PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN MATA UANG (POLA PIKIR, PENGATURAN, DAN PENEGAKAN HUKUM)
Oleh: Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia
I.
Pendahuluan
Fungsi uang telah berkembang pesat, dari yang semula hanya sebagai alat tukar, kemudian berkembang sehingga memiliki fungsi sebagai ukuran umum dalam menilai sesuatu (common measure of value), sebagai aset likuid (liquid asset), bahkan dewasa ini fungsi uang telah berkembang dan memiliki fungsi yang lebih kompleks lagi, yaitu antara lain sebagai komponen dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market allocative system), faktor penyebab dalam perekonomian (a causative factor in the economy), dan faktor pengendali kegiatan ekonomi 1 (controller of the economy). Di Indonesia, lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari 2 peredaran adalah Bank Indonesia.
1 Davies, Glyn, ‘A History of Money From Ancient Times to the Present Day’, 2002. 2 Pasal 20 UUBI.
Berkaitan dengan fungsi uang tersebut di atas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato sambutan dalam rangka peresmian kawasan Perum Percetakan Uang Negara (Perum Peruri) di Karawang pada tanggal 2 Februari 2005 menegaskan “Bagi bangsa kita, mencetak uang bukan sekedar melakukan kegiatan usaha di bidang jasa percetakan belaka. Tetapi, kegiatan itu juga merupakan bagian dari upaya negara dalam menjaga dan mempertahankan ketahanan nasionalnya. Uang suatu negara bukanlah sekedar alat pembayaran, tetapi juga simbol dari suatu negara yang merdeka dan berdaulat”.
II.
Hukum positif penegakan hukum
dan
Aturan hukum yang mengatur tentang mata uang dan kejahatan terhadap mata uang di Indonesia bukanlah merupakan hal yang baru. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, pernah berlaku Indische Muntwet3 1912 sebagai Undang-
3
Muntwet adalah istilah dalam bahasa Belanda. Munt berarti uang dan wet berarti Undang-Undang.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
1
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Undang yang mengatur tentang mata uang yang tetap diberlakukan pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia hingga dinyatakan dicabut pada masa berlakunya UUDS 1950, yaitu dengan UU Darurat No. 20 Tahun 1951 tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru tentang Mata Uang, yang lebih dikenal sebagai UU Mata Uang 1951. Selanjutnya, dalam masa berlakunya UUDS 1950 itu terdapat 3 (tiga) UU yang diberlakukan yang menambah/mengubah UU Mata Uang 1951, yaitu: (a). UU No. 27 Tahun 1953 tentang “Penetapan UU Darurat tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru tentang Mata Uang ( UU No. 20 tahun 1951)” Sebagai UndangUndang; (b). UU Darurat No. 4 Tahun 1958 tentang “Pengubahan UU Mata Uang Tahun 1953”; dan (c). UU No. 71 Tahun 1958 tentang “Penetapan UU Darurat No. 4 Tahun 1958 tentang “Pengubahan UU Mata Uang Tahun 1953” sebagai Undang-Undang.
(yang mencabut UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia), maka keempat UU itu dinyatakan tidak berlaku lagi4. Sebagai gantinya, beberapa substansi pengaturan tentang mata uang diatur dalam UU Bank Sentral, sebagai berikut:
Dalam perkembangannya, sebagai konsekuensi yuridis atas terjadinya perubahan politik di dalam negeri, setelah diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945 dan kemudian dilanjutkan dengan diberlakukannya UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral
(d) Penegasan bahwa uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah (legal tender) di Indonesia;
(a) Satuan hitung uang, yaitu bahwa: (i). Satuan hitung uang Indonesia adalah rupiah; (ii). Rupiah Indonesia dibagi dalam 100 (seratus) sen; (b) Kewajiban penggunaan uang rupiah, dengan perumusan bahwa setiap perbuatan yang mengenai uang atau mempunyai tujuan pembayaran ataupun tujuan kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang, jika dilakukan di Indonesia, dilakukan dalam uang Rupiah Indonesia, kecuali jika dengan tegas diadakan ketentuan lain dengan peraturan perundangundangan; (c) Diberikannya hak tunggal kepada Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam;
4
Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 (versi asli): “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”. Sedangkan Pasal 54 ayat (2) UU Bank Sentral 1968 menyebutkan: “Dengan pengeluaran Undang-undang ini, maka Undang-undang tentang Mata Uang Tahun 1951 dengan tambahan dan perubahannya dinyatakan tidak berlaku”.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
2
Volume 4 Nomor 1, April 2006
(e) Kewenangan Bank Indonesia untuk menentukan jenis, nilai, dan ciri-ciri uang yang akan dikeluarkan; (f) Pembebasan uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dari bea meterai; (g) Kewenangan Bank Indonesia untuk menyatakan uang yang tidak layak lagi untuk diedarkan kembali.
Dasar pemikiran dari politik hukum pengaturan mata uang di dalam UU Bank Sentral adalah bahwa pada umumnya di berbagai negara fungsi dan tugas di bidang pengelolaan dan pengedaran uang dilakukan oleh bank sentral yang memiliki hak khusus untuk menerbitkan uang kertas dan uang logam (sebagai otoritas moneter). Pencetakan dan penerbitan uang oleh suatu negara tidak dapat semata-mata diterbitkan begitu saja, melainkan pencetakan dan penerbitan uang tersebut sangat terkait dengan kebijakan moneter suatu negara. Berkenaan dengan hal tersebut, sesuai dengan amanat Pasal 23 B UUD 1945 dan UU Bank Indonesia, Bank Indonesia memiliki tugas selaku otoritas moneter, sehingga tugas di bidang pengedaran uang juga merupakan tugas Bank Indonesia. Ketentuan dimaksud, selain diatur dalam UU Bank Indonesia juga ditegaskan dalam UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (UU KN) 6 ayat (2) huruf d. Sementara itu, UU yang memberikan dasar hukum perumusan delik kejahatan terhadap mata uang dan sanksi pidananya diatur dalam Wetboek van Strafrecht (Stbl.1915 No.732) yang kemudian juga tetap diberlakukan pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia atas dasar UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia yang dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali perubahan. Sejak dicabutnya “UU Mata Uang eks UUDS 1950” itu, maka sejak tahun 1968 sampai dengan saat ini Indonesia tidak mempunyai UU yang khusus mengatur tentang mata uang. Saat ini, dengan memperhatikan perkembangan masyarakat dan mengingat kebutuhan yang sudah sangat mendesak, DPR RI telah mulai memprakarsai penyusunan RUU tentang Mata Uang dan sudah menjadi prioritas dalam Prolegnas 2005-2009.
A. Hukum Positif yang mengatur tentang mata uang dan kejahatan terhadap mata uang Perangkat hukum yang berlaku pada dewasa ini yang mengatur tentang aspek-aspek mata uang terdiri dari 2 (dua) UU, yaitu UU No. 23 Tahun
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
3
Volume 4 Nomor 1, April 2006
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 (UUBI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPi) yang pada dasarnya merupakan peraturan yang dibuat pada masa pemerintah kolonial Belanda 100 tahun yang lalu (Stbl.1915 No.732). Pengaturan tentang mata uang dalam hukum positif yang berlaku saat ini secara ringkas adalah sebagai berikut: 1. Pengaturan dalam UUBI, yaitu pada Pasal-Pasal 2, 3, 19 s.d 23, serta 65 dan 66, adalah sebagai berikut: a. Pasal 2 UUBI mengatur mengenai: (i). satuan mata uang RI adalah Rupiah; (ii). uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender); (iii). kewajiban untuk menggunakan uang rupiah untuk pembayaran dan larangan untuk menolak uang rupiah untuk pembayaran bagi setiap orang atau badan yang berada di wilayah NKRI; serta (iv). pengecualian penggunaan uang rupiah. b. Pasal 3, larangan pembawaan uang rupiah dalam jumlah tertentu ke luar atau masuk wilayah pabean. Pasal ini oleh Pasal 77 A UUBI tidak diamanatkan untuk diatur dalam UU tersendiri.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
c. Pasal 19, 20, 22 dan 23 UUBI mengatur mengenai kewenangan BI untuk: (i). menetapkan macam, harga, ciri, bahan, dan tanggal mulai berlakunya; (ii). mengeluarkan, mengedarkan, mencabut, menarik, dan memusnahkan uang; (iii). tidak memberikan penggantian atas uang yang hilang/musnah; (iv). memberikan penggantian dengan nilai yang sama terhadap uang yang dicabut dari peredaran dalam batas waktu tertentu. Selain itu Pasal 21 UUBI mengatur pembebasan uang dari bea materai. d. Pasal 65 dan 66 UUBI merumuskan bentuk pelanggaran serta ancaman pidana dan sanksi administratif, yaitu: (i). pelanggaran dengan sengaja terhadap kewajiban penggunaan uang rupiah diancam dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 3 (tiga) bulan, serta denda paling sedikit Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah); dan (ii). pelanggaran karena sengaja menolak uang rupiah diancam dengan pidana kurungan paling
4
Volume 4 Nomor 1, April 2006
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun, serta denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). e. Pasal 2 ayat (2) UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang mengatur penggunaan devisa untuk keperluan transaksi di dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UUBI.
2. KUHPi dalam Bab X tentang pemalsuan mata uang dan uang kertas pada Pasal-Pasal 244 s.d 252 yang mengatur delik kejahatan terhadap mata uang dan ancaman pidana, sebagai berikut: a. Pasal 244: Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh edarkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; b. Pasal 245: Sengaja mengedarkan, menyimpan, memasukkan, dan menyuruh mengedarkan uang palsu, diancam dengan pidana
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; c. Pasal 246: Mengurangi nilai mata uang dengan maksud untuk mengeluarkan atau menyuruh edarkan, diancam karena merusak uang, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun; d. Pasal 247: Sengaja mengedarkan mata uang yang dikurangi nilainya atau menyimpan atau memasukkan dengan maksud mengedarkan atau menyuruh edarkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun; e. Pasal 249 (Pasal 248: dihapuskan atas dasar Stbl. 1938 No. 593): Sengaja mengedarkan uang yang dipalsu atau dirusak, diancam, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 245 dan 247, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. f. Pasal 250: Membuat atau mempunyai persediaan bahan atau benda untuk meniru, memalsu atau mengurangkan nilai mata uang, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda
5
Volume 4 Nomor 1, April 2006
paling banyak rupiah;
tiga
ratus
g. Pasal 250 bis: Dalam hal pemidaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam bab ini, maka mata uang palsu, dipalsu atau dirusak; uang kertas negara atau bank yang palsu atau dipalsu; bahan-bahan atau benda-benda yang menilik sifatnya digunakan untuk meniru, memalsu atau mengurangkan nilai mata uang atau uang kertas, sepanjang dipakai untuk atau menjadi obyek dalam melakukan kejahatan, dirampas juga apabila barang-barang itu bukan kepunyaan terpidana; h. Pasal 251: Dengan sengaja tanpa izin Pemerintah, menyimpan atau memasukkan ke Indonesia keping-keping atau lembarlembar perak untuk dianggap sebagai uang, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak sepuluh ribu rupiah; i. Pasal 252: Dalam hal pemidanaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 244247 itu, dapat dicabut hakhak tersebut pada Pasal 35 No. 1 – 4 yaitu: (i). hak memegang jabatan pada
umumnya atau jabatan yang tertentu; (ii). hak memasuki angkatan bersenjata; (iii). hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; (iv). hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri. Perumusan delik yang mencantumkan syarat “dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh edarkan” dapat melemahkan penuntutan dalam hal uang palsu dimaksud belum diedarkan. Seyogianya dengan terpenuhinya unsur meniru atau memalsu uang, maka delik tersebut telah memenuhi unsur pemalsuan uang. Sedangkan unsur mengedarkan seyogianya adalah merupakan unsur yang memberatkan. Dalam melihat kasus pemalsuan uang rupiah, hendaknya tidak terfokus pada timbulnya kerugian setelah uang palsu tersebut diedarkan, akan tetapi haruslah dilihat pula dari sisi yang lain, yaitu bahwa uang rupiah adalah merupakan salah satu simbol kenegaraan, sehingga tindakan pemalsuan uang rupiah dapat pula dianggap sebagai kejahatan terhadap simbol negara. Oleh karena itu, belum diedarkannya
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
6
Volume 4 Nomor 1, April 2006
uang palsu dimaksud seyogianya tidak dijadikan alasan yang meringankan hukuman karena terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya. Seharusnya, yang dijadikan fokus adalah dengan telah selesainya perbuatan memalsukan uang rupiah, maka kejahatan tersebut telah selesai dilakukan. Berkaitan dengan hal itu, maka perbuatan mengedarkan uang palsu seharusnya adalah delik yang berdiri sendiri (terpisah dari perbuatan memalsukan uang), sehingga apabila pelaku pemalsuan uang juga sekaligus mengedarkan uang palsu tersebut, maka hukumannya harus lebih berat. Melihat dampak dari kejahatan terhadap mata uang, maka dalam UU Mata Uang perlu dicantumkan ancaman pidana dan denda minimal, supaya tujuan pemidanaan lebih efektif yaitu untuk menimbulkan efek jera dapat dicapai.
B. Penegakan hukum terhadap kejahatan mata uang Dari berbagai kasus tindak pidana di bidang mata uang, hukuman pidana yang dijatuhkan kepada para pelaku berdasarkan peraturan perundangundangan yang saat ini berlaku relatif rendah, padahal patut dipahami bahwa kejahatan terhadap mata uang khususnya pemalsuan uang sebagian besar adalah:
•
Kejahatan yang sifatnya tidak berdiri sendiri namun merupakan kejahatan yang terorganisir dengan baik, bahkan sangat mungkin merupakan kejahatan yang bersifat transnasional;
•
Pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang pada umumnya para residivis. Hal ini kemungkinan disebabkan hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku sangat ringan;
•
Pemalsuan terhadap mata uang memerlukan suatu proses yang cukup rumit, oleh karena itu biasanya pelaku tindak pidana pemalsuan uang tersebut merupakan orang-orang yang memiliki keahlian khusus.
Oleh karena itu, kejahatan pemalsuan mata uang perlu diberikan hukuman yang berat (setimpal), antara lain dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian negara. Hukuman terhadap pemalsu uang perlu pula dikaitkan dengan jangka waktu edar suatu emisi uang agar para pemalsu tersebut setelah menjalani hukuman tersebut tidak dapat melakukan pemalsuan lagi terhadap uang rupiah dengan emisi yang sama. Selain itu, pidana penjara saja tidak cukup untuk menimbulkan efek jera, oleh karena itu terhadap para pemalsu uang perlu ditambahkan hukuman lain yaitu berupa penggantian kerugian materil yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
7
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Perlunya penerapan hukum yang tegas bagi para pelaku tindak pidana pemalsuan uang (termasuk para pengedarnya) juga disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara peresmian Kawasan Perum Peruri di Karawang. Secara tegas beliau menginstruksikan kepada kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk memproses tindak pidana pemalsuan uang dan pengedarannya dengan sungguhsungguh dengan menjatuhkan sanksi yang tegas dan tepat. Hal ini mengisyaratkan bahwa presiden memiliki perhatian yang sangat besar terhadap penanganan kejahatan pemalsuan uang yang sangat merugikan perekonomian negara. Selengkapnya dapat dikutip pernyataan presiden sebagai berikut: “Oleh karena itulah, merespons terjadinya kejahatan pembuatan uang palsu, saya minta kepada pihak kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk memprosesnya dengan sungguh-sungguh, berikan sanksi yang tegas dan tepat, karena sangat, sangat merugikan perekonomian negara kita”.
III.
Paradigma baru constituendum
dan
ius
A. Perlunya paradigma baru dalam menilai kejahatan pemalsuan mata uang Kejahatan pemalsuan mata uang seharusnya tidak dipandang semata-
mata sebagai suatu kejahatan pemalsuan sebagaimana pemalsuan dokumen, sebab kejahatan pemalsuan mata uang merupakan kejahatan yang berdampak luas, karena: •
kekayaan korban dan kemampuannya untuk menggunakan uang menjadi hilang, sebab yang bersangkutan menjadi pemegang uang palsu yang tidak ada nilainya (kejahatan terhadap mata uang memiliki akibat langsung terhadap menurunnya kemampuan ekonomi korban);
•
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap uang Rupiah baik domestik maupun internasional;
•
mengganggu kestabilan ekonomi nasional.
•
menurunkan wibawa negara
Menurunnya kepercayaan terhadap rupiah akan menimbulkan biaya ekonomi yang lebih besar yang harus ditanggung oleh negara, karena Bank Indonesia, sesuai dengan Pasal 7 UUBI, memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah. Dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan intervensi pasar dalam rangka memelihara kestabilan nilai rupiah dan hal tersebut membutuhkan biaya besar. Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang, yang pada saat ini daya beli sebagian besar
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
8
Volume 4 Nomor 1, April 2006
masyarakatnya sangat lemah, penurunan kemampuan ekonomi masyarakat akibat kejahatan pemalsuan mata uang akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Dampak ikutannya adalah menurunnya kredibilitas pemerintah di mata masyarakat karena pemerintah dapat dianggap tidak mampu melindungi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, penurunan kemampuan ekonomi masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius, apalagi pada umumnya korban kejahatan pemalsuan mata uang adalah masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang rendah, misalnya pedagang kecil (warung/ asongan). Apabila kelompok masyarakat tersebut mendapat uang palsu dari pembeli, hal tesebut tidak hanya menimbulkan kerugian sebesar jumlah uang palsu tersebut, tetapi dapat mengancam kelangsungan usahanya karena pedagang kecil/asongan pada umumnya tidak memiliki simpanan uang yang cukup untuk menutupi kerugian dimaksud. Melihat besarnya dampak kejahatan pemalsuan mata uang terhadap masyarakat dan perekonomian suatu negara, maka sudah sewajarnya setiap negara berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya kejahatan pemalsuan mata uang, antara lain dengan menerapkan sanksi yang berat. Pentingnya penerapan sanksi yang berat untuk
melindungi mata uang dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: 1. Aspek Filosofis Mata uang merupakan salah satu simbol negara dan mata uang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi perekonomian suatu negara, yaitu sebagai: (a). alat tukar; (b). penyimpan nilai; (c). satuan hitung; (d). ukuran pembayaran yang tertunda (menghitung jumlah pembayaran pinjaman). 2. Aspek Sosiologis Uang suatu negara haruslah dapat diterima oleh masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah sehingga ada kepercayaan masyarakat terhadap uang dimaksud. 3. Aspek Yuridis Terkait dengan hal ini perlu diperhatikan pula konvensi internasional mengenai pemberantasan uang palsu, yaitu International Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol (Geneva, 1929) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 6 tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokol. 4. Aspek Politis Sebagaimana telah dikemukakan di atas, presiden RI telah meminta kepada kepolisian dan penegak hukum lainnya untuk memproses kejahatan uang palsu dengan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
9
Volume 4 Nomor 1, April 2006
sungguh-sungguh, dengan cara memberikan sanksi hukum yang tegas dan tepat. Penyataan presiden tersebut menunjukkan sikap presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dengan sungguh-sungguh ingin menjaga salah satu simbol kenegaraan dan sekaligus menjaga kestabilan ekonomi nasional. Pernyataan presiden tersebut juga menunjukkan pandangan presiden yang menganggap bahwa kejahatan pemalsuan uang rupiah sudah mencapai tahap yang sangat serius. Permintaan Presiden tersebut sudah sepatutnya ditindaklanjuti dan didukung oleh seluruh jajaran pemerintah dan aparat penegak hukum dalam implementasinya di lapangan. 5. Aspek security features Disamping perlunya menerapkan sanksi yang berat, setiap negara juga terus berusaha untuk meningkatkan keamanan terhadap uang dengan membuat security features yang canggih untuk menghindarkan adanya kemungkinan pemalsuan uang. Namun demikian, untuk menciptakan security features yang canggih, memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tentang betapa rumit dan mahalnya pencetakan uang, termasuk pemilihan bahan dan pengamanan uang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan dalam kesempatan pidatonya di Karawang: “Pekerjaan mencetak uang dan dokumen-
dokumen negara yang memerlukan tingkat pengamanan yang tinggi tentulah bukan pekerjaan yang mudah. Kemampuan rancang bangun yang mempunyai kode-kode tertentu, yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang tertentu pada setiap dokumen negara, tentu memerlukan keahlian dan kecermatan yang tinggi. Teknologi percetakan yang digunakan tentulah tidak sederhana, sehingga hasil cetakan itu tidak mudah ditiru dan tidak mudah dipalsukan oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab.” Untuk menghasilkan security features yang sulit untuk ditiru, dibutuhkan teknologi tinggi dan penelitian yang membutuhkan banyak biaya. Oleh karena itu, uang yang menggunakan security features dimaksud diharapkan dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama (5-7 tahun). Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa uang dimaksud tidak mungkin ditiru/dipalsukan. Orang yang memiliki pengetahuan yang memadai dan menguasai teknologi pencetakan mungkin saja dapat meniru uang dimaksud. Hal ini, misalnya, terjadi pada uang rupiah pecahan Rp 100.000,00 yang beberapa waktu lalu telah ditiru walaupun pecahan tersebut memiliki security features dengan menggunakan teknologi yang sangat tinggi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
10
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan mengingat security features tidak dapat sepenuhnya mencegah pemalsuan uang rupiah, maka dibutuhkan peraturan perundangundangan dan komitmen aparat penegak hukum untuk mendukung pencegahan pemalsuan uang rupiah. Adanya UU Mata Uang yang memuat sanksi yang berat dan aparat penegak hukum yang tegas serta konsisten dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dimaksud akan dapat meningkatkan efektifitas pencegahan pemalsuan uang rupiah. Oleh karena itu, pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa pelaku kejahatan pemalsuan mata uang sepatutnya melebihi masa berlaku uang dimaksud. Hal ini untuk mencegah pelaku mengulangi perbuatannya terhadap mata uang yang sama dan mencegah pelaku untuk mengikuti dan mempelajari perkembangan teknologi pengamanan dan pencetakan uang, sehingga dapat memperkecil kemungkinan pelaku meniru uang yang baru diedarkan.
B. Ius constituendum: Perlunya Pengaturan Mata Uang dalam Undang-Undang Tersendiri (UU Mata Uang) Dengan memperhatikan perkembangan pengaturan di dunia internasional (international best practice) tentang mata uang khususnya terkait dengan kemajuan teknologi dan konsep-konsep
pemikiran ekonomi yang makin berkembang tentang fungsi uang, dan ketahanan negara, adanya suatu UU tersendiri yang mengatur mata uang merupakan kebutuhan. Sebagai contoh, Singapura, Thailand, Canada. Bahkan di Australia telah memiliki UU Mata Uang (Currency Act) dan UndangUndang yang khusus mengatur mengenai tindak pidana mata uang yang diatur dalam Crimes Against Currency Act 1981. Dengan memperhatikan kebutuhankebutuhannya, maka draft RUU Mata Uang perlu mengatur materi pokok sebagai berikut: a. Penggunaan uang rupiah Terkait dengan penegakan hukum atas kewajiban penggunaan uang rupiah, RUU Mata Uang perlu mengatur tidak hanya mengenai sanksi pidana terhadap penolakan untuk menerima Rupiah tetapi juga mengenai ancaman pidana terhadap pelanggaran atas kewajiban untuk menggunakan Rupiah di wilayah Republik Indonesia dan larangan pembawaan uang rupiah dalam jumlah tertentu ke luar dan masuk wilayah pabean Indonesia tanpa izin BI. Pengaturan seperti ini adalah sebagaimana telah diatur dalam UUBI. Mengenai usulan pengaturan bahwa pengecualian penggunaan uang Rupiah diatur dalam peraturan perundang-undangan, hal ini akan berdampak terlalu luas. Sesuai Pasal
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
11
Volume 4 Nomor 1, April 2006
7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan meliputi UUD 1945, Undangundang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Dengan demikian seolah-olah dapat diartikan bahwa Perda dapat mengatur pengecualian penggunaan uang rupiah didaerahnya masingmasing, sehingga pada gilirannya penggunaan valuta asing akan mendominasi transaksi ekonomi di Indonesia dibanding penggunaan uang rupiah. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka menghindari adanya pengaturan yang demikian, pengaturan mengenai pengecualian penggunaan uang rupiah perlu diamanatkan oleh UU Mata Uang untuk diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan UU Bank Indonesia saat ini. Berkenaan dengan hal tersebut, maka seluruh materi yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 (UU BI) beserta Penjelasannya perlu dicantumkan kembali dalam RUU Mata Uang termasuk sanksi pidana dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU BI.
b. Legal tender Sebagaimana currency act negara lain, pengertian legal tender untuk uang kertas mungkin perlu dibedakan dengan uang logam dari sisi jumlahnya. uang kertas berlaku sebagai legal tender dalam jumlah berapa pun pada setiap transaksi pembayaran. Sedangkan untuk uang logam, berlaku sebagai legal tender untuk jumlah tertentu untuk setiap pecahan. Namun demikian, pembatasan jumlah uang logam tidak berlaku bagi setoran nasabah kepada bank. Beberapa pertimbangan membatasi nilai transaksi pembayaran untuk uang logam sebagai legal tender dalam jumlah tertentu untuk setiap pecahan adalah sebagai berikut: 1) Membebani (risiko selisih kurang, handling cost) pihak yang menerima pembayaran dalam jumlah besar apabila pembayaran tersebut dilakukan dengan uang logam. 2) Fungsi uang logam pada dasarnya lebih ditujukan untuk pembayaran dalam jumlah kecil, misalnya untuk pengembalian. 3) Secara best practice, uang logam sebagai legal tender dibatasi dalam jumlah tertentu antara lain seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Australia, Inggris, Kanada.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
12
Volume 4 Nomor 1, April 2006
Namun demikian, terdapat kontra argumen untuk membatasi nilai transaksi uang logam sebagai legal tender dengan alasan sebagai berikut: 1) Masyarakat berpenghasilan sangat rendah yang banyak menggunakan uang logam (seperti pedagang kecil di pasar tradisional, tukang parkir, kondektur angkutan umum, dan lain-lain) akan mendapat kesulitan untuk melakukan pembayaran dalam jumlah besar dengan menggunakan uang logam yang mereka miliki. 2) Kedudukan uang logam sebagai legal tender yang dikeluarkan oleh BI menjadi sangat terbatas penggunaannya.
c. Tanda tahun emisi Tanda tahun emisi merupakan salah satu ciri uang yang ditetapkan oleh BI, sedangkan tanda tahun cetak pada uang bukan merupakan salah satu ciri minimal yang harus terdapat pada uang kertas dan uang logam. Alasan pencantuman tanda tahun cetak bukan merupakan salah satu ciri minimal didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1) Dalam satu lembar uang kertas seyogianya hanya terdapat satu tanda tahun yaitu tahun emisi agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat sebagaimana halnya untuk uang
logam yang hanya memiliki satu tanda tahun yaitu tahun emisi. 2) Ciri uang secara prinsip tidak berubah dalam satu tahun emisi dan hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah. 3) Best practice di negara lain juga hanya mencantumkan satu tanda tahun.
d. Laporan pelaksanaan kegiatan pengedaran uang Dalam draft RUU Mata Uang, Bank Indonesia diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengedaran Uang yang tediri dari kegiatan pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan uang rupiah dari peredaran. Laporan dimaksud disampaikan kepada DPR RI secara terpisah dari laporan pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Bank Indonesia. Terkait dengan rumusan dimaksud, dapat dikemukakan bahwa pengaturan mata uang terutama mengenai pengeluaran, pengedaran dan pencabutan kembali uang dari peredaran merupakan bagian dari kewenangan bank sentral dalam menjalankan fungsinya sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran nasional. Disamping itu,
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
13
Volume 4 Nomor 1, April 2006
uang beredar dalam suatu negara harus dikelola dengan baik sedemikian rupa sehingga uang yang beredar tersebut jumlahnya sesuai dengan kebutuhan perekonomian negara dimaksud. Untuk itu jumlah uang yang beredar harus direncanakan dengan perhitungan-perhitungan yang benar dan tepat berdasarkan “program moneter” bank sentral. Secara statistik moneter, uang beredar (yang di dalamnya termasuk uang logam dan uang kertas) merupakan komponen kewajiban moneter. Dengan demikian, pelaporan bidang moneter meliputi pula perkembangan uang kartal (uang logam dan uang kertas). Mengacu kepada tugas pokok BI yang salah satunya adalah pengedaran uang, maka hal ini dilaporkan secara komprehensif dan terintegrasi dalam satu laporan kepada DPR RI sebagai bentuk pertanggung jawaban publik, tidak dipisah. Dari segi anggaran, kegiatan pengedaran uang merupakan anggaran kebijakan yang pelaporannya juga terkait erat dengan kebijakan moneter. Dengan demikian, pelaporan anggaran disampaikan oleh BI kepada DPR RI sebagai bagian dari rencana kebijakan yang akan ditempuh. Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka laporan pelaksanaan kegiatan pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta
pemusnahan uang rupiah dari peredaran disampaikan kepada DPR RI tidak dilakukan secara terpisah dari laporan pelaksanaan tugas Bank Indonesia, namun dilaporkan secara terintegrasi dan tidak terpisahkan dengan Laporan Tahunan dan Laporan Triwulanan Bank Indonesia sesuai dengan UU Bank Indonesia.
e. Unit khusus uang palsu
penanganan
Dalam draft RUU Mata Uang, diatur bahwa Bank Indonesia membentuk unit khusus (Counterfeit Analysis Centre) yang berfungsi untuk menangani permasalahan uang palsu. Unit khusus tersebut mempunyai tugas membentuk pusat data, mengadministrasikan uang palsu yang ditemukan, menyimpan contoh uang palsu dan melakukan pengkajian dan studi tentang uang palsu. Terkait dengan usulan dalam draft RUU Mata Uang tersebut, perlunya pembentukan unit khusus di Bank Indonesia yang berfungsi untuk menangani permasalahan uang palsu patut untuk dipertimbangkan. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka menangani kejahatan uang palsu secara lebih komprehensif dan terpadu yang membutuhkan pula adanya suatu pusat data yang terpercaya dan lengkap. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini data uang palsu diperoleh dari:
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
14
Volume 4 Nomor 1, April 2006
a. laporan perbankan atas temuan uang palsu di masing-masing bank; b. hasil penangkapan pelaku kejahatan uang palsu oleh pihak POLRI. Sejauh ini belum ada mekanisme baku agar data uang palsu yang diperoleh dari kedua sumber tersebut dapat terintegrasi dalam suatu pusat data. Sebagai pembanding, di European Central Bank (ECB) telah dibentuk suatu Counterfeit Analysis Centre (CAC) yang kegiatannya mendokumentasikan seluruh temuan uang palsu dan menganalisis jenis-jenis pemalsuan dan modus operandi secara terintegrasi. Dalam operasionalnya CAC bekerja sama dengan kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya. Dengan adanya unit khusus yang menangani permasalahan uang palsu yang akan menjadi pusat data tersebut maka diharapkan pemberantasan kejahatan mata uang khususnya pemalsuan uang diharapkan dapat ditangani secara lebih terintegrasi dan efektif.
f. Kewajiban bank memberikan layanan penukaran uang kepada masyarakat Selama ini, BI sering mendapat keluhan dari warga masyarakat mengenai adanya hambatan bagi masyarakat untuk menukarkan
uangnya, baik yang lusuh, rusak, robek, dsb, melalui bank-bank. Oleh karena itu, UU Mata Uang perlu memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat mewajibkan bank melayani kegiatan penukaran uang kepada masyarakat, termasuk mengenakan sanksi kepada bank yang tidak bersedia memberikan layanan penukaran uang kepada masyarakat.
g. Ketentuan pelaksanaan RUU Mata Uang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia UU Mata Uang juga perlu mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan dari UU Mata Uang. Pasal 6 ayat (2) huruf d UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dipegang oleh Presiden tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang. Selain itu UU Bank Indonesia mengatur bahwa tugas Bank Indonesia meliputi pula tugas di bidang sistem pembayaran, dimana dalam pelaksanaan tugas dimaksud selama ini telah dilaksanakan dengan Peraturan Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka aturan pelaksanaan UU Mata Uang yang terkait dengan tugastugas Bank Indonesia di bidang pengedaran uang dituangkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
15
Volume 4 Nomor 1, April 2006
h. Ketentuan pidana dan sanksi administratif Terkait dengan rumusan dalam draft RUU Mata Uang bahwa ketentuan pidana dan sanksi administratif perlu disatukan dalam RUU Mata Uang, tidak terpisah dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, serta pengaturan ancaman pidana yang perlu ditetapkan lebih berat (meliputi pidana penjara dan denda dengan batas minimum dan maksimum), usulan ini patut didukung. Selama ini pengaturan sanksi pidana dalam KUHP untuk pemalsuan uang relatif ringan (ancaman pidana penjara tanpa batas minimum dan tidak ada ancaman pidana denda), sehingga dalam implementasinya cenderung tidak bersifat deterrent untuk mencegah terjadinya pemalsuan uang.
IV.
Saran
1. Dalam penyusunan kebijakan dalam rangka menanggulangi tindak pidana di bidang mata uang, perlu adanya paradigma baru dalam menangani perkaraperkara kejahatan pemalsuan mata uang yang menekankan bahwa tindak pidana tersebut bukanlah kejahatan yang sama dengan pemalsuan terhadap dokumen biasa mengingat bahwa pemalsuan uang menimbulkan dampak yang sangat luas seperti dapat
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah, mengacaukan stabilitas perekonomian, bahkan dapat mengurangi wibawa negara; 2. Mengingat bahwa tindak pidana di bidang mata uang bukan merupakan tindak pidana biasa, maka untuk menimbulkan efek jera terhadap pelakunya, UU Mata Uang perlu memberikan landasan hukum yang dapat diimplementasikan oleh aparat penegak hukum khususnya Jaksa dan Hakim untuk mengajukan tuntutan dan menghukum pelakunya secara setimpal. Selain pidana penjara, kiranya perlu pula kepada para pelaku dikenakan hukuman tambahan berupa penggantian kerugian materil yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut. 3. Mengingat pengaturan mengenai mata uang pada saat ini tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yaitu UUBI, KUHPidana, UU No. 6/1981 yang mengesahkan Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan Uang Palsu, UU Keuangan Negara, dan Inpres No. 1/1971 tentang Pembentukan Botasupal, maka agar pengaturan mengenai mata uang lebih komprehensif, diperlukan adanya pengaturan mengenai mata uang dalam suatu Undang-Undang tersendiri sebagaimana diamanatkan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
16
Volume 4 Nomor 1, April 2006
dalam Pasal 23 B UUD 1945, tanpa mengurangi kewenangan lembaga/instansi yang terkait sesuai dengan Undang-Undang yang mendasarinya. Dalam Undang-Undang Mata Uang tersebut hendaknya mencakup
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
pula pengaturan mengenai tindak pidana dan sanksi pidana terhadap mata uang dengan hukuman pidana penjara serta adanya hukuman tambahan berupa penggantian kerugian materil.
17
Volume 4 Nomor 1, April 2006