BAB III PEMBUATAN MODEL BATUAN DAN PERHITUNGAN BESARAN FISIS MODEL
3.1
Pengujian Model dengan Menggunakan Metode Selular Automata
3.1.1 Pencarian Titik Masuk Awal dan Titik Akhir Pada tahap awal program, proses yang dilakukan adalah memasukkan input panjang sisi bujursangkar model untuk model 2 dimensi atau panjang rusuk kubus untuk model 3 dimensi. Input yang kedua adalah nilai porositas seperti yang kita inginkan. Untuk memudahkan pemahaman cara kerja dan pengujian keberhasilan program maka rangkaian pori ditentukan terlebih dahulu tanpa melalui proses acak yang dihasilkan oleh random generator dengan panjang sisi model (d) adalah 10. Pada gambar 3.1 terlihat sel yang berwarna hitam sebagai pori dan putih sebagai butir model batuan. Warna hitam dan putih didapat dengan memasukkan nilai 0 dan 1 pada matrik 2 dimensi untuk model 2 dimensi, dan pada matrik 3 dimensi untuk model 3 dimensi.
20
Gambar 3.1 Data awal
Sebelum proses selular automata dimulai, matrik sebelumnya dibingkai terlebih dulu dengan matrik yang bernilai 1. Proses ini dilakukan agar tidak ada perlakuan atau syarat-syarat khusus pada sel-sel yang berada pada tepi matrik, hal ini sangat memudahkan proses penyusunan program.
Gambar 3.2 Data pembingkai.
21
Jika sudah diberi bingkai, maka gambar yang dihasilkan seperti gambar 3.2. Hal ini menyebabkan berubahnya nilai tepi matrik. Jika d adalah bersarnya sisi atau rusuk model, maka untuk sisi-sisi matrik nilainya berubah dari 1 dan d menjadi 2 dan d+1.
Gambar 3.3 Data hasil pembingkaian.
Perubahan ukuran model tidak akan mempengaruhi hasil akhir dari besaran-besaran yang diukur karena sebelum proses perhitungan besaran, ukuran model akan dikembalikan lagi seperti semula. Hal yang sama dilakukan juga pada model 3 dimensi. Pengujian model dengan selular automata dilakukan dari sisi yang satu ke sisi yang berseberangan. Pada model contoh ini, pencarian dilakukan dari sisi kiri dan berarah ke sisi kanan model. Proses pengujian model dengan selular automata bertujuan untuk mencari keberadaan titik masuk awal dan titik akhir, jika titik masuk awal dan titik akhir ada maka penelusuran yang
22
akan dilakukan oleh proses selanjutnya akan dilakukan. Hal ini berguna untuk menghindari konsumsi waktu yang berlebih ketika program menelusuri jalur yang tidak memiliki titik akhir dan atau bahkan tidak memiliki titik masuk awal. Proses pengujian model dengan selular atuomata ini juga disertai dengan penomoran pori berserta koordinatnya. Informasi inilah yang akan digunakan dalam penelusuran jalur pada model. Pemilihan titik masuk awal dilakukan pada sisi kiri model contoh, dengan batasan nilai x bukanlah 2 atau d+1. Dengan kata lain, titik masuk awal tidak terletak pada sudut model. Untuk pori yang memenuhi syarat tersebut maka nilai sel akan diubah dari 0 menjadi 0,5. Hal ini akan menyebabkan warna sel berubah menjadi warna abu-abu. Setelah selesai dengan titik masuk awal, maka penunjuk akan melakukan pemerikasaaan pada sel-sel yang mengitarinya dengan urutan seperti pada gambar 3.4.
Gambar 3.4 Urutan pengujian tetangga pada selular automata pada model 2 dimensi.
Jika ada sel yang benilai 0 maka sel tersebut akan diubah nilainya menjadi 0,5 dan warnanya akan berubah dari hitam menjadi abu-abu. Tidak ada
23
prioritas arah pergerakan pointer yang ditentukan oleh program pada proses pengujian selular atuomata ini. Hanya saja semuanya dimulai dari salah satu sisi model dan penunjuk akan bergerak paralel dari titik masuk awal menyebar ke seluruh pori. Dengan analogi yang sama dengan model 2 dimensi, hal tersebut juga dilakukan pada model 3 dimensi. Urutan pemeriksaan sel-sel yang mengitari penunjuk dapat dilihat pada gambar 3.5.
Blok pengecekan bagian depan
9
10 11
1
2
3
18 19 20 12 13 14 4
P
5
21 22 23
Blok pengecekan bagian tengah
15 16 17 6
7
8
24 25 26 Gambar 3.5 Urutan pengujian tetangga pada selular automata pada model 3 dimensi.
24
Proses pengubahan nilai pori dari 0 menjadi 0,5 akan memudahkan dalam mengamati kesuksesan pergerakan penunjuk selular automata dalam menguji model. Seperti pada gambar 3.6, salah satu pori (pada sisi kanan) berwarna hitam karena pori tersebut terletak pada sudut model sehingga tidak memenuhi syarat untuk dijadikan titik masuk awal , dan pori yang berwarna abu-abu berhasil mencapai x=d+1 yang artinya model ini memiliki titik akhir.
Gambar 3.6 Data hasil pembingkaian dan pengujian oleh selular automata.
Ketika dilakukan penelusuran oleh selular automata, pada saat yang bersamaan pula dilakukan beberapa penyimpanan data yang berkaitan dengan informasi seluruh pori yang telah diubah nilainya. Informasi tersebut diantaranya adalah penomoran pada pori yang berubah nilai dari 0
25
menjadi 0.5 yang dimulai dari angka satu, dan data tambahan mengenai seluruh nomor pori yang mengitari setiap pori yang telah dinomori, juga jarak antar pori yang berguna pada saat perhitungan tortuositas. Data-data terebut disimpan dalam bentuk matrik.
Gambar 3.7 Data hasil penomoran pori.
Dapat dilihat pada gambar 3.7 bahwa seluruh titik masuk awal memiliki penomoran terkecil dan titik akhir tidak sebaliknya. Hal ini disebabkan karena panjang jalur tempuh setiap jalur berbeda. Informasi mengenai nomor pori dan koordinatnya disusun seperti gambar 3.8. Informasi ini akan digunakan dalam penyusunan kombinasi jalur pada proses selanjutnya. Untuk model 2 dimensi jumlah kolom untuk koordinat ada 2 buah dan 3 buah kolom untuk model 3 dimensi.
26
Gambar 3.8 Data penyimpan informasi pori dan koordinatnya.
Angka-angka yang berwarna biru adalah nomor pori dan yang berwarna merah adalah koordinat pori. Data mengenai pori yang mengitari setiap pori yang sudah diberi nomor disimpan dalam bentuk matrik 2 dimensi juga.
27
Gambar 3.9 Data penyimpan informasi pori dan percabangannya
Dapat dilihat bahwa jumlah kolom pada model 2 dimensi adalah 9 kolom dan 27 kolom untuk model 3 dimensi.
3.1.2
Penelusuran Jalur dengan Penyusunan Kombinasi Pori Setelah proses penelusuran dengan menggunakan metode selular automata, proses selanjutnya adalah penyusunan kombinasi-kombinasi dari seluruh pori yang sudah diberi nomor dan direkam koordinatnya. Pada proses ini diberlakukan prioritas pada pemilihan cabang berserta batasan-batasan yang lebih ketat daripada proses pengujian dengan selular automata.
28
Gambar 3.10 Syarat titik masuk awal, titik akhir dan batasan-batasan yang didapat dari informasi koordinat pori.
Proses penyusunan kombinasi dimulai dengan pori yang merupakan titik masuk awal. Pada gambar 3.10, pori yang merupakan titik masuk awal adalah pori yang memiliki nilai x=2 (berwarna latar belakang kuning). Dengan menggunakan data yang berisi pori-pori yang mengitari seluruh pori maka disusunalah kombinasi jalur dengan prioritas pergerakan tertentu seperti gambar 3.11. Nomor pori berkaitan dengan alamat baris pada matrik 2 dimensi tersebut. Misalnya, informasi pori nomor 1 berada pada baris ke 1.
29
Gambar 3.11 Urutan pengujian prioritas arah pergerakan jalur pada model 2 dimensi.
Nomor 1 sampai 8 pada gambar 3.11 berkaitan dengan alamat kolom pada pori yang berkaitan. Misalnya, pori yang berada pada posisi 1 adalah pori yang berada pada kolom 2, dan seterusnya hingga pori yang berada pada posisi 8 adalah pori yang berada pada kolom nomor 9. Dengan analogi yang serupa dengan model 2 dimensi, pori-pori pada model 3 dimensi disusun menjadi kombinasi dengan prioritas seperti pada gambar 3.12.
30
Blok pengecekan bagian depan
4
5
6
2
1
3
7
8
9
10 11 12 13
P
14
15 16 17
Blok pengecekan bagian tengah
21 22 23 18 19 20 24 25 26 Gambar 3.12 Urutan pengujian prioritas arah pergerakan jalur pada model 3 dimensi.
Penunjuk akan memprioritaskan untuk melakukan pergeseran atau pergerakan lurus. Seolah-olah penunjuk adalah partikel yang ditarik oleh gaya gravitasi dari arah sisi yang berseberangan dengan sisi titik masuk awal. Jika tidak dapat bergerak lurus (ke posisi 1) maka penunjuk akan mencari kemungkinan untuk bergerak serong (ke posisi 2 dan atau 3). Jika tidak dapat bergerak serong maka penunjuk akan mencari kemungkinan bergerak ke samping (ke posisi 4 dan atau 5). Dengan skala prioritas pergerakan penunjuk seperti di atas, maka jalur yang dihasilkan akan seperti gambar 3.13.
31
Gambar 3.13 Contoh pemilihan jalur pada sebuah pori.
Jika penunjuk tidak dapat bergerak ke posisi 1 sampai 5 maka jalur kombinasi dianggap buntu dan dibatalkan. Pada saat perpindahan penunjuk, dilakukan pengujian-pengujian yang membatasi pergerakan penunjuk. Jika nilai y pada koordinat penunjuk bernilai 2 atau d+1 maka penunjuk dianggap keluar jalur sehingga dibatalkan. Penunjuk pun dilarang bergerak ke pori dengan nilai x=2 artinya dilarang ada pergerakan dari titik masuk awal ke titik masuk awal. Sedangkan larangan yang paling utama adalah pada satu kombinasi jalur dilarang ada dua pori atau lebih dengan nomor yang sama. Ketika kombinasi telah mencapai pori dengan nilai x=d+1 maka kombinasi dinyatakan berhasil atau dapat menembus model dan penyusunan kombinasi dilanjutkan ke kombinasi berikutnya sampai titik masuk awal yang terakhir.
32
Dengan penyusunan kombinasi dengan aturan dan larangan seperti tersebut di atas maka kombinasi-kombinasi yang dihasilkan akan berbentuk matrik 2 dimensi yang dapat digambarkan pada gambar 3.14.
Gambar 3.14 Contoh kombinasi pori yang membentuk jalur tembus.
Dari data kombinasi inilah bisa didapatkan seluruh jalur yang dapat menembus model tanpa terlewatkan satu jalur pun. Inilah konsep utama program pengembangan ini dari program sebelumnya.
3.2
Perhitungan Besaran-besaran Model
3.2.1
Tortuositas Pada proses perhitungan tortuositas, satuan panjang yang digunakan adalah satuan sel yang merupakan panjang sisi satu buat pori. Untuk perpindahan penunjuk (sel yang berwarna kuning pada gambar 3.15 dan 3.16) pada model 2 dimensi dengan arah lurus panjang perpindahannya bernilai 1 sel dan untuk yang diagonal bernilai
2 sel.
33
pjg = 1
Gambar 3.15 Perpindahan penunjuk pada arah lurus.
pjg = 2
Gambar 3.16 Perpindahan penunjuk pada arah diagonal.
Sedangkan untuk perpindahan penunjuk pada model 3 dimensi dengan arah lurus panjang perpindahannya bernilai 1 sel, perpindahan pada arah diagonal bidang bernilai
ruang bernilai
3 sel.
2 sel, dan perpindahan pada arah diagonal
34
Untuk perpindahan penunjuk pada jalur lurus ( Dari kubus biru ke salah satu kubus merah )
P
pjg = 1
Gambar 3.17 Perpindahan penunjuk pada arah lurus.
Untuk perpindahan penunjuk pada jalur diagonal bidang ( Dari kubus kuning ke salah satu kubus merah )
P
pjg =
Gambar 3.18 Perpindahan penunjuk pada arah diagonal bidang.
2
35
Untuk perpindahan penunjuk pada jalur diagonal ruang ( Dari kubus kuning ke salah satu kubus merah )
P
pjg =
3
Gambar 3.19 Perpindahan penunjuk pada arah diagonal ruang.
Nilai-nilai ini direkam ketika proses penelusuran oleh selular automata dilakukan. Gambar 3.20 menggambarkan susunan data pori dengan jarak antar pori di sekitarnya.
Gambar 3.20 Data penyimpan informasi pori dan jarak dengan tetangganya
Pada gambar 3.20 dapat terlihat bahwa setiap nomor baris matrik berkaitan dengan nomor pori pemilik informasi baris tersebut. Angkaangka yang berwarna merah adalah nomor pori yang mengitari nomor pori
36
yang berwarna biru. Sedangkan angka-angka yang berwarna hitam adalah jarak antara pori yang bernomor seperti di sebelah kirinya (warna merah) dengan pori pemilik baris (warna biru) Pada model 3 dimensi hal yang sama diberlakukan, hanya saja terdapat nilai
3 pada salah satu nilai panjang jaraknya. Seperti terlihat pada
gambar 3.20 bawah nomor-nomor pori berada pada kolom-kolom ganjil, dan nilai panjangnya berada disamping kanan kolom yang berkaitan. Hal ini dilakukan untuk kemudahan penyusunan program juga efisiensi waktu dan memori.
3.2.2
Bilangan Koordinasi Salah satu pengembangan dari program sebelumnya dilakukan pada perhitungan bilangan koordinasi. Pada gambar 3.21 kesembilan sel adalah pori dan penunjuk berwarna abu-abu adalah sel yang akan dihitung nilai bilangan koordinasinya. Jika pada program sebelumnya, untuk hal seperti ini maka nilai bilangan koordinasinya adalah 7 sesuai dengan jumlah pori yang mengelilingi penunjuk. Sedangkan pada program pengembangan dilakukan perbaikan dengan menghitung pori yang terhubung oleh jalur tembus saja. Maka untuk nilai bilangan koordinasi pada sel penunjuk seperti gambar 3.21 adalah 3.
37
Gambar 3.21 Perbaikan perhitungan bilangan koordinasi suatu pori.
Bila pada program sebelumnya nilai bilangan koordinasi pada model 2 dimensi mulai dari 1 hingga 8, maka untuk program terbaru ini nilai bilangan koordinasi berkisar dari 1 hingga 4. Hal ini berkaitan dengan batasan dan prioritas penelusuran jalur pada model. Nilai 1 dapat berada pada titik masuk awal dan titik akhir, sedangkan nilai 4 dapat terjadi ketika pori berada di tengah ruang sel dan keempat sudutnya. Gambar 3.22 adalah gambaran beberapa jenis percabangan antar pori yang menyebabkan nilai koordinasi berkisar dari 1 hingga 4.
Gambar 3.22 Contoh bentuk-bentuk percabangan pori dalam berbagai nilai bilangan koordinasi.
38
Dengan analogi pada model 2 dimensi, maka nilai bilangan koordinasi berkisar dari 1 hingga 16. Nilai 1 dapat berada pada titik masuk awal dan titik akhir, sedangkan nilai 16 dapat terjadi ketika pori berada di sel tengah ruang dan keenambelas sudutnya.
3.3
Penelusuran Jalur Pada Arah Seluruh Sumbu Untuk pengujian sifat isotropik atau anisotropik model, maka pencarian jalur tidak dilakukan hanya pada satu sumbu. Pada model 2 dimensi penelusuran jalur dilakukan pada sumbu X dan sumbu Y.
Gambar 3.23 2 arah pencarian jalur pada model 2 dimensi.
Sedangkan pada model 3 dimensi penelusuran jalur dilakukan pada sumbu X, Y, dan Z.
39
Gambar 3.24 3 arah pencarian jalur pada model 3 dimensi.
Pengubahan arah penelusuran jalur ini dilakukan dengan menukarkan variabe sumbu pada program, sehingga arah pergerakan pun mengikuti perubahan variabel. Untuk model 2 dimensi, jika pada penelusuran sumbu X a=x dan b=y, maka pada penelusuran sumbu Y a=y dan b=X. Demikian juga halnya pada model 3 dimensi, pada penelusuran sumbu X a=x, b=y, dan c=z maka pada penelusuran sumbu Y a=z, b=x, c=y dan pada penelusuran sumbu Z a=y, b=z dan c=x.
3.4
Pengujian Program Sebelum pengambilan data dimulai, program simulasi yang dibentuk oleh
random number generator dengan beberapa perbaikan terlebih dulu diuji coba. Untuk model 2 dimensi hasilnya seperti pada 2 gambar 3.25. Nilai real porositas, tortuositas rata-rata, bilangan koordinasinya sudah benar.
40
Arah penelusuran jalur pun sudah sesuai dengan fungsinya. serta aturanaturan dan batasan-batasan pun sudah berfungsi dengan baik, misalnya tidak ada titik masuk awal yang berada di pojok model dan tidak adanya jalur yang melewati bagian tepi atau sisi model.
(a)
(b) Gambar 3.25 Contoh pengujian pencarian jalur pada model 2 dimensi (a) arah sumbu X ,(b) arah sumbu Y.
41
Pengujian pada model 3 dimensi lebih sederhana agar dapat diamati secara visual.
(a)
(b)
42
(c) Gambar 3.26 Contoh pengujian pencarian jalur pada model 3 dimensi (a) arah sumbu X , (b) arah sumbu Y, (c) arah sumbu Z .
Besaran-besaran yang ditampilkan pada judul gambar 3.26 telah sesuai dengan besaran-besaran yang dilakukan dari hasil perhitungan secara manual. Penelusuran jalur pun sudah berhasil dilakukan dari setiap sumbu, sumbu X, Y untuk model 2 dimensi dan sumbu X, Y, Z untuk model 3 dimensi. Maka dengan demikian program simulasi untuk model 2 dimensi dan 3 dimensi telah berfungsi dengan baik dan dapat digunakan.
3.5
Metode Pengambilan Data Besaran-besaran fisis yang akan diukur dari model batuan adalah tortuositas (τ), bilangan koordinasi (z), ambang perkolasi (pc), dan koefisien anisotropik ( AXZ , AYZ ). Jauh lebih banyaknya jalur yang ditelusuri pada model baru ini menyebabkan waktu yang diperlukan
43
hingga akhir proses sangat lama dan alokasi memori komputer sangatlah besar. Dikarenakan sering terjadinya kesalahan akibat alokasi memori yang tidak memadai maka dimensi pada model dikurangi hingga program dapat berjalan dengan baik. Pada proses pengambilan data ini dimensi pada model 2 dimensi adalah 30 sel x 30 sel. Sedangkan pada model 3 dimensi, dimensi yang digunakan adalah 10 sel x 10 sel x 10 sel. Pengukuran besaran-besaran fisis tersebut dilakukan berulang-ulang untuk meminimumkan nilai kesalahan yang diakibatkan oleh pergeseran nilai dalam model batuan yang dibentuk oleh random number generator, contohnya adalah porositas. Pada proses pengambilan data ini pengukuran dilakukan sebanyak 100 kali untuk setiap nilai porositasnya baik pada model 2 dimensi maupun model 3 dimensi. Pada model 2 dimensi pengukuran besaran-besaran dilakukan mulai porositas 0,1 sampai 0,9 dengan pertambahan porositas sebesar 0,05. Sedangkan pada model 3 dimensi dilakukan pada porositas 0,02 sampai 0,7 dengan pertambahan porositas sebesar 0,02. Pada model 3 dimensi nilai pertambahan porositas lebih kecil dari model 2 dimensi karena perubahan kecil nilai porositas pada model 3 dimensi sangat mempengaruhi jumlah model yang sukses atau memiliki jalur tembus. Pada penghitungan nilai perkolasi dan kajian mengenai isotropik anisotropik model dilakukan dengan mengoleh data yang terdapat pada file excel yang dihasilkan ketika program perhitungan tortuositas dan bilangan koordinasi dilakukan. Dalam setingan standar, file excel ini
44
berada di C:\MATLAB7\work. File ini berisi nilai real porositas, tortuositas, bilangan koordinasi, waktu penelusuran jalur untuk setiap pengulangan dan setiap sumbu yang berbeda pada setiap porositas yang sudah ditentukan. Nilai-nilai tersebut akan digunakan untuk perhitungan perkolasi dan menganalisis karakteristik isotropik dan anisotropik model batuan.