ pada penutup atau pengunci kata beralofon [p], jika kata yeng berpenutup /p/ itu tidak berdistribusi pada akhir kalimat. Jika kata yang berpenutup /p/ itu berada pada akhir kalimat maka /p/ alofonnya adalah [p-]. 2) Alofon [p-] muncul jika /p/ berdistribusi pada penutup kata, dan kata yang bersangkutan berada pada akhir kalimat, contoh: … ora ganêp. [... ora ghan∂p- ##j ‘... tidak genap’ … isih têtê. 3)
Alofon [
[... isIh t∂t∂p- ##] ‘ ... masih tetap’
]
Alofon [
] atau [p] lepas nasal muncul jika /p/ langsung diikuti
oleh bunyi nasal yang homorgan. Dalam hal ini yang homorgan adalah /m/. Bunyi [p] yang biasanya diucapkan dengan hambat letup kemudian diucapkan dengan hambat lepas nasal. Letupannya dilepasnasalkan dengan nasal yang homorgan, yaitu [m]. Sebagai contoh dalam frasa: ganêp maneh [ghan∂
man€h] ‘genap lagi’
madhêp mantêp [madh∂ têtêp mêtu [t∂t∂ 4) Alofon [
mant∂p] ‘setia dan taat, tetap teguh’
m∂tu] ‘tetap keluar’
]
Alofon [
] atau [p] lepas sampingan muncul jika /p/ langsung diikuti
oleh fonem sampingan /1/. Dengan demikian /p/ yang biasanya Alofon [
] atau [p] lepas sampingan muncul jika /p/ langsung diikuti
oleh fonem sampingan /1/. Dengan demikian /p/ yang biasanya diucapkan dengan hambat letup kemudian dilepassampingkan. Sebagai contoh dalam frasa: ganêp lima [ghan∂
lim ] ‘genap lima’
kérép lunga [k∂r∂p luŋ ] ‘kerap pergi’ têtêp lali [t∂t∂
lali] ‘tetap lupa’
5) Alofon [p 1 Alofon [p ] atau [p] hambat lepas geseran terjadi jika /p/ beridistribusi pada akhir atau penutup kata, lebih-lebih jika langsung diikuti oleh kata yang berawal dengan fonem /s/. Fonem /s/ yang biasanya diucapkan dengan hambat letup tidak diletupkan, melainkan setelah hambatan lalu dilepaskan secara bergeser pelan-pelan. Proses yang kedua menyebabkan adanya penyempitan jalannya arus udara, sehingga udara terpaksa keluar dengan bergeser. Artikulasinya lalu menjadi hambat geseran bukan hambat letup (Marsono, 1999:113). Oleh Bloch dan George L. Trager (1942:33) serta
Universitas Gadjah Mada
9
Samsuri (1978:121) proses ini disebut paduanisasi ataua pengafrikatan. Sebagai contoh dalam frasa atau kata: ganêp [ghan∂
] ‘genap’
ganêp sêpuluh [ghan∂
] ‘mantap’
mantêp [mant∂
mantêp sangêt [mant∂ ii.
s∂pulUh] ‘genap sepuluh’ saŋ∂t] ‘mantap sekali’
Alofon bilabial nonkontinuan /b/ Fonem bilabial nonkontinuan /b/ sekurang-kurangnya mempunyai tiga alofon. Pertama diucapkan dengan cara arus udara dan paru-paru dihamabat secara rapat kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba sehingga terjadi letupan, pita suara ikut bergetar, disertai dengan bunyi aspirasi [h], yang terjadi adalah bunyi [
]. Kedua diucapkan dengan hambatan dan letupan yang sama
tetapi pita suara tidak ikut bergetar serta tanpa aspirasi, yang terjadi bunyi [p]. Ketiga diucapkan dengan hambatan tanpa letupan, letupannya dihilangkan atau dilepaskan, pita suara tidak ikut bergetar dan tanpa aspirasi, yang terjadi adalah bunyi [p-]. Uraian alofonalofon itu berdasarkan distribusinya seperti di bawah. 1) Alofon [
].
Alofon [
] muncul jika /b/ berdistribusi pada awal kata atau awal
suku kata, contoh: baku [ bali [ buku [
aku] ‘pokok ali] ‘pulang’ uku] ‘buku’
aba [
] ‘aba’
sabar [sa
arj ‘sabar’
sebar [s∂
ar] ‘sabar’
2) Alofon [p] Alofon [p] muncul jika /b/ berdistribusi sebagai penutup atau pengunci kata apabila kata yang bersangkutan tidak berada pada akhir kalimat, contoh: … bab pitu [...
ap pitu] ‘... bab tujuh’
… rehab apik [r∂ … sebab teka [s∂
ap apI?] ‘... rebab bagus’ ap t∂k ] ‘... sebab datang’
Proses munculnya [p] sebagai alofon /b/ pada batas kata seperti itu disebut netralisasi (Verhaar, 1977:45-46). Artinya, dua bunyi [p] dengan [b] yang seharusnya merupakan realisasi dari dua fonem /p/ dan /b/ yang berbeda, di sini karena pengaruh batas kata, menjadi netral, tidak membedakan arti. Jika kata yang terakhir dengan /b/ itu ditambah akhiran, misalnya {-e} ‘{-nya}’, maka /b/ itu alofonnya akan muncul dalam dua bentuk, yaitu bisa [b] atau [p], terjadilah: Universitas Gadjah Mada
10
… babe pitu [...
a
… rebabe apik [... r∂
e pitu] dan [...
ape pitu] ‘babnya tujuh’
ab”e apI?] dan [... rôb”ape apI?] ‘rebabnya
bagus’ … sebabe teka [... s bhabhe t k ] dan [... s bhape t k ] ‘sebabnya datang’ Para ahIi fonoogi menyebut untuk fonem yang demikian dengan istilah arkifonem dan ditulis dengan huruf besar. Sehingga tulisan fonemis untuk ketiga frasa di atas menjadi: … baB pitu/ /... r baB api?/ /... s baB t ka/ Hal yang sama berlaku untuk fb/ penutup kata yang kebetulan berada pada akhir kalimat.
3) Alofon [p-] Alofon [p-] muncul jika /b/ berdistribusi pada penutup atau akhir kata, dan kata yang bersangkutan berada pada akhir kalimat, contoh: … sepuluh bab. [...s puIUh bbap- ##]‘ ... sepuluh bab.’ … tuku rebab. [...tuku r bhap- ##] ‘...membeli rebab.’ … tanpa sebab. [...tanp sabhap- ##] ‘tanpa sebab.’ iii.
Alofon bilabial kontinuan im! Fonem bilabial kontinuan /m/ mempunyai dua alofon. Pertama diucapkan dengan cara arus udara dan paru-paru melalui rongga mulut dihambat secara rapat. Bersama dengan itu langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan, sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Yang terjadi adalah bunyi [m]. Kedua, hambatannya dilepaskan atau hambatan itu terjadi sebaliknya, yang terjadi adalah bunyi [m-]. Uraian kedua alofon itu berdasarkan distribusinya seperti di bawah. 1) Alofon [m] Alofon [ml muncuijika iml berdistribusi pada awal kata, awal suku kata, atau sebagai penutup kata, contoh: mara [m r ] ‘datang’
ama [m ] ‘hama’
ayem [ay m] ‘tenteram’
mata [m t ] ‘mata’
dami [dhami] ‘jerami’
gelem [gh l m] ‘mau’
Universitas Gadjah Mada
11
Fonem /m/ pada akhir kata mernpunyai alofon [m], jika kata yang berakhir dengan /m/ itu tidak berada pada akhir kalimat. Jika kata yang berakhir dengan /m/ itu berdistribusi pada akhir kalimat maka /m/ alofonnya [m-].
2) Alofon [m-] Alofon [m-] muncul jika /m/ berdistribusi pada akhir kata, dan kata yang berakhir dengan /m/ itu berada pada akhir kalimat, contoh: … durung ayem. [... dhurU η ay m- ##] ‘belum tenterarn.’ … who pelem. [... w h p l m- ##] ‘buah mangga.’
ii.
Fonem Konsonan Labio-dental dan Alofonnya Fonem konsonan labio-dental dalam bahasa Jawa berjumlah dua, yaitu /f/ dan /w/. Disebut labio-dental karena kedua fonern itu realisasi alofonnya diucapkan dengan hambatan bibir bawah dengan gigi atas. Uraian alofonalofon kedua fonem itu sebagai berikut. i. Alofon labio-dental konfinuan /f/ Fonem labio-denta kontinuan /f/ mempunyai dua alofon. Pertama diucapkan dengan rnenyempitkan jalan arus udara yang dihembuskan dan paru-paru, sehinga jalannya udara terhalang dan keluar dengan bergeser, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi adalah bunyi [f]. Kedua, seperti yang pertama tetapi disertai dengan bergetarnya pita suara, yang terjadi bunyi [v]. Uraian masing-masing alofon itu berdasarkan distribusinya seperti di bawah. 1) Alofon [f] Alofon [f] terjadi apabila /f/ berdistribusi pada awal kata atau awal suku kata, tengah kata, dan akhir kata, seperti terdapat dalam kata-kata pungutan dan bahasa Inggris dan Arab berikut: foto [foto] ‘foto’
tafsir [tafslr] ‘tafsir’
saraf [saraf] ‘saraf
fotokopi [fotokopi] ‘fotokopi’
pasif [pasifj ‘pasif’ 2) Alofon [v] Alofon [v] muncul jika /f/ berdistribusi pada awal kata atau awal suku kata, seperti terdapat dalam kata pungutan dan abahasa Inggris berikut: valuta [valuta] ‘valuta’
devaluasi [dhvaluasi] ‘devaluasi’
veteran [vet ran] ‘veteran’
universitas [?univ rsitas] ‘universitas’ Universitas Gadjah Mada
12
ii. Alofon labio-dental kontinuan /w/ Fonem labio-dental kontinuan /w/ hanya rnempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan hambatan bibir bawah dengan gigi atas dalam bentuk bibir belum bulat seperti dalam menghasilkan vokal [u] dan juga belum terbentang lebar seperti dalam menghasilkan konsonan [f], pita suara ikut bergetar, bunyi yang terjadi ialah semi-vokal [w]. Fonem ini hanya berdistribusi pada awal kata atau awal suku kata, sebagai penutup kata dalam bahasa Jawa tidak dapat. Contoh alofon [w] terdapat dalam kata:
iii.
wali [wali] ‘wali’
guwa [ghuw ] ‘gua’
wani [wani] ‘berani’
lawa [1 w ] ‘kelelawar’
wangi [wa η i] ‘harum’
tawa [t w ] ‘tawar(kan)’
Fonem Konsonan Apiko-dental dan Alofonnya Fonem konsonan apiko-dental dalam abahasa Jawa ada dua, yaitu /t/ dan /d/. disebut apiko-dental karena kedua fonem itu realisasi alofonnya diucapkan dengan hambatan ujung lidah dengan gigi atas. Alofon kedua fonem itu menurut distribusinya sebagai berikut. i. Alofon apiko-dental nonkontinuan /t/ sekurang-kurangnya mempunyai lima alofon. Pertama diucapkan dengan cara arus udara dan paru-paru dihamabat secara rapat kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba sehingga terjadi letupan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [t]. Kedua diucapkan tanpa letupan, letupannya dilepaskan atau dihilangkan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [t-]. Ketiga diucapkan dengan lepas nasal, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunuyi [tNasal]. Keempat diucapkan dengan lepas sampingan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [t]]. Kelima diucapkan dengan lepas bergeser pelan-pelan, pitasuara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [ts]. Kelima, cara diucapkan munculnya alofon /t/ ini sama dengan kelima cara ucapan untuk alofon /p/, perbedaannya hanya pada tempat artikulasi saja (lihat alofon /p/ di atas (hlm. . .)). Uraian masing-masing alofon itu seperti di bawah. 1) Alofon [t] Alofon [t] muncul jika /t/ berdistribusi pada awal kata atau awal suku kata, tengah kata, dan akhir kata sebagai penutup kata apabila kata yang berakhir dengan /t/ itu tidak berada pada akhir kalimat. Contoh: tali [tali] ‘tali’
bata [bh t ] ‘bata’
Universitas Gadjah Mada
13
kupat [kupat] ‘kupat’
tahu [tahu] ‘tahu’
buta [bhut ] ‘raksasa’
luput [lupUt] ‘salah’
tatu [tatu] ‘luka’
duta [dhut ] ‘utusan’
lulut [lulUt) ‘akrab’
2) Alofon [t-] Alofon [t-] muncui jika /t/ berdistribusi pada akhir kata, dan kata yang bersangkutan berada pada akhir kalimat; contoh: … gawe kupat […ghawe kupat- ##] ‘... membuat ketupat.’ … ora luput [... ora lupUt- ##] ‘... tidak salah.’ … bocah lulut [... bhocah lulUt- ##] ‘... anak mudah akrab.’ 3) Alofon [tNasal] Alofon [tNasal] atau [t] lepas nasal muncul jika /t/ langsung diikuti oleh bunyi nasal yang homorgan. Dalam hal ini yang homorgan adalah [n] apikodental sebagai realisasi fonem /n/ apiko-alveolar. Bunyi [t] yang biasanya diucapkan dengan hambat letup kemudian diucapkan dengan hambat lepas nasal. Letupannya dilepasnasalkan, contoh dalam frasa: cépét nulis [c p t nulIs] ‘cepat menulis’ kawat nêmu [kawatn n mu) ‘kawat (hasil) menemukan’ papat nêm [papatn n m] ‘papat enam’ 4) Alofon [t]] Alofon [t1] atau lepas sampingan muncul jika /t/ langsung diikuti oleh fonem sampingan /l/. Karena pengaruh /I/ maka /t/ yang biasanya diucapkan dengan hembat letup kemudian dilepassampingkan, contoh dalam frasa: cêpêt lunyu [c p t1 luňu] ‘cepat licin’ kawat listrik [kawat1 IIstrIk] ‘kawat listrik’ pêdhet lemu [p dh ε t1 l mu] ‘anak lembu gemuk’ 5) Alofon [ts] Alofon [ts] atau [t] hambat lepas geseran terjadi jika /t/ berdistribusi pada akhir kata, lebih-lebih jika langsung diikuti oleh kata yang berawal dengan fonem /s/. Fonem /t/ yang biasanya diucapkan dengan hambat letup tidak diletupkan, setelah hambatan lalu dilepaskan secara bergeser pelanpelan. Proses yang kedua menyebabkan adanya penyempitan jalannya arus udara,
sehingga
udara
terpaksa
keluar
dengan
bergeser.
Proses
munculndya alofon [ts] disebut juga paduanisasi atau pengafrikatan. Sama Universitas Gadjah Mada
14
dengan proses munculnya [ps] (lihat di atas hlm . .]. Sebagai contoh [ts] terdapat dalam kata dan frasa: hebat [hebats] ‘hebat’ hebat sangêt [hebats sa η t] ‘sangat hebat’ lêpat [l pats] ‘salah’ lêpat sangêt [l pats sa η t] ‘sangat salah’ ii. Alofon apiko-dental nonkontinuan /d/ Fonem apiko-dental nonkontinuan /d/ sekurang-kurangnya mempunyai empat alofon. Pertama diucapkan dengan cara menghambat secara rapat arus udara dan paru-paru kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba sehingga terjadi letupan, pita suara ikut bergetar, disertai aspirasi, yang terjadi adalah bunyi [dh]. Kedua diucapkan dengan hambatan dan letupan yang sama tetapi tanpa aspirasi, yang terjadi bunyi [d]. Ketiga seperti cara diucapakan untuk alofon pertama dan kedua, tetapi pita suara tidak ikut bergetar dan tanpa aspirasi, yang terjadi bunyi [t]. Keempat diucapkan dengan hambatan tanpa letupan, letupannya dihilangkan atau dilepaskan, pita suara tidak ikut bergetar dan tanpa aspirasi, yang terjadi adalah bunyi [t-]. Uraian masing-masing alofon itu seperti di bawah. 1) Alofon [dh] Alofon [dh] muncul jika /d/ berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata sebagai awal suku dan langsung diikuti oleh vokal, contoh: dara [dh r ] ‘merpati’
pada [p dh ] ‘tanda baca’
dina [dhin ] ‘hari’
padu [padhu] ‘bertengkar’
duga [dhugh] ‘kira’
sada [s dh] ‘lidi’
2) Alofon [d] Alofon [d] muncul jika /d/ berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata sebagai awal suku dan langsung diikuti oleh konsonan, misalnya /r, 1/. Struktur ini membentuk kiaster /dr, dl/. Sebagai contoh terdapat dalam kata: driji [drijhi] ‘jari’
adreng [adr ]‘minat’
dronjong [dr ňj η ] ‘turun (jalan)’ ladrang [ladra η ] ‘nama ragam gending’ dilma [d1inrJ ‘buah delima’
dlujur [dlujUr] ‘jahit jarang’
3) Alofon [t] Alofon [t] muncul jika /d/ berdistribusi pada akhir kata dan kata yang bersangkutan tidak berada pada akhir kalimat, contoh: … babad sapi [... bhabhat sapi] ‘... (daging) babad lembu’ Universitas Gadjah Mada
15
… njilid tipis [...ňjhiIIt tipIs] ‘ ... menjilid tipis’ … murid pintêr [...murlt pint r] ‘...murid pandai’ Proses munculnya [t] untuk fonem [d] pada batas kata seperti proses munculnya alofon [p] untuk /p/ (lihat hlm ... di atas), yaitu karena netralisasi (Verhaar, 1977:45-46). Dua bunyi [t] dengan [d] yang secara umum merupakan realisasi dua fonem yang berbeda dan /t/ dan /d/, di sini karena pengaruh batas kata menjadi netral, tidak membedakan arti. Jika kata yang berakhir dengan /d/ itu ditambah akhiran, misalnya {-e} ‘{-nya}’, maka alofon untuk fonem /d/ itu akan muncul dua bentuk, yaitu [d] atau [t], terjadilah: … babade sapi [... bhabhadhe sapi] dan [... bhabhate sapi] ‘... (dagingnya) babad lembu’ … njilide tipis [… ňjhilidhe tipIs] dan [... ňjhilite tipls] ‘menjilidnya tipis’ … muride pintêr [... muridhe pint r] dan [... murite pint r] ‘muridnya pandai’ Fonem /d/ yang demikian disebut arkifonem dan ditulis dengan huruf besar /D/. Sehingga tulisan fonemis untuk ketiga frasa di atas menjadi: /... babaD sapi/ /... ñjiliDtipis/ /... muriD pint r/ Hal yang sama berlaku untuk /d/ pada akhir kata sebagai penutup kata yang kebetulan berada path akhir kalimat. 4) Alofon [t-] Alofon [t-] muncul jika /d/ berdistribusi pada kata sebagai penutup kata dan kata yang bersangkutan berada pada akhir kalimat, contoh dalam frasa: … iwak babad. [... iwa? b ab at- ##] ‘... daging babad.’ … arêp njilid. [... ar p ňjhiIIt- ##] ‘... akan menjilid’ … dadi murid. [... dhadhi murlt- ##] ‘... menjadi murid’ iv.
Fonem Konsonan Apiko-alveolar dan Alofonnya Fonem konsonan apiko-alveolar dalam bahasa Jawa ada tiga, yaitu /n, I, r/. disebut apiko-alveolar karena ketiga fonem itu realisasi alofonnya
diucapkan
dengan hambatan ujung lidah dengan gusi bagian dalam. Uraian alofon-alofon ketiga fonem itu seperti di bawah. i. Alofon apiko-alveolar kontinuan /n/ Fonem apiko-alveolar kontonuan /n/ mempunyai tiga alofon. Pertama diucapkan dengan cara arus udara dan paru-paru melalui mulut dihambat secara rapat. Bersama dengan itu langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan, sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Yang Universitas Gadjah Mada
16
terjadi adalah bunyi [n]. Kedua hambatannya dilepaskan atau hambatan itu terjadi sebaliknya, yang terjadi bunyi [n-]. Munculnya kedua alofon [n] dan [n-] untuk fonem /n/ sama dengan cara diucapkan alofon [m] dan [m-] untuk fonem /m/. Perbedaannya hanya pada tempat artikulasinya (bdk. dengan uraian alofon bilabial kontinuan /m/ pada hlm ... di atas). Ketiga diucapkan seperti cara pertama tetapi dengan tempat hambatan ujung lidah dengan langit-langit keras tidak ujung lidah denagan gusi, yang terjadi bunyi [n]. Uraian masing-masing alofon itu berdasarkan disribusinya seperti di bawah. 1) Alofon [n] Alofon [n] muncul jika /n/ berdistribusi pada awal kata atau awal suku kata, tengah kata, dan akhir kata apabila kata yang berakhir dengan /n/ tidak berada pada akhir kalimat, contoh: naga [n gh ] ‘ular naga’
pana [p n ] ‘jelas’
kapan [kapan] ‘kapan’
nama [n m ] ‘nama’
wana [w n ] ‘hutan’
papan [papan] ‘tempat’
2) Alofon [n-] Alofon [n-] muncul jika /n/ berdistribusi pada akhir kata, dan kata yang bersangkutan berada pada akhir kalimat, contoh: … ana dalan. [.. n dh ##] ‘... ada di jaian.’ … duwe papan. [... dhuwe papan- ##] ‘... mempunyai tempat (tinggal).’ … mrene kapan-kapan. [... mrene kapan kapan- ##] ‘.... ke sini kapan-kapan.’ 3) Alofon [n] Alofon [n] muncul jika /n/ berada sebelum konsonan hamabat letup apiko-palatal /t/ dan /d/, contoh: pênthung [p ntU η ] ‘pemukul kêntheng [k nt ru] ‘benang pelurus’ bandha [bhn dlL D] ‘harta’ tandha [t ndh] ‘tanda’ ii. Alofon apiko-alveolar kontinuan /1/ Fonem apiko-alveolar kontinuan /l/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan cara menutup arus udara di tengah rongga mulut sehingga udara keluanr melalui kedua samping atau sebuah samping saja. Bunyi yang tenjadi adalah [1]. Dalam semua distribusi alofonnya [1], contoh: lali [lali] ‘lupa’
gula [ghuI] ‘gula’
tugêl [tugh l] ‘patah’
lila [liI ] ‘rela’
mula [mul ] ‘maka’
prigêl [prigh l] trampil’ Universitas Gadjah Mada
17
iii. Alofon apiko-alveolar kontinuan /r/ Fonem apiko-alveolar kontinuan /r/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan cara menghambat jalannya arus udara dan paru-paru secara berulang-ulang dan cepat, yang terjadi adalah bunyi [r]. Dalam semua distribusi alofonnya sama yaitu [r], contoh:
v.
raga [r gh ] ‘raga’
bara [bh r ] ‘mengembara’
kabar [kabhar] ‘berita’
rasa [r s ] ‘rasa’
basa [b’5sD] ‘bahasa’
kasar [kasar] ‘kasar’
Fonem Konsonan Apiko-palatal dan Alofonnya Fonem konsonan apiko-palatal dalam bahasa Jawa ada dua, yaitu /t/ dan /d/. disebut apiko-palatal karena kedua fonem itu realisasi alofonnya diucapakan dengan hambatan ujung lidah dengan langit-langit keras. Uraian alofon kedua fonem itu seperti di bawah. i. Alofon apiko-palatal nonkontinuan /t/ Fonem apiko-palatal nonkontinuan /t/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan cara menghambat secara penuh arus udara dan paruparu kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiaba, pita suara tidak ikut bergetar. Bunyi yang terjadi adalah [t]. Fonem [t] dalam bahasa Jawa hanya bisa berdistribusi pada awal kata atau awal suku kata saja, tidak bisa sebagai pengunci kata. Dalam kedua distribusi itu alofonnya sama, yaitu [t], contoh: thimik [timl?] ‘pelan’
kanthi [kanti] ‘dengan’
thukul [tukUl] ‘tumbuh’
puthu [putu] ‘nama makanan’
ii. Alofon apiko-palatal nonkontinuan /d/ Fonem apiko-palatal nonkontinuan /d/ mempunyai dua alofon. Pertama diucapkan dengan cara menghambat arus udara dan paru-paru secara penuh kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba, pita suara tidak ikut bergetar, disertai aspirasi, bunyi yang terjadi adalah [dh]. Kedua diucapkan serperti yang pertama tetapi taripa aspirasi, bunyi yang terjadi adalah [d]. Seperti fonem /t/, fonem /d/ tidak bisa sebagai pengunci kata, hanya bisa pada awal kata atau awal suku kata saja. Uraian kedua alofon fonem /d/ itu seperti di bawah. 1) Alofon [dh] Alofon [dh] muncul jika /d/ langsung diikuti oleh vokal, baik /d/ itu berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata sebagai awal suku, contoh: dhadha [dh dh ] ‘dada’
dhadhu [dhadhu] ‘judi’
Universitas Gadjah Mada
18
dhudha [dhudh ] ‘duda’
tidha [tidh ] ‘ragu’
2) Alofon [d] Alofon [d] muncul jika /d/ langsung diikuti oleh konsonan, misalnya /r/, dan berdistribusi pada awal kata. Struktur ini lalu membentuk klaster /dr/, contoh: ndhrédhêg [nd rdh k-] ‘gemetar’ ndhrodhog [ndr dh k-] ‘gemetar’ vi.
Fonem Konsonan Lamino-alveolar dan Alofonnya Fonem konsonan lamino-alveolar dalam bahasa Jawa ada dua, yaitu /s/ dan /z/. disebut lamino-alveolar karena kedua fonem itu realisasi alofonnya diucapkan dengan hambatan darun lidah dengan gusi dalam atas. Uraian alofon kedua fonem itu seperti di bawah. i. Alofon lamino-alveolar kontinuan /s/ Fonem lamino-alveolar kontinuan /s/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan menyempitkan jalannya arus udara dan paru-paru, sehingga arus udara terhalang dan keluar dengan bergeser, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi adalah bunyi [s]. Alofon [s] muncul dalam semua distribusi, bisa pada awal, tengah, dan akhir kata, contoh: salah [salah] ‘salah’
pasa [p s ] ‘puasa’
beras [b ras] ‘beras’
susah [susah] ‘susah’
rasa [r s ] ‘rasa’
panas [panas] ‘panas’
h
ii. Alofon lamino-alveolar konsonuan /z/ Fonem lamino-alveolar kontinuan /z/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan menyempitkan jalannya arus udara dan parupam, sehingga anus udara terhambat dan keluar dengan bergeser, pita suara ikut bergetar, yang terjadi adalah bunyi [z]. Alofon [z] muncul pada awal kata dan di tengah kata sebagai awal suku, tidak bisa sebagai penutup kata. Impun terbatas pada kata-kata pungutan dan bahasa asing terutama bahasa Arab, contoh: zakat [zakat] ‘zakat’ yazah [ijhlazah] ‘ijazah’ ziarah [ziyarah] ‘ziarah’ vii.
Fonem Konsonan Medio-patatal dan Alofonnya Fonem konsonan medio-palatal dalam bahasa Jawa berjumlah empat, yaitu /c, j,ñ/ dan /y/. Disebut medio-palatal karena keempat fonem itu realisasi alofonnya
Universitas Gadjah Mada
19
diucapkan dengan hambatan tengah lidah dengan langit-langit keras. Uraian alofon keempat fonem itu seperti di bawah. i. Alofon medio-palatal nonkontinuan /c! Alofon medio-palatal nonkontinuan /c/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan cara menghambat secara penuh anus udara dan paru-paru kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba, pita suara tidak ikut bergetar. Bunyi yang terjadi adalah [c]. Fonem /c/ dalam bahasa Jawa hanya bisa berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata sebagai awal suku, tidak bisa pada akhir sebagai penutup kata. Dalam kedua distribusi itu alofonnya sama, yaitu [c], contoh:
ii. Alofon medio-palatal. nonkontinuan /j/ Fonem medio-palatal nonkontinuan /j/ mempunyai dua alofon. Pertama diucapkan dengan cara menghambat arus udara dari paru-paru secara penuh kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba, pita suara ikut bergetar, disertai aspirasi, bunyi yang terjdi adalah [jh]. Kedua diucapkan seperti yang pertama tetapi tanpa aspirasi, bunyi yang terjadi adaiah [j]. Seperti fonem /c/ (lihat di atas) dan /t, d/ (lihat di atas hlm. ), fonem /j/ tidak bisa sebagai pengunci kata, hanya bisa pada awal kata atau di tengah kata saja. Uraian kedua alofon /j/ itu seperti di bawah. 1)
Alofon [jh] Alofon [jh] muncul jika /j/ Iangsung diikuti oleh vokal, baik /j/ itu berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata, contoh:
2)
jamu [jhamu] ‘jamu’
aja [ jh ] ‘jangan’
jodho [jhodho] ‘jodoh’
waja [w jh ] ‘baja’
Alofon [j] Alofon [ muncui jika /j/ iangsung diikuti oieh konsonan, misalnya /r, l/, baik /j/ itu berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata. Struktur ini membentuk klaster /jr, jr/, contoh: jrambah [jrambhah] ‘lantai, dasar’
ajrih [ajrIh] ‘takut’
jlungup [jluηUp] ‘perosok’
anjiok [añjl k] ‘terjun, turun’
iii. Alofon medio-palatal kontinuan /ñ/ Fonem medio-palatal kontinuan /ñ/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan cara menghambat arus udara dan paru-paru melalui rongga mulut secara rapat. Bersama dengan itu langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan, sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Universitas Gadjah Mada
20
Bunyi yang terjadi adalah [ñ]. Fonem [ñ] juga hanya berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata saja, sebagai penutup kata tidak dapat. Dalam kedua distribusi itu alofonnya sama, yaitu [ñ], contoh: nyawa [ñ w ] ‘nyawa’
banyu [bhañu] ‘air’
nyata [ñ t ] ‘nyata’
lunyu [luñu] ‘licin’
Konsonan medio-palatal [ñ] dalam empat contoh di atas tidak bersifat silabis karena Iangsung diikuti oleh vokal. Jika langsung diikuti oleh konsonan, /ñ/ sering realisasinya menjadi silabis seperti dalam contoh: njêkut [ñjh kut] ‘dingin sekali’ njêwowok [ñjh w w k] ‘tidak keruan (rambut)’ njaluk [ñjhalU?] ‘meminta’ iv. Alofon medio-palatal kontinuan /y/ Fonem medio-palatal kontinuan /y/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan hambatan tengah lidah hampir merapat pada langit-langit keras. Posisi lidah lebih tinggi sedikit daripada posisi dalam mengucapkan vokal [i], tetapi lebih rendah sedikit daripada mengucapkan konsonan medio-palatal [j]. Pita suara ikut bergetar. Karena itu bunyi [y] disebut semi-vokal. Fonem [y] dalam bahasa Jawa hanya berdistribusi pada awal atau di tengah kata saja, pada akhir kata sebagai penutup kata tidak bisa. Contoh alofon [y] terdapat dalam kata:
viii.
yuta [yut ] ‘juta’
ayu [ayu] ‘cantik’
yuyu [yuyu] ‘kepiting’
kayu [kayuj ‘kayu’
Fonem Konsonan Dorso-velar dan Alofonnya Fonem konsonan dorso-velar dalam bahasa Jawa berjumlah tiga, yaitu /k, g/ dan η/. disebut dorso-velar karena ketiga fonem itu realisasi alofonnya diucapkan dengan hambatan pangkal lidah dengan langit-langit lunak. Uraian alofon ketiga fonem itu seperti di bawah. ix.
Alofon dorso-velar norikontinuan /k/ Fonem dorso-velar nonkontinuan /k/ mempunyai tiga alofon. Pertama diucapkan dengan cara menghambat arus udara dan paru-paru secara rapaty kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba sehingga terjadi letupan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi adalah bunyi [k]. Kedua diucapkan tanpa letupan, letupannya dilepaskan atau dihilangkan, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi bunyi [k-]. Ketiga diucapkan dengan cara menyempitkan jalannya arus udara dari paru-paru, sehingga jalannya udara terhalang dan keluar dengan
Universitas Gadjah Mada
21
bergeser, pita suara tidak ikut bergetar, yang terjadi adalah bunyi [x]. Uraian masing-masing alofon itu seperti di bawah. 1) Alofon [k] Alofon [k] muncul jika /k/ berdistribusi pada awal kata atau di tengah kata pada awal suku, contoh: kaku [kaku] ‘kaku’
aku [aku] ‘aku’
kilo [kilo] ‘kilo’
kuku [kuku] ‘kuku’
Fonem /k/ dapat juga berdistribusi pada akhir kata tetapi jumlah kosa katanya terbatas. Dalam hal yang demikian apabila kosa kata yang berakhir dengan /k/ itu tidak berada pada akhir kalimat maka alofonnya diucapkan [k], contoh: tetek [t t k] ‘teguh dalam pendirian’ utek [ut k] ‘otak’ 2) Alofon [k-] Alofon [k-] muncul jika /k/ berdistribusi pada akhir kata dan kata yang bersangkutan berada pada akhir kalimat, contoh: … sing tetek. [... sIη t t k- ##] ‘...yang teguh dalam pendirian’ … ora utek. [... ora ut k- ##] ‘... tidak berotak’ 3) Alofon [x] Alofon [x] muncul untuk /k/ yang berasal dari kata-kata pungutan terutama dari bahasa Arab, berdistribusi pada awal, tenghah, dan akhir kata, contoh: khutbah [x tbhah] ‘khutbah’
ikhtiyar [Ixtiyar] ‘usaha’
syekh [sεx] ‘syekh’
ii.
Alofon dorso-velar nonkontinuan /g/ Fonem dorso-velar nonkontinuan /g/ mempunyai empat alofon. Pertama diucapkan dengan cara menghambat arus udara dari paru-paru secara rapat kemudian hambatan itu dilepaskan secara tiba-tiba sehingga terjadi letupan, pita suara ikut bergetar, dan disertai aspirasi, bunyi yang terjadi adalah [g h]. Kedua diucapkan dengan cara hambatan dan letupan yang sama seperti pertama tetapi tanpa aspirasi, yang terjadi adalah bunyi [g]. Ketiga seperti cara diucapkan untuk alofon pertama dan kedua tetapi pita suara tidak ikut bergetar dan tanpa aspirasi, yang terjadi adalah bunyi [k]. Keempat diucapkan dengan hambatan tanpa letupan, letupannya dihilangkan atau dilepaskan, pita suara tidak ikut
Universitas Gadjah Mada
22
bergetar dan tanpa aspirasi, yang terjadi adalah bunyi [k-]. Uraian masingmasing alofon itu seperti di bawah. 1) Alofon [gh] Alofon [gh] muncul jika / berdistribusi pada awal kata atau di tengah sebagai awal suku dan langsung diikuti oleh vokal, contoh: gula [ghul ] ‘gula’
iga [igh ] ‘tulang rusuk’
guna [ghun ] ‘guna’
gaga [gh gh ] ‘padi kering’
2) Alofon [g] muncul jika /g/ berdistribusi pada awal kata atau di tengah sebagai awal suku dan langsung diikuti oleh konsonan, misalnya /r, l/. Struktur ini membentuk klaster /gr, gl/, contoh: gropyok [gr py ?] ‘grebeg’
jagrag [jhagrak-] ‘tiang penyanga’
grusu [grusu] ‘ceroboh’
logro [logro] ‘longgar’
glali [giali] ‘nama makanan’
aglik [agli?] ‘goyang’
gliyer [gliy∂r] ‘pusing’ 3) Alofon [k] Alofon [k] muncul jika /g/ berdistribusi pada akhir kata sebagai penutup dan kata yang bersangkutan tidak berada pada akhir kalimat, contoh: … ndableg tenan [... ndhabl∂k t∂nan] ‘... keras kepala sekali’ … tutug suwe
[… tutUk suwe]
‘... sampai puas lama’
Proses munculnya [k] untuk /g/ pada batas kata sama dengan proses munculnya alofon [p] untuk /p/ (lihat di atas hlm. ) dan munculnya [t] untuk /d/ (lihat di atas hlm. ), yaitu karena netralisasi (Verhaar, 1977:45-46). Fua bunyi [k] dengan [g] yang biasanya merupakan realisasi dari dua fonem yang berbeda /k/ dan /g/, di sini karena pengaruh batas kata menjadi netral, tidak membedakan arti. Jiaka kata yang berakhir dengan /g/ itu ditambah akhiran, misalnya {-e} ‘{-nya}’, maka alofon untuk fonem /g/ itu akan muncul dua bentuk, yaitu [gh] atau [k], terjadilah: ndablege tênan [... ndhabl∂gle t∂nan] dan [...ndhablôke tônan] ‘... keras kepala sekali’ tutuge suwe [... tutughe suwe] dan [tutuke suwe] ‘... sampai puasnya lama’ Fonem /g/ yang demikian disebut arkifonem dan ditulis dengan huruf kapital /G/. Sehingga tulisan fonemis untuk kedua frasa itu menjadi: /... ndabl∂G t∂nan/ ‘keras kepala sekali’ /... tutuG suwe/ ‘sampai puas lama’
Hal yang sama berlaku untuk /g/ pada akhir kata sebagai pengunci yang kebetulan berada pada akhir kalimat, seperti akan diuraikan seterusnya. Universitas Gadjah Mada
23
4) Alofon [k-] Alofon [k-] muncul jika /g/ berdistribusi pada akhir kata sebagai penutup dan kata yang bersangkutan beradapada akhir kalimat, contoh: Bocahe ndablêg. [bhocahe ndhabl∂k- ##] ‘Anaknya keras kepala.’ … ora tutug. iii.
[... ora tutUk- ##] ‘... tidak sampai puas’
Alofon dorso-velar kontinuan /η/ Fonem dorso-velar kontionuan /η/ hanya mempunyai satu alofon, yaitu diucapkan dengan cara menghambat arus udara dan paru-paru melalui rongga mulut secara rapat. Bersama dengan itu langit-langit lunak beserta anak tekaknya diturunkan, sehingga udara keluar melalui rongga hidung. Pita suara ikut bergetar. Bunyi yang terjadi adalah [η]. Fonem /η/ bisa berdistribusi pada awal kata, tengah, dan akhir kata. Dalam ketiga distribusi itu alofonnya sama, yaitu [η], contoh: ngarêp [ηar∂pj ‘depan’
jangan [jhaηan] ‘sayur’
palang [palaη ‘palang’
ngono [ηono] ‘demikian’
dhangan [dhaηan] ‘sehat’
adang [adhaη] ‘masak’
Konsonan dorso-velar /η/ dalam keenam contoh di atas tidak bersifat silabis. Jika /η/ langsung diikuti oleh konsonan seperti g, /η/ realisasi alofonnya sering menjadi silabis, seperti dalam contoh: nggembeleng [ηg∂mbh∊l∊η] ‘sombong’ nggêdêbus [ηg∂d∂bhus] ‘omong kosong’ ênggon [∂ηg⊃n] ‘tempat’
i.
Konsonan Laringal dan Alofonnya Fonem konsonan laringal atau glotal dalam bahasa Jawa hanya satu, yaitu /h/. disebut laringal atau glotal karena fonem ini realisasi alofonnya diucapkan dengan temapat hambatan pangkal tenggorok atau rongga laring, khususnya di tempat sepasang pita suara. Alofon fonem ini hanya satu, yaitu diucapkan dengan cara menyempitkan glotis pada sepasang pita suara, sehingga arus udara dan paru-paru terhalang dan keluar dengan bergeser. Penyempitan glotis ini tidak sampai rapat. Bunyi yang terjadi adalah [h]. Fonem /h/ dalam bahasa Jawa bisa berdistribusi pada awal kata, tengah kata, dan akhir sebagai penutup kata, contoh: hara [h⊃r⊃] ‘hai’
taha [t⊃hc] ‘tahan’
adoh [ad ⊃h] ‘jauh’
hawa [h⊃w⊃] ‘udara’
tahu [tahu] ‘tahu’
juruh [jh rUh] ‘air gula’
h
Universitas Gadjah Mada
24
j.
Fonem Konsonan Glotal Stop dan Alofonnya Fonem konsonan glotal stop atau glotal hamzah dalam bahasa Jawa ada satu, yaitu /?/. Disebut glotal karena fonem ini realisasi alofonnya diucapkan dengan tempat hambatan pada seluruh panjangnya pita suara. Alofonnya hanya satu, yaitu diucapkan dengan cara merapatkan sepasang pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup. Karena ini, maka arus udara dan paru-paru terhambat. Secara tiba-tiba kedua selaput pita suara itu dipisahkan. Terjadilah bunyi [?]. Secara fonemis /?/ dalam bahasa Jawa hanya berdistribusi pada akhir suku di tengah kata atau pada akhir sebagai penutup kata, contoh : saat [sa?atj ‘saat’
anak [?ana?] ‘anak’
sakwat [sa?wat] ‘seketika’
galak [ghala?] ‘galak’
Namun, [?] secara fonetis, di samping bisa pada akhir suku di tengah kata dan akhir kata, dapat juga berdistribusi pada awal kata, contoh lain selain [?] dalam awal kata anak ‘anak’ adalah: apik [?apl?] ‘baik’
iku [?iku] ‘itu’
aman [?aman] ‘aman’
upa [?up⊃] ‘butir nasi’
Dari uraian fonem-fonem konsonan beserta alofon-alofonnya di atas dapat dibuat bagan fonetis seperti dalam bagan delapan berikut.
Universitas Gadjah Mada
25
Universitas Gadjah Mada
26