63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III SAJIAN DAN ANALISIS DATA
3.1 Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Upacara Dhaup Temanten Penduduk Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri umumnya merupakan masyarakat Jawa yang masih melestarikan adat istiadat yang telah lama diyakini dan diwariskan oleh nenek moyang mereka. Salah satu adat istiadat yang sampai saat ini masih dilestarikan adalah dalam hal perkawinan. Dalam perkawinan adat Jawa, terdapat berbagai prosesi atau upacara adat sebagai rangkaian acaranya. Hingga awal tahun 2016, di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri masih banyak pasangan suami-istri yang dalam melaksanakan perkawinan menggunakan upacara adat Jawa. Salah satunya upacara adat yang dikaji dalam penelitian ini yaitu upacara dhaup temanten. Walaupun saat ini upacara dhaup temanten masih tetap dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, namun seiring dengan perkembangan zaman juga terjadi pergeseran pandangan masyarakat mengenai nilai-nilai upacara perkawinan khususnya pesan yang disampaikan melalui media yang berupa simbol-simbol adat yang terdapat dalam upacara dhaup temanten tersebut. Upacara dhaup temanten merupakan salah satu prosesi dalam pernikahan adat Jawa yang merupakan puncak dari serangkaian prosesi perkawinan yang dilakukan oleh sepasang suami-istri. Upacara dhaup commit to user 63
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
temanten di Kecamatan Puhpelem telah dilaksanakan oleh masyarakatnya sejak puluhan tahun yang lalu. Dalam memberikan jawaban terkait pengertian atau definisi dari upacara dhaup temanten, pasangan suami-istri yang menjadi informan utama dalam penelitian ini memberikan jawaban yang beragam. Dalam memberikan penjelasan mengenai definisi dari upacara dhaup temanten, pasangan suamiistri yang merupakan informan dalam penelitian ini ada yang bisa menjelaskan dan menyampaikan dengan lengkap dan ada pula yang kurang bisa menjelaskan dengan lengkap. Beberapa pasangan menjelaskan bahwa upacara dhaup temanten hanya sekedar pada pertemuan antara pengantin putra dan putri saja. Salah satunya yaitu pasangan Dwi Yanto dan Yeni Ratriningsih yang menjelaskan mengenai upacara dhaup temanten berikut ini: “Setahu kami, kalau dilaksanakan upacara adat Jawa dhaup itu pada saat kami dipertemukan pada saat resepsi dan itu berarti bahwa kami sebagai pasangan pengantin telah diikat dalam sebuah hubungan yang resmi.” (Wawancara dengan Dwi Yanto, Selasa, 26 April 2016). Pasangan suami-istri lain yang merupakan informan dalam penelitian ini menyebutkan sedemikian rupa yaitu pasangan Andik Lestyanto dan Pariyem, Sularno dan Heyasri, Agus Periyanto dan Etik Nurkayah, Dwiky Adi Saputra dan Syaummy Ristiningtyas, Lis Diyanto dan Heny Susanti, Edi dan Pitriningsih, Narto dan Isna Ajeng Saputri, serta Sri Yatno dan Linda Puspita Sari.
commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal tersebut diungkapkan oleh pasangan suami-istri tersebut sebagai berikut: “Pengantin laki-laki sama perempuan bertemu, di dhaupne Mbak.” (Wawancara dengan Andik Lestyanto, Senin, 25 April 2016). “Kalau dhaup temanten itu dipertemukannya pengantin laki-laki dan perempuan, kalau dulu dhaupnya di depan pintu.” (Wawancara dengan Heyasri, Selasa, 26 April 2016). “Saat ditemukan dengan pengantin laki-laki.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). “Pada saat bertemunya pengantin laki-laki dengan perempuan.” (Wawancara dengan Syaummy Ristiningtyas, Sabtu, 14 Mei 2016). “Menurut saya dhaup temanten itu pertemuan antara saya dengan pasangan saya pada saat resepsi pernikahan.” (Wawancara dengan Heny Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016). “Upacara dhaup temanten itu salah satu upacara adat Jawa pada saat pernikahan saat pengantin laki-laki dan perempuan dipertemukan untuk pertama kalinya sebelum duduk di pelaminan.” (Wawancara dengan Edi, Sabtu, 14 Mei 2016). “Dhaup itu menurut kami pertemuan antara sepasang pengantin pada saat resepsi.” (Wawancara dengan Isna Ajeng Saputri, Jum’at, 27 Mei 2016). “Dhaup temanten itu dipertemukannya pengantin setelah resmi menjadi suami istri.” (Wawancara dengan Sri Yatno, Senin, 30 Mei 2016). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa beberapa pasangan suami-istru tersebut mengartikan upacara dhaup temanten hanya sebatas pada pertemuan antara pengantin putra dan putri pada saat upacara pernikahan adat Jawa. Mereka tidak menjelasakan secara lengkap bahwa dalam upacara dhaup temanten terdapat beberapa prosesi adat yang mereka lakukan walaupun selanjutnya mereka mengetahui tahapan atau prosesi-prosesi dalam upacara dhaup temanten. Lebih lengkap dari beberapa pasangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa upacara dhaup temanten hanya sebatas pada pertemuan antara pengantin putra dan pengantin putri, beberapa pasangan lain mengartikan upacara dhaup temanten merupakan proses bertemunya pengantin dan terfokus pada salah satu prosesi yang ada di dalamnya saja. Seperti yang diungkapkan oleh pasangan suami-istri Eli Yuswanto dan Eni Susanti berikut ini: “Dhaup temanten itu pas pengantin dipertemukan trus habis itu didoakan sama perjangganya itu lho. Dijapani neng ngarep lawang saya dulu.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016). Dari penjelasan dari pasangan Eli Yuswanto dan Eni Susanti diatas, yang disebut dengan upacara dhaup temanten yaitu sekedar pada prosesi dipertemukannya pengantin putra dan putri dan didoakan oleh pujangga. Hal serupa juga diungkapkan oleh pasangan Marjuki dan Fitri Wulansari serta pasangan Suhardi dan Titik Setyorini berikut ini: “Setahu saya upacara dhaup temanten itu dipertemukannya pengantin putra dan putri sebelum duduk berdua di kursi pengantin. Sewaktu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
dipertemukan itu, pengantin putra dan putri didoakan, istilahnya dijapani oleh perjangga.” (Wawancara dengan Fitri Wulansari, Kamis, 26 Mei 2016). “Dhaup temanten itu pada saat pengantin dipertemukan dan pengantin berdua didoakan oleh pujangga agar pernikahan mereka lancar.” (Wawancara dengan Suhardi, Senin, 30 Mei 2016). Beberapa pasangan lain memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud upacara dhaup temanten adalah pada saat pengantin putri melaksanakan prosesi mencuci kaki pengantin putra dengan air bunga. Beberapa pasangan tersebut yaitu Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani, Jarwanto dan Nela Ayu Puspitasari, serta Dani Kurniawan dan Agnista Ayu Fitriana yang mengungkapkan mengenai upacara dhaup temanten berikut ini: “Setahu saya mecuci kaki dengan bunga setaman.” (Wawancara dengan Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). “Kalau menurut saya, dhaup temanten itu pada saat saya mencuci kaki suami dengan air bunga.” (Wawancara dengan Jarwanto, Rabu, 11 Mei 2016). “Setahu kami, pada saat pengantin dipertemukan, sewaktu pengantin putri mencuci kaki pengantin putra.” (Wawancara dengan Agnista Ayu Fitriana, Sabtu, 21 Mei 2016). Sementara itu, beberapa pasangan dapat memberikan penjelasan mengenai upacara dhaup temanten dengan hampir lengkap. Seperti yang diungkapkan oleh pasangan Didit Setiyono dan Siti Nurjanah berikut ini: “Yang kami ketahui tentang dhaup temanten itu dipertemukannya pengantin putra dan putri dengan ada sesajen-sesajen sebelum kami duduk commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersama di pelaminan. Kalau kami dulu dipertemukannya di depan pintu.” (Wawancara dengan Siti Nurjanah, Senin, 25 April 2016). Dari penjelasan diatas, pasangan suami-istri tersebut mengetahui bahwa pada upacara dhaup temanten tidak terbatas hanya pada saat dipertemukan, akan tetapi terdapat sesajen-sesajen yang digunakan sebelum pada akhirnya mereka duduk bersama di pelaminan. Sesajen yang dimaksudkan yaitu berupa peralatan yang digunakan dalam prosesi-prosesi adat dalam upacara dhaup temanten. Sementara itu, pasangan Aldo Faridonal dan Mita Yofriana serta pasangan Slamet Hariyono dan Ida Nur Janah juga dapat menjelaskan mengenai upacara dhaup temanten walaupun kurang spesifik. Pasangan tersebut menjelaskan bahwa upacara dhaup temanten merupakan upacara adat pernikahan dimana pengantin putra dan putri dipertemukan oleh seorang pujangga dan pada saat itu pula semua hal diatur oleh pujangga. Seperti yang diungkapkan oleh kedua pasangan tersebut berikut ini: “Kalau menurut kami, dhaup temanten itu dipertemukannya sepasang pengantin oleh seseorang yang dituakan dan dianggap tua sebelum akhirnya duduk bersama di pelaminan.” (Wawancara dengan Aldo Faridonal, Senin, 25 April 2016). “Setahu saya, dhaup temanten itu pertemuan pengantin pada saat resepsi itu, sewaktu semua diatur oleh pujangga.” (Wawancara dengan Ida Nur Janah, Sabtu, 21 Mei 2016). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Dari penjelasan pasangan Aldo Faridonal dan Mita Yofriana dapat diketahui bahwa upacara dhaup temanten diartikan oleh masyarakat yang melaksanakannya sebagai proses dipertemukannya sepasang pengantin oleh seseorang yang dituakan sebelum duduk bersama di pelaminan. Seseorang yang dituakan yang dimaksud dalam hal ini adalah pujangga yang merupakan seseorang yang dianggap mempunyai peran penting dalam sebuah upacara perkawinan adat Jawa. Sedangkan berdasarkan penjelasan Slamet Hariyono dan Ida Nur Janah diketahui bahwa mereka mengartikan upacara dhaup temanten adalah pada saat pertemuan antara pengantin putra dan putri dimana terdapat prosesi-prosesi yang semuanya diatur oleh pujangga. Pasangan lain yaitu Eka Prasetianto dan Ika Riastuti menjelaskan mengenai upacara dhaup temanten secara lebih spesifik, yaitu bahwa upacara dhaup temanten tidak hanya sekedar pada saat pertemuan antara pasangan pengantin, namun juga pada saat melaksanakan prosesi-prosesi adat yang dipimpin oleh seorang pujangga, seperti ungkapan mereka berikut ini: “Menurut kami, upacara dhaup itu pada saat kami dipertemukan setelah pengantin laki-laki diserahkan kepada pihak perempuan. Pada saat dilakukan prosesi-prosesi yang dipimpin oleh pujangga itu.” (Wawancara dengan Eka Prasetianto, Jum’at, 6 Mei 2016). Tidak hanya itu saja, pasangan Miswanto dan Susanti, Gilang Widianto dan Sefti Wiri Febriana, Sambudi dan Siti Utami, serta Muhamad Irham dan Raminah juga dapat menjelaskan mengenai upacara dhaup temanten secara lebih spesifik dimana menurut pasangan tersebut dalam upacara dhaup commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
temanten dilaksanakan beberapa prosesi adat seperti yang diungkapkan berikut ini: “Kalau sesuai pengalaman yang kami lakukan sewaktu menikah, pertama istri duduk dulu di kursi pengantin, saya datang lalu dipasrahkan oleh keluarga, setelah itu kami dipertemukan, pas dipertemukan itu namanya dhaup. Kemudian saya melempar daun sirih, istri mengikuti melempar, setelah itu istri mencuci kaki saya dengan air kembang setaman, istri memutar 3 kali, berdiri diatas daun pisang dan didoakan pujangga lalu digendong Ibu ke kursi pengantin” (Wawancara dengan Miswanto, Sabtu, 14 Mei 2016). “Setahu saya upacara dhaup temanten itu ketika sepasang pengantin dipertemukan pada saat dilaksanakan resepsi dan melaksanakan beberapa prosesi adat Jawa, seperti menginjak telur, pengantin putri mencuci kaki pengantin putra, didoakan oleh pujangga, berdiri diatas daun pisang raja sampai akhirnya duduk di kursi pelaminan berdua.” (Wawancara dengan Gilang Widianto, Kamis, 26 Mei 2016). “Dhaup temanten itu sepengetahuan kami pada saat pengantin putra dan putri dipertemukan dan melaksanakan beberapa prosesi yang dipimpin oleh pujangga.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016). “Setahu saya, dhaup temanten itu upacara adat jawa yang dilaksanakan dalam pernikahan pada saat pengantin laki-laki dan perempuan dipertemukan dan melakukan beberapa prosesi adat yang diatur oleh pujangga.” (Wawancara dengan Raminah, Senin, 30 Mei 2016). Dari beberapa penjelasan dari pasangan suami-istri diatas diketahui bahwa beberapa pasangan suami-istri yang melaksanakan upacara dhaup temanten cenderung memahami definisi dari upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan secara lengkap dan spesifik. Upacara dhaup temanten atau upacara panggih merupakan salah satu upacara adat dalam perkawinan adat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Jawa dimana pengantin putra dan putri saling dipertemukan untuk melaksanakan beberapa prosesi adat. Beberapa jawaban dari informan diatas sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh tokoh adat yang juga menjadi informan dalam penelitian ini. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Siman: “Pengertian manten dhaup kui ana 2, sing siji nggambarake jaman ratu mbiyen, bahasane adicara wisudane ratu. Pengertian sing nomor loro, carane wong dusun, adicara dhaup e sri temanten, tegese pengantin kui dijejerke dipraktikne karo juru rias, dipraktekne kui maksude nglakoni opo perintahe juru rias. Enek kono mengko diwacakake karo pujangga. Wacane pujangga kui reno-reno, bedo-bedo. Nek aku, wacan kui dunungake wiwit dumadine si jabang bayi, sekalian sri temanten pas dino kui ketemu jodone, maksude meneh pas kui nurunane wiji sejati ben keturunane jangkep, ora kurang lan ora luwih, ojo nganti cacat. Dadi, dhaup temanten kui proses dipertemukannya pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan oleh seorang pujangga untuk didoakan dengan menggunakan beberapa prosesi adat, yang itu semua menggambarkan bahwa pengantin sudah bertemu jodohnya, untuk menurunkan wiji sejati, yaitu agar apabila sri temanten itu punya anak, mereka diberikan keturunan yang baik, tidak cacat dan tidak kurang dan lebih.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). Hal serupa juga disampaikan oleh KRT. Tino Hadinagoro sebagai seseorang yang berprofesi sebagai pranatacara atau dalang manten dalam upacara perkawinan adat Jawa: “Dhaup temanten atau juga sering disebut dengan upacara panggih yaitu bertemunya temanten putra dan putri untuk melaksanakan beberapa prosesi perkawinan secara adat.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016). Pengertian upacara dhaup temanten yang diungkapkan oleh kedua informan tersebut pada dasarnya sama dengan apa yang diungkapkan oleh commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Yosodipuro yang menyebutkan bahwa upacara dhaup yang lebih tertuju kepada pelaksanaan upacara panggih (Yosodipuro, 1996: 43) yang merupakan bertemunya sepasang pengantin putra dan putri untuk melaksanakan prosesi perkawinan secara adat (Purwadi dan Niken, 2007: 106). Walaupun beberapa informan dalam penelitian ini mengetahui dan dapat mengartikan upacara dhaup temanten, namun ada pula pasangan suamiistri yang kurang memahami apa itu upacara dhaup temanten dan hanya menjawab pertanyaan wawancara menurut apa yang mereka ketahui. Seperti jawaban dari pasangan Syahrudin Rudi Hartono dan Yayuk Widiastutik berikut ini: “Mempersatukan antara pengantin laki-laki dan perempuan, yang bukan muhrim menjadi muhrim.” (Wawancara dengan Yayuk Widiastutik, Rabu, 11 Mei 2016). Dari jawaban pasangan tersebut tidak terdapat kesesuaian dengan jawaban informan pembanding yang menyebutkan bahwa upacara dhaup temanten merupakan proses bertemunya pengantin putra dan putri untuk melaksanakan beberapa prosesi adat. Pada saat dilaksanakan upacara dhaup temanten, pengantin putra dan putri sudah sah menjadi sepasang suami-istri karena sebelumnya telah melaksanakan ijab atau akad nikah. Pasangan lain yang kurang memahami mengenai upacara dhaup temanten adalah pasangan Budyanto dan Susiamsih dimana pasangan suamiistri tersebut dalam memberikan penjelasan mengenai upacara dhaup temanten commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
terlalu luas. Hal tersebut diungkapkan oleh pasangan Budyanto dan Susiamsih sebagai berikut: “Pas menikah dimantu itu, foto-foto dengan keluarga dan teman-teman. Bertemu suami dan bersalaman, mencuci kaki dengan air bunga, didoakan oleh pujangga, duduk di pelaminan trus foto-foto dengan keluarga dan teman.” (Wawancara dengan Susiamsih, Sabtu, 14 Mei 2016). Dari penjelasan diatas diketahui bahwa menurut pasangan suami-istri Budyanto dan Susiamsih, semua kegiatan dalam upacara perkawinan adat Jawa merupakan upacara dhaup temanten, termasuk pada pengambilan dokumentasi foto dengan keluarga dan kerabat pengantin. Dalam pelaksanaan upacara dhaup temanten, peran seorang pranatacara atau pembawa acara atau dalang manten sangat dominan. Dialah yang memandu dan menjelaskan semua tindakan yang harus dilakukan oleh pengantin beserta makna yang terkandung dalam setiap prosesi yang ada. Semua yang terlibat dalam prosesi acara itu dikomando oleh seorang pranatacara tersebut. Seorang pranatacara harus menguasai dan mampu menjelaskan semua simbol yang ada secara rinci, baik bentuk, bahan, dan makna yang tersurat didalamnya. Dalam menjelaskan makna simbol itu, pranatacara biasanya menjelaskan dengan menggunakan Bahasa Jawa halus. Akan tetapi tetapi ada juga yang menjelaskan dengan Bahasa Indonesia yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Mbah Siman sebagai berikut: “Upacara dhaup temanten iku pertama dibuka MC. MC kui sing sering commit toSiuser dijenengke dalang manten. dalang manten kui pertama kali
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
membacakan pembukaan acara nerangake urut-urutane bakale prosesi upacara dhaup manten, dhaup e sri temanten.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). Sementara itu, pada saat informan disinggung mengenai alasan mengapa pasangan suami-istri yang merupakan informan dalam penelitian ini melaksanakan upacara dhaup temanten, pasangan suami-istri cenderung mengatakan bahwa mereka melaksanakan upacara dhaup temanten karena alasan melaksanakan adat yang ada di Jawa serta untuk melestarikan adat dan budaya Jawa. Sementara, sebagian kecil pasangan suami-istri mengaku bahwa mereka melaksanakan upacara dhaup temanten karena keinginan dari orang tua dan ingin pernikahan mereka diramaikan seperti orang Jawa yang menikah pada umumnya.
3.2 Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Bentuk Komunikasi Simbolik dalam Upacara Dhaup Temanten Bentuk komunikasi simbolik yang digunakan dalam upacara dhaup temanten pada masyarakat Jawa yaitu berupa gerak-gerik badan pasangan pengantin dalam melakukan suatu kegiatan dimana kegiatan tersebut mempunyai makna dan nilai-nilai tertentu yang telah disepakati oleh sekelompok orang. Di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten dirangkai dalam tata urutan prosesi upacara adat. Upacara perkawinan adat Jawa sendiri terdiri dari dua gaya yaitu gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Dalam perkawinan adat gaya Yogyakarta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten terdiri dari 9 (sembilan) tahapan atau prosesi, sedangkan dalam perkawinan adat gaya Surakarta, bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten terdiri dari 7 (tujuh) tahapan atau prosesi. Di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri dapat dipastikan semua pernikahan adat menggunakan gaya Surakarta. Namun, pada kenyataannya saat ini, tidak semua tahapan tersebut dilaksanakan. Hal ini terjadi karena zaman yang semakin berkembang dan adanya pergeseran pandangan masyarakat yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Siman berikut ini: “Dhaup temanten iku memang ada dua gaya, Yogyakarta dan Surakarta. Tapi, di Kecamatan Puhpelem, bisa dipastikan semua itu pakai gaya Surakarta. Mulai dari dandanan sampai tahapan yang dilalui. Tapi, karena wolak-walike jaman, ya tidak semua tahapan yang dulu ada dilakukan. Kabeh iku tergantung keadaan.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). Tahapan atau prosesi dalam upacara dhaup temanten yang sampai saat ini masih dilakukan di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri sendiri terdiri dari 8 (delapan) tahapan atau prosesi. Prosesi-prosesi tersebut yaitu saling melempar gantal, salaman dan sembah kalbu, wijikan, menginjak telur, pengantin putri mengitari atau berputar mengelilingi pengantin putra, berdiri diatas pasangan dan daun pisang raja, tangkep tangan dan didoakan oleh pujangga, dan sindur. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan pembanding yang merupakan pujangga yaitu Mbah Siman sebagai berikut: “Yang umumnya dilaksanakan itu urut-urutannya: pertama kedua pengantin melempar gantal, setelah itu berdiri di atas pasangan atau di atas daun pisang raja, sembahan, wijikan dan menginjak telur, pengantin putri berdiri dan memutari pengantin putra kemudian commit user berjajar, tangkep tangan dantodidoakan oleh pujangga, dan terakhir
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dituntun ke pelaminan atau sindur.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). Hal serupa juga disampaikan oleh pranatacara atau dalang manten di Kecamatan Puhpelem, KRT. Tino Hadinagoro. Menurutnya, terdapat 8 (delapan) tahapan dalam upacara dhaup temanten yang dimulai dari bertemunya pengantin dan saling melempar gantal sampai prosesi sindur, sebagai berikut: “Tahapan dalam upacara dhaup temanten adalah dimulai dari bertemunya temanten putri dan putra, ada bentuk prosesi mbalang gantal atau sirih yang dilinting dengan benang lawe, kemudian temanten putri menghormati kedatangan mempelai pria dengan cara sembah kalbu, kemudian mempelai putri membasuh kaki suaminya dengan air kembang 3 rupa (mawar, melati, dan kanthil), pengantin putra menginjak telur, lalu temanten putri berdiri berjalan mengitari temanten putra dan berdiri sejajar dan didoakan oleh seorang sesepuh atau pujangga, kemudian dituntun dengan kain sindur warna merah dan putih oleh ayah mempelai dan didudukkan di kursi pelaminan. Pada prosesi ini temanten berdiri di atas sehelai daun pisang raja dan ada pula yang memakai pasangan (alat untuk membajak sawah).” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016).
3.2.1
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Prosesi Melempar Gantal Prosesi melempar gantal dilakukan pada saat kedua calon mempelai dipertemukan dalam upacara dhaup temanten. Mereka saling melempar gantal dan diharapkan mengenai badan masing-masing calon temanten. Melempar gantal merupakan bentuk komunikasi simbolik pertama dari beberapa tahapan atau prosesi dalam upacara dhaup temanten di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan 25 (dua puluh lima) pasangan suami-istri yang commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melaksanakan upacara dhaup temanten pada saat pernikahannya, diketahui sebanyak 13 (tiga belas) pasangan yang melaksanakan prosesi saling melempar gantal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seiring dengan perkembangan zaman, tidak semua pasangan pengantin melaksanakan prosesi dalam upacara dhaup temanten secara utuh dan lengkap. Dari pasangan suami-istri yang melaksanakan prosesi saling melempar gantal, pasangan informan Didit Setiyono dan Siti Nurjanah, serta pasangan Dwi Yanto dan Yeni Ratriningsih mengetahui makna dari saling melempar gantal yaitu sebagai lambang kasih sayang antara pengantin putra dan putri. Seperti yang dikatakan berikut ini: “Sebenarnya kami sendiri juga tidak terlalu paham. Tapi dulu saat menikah juga ada penjelasan dari dalang manten. Sepengetahuan saya seperti yang selama ini saya dengar di acara pernikahan, saling melempar sirih itu katanya saling melempar salam selamat datang dan salam cinta, yang laki-laki ke yang perempuan, dan sebaliknya.” (Wawancara dengan Siti Nurjanah, Senin, 25 April 2016). “Saling melempar sirih itu kalau kata orang-orang lebih baik kalau kena di wajahnya supaya pengantin langgeng sampai kakek nenek, sebenarnya percaya tidak percaya sih tapi kami lakukan saja, kan itu sebagai doa juga. Kalau menurut penjelasan pembawa acaranya, melempar daun sirih itu sebagai lambang kasih sayang, yang satu melempar kasih sayang, maka satunya membalas melempar kasih sayang juga.” (Wawancara dengan Dwi Yanto, Selasa, 26 April 2014). Pasangan informan tersebut cenderung memahami makna dari saling melempar gantal dan dapat menjelaskan dengan baik karena pada saat dilaksanakan upacara dhaup temanten, pasangan tersebut to useryang lebih terhadap prosesi yang memberikan perhatiancommit (attention)
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mereka lakukan dan terhadap penjelasan yang diberikan oleh pranatacara atau dalang manten dalam pernikahan mereka. Selain pasangan diatas, pasangan lain yaitu pasangan Eka Prasetianto dan Ika Riastuti juga dapat menjelaskan bahwa saling melempar gantal merupakan simbol dari saling menyatakan kasih sayang. Sama seperti pasangan Didit Setiyono dan Siti Nurjanah serta pasangan Dwi Yanto dan Yeni Ratriningsih, pasangan Eka Prasetianto dan Ika Riastuti juga memberikan perhatian (attention) yang lebih terhadap setiap prosesi dan penjelasan yang diberikan pada saat upacara perkawinan mereka. Seperti yang diungkapkan berikut ini: “Pada saat menikah semua makna prosesi yang kami jalankan dijelaskan oleh pembawa acara, oleh dalang mantennya. Sepengetahuan saya yang saya ingat, saling melempar daun sirih itu sebagai lambang dari saling menyatakan kasih sayang.” (Wawancara dengan Ika Riastuti, Jum’at, 6 Mei 2016). Selain itu, pasangan Lis Diyanto dan Heny Susanti mempunyai persepsi sedemikian rupa mengenai makna dari prosesi saling melempar gantal. Seperti yang mereka ungkapkan berikut ini: “Sebagai awal pertemuan kami sebagai suami istri, sebagai tanda cinta katanya. Kalau maksud pastinya bagaimana saya tidak paham.” (Wawancara dengan Heny Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016). Melempar gantal sebagai salah satu simbol saling berbagi salam dan kasih sayang seperti yang diungkapkan beberapa pasangan suamiistri diatas sesuai dengan yang diungkapkan oleh kedua tokoh adat yang commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dijadikan informan dalam pnelitian ini yaitu Mbah Siman dan KRT. Tino Hadinagoro berikut ini: “Balang-balangan gantal itu sebenarnya kasarannya maksudnya adalah sama seperti salaman, saling berbagi salam. Kalau jaman dulu, balang-balangan gantal itu sebagai simbol pengasihan, artinya biar si pengantin saling mengenal, biar kalau awalnya tidak suka jadi suka. Tapi kalau jaman sekarang, yang namanya orang menikah itu pasti mereka senang, pasti sudah saling suka. Makanya, balangan gantal bisa diartikan kalau mereka sedang berbagi salam kenal sebagai pasangan suami istri yang baru memulai rumah tangga mereka.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Mbalang gantal sebagai ungkapan rasa sayang bertemunya sepasang kekasih, rasanya seperti rasa sirih yaitu rasa kasih atau berbicara kasih sayang. Sesuai nama gantal yaitu gondhang kasih dan gondhang tutur.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016). Berbeda dengan pasangan informan diatas yang mengetahui dan dapat menjelaskan makna dari prosesi melempar gantal, pasangan informan lain yang juga melaksanakan prosesi saling melempar gantal cenderung tidak mengetahui makna dari prosesi tersebut. Hal tersebut dikarenakan mereka hanya sekedar mengikuti prosesi atau tahapan dalam upacara dhaup temanten dan kurang memberikan perhatian kepada penjelasan mengenai makna dari masing-masing prosesi yang mereka laksanakan.
commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seperti yang diungkapkan oleh pasangan Eli Yuswanto dan Eni Susanti berikut ini: “Kalau maknanya masing-masing saya kurang tahu. Waktu itu saya mengikuti saja instruksi dari riasnya dan pujangganya.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016). Jawaban yang serupa diberikan oleh pasangan informan Sularno dan Heyasri, Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani, Jarwanto dan Nella Ayu Puspitasari, Miswanto dan Susanti, Agus Periyanto dan Etik Nurkayah, Slamet Hariyono dan Ida Nur Janah, Marjuki dan Fitri Wulansari, serta Sambudi dan Siti Utami, sebagai berikut: “Saya tidak paham, padahal juga orang Jawa dan melaksanakan tahapan itu tapi tidak tahu juga apa maknanya. Saya hanya mengikuti saja, disuruh ini ya ikut, disuruh itu ya ikut saja.” (Wawancara dengan Heyasri, Selasa, 26 April 2016). “Saya tidak tahu, saya disuruh melempar ya saya ikuti.” (Wawancara dengan Mamas Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). “Yang jelas, pasti itu mengandung maksud yang baik untuk pernikahan kami. Tapi kalau maknanya apa kami tidak tahu.” (Wawancara dengan Nella Ayu Puspitasari, Rabu, 11 Mei 2016). “Kalau maknanya apa kami kurang tahu, yang tahu itu pujangga dan dalang mantennya. Kalau saya pribadi, dulu tidak terlalu memperhatikan apa yang dijelaskan oleh dalang manten. Kata commit to user begitu, ya saya ikuti saja. Saya pujangganya persyaratannya
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sendiri merasa daya ingat saya kurang bagus, dan pada saat menikah tidak memperhatikan juga penjelasan dalang manten. Saya juga hanya mengikuti saja aba-aba dari rias.” (Wawancara dengan Miswanto, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak mengetahui maknanya, pada saat itu pujangganya memberi aba-aba untuk melempar sirih, ya saya lempar saja. Mungkin karena terlalu senang dan deg-degan karena menikah, ya jadi tidak terlalu memperhatikan dan hanya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak paham makna dari melempar sirih yang kami lakukan pada saat melaksanakan pernikahan.” (Wawancara dengan Ida Nur Janah, Sabtu, 21 Mei 2016). “Kami sendiri kurang mengetahui makna dari prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara dengan Fitri Wulansari, Kamis, 26 Mei 2016). “Saya tidak tahu bagaimana maknanya.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016).
Gambar 2. Prosesi melempar gantal pada upacara dhaup temanten. Dari hasil penelitian, diketahui sebagian besar pasangan suamiistri yang melaksanakan prosesi ini cenderung tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan karena to userterhadap prosesi yang mereka kurangnya perhatiancommit (attention)
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
laksanakan juga pada penjelasan dari pranatacara atau dalang manten saat dilaksanakannya upacara dhaup temanten. Selain karena kurangnya perhatian (attention), faktor suasana emosional, salah satunya suasana bahagia yang dialami oleh pasangan suami-istri yang melaksanakan upacara dhaup temanten juga mempengaruhi pasangan suami-istri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Faktor umur juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi sesuatu. Seperti yang diungkapkan oleh Nia Kania Kurniawati (2014: 17), semakin seseorang tumbuh dan memiliki banyak pengalaman, maka sudut pandang mereka pun berubah pada banyak hal. Dalam hubungannya dengan persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten, diketahui bahwa beberapa pasangan suamiistri yang menjadi informan dalam penelitian ini merupakan pasanganpasangan yang dapat dikatakan memiliki umur yang masih muda. Umur yang masih muda juga mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten sehingga berpengaruh kepada bagaimana cara mereka mempersepsi makna dari bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.2.2
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Prosesi Salaman dan Sembah Kalbu Pada saat setelah pengantin putra dan putri bertemu, pengantin putri duduk bersimpuh di bawah dan menyembah pengantin putra atau ada pula yang hanya bersalaman saja tanpa harus duduk bersimpuh di bawah. Dalam penelitian yang dilakukan peneliti kepada 25 (dua puluh lima) pasangan suami-istri yang melaksanakan upacara dhaup temanten pada saat perkawinan mereka, terdapat 22 (dua puluh dua) pasangan yang melaksanakan prosesi salaman dan sembah kalbu. Beberapa pasangan suami-istri yang melaksanakan prosesi salaman dan sembah kalbu dalam upacara dhaup temanten menyampaikan bahwa prosesi ini merupakan simbol tanda bakti dan tanda hormat seorang istri kepada suaminya. Salah satunya yaitu pasangan suami-istri Aldo Faridonal dan Mita Yofriana dimana dalam upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan terdapat prosesi salaman. Menurutnya salaman merupakan bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten sebagai tanda bakti istri kepada suaminya. Selain itu, pasangan lain yaitu Didit Setiyono dan Siti Nurjanah juga menyampaikan hal serupa yaitu: “Bersalaman dan pengantin putri mencium tangan suaminya itu sebagai salam selamat datang dan tanda hormat saya kepada suami. Seperti kalau suami mau berangkat dan pulang kerja kan disambut dengan cium tangan.” (Wawancara dengan Siti Nurjanah, Senin, 25 April 2016). commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut pasangan ini, bersalaman adalah simbol salam selamat datang juga sebagai tanda hormat istri kepada suaminya. Hal serupa juga disampaikan oleh Sularno dan Heyasri yang melaksanakan prosesi sembah kalbu pada upacara dhaup temanten yang telah mereka laksanakan, menurutnya sembah kalbu mempunyai makna dan harapan agar istri selalu patuh terhadap suaminya, seperti yang diungkapkan sebagai berikut: “Kalau menyembah pengantin laki-laki itu menurut saya agar istri selalu patuh pada suami.” (Wawancara dengan Heyasri, Selasa, 26 April 2016). Pasangan lain yang juga menyampaikan hal serupa yaitu pasangan yaitu sebagai berikut ini: “Kalau itu sebagai bentuk harapan agar istri patuh kepada suami sebagai kepala keluarga.” (Wawancara dengan Dwi Yanto, Selasa, 26 April 2016). “Menurut kami, menyembah sebagai bentuk bakti sang istri kepada suami, jadi ya sebagai tanda hormat sang istri kepada suaminya.” (Wawancara dengan Ika Riastuti, Jum’at, 6 Mei 2016). “Tanda bakti istri kepada suami. Suami datang jadi seperti biasanya disambut dengan bersalaman.” (Wawancara dengan Nella Ayu Puspitasari, Rabu, 11 Mei 2016).
commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Menurut saya itu mengandung makna bahwa saya sebagai istri harus menghormati suami saya.” (Wawancara dengan Heny Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016). “Menurut saya itu sebagai tanda penghormatan istri kepada suaminya.” (Wawancara dengan Pitriningsih, Sabtu, 14 Mei 2016). “Menyembah itu kan tanda patuh dan hormat, jadi mungkin itu sebagai tanda patuh dan hormat istri kepada suaminya.” (Wawancara dengan Agnista Ayu Fitriana, Sabtu, 21 Mei 2016). “Tapi kalau saya menyembah suami mungkin maknanya bahwa saya menghormati pasangan saya.” (Wawancara dengan Ida Nur Janah, Sabtu, 21 Mei 2016). “Kalau menurut sepengetahuan kami dari penjelasan pada saat menikah dulu, pengantin putri menyembah pengantin putra pada saat dipertemukan itu maknanya bahwa si pengantin putri itu menghormati suaminya. Menyembah itu sebagai lambang hormat kepada suami.” (Wawancara dengan Gilang Widianto, Kamis, 26 Mei 2016). “Bersalaman sebagai kewajiban menyambut suami yang datang, dan menyembah sebagai tanda hormat wanita kepada suaminya. Walaupun sebenarnya juga tidak perlu disembah, tapi adatnya begitu ya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Narto, Jum’at, 27 Mei 2016). “Menyembah suami itu sebagai tanda hormat dan tanda bakti istri kepada suaminya.” (Wawancara dengan Suhardi, Senin, 30 Mei 2016). Sama seperti pasangan sebelumnya, beberapa pasangan diatas menyebutkan bahwa salaman dan sembah kalbu merupakan simbol to user atau tanda hormat dancommit bakti dari sang istri kepada suaminya. Dengan
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melakukan prosesi salaman dan sembah kalbu diharapkan istri dapat patuh kepada suaminya. Pasangan Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani lebih lengkap dalam menyebutkan makna dari prosesi salaman dan sembah kalbu sebagai lambang kewajiban seorang istri kepada suaminya juga sebagai tanda hormat kepada suami. Menurutnya, selain sebagai simbol tanda hormat, bersalaman dengan mencium tangan suaminya merupakan sebuah kewajiban bagi seorang istri. Seperti yang mereka ungkapkan berikut ini: “Mungkin kewajiban istri kepada suami kalau bertemu ya bersalaman, cium tangan begitu. Kalau menyembah itu mungkin maknanya bahwa saya menghormati suami.” (Wawancara dengan Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). Persepsi hampir sama seperti pasangan Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani disampaikan pasangan Muhamad Irham dan Raminah yang mempunyai persepsi prosesi salaman sebagai sebuah kewajiban bagi seorang istri kepada suaminya. “Kalau bersalaman itu menurut saya sebuah kewajiban. Istri bersalaman dan mencium tangan suami itu merupakan sebuah kewajiban.” (Wawancara dengan Muhamad Irham, Senin, 30 Mei 2016). Pernyataan dari beberapa pasangan tersebut yang meyebutkan bahwa salaman dan sembah adalah bentuk komunikasi simbolik commitkalbu to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam upacara dhaup temanten sebagai simbol atau lambang tanda hormat pengantin putri sebagai seorang istri kepada suaminya sesuai dengan penjelasan dari Mbah Siman dan KRT. Tino Hadinagoro berikut ini: “Penganten putri menyembah itu maknanya bahwa pengantin putri itu menghormati suaminya.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Sembah kalbu sebagai ungkapan rasa hormat seorang istri kepada suaminya.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016).
Gambar 3. Prosesi sembah kalbu oleh pengantin putri. Disamping itu, hal yang berbeda disampaikan pasangan Budyanto dan Susiamsih yang memaknai prosesi salaman dan sembah kalbu sebagai tanda untuk menyambut kedatangan pengantin putra commit to user dalam upacara dhaup temanten.
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sementara itu, pasangan lain yang melaksanakan prosesi salaman dan sembah kalbu dalam upacara dhaup temanten dapat dikatakan tidak mengetahui makna dari prosesi yang telah mereka laksanakan. Seperti pasangan Eli Yuswanto dan Eni Susanti, Andik Lestiyanto dan Pariyem, Agus Periyanto dan Etik Nurkayah, Dwiky Adi Saputra dan Syaummy Ristiningtyas, Marjuki dan Fitri Wulansari, serta Sambudi dan Siti Utami yang mengungkapkannya sebagai berikut: “Kalau maknanya masing-masing saya kurang tahu. Waktu itu saya mengikuti saja instruksi dari riasnya dan pujangganya.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016). “Sebenarnya dulu waktu dhaup itu pembawa acaranya menjelaskan artinya, tapi kami mungkin kurang perhatian ke penjelasannya. Waktu itu malah suara MICnya mati. Kalau saya saking senangnya menikah sudah tidak memperhatikan seperti itu. Waduh, mboten mudeng Mbak. Pas dijelasin saya juga gak memperhatikan.” (Wawancara dengan Andik Lestiyanto, Senin, 25 April 2016). “Saya tidak mengetahui maknanya, pada saat itu pujangganya memberi aba-aba, saya disuruh duduk nyembah, saya tidak tahu maksudnya untuk apa. Mungkin karena terlalu senang dan degdegan karena menikah, ya jadi tidak terlalu memperhatikan dan hanya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak tahu apa maknanya, karena terlalu serius mengikuti pujangganya, mengikuti apa yang diperintahkan jadi saya juga tidak terlalu
memperhatikan
penjelasan
dari
dalang
mantennya.”
(Wawancara dengan Syaummy Ristiningtyas, Sabtu, 14 Mei 2016) commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kami sendiri kurang mengetahui makna dari prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara dengan Fitri Wulansari, Kamis, 26 Mei 2016). “Saya tidak tahu bagaimana maknanya.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016). Dari pernyataan beberapa pasangan suami-istri mengenai persepsi mereka terhadap prosesi salaman dan sembah kalbu, dapat diketahui bahwa beberapa pasangan suami-istri tersebut cenderung tidak mengetahui makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Sama seperti dengan prosesi melempar gantal, pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini cenderung tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi salaman dan sembah kalbu karena kurangnya perhatian (attention) terhadap prosesi yang mereka laksanakan juga pada penjelasana dari pranatacara atau dalang manten saat dilaksanakannya upacara dhaup temanten. Faktor suasana emosional juga mempengaruhi pasangan suami-istri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Faktor umur juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi sesuatu. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa beberapa pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini dapat dikatakan merupakan pasangan-pasangan muda dimana hal tersebut mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten dan akhirnya commit to user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpengaruh kepada bagaimana cara mereka mempersepsi bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
3.2.3
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Prosesi Wijikan Setelah pengantin putri melaksanakan prosesi sembah kalbu, pengantin putri kemudian mencuci kaki pengantin putra dengan air yang telah ditaburi dengan bunga tiga rupa yaitu bunga mawar, melati dan kanthil. Dalam penelitian yang telah dilaksanakan, diketahui dari 25 (dua puluh lima) pasangan suami-istri yang melaksanakan upacara dhaup temanten, sebanyak 24 (dua puluh empat) melaksanakan prosesi wijikan. Aldo Faridonal dan Mita Yofriana adalah satu-satunya pasangan yang tidak melaksanakan prosesi wijikan yaitu pengantin putri mencuci kaki pengantin putra dengan menggunakan air bunga karena pernikahan mereka yang menggunakan gaya islami. Beberapa pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini ada kesan mengetahui makna dari prosesi mencuci kaki dengan menggunakan air bunga sesuai dengan pernyataan dua informan yang merupakan tokoh adat di Kecamatan Puhpelem, yaitu pasangan Eka Prasetianto dan Ika Riastuti, Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani, serta Slamet Hariyono dan Ida Nur Janah yang mengungkapkan sebagai berikut: “Kalau untuk mencuci kaki, menurut yang saya pahami dari commit to user pada saat kami melaksanakan, penjelasan dalang manten
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mencuci kaki dengan air bunga untuk membersihkan hal-hal yang negatif, harapannya agar dalam pernikahan kami apapun yang kami lakukan dipikirkan terlebih dahulu dengan pikiran yang bersih, jauh dari hal negatif.” (Wawancara dengan Eka Prasetianto, Jum’at, 6 Mei 2016). “Kalau untuk mencuci kaki, saya juga tidak tahu. Kata orang tua sih buat menghilangkan semua hal yang tidak baik, agar pada saat berumah tangga semua bersih.” (Wawancara dengan Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). “Untuk mencuci kaki mungkin untuk membersihkan semua kotoran yang masih ada. Kotoran lahir dan batin.” (Wawancara dengan Slamet Hariyono, Sabtu, 21 Mei 2016). Pasangan suami-istri tersebut mempunyai persepsi bahwa prosesi wijikan sebagai salah satu prosesi dalam upacara dhaup temanten yang dilaksanakan dengan harapan untuk membersihkan halhal buruk yang negatif dan tidak baik agar dalam menjalani bahtera pernikahan semua hal yang akan dilakukan dipikirkan terlebih dahulu dengan pikiran yang bersih. Pasangan lain, yaitu Dwi Yanto dan Yeni Ratriningsih, Edi dan Pitriningsih, serta Gilang Widianto dan Sefti Wiri Febriana mengatakan hal serupa. Pasangan suami-istri tersebut mempersepsi prosesi wijikan sebagai salah satu simbol untuk membuang hal negatif juga sebagai tanda bahwa sebagai seorang istri, ia wajib untuk menjaga suaminya dari hal negatif agar tidak salah langkah. commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seperti
ungkapan
pasangan
suami-istri
tersebut
yang
mengatakan bahwa: “Setelah itu pengantin wanita mencuci kaki suami, kalau itu menurut kami itu lambang bahwa si istri percaya kepada suaminya. Selain itu sebagai lambang pembersihan diri. Walaupun istri sudah percaya kepada suaminya, tapi dia juga harus bersedia untuk membantu suami menghilangkan hal-hal yang tidak baik yang ada. Jadi, kalau nanti suami mulai menyimpang, istri yang wajib untuk meluruskan.” (Wawancara dengan Dwi Yanto, Selasa, 26 April 2016) “Kami sendiri tidak begitu paham, tapi menurut penjelasan dari yang ndalangi dulu, mencuci kaki itu untuk menghilangkan semua yang negatif-negatif. Sang istri berkewajiban untuk selalu menjaga suaminya agar tidak salah langkah.” (Wawancara dengan Edi, Sabtu, 14 Mei 2016). “Mencuci kaki pengantin putra dengan air bunga, kalau itu katanya untuk membuang hal-hal negatif, jadi si pengantin putri menghilangkan dan membersihkan hal-hal negatif yang ada pada pengantin putra.” (Wawancara dengan Gilang Widianto, Kamis, 26 Mei 2016). Beberapa persepsi dari pasangan suami-istri tersebut sesuai dengan seperti yang diungkapkan kedua informan yang merupakan tokoh adat di Kecamatan Puhpelem sebagai berikut: “Mencuci kaki pengantin putra dengan maksud agar dalam melaksanakan apapun pikiran-pikirannya bersih. Kalau di jaman ratu, itu tadi namanya sanuraka.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Mijiki atau membasuh kaki mempelai pria sebagai bentuk commit to user pembersihan diri dari segala kotoran lahir dan batin (sukerta).
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mempelai pria hadir dalam keadaan bersih tanpa beban baik lahir ataupun batiniyah.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016). Wijikan, sebagai bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten sebagai simbol atau lambang pembersihan diri yang mempunyai makna dan harapan untuk menghilangkan semua hal buruk atau hal negatif dalam diri sang pengantin agar dalam melaksanakan apapun dilakukan dengan pikiran yang jernih dan bersih.
Gambar 4. Prosesi pengantin putri mencuci kaki pengantin putra pada upacara dhaup temanten.
Prosesi wijikan atau prosesi pengantin putri mencuci kaki pengantin putra dengan menggunakan air bunga mempunyai makna dan harapan untuk menghilangkan semua hal buruk atau hal negatif dalam diri sang pengantin agar dalam melaksanakan apapun dilakukan dengan commit to user pikiran yang jernih dan bersih.
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasangan suami-istri Didit Setiyono dan Siti Nurjanah mempunyai pandangan berbeda mengenai makna dari prosesi wijikan. Menurut mereka, wijikan menjadi simbol dari bentuk penghormatan istri kepada suaminya, agar sang istri patuh kepada suaminya. Seperti pernyataan pasangan informan tersebut berikut ini: “Kalau duduk menyembah dan mencuci kaki pengantin putra itu maknanya kan suami sebagai calon pemimpin keluarga, jadi diharapkan pengantin wanita patuh kepada suaminya. Bentuk penghormatan istri kepada suami begitu.” (Wawancara dengan Didit Setiyono, Senin, 25 April 2016). Pasangan suami-istri Syahrudin Rudi Hartono dan Yayuk Widiastutik yang dalam pernikahannya menggunakan gaya islami namun tetap melaksanakan salah satu prosesi dalam upacara dhaup temanten yaitu prosesi wijikan juga mempunyai persepsi sendiri terkait makna dari prosesi wijikan. Menurut pasangan informan ini, wijikan sebagai bentuk hormat kepada suami yang merupakan surga bagi sang istri. Seperti yang diungkapkan sebagai berikut: “Ketika seorang anak perempuan sebelum menikah surganya di bawah telapak kaki seorang ibu, tapi setelah menikah surga seorang wanita itu di bawah telapak kaki suami, menurut saya begitu. Jadi saya harus menghormati suami saya sebagai kepala keluarga.” (Wawancara dengan Yayuk Widiastutik, Rabu, 11 Mei 2016). Sama seperti pasangan Syahrudin Rudi Hartono dan Yayuk Widiastutik, pasangan informan Sri Yatno dan Linda Puspita Sari juga mempunyai persepsi bahwa prosesi wijikan merupakan bentuk tanda bakti dan tanda hormat istri kepada suaminya. commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seperti yang diungkapan pasangan Sri Yatno dan Linda Puspita Sari berikut ini: “Mencuci kaki suami itu sebagai bentuk tanda bakti kepada suaminya, istri berkewajiban untuk menghormati suami, salah satunya dilambangkan dengan mencuci kaki itu.” (Wawancara dengan Sri Yatno, Senin, 30 Mei 2016). Sementara itu, pasangan lain yang melaksanakan prosesi wijikan dalam upacara dhaup temanten dapat dikatakan tidak mengetahui dan tidak bisa menjawab pertanyaan terkait makna dari prosesi wijikan. Seperti ungkapan beberapa pasangan berikut ini: “Kalau maknanya masing-masing saya kurang tahu. Waktu itu saya mengikuti saja instruksi dari riasnya dan pujangganya.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016). “Sebenarnya dulu waktu dhaup itu pembawa acaranya menjelaskan artinya, tapi kami mungkin kurang perhatian ke penjelasannya. Waktu itu malah suara MICnya mati. Kalau saya saking senangnya menikah sudah tidak memperhatikan seperti itu. Tapi saya juga tidak tahu maksudnya apa, pokoknya saya hanya mengikuti aba-aba saja.” (Wawancara dengan Andik Lestyanto, Senin, 25 April 2016). “Saya tidak paham, padahal juga orang Jawa dan melaksanakan tahapan itu tapi tidak tahu juga apa maknanya. Saya hanya mengikuti saja, disuruh ini ya ikut, disuruh itu ya ikut saja.” (Wawancara dengan Heyasri, Selasa, 26 April 2016). “Pada saat itu kami hanya mengikuti aba-aba dari perias dan perjangga saja. Kami tidak terlalu memperhatikan prosesi apa saja yang kami lakukan. Yang jelas, pasti itu mengandung commit topernikahan user maksud yang baik untuk kami. Tapi kalau maknanya
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apa kami tidak tahu.” (Wawancara dengan Jarwanto, Rabu, 11 Mei 2016). “Saya tidak tahu, saya hanya mengikuti saja dan tidak terlalu memperhatikan penjelasan yang diberikan.” (Wawancara dengan Susiamsih, Sabtu, 14 Mei 2016). “Kalau maknanya apa kami kurang tahu, yang tahu itu pujangga dan dalang mantennya. Kalau saya pribadi, dulu tidak terlalu memperhatikan apa yang dijelaskan oleh dalang manten. Kata pujangganya persyaratannya begitu, ya saya ikuti saja. Saya sendiri merasa daya ingat saya kurang bagus, dan pada saat menikah tidak memperhatikan juga penjelasan dalang manten. Saya juga hanya mengikuti saja aba-aba dari rias. Kami juga tidak memahami apa makna dari prosesi-prosesi itu.” (Wawancara dengan Miswanto, Sabtu, 14 Mei 2016). “Mencuci kaki juga saya tidak tahu maksudnya untuk apa. Mungkin karena terlalu senang dan deg-degan karena menikah, ya jadi tidak terlalu memperhatikan dan hanya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak tahu apa maknanya, karena terlalu serius mengikuti pujangganya, mengikuti apa yang diperintahkan jadi saya juga tidak terlalu
memperhatikan
penjelasan
dari
dalang
mantennya.”
(Wawancara dengan Syaummy Ristiningtyas, Sabtu, 14 Mei 2016). “Kalau itu saya tidak tahu. Saya hanya mengikuti aba-aba saja, tidak sempat untuk bertanya, dan juga tidak mendengarkan penjelasannya untuk apa.” (Wawancara dengan Heny Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016). “Selain itu tidak tahu, seperti yang telah saya katakan tadi kami commit to user pujangga. Tapi kami yakin pasti hanya mengikuti apa yang dikatakan
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semua maknanya baik, agar pernikahan kami baik-baik saja.” (Wawancara dengan Agnista Ayu Fitriana, Sabtu, 21 Mei 2016). “Kami sendiri kurang mengetahui makna dari prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara dengan Fitri Wulansari, Kamis, 26 Mei 2016). “Mungkin kami terlalu serius mengikuti sehingga kurang memperhatikan penjelasan dan kurang paham arti prosesi itu apa.” (Wawancara dengan Isna Ajeng Saputri, Jum’at, 27 Mei 2016). “Saya tidak tahu bagaimana maknanya.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016). “Kalau untuk makna kami kurang tahu, karena memang seperti yang saya katakan tadi kami hanya mengikuti adat Jawa yang memang sudah lama ada. Tapi kami sendiri juga kurang paham apa makna dari masing-masing prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara dengan Suhardi, Senin, 30 Mei 2016). “Kalau mencuci kaki dengan air bunga saya tidak tahu, adatnya begitu saya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Muhamad Irham, Senin, 30 Mei 2016). Sama seperti persepsi pasangan suami-istri terhadap makna dari bentuk komunikasi simbolik dalam prosesi dari upacara dhaup temanten sebelumnya, dari pernyataan beberapa pasangan suami-istri mengenai persepsi mereka terhadap prosesi wijikan, dapat diketahui bahwa pasangan suami-istri yang tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan karena kurangnya perhatian (attention) terhadap prosesi yang mereka laksanakan juga pada penjelasan dari pranatacara atau dalang manten saat commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilaksanakannya upacara dhaup temanten. Faktor suasana emosional juga mempengaruhi pasangan suami-istri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Faktor umur juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi sesuatu. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa beberapa pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini dapat dikatakan merupakan pasangan-pasangan muda dimana hal tersebut mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten dan akhirnya berpengaruh kepada bagaimana cara mereka mempersepsi bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
3.2.4
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Prosesi Menginjak Telur Pada upacara dhaup temanten, setelah pengantin putra dan putri bertemu, terdapat prosesi menginjak telur oleh pengantin putra dengan melepas alas kaki yang dipakai. Berdasarkan hasil wawancara dengan 25 (dua puluh lima) pasangan suami-istri yang menikah dengan menggunakan upacara dhaup temanten, ditemukan hanya 6 (enam) pasangan yang melaksanakan prosesi menginjak telur. Hal ini disebabkan karena arahan dari pujangga dan juru rias yang cenderung tidak menggunakan prosesi menginjak telur. commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasangan suami-istri Eka Prasetiyanto dan Ika Riastuti serta pasangan suami-istri Gilang Widianto dan Sefti Wiri Febriana mempunyai persepsi yang dapat dikatakan sesuai dengan pendapat dari informan pembanding. Kedua pasangan tersebut mengetahui dan dapat menjelaskan makna dari prosesi menginjak telur dalam upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan. Menurutnya, menginjak telur sebagai bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten sebagai simbol atau lambang kedewasaan seseorang dan sebagai harapan agar pasangan suami-istri tersebut segera diberikan keturunan. Seperti yang dijelaskan oleh kedua informan pasangan suami-istri yang mengatakan bahwa: “Menurut sepengetahuan kami, prosesi menginjak telur sampai pecah tersebut sebagai lambang dari kedewasaan seseorang. Setelah menikah kami diharapkan menjadi pribadi yang dewasa.” (Wawancara dengan Eka Prasetianto, Jum’at, 6 Mei 2016). “Kalau menurut sepengetahuan kami dari penjelasan pada saat menikah dulu, kalau menginjak telur seingat saya agar cepat mempunyai keturunan.” (Wawancara dengan Sefti Wiri Febriana, Kamis, 26 Mei 2016). Sesuai dengan penjelasan dari tokoh adat di Kecamatan Puhpelem, telur diibaratkan sebagai simbol kedewasaan seseorang. Menginjak telur sebagai bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten mempunyai makna bahwa kedua pengantin sudah commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pecah kedewasaannya, yang berarti bahwa kedua pengantin sama-sama telah menginjak dewasa. Dalam Bahasa Jawa, telur yang telah pecah sering disebut sebagai pecahing wiji sejati, yang berarti pecahnya benih sejati yaitu kedewasaan seseorang tersebut. Seperti yang diungkapkan berikut ini: “Menginjak telur berarti memecahkan wiji sejati, yang berarti kedua pengantin sudah menginjak dewasa.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Menginjak telur mempunyai makna bahwa mempelai berdua sudah pecar pamore, pecah pamore itu berarti mereka berdua telah menginjak dewasa dan prosesi ini juga sering disebut dengan pecahing wiji sejati.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016).
Gambar 5. Prosesi menginjak telur dalam upacara dhaup temanten. commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 6. Pengantin putri memegang kaki pengantin putra setelah prosesi menginjak telur dalam upacara dhaup temanten. Selain kedua pasangan suami-istri tersebut, pasangan suamiistri yang melaksanakan prosesi menginjak telur dalam upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan dapat dikatakan tidak mengetahui dan tidak dapat menjelaskan makna dari prosesi tersebut. Seperti yang diungkapkan berikut ini: “Kalau menginjak telur dan memutari pengantin laki-laki kami kurang tahu apa makna dari simbol itu.” (Wawancara dengan Yeni Ratriningsih, Selasa, 26 April 2016). “Saya juga tidak tahu. Pada saat pernikahan, saking senangnya saya tidak memperhatikan penjelasannya.” (Wawancara dengan Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). “Kalau maknanya apa kami kurang tahu, yang tahu itu pujangga dan dalang mantennya. Kalau saya pribadi, dulu tidak terlalu memperhatikan apa yang dijelaskan oleh dalang manten. Kata pujangganya persyaratannya begitu, ya saya ikuti saja. Saya sendiri merasa daya ingat saya kurang bagus, dan pada saat menikah tidak memperhatikan juga penjelasan dalang manten. Saya juga hanya mengikuti saja aba-aba dari rias. Kami juga commit to user
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak memahami apa makna dari prosesi-prosesi itu.” (Wawancara dengan Miswanto, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak mengetahui maknanya, pada saat itu pujangganya memberi aba-aba. Mungkin karena terlalu senang dan deg-degan karena menikah, ya jadi tidak terlalu memperhatikan dan hanya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). Seperti yang telah dijelaskan oleh informan pembanding yaitu pujangga di Kecamatan Puhpelem, memang saat ini di Kecamatan Puhpelem tidak semua prosesi adat yang ada dilaksanakan oleh pengantin yang menikah dengan menggunakan upacara dhaup temanten karena semua disesuaikan dengan keadaan saat ini oleh juru rias dan pujangga yang telah ditunjuk oleh keluarga pengantin. Sama seperti dalam mempersepsi bentuk komunikasi simbolik sebelumnya yang telah dibahas, dapat diketahui bahwa pasangan suami-istri yang cenderung tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan karena kurangnya perhatian (attention) terhadap prosesi yang mereka laksanakan juga pada penjelasan dari pranatacara atau dalang manten saat dilaksanakannya upacara
dhaup
temanten.
Faktor
suasana
emosional
juga
mempengaruhi pasangan suami-istri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Faktor umur juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi to useroleh Nia Kania Kurniawati (2014: sesuatu. Seperti yang commit diungkapkan
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
17), semakin seseorang tumbuh dan memiliki banyak pengalaman, maka sudut pandang mereka pun berubah pada banyak hal. Dalam hubungannya dengan persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten, diketahui bahwa pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini dapat dikatakan merupakan pasangan-pasangan muda yang mempunyai umur masih muda. Sehingga faktor umur yang masih muda tersebut yang akhirnya juga mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten. Hal tersebut cenderung berpengaruh kepada bagaimana cara mereka mempersepsi bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
3.2.5
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Prosesi Pengantin Putri Mengitari atau Berputar Mengelilingi Pengantin Putra Setelah selesai prosesi menginjak telur, pengantin wanita berdiri dan berjalan mengitari atau berputar mengelilingi pengantin putra. Pada prosesi ini, ada yang mengitari pengantin putra sebanyak satu kali, tiga kali, atau bahkan tujuh kali. Dari 25 (dua puluh lima) pasangan suami-istri yang menikah dengan menggunakan upacara dhaup temanten, diketahui sebanyak 15 (lima belas) pasangan melaksanakan prosesi tersebut. Beberapa pasangan mengetahui dan dapat memberikan penjelasan terkait dengan commit to user prosesi ini seperti yang dijelaskan oleh kedua informan pembanding.
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Salah satunya yaitu pasangan Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani yang mengetahui dan dapat menjelaskan makna dari prosesi tersebut, walaupun pada saat menjawab pertanyaan mengenai makna dari beberapa bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten tidak terlalu serius, seperti yang mereka ungkapkan sebagai berikut: “Memutari mengelilingi suami tiga kali, nguger bojone (memagari suaminya), agar suami tidak macam-macam.” (Wawancara dengan Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). Pasangan lain yang juga dapat dikatakan mengetahui dan dapat menjelaskan mengenai makna dari prosesi pengantin putri mengitari atau berputar mengelilingi pengantin putra yaitu pasangan Edi dan Pitriningsih serta Gilang Widianto dan Sefti Wiri Febriana yang menjelaskan bahwa prosesi pengantin putri mengitari atau berputar mengelilingi pengantin putra mengandung makna bahwa pengantin putri memagari pengantin putra agar tidak salah langkah dan tidak melakukan perbuatan yang negatif. Seperti yang diungkapkan kedua pasangan tersebut berikut ini: “Kalau itu saya lupa, tapi mungkin untuk memagari suami agar tidak bertindak yang salah, salah langkah itu tadi. Kalau masalah berapa kalinya saya lihat berbeda-beda, tergantung pujangganya. Saya pernah melihat ada yang diputari sampai 7 (tujuh) kali juga.” (Wawancara dengan Pitriningsih, Sabtu, 14 Mei 2016).
commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kalau itu untuk memagari pengantin putra agar tidak melakukan perbuatan yang negatif.” (Wawancara dengan Sefti Wiri Febriana, Kamis, 26 Mei 2016). Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap pasangan suami-istri yang melaksanakan prosesi ini diketahui ada yang mengitari pasangannya sebanyak satu kali atau tiga kali dan semua ditentukan oleh pujangga dalam upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan. Beberapa pasangan suami-istri tersebut menyebutkan prosesi ini sebagai simbol atau lambang bahwa istri mempunyai kewajiban untuk memagari dan menjaga suaminya agar tidak melakukan tindakan yang tidak baik dan dilarang. Hal tersebut sesuai seperti yang diungkapkan oleh kedua tokoh adat di Kecamatan Puhpelem berikut ini: “Pengantin putri berdiri dan berputar mengelilingi pengantin putra sebelum kemudian berjajar, mempunyai makna bahwa si pengantin wanita ini memagari suaminya agar tidak pergi untuk melakukan tindakan yang tidak baik. Si pengantin wanita sebagai seorang istri menjaga suaminya dari tindakan yang tidak baik. Seenarnya itu juga sebagai cara agar pengantin wanita pada saat akan berdiri berdampingan dengan pengantin pria tidak langsung lewat di depan pengantin pria, kalau berputar dulu jadi lewat belakang.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Mempelai wanita mengitari temanten putra sebagai ungkapan memagari calon suaminya untuk tidak keluar melakukan tindakan yang salah, agar terjaga baik dalam bertindak dan bertutur kata.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016). commit to user
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berbeda dengan beberapa informan diatas, pasangan Didit Setiyono dan Siti Nurjanah mempunyai pendapat sendiri terkait makna dari prosesi pengantin putri mengitari atau berputar mengelilingi pengantin putra yaitu bahwa agar istri dapat menempatkan diri dan tidak melangkah sendiri tanpa seizin suami, seperti yang diungkapkan berikut ini: “Kalau berputar mengelilingi pengantin putra, mungkin maksudnya apa saja yang dilakukan oleh istri, istri harus bisa menempatkan diri, semua harus melewati suami terlebih dahulu, harus meminta izin kepada suami dan tidak melangkah sendiri tanpa seizin suami.” (Wawancara dengan Didit Setiyono, Senin, 25 April 2016). Pasangan suami-istri lain yang melaksanakan prosesi tersebut cenderung tidak mengetahui makna dari prosesi pengantin putri mengitari atau berputar mengelilingi pengantin putra. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa pasangan berikut ini: “Kalau maknanya masing-masing saya kurang tahu. Waktu itu saya mengikuti saja instruksi dari riasnya dan pujangganya.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016). “Sebenarnya dulu waktu dhaup itu pembawa acaranya menjelaskan artinya, tapi kami mungkin kurang perhatian ke penjelasannya. Waktu itu malah suara MICnya mati. Kalau saya saking senangnya menikah sudah tidak memperhatikan seperti itu. Tapi saya juga tidak tahu maksudnya apa, pokoknya saya hanya mengikuti aba-aba saja.” (Wawancara dengan Andik Lestyanto, Senin, 25 April 2016). “Saya tidak paham, padahal juga orang Jawa dan melaksanakan tahapan itu tapi tidak tahu juga apa maknanya. Saya hanya mengikuti commit to user
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
saja, disuruh ini ya ikut, disuruh itu ya ikut saja.” (Wawancara dengan Heyasri, Selasa, 26 April 2016). “Kalau menginjak telur dan memutari pengantin laki-laki kami kurang tahu apa makna dari simbol itu.” (Wawancara dengan Yeni Ratriningisih, Selasa, 26 April 2016). “Kalau maknanya apa kami kurang tahu, yang tahu itu pujangga dan dalang mantennya. Kalau saya pribadi, dulu tidak terlalu memperhatikan apa yang dijelaskan oleh dalang manten. Kata pujangganya persyaratannya begitu, ya saya ikuti saja. Saya sendiri merasa daya ingat saya kurang bagus, dan pada saat menikah tidak memperhatikan juga penjelasan dalang manten. Saya juga hanya mengikuti saja aba-aba dari rias. Kami juga tidak memahami apa makna dari prosesi-prosesi itu.” (Wawancara dengan Miswanto, Sabtu, 14 Mei 2016). “Sama seperti jawaban saya sebelumnya, saya juga tidak tahu apa maknanya karena memang hanya mengikuti aba-aba saja.” (Wawancara dengan Heny Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016) “Selain itu tidak tahu, seperti yang telah saya katakan tadi kami hanya mengikuti apa yang dikatakan pujangga. Tapi kami yakin pasti semua maknanya baik, agar pernikahan kami baik-baik saja.” (Wawancara dengan Agnista Ayu Fitriana, Sabtu, 21 Mei 2016). “Kami sendiri kurang mengetahui makna dari prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara Fitri Wulansari, Kamis, 26 Mei 2016). “Saya tidak tahu itu maksudnya bagaimana.” (Wawancara dengan Isna Ajeng Saputri, Jum’at, 27 Mei 2016). “Saya tidak tahu bagaimana maknanya.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016). commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kalau untuk makna kami kurang tahu, karena memang seperti yang saya katakana tadi kami hanya mengikuti adat Jawa yang memang sudah lama ada. Tapi kami sendiri juga kurang paham apa makna dari masing-masing prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara dengan Suhardi, Senin, 30 Mei 2016). Dari ungkapan pasangan suami-istri tersebut diketahui bahwa beberapa pasangan suami-istri yang melaksanakan prosesi tersebut cenderung tidak mengetahui makna dari prosesi yang telah mereka lakukan. Banyak dari mereka hanya sekedar melaksanakan apa yang diperintahkan oleh pujangga pada saat pesta pernikahannya. Sehingga sama seperti dalam bentuk komunikasi simbolik yang lain, dapat dikatakan bahwa pasangan suami-istri yang tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan karena kurangnya perhatian (attention) terhadap prosesi yang mereka laksanakan juga pada penjelasana dari pranatacara atau dalang manten saat dilaksanakannya upacara dhaup temanten. Faktor suasana emosional juga mempengaruhi pasangan suamiistri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Selain hal tersebut, faktor umur juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi sesuatu. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini merupakan pasangan-pasangan muda sehingga faktor umur tersebut yang akhirnya juga mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten sehingga berpengaruh kepada commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bagaimana cara mereka mempersepsi bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
3.2.6
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Prosesi Berdiri diatas Pasangan dan Daun Pisang Raja Dalam upacara dhaup temanten, terdapat salah satu prosesi dimana pengantin putra dan putri berdiri diatas daun pisang raja dan/ atau di atas pasangan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pada prosesi ini pengantin putra dan putri ada yang berdiri di atas pasangan yang beralaskan daun pisang raja atau hanya berdiri diatas daun pisang raja saja. Pasangan merupakan kayu yang digunakan sapi untuk membajak sawah. Dari 25 (dua puluh lima) pasangan suami-istri yang menikah dengan menggunakan upacara dhaup temanten, sebagian besar melaksanakan prosesi ini. Dari penelitian yang telah dilaksanakan, dalam upacara dhaup temanten saat ini di Kecamatan Puhpelem, ada pujangga yang masih menggunakan pasangan dan daun pisang raja lengkap, namun ada pula yang hanya menggunakan daun pisang raja saja. Pasangan Gilang Widianto dan Sefti Wiri Febriana merupakan satu-satunya pasangan yang mengetahui dan memahami makna dari penggunaan daun pisang raja dalam upacara dhaup temanten. Menurutnya, berdiri di atas daun pisang raja merupakan lambang atau commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
simbol pengharapan agar pasangan pengantin dapat bertingkah laku seperti raja yang baik. Seperti yang mereka ungkapkan berikut ini: “Untuk berdiri di atas daun pisang raja itu harapan agar kami berdua dapat bertingkah laku seperti raja yang baik.” (Wawancara dengan Gilang Widianto, Kamis, 26 Mei 2016). Persepsi pasangan tersebut sesuai dengan pernyataan tokoh adat bahwa daun pisang adalah sebagai lambang raja dan ratu. Diharapkan pasangan pengantin dapat meniru sifat raja yang baik, bijaksana, adil dan bertanggung jawab. Seperti yang dijelaskan berikut ini: “Digunakan daun pisang raja, karena dari awal dhaup temanten itu dimaknai sebagai wisuda seorang raja dan ratu, jadi biar pasangan pengantin itu mempunyai sifat seperti ratu.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Daun pisang raja mempunyai makna agar mempelai berdua mempunyai sifat-sifat seperti raja yang bijaksana, adil, wibawa, suka menolong sesama, dan lain-lain.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016). Sedangkan berdiri di atas pasangan mempunyai makna bahwa agar setelah menikah pasangan pengantin siap melaksanakan kewajiban mereka dan agar menjadi pasangan yang selalu berdampingan. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh adat berikut ini: “Kalau jaman dulu hampir semua upacara dhaup temanten pengantinnya berdiri di atas pasangan, maknanya biar setelah menjadi pasangan hidup, mereka siap bekerja melaksanakan commit to user kewajiban mereka, agar semua usaha mereka dan kehidupan
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mereka selalu lancar. Agar pada saat rumah tangga semua dipikir bersama, tidak berat sebelah.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Pasangan bermakna semoga mereka menjadi pasangan selamanya selalu akur dan selalu berdampingan.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016).
Gambar 7. Prosesi pengantin putra dan putri berdiri diatas pasangan yang beralaskan daun pisang raja. Selain pasangan Gilang Widianto dan Sefti Wiri Febriana, tidak ada pasangan suami-istri yang mengetahui dan memahami makna dari prosesi berdiri di atas pasangan dan daun pisang raja. Beberapa pasangan tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi ini karena
hanya
sekedar
mengikuti
dan
melaksanakan
tanpa
mendengarkan penjelasan mengenai makna dari prosesi ini. Seperti commit to user yang diungkapkan beberapa pasangan berikut ini:
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kalau maknanya masing-masing saya kurang tahu. Waktu itu saya mengikuti saja instruksi dari riasnya dan pujangganya.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016). “Sebenarnya dulu waktu dhaup itu pembawa acaranya menjelaskan artinya, tapi kami mungkin kurang perhatian ke penjelasannya. Waktu itu malah suara MICnya mati. Kalau saya saking senangnya menikah sudah tidak memperhatikan seperti itu. Tapi saya juga tidak tahu maksudnya apa, pokoknya saya hanya mengikuti aba-aba saja.” (Wawancara dengan Andik Lestyanto, Senin, 25 April 2016). “Kalau untuk berdiri diatas daun pisang dan didoakan, mungkin saja kami didoakan agar pernikahan kami langgeng. Tapi kenapa berdiri diatas daun pisang kami juga tidak tahu maknanya apa.” (Wawancara dengan Miswanto, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak mengetahui maknanya, pada saat itu pujangganya memberi aba-aba. Mungkin karena terlalu senang dan deg-degan karena menikah, ya jadi tidak terlalu memperhatikan dan hanya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). “Mungkin kami terlalu serius mengikuti sehingga kurang memperhatikan penjelasan dan kurang paham arti prosesi itu apa.” (Wawancara dengan Isna Ajeng Saputri, Jum’at, 27 Mei 2016). “Saya tidak tahu bagaimana maknanya.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016). Berdiri diatas pasangan dan daun pisang raja pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan prosesi tangkep tangan dan didoakan commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh pujangga, karena pada saat tangkep tangan dan didoakan oleh pujangga itulah pasangan pengantin berdiri diatas pasangan dan daun pisang raja. Sebagian pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini pada saat diberikan pertanyaan mengenai makna dari prosesi tersebut cenderung hanya menjawab mengenai makna dari prosesi tangkep tangan dan didoakan oleh pujangga tanpa mengetahui mengapa mereka berdiri diatas pasangan dan daun pisang raja. Sama halnya dengan yang telah dibahas sebelumnya, dari pernyataan pasangan suami-istri tersebut, dapat diketahui bahwa pasangan suami-istri cenderung tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan karena kurangnya perhatian (attention) terhadap prosesi yang mereka laksanakan juga pada penjelasana dari pranatacara atau dalang manten saat dilaksanakannya upacara dhaup temanten. Faktor suasana emosional juga mempengaruhi pasangan suamiistri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Selain factor tersebut, umur juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi sesuatu. Seperti yang diungkapkan oleh Nia Kania Kurniawati (2014: 17), semakin seseorang tumbuh dan memiliki banyak pengalaman, maka sudut pandang mereka pun berubah pada banyak hal. Dalam hubungannya dengan persepsi pasangan suami-istri terhadap bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten, diketahui bahwa pasangan commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini merupakan pasangan-pasangan muda yang akhirnya juga mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten. Hal tersebut berpengaruh kepada bagaimana cara mereka mempersepsi bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
3.2.7
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Prosesi Tangkep Tangan dan Didoakan oleh Pujangga Tangkep tangan atau tangan kedua mempelai dipertemukan oleh seorang sesepuh/ pujangga dilaksanakan untuk kemudian didoakan oleh sesepuh tersebut. Seperti yang telah dibahas pada bentuk komunikasi simbolik sebelumnya, pada prosesi tangkep tangan dan didoakan oleh pujangga, pasangan pengantin juga sekaligus melaksanakan prosesi berdiri diatas pasangan dan daun pisang raja. Dari 23 (dua puluh tiga) pasangan suami-istri yang melaksanakan prosesi tangkep tangan dan didoakan oleh pujangga ini, beberapa dapat menjelaskan mengenai makna dari prosesi ini sesuai dengan pendapat dari informan pembanding. Beberapa pasangan suami-istri yang merupakan informan dalam penelitian ini dapat menjelaskan makna dari prosesi ini yaitu sebagai tanda bahwa mereka sebagai pasangan suami-istri telah menjadi satu dan didoakan oleh pujangga agar dalam pernikahannya commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
langgeng, bahagia, dan agar diberi keturunan. Sepeerti yang diungkapkan beberapa pasangan suami-istri berikut ini: “Menurut saya tangan kami digabungkan sebagai tanda bahwa kami sudah menjadi satu, menjadi sepasang suami istri kemudian didoakan agar pernikahan kami langgeng.” (Wawancara dengan Didit Setiyono, Senin, 25 April 2016). “Kalau untuk tangan disatukan dan didoakan oleh pujangga maknanya kami sudah menjadi satu dalam suatu ikatan suami istri, sudah terikat dalam sebuah pernikahan dan didoakan agar pernikahan kami bahagia dan segera diberikan keturunan.” (Wawancara dengan Yeni Ratriningsih, Selasa, 26 April 2016). “Tangan disatukan itu sebagai lambang bahwa setelah adanya pernikahan tersebut kami berdua sudah menjadi satu, dan didoakan itu agar pernikahan kami langgeng, awet sampai kakek nenek, dan diberikan keturunan yang baik agar pernikahan kami lengkap.” (Wawancara dengan Eka Prasetianto, Jum’at, 6 Mei 2016). “Kalau itu mungkin agar hubungan kami raket (lengket) seperti tangan yang disatukan itu, tidak akan ada perpisahan dan halangan yang berarti, juga langgeng. Saya percaya doa dari pujangga itu doa yang baik.” (Wawancara dengan Heny Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016). “Menurut penjelasan, tangan disatukan itu berarti kami telah menjadi satu, dan didoakan oleh pujangga agar pernikahan kami lancar langgeng dan segera diberi momongan. Sewaktu didoakan kan kami juga tidak mendengar apa doanya. Tapi katanya doa pujangga dalam pernikahan itu baik.” (Wawancara dengan Edi, Sabtu, 14 Mei 2016). “Mungkin agar kami selalu bersama dan tidak terpisah. Jadi saat didoakan tangannya disatukan.” (Wawancara dengan Slamet Hariyono, Sabtu, 21 Mei 2016). commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kalau disatukan itu sebagai tanda bahwa kami berdua telah menjadi satu dan didoakan agar rumah tangga kami langgeng, selalu menjadi satu, tidak terlepas.” (Wawancara dengan Gilang Widianto, Kamis, 26 Mei 2016). Selain beberapa pasangan diatas, pasangan lain hanya menjelaskan mengenai makna dari didoakan oleh pujangga tanpa mengetahui makna dari prosesi tangkep tangan yang mereka lakukan. Jawaban pasangan suami-istri terkait makna dari didoakan oleh pujangga sebagian besar adalah sama yaitu didoakan untuk kebaikan dari pernikahan mereka. Seperti yang diungkapkan beberapa pasangan berikut ini: “Saat berdiri diatas daun pisang dan didoakan oleh pujangga, kami didoakan agar pernikahan kami lancar, rumah tangga kami langgeng, bisa sakinah, mawadah dan warahmah.” (Wawancara dengan Aldo Faridonal dan Mita Yofriana, Senin, 25 April 2016). “Kalau berdiri diatas daun pisang raja dan didoakan itu maknanya mungkin agar suami istri selalu rukun.” (Wawancara dengan Heyasri, Selasa, 26 April 2016). “Iya, tangan kami disatukan, dipegang perjangga lalu didoakan. Ya di doakan biar pernikahannya langgeng.” (Wawancara dengan Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). “Kalau untuk berdiri diatas daun pisang dan didoakan, mungkin saja kami didoakan agar pernikahan kami langgeng. Tapi kenapa berdiri commit to user
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diatas daun pisang kami juga tidak tahu maknanya apa.” (Wawancara dengan Miswanto, Sabtu, 14 Mei 2016). “Didoakan agar pernikahan sakinah, mawadah dan warahmah.” (Wawancara dengan Titik Setyorini, Senin, 30 Mei 2016). “Kalau didoakan pujangga, seperti yang saya sampaikan doa pujangga itu dipercaya baik, agar pernikahan kami sakinah, mawadah, warahmah.” (Wawancara dengan Linda Puspita Sari, Senin, 30 Mei 2016). “Didoakan oleh pujangga pastinya didoakan yang baik-baik. Agar dalam menjalani pernikahan tidak ada halangan.” (Wawancara dengan Raminah, Senin, 30 Mei 2016). Tangkep tangan atau tangan kedua mempelai disatukan adalah sebagai lambang bahwa mereka berdua telah menjadi satu, yaitu sepasang suami-istri dan tidak mudah untuk dipisahkan. Pada saat tangan kedua pengantin ditangkepkan tersebut, sesepuh/ pujangga kemudian mendoakan sang pengantin. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Siman berikut ini: “Pengantin melaksanakan tangkep tangan dan didoakan oleh pujangga. Pada saat itu perjangga menurunkan wiji sejati, mendoakan pasangan pengantin agar langgeng dan calon keturunan dari pengantin yang di dhaupkan itu agar baik. Selain itu pujangga menceritakan pada saat pengantin masih dengan orang tuanya. Sang pujangga mengingatkan kepada pasangan pengantin bahwa kehidupan mereka sebeluumnya adalah bersama orang tuanya.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). commit to user
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal serupa juga disampaikan KRT. Tino Hadinagoro berikut ini: “Tangan kedua mempelai ditumpuk zig-zag atau bergantian (tangkep tangan) oleh sesepuh didoakan agar tangannya tidak mudah berpisah, selalu rukun, damai dan langgeng dalam berumah tangga. Selain itu, tangan mempelai ditumpuk disatukan mempunyai makna bahwa kedua mempelai telah menjadi satu dalam ikatan suami-istri.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016).
Gambar 8. Prosesi didoakan oleh sesepuh/ pujangga (dalam Bahasa Jawa: perjangga) saat berdiri di atas pasangan. Selain itu, pasangan Eli Yuswanto dan Eni Susanti walaupun mengatakan bahwa mereka tidak memahami makna dari masingmasing bentuk komunikasi simbolik yang mereka laksanakan, namun mereka mengetahui bahwa pada saat dilaksanakan upacara dhaup temanten mereka didoakan. Seperti yang mereka ungkapkan berikut: “Kalau maknanya masing-masing saya kurang tahu. Waktu itu saya mengikuti saja instruksi dari riasnya dan pujangganya. Mungkin pas dhaup itu kami didoakan biar pernikahannya langgeng, lancar, dan jalannya lurus.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016).
commit to user
119 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasangan suami-istri lain yang juga melaksanakan prosesi tangkep tangan dan didoakan oleh pujangga dalam upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Sama seperti yang telah dibahas pada prosesi-prosesi sebelumnya, beberapa pasangan tidak mengetahui makna dari bentuk komunikasi simbolik yang sedang dibahas karena mereka hanya sekedar melaksanakan dan mengikuti perintah dari pujangga dan juru rias dalam pernikahan mereka. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa pasangan berikut ini: “Sebenarnya dulu waktu dhaup itu pembawa acaranya menjelaskan artinya, tapi kami mungkin kurang perhatian ke penjelasannya. Waktu itu malah suara MICnya mati. Kalau saya saking senangnya menikah sudah tidak memperhatikan seperti itu. Tapi saya juga tidak tahu maksudnya apa, pokoknya saya hanya mengikuti aba-aba saja.” (Wawancara dengan Andik Lestiyanto, Senin, 25 April 2016). “Saya tidak mengetahui maknanya, pada saat itu pujangganya memberi aba-aba. Mungkin karena terlalu senang dan deg-degan karena menikah, ya jadi tidak terlalu memperhatikan dan hanya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak tahu apa maknanya, karena terlalu serius mengikuti pujangganya, mengikuti apa yang diperintahkan jadi saya juga tidak terlalu
memperhatikan
penjelasan
dari
dalang
mantennya.”
(Wawancara dengan Syaummy Ristiningtyas, Sabtu, 14 Mei 2016). commit to user
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Selain itu tidak tahu, seperti yang telah saya katakan tadi kami hanya mengikuti apa yang dikatakan pujangga. Tapi kami yakin pasti semua maknanya baik, agar pernikahan kami baik-baik saja.” (Wawancara dengan Agnista Ayu Fitriana, Sabtu, 21 Mei 2016). “Kami sendiri kurang mengetahui makna dari prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara dengan Fitri Wulansari, Kamis, 26 Mei 2016). “Kami tidak tahu karena hanya mengikuti saja apa yang diperintahkan. Mungkin kami terlalu serius mengikuti sehingga tidak mendengarkan penjelasan tentang arti prosesi itu apa.” (Wawancara dengan Isna Ajeng Saputri, Jum’at, 27 Mei 2016). “Saya tidak tahu bagaimana maknanya.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016). Tidak berbeda dengan yang telah dibahas sebelumnya, dari pernyataan pasangan suami-istri tersebut, dapat diketahui bahwa pasangan suami-istri yang tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan karena kurangnya perhatian (attention) terhadap prosesi yang mereka laksanakan juga pada penjelasana dari pranatacara atau dalang manten saat dilaksanakannya upacara dhaup temanten. Faktor suasana emosional juga mempengaruhi pasangan suami-istri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Selain hal tersebut, faktor umur juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi sesuatu. Dari hasil commit to user
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penelitian, diketahui bahwa pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini merupakan pasangan-pasangan muda sehingga faktor umur tersebut yang akhirnya juga mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten sehingga berpengaruh kepada bagaimana cara mereka mempersepsi bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
3.2.8
Persepsi Pasangan Suami-Istri terhadap Sindur Pada prosesi ini, pengantin putra dan putri diarak atau dituntun oleh ayah pengantin putri dengan menggunakan kain warna merah dan putih yang disebut sindur menuju ke pelaminan dan diikuti oleh ibu pengantin putri dibelakangnya juga oleh kedua orang tua temanten putra untuk melanjutkan upacara adat selanjutnya. Prosesi sindur merupakan bentuk komunikasi simbolik terakhir dalam upacara dhaup temanten. Diketahui dari 21 (dua puluh satu) pasangan suami-istri yang dalam upacara dhaup temanten yang mereka laksanakan menggunakan prosesi sindur, beberapa pasangan suamiistri mempunyai persepsi yang serupa terkait dengan makna dari prosesi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh pasangan Aldo Faridonal dan Mita Yofriana, pasangan Sularno dan Heyasri serta pasangan Narto dan Isna Ajeng Saputri berikut ini: commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Kalau itu kami kurang tahu, tapi mungkin kami dituntun ke jalan yang baik oleh Bapak, agar tidak salah jalan.” (Wawancara dengan Aldo Faridonal, Senin, 25 April 2016). “Mungkin orang tua, yaitu bapak menuntun agar anak dan menantunya tidak salah arah. Setahu saya begitu.” (Wawancara dengan Sularno, Selasa, 26 April 2016). “Sewaktu dituntun itu kan berdua, mungkin harapan orang tua agar kami selalu berjalan di jalan yang lurus dan selalu berdua.” (Wawancara dengan Narto, Jum’at, 27 Mei 2016). Dari pernyataan pasangan suami-istri tersebut dapat dikatakan bahwa walaupun mereka menyampaikan dengan ragu-ragu, namun dalam mempersepsi mengenai makna dari bentuk komunikasi simbolik ini cenderung benar dan sesuai dengan makna yang disampaikan oleh kedua informan pembanding. Pasangan lain yang juga mengungkapkan hal demikian yaitu pasangan Didit Setiyono dan Siti Nur Janah, Eka Prasetianto dan Ika Riastuti, Lis Diyanto dan Heny Susanti, Edi dan Pitriningsih, Slamet Hariyono dan Ida Nur Janah, Gilang Widianto dan Sefti Wiri Febriana, serta Suhardi dan Titik Setyorini yang mempunyai pandangan bahwa prosesi sindur merupakan lambang atau simbol kecintaan serta tanggung jawab orang tua kepada anaknya yang mempunyai makna bahwa sang ayah menuntun mereka ke jalan yang lurus, yang benar dan commit to user
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sang ibu menlindunginya dari belakang. Seperti yang diungkapkan beberapa pasangan tersebut berikut ini: “Menurut kami maknanya walaupun sudah menjadi sepasang suami istri, tetapi masih dalam tanggung jawab orang tua untuk menunjukkan jalan yang benar kepada anaknya.” (Wawancara dengan Didit Setiyono, Senin, 25 April 2016). “Itu sebagai lambang bahwa walaupun kami sudah menikah dan berkeluarga sendiri, namun orang tua masih tetap menunjukkan kasih sayangnya dengan menuntun ke jalan yang lurus. Orang tua menuntun kami ke pelaminan ya sebagai lambang mereka menunjukkan kami ke jalan yang lurus.” (Wawancara dengan Eka Prasetianto, Jum’at, 6 Mei 2016). “Dituntun bapak menggunakan kain merah putih menurut saya, kami dituntun oleh Bapak ke jalan yang lurus.” (Wawancara dengan Heny Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016). “Menurut kami, hal itu sebagai tanda cinta orang tua kepada anak dan mantunya, walaupun kami sudah berkeluarga Bapak masih mau menuntun ke jalan yang benar dan Ibu mengikuti dan melindungi dari belakang. Karena pada saat dituntun Bapak di depan seperti menggendong dan Ibu mengikuti di belakang.” (Wawancara dengan Pitriningsih, Sabtu, 14 Mei 2016). “Seingat saya itu sebagai lambang kasih sayang orang tua yang masih mau menuntun anak dan mantunya ke jalan yang benar.” (Wawancara dengan Slamet Hariyono, Sabtu, 21 Mei 2016). “Dituntun agar tidak salah arah dan selalu berada di jalan yang benar bersama-sama, seperti yang digambarkan dalam prosesi itu. Dituntun agar tidak salah arah dan selalu berada di jalan yang benar bersama-sama, seperti yang digambarkan dalam prosesi itu.” (Wawancara dengan Gilang Widianto, Kamis, 26 Mei 2016). commit to user
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Dituntun ke arah yang benar menurut kami.” (Wawancara dengan Titik Setyorini, Senin, 30 Mei 2016). Pandangan yang sedikit berbeda namun masih cenderung sesuai dengan pernyataan dari informan pembanding disampaikan oleh pasangan Dwi Yanto dan Yeni Ratriningsih berikut ini: “Lalu untuk dituntun menggunakan kain menurut kami agar walaupun kami sudah berkeluarga tapi tetap patuh kepada orang tua dan mertua, karena merekalah yang telah menuntun kami.” (Wawancara dengan Dwi Yanto, Selasa, 26 April 2016). Pasangan ini mempunyai pandangan bahwa prosesi sindur mempunyai makna agar sang anak di kemudian hari selalu patuh kepada orang tuanya walaupun sudah mempunyai keluarga sendiri karena orang tualah yang telah menuntun mereka. Jika biasanya dalan prosesi sindur, yang bertugas menuntun anaknya adalah sang ayah, nanmun hal ini berbeda pada pasangan Miswanto dan Susanti. Menurut pernyataan mereka, pada saat melaksanakan upacara dhaup temanten yang menuntun mereka dalam prosesi sindur adalah sang ibu. Hal ini dikarenakan sang ayah yang sudah tiada sehingga digantikan oleh sang ibu. Seperti pernyataan mereka berikut ini: “Biasanya juga yang menggendong ke kursi pengantin itu Bapak pengantin wanita, tapi mungkin karena Bapak sudah tidak ada jadi digantikan oleh Ibu. Menurut saya, itu merupakan kewajiban bagi orang tua untuk menuntun dan menunjukkan jalan yang benar, kebetulan yang ada ibu, jadi yang menuntun commit to user ibu.” (Wawancara dengan Susanti, Sabtu, 14 Mei 2016).
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Beberapa pasangan tersebut mempunyai persepsi terkait prosesi sindur yang mempunyai makna bahwa orang tua, yaitu ayah dan ibu menuntun anaknya ke jalan yang benar dalam perjalanan rumah tangganya. Seperti yang diungkapkan oleh kedua informan yang merupakan tokoh adat di Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri sebagai berikut: “Dan terakhir sindur, prosesi ini menandakan cinta kasih orang tua kepada anaknya dan mennantunya, selain itu sindur juga bermakna bahwa orang tua membantu untuk menuntun anak dan menantunya ke kehidupan selanjutnya pada jalan yang benar, agar dalam rumah tangganya selalu melewati jalan yang benar.” (Wawancara dengan Mbah Siman, Pujangga di Kecamatan Puhpelem, Sabtu, 23 April 2016). “Dituntun dengan sindur warna merah dan putih, kedua mempelai dituntun oleh sang ayah dan ditunjukkan ke jalan kebenaran. Jalan kenenaran yang dimaksudkan adalah diharapkan mempelai berdua berani bertindak karena benar, dan takut karena salah.” (Wawancara dengan KRT. Tino Hadinagoro, Sabtu, 21 Mei 2016).
Gambar 9. Prosesi sindur ayah pengantin putri menuntun pengantin menuju pelaminan dengan menggunakan kain sindur. commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 10. Prosesi sindur ayah pengantin putri menuntun pengantin menuju pelaminan dengan menggunakan kain sindur. Pandangan lain yang berbeda disampaikan oleh pasangan Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani berikut ini: “Nanti ucul (lepas) kalau jalan sendiri-sendiri, makanya dituntun oleh Bapak.” (Wawancara dengan Ani Kusuma Wardhani, Rabu, 11 Mei 2016). Dalam menjawab pertanyaan terkait makna dari bentuk komunikasi simbolik terakhir dalam upacara dhaup temanten yaitu prosesi sindur, pasangan Mamas Tri Mariyanto dan Ani Kusuma Wardhani dalam menjawab pertanyaan dirasa kurang serius. Menurut mereka apabila tidak dituntun oleh sang ayah pada saat prosesi sindur dan mereka dibiarkan berjalan sendiri, mereka bisa terlepas dan tidak satu jalan ke arah pelaminan. Pasangan lain yang melaksanakan prosesi sindur dalam upacara dhaup temanten yang juga tidak mengetahui dan memahami makna dari commit to user
127 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
prosesi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa pasangan berikut ini: “Kalau maknanya masing-masing saya kurang tahu. Waktu itu saya mengikuti saja instruksi dari riasnya dan pujangganya.” (Wawancara dengan Eni Susanti, Senin, 25 April 2016). “Sebenarnya dulu waktu dhaup itu pembawa acaranya menjelaskan artinya, tapi kami mungkin kurang perhatian ke penjelasannya. Waktu itu malah suara MICnya mati. Kalau saya saking senangnya menikah sudah tidak memperhatikan seperti itu. Tapi saya juga tidak tahu maksudnya apa, pokoknya saya hanya mengikuti aba-aba saja.” (Wawancara dengan Andik Lestyanto, Senin, 25 April 2016). “Dituntun dengan kain, saya tidak tahu maknanya apa.” (Wawancara dengan Nella Ayu Puspitasari, Rabu, 11 Meii 2016). “Saya tidak mengetahui maknanya, pada saat itu pujangganya memberi aba-aba. Mungkin karena terlalu senang dan deg-degan karena menikah, ya jadi tidak terlalu memperhatikan dan hanya mengikuti saja.” (Wawancara dengan Etik Nurkayah, Sabtu, 14 Mei 2016). “Saya tidak tahu apa maknanya, karena terlalu serius mengikuti pujangganya, mengikuti apa yang diperintahkan jadi saya juga tidak terlalu
memperhatikan
penjelasan
dari
dalang
mantennya.”
(Wawancara dengan Syaummy Ristiningtyas, Sabtu, 14 Mei 2016). “Selain itu tidak tahu, seperti yang telah saya katakan tadi kami hanya mengikuti apa yang dikatakan pujangga. Tapi kami yakin pasti commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semua maknanya baik, agar pernikahan kami baik-baik saja.” (Wawancara dengan Agnista Ayu Fitriana, Sabtu, 21 Mei 2016). “Kami sendiri kurang mengetahui makna dari prosesi yang kami lakukan.” (Wawancara dengan Fitri Wulansari, Kamis, 26 Mei 2016). “Saya tidak tahu bagaimana maknanya.” (Wawancara dengan Siti Utami, Jum’at, 27 Mei 2016). Dari penjelasan beberapa pasangan suami-istri diatas dapat diketahui bahwa jawaban mereka tidak berbeda dengan jawaban mereka pada prosesi-prosesi sebelumnya. Sebagian bedar dari mereka tidak mengetahui mengenai makna dari bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten karena pada saat melaksanakan mereka hanya sekedar mengikuti aba-aba dari pujangga dan juru rias saja. Sehingga, dari pernyataan pasangan suami-istri tersebut, dapat diketahui bahwa pasangan suami-istri yang tidak mengetahui dan memahami makna dari prosesi yang mereka laksanakan karena kurangnya perhatian (attention) terhadap prosesi yang mereka laksanakan juga pada penjelasana dari pranatacara atau dalang manten saat dilaksanakannya upacara dhaup temanten. Faktor suasana emosional juga mempengaruhi pasangan suami-istri tersebut dalam mempersepsi makna dari prosesi yang mereka laksanakan. Umur juga menjadi faktor yang mempengaruhi seseorang dalam mempersepsi sesuatu. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, pasangan suami-istri yang menjadi informan dalam penelitian ini cederung merupakan commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pasangan-pasangan muda yang mempunyai umur masih muda. Sehingga faktor tersebut mempengaruhi perhatian (attention) dan juga suasana emosional mereka pada saat pelaksanaan upacara dhaup temanten
dan
berpengaruh
kepada
bagaimana
cara
mereka
mempersepsi bentuk komunikasi simbolik dalam upacara dhaup temanten.
commit to user