BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN
Penegakan Hukum Pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang No.14 Tahun 1970 jo. Undang-undang No.35 Tahun 1999, perumusannya sebagai berikut: Pasal 1 Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pembatasan
pengertian
kekuasaan
kehakiman
dalam
arti sempit
sebagaimana disebutkan di atas, sepatutnya dikaji ulang, karena pada hakikatnya “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara dalam menegakkan hukum”. Jadi, kekuasaan kehakiman identik dengan “kekuasaan (untuk) menegakkan hukum” atau “kekuasaan penegakan hukum”. Hakikat pengertian yang demikian sebenarnya terungkap juga dalam perumusan di atas, yaitu pada kalimat terakhir yang berbunyi: “guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Hanya sayangnya kalimat itu tidak dirumuskan sebagai hakikat/pengertian dari kekuasaan kehakiman, tetapi dirumuskan sebagai “tujuan” dari diselenggarakannya peradilan. Sekiranya “tujuan” itulah yang menjadi hakikat dari kekuasaan
63 Universitas Sumatera Utara
kehakiman, maka pengertian “kekuasaan kehakiman” seyogianya dirumuskan sebagai “kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia”. 43 Dengan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas sebagaimaan disebutkan di atas, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili” (kekuasaan menegakkan hukum di badan-badan pengadilan), tetapi mencakup menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum. Ini berarti, dalam perspektif sistem peradilan pidana (SPP), “kekuasaan kehakiman (kekuasaan penegakan hukum) di bidang hukum pidana” mencakup seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu “kekuasaan penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik), “kekuasaan penuntutan” (oleh badan/lembaga
penuntut
umum),
“kekuasaan
mengadili”
(oleh
badan
pengadilan), dan kekuasaan pelaksana putusan/pidana” (oleh badan /lembaga eksekusi) Dengan demikian “kekuasaan kehakiman (di bidang hukum pidana) dilaksanakan oleh 4 (empat) badan/lembaga seperti dikemukakan di atas. Keempat badan-badan itulah yang dapat disebut sebagai “badan-badan penegak hukum”. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, bukan
hany
diwujudkan
dalam
“kekuasaan
mengadili”,
tetapi
diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) tahap kekuasaan di atas. Keempat tahap kekuasaan kehakiman (di bidang hukum pidana) itulah yang merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana, yang biasa dikenal 43
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, ha. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
dengan istilah “sistem peradilan pidana yang terpadu” (“integrated criminal justice system”). Dengan kata lain, SPP (sistem peradilan pidana) pada hakikatnya merupakan “sistem penegakan hukum pidana” atau “sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”.
Masalah penegakan hukum, baik secara “in abstracto” maupun secara “in concreto”, merupakan masalah aktual yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat.44 Kualitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi kualitas penegakan hukum secara materiil/substansial seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat, antara lain: (1) adanya perlindungan HAM (hak asasi manusia); (2) tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antarsesama; (3) tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang; (4) bersih dari praktek “favoritisme” (pilih kasih), KKN, dan mafia peradilan; (5) terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya kode etik/kode profesi; (6) adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Penegak Hukum Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam tulisan ini, yang
44
Ibid., hal 18.
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pemasyarakatan. 45 Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang makin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Dalam bidang hukum pidana yang mencakup tugas kemasyarakatan maka mengenai kedudukan ini disebutkan sebagai tugas-tugas dan kewenangan-kewenangan. Tugas dan kewenangan tersebut merupakan peranan atau role. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant).
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Secara sederhana sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan apa tugas Hukum Pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana Hukum Pidana di dalam undang-undang dan bagaimana Hakim menerapkannya. 46
45
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 19. 46 Petrus I. Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 54.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, sistem peradilan pidana setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai empat komponen (empat sub sistem), yaitu: Sub sistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah departemen Kehakiman. Tujuan sistem peradilan pidana dapat dikategorikan sebagai berikut: 47 1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; 2. Dikategorisasikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy); 3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (Social Welfare) dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy). Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro, sistem ini dianggap berhasil, apabila terdapat laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku ke muka sidang pengadilan dan menerima pidana. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini sangat luas, yaitu: 48 a. Mencegah masyarakat menjadi korban;
47 48
Ibid. Ibid., hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana; c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya.
Mekanisme Sistem Peradilan Pidana dalam Kejahatan Uang Palsu Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan uang palsu dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan serta membuat surat dakwaan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal ini pun Pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan kejahatan uang palsu diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap si terhukum. Di dalam sistem peradilan pidana terdapat adanya suatu proses InputProcess-Output. Adapun yang dimaksud dengan Dikaitkan dengan kejahatan uang palsu, Input adalah laporan tentang terjadinya kejahatan uang palsu; dan yang dimaksud dengan Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksud dengan Output adalah hasil-hasil yang diperoleh, yaitu tujuan dari penegakan hukum pidana. 49 Sebagai suatu sistem, maka di dalam mekanismenya mensyaratkan adanya kerja sama diantara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya berbeda-beda.
Komponen Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan telaahan terhadap isi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditemukan empat komponen yang mempengaruhi sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Keempat komponen aparatur hukum ini memiliki hubungan yang amat erat satu sama lain, bahkan saling menentukan. Dibandingkan dengan bidang-bidang lain peraturan penegakan hukum dalam bidang pidana ini lebih lengkap, yang terdapat dalam ketentuan hukum acara pidana, undang-undang kekuasaan kehakiman, undang-undang kepolisian, undang-undang kejaksaan, dan peraturan tentang penjara. Sistem peradilan pidana diimplementasikan oleh seluruh kekuasaan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili, dan kekuasaan eksekusi pidana. Keseluruhan proses
49
Ibid., hal 56.
Universitas Sumatera Utara
penegakan hukum pidana ini dapat dimasukkan dalam pengertian kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana. Karena itu sistem peradilan pidana itu pada hakekatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana. Meskipun komponen sistem peradilan pidana ini merupakan satu kesatuan dalam penegakan hukum, namun masing-masing bekerja dalam batas tugas dan kewenangannya. Artinya satu komponen tidak harus mencampuri tugas dan kewenangan aparat penegak hukum lainnya. Hubungan komponen-komponen tersebut hanya sebatas komunikasi, dan koordinasi agar tercipta harmonisasi dalam pelaksanaan tugas, dan tidak terjadi konflik kewenangan di antara aparat penegak hukum. Dengan demikian akn terwujud proses peradilan yang jujur dan adil. Dalam sejarah penegakan hukum pidana (khususnya di Indonesia) tercatat adanya pertemuan-pertemuan di antara unsur-unsur penegak hukum kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang biasanya dilaksanakan di Cibogo sehingga dikenal dengan sebutan “pertemuan Cibogo”. Selain itu dikenal pula forum Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkejapol). Pertemuan maupun forum ini sangat tepat dijadikan sebagai wadah pertemuan komunikasi dan koordinasi sekaligus evaluasi antara aparat penegak hukum pidana dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Pengawasan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan kewenangan tetap berada dalam kekuasaan penegak hukum secara vertikal. Oleh karenanya, atasan sebagai
Universitas Sumatera Utara
pimpinan dari masing-masing unsur harus mengamati semua kegiatan yang diperankan oleh aparat bawahannya secara intensif. Berikut adalah mekanisme penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang diuraikan secara umum sebagai berikut.
A. Kepolisian Peredaran kejahatan pemalsuan uang dari tahun ke tahun selalu meningkat, terlebih dipergunakan sebagai transaksi untuk pembelian narkoba, serta beredarnya uang palsu di daerah-daerah konflik. 50 Sebagai upaya penanggulangan kejahatan pemalsuan ini pihak kepolisian (dalam hal ini Poltabes Medan dan Sekitarnya) melakukan berbagai upaya melalui antisipasi dan strategi dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang rupiah di kota Medan. Polisi sebagai instansi pertama yang terlibat dalam mekanisme sistem peradilan pidana Indonesia, dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang mempunyai tugas dan wewenang, antara lain: a. Menerima pengaduan, menangkap orang, menahan orang (Pasal 13); b. Polisi juga ikut serta secara fisik di dalam pertahanan negara (Pasal 18).
50
Wawancara dengan Aipda Jikri Sinurat, Unit Ekonomi Sat Reskrim Poltabes MS.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana, Polisi mempunyai wewenang dan dinyatakan sebagai: a. Penyelidik (Pasal 4); b. Penyidik (Pasal 6); c. Polisi diharuskan membuat Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 75); d. Polisi mempunyai diskresi untuk menghentikan Penyidikan (Pasal 109); e. Polisi mempunyai wewenang untuk menentukan (men-stir) tindak pidana apa yang dilakukan oleh tersangka (Pasal 121). Oleh karena itu dapat dikatakan yang paling berat tugas dan tanggung jawabnya di antara alat penegak hukum, ialah Polisi. Polisi-lah yang pertamatama yang harus melakukan segala daya upaya yang bersifat preventif yaitu menghindarkan terjadinya gangguan keamanan, termasuk terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya. Polisi harus selalu siap siaga siang dan malam. Dalam tugasnya itu Polisi dianggap mempunyai indera keenam untuk mampu mencium adanya kejahatan uang palsu. Melalui indera keenam itulah Polisi diharapkan dapat dan mampu menghindarkan hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan uang palsu yang sama-sama tidak dikehendaki. Melihat kenyataan di atas, tugas kepolisian amat luas dan resikonya amat besar karena berhadapan dengan para penjahat. Begitu banyak kejahatan uang palsu yang tidak dilaporkan dengan demikian masih lebih banyak penjahat dibandingkan dengan yang diadili. Sehubungan dengan itu dirasakan adanya kekurangan personil dari Polisi dan untuk itu perlu banyak spesialisasi. Polisi saat melaksanakan tugas/fungsi sebagai aparat keamanan dan ketertiban maupun
Universitas Sumatera Utara
sebagai penyelidik/penyidik kerapkali melakukan salah kira terhadap pelaku yang dicurigai. Hal ini akan menyulitkan apabila sampai pada acar pemeriksaan sampai pembuatan
Berita
Acara
Pemeriksaan.
Oleh
karenanya
tidak
tertutup
kemungkinan Berita Acara Pemeriksaan itu ditolak oleh Jaksa karena tidak lengkapnya bukti-bukti yang dapat membuktikan bahwa tersangka adalah pemalsu uang ataupun pengedarnya. Polisi sebagai penjaga gawang dalam arti apa yang harus diteruskan untuk penuntutan banyak diperhadapkan pada masalah-masalah administratif, padahal Polisi itu sebagai salah satu penegak hukum harus aktif melindungi masyarakat dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Polisi juga mempunyai diskresi dalam menerapkan mandat yang diberikan. Polisi juga diberikan tugas utama, yaitu membuat keputusan ondespoot (di tempat). Keputusan pada saat itu mengakibatkan sesuatu yang sangat penting, yaitu bagaimana hukum itu diterapkan (khususnya pengakuan terhadap hak-hak asasi tersangka).
Peranan pihak Kepolisian dalam pemberantasan uang palsu antara lain: 51 (Wawancara dengan Aipda Jikri Sinurat) a. Melakukan penangkapan terhadap pengedar serta mengajukan Berkas Perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. b. Melakukan penangkapan terhadap orang yang memalsukan atau orang yang mencetak sendiri uang palsu tersebut serta mengedarkannya. (Info diambil dari pengalaman yang tertangkap terlebih dahulu).
51
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
c. Melakukan penyitaan barang bukti berupa uang yang diduga palsu beserta alat-alat yang dipergunakan untuk membuat uang tersebut.
Peran Polisi sangat penting sebagai pihak yang pertama kali mengambil tindakan apabila terjadinya pemalsuan uang.
A.1. Penyelidikan dan Penyidikan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang a. Penyelidikan Dibandingkan dengan HIR/RBg, maka dalam hal penyelidikan dan penyidikan KUHAP telah mengadakan perincian secara jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan. Pengaturan secara rinci tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan itu, yaitu dimulai dari pengertian penyelidikan dan penyidikan, para pejabat penyelidik dan pejabat penyidik, fungsi dan wewenang pejabat penyelidik dan pejabat penyidik serta tata cara pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan.
Penyelidik Secara umum dapat dirumuskan bahwa penyelidik adalah orang yang melakukan penyelidikan atau dengan kata lain penyelidik adalah orang yang menyelidiki sesuatu peristiwa atau kejadian guna mendapatkan kejelasan tentang peristiwa atau kejadian itu. Untuk menggambarkan pengertian tentang
Universitas Sumatera Utara
penyelidikan itu A. Hamzah mengemukakan bahwa ; “… penyelidikan berasal dari kata sidik yang mendapatkan sisipan el, menjadi selidik. Artinya sama dengan sidik, hanya diperkeras pengertiannya, banyak menyelidik” 52 Pejabat Polri Sebagai Pejabat Penyelidik (dalam kejahatan uang palsu): a. Dalam pasal 1 angka 4 KUHAP, dirumuskan bahwa penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. b. Dalam pasal 1 angka 5 ditegaskan pula bahwa yang dimaksudkan dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dari perumusan pasal 1 angka 4 dan pasal 1 angka 5 KUHAP di atas, dapat ditarik pengertian bahwa setiap pejabat kepolisian negara Republik Indonesia itu adalah pejabat yang berstatus sebagai pejabat penyelidik dan berwenang melaksanakan penyelidikan. Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana digariskan pada pasal 1 angka 5 KUHAP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu penyelidikan terhadap suatu tindak pidana.
52
Harun M. Husein, S.H., Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 54.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itulah M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidik (penyelidikan, penulis) bukanlah suatu tindak atau fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Karena penyelidikan itu merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan di sini mempunyai fungsi sebagai “penyaring”, apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan ataukah tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang, dapat dihindarkan sedini mungkin. 53 Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, diberikan penjelasan yang berhubungan dengan penyelidikan sebagai berikut : Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.
Penyelidikan sebagai sub sistem daripada penyidikan, memegang peranan penting dan sangat menentukan bagi keberhasilan penyidikan. Oleh karena itu meskipun penyelidikan itu adalah wewenang dari setiap anggota Polri, tetapi dalam pelaksanaannya seyogianya dilakukan di bawah pimpinan pejabat
53
Harun M. Husein, S.H., op cit, hlm. 55
Universitas Sumatera Utara
penyidik. Dengan mekanisme kerja demikian diharapkan penyelidikan sejak dini telah menghasilkan gambaran tentang peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan kesimpulan bahwa suatu peristiwa benar-benar merupakan tindak pidana serta terhadap tindak pidana itu dapat dilakukan penyidikan. Dengan adanya keikutsertaan pejabat penyelidik dalam pelaksanaan tugas penyelidikan itu, penyidikan yang akan dilakukan nantinya akan lebih mudah, karena sejak dini pejabat penyidik telah memperoleh gambaran tentang tindak pidana yang akan disidik itu. 54 Untuk mengetahui ada dugaan telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana yaitu melalui: 1.
Laporan, yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan, terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP).
2.
Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).
3.
Tertangkap tangan, yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya
54
Ibid., hlm.55-61.
Universitas Sumatera Utara
ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Pasal 1 butir 19). 4.
Media Massa, di mana aparat penegak hukum dapat mengetahui terjadinya tindak pidana melalui media massa misalnya TV, surat kabar, majalah dan lain-lain. Informasi yang diberikan melalui media massa dapat menjadi informasi bagi aparat penegak hukum terutama penyelidik dan penyidik untuk melakukan tindakan-tindakan apabila dari informasi tersebut diduga telah terjadi suatu tindak pidana.
Kewenangan Penyelidik Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik mempunyai kewajiban dan kewenangan. Penyelidik karena kewajibannya memiliki kewenangan antara lain sebagai berikut (Pasal 5 KUHAP): 1.
Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2.
Mencari keterangan dan barang bukti;
3.
Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Di samping itu, atas perintah penyidik, penyelidik dapat melakukan
tindakan berupa:
Universitas Sumatera Utara
1.
Penangkapan,
larangan
meninggalkan tempat,
penggeledahan dan
penyitaan; 2.
Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4.
Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Penyelidikan merupakan tindakan tahap permulaan penyidikan. Akan tetapi, penyelidikan bukan merupakan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisah dari fungsi penyidikan. Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP).
b. Penyidikan Apabila tahap penyelidikan telah dilalui dan dapat ditentukan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP). Penyidik Yang termasuk sebagai penyidik adalah (Pasal 6 KUHAP): 1.
Pejabat polisi negara Republik Indonesia;
2.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, syarat kepangkatan penyidik adalah sebagai berikut: a.
Pejabat polisi RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan II Polisi (sekarang AIPDA/Ajun Inspektur Polisi Dua);
b.
Pejabat PNS tertentu yang sekurang-kurangnya Pengatur Mda Tk.I Gol.II B atau yang disamakan dengan itu.
Pembuktian Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, kepolisian berupaya untuk mengumpulkan barang bukti dan alat-alat bukti yang berkaitan guna menghukum pelaku sebenarnya.Alat-alat bukti menurut KUHAP pasal 184 ayat (1) yaitu: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Kemudian, dalam melaksanakan tugasnya pula kepolisian membutuhkan bantuan teknis, antara lain : a. Identifikasi b. Laboratorium forensik c. Psikologi
Universitas Sumatera Utara
Hal yang paling penting pula dalam upaya pemberantasak kejahatan pemalsuan mata uang rupiah ini pula ialah adanya koordinasi antara para penegak hukum dan juga dengan instansi-instansi terkait lainnya. Koordinasi tersebut yaitu antara: a. Penegak hukum b. Interpol c. Instansi perbankan d. BOTASUPAL 55
Adapun proses penyelidikan yang dilakukan oleh POLRI atau Kepolisian dalam pekara kejahatan pemalsuan uang yaitu di mana pihak Kepolisian menerima pengaduan dari masyarakat atau tertangkap tangan memiliki, menyimpan, menguasai, atau mengedarkan uang palsu sehingga orang tersebut dapat dilakukan penyelidikan atas ditemukannya uang palsu tersebut. Sedangkan proses penyelidikannya adalah di mana seseorang yang sudah tertangkap tangan memiliki uang palsu sehingga dapat diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau pasal yang dipersangkakan. Sehingga perkara tersebut dapat diajukan kepada Jaksa Penuntut Umum.
Koordinasi dengan instansi-instansi terkait lainnya Agar penanggulangan kejahatan pemalsuan uang dapat dilakukan semaksimal mungkin, sangat dibutuhkan adanya kerjasama yang erat antara para
55
Suryanbodo Asmoro, op cit, hlm. 8-9
Universitas Sumatera Utara
penegakan hukum dan instansi terkait lainnya. Dalam hal ini akan dibahas mengenai koodinasi antara Kepolisian, Bank Indonesia, Botasupal serta tidak lepas pula peran masyarakat yang sangat penting. Berikut ini merupakan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Bapak Novaryos, salah seorang dari staf pada Unit Kas Bank Indonesia Medan terkait dengan peran Bank Indonesia (dalam hal ini Bank Indonesia Medan) dalam rangka penanggulangan kejahatan pemalsuan uang di kota Medan sebagai berikut: 56 1. Upaya yang dapat dilakukan oleh BI dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang adalah upaya perventif (pencegahan). Upaya preventif ini dilakukan dalam bentuk sosialisasi kepada 3 (tiga) golongan, yaitu: -
Golongan I ialah perbankan;
-
Golongan II
terdiri dari masyarakat, pedagang, toko, dan
sebagainya; -
Golongan III ialah mahasiswa dan pelajar. Bank Indonesia memberikan sosialisasi mengenai ciri-ciri uang asli
(bukan ciri-ciri uang palsu) serta tindakan apa yang harus dilakukan apabila menemukan uang yang diduga palsu. Dalam sosialisasi tersebut ikut pula disampaikan oleh BI tentang bagaimana prosedur dalam melaporkan uang yang diduga palsu tersebut dan keadaan-keadaan atau
56
Wawancara penulis dengan Bapak Novaryos, Unit Kas Bank Indonesia Medan.
Universitas Sumatera Utara
sanksi yang akan diterima apabila tidak dilaporkan mengenai uang yang diduga palsu itu. Yang menjadi keburukan dari adanya uang palsu di negara kita ialah adanya beberapa kondisi yang pada akhirnya tetap membuat si pelapor merugi dengan memiliki uang palsu tersebut, di mana: -
Apabila uang tersebut dijalankan olehnya (diberikan kepada orang lain tanpa memberitahu bahwa uang tersebut palsu) karena ia tidak mau merugi sementara diketahuinya uang yang diterimanya itu palsu, ia dapat dituduh sebagai pengedar dan diancam dengan pidana karena melakukan kejahatan pengedaran uang palsu;
-
Apabila uang tersebut disimpan/ditahan/tidak dijalankan karena ia takut disebut sebagai pengedar, ia merugi;
-
Apabila dilaporkan, ia juga merugi sebab tidak ada uang pengganti atas uang palsu. Hal-hal tersebut di atas inilah yang menjadi dilematis karena
lemahnya kondisi yang ditimbulkan akibat dari kejahatan pemalsuan uang di Indonesia. Seperti halnya pribahasa seperti makan buah simalakama, dimakan mati ayah tak dimakan mati ibu. Di mana tindakan apapun yang dilakukan oleh pemegang uang palsu akan membuatnya merugi. Oleh karenanya sangat diperlukan kejelian dari setiap orang apabila menerima uang dari siapapun. 57 Namun, upaya yang terbaik apabila seseorang menemukan uang yang diduga uang palsu ialah melaporkannya kepada
57
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pihak yang berwajib (pihak Kepolisian) untuk dapat dilakukannya proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun koordinasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Poltabes MS dengan Bank Indonesia Medan salah satunya yaitu uang yang diduga palsu yang ditemukan oleh pihak Kepolisian diserahkan kepada Bank Indonesia Medan untuk dapat menentukan apakah uang itu palsu atau tidak serta menyertakan kertas dan peralatan lainnya yang digunakan mencetak uang yang ditemukan. 58 Laporan kepada pihak Kepolisian atas ditemukannya uang palsu sangat memegang peranan penting dalam upaya pemberantasan kejahatan pemalsuan uang. Dengan adanya laporan serta adanya bukti permulaan yang cukup
maka tindakan penyelidikan dapat
dilakukan guna
menemukan pelakunya. Dengan adanya laporan tersebut juga diharapkan dapat mengungkap kasus-kasus pemalsuan uang lainnya yang ditemukan sebelumnya yang pelakunya belum diketahui. Dengan kata lain, laporan tersebut akan mempermudah penyidikan atas penyelidikan kasus yang belum ditemukan pelakunya atau jaringan/organisasi pemalsu uang tersebut. Peran yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang ini hanya dalam hal preventif (pencegahan sebelum kejahatan ini terjadi) yang niat dan tindakannya berasal dari BI lansung. Sedangkan upaya represifnya (penanggulangan
58
Wawancar penulis dengan Bapak Jikri Sinuat, Unit Ekonomi Sat Reskrim Poltabes MS.
Universitas Sumatera Utara
setelah kejahatan ini terjadi) merupakan peran dari para penegak hukum, tidak termasuk BI. Mengenai kerjasama antara pihak Kepolisian dengan BI yaitu apabila pihak BI Medan menemukan uang palsu karena penukaran uang lama dengan uang baru ataupun penukaran uang pecahan rupiah, maka pihak BI segera melaporkan hal tersebut ke Polda Sumut (Kepolisian Daerah Sumatera Utara)untuk kemudian pihak Polda menurunkan Surat Perintah untuk dilakukannya penyelidikan atas temuan uang palsu tersebut. Kepala Polda kemudian memberikan perintah kepada bagian Reserse untuk melakukan penyelidikan atau penyidikan. Dengan dimulainya tindakan penyelidikan atau penyidikan tersebut, pihak Polda kemudian membutuhkan pernyataan dari BI bahwa uang yang diduga palsu tersebut benar-benar palsu untuk kemudian dapat dilakukan tindakan penyelidikan atau penyidikan berikutnya, antara lain meminta keterangan pelapor, saksi, atau korban uang palsu tersebut. Dari hasil penyelidikan kemudian pihak Polda meetapkan tersangkanya. Setelah menetapkan tersangka dan menyelesaikan Berkas Hasil Perkara kemudian pihak Kepolisian melimpahkan kasus tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum lalu memeriksa Berkas Hasil Perkara pamalsuan uang tersebut apakah sudah lengkap atau belum untuk dilimpahkan ke pengadilan. Apabila belum lengkap maka Berkas Hasil Perkara tersebut dikembalikan kepada pihak Kepolisian atai Penyidik untuk dilengkapi disertai penjelasan tentang hal-hal yang perlu dilengkapi oleh penyidik.
Universitas Sumatera Utara
Setelah lengkap Jaksa Penuntut Umum kemudian melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan untuk proses pemeriksaan selanjutnya. Kalaupun dalam hal penyelidikan di mana BI setelah dimintakan oleh pihak Kepolisian memberikan pernyataan bahwa uang yang diduga palsu itu memang benar-benar palsu dan diberi tanda oleh BI sebagai uang palsu dan juga dalam hal pembuktian yaitu setelah dimintakan oleh Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum untuk menjadi saksi ahli di pengadilan, maka kedua hal tersebut bukanlah upaya yang dilakukan atas inisiatif BI karena kondisinya BI dimintakan bukan atas niatnya sendiri melakukan tindakan dalam hal penyelidikan maupun pembuktian tersebut. Tanpa adanya permintaan dari pihak Kepolisian, BI tidak dapat bertindak sendiri. Sehingga tindakan tersebut bukan termasuk upaya represif. Meskipun demikian peranan dari pihak BI namun belum ada unit khusus di BI yang menangani apabila ditemukannya uang palsu pada BI. Namun, bagian di BI yang berhak menjadi saksi ahli serta dalam hal pmberitahuan kepada pihak Kepolisian (Polda) adalah bagian Kas BI. Di mana apabila datang permintaan dari pihak Kepolisian untuk menyatakan bahwa uang yang dilaporkan itu memang palsu, maka pihak BI yaitu pimpinan bagian Kas BI kemudian menunjuk siapa yang akan menjadi saksi ahli dalam kasus pemalsuan uang tersebut dilihat dari kemampuan yang dimiliki. Peran BI dalam pemberantasan kejahatan pemalsuan mata uang rupiah kaitannya dengan penegakan hukum ialah membantu pihak
Universitas Sumatera Utara
Kepolisian dalam penyelidikan ataupun penyidikan dan membantu pihak Kejaksaan atau pengadilan dalam hal memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam pemeriksaan atau pembuktian di pengadilan dalam kasus kejahatan pemalsuan uang. Sebab tanpa dukungan atau bantuan dari pihak BI, pihak Kepolisian akan kesulitan dalam melakukan penyelidikan ataupun penyidikan mengingat sangat pentingnya peran BI tersebut serta mengingat jumlah kasus uang palsu yang ditemukan di BI jauh lebih banyak dibandingkan dengan kasus pemalsuan uang yang diperoleh dari laporan pada pihak Kepolisian (data terlampir). Sedangkan koordinasi antara pihak Kepolisian dengan Botasupal (Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu) antara lain dengan Botasupal mengirimkan surat bahwasanya telah ditemukannya uang palsu beserta keterangan, kemudian pihak Botasupal akan datang secara langsung ke Poltabes MS untuk melihat uang palsu tersebut serta keterangan tentang bagaimana cara ditemukannya uang palsu oleh pihak Kepolisian itu. Terhadap segala pemeriksaan uang palsu maupun informasi lainnya pihak Kepolisian membuat Berita Acara atas ditemukannya uang palsu tersebut.
Oleh karenanya kedua belah pihak ini (Kepolisian dan BI) harus mengeratkan koordinasinya dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang. Kepolisian sebagai pengambil tindakan pertama diusutnya suatu kasus pemalsuan uang dan BI sebagai penentu apakah uang yang diduga palsu tersebut itu benar palsu atau tidak. Meskipun yang termasuk dalam penegakan hukum
Universitas Sumatera Utara
adalah aparat Kepolisian, namun peran BI tersebut di atas sangat memegang peranan penting. Kepolisian dan BI dapat dikatakan sebagai pintu pembuka dilakukannya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan mata uang (penulis), serta dilanjutkan dengan kekuasaan kehakiman serta diakhiri dengan pengambilan keputusan oleh hakim (penjatuhan hukuman).
Diharapkan terciptanya suatu penyamaan persepsi dan pandangan antara Bank Indonesia selaku bank sentral dengan aparat penegak hukum serta masyarakat luas dalam menangani kejahatan pemalsuan mata uang rupiah.
Berikut ini adalah hal-hal yang harus dilakukan bila menerima uang yang diragukan keasliannya, yaitu: 59 1. Masyarakat umum agar melaporkan uang yang diragukan keasliannya tersebut kepada Bank Indonesia, bank umum atau pihak Kepolisian. 2. Bank umum agar melakukan hal-hal sebagai berikut: a)
Menahan uang yang diragukan keasliannya tersebut dan tidak menggantinya.
b)
Tidak boleh merusak fisik uang.
c)
Mencatat identitas pelapor/penyetor.
d)
Membuat laporan ke Bank Indonesia.
59
Direktorat Pengedaran Uang Bank Indonesia, brosur “Kenali Rupiah Anda! “
Universitas Sumatera Utara
Kemudian
BI
memberikan
pula
bagaimana
masyarakat
seharusnya
memperlakukan uang, sebagai berikut: 1. Simpanlah uang secara benar pada tempatnya. 2. Hindari perusakan fisik dari coret-coretan, staples, selotip, peremasan dan sebagainya. 3. Tukarkan uang lusuh, rusak, terbakar dan cacat ke Bank.
Disebutkan pula mengenai sanksi pidana terhadap perbuatan memalsukan uang, yaitu sebagai berikut: Setiap orang yang sengaja meniru atau memalsukan uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan, dan setiap orang yang membuat benda semacam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHP atau pasal IX Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Kejahatan
pemalsuan
uang
berdampak
luas
dan
strategis
serta
mengganggu stabilitas perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap uang dan pembangunan. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan kejahatan pemalsuan mata uang rupiah ini sangat diperlukan peran dari para penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya semaksimal mungkin, terutama pihak kepolisian selaku pihak yang mengambil tindakan pertama apabila terjadi kejahatan pemalsuan uang. Namun tindakan yang dilakukan oleh pihak
Universitas Sumatera Utara
kepolisian ini pun sangat membutuhkan bantuan dari pihak lain seperti Bank Indonesia dan Botasupal.
2. Kemudian mengenai kerjasama antara pihak BI dengan pihak Botasupal (Badan Pemberantasan Uang Palsu) yaitu dalam hal saling memberikan informasi apabila mengetahui adanya hal-hal atau informasi bahwa telah ditemukannya uang yang diduga palsu ataupun tempat tertentu yang dicurigai menjadi dilakukannya praktek pembuatan uang palsu. Botasupal yang terdiri dari BIN (Badan Intelegensi Nasional), Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, sama halnya dengan BI yaitu berperan dalam hal melakukan upata preventif dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang, yaitu dengan memberikan informasi atau pemberitahuan kepada pihak yang berwajib (pihak Kepolisian) apabila mengetahui tentang adanya uang palsu. Demikian halnya Botasupal dengan Kepolisian, sama seperti dengan pihak BI, yaitu dalam hal pemberian informasi tentang terjadinya kejahatan pemalsuan uang.. Kemudian ada pula upaya dari Botasupal agar setiap printer berwarna pembelinya didaftar dan diberi tanda berupa sticker khusus yang antara lain memuat identitas kode printer, nama pemilik dan wilayah printer
tersebut
digunakan.
Hal
ini
dilakukan
untuk
semakin
mempersempit ruang lingkup dalam menemukan pelaku pembuat uang palsu menggunakan printer berwarna.
Universitas Sumatera Utara
BI mengharapkan masukan-masukan yang konstruktif dari berbagai kelompok masyarakat pengguna rupiah mengenai metode dan deteksi yang digunakan dalam mengenali keaslian uang rupiah. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh BI adalah mengindetifikasi berbagai modus kejahatan terhadap penggunaan uang rupiah dan upaya-upaya preventif dan represif dalam penanggulangan pemalsuan uang rupiah. Saat ini BI pun telah dan terus melakukan berbagai upaya preventif guna menghadapi tantangan risiko uang Rupiah palsu. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh BI dalam rangka penanggulangan pemalsuan uang antara lain : a. Penggantian desain uang Rupiah secara berkala dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) termutakhir dan terkini pada desain barunya. b. Penyebarluasan secara aktif informasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah melalui penayangan iklan layanan masyarakat c. Melakukan kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah d. Membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan "Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center" atau BC-CAC. Namun demikian, beberapa upaya tersebut yang dilakukan BI tidak akan optimal apabila tidak disertai dengan upaya represif dan penindakan tegas yang menjadi kewenangan aparat penegak hukum.
Universitas Sumatera Utara
C. Kejaksaan Tugas pokok Jaksa menurut Pasal 27 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI adalah mengadakan penuntutan dalam perkara pidana dan melaksanakan penetapan Hakim. Di samping itu, apabila dianggap perlu Jaksa mengadakan penyelidikan tambahan. Dalam kejahatan uang palsu, Jaksa sebagai Penuntut Umum, ditugaskan merumuskan perkara yang diterima kepolisian sebagai penyidik untuk mendapat penyelesaian menurut hukum. Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa Jaksa juga sebagai Penuntut Umum (Pasal 13) dengan wewenang (Pasal 14) antara lain: menerima dan memeriksa berkas perkara, membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke Pengadilan, memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan. Asas yang paling fundamental dalam proses peradilan pidana yaitu keharusan membuat surat dakwaan. Apabila tidak jelas, maka akan memperngaruhi penilaian Hakim sehingga tidak dapat diterima. Bagi Hakim, surat dakwaan harus dapat dijadikan pedoman dari putusan yang akan diambilnya tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa melakukan kejahatan uang palsu, terutama mengenai segala sesuatu yang dimuat dalam surat dakwaan dengan apa yang dinyatakan telah terbukti dalam persidangan. Jadi, baik pengakuan maupun putusan Hakim keseluruhannya bersumber pada surat dakwaan yang diajukan Jaksa di awal persidangan mengenai terdakwa terbukti telah melakukan kejahatan uang palsu. Hakim didorong untuk memahami, meneliti, memeriksa dan menguji kebenaran dari surat dakwaan itu
Universitas Sumatera Utara
yang kemudian melahirkan suatu kesimpulan tentang apakah si terdakwa bersalah atau tidak melakukan kejahatan uang palsu dan atau dihukum ataukah dibebaskan. Surat dakwaan yang tidak lengkap akan menghambat proses peradilan dan berakibat tertundanya penyelesaian perkara. Wewenang Penuntut Umum memperpanjang masa penahanan, menjadi kendala di dalam perjalanan penegakan hukum pidana. Di samping itu juga Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi (Pasal 110 Undang-Undang No.8 Tahun 1981). Kewenangan seperti ini tentunya memberikan kegelisahan bagi tersangka akan kepastian hukum kapan perkaranya disidangkan. Dalam Pasal 144 KUHAP, Jaksa dapat mengubah surat dakwaan sebelum persidangan dengan alasan penyempurnaan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya dalam batas waktu tujuh hari. Pasal ini memberikan kemungkinan memperlambat persidangan
bahkan
penyalahgunaan
wewenang
hingga
menimbulkan
penyimpangan hukum.
Penuntutan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Pasal 1 butir 6 KUHAP mengatur: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta “melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Universitas Sumatera Utara
Surat Dakwaan Pengertian umum surat dakwaan dalam praktek penegakan hukum yakni, berupa surat akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan dan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar (dalam hal ini kejahatan pemalsuan uang) dan didakwakan kepada terdakwa dan surat dakwaan ini menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim di sidang pengadilan. Dari rumusan tersebut, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Perumusan surat dakwaan harus konsisten dan sinkron dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Artinya, rumusan surat dakwaan itu harus benar-benar seiring dan sejalan dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Jika menyimpang dari hasil penyidikan maka merupakan surat dakwaan yang palsu dan tidak benar. Misalnya: Pasal 244 (Pemalsuan uang) Apabila terdakwa/penasehat hukumnya menjumpai rumusan surat dakwaan yang jauh menyimpang dari hasil penyidikan maka ia berhak mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap dakwaan tersebut. Demikian pula apabila hakim menjumpai rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil penyidikan maka hakim dapat menyatakan surat dakwaan tersebut tidak dapat diterima dengan alsan bahwa isi rumusan surat dakwaan kabur (obscuur libel). Menyimpang atau tidaknya rumusan surat dakwaan tersebut dapat diketahui
Universitas Sumatera Utara
hakim dengan jalan menguji rumusan surat dakwaan dengan hasil pemeriksaan penyidikan. 2. Surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan di sidang pengadilan. Surat dakwaan di dalam pemeriksaan sidang pengadilan adalah berfungsi sebagai landasan dan titik tolak pemeriksaan terdakwa. Berdasarkan rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa. Misalnya: Tuduhan pemalsuan uang dengan mempergunakan peralatan printer warna untuk mencetaknya namun belum sempat diedarkannya, maka batas-batas itulah pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Namun, sering terjadi di dalam praktek hakim kurang menyadari fungsi dari surat dakwaan sebagai landasan pemeriksaan. 60
Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana B.1. Kewenangan Kejaksaan RI di bidang Penuntutan Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dengan demikian maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Kejaksaan Republik Indonesia yang merupakan salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diberi kedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. 60
Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, “Bahan Perkuliahan Hukum Acara Pidana”, 2008, hlm.41-
42.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 13 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, sedangkan Pasal 15 KUHAP menentukan bahwa Penuntut Umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang. Kewenangan penuntutan tidak dapat dilepaskan dari upaya penegakan hukum secara keseluruhan. Tujuan penegakan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya kepastian hukum. Kepastian hukum dimaksudkan tidak hanya dikaitkan dengan adanya dasar hukum yang jelas dalam menjatuhkan pidana terhadap seorang pelaku pidana, melainkan juga meliputi peraturan hukum yang mengatur seluruh proses penanganan perkaranya. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Penuntut Umum senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya. Setiap tindakan Penuntut Umum baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun uapaya hukum, eksekusi dan eksaminasi harus selalu berpegang kepada aturan (rule of law) dan mencerminkan tertib administrasi serta adanya keterpaduan dan keserasian antar aparat penegak hukum khususnya dalam sistem peradilan pidana yang dikenal dengan integrated criminal justice system. Kerja sama antar aparat hukum dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas
Universitas Sumatera Utara
cepat, sedrhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.
B.2. Kewenangan Penuntutan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Tindak pidana pemalsuan dan mata uang bukanlah tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Oleh karena itu, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat melakukan penyidikan terhadap kejahatan mata uang. Dengan kata lai, Kejaksaan bersifat menunggu penyerahan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI dalam kasus kejahatan pemalsuan mata uang. Kegiatan Penuntutan oleh Penuntut Umum adalah meliputi tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan. Pada tahap pra penuntutan, setelah hasil penyidikan selesai maka berkas perkara diserahkan kepada Kejaksaan untuk diteliti dan apabila masih terdapat kekurangan-kekurangan baik mengenai kelengkapan formal maupun materil Jaksa Penuntut Umum mengembalikan serta memberikan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara tersebut. Setelah berkas perkara lengkap maka berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti (apabila ada) diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk kemudian Jaksa Penuntut Umum membuat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut Umum sangat berperan dalam membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Pemeriksaan di depan persidangan dilakukan berdasarkan dakwaan yang yang dibuat oleh Jaksa
Universitas Sumatera Utara
Penuntut Umum dan Jaksa Penuntut Umum bertanggung jawab untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Putusan hakim juga dijatuhkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang didasarkan kepada fakta-fakta persidangan, analisa yuridis tentang terbuktinya kesalahan terdakwa dan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan kebijakan pimpinan di lingkungan Kejaksaan RI maka kejahatan terhadap pemalsuan mata uang dalam proses penanganan perkara oleh Kejaksaan digolongkan ke dalam jenis Perkara Penting (PK-Ting). Hal ini berarti setiap tingkatan proses penanganannya harus mendapat perhatian yang lebih sungguh dan senantiasa dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan secara berjenjang untuk dapat dipantau dan dikendalikan serta dibina agar senantiasa berjalan di atas ketentuan undang-undang (rule of law) dan memenuhi syaratsyarat yuridis, teknis, dan administratif, dengan senantiasa memperhatikan nilainilai keadilan yang hidup di masyarakat. Mengingat bentuk kejahatan yang terjadi serta menimbang hal-hal yang memberatkan dan meringankan pada masing-masing perkara pemalsuan uang yang terjadi di Medan, maka menurut data yang ada tuntutan pidana yang diajukan terhadap para pelaku pengedar uang palsu yang didakwa dan dituntut berdasarkan Pasal 245 KUHP di Medan paling tinggi adalah selama 8 (delapan) tahun penjara. Tuntutan ini mungkin bias dianggap jauh lebih rendah daripada ancaman maksimal 15 (lima belas) tahun penjara. Namun, jika dilihat secara seksama berdasarkan fakta-fakta ynag terungkap di depan persidangan, para terdakwa yang diajukan ke depan persidangan adalah orang yang dibujuk
Universitas Sumatera Utara
dengan pemberian atau gaji-gaji tertentu untuk mengedarkan uang palsu dengan motif kebutuhan ekonominya sehari-hari, sedangkan orang yang membuat uang palsu ataupun intellectual actor dalam kasus ini tidak perna terungkap atau tertangkap. Dengan demikian, Kejaksaan menganggap tuntutan pidana dan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada Terdakwa telah tepat dan memenuhi rasa keadilan. 61
Apabila penuntut umum menilai bahwa berkas perkara telah lengkap, maka penuntut umum kemudian akan membuat surat dakwaan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 13 KUHAP). Tuntutan terhadap kasus pidana pemalsuan uang dinilai tidak seragam. Menurut Bank Indonesia, hukuman terhadap pelaku kasus pemalsuan uang bisa optimal dan menimbulkan efek jera. 62 Hal tersebut sebagaimana disampaikan
61
Gortap Marbun, 2006, “Penuntutan terhadap Kejahatan Mata Uang, dalam rangka Seminar Kejahatan Terhadap Mata Uang dan Penegakan HUkumnya di Wilayah Sumatera Utara, hal 5-6. 62
(http://www.detikfinance.com/read/2009/04/16/104439/1116309/5/sanksi-pemalsuanuang-harusnya-bikin-jera) Kamis, 16/04/2009 10:44 WIB, “Sanksi Pemalsuan Uang Harusnya Bikin Jera”, oleh Herdaru Purnomo – detikFinance
Universitas Sumatera Utara
oleh Deputi Gubernur BI, S Budi Rochadi dalam sambutan acara Diskusi Panel "Arah Dan Strategi Kebijakan Penanggulangan Pemalsuan Rupiah" di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (16/04/2009). Menurutnya, ketidakseragaman ini terlihat dalam hal penuntutan oleh pihak kejaksaan maupun pemidanaan yang dijatuhkan oleh para hakim. Di mana dalam beberapa kasus tindak pidana uang palsu, terdapat tuntutan pidana dan pemidanaan yang mencapai lebih dari 5 tahun kepada para pelaku, sebagaimana diterapkan dalam wilayah kerja kejaksaan dan pengadilan negeri Cibinong. Namun pada penanganan kasus lain yang sejenis, para pelaku tindak pidana pemalsuan uang Rupiah hanya dituntut dan dijatuhi pidana penjara beberapa bulan saja. Diharapkan agar tercipta suatu penyamaan persepsi dan pandangan antara BI dengan aparat penegak hukum serta masyarakat luas mengenai bahaya dan risiko penyebaran uang rupiah palsu. Sehingga keputusan proses pidana uang palsu yang diberikan kepada pelaku tindak pidana uang Rupiah palsu benar-benar berperan optimal dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku.
C. Pengadilan Di negara-negara yang menerapkan rule of law, termasuk Indonesia, kebebasan Kehakiman merupakan hal yang pokok yang ditentukan di dalam undang-undang. Artinya kekuasaan Kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Apabila terdapat kerja sama antara pengadilan dengan instansi
Universitas Sumatera Utara
yang lain dalam pelaksanaan sistem Peradilan Pidana, hal ini akan mengalami titik rawan, karena dalam suatu Negara Hukum dimana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh dipengaruhi lembaga lain. Hakim harus menjaga jarak sehingga keputusan mereka tidak saja bersifat tidak memihak secara pribadi tetapi juga tidak memihak di mata masyarakat. Namun, dalam kenyatannya Hakim dalam memutuskan suatu perkara sering menimbulkan Disparitas Hukuman (Disparity of sentencingi). Yang dimaksud dengan Disparitas Hukuman (Disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang sama (Same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Di dalam Hukum Pidana positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis (strafsort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. Di samping itu Hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh KUHP hanyalah maksimumnya. Faktor disparitas itu dapat bersumber dari hukum maupin pada diri Hakim, yang bersifat internal dan eksternal. Kedua sifat ini sulit dipisahkan karena sudah terpadu sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai Human EquationI atau Personality of Judge, dalam arti luas yang menyangkut pengaruh latar belakang sosial, pendidikan, agama, pengalaman, perangai dan perilaku sosial.
Universitas Sumatera Utara
Pemidanaan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Sebagaimana terjadi di antara para ahli filsafat, di antara ahli hukum pidana pun diskusi mengenai pemidanaan masih terus berlangsung. Disadari bahwa terdapat gap antara apa yang disebut pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai metode untuk memaksakan kepatuhan. Perubahan dalam senimen publik, kemajuan dalam ilmu pengetahuan, adanya kesatuan polisi penuh, semuanya mendorong adaptasi metode-metode pemidanaan. Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter). J. D. Mabbot, misalnya, memandang seseorang “penjahat” sebagai seseorang yang telah melanggar hukum bukan orang jahat. Seorang yang “tidak bersalah” adalah seseorang yang belum melanggar suatu hukum, meskipun ia bisa jadi merupakan orang jahat dan telah melanggar hukum-hukum lain. Sebagai seorang retributivis, Mabbot memandang, pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum. Artinya, jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana. Beberapa di antara para ahli hukum pidana menyadari betul persoalan pemidanaan bukanlah sekedar masalah tentang proses sederhana memidana seseorang dengan menjebloskannya ke penjara. Refleksi yang paling kecil saja, dengan mudah menunjukkan bahwa memidana sesungguhnya mencakup pola pencabutan (peniadaan), termasuk proses pengadilan itu sendiri. Oleh karena itu, kesepakatan tentang apa pemidanaan itu merupakan hal yang penting sebelum menempatkan perintah (putusan) ke berbagai aplikasi paksaan publik pada
Universitas Sumatera Utara
individu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum. 63
Sedangkan Ted Honderich berpendapat, pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur berikut: Pertama,
pemidanaan
harus
mengandung
semacam
kehilangan
(deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subyek yang menjadi korban akibat dari tindakan sadar subyek lain. Secara aktual, tindakan subyek lain dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah. Kedua, suatu pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkn penderitaan. Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subyek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukukm atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo 63
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.73-74.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi ynag dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang pada pelanggar hukum atau peraturan. Perkembangan pemikiran tentang pemidnaan juga diikuti oleh kemajuan pemikiran mengeni tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini, bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang modern hampir dalam setiap kehidupan.
Hakim dan Kewajibannya Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 ditegaskan: Hakim wajib menggali , mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, yakni dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam mas apergolakan dan peradilan. Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Sifat-sifat yang baik maupun yang jahat dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orangorang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
Profesi Hakim Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Inilah sebabnya, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara khusus masalah kekuasaan kehakiman ini yakni dalam Pasal 24 dan 25. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka (independent), artinya terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undangundang tentang kedudukan para hakim.
D. Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam sistem perasdilan pidana dan pelaksana Putusan Pengadilan (Hukum) di dalam kenyataannya tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak direhabilitasi itu adalah seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak. Bagi Lembaga
Universitas Sumatera Utara
Pemasyarakatan, tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tetapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada intinya mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang memandang narapidana sebagai orang yang tersesat dan mempunyai waktu untuk bertobat. Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu di dalam dunia kepenjaraan Indonesia, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Lebih jauh Sahardjo mengemukakan bahwa pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita, ialah: 1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; 2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat; 3. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi diusahakan agar mempunyai mata pencaharian. Akan tetapi ide tersebut tampaknya hanya tinggal kenangan belaka, dimana saat ini tampak jelas bahwa permasalahan mendasar yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan terletak pada beberapa sarana yang mendukung pembinaan narapidana, yaitu terbatasnya sarana personalia yang profesional yang mampu melakukan pembinaan secara efektif. Sarana administrasi dan keuangan, dalam hal ini sangat dibutuhkan untuk mengelola suatu lembaga pemasyarakatan. Sarana fisik yang diperlukan untuk penampung narapidana yang memenuhi syarat kesehatan begitu pula sarana bengkel kerja, yang berguna untuk melatih narapidana agar terampil dalam pekerjaan tertentu. Ketiadaan beberapa sarana pendukung dan kegagalan lembaga pemasyarakatan melakukan pembinaan akan
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan bekas narapidana setelah berada di masyarakat kemabali melakukan kejahatan uang palsu. Hal ini dapat dilihat dari tidak sedikit pelaku kejahatan uang palsu yang residivis. Cap atau stigma yang dibuat oleh masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan maupun bekas narapidana merupakan pertanda kegagalan lembaga pemasyarakatan pada khususnya dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.
Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk menegakkan hukum atas kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini di dalam perjalanannya mengalami masalah-masalah yang bukan saja disebabkan tidak terdapatnya kerja sama di antara sub sistem, tetapi tidak
kalah
pentingnya
pengaruh
peraturan
perundang-undangan
yang
memberikan kekuasaan maupun wewenang yang melampaui kemampuan personil, administratif, serta profesionalisme tiap sub sistem, dan hal ini berakibat lebih jauh, yaitu menghambatnya proses peradilan pidana yang sederhana, cepat dan biaya murah, serta penegakan hukum terhadap kejahatn pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini. Teknik-teknik penghukuman dengan berdasarkan kepada suatu sanksi, pada hakikatnya kurang efektif bilamana konsistensi penegakan hukum masih tetap kurang optimal. Penerapan sanksi berat justru akan menambah meningkatnya kolusi perkara antara pelaku kejahatan dengan penegak hukum. Konsistensi penegakan hukum juga amat dipengaruhi pula oleh sikap transparansi penegakan hukum dan akuntabilitas di depan publik.
Universitas Sumatera Utara
Dewasa ini, institusi lembaga penegak hukum seolah-olah sebagai lembaga tertutup dan kelihatan terasing dari dunia luar. Ketertutupan lembaga penegak hukum ini akhirnya menimbulkan atau mengeluarkan putusan-putusan yang amat kontroversial dan sulit dimengerti oleh masyarakat yang tidak mengetahui seluk-beluk hukum. Harapan masyarakat agar lembaga penegak hukum lebih transparan, pada hakikatnya adalah supaya menjaga kewibawaan lembaga penegak hukum itu sendiri sehingga masyarakat semakin menaruh kepercayaan terhadap kinerja penegak hukum. Dampaknya ialah dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada kinerja penegak hukum akan menentukan efektifitas hukum itu sendiri.
Mencermati dari beberapa gejala di atas, dapat dirumuskan persoalannya yaitu penegakan hukum di bidang kejahatan pemalsuan uang masih belum mampu menjamin keadilan masyarakat. Adapun yang melandasi isu tersebut di atas, sebagai titik sentral masalah pokoknya, ialah: 1. Masih lemahnya peran serta masyarakat dan belum mampu mendukung prevensi kejahatan dalam rangka mengatasi frekuensi dari intensitas kejahatan pemalsuan uang. 2. Paradigma baru dan idealisme apara penegak hukum belum mampu memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada masyarakat yang telah memberikan peran serta secara aktif.
Universitas Sumatera Utara
3. Realitas penggunaan teknik penyelidikan dan penyidikan yang belum professional. Demikian pula, masalah fasilitas dukungan anggaran guna kepentingan teknik penyelidikan dan penyidikan tidak memadai. 4. Etika profesi hukum dari para aparat penegak hukum masih terpengaruh oleh faktor ekonomis dalam penjatuhan sanksi pidana.
Pola kebijakan kriminal sebagai upaya penanggulangan kejahatan, menurut Barda Nawawi Arief, (1996:48) dapat ditempuh dengan tiga elemen pokok, yakni penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime). Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yakni: (1) lewat jalur penal (hukum pidana) yang lebih menitikberatkan pada sifat repressive; dan (2) lewat jalur non-penal, lebih mendekatkan pada sifat preventive atau pencegahan sebelum kejadian itu terjadi. Penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal, yaitu sasaran pokoknya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, yang berpusat pada kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Sedangkan cara penal digunakan untuk menangani kejahatan pemalsuan uang yang telah terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Dalam menanggulangi kejahatan pemalsuan mata uang, kegiatan yang dilakukan dengan pola : 1.
Pre Emtif (Penyuluhan / Sosialisasi)
a) Melaksanakan kegiatan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan mengenal ciri-ciri uang yang asli baik uang logam maupun uang kertas. Dengan mengetahui dan mengenal uang yang asli diharapkan adanya partipasi dan kekebalan dan masyarakat agar jangan sampai mudah dilibatkan dalam kegiatan kejahatan terhadap pemalsuan mata uang sehingga dapat terwujud sikap partisipasi dalam menanggulangi kejahatan pemalsuan terhadap mata uang dan sebagai upaya kegiatan berkaitan dengan uang palsu. b) Kegiatan tersebut dilakukan dengan bekerja sama secara terpadu antar fungsi maupun koordinasi lintas sektoral dalam bentuk ceramah, pameran, mass media (iklan tayangan 3 D dan media cetak serta elektronik lainnya)
2. Preventif Kegiatan preventif dilakukan melalui kegiatan : a) Pengawasan dan pengamanan di tempat mencetak uang asli dan pabrik kertas yang memproduksi security paper. b) Pengawasan terhadap perusahaan percetakan maupun toko alat dan tinta cetak. c) Pengawasan terhadap tempat-tempat transaksi yang menggunakan uang
Universitas Sumatera Utara
cash. d) Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan Perbankan dan Money Changer. e) Pengawasan dan pemeriksaan secara ketat terhadap orang yang masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan bekerja sama dengan instansi terkait. f) Meningkatkan penanganan dan pengembangan terhdap setiap laporan tentang uang palsu sehingga masyarakat terlindungi. g) Melakukan study banding dan kunjungan ke Luar Negeri.
3. Represif Kegiatan represif dilakukan dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan terhadap para pelaku kejahatan pemalsuan mata uang guna mengungkap jaringan pembuatan maupun pendistribusian uang palsu. Kegiatan tersebut dilakukan secara terpadu antar fungsi Reserse, Intel. Labfor, NCB Interpol dan Instansi terkait lainnya. Dalam rangka penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang di Indonesia dilakukan oleh Polri sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Namun dalam penanggulangan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1971, Botasupal dapat mengkoordinasikan instansi-instansi dan aparat penegak hukum lainnya dalam rangka melakukan kegiatan operasi dan pembinaan baik di dalam maupun di luar negeri dalam rangka menanggulangi tindak pidana pemalsuan uang.
Universitas Sumatera Utara
Kerjasama Kepolisian baik Regional maupun Internasional dapat dilakukan melalui Interpol, Badan-badan Pemerintah lainnya atau secara langsung. 64
64
(http://sumaryono.blog.friendster.com/2007/08/uang-palsu/) “Uang (Palsu) Perkembangan Dan Penyelesaian Masalahnya” , makalah oleh Sumaryono.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN
Beberapa kelemahan dan hambatan dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan mata uang rupiah saat ini termasuk di wilayah hokum Kotamadya Medan, yaitu: 65 1. Belum sempurnanya perangkat hukum. Perangkat hukum yang tidak jelas, serta terdapatnya kekosongan atau rancu, dapat menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum. Sistem hukum harus dapat menampung dan memecahkan permasalahan yang terjadi atau yang timbul dalam praktek penegakan hukum. Sebagai contoh dalam proses pidana yang dikeanal dengan adanya “Criminal Justice System” dalam praktek, ternyata KUHAP tidak mengatur jangka
waktu
penyidik
harus
mengembalukan
berkas
perkara
yang
dikembalikan oleh Penuntut Umum untuk dilengkapi (prapenuntutan). Oleh karena itu dalam prakteknya banyak perkara yang dikembalikan untuk dilengkapi oleh penyidik, tidak dikembalikan kepada penuntut umum, dengan berbagai alasan, misalnya, kaena tersangka atau saksi yang akan diperiksa tidak di tempat dan sebagainya. Hal ini seharusnya ada pengaturannya dalam KUHAP, sehingga ada kepastian hukum untuk penyelesaian kasus tersebut. 65
H. Chairuman Harahap, SH, Merajut Kolektifitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum, Citapustaka Media, Bandung, 2003, hlm.32.
113 Universitas Sumatera Utara
Demikian pula halnya terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang sangat diharapkan untuk segera dikeluarkan undang-undang tentang mata uang. Hal ini dikarenakan dengan melihat begitu besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan ini jangan sampai benar-benar dapat membahayakan negara oleh karena tidak ditangani dari sekarang. Hai ini nampak dari semakin maraknya kejahatan pemalsuan uang dari tahun ke tahun, termasuk di kota Medan. 2. Masih rendahnya moral integritas aparat penegak hukum Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, aparat penegak hukum, yang merujuk pada kesatuan kelompok penegak hukum sering disebut catur wangsa yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara. Keempatnya telah dianggap sebagai orang-orang yang menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan kadang-kadang mereka disebut juga dengan pendekar hukum. Setiap aparat dalam komponen Catur Wangsa wajib peduli dan langsung berkepentingan pada perkembangan mutakhir negara. Kepedulian itu terutama berkenaan dengan cita-cita reformasi sebagaimana yang telah tumbuh dalam masyarakat luas. Oleh karena itu, harus dijadikan acuan bagi pembinaan dan rekrutmen aparat penegak hukum, agar aparat penegak hukum polisi, jaksa, dan hakim terdiri dari orang-orang yang tangguh dalam menghadapi godaan dan tantangan yang mungkin timbul dalam proses penegakan hukum. 3. Penegak hukum yang kurang professional Dalam proses penegakan hukum, profesionalisme dalam arti kecakapan dan keterampilan serta kemampuan intelektual dalam bidang tugasnya, sangat
Universitas Sumatera Utara
diperlukan bagi setiap apaat penegak hukum, agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan cepat, tepat, tuntas, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun dalam kenyataannya harus diakui bahwa masih ada aparat penegak hukum, penyidik atau penuntut umum dan hakim yang kurang professional, sehingga
penanganan
kasus
sering
terlambat
dan
bahkan
karena
ketidakcermatan dalam penanganan kasus dapat berakibat kegagalan dalam penuntutan di pengadilan. Ini menyebabkan kadangkala timbul reaksi dari pencari keadilan pada saat perkara digelar di pengadilan. Upaya mengatasinya di samping penyempurnaan, rekrutmen pegawai, juga perlu dilaksanakan pelatihan dan pendidikan bagi aparat penegak hukum. 4. Masih rendahnya penghasilan Aparat Penegak Hukum Terdapat suatu hal yang dilematis pada diri aparat penegak hukum, di satu sisi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, seorang penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan jujur, adil dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, penghasilan yang diterimanya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga dengan alasan gaji atau penghasilan yang tidak cukup aparat penegak hukum melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang. Rendahnya gaji pegawai negeri pada umumnya, termasuk penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) oleh Andi Hamzah dipandang sebagai suatu penyebab terjadinya korupsi. 5. Masih rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat Kesadaran hukum masyarakat di wilayah hukum Kotamadya Medan yang masih rendah dapat menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
dapat dilihat dari masih adanya rasa enggan warga
masyarakat untuk
menyampaikan laporan atau menjadi saksi atas terjadinya suatu proses penegakan hukum. Memang diakui bahwa hal di atas tidak semata-mata menggambarkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat, karena masih adanya faktor lain, seperti belum terlaksananya secara maksimal jaminan perlindungan terhadap saksi meskipun telah ada lembaga perlindungan saksi dan korban dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Akan tetapi jika kesadaran hukum masyarakat tinggi, maka di satu pihak diharapkan akan timbul kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan di lain pihak akan ada peran serta masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum. 6. Kurangnya sarana dan prasarana Dalam proses penegakan hukum, sarana dan prasarana hukum mutlak diperlukan untuk memperlancar dalam menciptakan kepastian hukum. Sarana dan prasarana yang memadai dimaksudkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan globalisasi, yang telah mempengaruhi tingkat kecanggihan kriminalitas, seperti kejahatan pembobolan bank, dengan menggunakan teknologi computer, kejahatan pemalsuan uang dengan menggunakan peralatan canggih, kejahatan pencucian uang (money laundring) dan lain sebagainya. Semua jenis kejahatan di atas dapat dikatakan sebagai kejahatan kerah putih (white colour crime), sehingga penanganannya pun memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai. 7. Terjadinya campur tangan pemerintah dalam proses peradilan
Universitas Sumatera Utara
Di masa lalu sudah menjadi opini publik, bahwa campur tangan perintah (eksekutif) terhadap proses peradilan sangat kuat. Pengaruh eksekutif terhadap proses pengadilan terjadi disebabkan belum adanya kemandirian instansi penegak hukum, terutama instansi pengadilan. Hal ini terjadi karena dalam perundang-undangan masih ada celah yang memungkinkan tidak mandirinya instansi pengadilan.
Peredaran uang palsu di masyarakat cukup sulit untuk diberantas. Hal ini didorong oleh perilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya pemerintah dalam rangka mengurangi peredaran uang palsu. Kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya uang palsu sangat kurang. Bila mereka mendapatkan uang palsu, mereka cenderung membelanjakannya. Hal ini tidak dapat memotong mata rantai peredaran uang palsu. Masyarakat justru ikut berperan dalam mengedarkan uang palsu. Pemerintah kurang memperhatikan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh Polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang terjadi di kota Medan. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan apabila mengetahui tentang uang palsu yang beredar di kota Medan merupakan faktor penting yang terus menjadikan semakin maraknya pemalsuan uang terjadi di kota Medan. Peran serta masyarakat serta perhatian pemerintah atas sarana dan prasarana yang dibutuhkan pihak kepolisian dalam memberantas kejahatan pemalsuan mata uang di kota Medan. Serta koordinasi antara instansi-instansi
Universitas Sumatera Utara
terkait lainnya untuk saling bekerja sama dan memberikan informasi akan atas adanya uang palsu yang ditemukan atau atas diketahuinya adanya praktek pembuatan uang palsu pada suatu tempat serta hal-hal lain yang berkaitan. Pedagang kecil menjadi sasaran empuk bagi beredarnya uang palsu, apalagi kalau pedagang itu berada di pinggiran kota, atau bahkan pedesaan, yang tidak akrab dengan berbagai informasi tentang peredaran uang palsu. 66 Akan tetapi, dari hasil pantauan tim surat kabar Sinar Harapan (SH), ternyata sasaran peredaran uang palsu bukan hanya berada di kalangan bawah, tetapi juga para pejabat dan orang-orang kaya. Bagi ukuran kelas kakap seperti demikian, tentu saja bukan lembaran uang dua puluh ribuan yang dipasarkan, tetapi mulai dari pecahan seratus ribuan sampai mata uang asing. Teknik percetakan yang semakin berkembang pun turut mendukung kualitas uang palsu yang beredar di masyarakat. Pecahan seratus ribuan yang semula diperkirakan tidak akan mungkin dipalsukan karena menggunakan bahan dasar plastik, ternyata sudah ditemukan di pasaran dan menyerupai aslinya. Perkembangan teknologi juga ikut berperan dalam melancarkan tindak pidana pemalsuan uang. Perkembangan teknologi disalahgunakan oleh sekelompok orang orang untuk melakukan tindakan kriminal. Apalagi peralatan pendukung kegiatan tersebut sangat mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau pula. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada perkembangan teknologi, karena dalam hal ini faktor perilaku manusia sangat menentukan. Upaya pencegahan telah dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan mencantumkan sticker anti
66
(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0204/15/sh05.html)
Universitas Sumatera Utara
pemalsuan uang pada printer berwarna. Namun hal tersebut kurang efektif dan justru menimbulkan protes dari kalangan produsen. Canggihnya teknologi percetakan yang berkembang juga menjadi salah satu kendala memberantas peredaran uang palsu. Peralatan percetakan semakin mudah didapat, bahkan dengan harga murah sehingga pencetakan uang palsu tidak perlu melibatkan percetakan yang besar tetapi bisa dimodali sendiri dengan membeli peralatan cetak digital. Dari informasi yang diperoleh Sinar Harapan, peredaran uang palsu sudah menyerupai jaringan peredaran narkoba. Pada umumnya, para pengedar uang palsu tidak saling mengenal baik antara sesama pengedar maupun antara pengedar dengan pencetak uang palsu. Sistem sel yang digunakan dalam peredaran uang palsu ini jelas menyulitkan aparat keamanan dalam memberantas peredaran uang palsu. Berbeda dengan jaringan peredaran narkoba yang selalu memanfaatkan orang-orang kalangan atas sebagai anggota jaringan, peredaran uang palsu biasanya melibatkan orang-orang yang perekonomiannya sulit yang berada di pinggiran kota, atau pensiunan yang tidak lagi memiliki aktivitas rutin. Karena tidak saling kenal, polisi pun kesulitan melacak jaringan yang lebih besar. Tersangka pengedar uang palsu yang ditangkap, pada umumnya menyatakan baru mengenal si pemilik uang palsu hanya ketika melakukan transaksi. Dalam catatan Bank Indonesia, sampai 27 Februari 2002, uang kartal yang diedarkan (UYD) mencapai Rp 79,05 triliun. Dari jumlah itu, 42,2 persennya merupakan pecahan seratus ribuan, menyusul pecahan lima puluh ribuan sebanyak 30,7 persen, sedangkan pecahan di bawah seribuan hanya 1,84 persen. Kebutuhan
Universitas Sumatera Utara
uang pecahan besar itu terutama di kota-kota besar. Dari jumlah UYD itu, temuan uang palsu mencapai Rp 3,878 miliar. Sehingga rasionya 1:1 juta. Artinya, terdapat satu lembar uang palsu dalam satu juta lembar. Temuan uang palsu yang beredar itu lebih dari separuhnya adalah pecahan lima puluh ribuan. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan orang awam mencetak uang palsu dengan scanner dan printer warna. Plastik polimer seperti untuk uang seratus ribu bahkan bisa didapatkan dengan mudah di pasaran. Akan tetapi, yang sampai saat ini belum bisa dilakukan para pemalsu adalah penanaman benang pengaman yang ada dalam bubur kertas uang (banknote paper) dan tanda air (watermark). Oleh karena itu, Bank Indonesia harus bertindak lebih cepat dan canggih dari para pemalsu uang. Sayangnya, dari lima proses produksi uang, empat di antaranya di tangan BI, sementara satu yang menyangkut pencetakan menjadi kewenangan Perusahaan Umum Percetakan Uang (Perum Peruri). Banyaknya kasus penipuan uang palsu ini, ternyata tidak mudah di bawa ke meja hijau. Kalau pun berhasil dimejahijaukan, hukuman yang harus ditanggung tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Kendala lain yang dihadapi dalam pemberantasan uang palsu juga disebabkan minimnya anggaran untuk operasional pemberantasan uang palsu. Sekalipun Bank Indonesia menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari nilai uang palsu yang berhasil digerebek, menurut sumber Sinar Harapan di Kepolisian, kenyataannya dana tersebut tidak sampai ke petugas polisi yang melakukan penggerebekan dan penyidikan. Dana operasional dari BI justru jatuh
Universitas Sumatera Utara
ke pihak lain yang sebenarnya hanya bertugas untuk mencatat jumlah uang palsu yang berhasil di temukan. Olah karena itu, sepanjang masalah uang palsu tidak dianggap sebagai masalah serius yang harus ditangani secara integrated, Bank Indonesia dan aparat penegak hukum hanya berkejar-kejaran dengan para pemalsu uang. Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Kepolisian Poltabes MS dalam hal pemberantasan uang palsu yaitu di mana orang yang memalsukan jarang tertangkap dan yang dapat diketahui hanyalah yang mengedarkan saja. Hal demikian dikarenakan sistem jaringan yang mereka gunakan sangat rapi sehingga bisa terputus dan tidak sampai kepada si pembuat atau si pencetak. 67 Faktor yang menyebabkan timbulnya kendala demikian adalah kurangnya sarana dan prasarana dalam pengungkapan uang palsu yang dilakukan oleh pihak Kepolisian. Sarana dan prasarana tersebut antara lain biaya, perlengkapan, dan lain-lain. Terdapat beberapa saran untuk menanggulangi tindak pidana pemalsuan uang, antara lain : ·
Pemerintah harus memproses kasus pemalsuan uang secara tuntas seakarakarnya supaya tidak muncul kasus pemalsuan uang.
·
Pemerintah harus lebih tegas, berkomitmen, dan konsisten terhadap peraturan yang telah dibuat untuk memberantas tindak pidana pemalsuan uang.
·
Pemerintah perlu menyiapkan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera. Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah perlu 67
Wawancara penulis dengan Aipda Jikri Sinurat, Unit Ekonomi Sat Reskrim Poltabes
MS.
Universitas Sumatera Utara
mengadakan kerja sama dengan masyarakat. Dalam kasus pemalsuan uang, sikap dan sifat masyarakat memegang kunci penting. Kesadaran masyarakat akan tindak pidana tersebut perlu diperbaiki. Sehingga bila masyarakat menemukan uang palsu, mereka cenderung akan melaporkan kepada pihak yang berwajib daripada membelanjakannya. Pada akhirnya, uang palsu yang beredar di masyarakat dapat ditekan. 68
68
(http://paskakurniajati.blogspot.com/2009/02/pemalsuan-uang.html)
Universitas Sumatera Utara
BAB V STUDI KASUS
A. Kasus Posisi Putusan yang akan dianalisa dalam pembahasan ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3.420/Pid.B/2007/PN.MDN tanggal 13 Desember 2007 tentang tindak pidana membuat uang palsu, dengan terdakwa AGUS ALAMSYAH.
1. DAKWAAN Berdasarkan dakwaan tertanggal 11 September 2007 No. Reg. Perkara.: PDM-1435/Ep.1/09/2007, Terdakwa telah didakwa sebagai berikut: PERTAMA : Bahwa ia Terdakwa Agus Alamsyah pada hari yang sudah tidak diingat lagi di Bulan Mei tahun 2007 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2007 bertempat di Komplek Taman Setia Budi Indah Blok VV no.140 Kel.Asam Kumbang Kec.Medan Selayang atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, meniru atau memalsukan uang atau uang kertas Negara atau uang kertas Bank dengan maksud akan mengedarkan mata uang kertas Negara atau uang kertas Negara atau uang kertas bank dengan maksud akan mengedarkan mata uang kertas Negara atau uang kertas Bank itu serupa yang asli dan yang tiada dipalsukan, perbuatan mana dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut:
123
Universitas Sumatera Utara
Berawal pada suatu hari yang sudah tidak diingat lagi di bulan Mei tahun 2007 terdakwa pergi ke Warnet Green di Jln. Jamin Ginting USU Medan dengan maksud untuk men-scan uang kertas tukaran/pecahan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dan Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah), setelah uang kertas di-scan oleh terdakwa, terdakwa lalu menyimpan hasil scan di dalam Flash Disk (USB) milik terdakwa. Bahwa benar terdakwa pulang ke rumahnya di Komplek Taman Setia Budi Indah Blok W No.140 Kel. Asam Kumbang Kec. Medan Selayang lalu mencetak uang tukaran Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sebanyak 24 lembar dan 4 lembar telah dipergunakan oleh terdakwa untuk membayar kencan dengan wanita tuna susila. Selanjutnya pada hari Jumat tanggal 06 Juli 2007 sekira pukul 02.00 WIB di Jln. Gajah Mada Medan, terdakwa bertemu dengan Tia Puspita als Sela (perempuan tuna susila) lalu terdakwa dan Tia Puspita als Sela pergi ke Hotel Rakakasih di Jln. K.H. Wahid Hasyim Medan dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Jupiter MX BK 2729 KY dan sesampainya di hotel tersebut, selesai kencan terdakwa menyerahkan uang palsu yang dicetak terdakwa tersebut kepada Tia Puspita als Sela sebagai uang tanda jadi sebanyak 6 lembar uang kertas tukaran Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah), lalu terdakwa masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar hotel tersebut. Bahwa benar Tia Puspita als Sela yang curiga terhadap uang yang diberikan oleh terdakwa tersebut kepadanya menanyakan uang tersebut kepada saksi Amril Ramayani petugas Hotel dan saksi Amril Ramayani mengatakan bahwa uang tersebut adalah palsu karena memiliki perbedaan dengan uang yang asli, lalu saksi Amril Ramayani langsung
Universitas Sumatera Utara
menghubungi petugas Kepolisian. Kemudian pada saat terdakwa keluar dari kamar mandi, saksi Amril Ramayani menyuruh terdakwa untuk membayar dengan uang asli, terdakwa yang merasa ketakutan langsung memberikan uang yang asli kepada Tia Puspita als Sela untuk menghindari masalah. Kemudian terdakwa keluar dari Hotel dan ketika berada di teras Hotel terdakwa ditangkap oleh petugas Kepolisian Polsekta Medan Baru yang menyita 20 lembar uang kertas tukaran Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) masing-masing seri gambar I Gusti Ngurah Rai tahun emisi 2005 dengan nomor seri MCP239734 dari terdakwa. Selanjutnya Terdakwa dan barang bukti dibawa ke Polsekta Medan Baru guna pengusutan lebih lanjut. Berdasarkan berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik No. Lab: 3167/DUF/VII/2007 yang ditandatangani oleh Dra. Melta Tarigan, Ungkap Siahaan,S.Si dan Yenri Novira,S.Si yang dalam pemeriksaan terhadap barang bukti 2 (dua) lembar uang rupiah pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) seri gambar I Gusti Ngurah Rai tahun emisi 2005 dengan nomor seri MCP239734 atas nama Tersangka Agus Alamsyah yang mengambil kesimpulan bahwa barang bukti tersebut adalah benar palsu. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 244 KUHP.
ATAU KEDUA: Bahwa ia Terdakwa Agus Alamsyah pada hari Jumat tanggal 6 Juli 2007 sekira pukul 02.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2007 bertempat di jl. KH. Wahid Hasyim Medan atau setiudak-tidaknya pada tempat
Universitas Sumatera Utara
lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan, dengan sengaja menjalankan serupa mata uang atau uang kertas Negara atau uang kertas Bank yang asli dan yang tidak dipalsukan, yakni mata uang atau uang kertas Negara atau uang kertas Bank yang ditiru atau yang dipalsukan sendiri, atau yang pada waktu diterima diketahuinya palsu atau dipalsukan, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Negara Indonesia mata uang dan uang kertas Negara atau uang kertas Bank yang demikian, dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya serupa dengan yang asli dan yang tiada dipalsukan, perbuatan mana dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut: Berawal pada suatu hari yang sudah tidak diingat lagi di bulan Mei tahun 2007 terdakwa pergi ke Warnet Green di Jln. Jamin Ginting USU Medan dengan maksud untuk men-scan uang kertas tukaran/pecahan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dan Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah), setelah uang kertas di-scan oleh terdakwa, terdakwa lalu menyimpan hasil scan di dalam Flash Disk (USB) milik terdakwa. Bahwa benar terdakwa pulang ke rumahnya di Komplek Taman Setia Budi Indah Blok W No.140 Kel. Asam Kumbang Kec. Medan Selayang lalu mencetak uang tukaran Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sebanyak 24 lembar dan 4 lembar telah dipergunakan oleh terdakwa untuk membayar kencan dengan wanita tuna susila. Selanjutnya pada hari Jumat tanggal 06 Juli 2007 sekira pukul 02.00 WIB di Jln. Gajah Mada Medan, terdakwa bertemu dengan Tia Puspita als Sela (perempuan tuna susila) lalu terdakwa dan Tia Puspita als Sela pergi ke Hotel Rakakasih di Jln. K.H. Wahid Hasyim Medan dengan mengendarai sepeda motor Yamaha
Universitas Sumatera Utara
Jupiter MX BK 2729 KY dan sesampainya di hotel tersebut, selesai kencan terdakwa menyerahkan uang palsu yang dicetak terdakwa tersebut kepada Tia Puspita als Sela sebagai uang tanda jadi sebanyak 6 lembar uang kertas tukaran Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah), lalu terdakwa masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar hotel tersebut. Bahwa benar Tia Puspita als Sela yang curiga terhadap uang yang diberikan oleh terdakwa tersebut kepadanya menanyakan uang tersebut kepada saksi Amril Ramayani petugas Hotel dan saksi Amril Ramayani mengatakan bahwa uang tersebut adalah palsu karena memiliki perbedaan dengan uang yang asli, lalu saksi Amril Ramayani langsung menghubungi petugas Kepolisian. Kemudian pada saat terdakwa keluar dari kamar mandi, saksi Amril Ramayani menyuruh terdakwa untuk membayar dengan uang asli, terdakwa yang merasa ketakutan langsung memberikan uang yang asli kepada Tia Puspita als Sela untuk menghindari masalah. Kemudian terdakwa keluar dari Hotel dan ketika berada di teras Hotel terdakwa ditangkap oleh petugas Kepolisian Polsekta Medan Baru yang menyita 20 lembar uang kertas tukaran Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) masing-masing seri gambar I Gusti Ngurah Rai tahun emisi 2005 dengan nomor seri MCP239734 dari terdakwa. Selanjutnya Terdakwa dan barang bukti dibawa ke Polsekta Medan Baru guna pengusutan lebih lanjut. Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik No. Lab: 3167/DUF/VII/2007 yang ditandatangani oleh Dra. Melta Tarigan, Ungkap Siahaan,S.Si dan Yenri Novira,S.Si yang dalam pemeriksaan terhadap barang bukti 2 (dua) lembar uang rupiah pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah)
Universitas Sumatera Utara
seri gambar I Gusti Ngurah Rai tahun emisi 2005 dengan nomor seri MCP239734 atas nama Tersangka Agus Alamsyah yang mengambil kesimpulan bahwa barang bukti tersebut adalah benar palsu. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam dengan pidana dengan Pasal 245 KUHP.
2. FAKTA HUKUM a. Keterangan Saksi: 1. Deden Permana, di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut: - Bahwa benar pada hari Jumat tanggal 6 Juli 2007 sekira pukul 02.00 Wib, saksi menerima telepon dari Karyawan Hotel Rakakasih yang memberitahukan bahwa ada seorang laki-laki memiliki uang kertas pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). - Bahwa benar saksi lalu pergi menuju Hotel Rakaksih yang terletak di Jl. KH. Wahid hasyim Medan dan sesampianya di hotel tersebut, saksi langsung melakukan penangkapan terhadap Terdakwa. - Bahwa benar saksi menyita barang bukti uang palsu pecahan Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) sebanyak 20 (dua puluh) lembar dari Terdakwa yang diakui terdakwa adalah miliknya. - Bahwa benar Terdakwa tidak memiliki hak untuk mengedarkan uang palsu tersebut.
2. Amril Ramayani, di bawah sumpah menerangkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
- Bahwa benar hari Jumat tanggal 6 Juli 2007 sekira pukul 02.00 Wib di Hotel Rakakasih Jl. KH. Wahid Hasyim medan, Tia Puspita als Sela bersama dengan Terdakwa dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Jupiter MX BK 2729 KY check in di hotel tempat saksi bekerja tersebut. - Bahwa benar Terdakwa dan Tia Puspita als Sela lalu masuk ke dalam kamar dan menjumpai saksi. - Bahwa benar Tia Puspita als Sela memperlihatkan kepada saksi uang kertas pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah dan menanyakan apakah uang tersebut asli atau palsu. - Bahwa benar saksi mengatakan kepada Tia Puspita als Sela bahwa uang tersebut adalah palsu dengan melakukan perbandingan dengan uang asli dan dengan jelas terlihat uang pecahan tersebut memiliki banyak perbedaan dengan uang pecahan yang asli. - Bahwa benar saksi lalu menghubungi kantor Polsekta Medan Baru.
b. Surat: Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik No. Lab: 3167/DUF/VII/2007 yang ditandatangani oleh Dra. Melta Tarigan, Ungkap Siahaan,S.Si dan Yenri Novira,S.Si yang dalam pemeriksaan terhadap barang bukti 2 (dua) lembar uang rupiah pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) seri gambar I Gusti Ngurah Rai tahun emisi 2005 dengan nomor seri MCP239734 atas nama Tersangka Agus Alamsyah yang mengambil kesimpulan bahwa barang bukti tersebut adalah benar palsu.
Universitas Sumatera Utara
c. Petunjuk: Adanya persesuaian antara keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa serta adanya barang bukti yang saling mendukung satu sama lain yang didengar di persidangan di Pengadilan Negeri Medan bahwa Terdakwa telah melaqkukan tindak pidana “Menjalankan uang palsu”.
d. Keterangan Terdakwa: - Bahwa benar pada suatu hari yang sudah tidak diingat lagi di Bulan Mei tahun 2007 Terdakwa pergi ke warnet Green di Jl. Jamin Ginting Simpang USU Medan dengan maksud untuk men-scan uang kertas tukaran/pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dan Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah), setelah uang kertas tersebut di-scan oleh Terdakwa, terdakwa lalu menyimpan hasil scan di dalam Flash Disk (USB) milik Terdakwa. - Bahwa benar Terdakwa kemudian pulang ke rumahnya di Komplek Taman Setia Budi Indah Blok VV No.140 Kel.Asam Kumbang Kec.Medan Selayang lalu mencetak uang tukaran Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sebanyak 24 (dua puluh empat) lembar dan 4 (empat) lembar telah dipergunakan oleh Terdakwa untuk membayar kencan dengan perempuan tuna susila. - Bahwa benar selanjutnya pada hari Jumat tanggal 6 Juli 2007 sekira pukul 02.00 Wib di Jl. Gajah Mada Medan, terdakwa bertemu dengan Tia Puspita als Sela (perempuan tuna susila) lalu terdakwa dan Tia Puspita als Sela pergi ke Hotel Rakakasih di Jl. KH. Wahid Hasyim Medan dengan mengendarai sepeda motor Yamaha Jupiter MX BK 2729 KY dan sesampainya di hotel tersebut, selesai
Universitas Sumatera Utara
kencan Terdakwa menyerahkan uang palsu yang dicetak Terdakwa tersebut kepada Tia Puspita als Sela sebagai uang tanda jadi sebanyak 6 (enam) lembar uang kertas tukaran Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), lalu terdakwa masuk ke dalam kamar mandi yang ada di hotel tersebut. - Bahwa benar kemudian Tia Puspita als Sela yang curiga terhadap uang yang diberikan oleh Terdakwa tersebut menanyakan kepada saksi Amril Ramayani petugas hotel dan saksi Amril Ramayani mengatakan bahwa uang tersebut adalah palsu karena memiliki perbedaan dengan uang yang asli, saksi Amril Ramayani langsung menghubungi petugas kepolisian. - Bahwa benar kemudian pada saat Terdakwa keluar dari kamar mandi, saksi Amril Ramayani menyuruh Terdakwa untuk membayar dengan uang asli, terdakwa yang merasa ketakutan langsung memberikan uang yang asli kepada Tia Puspita als Sela untuk menghindari masalah. - Bahwa benar kemudian Terdakwa keluar dari hotel dan ketika berada di teras hotel Terdakwa ditangkap oleh Petugas Kepolisian Polsekta Medan Baru dan menyita 20 (dua puluh) lembar uang kertas tukaran Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) masing-masing seri gambar I Gusti Ngurah Rai tahun emisi 2005 dengan nomor seri MCP239734 dari Terdakwa.
e. Barang bukti: Barang bukti: 1 (satu) set Komputer, 1 (satu) CPU Intel Pentium 4, 1 (satu) monitor merek LG Flatron, 1 (satu) keyboard merek OX, 1 (satu) mouse OX, 1 (satu) printer merek Canon IP 200, 1 (satu) Flash Disk (USB) merek Kingston,
Universitas Sumatera Utara
1/3 Rim kertas HVS, 1 (satu) unti Sepeda Motor Yamaha Jupiter MX bk 2729 KY dan 20 (dua puluh) lembar uang palsu pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) telah disita menurut hukum dan ketika diperlihatkan di persidanagn terdakwa membenarkannya.
f. Tuntutan Jaksa Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, Jaksa Penuntut Umum Menuntut Terdakwa sebagai berikut: -
Menyatakan Terdakwa AGUS ALAMSYAH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menjalankan uang palsu” sebagaimana diatur dalam Pasal 245 KUHP dalam dakwaan Kedua.
-
Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah Terdakwa pernah ditahan.
-
Menetapkan barang bukti: 1 (satu) set Komputer, 1 (satu) CPU Intel Pentium 4, 1 (satu) monitor merek LG Flatron, 1 (satu) keyboard merek OX, 1 (satu) mouse OX, 1 (satu) printer merek Canon IP 200, 1 (satu) Flash Disk (USB) merek Kingston, 1/3 Rim kertas HVS, 1 (satu) unti Sepeda Motor Yamaha Jupiter MX bk 2729 KY dikembalikan kepada yang berhak dan 20 (dua puluh) lembar uang palsu pecahan Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dirampas untuk dimusnahkan.
Universitas Sumatera Utara
-
Menghukum Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 500,(lima ratus rupiah).
g. Fakta Hukum dari Majelis Hakim Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa serta dikaitkan dengan adanya barang bukti, maka Majelis telah berketetapan bahwa apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum pada dakwaan Kesatu telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana yang sesuai dengan kesalahannya dan rasa keadilan.
h. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim - Bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya; - Bahwa untuk menyatakan seseorang telash melakukan tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsure-unsur dari pasalpasal yang didakwakan kepadanya; - Bahwa Terdakwa oleh Penuntut Umum telah didakwa dengan surat dakwaan yang disusun secara alternatif. Maka Majelis hakim mempertimbangkan dahulu dakwaan: Kesatu sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 245 KUHPidana yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan
Universitas Sumatera Utara
atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tiada dipalsukan; - Bahwa sebelum menjatuhkan pidana apa yang paling tepat dan adil, sesuai kesalahan terdakwa tersebut, terlebih dahulu akan dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Hal yang memberatkan: Bahwa perbuatan Terdakwa sudah bukan lagi perbuatan yang iseng tetapi benarbenar berencana dan ingin menikmati hasilnya dengan jalan menipu. Hal yang meringankan: Terdakwa masih berusia muda sehingga diharapkan dapat diperbaiki sifatnya yang kurang baik. Terdakwa terus terang dan sopan di persidangan sehingga memperlancar jalannya persidangan. - Bahwa berdasarkan harial tersebut di atas, maka Terdakwa haruslah dijatuhkan pidana penjara sesuai bunyi putusan ini, dan oleh karena Terdakwa telah ditahan secara sah, maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap, haruslah dikurangkan seluruhnya dari pidana tersebut.
3. AMAR PUTUSAN - Menyatakan terdakwa “AGUS ALAMSYAH” telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “MEMBUAT UANG PALSU” ;
Universitas Sumatera Utara
- Menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa tersebut di atas oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 3 (tiga) Tahun ; - Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; - Memerintahkan agar barang bukti berupa : 1 (satu) set Komputer, 1 (satu) CPU Intel Pentium 4, 1 (satu) Monitor Merk LG Flatron, 1 (satu) Keyboard OX, 1 (satu) Mouse OX, 1 (satu) Printer Merk Canon IP 1200, 1 (satu) Flash Disk (USB) Merk Kingston, 1/3 Rim Kertas HVS, 1 (satu) unit Sepeda Motor Yamaha Jupiter MX BK 2729 KY dikembalikan kepada terdakwa AGUS ALAMSYAH dan 20 (dua puluh) lembar uang kertas palsu pecahan Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) dirampas untuk dimusnahkan ; - Menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan ; - Membebani terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B. ANALISIS KASUS Berdasarkan Putusan Majelis Hakim di atas, maka dapat dilakukan analisa penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana membuat uang palsu dalam putusan tersebut sebagai berikut: Pengaturan tentang membuat uang palsu diatur dalam Pasal 244 KUHP berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh untuk
Universitas Sumatera Utara
mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli atau tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.” Dalam kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum menjatuhkan dakwaan yang menyatakan bahwa Terdakwa telah Menjalankan uang palsu. Penulis tidak sependapat dengan dakwaan tersebut karena dalam kasus ini pemeriksaan dan pembuktiannya sangat sederhana dimana Terdakwa pun mengakui kesalahannya yang telah membuat uang palsu dengan maksud untuk menjalankannya uang palsu yang dibuatnya sendiri itu seolah-olah uang asli dan tidak dipalsu kepada seorang wanita tuna susila untuk kencan. Analisa mengenai dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yang hanya menuntut Terdakwa dengan 1 (satu) tahun penjara sangat disayangkan mengingat dampak kejahatan pemalsuan uang ini. Hal ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat akan dakwaan yang begitu ringan sehingga menimbulkan penilaian negatif kepada peradilan yaitu adanya mafia peradilan sehingga proses pengadilan tidak dilaksanakan secara murni dan independent untuk menegakkan hukum Atas putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan hukuman 3 (tiga) tahun penjara kepada Terdakwa sebenarnya relatif ringan dibandingkan juga dengan ancaman maksimal hukuman yang terdapat dalam Pasal 244 KUHP dimana Terdakwa Agus Alamsyah telah memenuhi seluruh unsur-unsur yang ada dalam Pasal 244 KUHP tersebut. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kejahatan pemalsuan uang merupakan kejahatan yang tergolong berat dan serius karena dampaknya yang sangat besar bagi Negara, yaitu merugikan perekonomian Negara bahkan bisa mengancam perekonomian Indonesia serta menurunkan
Universitas Sumatera Utara
martabat bangsa dimana uang Rupiah merupakan salah satu simbol Negara kita. Sehingga sekalipun ada hal-hal yang meringankan Terdakwa harus tetap memperhatikan efek jera dari hukuman yang dijatuhkan tersebut, agar Terpidana tidak mengulangi perbuatannya itu dan menimbulkan rasa takut pada masyarakat untuk melakukan kejahatan pemalsuan uang rupiah lainnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Ketentuan hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya baru diatur dalam KUHP saja, yaitu mengenai memalsukan uang kertas rupiah diatur dalam Pasal 244 dan mengenai mengedarkan uang kertas rupiah palsu diatur dalam Pasal 245. Hingga saat ini belum ada peraturan yang lebih khusus yang mengatur mengenai uang palsu ini. 2. Penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya (khusunya di wilayah hukum Kotamadya Medan) masih belum maksimal. Hal ini dilihat dari maraknya kejahatan uang palsu yang terjadi dan meningkat terus dari tahun ke tahun akan tetapi sangat sedikit pelaku yang dapat ditangkap. 3. Kendala yang dihadapi dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya (khususnya di wilayah hukum Kotamadya Medan) sangat banyak, yang paling utama dan menonjol di wilayah hukum Kotamadya Medan yaitu sulitnya untuk menemukan pelaku pembuat uang kertas rupiah palsu yang sebenarnya karena sangat sulitnya mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menjerat pelaku tersebut. Budaya masyarakat di Kotamadya Medan yang kurang sadar hukum untuk melaporkan uang palsu yang diterimanya karena takut merugi atau dituduh sebagai pelaku.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran 1. Sebagaimana yang telah sering dibahas oleh pakar hukum pidana bahwa KUHP Indonesia yang hingga saat ini masih kita gunakan sebenarnya sudah sangat tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan masyarakat, khususnya mengenai uang palsu. Oleh karena itu, sangat diperlukan Undang-undang tersendiri yang khusus mengatur mengenai pemalsuan terhadap uang kertas rupiah dan pengedarannya yang dapat mengancam perekonomian Negara kita ini, sehingga penegakan hukum terhadap kejahatan uang palsu dapat ditingkatkan. 2. Untuk dapat terlaksananya penegakan hukum yang maksimal terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini, Pemerintah harus lebih serius lagi menanggapi kejahatan ini dengan berusaha memikirkan hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja dari para penegak hukum di Indonesia, termasuk Kotamadya Medan. 3. Para penegak hukum harus lebih menjunjung tinggi prifesionalitas dalam melaksanakan perannya dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah di Indonesia termasuk juga di wilayah hukum Kotamadya Medan. Tentu saja dukungan dari Pemerintah juga sangat menentukan teratasinya kendala-kendala dalam penegakan hukum kejahatan ini.
Universitas Sumatera Utara