BAB III PIDANA DENDA SEBAGAI ALTERNATIF PIDANA PERAMPASAN KEMERDEKAAN JANGKA PENDEK D. Permasalahan Penerapan Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek di Indonesia. Menurut Bardanawawi Arief banyak kritikan ditujukan terhadap pidanana penjara. Secara garis besar, kritik tersebut terdiri dari kritik yang moderat dan kritik yang ekstrem. Kritik moderat pada intinya masih mempertahankan pidana penjara namun penggunaannya dibatasi, sedangkan kritik yang ekstrim menghendaki penghapusan pidana penjara. 104 Gerakan penghapusan pidana penjara (prison abolition) ini terlihat dengan adanya
International
Confrence
On
Prison
abolition
(ICOPA)
yang
diselenggarakan pertama kali pada bulan Mei 1983 di Toronto Kanada, yang ke-2 pada tanggal 24-27 Juni 1985 di Amsterdam dan yang ke-3 pada tahun 1987 di Montreal, Kanada. Pada konfrensi ke-3 ini istilah “prison aboltion” telah diubah menjadi “penal abolition”. Khusus mengenai pidana penjara pendek Kongres ke-2 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” tahun 1960 di London menyatakatan antara lain : 105 “ Kongres mengakui bahwa dalam banyak hal pidana penjara pendek mungkin berbahaya, yaitu si pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberikan kesempatan menjadi pelatihan yang konstruktif, dan oleh karena itu penggunaannya secara luas tidak dikehendaki. Namun 104 105
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., hal. 33. Ibid, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
demikian, kongres mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara pendek mungkin diperlukan dilihat dari tujuan keadilan; Kongres menyadari bahwa dalam prakteknya penghapusan menyeluruh pidana penjara pendek tidaklah mungkin; pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya; Pengurangan berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti/alternatif (pidana bersyarat, pengawasan/probation, denda, pekerjaan di luar lembaga dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan); Dalam hal pidana penjara pendek tidak dapat dihindarim pelaksanaannya harus terpisah/tersendiri dari yang dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama, dan pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka (open institution).” Sementara itu menurut Wolf Middendorf, mengemukakan bahwa : 106 “ Pidana pendek (misal 6 (enam) bulan ke bawah) tidak mempunyai reputasi yang baik, tetapi pada umumnya diyakini lebih baik dan tidak dapat dihindari. Penggunaan pidana pendek seharusnya dikenakan untuk “white collar crime” dimana sering pidana denda tidak mempunyai pengaruh. Selain itu, Napi (narapidaa) pidana pendek harus dipisahkan dari napi pidana lama. Napi pidana pendek seharusnya dikirim ke “open camp” di mana mereka diperkerjakan untuk kepentingan masyarakat.” Sementara itu menurut Tongat, mengemukakan bahwa : 107 “Pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak disukai baik atas pertimbangan kemanusian, pertimbangan fisiofis pemidanaan maupun pertimbangan ekonomis.” Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan 108 semakin tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif
106
Wolf middendorf dalam Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., Hal. 35. 107 Tongat, Pidana Kerja Sosial dalam Hukum Pidana di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002, hal. 4. 108 Pidana perampasan kemerdekaan yang dimaksud adalah pidana yang merampas dan / atau membatasi kemerdekaan seseorang narapidana. Termasuk dalam jenis pidana perampasan kemerdekaan antara lain pidana penjara, pidana tutupan dan pidana kurungan.
Universitas Sumatera Utara
yang tidak kecil tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. Beberapa dampak negatif
pidana perampasan kemerdekaan terhadap
narapidana menurut C.I. Harsono, antara lain :
109
a. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadan atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Loos of Personality). b. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang nyaman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya (Loos of Security). c. Dengan dikenal pidana jelas kemerdekaan indidualnya termpas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan (Loss of Liberity). d. Dengan menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan , narapidana dapat merasakan kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Loos of Personal Commonication). e. Selama di dalam Lembaga pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Loos of Good and Service). f. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih saying dan kerinduan pada keluarga (Loos of Heterosexual). g. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari pertugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya (Los of Prestige). h. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan akan rasa percaya diri (Loos of Belief). i. Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena perasaan tertekan dapa kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan-gagasannya dan imajinasinya (Loos of Creatifity). Sementara itu
dari segi filosofis pemidanaan, telah
terjadinya
transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dari konsep retribusi ke arah konsepsi reformasi ikut 109
C.I. Harsono, Sistem baru Pembinaan narapidana, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
mendorong munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi. Pada tataran konseptual ini, patut kiranya dicatat, bahwa dewasa ini konsep pemidanaan yang hanya berorientasi pada pembalasan (punishment to punishment) telah ditinggalkan. Konsep baru yang dianut adalah konsep pembinaan (treatment philosophy). 110 Terjadinya pergeseran falsafah pemidanaan di atas secara simultan telah menjadi dasar pemikiran yang sangat berharga dalam upaya mencari altenatif pidana perampasan kemerdekaan. Selain atas dua pertimbangan mendasar di atas, dari segi perrtimbangan ekonomis, kecenderungan untuk selau mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan juga bertolak dari kenyataan, bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat besar. Berasarnya biaya tersebut antara lain biaya hidup narapidana seperti makan, pakaian dan sebagainya yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif besar. Pertimbangan ekonomis di atas semakin mengedepan dan menjadi dilema oleh karena adanya berbagai kritikan terhadap berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kehidupan narapidana di Lembaga Pemasyrakatan. Upaya untuk meningkatkan biaya hidup narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, misalnya, seringkali dipahami secara tidak adil. Sering terlontar pendapat yang menyatakan dengan memberikan fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan sama artinya dengan membantu para penjahat, sementara orang di luar Lembaga
110
Tongat, Op. Cit., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
Pemasyarakatan seringkali harus berjuang dengan membanting tulang dan memeras keringat hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. 111 Dari kebijakan pembentuk undang-undang untuk lebih senang menentukan pidana penjara daripada pidana lain mengakibatkan sistem peradilan pidana di hilir menampung lebih banyak narapidana yang dijatuhi pidana penjara. Hebert L. Packer menyatakan bahwa hukum pidana selau dilihat antara dua hal. Di satu sisi ada pandangan bahwa secara moral hukuman tidak dipergunakan lagi sebagai pembenaran. Di sisi lain, ada pandangan bahwa tujuan proses kriminal hanya patut untuk perlindungan masyarakat dari perilaku antisosial. 112 Jika pidana penjara diperlukan untuk perlindugan maasyarakat dari perilaku antisosial, maka penggunaanya perlu dibatasi dalam rangka mengurangi kritik-kritik terhadap pidana penjara. Pembatasan terhadap pidana penjara merupakan kritik yang moderat dalam arti pidana penjara masih diperlukan, namun dengan tetap memperhatikan strafmaat dan strafsoort. Strafmodus, dilihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara, apakah sistem pembinaan oleh lembaga berjalan sesuai dengan harapan. Strafmaat, dilihat dari sudut lamanya pidana penjara , terutama penggunaan pidana penjara singkat (pendek), sedangkan strafsoort ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai jenis pidana, yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitatif dan selektif. 113 Penjara yang
111
Ibid, hal. 7. Suhariyono, Op. Cit., hal. 320. 113 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 84-85. 112
Universitas Sumatera Utara
dilakukan secara limitatif dan selektif harus memperhatikan strafmodus, strafmaat, dan strafsoort di atas. Secara normatif , sistem pemasyarakatan sangat ideal dalam rangka pembinaan warga binaan(narapidana), namun dalam pelaksanaannya masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa setelah lebih dari tiga puluh tahun konsepsi pemasyarakatan terpidana penjara dicanangkan, masih belum ada juga evaluasi yang secara objektif ingin melihat seberapa jauh konsepsi tersebut telah terelaksana secara nyata. 114 Sebagai dipahami mengenai sistem pemasyarakatan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah menggariskan bahwa pemenjaraan tidak ditujukan untuk membuat seorang narapidana merasakan pembalasan akibat perbuatan jahat yang telah dia lakukan. Sistem pemasyarakatan dikembangkan dengan maksud agar terpidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam lingkungan
masyarakat,
berperan aktif dalam
pembangunan, dan hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. 115 Studi awal penerapan konsep pemasyrakatan oleh Tim Peneliti MAPPI FHUI, KRHN dan LBH Jakarta memberikan gambaran bahwa upaya pembinaan yang dilakukan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) tampaknya tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan saat ini masih belum didukung dengan perasarana dan sarana yang memadai sehingga 114
Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan, Buku Kelima, Op.Cit., hal. 39 115 Suhariyono AR, Op. Cit, hal 318.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan berbagai permasalahan. Pada umumnya permasalahan timbul karena adanya pengabaian terhadap asas-asas pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Tim peneliti mengemukakan lebih lanjut bahwa permasalahan yang sering mengemuka adalah tidak adanya persamaan perlakukan kepada warga binaan pemasyarakatan, seringkali terjadi pungli, adanya kesulitan warga binaan pemasyarakatan untuk bertemu dengan pihak keluarganya, adanya kesan bahwa Lapas merupakan ajang sekolah bagi pengembangan kemampuan kriminalitas seseorang, minimnya standar pelayanan kesehatan yang diberikan, dan masih banyak permasalahan lain yang harus diperhatikan untuk segera dibenahi. Berbagai permasalahan yang timbul merupakan imbas dari kurangnya perhatian negara dan masyarakat terhadap Lapas. Kurangnya anggaran dan sistem perencanaan menambahkan kompleksnya permasalahan Lapas. Di
sisi
lain,
kecenderungan
pembentuk
undang-undang
untuk
memenjarakan pelaku tindak pidana dengan melakukan kriminalisasi atau ancaman pidana penjara yang tinggi terhadap perbuatan tertentu mengarahkan pengadilan untuk memenjarakan pelaku sehingga pada bagian hilir, yakni Lapas, penuh dan sesak dengan warga binaan masyarakat. Hal inilah yang mengakibatkan petugas pemasyarakatan cenderung menyalahgunakan kekuasaan terhadap warga binaan pemasyarakatan berupa perlakuan diskriminatif dan KKN. Selain kecenderungan pembentuk undang-undang untuk memenjarakan pelaku tindak pidana, pembentuk undang-undang juga belum mempunyai patokan yang baku dalam menentukan ringan dan beratnya pidana penajara. Barda nawawi Arief berpendapat bahwa dalam kebijakan legislasi selama ini tidak pernah
Universitas Sumatera Utara
dirumuskan suatu pedoman atau kriteria penjatuhan pidana penjara. Dengan perkataan lain, tidak ada pola penerapan pidana (straftoemetingpatroon) atau motivasi pemidanaan yang cukup rasional untuk menjatuhkan pidana penjara. Data di bawah ini (dalam bentuk tabel) diperoleh pada tanggal 7 April 2008 pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang menunjukkan bahwa unit pelaksanaan teknis (UPT) Lapas pada setiap Ibukota Provinsi atau Ibukota kabupaten/kota yang berpenduduk relatif padat, kapasitas Lapas tidak sebanding dengan penghuni narapidana. Di provinsi Sumatera Utara, dari 32 kota (1 kota provinsi dan 32 kabupaten/kota) hanya 7 UPT Lapas sudah melebihi kapasitas, misalnya, di Medan ada 3 lapas yakni Lapas Dewasa, Lapas Anak dan Lapas Wanita semuanya kelebihan narapidana. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dari 20 UPT Lapas, 8 diantranya sudah melebihi kapasitas, misalnya, Lapas Lhok Seumawe, Lapas Langsa, Lapas Meulaboh dan Lapas Kutacane. Di provinsi Sumatera Selatan, dari 16 UPT Lapas, 11 diantaranya melebihi kapasitas. 116 Dalam Tabel di bawah ini yakni untuk Daerah Khusus Ibukota dan Provinsi Jawa Barat dapat dijadikan perhatian dalam kerangka pemenuhan sistem pemasyarakatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Tabel 16 Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan DKI Jakarta117
1 2 3
Lapas Cipinang Lapas Narkotika Jakarta Rutan Terbuka Jakarta 116 117
DKI JAKARTA I 1.580 II A 1.084 II B 50
3.790 1.480 24
OVER OVER
Ibid, hal. 321. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4 5 6 7
Rutan Jakarta Pusat Rutan Jakarta Timur Rutan Cipinang Rutan Jakarta Pusat
I II A
850 504
3.174 1.416
OVER OVER
Tabel 17 Lapas/Rutan Jawa Barat 118 Jawa Barat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Lapas Sukamiskin Lp. Narkotika Bandung (Banceuy) Lapas Bogor Lapas Subang Lapas Cirebon Lapas Kuningan Lapas Karawang Lapas Bekasi Lapas Narkotika Cirebon Lapas Sukabumi Lapas Cianjur Lapas Sumedang Lapas Garut Lapas Tasikmalaya Lapas Ciamis Lapas Indramayu Lapas Majalengka Lapas Purwakarta Lapas Bandung Rutan Cirebon Lp. Wanita Bandung Lapas Cibinong Jumlah Lapas Yang Operasional
I II A II A II A I II A II A II A II A II B II B II B II B II B II B II B II B II B I I
552 500 445 400 555 259 300 300 350 111 250 100 125 150 118 299 175 250 780 350
20
6.369
493 907 1.565 503 397 545 703 1.596 982 543 456 309 395 472 278 432 362 289 1.898 392 0 0 13.517
OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER OVER
Dari keseluruhan UPT Lapas Indonesia sebagaimana diuraikan dalam Tabel di atas, jumlah kapasitas penghuni Lapas dan Rutan sebanyak 77.022 telah dihuni 112.126 orang dari 391 Lapas dan Rutan serta Cabrutan. Kelebihan beban
penghuni
sebanyak
35.104,
hampir
50%,
dapat
menimbulkan
permasalahan, terkait dengan pembinaan narapidana di Lapas dan perawatan di
118
Ibid, hal. 322.
Universitas Sumatera Utara
Rutan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan peraturan pelaksananya. Untuk membandingakan data sebelumnya, terlampir beberapa data mengenai kapasitas daya tamping dan tindak pidana yang dilakukan. Secara spesipik, dari hasil wawancara dengan Abu Hanifah Nasutuion, SH, Kepala Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Di Lembaga Pemasyarakatan Dewasa Kelas I Tanjung Gusta sendiri, sama dengan kebanyakan lembaga pemasyarakatan yang lain, overkapasitas menjadi salah satu permasalahan. Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta yang memiliki kapasitas 1054 narapidana sekarang ditempati oleh narapidana sebanyak 2130 narapidana yang secara rinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 18 Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta 119 Golongan I (Di atas 1tahun) II a (3 bulan lebih – 1 tahun) Seumur Hidup Hukum Mati Jumlah
Isi 2047 3 33 5 2125
Bangsa Asing 2 5
Bangsa Indonesia 2045 3 33 5 2130
Menurut Abu Hanifah Nasution, SH, Kepala Seksi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, telah terjadi overkapasitas di lembaga pemasyarakatan dimana ini merupakan salah satu masalah serius dalam setiap Lembaga Pemasyarakatan termasuk Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan.
119
Wawancara dengan Abu Hanifah Nasution, SH. Kepala Seksi Registrasi Kelas I Tanjung Gusta Medan pada tanggal 10 April 2012.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Abu Hanifah Nasution, SH. menambahkan bahwa perlu ada penanganan permasalahan overkapasitas ini baik dengan menambah kapasitas Lembaga Pemasyarakatan atau dengan memperbaiki sistem pemidanaan yang justru menjadikan lempaga pemasyarakatan sebagai keranjang sampah dimana penjara dan kurungan menjadi pilihan utama dalam setiap penjatuhan pidana oleh hakim. Menggalakkan alternatif lain dari pidana penjara dan kurungan seperti pidana denda perlu dipertimbangkan melihat permasalahan yang ada ini. Sejalan dengan itu, Bona H. Situngkir, SH, MH Kepala Seksi Bimbingan Pemasyarakatan menyatakan bahwa permasalahan pembinaan pemasyarakatan yang ada adalah overkapasitas lembaga pemasyarakatan, sarana prasarana yang kurang memadai, dan masalah sumber daya manusia (petugas LP) yang kurang memiliki keterampilan dan integritas dalam menjalankan tugas dalam proses pembinaan narapidana. Hal-hal inilah yang menyebabkan kurang berfungsinya tujuan dan fungsi lembaga pemasyarakatan untuk memasyarakatkan kembali narapidana. 120 Mengenai permasalahan sumber daya manusia (petugas LP) yang kurang memiliki integritas dimana masih sering terdapat penyuapan didalam Lembaga Pemasyarakatan, Abu Hanifah Nasution, SH berpendapat bahwa permasalahan ini berasal dari kurangnya kesejahteraan pegawai LP dimana gaji pegawai LP masih sangat minim yang mengakibatkan godaan suap dianggap cukup menggiurkan. Untuk itu pemerintah harus lebih memerintah gaji pegawai LP.
120
Wawancara dengan Bona H. Situngkir, SH, MH. Kepala seksi Bimbingan Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, Medan.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Bona H. Situngkir, SH, MH menambahkan bahwa kesempatan untuk
Lembaga Pemasyarakatan menjadi School of Crime bagi
terpidana sangat lebar dimana tidak ada pemisahan antara narapida tindak pidana seius (serious crime) dengan tindak pidana ringan dalam berkomonikasi dan bersosialisasi di lembaga pemasyrakatan dan tidak ada kualifikasi pembedaan ruangan sel antara narapidana baik tindak pidana serius, biasa maupun ringan. Dewasa ini ada kecenderungan internasional (antara lain terlihat dari hasilhasil rekomendasi Kongres-Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime an The Treatment Of Offenders) yang menghendakai dibatasinya kemungkinan penjatuhan pidana penjara (pidanaperampasan kemerdekaan, pen.) jangka pendek. 121 Rekomendasi Kongres PBB terhadap perlunya pembatasan terhadap penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek tersebut atas pertimbangan, bahwa jenis pidana ini di samping akan membawa efek-efek negatif juga dipandang kurang menunjang SMR (Standart Minimum Rules). Berkaitan dengan upaya pembatasan penerapan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, menarik pula disimak apa yang dikemukakan D. Downers seorang kriminolog Inggris. Dengan membandingkan kebijakan pidana di Negeri Belanda dengan Inggris sejak tahun 1945, D. Downers mengidentifikasi adanya paling tidak tujuh alaan mengapa Negeri Belanda mengurangi penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Ketujuh alasan tersebut adalah : 122
121 122
Suhariyono AR, Op. Cit., hal. 133. Muladi, Op.Cit., hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
1. Sehubungan dengan adanya gerakan dekarkerasi (decerceration movement), mengingat sangat mahalnya penggunaan pidana perampasan kemerdekaan. Disamping itu penggunaan pidana kemerdekaan sebagai ultimum remedium hanya cocok bagi pelaku tindak pidana yang benar-benar mengancam masyarakat. 2. Terbatasnya kapasitas penjara yang ada. 3. Adanya spirit toleransi dalam administrasi peradilan pidana Belanda yang banyak dipengaruhi oleh iklim politik bercirikan kompromi. 4. Adanya perkembangan yang pesat dari infrastuktur pelayanan masyarakat. 5. Pengaruh pendidikan teoritis dari para hakim dan jaksa semasa mahasiswa, yang banyak dipengaruhi Utrecht Scool yang menganjurkan pengurangan pidana kemerdekaan. 6. Konsistensi para penyelenggara peradilan pidana di Negara Belanda yang sangat professional. 7. Sehubungan dengan lahirnya Doktrin Rehabilitasi pada tahun lima puluhan.
E. Kelemahan dan Keuntungan Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek Pidana denda sebagai alternatif daripada pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakan yang merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh Hakim, khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia. Menurut Sohe, SH. MH., Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat , Pidana denda tunggal lebih sering diberikan untuk tindak pidana ringan ( yang sidangnya lebih cepat dan singkat) dan untuk tidak pidana administrasi yang berkaitan dengan penegakan Peraturan Daerah. Sementara untuk tindak pidana biasa dan berat (yang sidangnya lebih lama dan pembuktiannya lebih rumit), pidana denda sering diterapkan sebagai kumulatif dengan pidana penjara meskipun undangundang baik yang berada di dalam
maupun di luar KUHP sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
memberikan kesempatan untuk menerapkan pidana tunggal pada tindak pidana biasa yang sanksinya dibawah 2 tahun. 123 Faktor yang menyebabkan jarang dijatuhkannya pidana denda oleh Hakim dalam dunia peradilan di Indonesia adalah karena jumlah ancaman pidana denda yang terdapat dalam KUHP sekarang pada umumnya relatif ringan. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap lima hakim Pengadilan Negeri Stabat, tidak ada satupun dari mereka yang pernah menjatuhkan pidana denda tunggal. Pidana denda lebih sering dijatuhkan sebagai pidana kumulatif pemberatan (double tarack system) disamping pidana penjara. 124 Menurut Edy Wibowo SH.MH, Hakim Pengadilan Negeri Stabat, keengganan para hakim untuk menerapkan / menjatuhkan pidana denda tunggal untuk tindak pidana biasa, dan lebih sering menerapkan pidana penjara dibawah dua tahun (penjara ringan) untuk tindak pidana yang ada dalam KUHP adalah karena pidana denda yang terdapat dalam KUHP nilainya terlalu ringan dan tidak relevan lagi untuk zaman sekarang apalagi untuk pemberian efek jera bagi pelaku tindak pidana. 125 Untuk Kejahatan, maksimumnya berkisar antara Rp. 900,- sampai dengan Rp. 150.000,- untuk kejahatan itu pun hanya terdapat dalam dua pasal saja, yaitu dalam Pasal 251 KUHP dan Pasal 403 KUHP. Untuk pelanggaran, denda maksimum berkisar antara Rp. 225,- sampai dengan Rp. 75.000,- namun yang terbanyak hanya terdapat untuk dua jenis pelanggaran saja yaitu yang terdapat dalam Pasal 568 dan Pasal 569 KUHP. 123
Wawancara dengan Sohe SH. MH., Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat. Wawancara dengan 5 (lima) hakim Pengadilan Negeri Stabat. 125 Wawancara dengan Edy Wibowo, SH. MH., hakim Pengadilan Negeri Stabat. 124
Universitas Sumatera Utara
Dalam sejarahnya, karena jumlah-jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 adalah tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlahjumlah
itu perlu di perbesar/dipertinggi. Maka telah diundangkan Peratutan
pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) nya menentukan bahwa : 126 “Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-udang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuanketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang-Undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali”.
Jadi, denda tertinggi yang disebut dalam KUHP dalam Pasal 403 yaitu Rp.1000,- sekarang menjadi Rp. 15.000,Ayat (2) menentukan bahwa : 127 “Ketentuan dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda dalam ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidana ekonomi”.
Seperti disinggung di awal bahwa berbeda dengan halnya batas maksimum umum pidana denda, maka KUHP menentukan satu batas minimum yang umum 126 127
Niniek Suparni, Op. Cit., hal. 51. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pidana denda, yaitu 25 sen (Pasal 30 ayat (1) ). Mengingat Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960, maka batas minimum yang umum denda itu sekarang menjadi : 15 x 25 sen = Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Sejak 1960 sampai sekarang, belum ada ketentuan yang menyesuaikan mengenai ukuran harga barang yang telah meningkat dalam perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk menerapkan pidana hilang kemerdekaan, dibandingkan dengan pemberian pidana denda. Salah satu hakim tinggi pada pengadilan tinggi di Pekanbaru, dalam pengalaman menjadi hakim, belum pernah menjatuhkan pidana denda untuk tindak pidana yang ditentukan dalam KUHP, namun yang pernah dijadikan pertimbangan adalah pidana yang dijatuhkan adalah pidana kurungan atau percobaan, sebagai pilihan dalam pemberian pidana selain pidana penjara. Untuk kejahatan, maksimumnya berkisar antara Rp. 900,- sampai dengan Rp. 150.000,-, Maksimum ancaman pidana denda sebesar Rp. 150.000,- untuk kejahatan itu pun hanya terdapat dalam dua Pasal saja, yaitu dalam Pasal 251 KUHP dan Pasal 403 KUHP. Untuk pelanggaran, denda maksimum berkisar antara Rp. 225,- sampai dengan Rp. 75.000,-. Namun yang terbanyak hanya terdapat untuk dua jenis pelanggaran saja yaitu yang terdapat dalam Pasal 568 dan Pasal 569 KUHP. Menurut Cipto Hasan SH. MH., dengan keluarnya PERMA Nomor 2 Tahun 2012 memberikan perkembangan tentang nilai pidana denda yang ada didalam KUHP terutama untuk tindak pidana ringan. 128 128
Wawancara dengan Cipto Hasan, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat.
Universitas Sumatera Utara
Dimana bunyi Pasal 364 sebelumnya adalah : Pasal 364 Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah. PERMA Nomor 2 Tahun 2012, Pasal 3 berbunyi “Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan ayat (2), 303 bis ayat (1) dan ayat (2), dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali”. Dengan dikeluarkannya Perma No 2 Tahun 2012
mengatur
tentang
kenaikan nilai uang denda atau nilai kerugian, khususnya kenaikan nilai denda yang tercantum dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penipuan ringan), 379 (penggelapan ringan), 384, 407, dan 482 KUHP yakni sebesar Rp250 menjadi Rp2,5 juta atau mengalami kenaikan sebesar 10.000 kali lipat. Lebih lanjut Rizky M. Nazario SH.MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat, menambahkan bahwa PERMA Nomor 2 Tahun 2012 ini sesuai dengan tujuan pemidanaan yang telah bergeser ke arah Restoratif Justice. Dimana pidana bukan hanya untuk ditujukan kepada korban sebagai pembalasan atas perbuatan yang dilakukan, namun sudah mulai mengarah pada pegembalian kembali kepada keadaan semuala, dimana ditujukan untuk pelaku agar tidak mengulangi
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya; rehabilitasi pelaku dari trauma dan ganti rugi pada korban; dan perbaikan masyarakat pada keadaan semula. 129 Namun perubahan pidana denda dalam KUHP ini tidak menyeluruh hanya sebatas untuk Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penipuan ringan), 379 (penggelapan ringan), 384, 407, dan 482 KUHP. Sementara itu Menurut Darminto SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat,
keengganan para penegak hukum untuk menerapkan / menjatuhkan
pidana denda tunggal terhadap terpidana untuk tindak pidana diluar KUHP adalah karena : 130 a) Pidana denda yang terdapat di luar KUHP nilainya terlalu tinggi. b) Bahwa terpidana yang dijatuhi pidana denda tunggal dan ekonominya rendah, lebih memilih subsider kurungan dari pidana denda tunggal tersebut karena jumlah pidana denda yang sangat tinggi. Sementara itu untuk yang ekonominya berkecukupan pidana denda bukan menjadi pidana yang dapat memberikan efek jera baginya. c) Undang-undang lebih banyak mencantumkan sanksi pidana penjara yang dikumulatifkan dengan pidana denda (double track system) dari pidana pidana penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda atau pidana denda tunggal. Sementara
itu
dalam
perkembangan
di
luar
KUHP,
terdapat
kecenderungan untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda. Hal ini misalnya terlihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Korupsi yang pidana denda minimumnya Rp. 50.000.000,- (Pasal 12 A (2) ) dan maksimunya mencapai Rp. 1.000.000.000,- (Pasal 3) ; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang yang pidana denda minimumnya Rp. 200.000.000,- (Pasal 21 (1), 22 dan 23 ) dan maksimumnya 129 130
Wawancara dengan Rizky M. Nazario, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat. Wawancara dengan Darminto, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat.
Universitas Sumatera Utara
mencapai Rp. 5.000.000.000,- (Pasal 7 (2) ); Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang pidana denda minimumnya Rp. 1.000.000,- (Pasal 134 (2)) dan maksimumnya mencapai Rp. 10.000.000.000 + 1/3 (Pasal 113 (2), 116 (2), 154 (2)); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang pidana minimumnya Rp. 600.000.000,- (Pasal 30 (1)) dan maksimumnya mencapai Rp. 12.000.000.000 (Pasal 35 dan 36 ). Namun demikian di sisi lainnya kebijakan-kebijakan meningkatkan jumlah pidana denda tersebut tidaklah dibarengi dengan kebijakan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan pidana denda, di mana untuk pelaksanaannya adalah tetap terikat pada ketentuan umum dalam pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Menurut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 30 KUHP, tidak ada ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda itu harus dibayar. Disamping itu tidak ada pula ketentuan mengenai tindakan-tindakan lain yang dapat menjamin agar terpidana dapat dipaksa untuk membayar dendanya misalnya dengan jalan merampas atau menyita harta benda atau kekayaan terpidana. Menurut sistem KUHP, altenatif yang dimungkinkan dalam hal terpidana tidak mau membayar denda tersebut, hanyalah dengan menggunakan kurungan pengganti. Padahal kurungan pengganti yang dimaksud dalam Pasal 30 KUHP hanya berkisar antara 6 (enam) bulan atau dapat menjadi paling lama 8 (delapan) bulan. Dengan demikian maka betapun tingginya pidana denda yang dijatuhkan Hakim, akan tetapi apabila terpidana tidak mau membayar, konsekuensinya
Universitas Sumatera Utara
hanyalah dikenakan pidana kurungan yang maksimumnya hanya 6 (enam) atau 8 (delapan) bulan seperti telah disebut di atas. Menurut Rizky M. Nazario SH.MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat, tidak semua tindak pidana dapat diberikan pidana denda tunggal, misalnya untuk tindak pidana narkotika dan tindak pidana perdagangan orang, pidana penjara jangka pendek lebih efektif diberikan daripada pidana denda tunggal, karena pidana denda tunggal tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana. 131 Dalam hal yang bersangkutan melakukan tindak pidana yang dapat menghasilkan keuntungan materil yang jumlahnya sampai berjuta-juta rupiah atau bahkan bermilyar-milyar rupiah (misalnya dalam perampokan bank, korupsi, tindak pidana ekonomi, penyelundupanm atau perdagangan narkotika dan sebagainya), maka ini berarti yang bersangkutan tetap dapat menikmati hasil kejahatannya dengan tidak perlu khawatir harta benda atau kekayaannya (khusus yang merupakan hasil kejahatan yang telah dilakukannya) akan dirampas atau disita. Memang dalam hal ini hakim dapat pula menjatuhkan tambahan berupa pidana perampasan barang-barang tertentu, namun pidana tambahan ini menurut sistem KUHP hanya bersifat fakultatif saja dan hanya dalam hal-hal tertentu saja yang bersifat imperatif. Lagi pula yang dapat dirampas hanyalah barang-barang yang diduga diperoleh dari hasil kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan.
131
Wawancara dengan Rizky M. Nazario, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas jelaslah bahwa dengan belum adanya perubahan kebijakan legislatif mengenai pelaksanaan pidana denda seperti yang terdapat dalam aturan hukum KUHP, maka tidak akan banyak artinya kebijakan untuk menaikkan jumlah ancaman pidana denda di luar KUHP. Lebih lanjut, menurut Darminto, SH. MH.,Hakim Pengadilan Negeri Stabat, menyatakan bahwa untuk kejahatan yang mempunyai korban, pidana denda bukan menjadi pilihan yang
memberikan manfaat kepada si korban,
karena dendanya diberikan kepada negara, bukan kepada si korban untuk pemulihannya. Dengan demikian tujuan pemidanaan tidaklah dapat tercapai. 132 Menurut Niniek, 133 Di samping kedudukan pidana denda yang demikian itu di dalam sistem KUHP y ang sekarang berlaku, terdapat kelemahan pidana denda secara inherent terkandung di dalam pidana denda itu sendiri. Adapun kelemahan pidana denda tersebut menurut Niniek adalah : 134 1. Bahwa pidana denda ini dapat dibayarkan atau ditanggung oleh pihak ketiga (majikan, suami atau istri, orang tua, teman/kenalan baik, dan lainnya) sehingga pidana yang dijatuhkan tidak secara langsung dirasakan oleh terpidana sendiri. Hal mana membawa akibat tidak tercapainya sifat dan tujuan pemidanaan untuk membina si pembuat tindak pidana agar menjadii anggota masyarakat yang berguna, serta mendidik si pembuat tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidaklah dengan demikian si pembuat pidana akan berulang kali berbuat tindak pidana lagi (karena misalnya memiliki bakat atau tingkah laku sebagai pembuat tindak pidana), sebab ia merasa bahwa pertanggungan jawab akan dipikul oleh orang lain. Kalau pembayaran denda tidak dapat dipenuhi karena tidak mempunyai uang untuk membayar denda atau tidak ada barang yang dapat dilelang, bukankah tindak pidana lain yang baru lagi akan lahir untuk mendapatkan uang pembayaran denda. Inilah berarti tindak 132
Hasil wawancara dengan Darminto, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat. Niniek Suparni, Op. Cit. hal. 53 134 Ibid. 133
Universitas Sumatera Utara
pidana yang satu melahirkan tindak pidana yang baru, dan keadaan ini dapat berlanjut seterusnya. 2. Bahwa pidana denda juga dapat membebani pihak ketiga yang tidak bersalah, dalam arti pihak ketiga dipaksa turut merasakan pidana tersebut, misalnya uang yang dialokasikan bagi pembayaran pidana denda yang dijatuhkan pada kepala rumah tangga yang melakukan kesalahan mengemudi karena mabuk, akan menciutkan anggaran rumah tangga yang bersangkutan. 3. Bahwa pidana denda ini lebih menguntungkan bagi orang-orang yang mampu, karena bagi mereka yang tidak mampu maka besarnya pidana denda tetap merupakan beban atau masalah, sehingga mereka cenderung untuk menerima jenis pidana yang lain yaitu pidana perampasan kemerdekaan. 4. Bahwa terdapat kesulitan dalam pelaksanaan penagihan uang denda oleh Jaksa selaku eksekutor, terutama bagi terpidana yang tidak ditahan atau tidak berada dalam penajra. Di satu pihak dapat diadakan upaya paksa dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar terpidana membayar denda dengan memberikan wewenang kepada Jaksa selaku eksekutor untuk melelang barang yang disita, dan kalau barang yang disita tidak ada baru diterapkan pidana pengganti denda. Akan tetapi di lain pihak, dengan melihat kondisi di Indonesia di mana masyarakat atau rakyatnya mayoritas masih hidup di dalam taraf di bawah sejahtera materiil atau berkemampuan financial, mungkinkah dapat memenuhi denda yang harus dibayar. Lebih lanjut Niniek menyatakan, ditinjau dari segi efektivitasnya maka pidana denda menjadi kurang efektif apabila dibandingkan dengan pidana penjara, hal ini terutama apabila ditinjau dari segi penjeraannya terhadap terpidana. Hal ini disebabkan karena pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain. Sedangkan dalam hal pidana penjara tidak memungkinkan untuk diwakilkan oleh orang lain. Di samping itu terpidana dapat saja mengumpulkan uang dari mana saja untuk melunasi/ membayar denda tersebut.135
135
Ibid, hal, 54.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Edy Wibowo SH. MH, Hakim Pengadilan Negeri Stabat, penjatuhan
dapat mencegah efek negatif yang didapat oleh terpidana dalam
pidana penjara jangka pendek. 136 Untuk sedikit menggambarkan efek negatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek menarik untuk membaca kembali pendapat dari C.I. Harsono. Beberapa dampak negatif pidana perampasan kemerdekaan terhadap narapidana menurut C.I. Harsono, antara lain :
137
a. Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadan atau identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan (Loos of Personality). b. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga ia merasa kurang nyaman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya (Loos of Security). c. Dengan dikenal pidana jelas kemerdekaan indidualnya termpas, hal ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat menghambat proses pembinaan (Loss of Liberity). d. Dengan menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan , narapidana dapat merasakan kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Loos of Personal Commonication). e. Selama di dalam Lembaga pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri (Loos of Good and Service). f. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin, jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih saying dan kerinduan pada keluarga (Loos of Heterosexual). g. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang bermacam-macam baik dari pertugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat menghilangkan harga dirinya (Los of Prestige). h. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan akan rasa percaya diri (Loos of Belief). i. Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena perasaan tertekan dapa kehilangan daya kreatifitasnya, gagasan-gagasannya dan imajinasinya (Loos of Creatifity). 136 137
Wawancara dengan Edy Wibowo, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat. C.I. Harsono, Op. Cit., hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Niniek, pidana denda mempunyai keuntungan-keuntungan untuk diterapkan, yaitu : 138 1. Dengan penjatuhan pidana denda maka anatomis terpidana akan tetap terjaga, setiap terpidana akan tetap terjaga, setiap terpidana merasakan kebutuhan untuk menyembunyikan identitas mereka atau tetap anonim/ tidak dikenal. Kebanyakan dari mereka takut untuk dikenali sebaga orang yang pernah mendekam dalam penjara oleh lingkungan sosial atau lingkugan kenalan mereka. 2. Pidana denda tidak menimbulkan stigma atau cap jahat bagi terpidana, sebagaimana halnya yang dapat ditimbulkan dari penerapan pidana perampasan kemerdekaan. 3. Dengan penjatuhan pidana denda, negara akan mendapatkan pemasukan dan si samping proses pelaksanaan hukumnya mebih mudah dan murah. Lebih lanjut menurut, Menurut Sohe, SH.MH, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat, bila setiap kritikan-kritikan yang ada hari ini terhadap pelaksanaan pidana denda dapat diperbaiki dan dicari solusi kedepannya, maka pidana denda ini lebih menguntungkan untuk diterapkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang telah bergeser dari teori atributif kea rah teori yang lebih mengarah ke restoratife justice. 139 F. Peluang Penerapan Pidana Denda Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Jangka Pendek di Masa Mendatang Melihat berbagai permasalahan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek di atas. Peluang penerapan pidana denda sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan sangat terbuka.
138 139
Niniek Suparni, Op. Cit. hal. 51 Wawancara dengan Sohe, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Muladi
140
,upaya mencari alternatif pidana perampasan
kemerdekaan harus tetap realistis artinya, upaya mencari alternatif pidana kemerdekaan tetap harus berpijak pada realitas yang ada. Dikatakan lebih lanjut, bahwa pandangan kaum abolisionis yang bersifat sangat radikal tidak mungkin dapat terwujud. Upaya untuk menggantikan sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan system based on mediation (conflict solving) yang tidak memberikan tempat sama sekali pada pidana perampasan kemerdekaan sebagaimana yang dikehendaki kaum abolisionis sangat sulit diwujudkan. Menurut Muladi, yang terpenting adalah bagaimana penggunaan pidana perampasan
kemerdekaan
dapat
dibatasi
terutama
pidana
perampasan
kemerdekaan jangka pendek. Inilah hakekat yang dimaksud dengan upaya mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Pemahaman yang dibangun Muladi tersebut di atas, seiring dan senafas dengan kecenderungan internasional yang sedang terjadi. Dewasa ini ada kecenderungan internasional (antara lain terlihat dari hasil-hasil rekomendasi Kongres-Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime an The Treatment Of Offenders) yang menghendakai dibatasinya kemungkinan penjatuhan pidana penjara (pidanaperampasan kemerdekaan, pen.) jangka pendek. 141 Rekomendasi Kongres PBB terhadap perlunya pembatasan terhadap penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek tersebut atas pertimbangan, bahwa jenis pidana ini di samping akan membawa efek-efek negatif juga dipandang kurang menunjang SMR (Standart Minimum Rules). 140 141
Muladi, Op. Cit. hal. 133. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kongres ke-2 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” tahun 1960 di London merekomendasikan
pengurangan
berangsur-angsur
pidana
perampasan
kemerdekaan jangka pendek dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti/ alternatif (pidana bersyarat , pengawasan, denda, kerja sosoal dan tindakantindakan lainnya). 142 Menurut, Edy Wibowo SH. MH., pidana denda memiliki peluang besar untuk dijadikan sebagai alternatif terhadap pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan pemidanaan, namun kritikan terhadap pidana denda selama ini harus diperbaiki dan di cari jalan keluarnya, agar pidana denda dapat dijadikan sebagai pidana tunggal yang menjadi alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. 143 Sebagai solusi terhadap permasalahan pidana denda hari ini, dalam RUU KUHP 2008 telah ditawarkan konsep-konsep baru yang harapannya dapat memperbaiki kritikan terhadap pidana denda. Pola pidana denda yang ditentukan dalam RUU KUHP 2008 disebutkan sebagai berikut : 144 1. Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. 2. Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah). 3. Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. Kategori I Rp. 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah); b. Kategori II Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); c. Kategori III Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); 142
Barda Nawawi Arief, Kapita Seleta Hukum Pidana, Op. Cit., hal. 34. Hasil Wawancara dengan Edy Wibowo SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat. 144 Suhariyono AR, Op. Cit. hal. 259. 143
Universitas Sumatera Utara
d. Kategori IV Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); e. Kategori V Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); f. Kategori VI Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 4. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya. 5. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancamkan dengan : a. Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V; b. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI. 6. Pidana denda paling sedikit untuk korporasi adalah pidana denda kategori IV. 7. Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Pengaturan Pemerintah. 8. Dalam penjatuhan pidana denda, wajib dipertimbangkan kemampuan terpidana. 9. Dalam menilai kemampuan terpidana, wajib diperhatikan apa yang dapat dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan kemasyarakatannya. 10. Ketentuan mengenai pertimbangan kemampuan terpidana tidak mengurangi untuk tetap diterapkan minimum khusus pidana denda yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu. 11. Pidana denda dapa dibayar dengan cara mencicil dalam tenggang waktu sesuai dengan putusan hakim. 12. Jika pidana denda tersebut tidak dibayar penuh dalam tenggang waktu yang ditetapkan, maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. 13. Jika mengambil kekayaan atau pendapatan tersebut tidak memungkinkan, maka pidana-pidana denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau pidana penjara, dengan ketentuan pidana-pidana denda tersebut tidak melebihi pidana denda Kategori I. 14. Lamanya pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Untuk pidana kerja sosial pengganti, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4), b. Untuk pidana pengawasan, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun; c. Untuk pidana penjara pengganti, paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan jika ada
Universitas Sumatera Utara
pemberatan pidana denda karena perbarengan atau karena adanya faktor pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134. 15. Perhitungan lamanya pidana pengganti didasarkan pada ukuran, untuk setiap pidana denda Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) atau kurang, disepadankan dengan : a. 1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti; b. (satu) hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti. 16. Jika setelah menjalani pidana pengganti, sebagai pidana denda dibayar, maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan. 17. Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak dapat dibayar penuh, maka untuk pidana denda di atas kategori I yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan. 18. Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak dapat dibayar penuh, maka untuk korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. Disamping pola itu, di dalam RUU KUHP 2008 juga diatur mengenai pedoman penerapan pidana. Jika tindak pidana hanya diancamkan dengan pidana penjara, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda. Jika suatu tindak pidana diancamkan dengan pidana pokok secara altenatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus kebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Jika pidana penjara dan pidana denda diancamkan secara altenatif, maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan terseebut. Jika dalam menerapkan ketentuan tersebut, dipertimbangkan untuk menjatuhkan
Universitas Sumatera Utara
pidana pengawasan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2), maka tetap dapat dijatuhkan pidana denda paling banyak separuh dari maksimum pidana denda yang diancamkan tersebut bersama-sama dengan pidana pengawasan. RUU KUHP 2008 tetap berkeinginan untuk memfungsikan pidana denda terkait dengan gugurnya (hapusnya) kewenangan penuntutan jika: 1. Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancamkan dengan pidana denda paling banyak kategori II; dan 2. Maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancamkan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. Pidana denda yang menggugurkan penuntutan di atas dibayarkan kepada pejabat yang berwenang dalam tenggang waktu yang telah ditetapkan. .Dalam penjelasan Pasal 73 RUU KUHP 2008 disebutkan bahwa pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. Sebagai sarana politik kriminal, pidana ini tidak kalah efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Berdasarkan pemikiran ini maka pada dasarnya sedapat mungkin denda itu harus dibayar oleh terpidana dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu. kalau keadaan mengizinkan, denda yang tidak dibayar itu dapat diambilkan dari kekayaan atau pendapatan terpidana sebagai gantinya. Pengertian kekayaan atau pendapatan terpidana sebagai gantinya. Pengertian “apabila keadaan mengizinkan” berarti terpidana mampu, akan tetapi tidak
Universitas Sumatera Utara
melunasi dendanya. Bilamana usaha pengganti itu tidak mungkin, maka pidana penjara pengganti dikenakan kepadanya. Ketentuan agar terpidana sedapat mungkin membayara dendanya harus diartikan bahwa kepadanya diberi kesempatan oleh hakim untuk mengangsur dendanya. Sebagai satuan terkecil denda, dipergunakan denda yang besarnya sama dengan upah maksimum harian (UMR). Maksimum kategori denda yang teringan mempunyai kelipatan seratus kali “denda harian”, sedangkan maksimum kategori yang terberat adalah kelipatan dua ratus ribu kali (200.000 x) denda harian. Kategori-kategori lain (II,III, IV dan V) adalah berturut turut kelipatan 500, 2000, 5000, dan 20.000 kali denda harian. Oleh karena pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanyalah pidana denda (berbeda dengan apabila “orang” yang menjadi terpidana), maka wajar kiranya bahwa apabila korporasi yang menjadi terpidana, ancaman maksimum pidana denda yang dapat dijatuhkan pengadilan haruslah pula lebih berat (daripada apabila “orang” yang merupakan terpidana). Untuk itu, telah dipilih cara memberlakukan sebagai maksimum denda terhadap korporasi untuk suatau tindak pidana tertentu, kategori lebih tinggi berikutnya. Dalam hal rumusan tindak pidana tidak mengancamkan denda, maka berlaku ketentuan minimum denda untuk korporasi yakni kategori IV. Menurut Barda Nawawi Arief, anggota tim RUU KUHP 2008, melaui berbagai diskusi dan pertemuan ilmiah, mempertimbangkan bahwa konsep RUU KUHP 2008 masih akan tetap menggunakan sistem atau pendekatan absolut (sistem maksimum), walaupun dengan beberapa modifikasi. Di samping itu,
Universitas Sumatera Utara
masih tetap dipelajari seberapa jauh kemungkinan dapat ditempuh pendekatan relatif. 145 Dari pola di atas, RUU KUHP 2008 dalam aturan umumnya menggunakan konsep pendekatan maksimum dan minimum pidana (indefinite) yang ditentukan sebagai berikut: 146 1. Untuk pidana denda: a. Jika tidak ditentukan minimum khususnya maka pidana denda paling sedikit Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah). b. Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yakni : 1) Kategori I Rp 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah); 2) Kategori II Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); 3) Kategori III Rp. 30.000.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); 4) Kategori IV Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah); 5) Kategori V Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah); dan 6) Kategori VI Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah). c. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya. d. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancamkan dengan : 1) Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda kategori V; 2) Pidana mati, pidana penajara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun (dua puluh) tahun adalah pidana denda kategori VI. e. Pidana denda palling sedikit untuk korporasi adalah pidana denda kategori IV. Dari pidana maksimum dan minimum di atas, pembentuk RUU KUHP 2008 dalam merumuskan norma dan ancaman pidananya dalam Buku II digunakan pola sebagai berikut: 147 1) Jika suatu tindak pidana menurut penilaian dianggap tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana sangat ringan. Golongan ini hanya 145
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., hal. 120. Suhariyono AR, Op. Cit. hal. 268. 147 Ibid, hal. 269. 146
Universitas Sumatera Utara
diancam dengan pidana denda menurut kategori ke-1 sampai kategori ke dua. 2) Jika suatu tindak pidana yang semula atau selama ini diancam pidana penjara atau kurungan kurang dari 1 tahun, tetap dinilai patut untuk diancam dengan pidana penjara, maka akan diancam dengan maksimum pidana penjara paling rendah 1 tahun. 3) Semua tindak pidana yang menurut penilaian patut diancam pidana penjara maksimum 1 tahun sampai dengan 7 tahun, selalu akan dialternatifkan dengan pidana denda 7, selau akan dialtenatifkan dengan pidana denda dengan penggolongan sebagai berikut; 4) Untuk penggolongan ringan (maksimum penjara 1 sampai 2 tahun), diancam dengan maksimum denda kategori ke-3 yakni maksimum Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah); 5) Untuk golongan sedang (maksimum penjara 2 sampai 4 tahun) dan golongan berat (maksimum penjara 4 sampai 7 tahun) diancam dengan maksimum denda kategori ke-4, yakni Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah); Semua tindak pidana yang tergolong sangat serius (di atas 7 tahun penjara) tidak dialternatifkan dengan pidana denda, kecuali apabila dilakukan oleh korporasi dapat dikenakan maksimum denda menurut kategori ke-5, yakni maksimum Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) untuk delik yang diancam pidana penjara 7 tahun sampai dengan 15 tahun, dan menurut kategoti ke-6 yakni
Universitas Sumatera Utara
Rp. 300.000.000,- (tiga miliar rupiah) untuk yang diancamkan pidana penjara 20 tahun atau seumur hidup. Dari pola di atas, dapat dilihat bahwa hanya ada 3 kategori pengelompokan gradasi tindak pidana, yakni : 1) Yang hanya diancamkan pidana denda, untuk delik yang bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara; 2) Yang diancamkan pidana penjara atau denda secara alternatif, untuk delik yang diancam dengan penjara 1 sampai 7 tahun; 3) Yang hanya diancam dengan pidana penjara, untuk delik yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 7 tahun. Pola
dan
pengelompokan
di
atas
masih
dimungkinkan
adanya
penyimpangan, misalnya: 148 1) Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang meresahkan masyarakat ancaman pidananya akan ditingkatkan secara khusus dan sebaliknya dengan alasan khusus dapat diturunkan ancaman pidananya menyimpang dari pola; 2) Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbulkan keuntungan ekonomis/keuangan yang cukup tinggi, pidana penjara yang diancamkan dapat dialternatifkan dan dikumulatifkan dengan pidana denda (sistem altenatif kumulatif);
148
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3) Untuk beberapa tindak pidana yang dipandang dapat menimbukan disparitas pidana dan meresahkan masyarakat, akan diancam dengan pidana minimum khusus. Terkait dengan pola minimum khusus, yang pada dasarnya tidak dikenal selama ini dalam KUHP, pembentuk RUU KUHP 2008 dalam penentuan pidana minimum khusus mendasarkan pada pokok pemikiran : 1) Guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya; 2) Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; 3) Dianalogikan dengan pemikiran bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka minimum pidana pun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal tertentu. Pola-pola yang ditawarkan oleh RUU KUHP 2008 adalah pola mengenai pengkategorian pidana denda, batasan atau banyaknya pidana denda, penjatuhan pidana denda, tata cara permbayaran, tata cara penerapan pidana pengganti, dan pola untuk korporasi. Pola pengkategorian dan batasan atau banyaknya pidana denda telah dikemukakan di atas. Terkait dengan tata cara pembayaran dan pidana denda pengganti, dalam RUU KUHP 2008 ditentukan dalam Pasal 82 sampai Pasal 85. 149 Salah satu keistimewaan yang lain untuk pidana denda dalam RUU KUHP 2008 adalah bahwa pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam
149
Ibid, hal. 276.
Universitas Sumatera Utara
tenggang waktu sesuai dengan putusan hakim. Hal ini dimaksudkan agar hakim dalam menjatuhkan pidana denda harus memperhatikan kemampuan terpidana secara nyata dan hakim harus memahami bahwa tujuan pemidanaan bukan semata-mata sebagai pembalasan. Dalam hal pidana denda tidak dibayar penuh dalam tengang waktu yang ditetapkan, maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. Dalam hal pidana denda tidak dibayar penuh dalam tenggang waktu yang ditetapkan, maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana. Dalam sistem penggajian, jika terpidana adalah karyawan, terutama pembayaran dan pengabilan melaui bank tertentu yang ditunjukkan oleh perusahaan atau kantor pemerintah, masalah pengambilan dari pendapatan terpidana tidak ada masalah. Pengambilan kekayaan, secara umum berlaku hukum acara pidana dengan cara melalui eksekusi yang diperintahkan oleh pengadilan. 150 Dalam RUU KUHP 2008 ditentukan lebih lanjut bahwa jika pengambilan kekayaan atau pendapatan di atas tidak menungkinkan, misalnya terpidana belum bekerja atau belum berpenghasilan, maka pidana denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, atau pidana penjara, dengan ketentuan pidana denda tersebut melebihi pidana denda Kategori I (Rp. 1.500.000,-). Jika pidana pengganti denda melebihi kategori I, namun denda tersebut tidak dapat kategori I yang tidak dibayar dengan diganti dengan pidana penjara
150
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan. Untuk korporasi, berlaku ketentuan bahwa jika pengambilan kekayaan atau pendapatan tidak dapat dilakukan, maka korporasi yang bersangkutan dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi. Dari pola-pola di atas, perlu digambarkan mengenai ancaman pidana denda yang nantinya dapat diterapkan. Dapat dihitung bahwa jumlah pidana denda yang ditentukan dalam RUU KUHP 2008 hampir sebanding dengan pidana penjara, walaupun pidana penjara masih dominan untuk menempati jenis pidana dalam Bukum II, termasuk pemberatan pidana dan minimum khusus pidana penjara. Dari Pasal 212 sampai Pasal 740 yakni sejumlah 528 pasal. Dari ketentuan pidana di atas, prosentase jenis pidana denda dan jenis pidana penjara begitu mencolok karena jarak antara atau perbedaan penentuan tunggal keduanya adalah 127 pasal berbanding 40 pasal . Jadi penentuan pidana denda secara tunggal hanya 30 % dari penentuan pidana penjara tunggal. Pidana denda masih mempunyai kelebihan pada penentuan pidana penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda. Dari keseluruhan jumlah pasal , sebanyak 573
pasal
pidana
denda
dijadikan
alternatif,
termasuk
pengecualian-
pengecualiannya. Jika penegak hukum, terutama hakim, dalam menjatuhkan pidana sering menggunakan alternatif pidana denda, maka prosentase di atas akan dapat diandalkan untuk lebih mengefektifkan dan memfungsikan pidana denda. Pidana penjara yang 17.162% di atas hanya terdapat tindak pidana berat atau tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana serius. Dari 17,162% tersebut, beberapa tindak pidana tersebut antara lain makar, pengkhianatan dan pembocoran rahasia, sabotase, pembajakan udara, penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Perdagangan senjata api/amunisi, bahan-bahan peledak, dan senjata, dan lain-lain tindak pidana yang mengakibatkan kerugian dan kerusakan yang begitu besar yang diancam dengan pidana penjara tunggal. 151 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) hanya dikenakan untuk pelaku-pelaku tindak pidana yang dianggap berat atau serious crime sebagaimana disebutkan di atas, ditambah dengan putusan hakim yang tetap mempertimbangkan perbuatan pelaku-pelaku tindak pidana sesuai dengan keyakinan sebagai dasar untuk memutus perkara apakah akan dijatuhi atau diberikan alternatif penjara atau denda atau kemudian memutuskan dengan pidana denda sebagai alternatif pidana penjara dan / atau memutuskan untuk pidana pengawasan. RUU KUHP 2008 juga memberikan dukungan terhadap fungsi pidana denda dengan mengatur pola-pola yang cukup realistis bagi hakim untuk lebih leluasa memberikan pertimbangan-pertimbangan sesuai dengan keyakinannya. Pasal 58 menyebutkan bahwa jika seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (delapan belas)
151
Ibid, hal. 281.
Universitas Sumatera Utara
tahun. Pasal 54 di atas dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk member maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius). Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 152 Pola selanjutnya menentukan bahwa pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan tersebut adalah pidana denda paling banyak menurut kategori V dan pidana denda paling sedikit menutur Kategori III. Jika tujuan pemidanaan tidak dapat dicapai hanya dengan penjatuhan pidana penjara, maka untuk tindak pidana terhadap harta benda yang hanya diancamkan dengan pidana penjara dan mempunyai sifat merusak tatanan sosial dan masyarakat, dapat dijatuhi pidana denda paling banyak kategori V bersama-sama dengan pidana penjara. Yang terakhir ini merupakan pemberatan pidana. Konsep RUU KUHP 2008 mengharap lebih jauh bahwa penjatuhan pidana tambahan atau tindakan dapat menggantikan pidana denda sebagai bahan pertimbangan bagi hakim. Pasal 59 menentukan bahwa jika tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda, maka dapat dijatuhkan pidana tambahan dan tindakan. Terhadap orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancamkan dengan pidana denda, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda. Ketentuan ini merupakan pemberatan bagi pelaku yang dijatuhkan pidana denda lebih dari sekali (residivis).
152
Ibid, hal. 282.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai pertimbagan untuk hakim yang paling pokok adalah ketentuan Pasal 60. Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih memfungksikan pidana denda sebagai pidana yang lebih ringan daripada pidana penajara. Pasal 60 berbunyi : Jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Jika pidana penjara dan pidana denda diancamkan secara alternatif , maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan, kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif, dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut. Ketentuan yang terkahir ini dimaksudkan untuk lebih memberikan keleluasan hakim dengan menentukan kebijakan secara adil, jika dianggap pidana alternatif (denda) tidak dapat mencapai tujuan pemidanaan. Lebih lanjut dalam ayat berikutnya dalam Pasal 69 ditentukan bahwa jika dalam menerapkan ketentuan ayat (2), dipertimbangkan untuk menjatuhkan pidana pengawasan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2), maka tetap dapat dijatuhkan pidana denda paling banyak separuh dari maksimum pidana denda yang diancamkan tersebut bersama-sama dengan pidana pengawasan. Ketentuan Pasal 60 ini pada dasarnya sudah memenuhi kriteria secara proporsional yakni untuk menunjukkan adanya keseimbangan antara apa yang disebut dengan the gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan dikaitkan dengan rank ordering dan spacing terhadap kualifikasi tindak pidana. 153
153
Ibid, hal. 284.
Universitas Sumatera Utara
Penjatuhan secara alternatif (penjara atau denda) akan lebih menyulitkan penegak hukum karena hal ini dilakukan tidak semata-mata karena penerapan retributive di atas, melainkan juga pertimbangan lain berdasarkan paham utilitarianisme yang memandang bahwa kejahatan tidak harus dijatuhi dengan suatu hukum tetapi harus ada manfaatnya baik untuk pelaku maupun untuk masyarakat. Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan pelaku pada masa lalu, melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan sehingga hukuman berfungsi untuk mencegah agar kejahatan diulangi dan menakut-nakuti anggota masyarakat. Perlu dipikirkan mengenai keseimbangan antara perlunya hukuman dengan biaya penghukuman. Sudarto mengatakan bahwa pembalasan disini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai pembatasan dalam arti dalam ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana: maka dapat dikatakan ada asas pembalasan yang negative. Hakim hanya menetapkan batas atas dari pidana; pidana tidak boleh melampaui batas dari kesalahan si pembuat. Sudarto sendiri bertanya mengenai bekerjanya atau pengaruh pidana terhadap terpidana yang selama ini tidak banyak diketahui orang. Sepanjang pengetahuannya, di Indonesia belum pernah ada penelitian mengenai pengaruh tersebut. Lebih lanjut Sudarto menyatakan bahwa penggunaan pidana sebagai prevensi general dinilai tidak tepat oleh mereka yang tidak menyetujui karena dalam hal ini ada orang “yang dikorbankan demi contoh bagi orang lain”. Dengan demikian maka pidana yang dijatuhkan itu menjadi tidak seimbang dengan kesalahan terdakwa dan manusia
Universitas Sumatera Utara
dijadikan objek dan dipakai sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan yang tidak jelas. Ini merendahkan derajat kemanusiaan. 154 Alternatif pidana denda akan lebih nyata terlihat pengaruhnya untuk menampik kekhawatiran Sudarto di atas yang mengatakan bahwa pengaruh pidana (penjara) belum banyak diketahui orang terkait dengan prevensi umum dan senantiasa manusia dijadikan objek demi tujuan pemidanaan. Pidana denda yang ditetapkan berdasarkan pengkatergorian dan pola-pola tertentu, diharapkan dapat menggantikan pidana penjara, terutama tindak pidana yang dianggap ringan. Besaran denda yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana, di negara lain (terutama di negara Eropa) cukup memberikan ketakutan kepada masyarakat dan sasarannya adalah pencegahan dan penjeraan. Upaya memfungsikan pidana denda dalam RUU KUHP 2008 pada dasarnya sudah ditentukan secara berlapis-lapis dalam rangka mengantisipasi peran pidana denda. Lapis yang terakhir adalah adanya ketentuan pemenuhan kewajiban adat setempat dan / atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dan pembayaran ganti kerugian sebagai bagian dari pidana tambahan. Pidana tambahan tersebut dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri, atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain. Konsep pidana tambahan di atas dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan,
154
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. Cit., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu, apabila terpidananya adalah korporasi dalam keadaan tertentu mempunyai efek penangkalan yang lebih efektif. Hakim dapat mengenakan pidana pencabutan hak yang dimiliki suatu korporasi meskipun dalam rumusan pidana ancaman tersebut tidak dicantumkan. Begitu pula pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hakim bebas untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan pidana tambahan ini, meskipun tidak tercantum sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena dilakukannya suatu tindak pidana. Konsep pembinaan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dimaksudkan agar terpidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam lingkungan
masyarakat,
berperan aktif dalam
pembangunan, dan hidup wajar sebagai masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Konsep tersebut akan bermanfaat jika ditujukan kepada narapidana yang melakukan tindak pidana berat yang diancam 7 tahun atau lebih. Konsep yang ditawarkan oleh RUU KUHP dan RUU KUHAP dapat dijadikan acuan pada masa mendatang dalam menentukan pidana denda sebagai alternatif pidana penjara. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, semua tindak pidana yang tergolong sangat seius (di atas 7 tahun penjara) tidak dialternatifkan dengan pidana denda.
Universitas Sumatera Utara
Selain pedoman di atas, dalam RUU KUHP juga ditentukan mengenai pedoman bagi hakim. Pasal 55 ayat (1) menentukan bahwa dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Kesalahan pembuat tindak pidana; Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; Sikap batin pembuat tindak pidana; Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; Cara melakukan tindak pidana; Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; Pemaafan dari korban dan / atau keluarga; dan / atau Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Pedoman pemidanaan di atas dimaksudkan agar nantinya dapat membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Melalui pertimbangan hal-hal yang dirinci dalam pedoman tersebut, diharapkan pidana yang dijatuhkan berdifat proporsional dan dapat dipahami oleh masyarakat, terutama pembuat tindak pidana. Rincian di atas tidak limitatif. Dalam arti hakim dapat menambah pertimbangan lain sesuai dengan keyakinan hakim. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Pedoman ini disebut dengan rechterlikjke pardon yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifanya ringan atau tidak serius. Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putuan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwa kepadanya.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pedoman di atas harus dibarengi dengan pembaruan hukum acara pidananya agar mempunyai satu sistem dan tujuan yang sama. Dalam RUU KUHAP telah diakomodasi mengenai pedoman bagi jaksa penuntut umum untuk tindak pidana tertentu dan pembuat tindak pidana. Pasal 42 RUU KUHAP menentukan bahwa penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan atau alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat untuk tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; tindak pidana denda; umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh puluh tahun; dan/ atau kerugian sudah diganti. Jika pidana denda ditentukan oleh jaksa penuntut umum, maka yang berlaku
adalah
ketentuan
peraturan
perundang-undanga
yang
mengatur
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagai salah satu bentuk pengawasan dan sekaligus perolehan dana untuk dimasukkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Ketentuan PNBP di atas harus juga diperlakukan untuk proses di pengadilan jika dilakukan afdoening buiten process untuk perkara tindak pidana tertentu. Untuk mencegah terjadinya hambatan proses peradilan, di dalam RUU KUHAP diperkenalkan adanya hakim komisaris yang berwenang mentapkan atau memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan serta pembatalan atau penangguhan penahanan. Secara lengkap, ketentuan tersebut dituangkan dalam Pasal 111 RUU KUHAP yang berbunyi sebaga berikut:
Universitas Sumatera Utara
Pasal 111 1. Hakim komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan : a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan; b. Pembatalan atau penangguhan penahanan; c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri; d. Alat bukti atau penyertaan yang diperoleh secara tidak sah dapat dijadikan alat bukti; e. Ganti kerugian dan / atau rehabilitasi untuk sesseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk ssetipa hak milik yang disita secara tidak sah; f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; g. Bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; h. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama penyidikan. 2. Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau pensehat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf I hanya dapat diajukan oleh penuntut umum. 3. Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketntuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf i. Sejalan dengan ini, menarik menyimak pendapat dari Darminto, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat, yang menyatakan bahwa : 155 “Dengan adanya pembaharuan-pembaharuan dari pidana denda di RKUHP baru yang memperbaiki masalah pidana denda yang ada selama ini, saya setuju dengan penerapan pidana denda tunggal sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek, namun dalam pelaksanaannya hakim nantinya harus lebih jeli menentukan mana yang di denda maupun yang dikenakan penjara.” Hakim harus lebih melihat masyarakat dan lebih peka dengan menggunakan keadilan restoratif sehingga dapat diterima dan diterapkan masyarakat. 155
Wawancara dengan Darminto, SH. MH., Hakim Pengadilan Negeri Stabat.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam naskah akademis RUU KUHAP disebutkan bahwa perubahan penting dalam Rancangan KUHAP menyangkut lembaga baru, yaitu hakim komisaris menggantikan praperadilan. Praperadilan adalah lembaga yang khas KUHAP , yang ternyata kurang efektif karena bersifat pasif menunggu gugatan para pihak. Lagi pula bukan lembaga yang berdiri sendiri tetapi melekat pada pengadilan negeri. Ketua pengadilan negerilah yang menunjuk seorang hakim menjadi hakim praperadilan jika masuk suatu permohonan. Jadi ide hakim komisaris
berbeda
dari
praperadilan
akan
tetapi
tidak
sama
dengan
rechtercommisaris di Belanda dan juge d’insruction di Perancis karena hakim komisaris versi Rancangan KUHAP, sama sekali tidak memimpin penyidikan. Jadi merupakan revitalisasi praperadilan yang sudah ada di dalam KUHAP sekarang. Secara tidak sengaja justru mirip dengan Guidicce per le indagini preliminary (hakim pemeriksa pendahuluan) di Italia. Italia bahkan menghapus Guidice Istructore yang sama dengan Juge d’instrruction di Perancis dan rechtercommissaris di Belanda. Tugas Guidice per le indagini preliminary (hakim pemeriksa pendahuluan) yang mengawasi jalannya penyidikan dan penuntutan mirip dengan hakim komisaris versi Rancangan. Ada sebagian wewenang hakim Pengadilan Negeri seperti izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan perpanjangan penahanan berpindah ke hakim komisaris agar proses menjadi cepat, tidak mengganggu hakim pengadilan negeri yang sibuk menyidangkan perkara pidana, perdata dan lain-lain. Dengan adanya hakim komisaris, sistem yang dibangun terkait dengan penyadapan di luar sidang dan penangguhan penahanan oleh penyidik dengan
Universitas Sumatera Utara
menetapkan pidana denda atau ganti kerugian yang pelaksanaannya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerimaan negara bukan pajak, maka efektivitas penerapan denda atau ganti kerugian dapat terwujud, termasuk adanya konsep penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui denda atau ganti kerugian. Terkait dengan gagasan tentang hakim komisaris yang ada dalam RKUHP 2008 dan RKUHAP, Sohe SH. MH., Wakil Ketua Pengadailan Negeri Stabat berpendapat bahwa : 156 “Kita selaku hakim tentu sangat menyambut positif terhadap gagasan hakim komisaris yang berada diluar kelembagaan pengadilan negeri ini, melihat banyak kritikan terhadap peraktek praperadilan saat ini, apalagi adanya sebagian kewenangan dari hakim pengadilan negeri seperti izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan perpanjangan penahanan yang berpindah ke hakim komisaris agar proses menjadi cepat, ini tentu sangat membantu hakim pengadilan negeri. Namun hendaknya gagasan ini juga harus didukung dengan aktualisasi yang baik dari seluruh penegak hukum. Karena sebagus apapun gagasan namun tidak didukung dengan aktualisasi yang baik dari seluruh penegak hukum, maka tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan.”
156
Hasil wawancara dengan Sohe, SH. MH., Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Pidana denda eksis dalam hukum positif Indonesia. Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat, sesudah pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan. Pidana denda dikenakan sebagai sanksi kumulatif pemberatan pidana perampasan kemerdekaan (penjara/kurungan), alternatif pidana perampasan kemerdekaan, atau sebagai pidana denda tunggal. Namun pidana denda memiliki kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan para penegak hukum enggan untuk menggunakannya. Di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP 2008), pidana denda masih tetap sebagai bagian dari pidana pokok di samping pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial. Dalam Penjelasan Pasal 80 RUU KUHP 2008 disebutkan bahwa pidana denda sebagai salah satu sarana dalam politik kriminal tidak kalah efektif dengan jenis pidana lainnya. 2. Pidana denda memiliki peluang untuk dijadikan sebagai solusi terhadap alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (penjara dan kurungan). Dimana pidana denda dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesaui dengan tujuan
pemidanaan yang
diharapkan. Pidana denda dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana. Pidana denda yang dibarengi dengan sistem keadilan restoratif diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam mayarakat. Pidana denda juga dapat dijadikan sebagai icon pemasukan negara bukan pajak (PNBP). Namun kritikan-kritikan
terhadap kekurangan-keurangan
pengaturan pidana denda yang ada dalam hukum positif Indonesia haruslah dibenahi terlebih dahulu.
B. Saran
1. Pidana denda dalam KUHP nilainya sangatlah rendah. Sejak 1960 sampai sekarang, belum ada ketentuan yang menyesuaikan mengenai ukuran harga barang yang telah meningkat dalam perekonomian di Indonesia. Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi penegak hukum untuk menerapkan pidana hilang kemerdekaan, dibandingkan dengan pemberian pidana denda.Berkenaan dengan permasalahan ini perlu adanya penyesuaian nilainya yang berkesinambungan melalui Peraturan Pemerintah. 2. Untuk mengefektivitaskan pidana denda, dalam perkembangan aturan pidana di luar KUHP, terdapat kecendrungan dalam kebijakan legislatif untuk meningkatkan jumlah ancaman pidana denda.Sementara itu keengganan para penegak hukum untuk menerapkan / menjatuhkan pidana denda tunggal terhadap terpidana untuk tindak pidana diluar KUHP adalah karena : a) Pidana denda yang terdapat di luar KUHP nilainya terlalu tinggi;
Universitas Sumatera Utara
b) Bahwa terpidana yang dijatuhi pidana denda tunggal dan ekonominya lemah lebih memilih subsider kurungan dari pidana denda tunggal tersebut karena jumlah pidana denda yang sangat tinggi. Sementara itu untuk yang ekonominya kuat pidana denda bukan menjadi pidana yang dapat memberikan efek jera baginya; c) Undang-undang lebih banyak mencantumkan sanksi pidana penjara yang dikumulatifkan dengan pidana denda (double track system) dari pidana pidana penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda atau pidana denda tunggal; d) Tidak ada ketentuan batas waktu yang pasti kapan denda itu harus dibayar, disamping itu tidak ada pula ketentuan mengenai tindakan-tindakan lain yang dapat menjamin agar terpidana dapat dipaksa untuk membayar dendanya misalnya dengan jalan merampas atau menyita harta benda atau kekayaan terpidana; e) Terhadap kejahatan yang mempunyai korban, pidana denda bukan menjadi pilihan yang
memberikan manfaat kepada si korban,
karena dendanya diberikan kepada negara, bukan kepada si korban untuk pemulihannya. Dengan demikian tujuan pemidanaan tidaklah dapat tercapai. f) Tidak ada aturan yang jelas terhadap pidana denda yang diberikan kepada koorporasi. Untuk itu perlu dilakukan pembaruan dari ketentuan KUHP (lama), dan memberikan solusi terhadap permasalah diatas yakni :
Universitas Sumatera Utara
a) Pidana denda ditentukan melalui pengkategorian; b) Jika terdapat perubahan nilai rupiah, dapat diubah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah; c) Adanya pengaturan mengenai pertimbangan tentang kemampuan terpidana; d) Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil; e) Pidana denda dapat diganti dengan pidana kerja sosial, pengawasan atau pidana penjara; f) Untuk denda dapat dijatuhakn terhadap korporasi; g) Untuk korporasi yang tidak dapat membayar denda secara penuh, diganti dengan pidana berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Universitas Sumatera Utara