62
BAB III PENDIDIKAN EKOLOGI
A. Pengertian Pendidikan Ekologi Pendidikan dan ekologi adalah dua terminologi yangberbeda secara genetik namun keduanya memiliki keterkaitan. Pendidikan bisa dimaknai sebagai upaya memartabatkan manusia, sedangkan ekologi merupakan cabang ilmu alam. Dalam pendidikan Islam, untuk menyebut pengertian pendidikan, dikenal dengantiga term, yakni term al-ta‟dib, al-ta‟lȋm, dan altarbiyyah.1Ta‟dȋb yang berarti mendidik, digunakan Nabi saw untuk pengertian mendidik, sebagaimana sabdanya:
رواه ابن السمعاني.ا ّدبني ربّي فاحسن تاديبي “Tuahanku telah mendidikku, maka Tuhanku adalah sebaik-baiknya pendidikku.” HR. Ibnu Sam‟aniy.2 Selain kata ta‟dib, term ta‟lim juga digunakan untuk mununjuk makna pendidikan. Pendidikan yang pertama kali Nabi Adam as terima dari Allah adalah saat setelah Nabi Adam as diciptakan oleh Allah, yakni pada QS. Al-Baqarah [2] : 31
1
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 137
2
Jalaluddin „Abdu al-Rahmān bin Abi Bakr al-Suyûṭi, al-Jāmi‟u al-Ṣoghir, Juz I, h. 14
62
63
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Term tarbiyah yang menunjukan makna pendidikan juga bisa ditelusuri di dalam QS. Al-Isrā‟ [17] : 24
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil."QS. Al-Isrā‟ [17] : 24
Perbedaan antara term al-ta‟dib, al-ta‟lȋm, dan al-tarbiyyah, term alta‟dib sudah mencakup ilmu dan amal.3 Berbeda dengan ta‟dib, al-ta‟lȋm justru mencakup aspek-aspek pengetahuan lainnya, juga keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta pedoman perilaku.4 Sedangkan term tarbiyah menurut Abdurahman An-Nahlawi, sebagaimana dikuti oleh Khoiron Rosyadi, memiliki empat unsur: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh. Kedua, mengembangkan seluruh potensi dan 3
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik ..., h. 139
4
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik ..., h. 146
64
kesiapan yang bermacam-macam. Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. Dan keempat, proses ini dilakukan secara bertahap hingga sempurna.5 Merujuk pengertian pendidikan di atas, pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang bersumber pada kebenaran absolut, berlandaskan al-Qur‟an, hadits dan ijtihad6 yang memiliki orientasi pada kesejahteraan moril sekaligus spiritual demi mencapai kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat sekaligus. Adapun ekologi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, yaitu oikos yang artinya rumah dan logos yang artinya ilmu. Sedangkan secara terminologi, ekologi merupakan ilmu dasar untuk memahami dan meyelidiki akan bekerjanya ekosistensi kehidupan makhluk hidup dalam sistem kehidupannya, tentang kelansungan hidup dalam habitatnya, cara mencukupi kebutuhannya, bentuk-bentuk interaksi dengan komponen dan spesies lain, tentang adaptasi dan toleransi terhadap perubahan yang terjadi, tentang pertumbuhan dan perkembanganbiakan yang berlangsung secara alami dalam sebuah ekosistem.7 Dalam teori ekosentris yang dikenalkan pertama kali oleh Arne Naess,8 menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi
5 6
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik ..., h. 148 Yang dimaksud landasan ijtihad adalah landasan pragmatis yang berupa landasan
kebijakan 7 8
Sofyan Anwar Mufid, Islam dan Ekologi Manusia ..., h. 41
Seorang pemikir Norwegia tahun 1973, ia kemudian dikenal sebagai salah seorang tokoh utama gerakan Deep Ecologi.
65
berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan etika lingkungan hidup. Manusia dan kepentingannya bukan lagi pusat dari dunia moral tapi justru memusatkan perhatian kepada semua spesies, termasuk spesies bukan manusia. Prinsip moral yang dikembangkan menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologi.9 Ekosentrisme memandang hubungan antara alam dan kehidupan sosial dengan pokok-pokok gagasan sebagai berikut: pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi sesuatu yang lain. Ia tidak hanya melihat spesies manusia saja tetapi juga memandang spesies lain. Kedua, pandangan tentang lingkungan harus bersifat praktis. Artinya, etika ini menuntut suatu pemahaman baru tentang relasi yang etis dalam semesta disertai prinsip-prinsip yang bisa diterjemahkan dalam gerakan lingkungan.10 Berdasarkan pengertian pendidikan dan ekologi di atas, maka yang dimaksud dengan pendidikan ekologi adalah kajian yang menyelidiki ekosistem dan keseimbangan alam, baik biotik maupun abiotik dan keterkaitannya dengan aktifitas manausia berdasarkan spirit ijtihad, bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits untuk kesejahteraan umat manusia dan alam sekaligus. Pendidikanekologi sebagai hasil ijtihad, secara epistimologi berpijak pada prinsip yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadits.
9
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), h.
93 10
Rachmad. K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 113
66
B. Ruang Lingkup Pendidikan Ekologi Studi dan kajian tentang krisis ekologi dan cara penangannya, tidak hanya telah meresahkan negara, melainkan telah menjadi keresahan semua elemen bangsa dan dunia ini, termasuk pendidikan. Problem kerusakan lingkungan yang telah berdampak pada sendi-sendi kehidupan alam, memaksa dunia pendidikan dan agama, terutama pendidikan Islam secara konsentrasi melakukan penelaahan. Diskusi-diskusi semacam ini tidak hanya melibatkan negara dengan otoritas regulasinya, melainkan bagaimana pendidikan Islam mampu menerjemahkan diri dalam konteks ekologi. Secara makro, ruang lingkup pendidikan ekologi adalah meliputi pengertian pendidikan ekologi, landasann pendidikan ekologi, tujuan pendidikan ekologi, model pembelajaran pendidikann ekologi, dan materi pendidikan ekologi. 1. Landasan Pendidikan Ekologi Merujuk pengertian pendidikan ekologi yang mengkaji dan menyelidiki ekosistem dan keseimbangan alam, baik biotik maupun abiotik dan keterkaitannya dengan aktifitas manausia berdasarkan spirit ijtihad, bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits, maka landasan pendidikan ekologi yang dimaksud adalah landasan yang bersifat ideal yang berupa Al-Qur‟an dan Hadits, dan ijtihad (landasan pragmatis yang berupa landasan kebijakan).
67
a. Landasan al-Qur‟an dan Hadits (idealis) Kedua landasan tersebut, pertama al-Qur‟an. Secara etimologi, Al-Qur‟an merupakan masdar yang maknanya sinonim dengan kata Qiro‟ah (baca‟an).11 Para ulama berbeda pendapat tentang lafal alQur‟an, tetapi mereka sepakat bahwa lafal al-Qur‟an adalah kalimah isim (kata benda), bukan kalimah fi‟il (kata kerja) atau kalimah huruf (huruf).12 Sedangkan secara istilah, al-Qur‟an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, bagi yang membacanya merupakan suatu ibadah dan pahala.13 Selain dinamakan Al-Qur‟an kitab ini juga dinamakan al-hudā (petunjuk), bayyināt (penjelas), dan al-furqān (pemisah).14 Kedua, adalah hadits. As-Sayyid „Alawi ibn As-Sayyid „Abbas al-Maliki al-Khasani menyebutkan, الحديث لغة ضد القديم
hadits
secara
bahasa berarti lawan dari kata lama.15 Secara etimologi, Muhammad „Alwi al-Maliki, seorang guru besar Masjid al-Haram Makkah juga
11
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya didadamu (membuatmu pandai) membacanya.” QS. Al-Qiyāmah [75] : 17 12
Fah bin Abdurahman Ar-Rumi, Ulumul Qur‟an, terj. Muhammad Halabi dan Amirul Hasan, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 47 13
Fah bin Abdurahman Ar-Rumi, Ulumul Qur‟an ..., h. 51
14
“Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu pembeda (antara yang hak dan bathil). QS. Al-Baqarah [2] : 185 15
As-Sayyid „Alawi ibn As-Sayyid „Abbas al-Maliki al-Khasani, “Fatkhu al-Qariib alMujiib „alaa tadzhiib al-targhiib wa al-tarhiib”, (tanpa penerbit, 1983), h. 25
68
menngatakan, hadits secara etimologi berarti “baru”, lawan dari kata “lama”.16 Sedangakan secara terminologi, hadits diartikan segala yang dinisbahkan kepada Nabi saw baik perkataan, perbuatan maupun keizinannya.17 Berangkat dari makna secara bahasa maupun istilah diatas, sesuatu yang baru berarti memerlukan pemahaman yang komprehensif. Semua yang datang dari Rasulullah saw baik perkataan, perbuatan, takrir dan keadaan ikhwal beliau bukanlah rentetan kehidupan yang hampa makna yang datangnya dari nafsu belaka melainkan sesungguhnya bersumber dari firman-Nya yang kemudian menjadi ketetapan hukum syar‟i. Ayat 3-4 dari QS. An Najm cukup menjadi landasan argumentasi bahwa sesuatu yang diucapkan Rasulullah saw benar-benar dihadirkan dari kabar Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. QS. Al-Najm [53] : 3-4
16 17
Muhammad Alwi, Ilmu Ushul Hadits, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2006), h. 37
Mahmud Ali Fayyad, “Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits”, judul asli, “Minhaju al-Mukhadditsiin fii Dlabathi al-Sunnah” terj. A. Zarkasyi Chumaidi, (Bandung, Pustaka Setia: 1998), h. 17.
69
Bahkan uraian yang cukup bagus adalah yang dikemukan oleh Imam Syatibi: “Apabila seorang mukallaf berbuat sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw berarti dia telah taat kepada Allah sesuai dengan yang dimaksud oleh firman-Nya dan seakaligus dia telah taat kepada Rasulullah saw. Demikian juga Apabila seorang mukallaf berbuat tidak sesuai dengan penjelasan Rasulullah saw berarti dia telah durhaka kepada Allah karena dia berbuat tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh firman-Nya dan seakaligus dia telah durhaka kepada Rasulullah saw”.18 b. Landasan kebijakan (Pragmatis) Landasan
kebijakan
pendidikan
ekologi
yang
bersifat
pragmatis ini, merupakan landasan praktis yang mendasari pada nilai kegunaan dan nilai kemanfaatan secara nyata. Adapun landasan kebijakan disusun berdasarkan: 1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tentang Program Pembangunan Nasional
18
Hasan Su‟adi, M.S.I., Editor oleh Tubagus Surur, M.Ag., Dibawah Naungan Al Kutub Al Sittah Metodologi Penulisan Kitab-kitab Hadits Periode Awal, (Yogyakarta: STAIN Press, 2007) h. 40
70
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. 6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. 7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Lingkungan Maritim. 8) Keputusan Bersama Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1991
dan
Nomor
38
Tahun
1991
Tentang
Peningkatan
Pemasyarakatn Kependudukan dan Lingkungan Hidup Melalui Jalur Agama. 9) Piagam Kerjasama Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Menteri Dalam Negeri Nomor 05/MENLH/8/1998 dan Nomor 119/1922/SJ tentang Kegiatan Akademik dan Non Akademik di Bidang Lingkungan Hidup. 10) Memorandum
Bersama
antara
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 0142/U/1996 dan Nomor KEP:89/MENLH/5/1996 tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup.19
19
Sudjoko, Pendidikan Lingkungan Hidup ..., h. 1.18
71
2. Tujuan Pendidikan Ekologi Dalam merumuskan tujuan pendidikan ekologi tentu tidak bisa dilepaskan dari landasan pendidikan ekologi itu sendiri. Dimana landasan pendidikan ekologi tersebut menempatkan al-Qur‟an dan Hadits sebagai landasan ideal dan menempatkan landasan kebijakan yang bersifat pragmatis. Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan ekologi bersifat idealis dan pragmatis. a. Tujuan yang bersifat idealis 1) Membimbing manusia agar mampu memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Allah (Abdullah) 2) Membimbing manusia agar mampu memaknai hakikat dirinya sebagai wakil Allah (khalifah) dimuka bumi dengan penuh amanah menunaikan
tanggungjawab
untuk
memakmurkan
dan
memberdayakan sumber daya alam ini berdasarkan syariat Allah. 3) Membimbing manusia agar dapat mengoptimalkan potensi yang ada di dalam dirinya maupun potensi alam yang ada disekelilingnya secara seimbang dan proporsional. 4) Membimbing manusia agar saat menunaikan amanahnya sebagai khalifaha-Nya di muka bumi ini, dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Tuhan Allah swt. 5) Membimbing manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sekaligus.
72
b. Tujuan yang bersifat pragmatis 1) Membentuk manusia agar memiliki tanggung jawab moral dan akhlak serta kesadaran penuh akan hakikatnya sebagai manusia. Sehingga manusia di dalam menunaikan mandat yang diberikan oleh Allah tidak menafikan fungsi kekhalifahannya. 2) Membentuk dan mendidik potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat
digunakan
untuk
mendukung
tugas
pengabdian
dan
kekhalifahannya serta dalam rangka memenuhi kebutuhannya. 3) Menciptkan keseimbangan ekologi dan menjaga sumber daya alam sebagai hak publik yang keberadaannya sangat vital bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi. 4) Menumbuhkembangkan sikap sadar lingkungan kepada generasi dan dunia
pendidikan
khususnya,
sehingga
kesadaran
ini
akan
mengarahkan potensi baik manusia menciptkan kepedulian terhadap ekologi. 5) Menyiapkan lembaga pendidikan, baik pendidikan informal, pendidikan non formal, dan pendidikan formal yang tanggap dan respon terhadap isu-isu ekologi. Berdasarkan tujuan di atas, pendidikan ekologi memiliki cakupan tujuan yang bersifat idealis dan praktis. Tujuan tersebut mengarahkan pendidikan ekologi tidak hanya mencakup tujuan yang menyentuh ranah kognitif saja, melainkan bertujuan untuk membentuk sikap dan kesadaran
73
spiritual terhadap hakikat manusia dan alam. Oleh karena itu, objek kajian pendidikan ekologi meliputi hakikat manusia, eksistensi alam, dan hubungan keduanya. 3. Model Pembelajaran Pendidikan Ekologi Model secara bahasa berarti pola (contoh, acuan, ragam dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.20 Sedangkan pembelajaran berasal dari kata ajar dan belajar. Ajar berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui, sedangkan belajar berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Adapun pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang belajar.21 Pengertian model pembelajaran menurut Joyce, sebagaimana dikutip oleh Trianto, adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran dikelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkatperangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Sedangkan menurut Arend, sebagaimana dikutip oleh Trianto, “The term teaching model refers to a particular to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system; istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan
20
Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia ..., h. 471
21
Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia ..., h. 8
74
pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, pola urutannya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya. 22 Dari pengertian model pembelajaran baik menurut bahasa, istilah maupun pendapat para pakar pendidikan, model pembelajaran memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan tujuan pembelajaran, dengan menggunakan pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, dan metode pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran ini kemudian akan dijadikan sebagai acuan dalam menyusun kurikulum dan kegiatan proses belajar mengajar guru dan siswa di ruang kelas maupun di luar ruang kelas. Kokom Komalasari membedakan istilah model pembelajaran dengan istilah pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, dan taktik pembelajaran. Menurut Kokom,
model
pembelajaran
termasuk
mencakup
pendekatan
pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, teknik pembelajaran, dan taktik pembelajaran. Oleh karena itu, Kokom memposisikan hirarkis dalam model pembelajaran sebagai berikut:23
22
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 22 23
Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual; Konsep dan Aplikasi, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 57
75
Ada banyak pendapat dan bentuk model pembelajaran yang dikelanl dalam dunia pendidikan. Model-model pembelajaran tersebut antara lain: model pembelajaran berbasis portofolifo, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran pelayanan, pembelajaran berbasis kerja, pembelajaran konsep, pembelajaran nilai, pembelajaran diskusi kelompok, model pembelajaran kontekstual, model pembelajaran dan lain-lain. Dari sekian model pembelajaran, pendidikan ekologi sebagai konsep pendidikan yang berwawasan lingkungan hidup, lebih menekankan pada bagaimana pembelajaran tersebut mampu menyentuh substansi masalah ekologi. Adapun model yang harus dikembangkan pada pembelajaran pendidikan ekologi anatara lain: a. Model pembelajaran nilai Model
pembelajaran
nilai
ini
bisa
dilakukan
dengan
menggunakan lima pendekatan, yaitu pendekatan penanaman nilai,
76
pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat.24 Model pembelajaran ini menitik tekankan pada penanaman nilai-nilai yang merupakan suatu pondasi siswa dalam berbuat dan bersikap
dalam
kehidupan
nyata.
Implementasi
dari
model
pembelajaran ini diawali dengan proses pemahaman kepada siswa akan pentingnya menghargai alam dan segala sumber daya alamnya bagi keberlangsungan hidup penghuni bumi. Nilai-nilai yang telah diajarkan tersebut akan mempengaruhi prilaku siswa dengan alam sekitar. b. Model interaksi sosial Model interaksi sosial adalah suatu model pembelajaran yang beranjak dari pandangan bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari realitas kehidupan, individu tidak mungkin melepaskan dirinya dari interaksi dengan orang lain. Karena itu proses pembelajaran harus dapat menjadi wahana untuk mempersiapkan siswa agar dapat berinteraksi secara luas dengan masyarakat.25 Lingkungan masyarakat yang terbentuk dari beberapa unsur, yaitu manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, air, batu, tanah, merupakan satu kesatuan lingkungan hidup yang utuh. Dalam realitas kehidupan di masyarakat, mengenali lingkungan yang nyaman dan asri bagi kehidupan manusia, merupakan prasyarat terbentuknya lingkungan masyarakat yang sehat. Oleh karena itu, model pembelajaran ini 24
Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual ..., h. 88
25
Aunurrahman, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 149
77
ditekankan pada perilaku siswa agar tidak hanya bagaimana beradaptasi dengan sesama manusia, melainkan bagaimana mengenal dan menjaga unsur-unsur lingkungan hidup di masyarakatnya. Dalam model pembelajaran ini, siswa bisa diarahkan dan dibimbing untuk bagaimana menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar. Siswa juga bisa diberi pemahaman tentang pentingnya tumbuhtumbuhan dalam menyuplai pasokan oksigen yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan dengan di beri tugas dan tanggung jawab menanam dan merawat satu jenis tanaman. c. Model pembelajaran kontekstual Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.26 Model pembelajaran ini mengarahkan dan mendorong siswa melakukan pembelajaran dengan alam dan lingkungan sekitar. Pengetahuan yang diperoleh dari proses belajar mengajar, baik dari membaca
maupun
mendengar
informasi
dari
guru,
akan
diaktualisasikan dalam perilaku dan kehidupan nyatanya di masyarakat.
26
Tukiran Taniredja, Model-Model Pembelajaran Inovatif ..., h. 49
78
4. Materi Pembelajaran Pendidikan Ekologi Materi pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu siswa mencapai kompetensi dasar dan standar kompetensi. Materi pembelajaran (intructional materials) adalah bahan yang diperlukan untuk pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai siswa dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. 27 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (9) merumuskan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Prinsip penyusunan materi pembelajaran pendidikan ekologi mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 ayat 3, yang menyebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa. b. Peningkatan akhlak mulia. c. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik. d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan. e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
27
Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual ..., h. 28
79
f. Tuntutan dunia kerja. g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. h. Agama. i. Dinamika perkembangan global j. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Merujuk kepada UU Sisdiknas di atas, maka materi pembelajaran pendidikan ekologi dapat dikelompokan berdasarkan sumbernya, yaitu materi pembelajaran yang bersumber dari informasi al-Qur‟an hadits yang kebenarannya bersifat absolut dan materi pembelajaran yang berumber dari penjelasan-penjelasan sains yang bersifat rasional-emperis. Pertama, Al-Qur‟an dan hadits. Al-Qur‟an dan hadits sebagai kitab undang-undang tertinggi umat Islam yang berfungsi sebagai dasar cita-cita ideal yang kebenarannya bersifat absolut, secara eksplisit maupun implisit mengandung ajaran dan ajakan kepada segenap manusia untuk memperlakukan alam dan sumber daya alamnya dengan baik. Kedua, Sains. Sains merupakan ilmu pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya botani, fisika, kimia, geologi, zoologi dan lain sebagainya.28 Sains atau ilmu pengetahuan yang mengkaji kosmos diperlukan sebagai sumber materi pendidikan ekologi, dikarenakan relevansinya dengan pengetahuan tentang alam ini yang bersumber dari kitab suci. Sains akan berfungsi untuk menjelaskan dinamisme alam dalam kerangka berpikir rasionalisme dan emperisme.
28
Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia ..., h. 654
80
5. Strategi Pembelajaran Pendidikan Ekologi Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dann anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.29 Beberapa langkah pembelajaran pendidikan ekologi yang dapat dikembangkan sebagai bagian dari strategi pembelajaran pendidikan ekologi di lingkungan lembaga pendidikan antara lain : a. Membangun kultur pendidikan ekologi di sekolah. Yaitu lingkungan yang mendukung dan menjadi laboratorium bagi penyampaian pendidikan ekologi, sehingga lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi para peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang cara belajar menghargai ekosistem. Dalam proses tumbuh kembangnya peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan sekolah yang asri, selain lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan sekolah yang telah terbangun kultur ekologinya dapat menumbuhkan budaya penghargaan terhadap lingkungan hidup. Sekolah
mampu
menanamkan
nilai-nilai
yang
dapat
menciptakan generasi-generasi yang sadar lingkungan, sehingga di masyarakat ia bisa menjadi agen utama yang mengkampanyekan
29
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif ..., h. 139
81
pentingnya menjaga lingkungan hidup di masyarakat. Suasana kultur sekolah seperti ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak terhadap lingkungannya. b. Proses pembelajaran yang aplikatif. Proses
pembelajarn
pendidikan
ekologi
tidak
hanya
disampaikan secara formal oleh guru mata pelajaran IPA, IPS, ataupun guru mata pelajaran Aqidah, Akhlak, dan Pendidikan Agama Islam
(PAI)
dengan
materi
pembelajaran,
namun
dapat
pelajaran pula
dalam
dilakukan
di
suatu
proses
luar
proses
pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pembelajaran pendidikan ekologi secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan konsep pendidikan ekologi. Tujuan spontanitas seperti ini menjadikan peserta didik langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan langsung pula mampu memperbaikinya. Dengan demikian, peserta didik dapat mengambil hikmah atau ibrah dari perbuatannya yang secara tidak langsung akan berakibat pada bencana alam, seperti kekeringan, longsor, banjir, maupun lingkungan yang kumuh. c. Menciptakan kawasan hijau di lingkungan sekolah Diadakannya zona hijau adalah bertujuan untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang kawasan yang bebas dari polusi. Selain itu, ruang-ruang kawasan hijau yang ada dilingkungan sekolah dapat
82
menunjukkan sekaligus mengajarkan kepada peserta didik keasrian sekolah yang tergambar dari perilaku masyarakat sekolah sehari-hari. Oleh karena itu kawasan hijau di sekolah yang dapat diciptakan antara lain dengan mendesain lingkungan dan tataletak ruang sekolah yang mendukung program kawasan hijau, seperti kawasan hijau yang berupa kawasan perkebunan, kawasan pepohonan, taman hijau, dan kawasan-kawasan ramah lingkungan lainnya yang terbebas dari pencemaran polusi. Selain itu, kawasan hijau bisa didukung dengan pengadaan peralatan kebersihan lingkungan seperti tempat sampah organik dan nonorganik, bisa pula ditempelkan papan-papan yang berisi kalimatkalimat ajakan yang positif, sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik. Dengan terciptanya kawasan hijau, suasana kehidupan masyarakat sekolah baik antar sesama guru, guru dengan peserta didik, atau peserta didik dengan peserta didik lainnya dapat tercipta situasi dan kondisi belajar yang nyaman dan sehat. d. Memberikan wahana ekspresi peserta didik Dalam
membahas
suatu
materi
pendidikan
ekologi,
hendaknya seorang guru tidak hanya selalu menekankan pada nas-nas agama maupun bukti-bukti empiris, melainkan juga peserta didik diberi ruang untuk mengekspresikan diri, mengaktualisasikan bakat, minat dan kreativitas yang mengarah pada kesadaran untuk memperlakukan alam ini dalam bentuk keterampilan dan seni, seperti
83
mengkreasi tempat sampah menjadi tempat yang tidak lagi dilihat sebagai tempat kotor, yaitu dengan cara memberikan cat atau asesoris yang mengandung nilai estetika, atau mendayagunakan barang-barang tak terpakai menjadi barang yang memiliki nilai guna dan profit. Guru juga seyogyanya memfasilitasi lomba yang bernuansa kesadaran menjaga kelestarian alam. Mengadakan perlombaan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi peserta didik, membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, menambah
wawasan
mengembangkan keseimbangan
dan
membantu
pengetahauan ekosistem
bagi
tentang
mempraktekan pentingnya
keberlangsungan
dan
menjaga
bumi.
Dari
perlombaan ini memberikan kreativitas kepada peserta didik dengan menanamkan sikap peduli terhadap lingkungan hidup. e. Membangun kesepahaman ide dan gagasan Menggas
sebuah
gagasan
pendidikan
ekologi
tanpa
merangkul stakeholder sama saja merencanakan kegagalan gagasan. Ide gagasan pendidikan ekologi dapat dibangun dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, institusi yang memiliki peran terhadap lingkungan, tokoh masyarakat, masyarakat sekolah, dan orang tua siswa Membangun kesepahaman ide gagasan pendidika ekologi dengan pemerintah daerah dan institusi yang menangani lingkungan hidup akan memudahkan dukungan yang bersifat kebijakan, regulasi
84
maupun dukungan materiil. Membangun kesepahaman dengan masyarakat sekolah, akan berfungsi sebagai penguat kultur yang pernah dibangun di dalam ruang kelas.
Sedangkan membangun
kesepahaman dengan orang tua, akan menjadikan rumah sebagai keberlanjutan sekaligus sebagi fungsi kontrol atas pendidikan ekologi. 6. Peran Komponen Pendidikan Ekologi Pihak-pihak yang memiliki peran yang secara langsung terlibat dalam mengembangkan ide gagasan pendidikan ekologi di sekolah maupun di rumah adalah peran guru, peran sekolah dan peran keluarga. a. Peran guru. Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bencana alam, maka seorang guru yang berwawasan multidimensi harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut dengan dikaitkan pada perilaku manusia. Ketiga, guru seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia dan alam. Maka eksploitasi alam dengan alasan apapun
85
dan dengan segala bentuk peruskan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama dan negara sekaligus.30 b. Peran sekolah. Selain guru, sekolah juga memegang peranan penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang berwawasan ekologi. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk membangun ide gagasan pendidikan ekologi sejak dini, pihak sekolah memiliki blueprint sekolah berbasis pendidikan ekologi. Desain ini tidak hanya perlu dikawal, tetapi diterjemahkan dalam visi misi dan program sekolah. Kedua, hal yang paling penting dalam penerapan pendidikan ekologi yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah. Kurikulum berwawasan pendidikan ekologi ini diejawantahkan dalam bentuk
turunan mata pelajaran, ektrakurikuler maupun
intrakurikuler, perilaku siswa dan guru beserta karyawan sekolah, dan semua anggota masyarakat sekolah yang ada. c. Peran keluarga Keluarga merupakan miniature peradabaan dari sebuah masyarakat dan bangsa yang madani. Bangsa yang maju merupakan bentuk cerminan dari sebuah tatanan keluarga yang dibangun atas dasar melestarikan dan meneruskan kekhalifahan yang akan mewarisi bumi untuk generasi mendatang. Karena, bangsa yang maju tidak sekedar 30
Smith, Margareth. Al-Ghazali-The Miystic, Terjemahan oleh Amrouni dengan judul, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Al-Ghazali, (Riora Cipta: Jakarta, 2000), h. 135
86
diukur oleh tingkat pencapaian ilmu pengetahuan, budaya dan teknologi mutakhir. Akan tetapi kemajuan sebuah bangsa diukur pula oleh tingkat kualitas moral pendidikannya. Islam yang memiliki seperangkat ajaran yang mencakup aspek kehidupan manusia, juga ikut mengatur tentang bagaimana fungsi dan peranan keluarga dalam memanaj. Ada seorang ayah sebagai kepala keluarga yang berperan sebagai pelindung dan pemelihara keluarga.31 Ada seorang ibu yang berperan sebagai ummu al-madrosati al-ûlā yakni pendidik pertama dalam keluarga dan pengganti kedudukan kepala keluarga tatkala seorang ayah tidak ada dirumah. Anak sebagai anggota keluarag yang berperan sebagai penerus harapan orang tua menjadi anak yang sholeh sholihah. Dalam konteks pendidikan ekologi, peran keluarga dalam membentuk sikap anak sangat penting. Disamping durasi waktu yang cukup panjang, aturan dan kultur yang dibentuk dalam sebuah keluarga mampu mempengaruhi karakter anak. Sebab apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan atau bahkan keterlibatan anak dalam pendidikan informal keluarga,
akan mempengaruhi dan mendorong anak
melakukan tindakan yang mengarah pada pembentukan karakter.
31
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” QS. Al-Tahrim [66] : 6
87
C. Ekologi Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Filsafat Pendidikan Islam percaya bahwa pendidikan Islam sebagai proses pembentukan pengalaman dan perubahan tingkah laku, baik individu maupun masyarakat, hanya akan berhasil apabila terjadi interaksi antara peserta didik dengan benda dan lingkungan alam sekitar, tempat mereka hidup. Seluruh makhluk, baik benda maupun alam sekitar, dipandang sebagai bagian dari alam semesta. Oleh karena itu, proses pendidikan manusia dan peningkatan mutu akhlaknya bukan sekedar terjadi dalam lingkungan sosial semata, melainkan juga dalam lingkungan alam yang bersifat material.32 Konsep filosofis Pendidikan Islam adalah berpangkal tolak pada khablu min Allāh (interaksi dengan Tuhan) dan khablu minal-nās (interaksi dengan sesame manusia), serta khablu minal-‟ālam (interaksi dengan alam).33 Interkasi dengan Tuhannya akan mengarahkan manusia pada kesadaran dirinya atas sesuatu yang menguasai diluar dirinya. Interaksi dengan sesame manusia akan
melahirkan pengetahuan
akan fungsi
dan
perannya
dimasyarakat, dan interaksi dengan alam akan melahirkan penghargaan terhadap lingkungan. 1. Hakikat Manusia Semua pakar pendidikan sepakat, bahwa untuk menggambarkan hakikat pendidikan, bahwa obyek sekaligus subjek pendidikan adalah manusia itu sendiri. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
32 33
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 98
Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 34
88
Socrates (470-399 SM)34 ketika mendefinisikan hakikat manusia, yaitu ia ingin tahu dan untuk itu harus ada orang yang membantunya yang bertindak sebagai bidan yang membantu bayi keluar dari rahimnya.35 Sedangkan menurut Aristoteles, manusia adalah hewan berakal sehat yang mengeluarkan pendapatnya dan berbicara berdasarkan akal pikirannya.36 Berbeda dengan John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Abdurrachman Assegaf,yang berpandangan bahwa manusia secara prinsipil
sebagai
makhluk:
liberal-individualis,
rasional,
sosio-
antroposentris, progresif aktif, dan etico-religius.37 Sedangkan secara terminologi, ungkapan yang digunakan oleh al-Qur‟an untuk menunjukan konsep manusia terdiri atas tiga katagori, yaitu: (1). al-insān, al-ins, alnās, anāsiy, dan al-insiy. (2). Al-basyar, dan (3). Banû ādam dan ẓurriyyah ādam.38 Dalam konsep filsafat, hakikat manusia tidak dilihat kepada unsur-unsur yang membentuknya, pada orientasi berpikir yanag mencari substansi pokok yang melatarbelakangi adanya, atau orientasi berpikir pada fokus perhatian pada masa lalunya, tetapi hakikat manusia harus dilihat pada tahapannya sebagai nafs, keakuan, ego, dimana pada tahap ini,
34
Ia dihukum mati pada tahun 399 SM oleh pengadilan Athena dengan tuduhan mempengaruhi anak muda dengan pikiran yang buruk. Ia mengajak para pemuda memikirkan apaapa yang diatas langit dan dibawah bumi. 35
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami ..., h. 9
36
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), h. 132 37
Abdurrachman Assegaf dan Suyadi, Pendidikan Islam Madzhab Kritis; Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat, (Yogyakarta: Gama Media, 2008), h. 124 38
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 68
89
semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang kekinian yang dinamik sesungguhnay ada pada perbuatan atau amalnya.39 Dari penjelasan tentang hakikat manusia di atas, pada dasarnya manusia tercipta dari unsur materi dan unsur immateri. Dimana unsur materi berasal dari alam (tanah dan air), sedangkan unsur immateri dari luar alam (ruh). Konsep manusia sebagai materi dan immateri inilah yang akan membedakan suplay kebutuhannya dan cara memperlakukannya dalam konteks pendidikan. Kebermaknaan manusia tidak saja dilihat dari unsur penciptaannya, melainkan amal perbuatan nyata. 2. Eksistensi Alam Kosmologi sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari alam semesta sebagai suatu sistem yang rasional dan teratur, telah melahirkan beberapa teori terbentuknya alam. Pertama, teori yang lahir dari mitologi Babilonia (2000 SM). Menurutnya, penciptaan alam disebut dengan peristiwa enums elish, yaitu peperangan antara dua dewa yang bernama dewa Marduk (Matahari) dan dewa Tiamat (Kehampaan). Tiamat ahirnya dikalahkan oleh Marduk. Darah Marduk kemudian dijadikan bahan dasar penciptaan dunia.40 Kedua teori Kondensasi. Yaitu teori yang dikemukakan oleh filosof Jerman, Immanuel Kant pada tahun 1755. Menurut teori ini,
39
Imam Khanafie Al-Jauharie, Filsafat Islam; Pendekatan Tematik, (Pekalongan: STAIN Press, 2006), h. 105 40
www.kompasiana.com
90
matahari dan planet-planet berasal dari kabut pijar yang berpilin di dala jagat raya.41Ketiga, teori Big-Bang yang dikenalkan oleh George Lematitre. Menurut teori ini, 15 milyar tahun yang lalu telah terjadi dentuman besar. Pada tahap petama dari detik pertama hanya ada energi. Kemudian energi ini menyebar dan mendingin menjadi materi yang semakin lama semakin komplek.42 Beberapa tokoh filsafat muslim juga ikut memberikan pemikiran tentang eksistensi alam.Menurut filosof muslim, Ibnu Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hanafi, alam ini terbentuk secara qadim atau azali. Bahkan beliau secara ekstrim mengatakan, Tuhan dan alam itu azali, hanya saja azalinya Tuhan dengan azalinya alam berbeda. 43 Sedangkan alam dalam pandangan al-Ghazali, sebagaiman dikutip oleh A. Khudori Soleh, alam terbagi menjadi dua: alam yang tampak mata atau alam indera („Alam al-Syahẳdah) dan alam supernatural („Alam al-Malakut).44 Alam sebagai perwujudan materi, merupakan bukti nyata adanya Sang Pencipta. Segala benda langit dan bumi beserta benda-benda yang ada diantara keduanya tercipta dengan teratur dan dinamis. Tidak ada satu pun bentuk ciptaan-Nya yang tidak bermakna dan bermanfaat bagi keseimbangan alam ini maupun bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
41
Bayong Tjasyono, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Banadung: Rosdarya, 2009), h. 20
42
Natalie Fredette dan Claude Lafleur, Understanding The Universe, terj. Hendro Setyanto, Visual Ilmu dan Pengetahuan Populer, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2006), h. 80
84
43
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 175
44
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
91
Ada beragam ayat yang secasa eksplisit maupun implisit mengandung pengertian akan tujuan penciptaan alam semesta ini. Setidaknya ada dua tujuan penciptaan alam sesmeta ini. Pertama, tujuan alam ini diciptakan untuk menunjukan kebesaran Sang Penciptanya, yaitu Allah. Kebesaran dan keindahan alam, setidakanya akan menghantarkan manusia kepada kebesaran-Nya. Penciptaan bumi yang melesat di ruang angkasa dengan kecepatan 24 jam dalam sekali rotasi, ia berrotasi dan berevolusi dengan tertib dan sesuai dengan perhitungan, ia bergerak tanpa menggunakan bahan bakar dan lain sebagainya, setidaknya akan menjadi bahan refleksi bagi manusia untuk berfikir akan kekuasaan-Nya yang meliputi langit dan bumi. Kedua, tujuan penciptaan alam semesta ini di samping untuk menunjukan kekuasaan allah, juga untuk menjamin kepentingan hidup manusia. Alam dengan segala fasilitasnya telah menyuplai kebutuhan manusia, baik kebutuhan jasmaninya maupun kebutuhan akalnya. Segala jenis makanan yang berupa flora (tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan) dan fauna (hewan ternak dan hewan laut) yang tersebar di muka bumi, perut bumi, dan di udara, adalah bentuk makanan jasmani. Sedangkan dibalik penciptaan alam ini, seperti terjadinya siang dan malam, merupakan makanan yang diperlukan oleh akal.
92
D. Ekologi Perspektif Pendidikan Islam Pendidikan Islam yang di dalamnya memuat beberapa sub kajian diyakini memiliki konsentrasi kajian yang mendalam tentang ekologi. Hanya saja, kajian pendidikan Islam yang berwawasan ekologi belum begitu banyak mengupas secara fokus. Mungkin ini karena para ulama pendidikan pada masa dahulu belum melihat masalah ekologi sebagai problem sosial. Isu ekologi mengemuka setelah muncul masyarakat post-industri, dimana masyarakat post-industri merupakan masyarakat menempatkan teknologi sebagai dasar perekonomiannya.45 Dalam kajian pendidikan Islam, manusia dan alam diciptakan oleh Allah dalam rangka sama-sama untuk menunjukan kebesaran dan keagungan Allah. Hanya saja, manusia sebagai ciptaan-Nya memiliki tugas yang lebih berat dalam mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk terdidik menjadikan alam sebagai ruang belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. 1. Manusia Sebagai Makhluk Terdidik Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, manusia adalah makhluk yang berpikir.46 Berpikir karena manusia dibekali akal, karena itulah keistimewaan manusia berada pada akalnya. Dengan akalnya,
45
Janu Murdiyatmoko, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, (Bandung: Grafindo Media Utama, 2007), h. 23 46
al-Islamiyyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 115 Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah
93
manusia diberi kemampuan berkehendak47 untuk menentukan nasib dirinya.48 Akal itulah yang membedakan manusia dengan hewan serta benda-benda biotik dan abiotik lainnya. Tugas sebagai wakil Tuhan di muka bumi tentu sangatlah berat. Allah sendiri yang mengakui, bahwa amanah untuk mengelola bumi ini sangat besar risikonya. Bahkan ketika Allah menawarkan kepada makhluknya, hanya manusia saja yang merasa sanggup untuk menerima amanah-Nya. Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” QS. Al-Ahzāb [33] : 72
Manusia menurut Abdul Munir Mulkhan, bukanlah sekedar manusia personal jasmaniyah seperti dalam kesadaran modern, tetapi
47
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik” QS. Al-Isrā [17] : 18-19 48
“Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-Anfāl [8] : 53
94
sekaligus transendental, fisis sekaligus metafisis.49 Komposisi ini menjadi perangkat manusia karena tugasnya yang mulia, yaitu khalifah di muka bumi. Bila dilihat dari segi kemampuan dasar paedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandun, mahluk yang harus dididik, atau bisa disebut animal aducabil, yaitu mahluk sebangsa binatang yang bisa dididik.50 Manusia sebagai hewan yang berpikir (al-Khayawānu an-nāṭiq) memiliki dua kecenderuangan, yaitu kecenderungan yang baik dan kecenderungan yang buruk.51 Oleh karena itu, proses pengembangan manusia melalui pendidikan akan menjamin terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik. Itulah kenapa pendidikan Islam merupakan proses edukasi untuk manusia yang secara integral berorientasi pada ranah intelektual (al-„Aql) yang akan mengasah kemampuan kognisi dalam menganalisis dan berpikir manusia tentang dirinya dan alam, emosioanl (Al-Nafs) yang akan membentuk ranah afektif dalam sikap atau moral dan keterampilan atau skill manusia dalam menjalani hidup bermasyarakat, dan spiritual (al-Rûh) spirit yang akan melandasi segala perbuatannya berdimensikan ketuhanan yang bernfaskan Islam.
49
Abdul Munir Mulkhan, Rekonstruksi Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industrial, Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia I/I/1996, h. 93 50 51
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam ..., h. 58
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” QS. Asy-Syams [91] : 8-10
95
2. Alam Sebagai Ruang Belajar Manusia. Manusia menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany adalah makhluk yang dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan dan arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia
bisa
mempelajari
ilmu
pengetahuan,
kemahiran,
dan
kecenderungan baru. Manusia bisa bekerja memproduksi, membina peradaban dan menempa kemajuan. Manusia bisa menyingkapkan rahasia fenomena alam dan membentuk fenomena itu sesuai dengan idealismenya. Lebih jauh, manusia bisa menguasai sumber kekuasaan alam.52 Allah ciptakan jagad raya ini tidak hanya diperuntukan sebagai kebutuhan makan saja, melainkan bagi akal manusia sebagai ruang belajar, observasi, penelitian, dan eksperimen. Allah di dalam firman-Nya tidak hanya menyuruh manusia untuk mengelola flora dan faunanya saja, melainkan Allah juga telah banyak menyinggung manusia untuk memikirkan dan merenungkan segala tanda-tanda-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” QS. Ali-Imrān [30] : 190
52
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyyah ..., h. 115
96
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” QS. Ali-Imrān [3] : 191
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” QS. AlMulk [67] : 15
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila
97
dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” QS. Al-An‟ām [6] : 141
Ayat-ayat di atas secara implisit maupun eksplisit menyuruh manusia untuk mengolah sumber daya alam untuk kebutuhan perutnya sekaligus mengambil pelajaran sebagai kebutuhan akalnya. Pendidikan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian tentang lingkungan dengan segala permasalahannya, dan dengan pengetahuan, keterampilan, sikap, motivasi, dan komitmen untuk bekerja secara individu dan kolektif terhadap pemecahan permasalahan dan mempertahankan kelestarian fungsi-fungsi lingkungan.53 Ekologi yang menjadi sub kajian pendidikan Islam yang kedudukannya sebagai salah satu rangkaian disiplin ilmu, perlu dikembangkan dalam konteks kebertanggung jawabannya terhadap upaya menjaga dan mempertahankan keseimbangan ekosistem. Menjaga lingkungan dan bertanggung jawab atas keseimbangan ekosistem, merupakan tanggung jawab makhluk hidup yang berakal di muka bumi ini. Pendidikan, terutama pendidikan Islam sudah selayaknya mengambil peran ganda sebagai bentuk ejawantah ajaran Islam yang senantiasa relevan lintas jaman dan waktu. Dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut, pendidikan Islam idealnya mampu merubah paradigma masyarakat dari berpikir eksploitatif 53
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 58-59
98
terhadap
alam
menuju
berpikir
eksploratif.
Namun,
sayangnya
pendidikanIslam yang berwawasan ekologi, belum serius menempatkan krisis ekologi sebagai problem umat. 3. Manusia Bertanggungjawab Menjaga Keberlangsungan Alam Sains dan teknologi sering dianggap sebagai sebab dampak negatif dalam ekologi. Statemen demikian mengingatkan pada isu tentang pemisahan atau dikotomi ilmu yang bebas dari nilai, etika, moral dan spiritual. Pesatnya perkembangan sains dan teknologi ternayat juga diikuti oleh merosotnya prilaku kegamaan dan keberagamaan manusia. Meski tidak bisa dipungkiri, bahwa teknologi sebagai produk sains telah banyak membawa manusia kepada kemudahan dan keberkahan. Permasalahan tersebu, menurut Sahirul Alim, terjadi karena dua sebab: pertama, kecenderungan umat manusia mencintai dunia sampai melampaui batas, serta mengikuti hawa nafsu secara tidak terkendali. Kedua, ada atau terdapat ajaran-ajaran agama (menurut pendapat ulama) yang tidak logis, yang merusak kemanusiaan manusia dan bertentangan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang mana realitas kebenarannya terang benderang di alam semesta ini.54 a. Hawa nafsu (an-Nafs) Kata jiwa didalam al-Qur‟an diawali dengan kata nafs. Meskipun makna nafs ini, secara umum bisa diartikan “diri”. Dengan kata nafs yang menggambarkan “jiwa” difirmankan Allah didalam al54
A. Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), h.67-68
99
Qur‟an tidak kurang dari 31 kali. Sedangkan kata nafs (anfus) yang bermakna “diri” difirmankan tidak kurang dari 279 kali.55 Ada tiga keadaan (wujud) nafs dalam al-Qur‟an. Yang pertama adalah nafsu ammāra bi al-sû‟i,56yakni nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan. Kedua adalah nafsu lawwāmah,57 yakni bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan. Ketiga adalah nafsu almuṭmainnah.58 Yakni nafsu yang tenang, nafsu inilah merupakan keadaan tertinggi dari nafs lainnya.59 Pengertian nafs (nafsu) adalah sebagai organ rohani manusia yang memiliki pengaruh yang paling banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan. Nafs (nafsu) secara etimologis berhubungan dengan asal usul “peniupan”60 yang sering secara silih berganti dipakai dalam literatur bahasa Arab dengan arti “jiwa kehidupan” atau “gairah dan hasrat duniawi”, suatu istilah yang banyak digunakan dalam khazanah kaum sufi.
55
Agus Mustofa, Menyelam ke Samudera Jiwa dan Roh, (Surabaya: Padma, 2005), h. 7
56
QS. Yusuf [12] : 53
57
QS. al-Qiyāmah [75] : 2
58
QS. al-Fajr [89] : 27-28
59
M. Dawan Rahardjo, Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Grafiti Pers: Jakarta, 1985), h. 85 60
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” QS. As-Sajdah [32] : 9
100
b. Doktrin agama Doktrin berarti ajaran tentang asas suatu aliran politik maupun agama.61 Agama adalah sebagai institusi yang berisi tentang pedoman dan tuntunan hidup manusia. Tdak ada satu istitusi apa pun yang memiliki pengaruh yang kuat dan mengikat kepada pengikutnya, kecuali otoritas agama. Aturannya yang normatif dan mengikat, sehingga hampir tidak ada satu tuntunan dan pedoman yang tertuang di dalam kitab sucinya yang berani digugat dan dibantah. Keadaan yang demikian, menjadikan pengikutnya memiliki kecendurangan menaati sepenuh hati tanpa melibatkan peran rasio. Menurut Cak Nur, pemahaman tentang agama melahirkan dua aliran yang berbeda. Pertama, menurut Roland Robertson, sebagaimana dikutip oleh Cak Nur ialah yang lebih bersifat inklusif, yaitu suatu definisi yang dinamakan oleh para penganut konsepsi tentang sistem sosial yang menekankan perlunya individu-individu dalam masyarakat dikontrol olel kesetiaan menyeluruh kepada seperangkat sentral kepercayaan dan nilai. Kedua, menurut Emile Durkheim ialah yang bersifat eksklusif, agama yang memberti tekanan kepada persoalan kesucian, kekudusan, dan ketabuan.62 Islam sebagai agama memiliki seperangkat ajaran yang bersifat absolut. Keabsolutannya justru menempatkan urusan dunia sekaligus urusan akhirat secara integral. Ajarannya yang tertuang di dalam kitab 61
Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia ..., h. 168
62
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan ..., h. 130
101
sucinya, memuat panduan yang pasti63 sebagai navigasi bagi manusia.64 Di era globalisasi seperti ini, dunia tidak hanya membutuhkan agama yang sekedar agama, akan tetapi dunia sangat membutuhkan agama yang memiliki visi ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus kealaman secara integral.65 Agama yang diyakini sebagai sumber inspirasi dapat berdampak pada perubahan tata nilai di masyarakat. Agama dalam batas-batas tertentu banyak mempengaruhi segala aspek kehidupan, seperti ekonomi, budaya, politik, sosial dan ideologi. Agama akan menjadi penggerak sistematis dan paling efektif untuk dijadikan alasan bersikap. Keberanian para pejuang rakyat Indonesia menghadapai penjajah, karena dilatar belakangi oleh kuatnya pengaruh konsep jihad. Jika pun ada fenomena bom bunuh diri yang disponsori oleh sempalan fundamental agama tertentu, adalah salah satu bentuk problem legitimasi terror atas nama doktrin agama yang berangkat dari pemahaman dan penafsiran yang parsial. Agama mendorong para penganutnya untuk mempraktekkan ajarannya karena agama dengan doktrin dan ajarannya memberikan gambaran ideal. Misalnya masyarakat yang harus dibentuk oleh para
63
“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya” QS. Al-Baqarah [2] : 2
64
“Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” QS. Al-Baqarah [2] : 185 65
“Al Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.” QS. Shād [38] : 87
102
pemeluknya menggunakan tangganya atau kekuasaannya menciptakan situasi ideal.66
66
Afadlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia ..., h. 7