BAB III
MODEL ANALISIS KEKANGAN LATERAL
III.1. Umum Perilaku dari beton dapat dengan baik dijelaskan melalui hubungan tegangan-regangan uniaksial. Untuk beton dengan kuat tekan normal, maka beton tersebut umumnya akan berperilaku linear elastis sepanjang tegangan tekan uniaksial tersebut tidak melebihi 40-50% kuat tekan, fc’. Dan akan mengalami regangan hardening non linear ketika tegangan tekan yang terjadi berada di antara 0,5fc’ dan fc’. Beton mengalami softening ketika beban yang bekerja melebihi kapasitas tahanan maksimumnya dan ditandai dengan terjadinya retak pada beton, yang mengindikasikan terjadinya penurunan integritas dari material (H.D Kang 2000). Sedangkan pada kasus tarik uniaksial beton akan menjadi sangat getas, memiliki kuat tarik sekitar 10% dari kuat tekannya. Dalam tipe pembebanan seperti ini, retak yang terjadi akan tegak lurus terhadap arah beban.
III.2. Analisis Tegangan Axisymmetric Kondisi tegangan axisymmetric meliputi suatu material solid tiga dimensi yang simetris terhadap garis sumbu (sumbu-z) dimana kondisi batas dari beban yang bekerja adalah simetris terhadap garis sumbu dan tidak tergantung pada arah tangensial (sumbu-θ).
27
Kondisi Kekangan pad beton
z,w
r,u inti beton
Gambar III.1 Material Axisymmetric
Bentuk perpindahan U dapat dinyatakan sebagai U = [u , w]T
(3.1)
dimana u dan w adalah perpindahan dalam arah r dan z. Untuk perpindahan yang kecil, regangan normal dinyatakan dalam
ε = [ε r , ε z , ε θ ]
T
⎡ ∂u ∂w u ⎤ =⎢ , , ⎥ ⎣ ∂r ∂z r ⎦
T
(3.2)
untuk penampang silinder tanpa rongga, maka besar εr dan εθ akan memiliki nilai yang sama demikian juga sebaliknya.
Dari hubungan tegangan-regangan
σ = C.ε
(3.3)
σ ij = C ijkl .ε kl
(3.4)
Cijkl adalah tensor konstanta material. Untuk material isotropis 28
C ijkl = λ.δ ij .δ kl + μ.δ ik .δ jl + μ .δ il .δ jk
(3.5)
λ dan μ adalah konstanta Lame dan δij merupakan delta kronecker yang didefinisikan sebagai
λ=
E.vc (1 + vc ).(1 − 2.vc )
(3.6)
μ=
E 2.(1 + v c )
(3.7)
⎧1 i = j ⎩0 i ≠ j
(3.8)
δ ij = ⎨
Dimana
σ = [σ r , σ z , σ θ ]
(3.9)
σr, σz, dan σθ adalah tegangan normal dalam arah r, z, dan θ.
III.3. Karakteristik Pengekang dan Mekanisme Kekangan III.3.1. Karakteristik Pengekang
Perilaku dari tabung baja pengekang ( steel tube) pada kolom tubular komposit adalah mendukung beban tekan dan juga tarik lateral yang disebabkan oleh ekspansi lateral inti beton akibat beban tekan aksial sehingga tabung baja mengalami kombinasi tegangan biaksial. Beberapa peneliti yang melakukan uji eksperimen terhadap tabung baja pengekang antara lain : Muslikh (2005), M. Iqbal (1998). Pengamatan pada data-data eksperimen tersebut menunjukkan bahwa hubungan tegangan-regangan untuk baja pengekang dapat didekati dengan 29
hubungan bilinear yang dinyatakan dalam nilai perbandingan tegangan terhadap regangan (modulus Young). Berikut di bawah ini disajikan hasil-hasil uji eksperimen terhadap tabung baja pengekang.
σ
( MPa )
400
200 t = 1.28 mm , fy = 318.86 MPa t = 2 mm , fy = 355.19 MPa t = 3.67 mm , fy = 458.17 MPa
0 0
0.002
0.004
ε
0.006
0.008
0.01
axial mm/mm
Gambar III.2 Diagram Tegangan-Regangan Baja (Muslikh, 2005)
400
200
σ
( MPa )
300
fy = 235.36 MPa 100
0 0
0.002
0.004
ε
0.006
0.008
0.01
axial mm/mm
Gambar III.3 Diagram Tegangan-Regangan Baja (M.Iqbal, 1999) 30
Gambar III.4 Kriteria Leleh Baja Von Mises Untuk Kondisi Biaxial
III.3.2. Mekanisme Kekangan
Diagram Free Body yang menunjukkan gaya internal dan eksternal pada tabung baja dan kolom beton silinder diperlihatkan pada Gambar III.4 di bawah ini. Melalui kompatibilitas regangan, regangan dalam selubung tabung baja adalah sama dengan regangan lateral dalam beton seperti dinyatakan dalam persamaan (3.10) berikut
εS = εt
(3.10) Selanjutnya
besar
tegangan
pengekang
dapat
ditentukan
dengan
memperhatikan Gambar III.4 tersebut, dari analisis kesetimbangan didapatkan besarnya tegangan pengekang tersebut melalui persamaan (3.11) sebagai berikut
f cp =
φ .E S .ε t .ρ S
(3.11)
2
dimana
ρS =
4.t S 4.t S 2.t S = = 2 .R D R
(3.12)
sehingga
31
f cp =
φ
φ .E f .ε t .t S R
atau
f cp =
2σ Hoop t
(3.13)
D − 2t
= faktor reduksi, apabila dianggap bahwa lekatan antara beton dan FRP
tidak bekerja dengan sempurna, untuk penyederhanaan pada penelitian ini maka diambil nilai faktor reduksi tersebut adalah sama dengan satu. D
= dimaeter kolom
εS
= regangan pada baja
εt
= regangan pada beton arah lateral
tf
= tebal tabung baja
ES
= modulus elastisitas baja
R
= jari-jari kolom silinder (D/2)
t
f lat .beton
σ Hoop f lat .beton
σ Hoop D
Gambar III.5 Mekanisme Kekangan Tabung Baja pada Kolom Silinder Beton
32
Tegangan tangensial yang bekerja pada kolom beton silinder dengan pengekang tabung baja timbul akibat adanya friksi yang terjadi antara material beton dan pengekang. Besarnya tegangan friksi ini ditentukan oleh besarnya tegangan pengekang yang terjadi dan koefisien gesek permukaan (γ). Dinyatakan dalam persamaan (3.14).
f friksi = γ . f cp
(3.14)
dimana,
γ
= koefisien gesek permukaan
fcp
= tegangan pengekang
Kondisi tegangan tangensial yang terjadi antara material beton dan pengekang diperlihatkan pada Gambar III.5. ffriksi
f+df
fcp
dθ
f
y
dθ <<
x
Gambar III.6 Tegangan Tangensial Antara Beton dan Pengekang
Dengan meninjau Gambar 3.5 di atas, besarnya tegangan friksi didapatkan dengan memproyeksikan tegangan-tegangan yang bekerja pada sumbu-x, akan didapatkan hubungan sebagai berikut : f + df – ffriksi – f = 0
(3.15)
karena besarnya tegangan pada pengekang adalah seragam, berarti df = 0
(3.16) 33
sehingga, dari persamaan (3.15) akan didapatkan ffriksi = 0
(3.17)
Ini berlaku untuk tinjauan pada kondisi pembebanan axisymmetric.
III. 4. Formulasi Model
Pada penelitian ini model yang digunakan adalah model yang diajukan oleh Imran & Pantazopoulou (2001). Dalam model ini, mekanisme kehancuran merupakan suatu proses yang menerus dimana deformasi yang terjadi ditentukan dari deformasi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah tak hingga permukaan leleh, yang mana diasumsikan bahwa permukaan leleh akan dicapai pada setiap tingkat deformasi. Permukaan-permukaan leleh ini adalah sebagai fungsi dari akumulasi regangan plastis. Dimana untuk permukaan leleh pertama akan memiliki nilai regangan plastis (εp) adalah sama dengan nol, dan untuk permukaan hancur nilai akumulasi regangan plastis adalah sama dengan εpmaks. Dari keterangan di atas, maka hal yang terpenting dalam menentukan hubungan tegangan-regangan dari material adalah penentuan terjadinya permukaan leleh pertama yaitu terjadinya deformasi plastis yang pertama kali pada material . III.4.1. Bentuk Matematis dari Permukaan Hancur (Failure Surface)
Bentuk permukaan hancur dari model yang digunakan dalam analisis didasarkan pada bentuk permukaan hancur (failure surface) empat parameter Hsieh-Ting-Chen (Chen 1988). Bentuk kriteria pembebanan ini mampu memberikan hasil analisis yang sesuai dengan hasil eksperimen meliputi kombinasi tegangan yang cukup luas (Imran & Pantazopoulou 1996). Bentuk permukaan hancur tersebut apabila dinyatakan dalam koordinat HaighWestergaard akan mempunyai bentuk seperti dalam persamaan (3.18) berikut:
f (ξ , ρ , θ ) = a.ρ 2 + (b. cos θ + c).ρ + d .ξ − 1 = 0 34
(3.18)
dengan a, b, c, dan d merupakan konstanta-konstanta material, dimana
(σ 1 − σ 2 ) 2 + (σ 1 − σ 3 ) 2 + (σ 2 − σ 3 ) 2 ρ= 3
ξ=
1 3
(σ 1 + σ 2 + σ 3 )
σ1, σ2, σ3
= tegangan-tegangan utama
Apabila persamaan (3.18) dinyatakan dalam bentuk invarian-invarian tegangan I1, J2, dan J3 dengan empat konstanta material A, B, C, dan D maka persamaan tersebut akan menjadi:
J A. 2 + B J 2 + C.σ 1 + D.I1 − f c ' = 0 fc '
(3.19)
dimana I1
= invarian pertama tensor tegangan
J2
= invarian kedua tensor tegangan deviatorik
fc’
= kuat tekan material
σ1
= tegangan utama terbesar
Untuk memperoleh konstanta-konstanta material tersebut dapat dilakukan kalibrasi nilai-nilai konstanta tersebut dari serangkaian hasil eskperimental uji triaksial. Data-data mengenai uji triaksial diperoleh dari penelitian sebelumnya (Muslikh,2005). Dimana setelah melakukan kalibrasi didapatkan nilai untuk masing-masing konstanta material tersebut adalah:
1. A = 15,422 ; B = -5,267 ; C = -2,355 ; dan D = 3,7625 2. A = 4,115 ; B = 2,642 ; C = -0,236 ; dan D = 3,452
35
Dengan nilai koefisien korelasi deterministik (R2) masing-masing adalah sama dengan 0,924. Nilai korelasi deterministik (R2) ini diperoleh melalui persamaan (3.19). R=
m.(∑ X .Y ) − (∑ X )( . ∑Y ) ⎛⎜ m. X 2 − ( X )2 ⎞⎟.⎛⎜ m. Y 2 − ( Y )2 ⎞⎟ ∑ ⎠⎝ ∑ ∑ ⎠ ⎝ ∑
(3.20)
dimana m
= jumlah data
X
= variabel yang mewakili data eksperimen, dalam hal ini nilai tegangan
aksial maksimum dari benda uji (kolom silinder dengan kekangan FRP) Y
= variabel yang mewakili hasil kalibrasi model
R
= korelasi
Proses kalibrasi dilakukan dengan menyusun kembali persamaan (3.19) di atas dengan menyatakan normalisasi tegangan aksial terhadap kuat tekan beton uniaksial (fcc’/fc’) sebagai fungsi dari normalisasi tegangan lateral terhadap kuat tekan beton uniaksial (fl/fc’). Setelah itu parameter-parameter A, B, C, dan D dapat ditentukan, dengan memaksimumkan nilai korelasi deterministiknya (R2). Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam proses kalibrasi tersebut.
J A. 2 + B J 2 + C.σ 1 + D.I1 − f c ' = 0 fc '
I1 = σ 1 + σ 2 + σ 3
J2 =
(3.21)
(
1 (σ 1 − σ 2 )2 + (σ 1 − σ 3 )2 + (σ 2 − σ 3 )2 6
σ 1 = max(σ 1 , σ 2 , σ 3 )
)
(3.22) (3.23)
Karena pada permukaan bulat tanpa rongga tegangan arah lateral dan radial memiliki besaran yang sama, maka
σ 1 = σ 3 = f lateral
(3.24)
36
dan untuk kasus triaxial compression dimana σ1=σ3>σ2, maka max(σ 1 , σ 2 , σ 3 ) = max( f lateral , f axial , f lateral ) = f lateral
(3.25)
Dengan memasukkan persamaan-persamaan (3.21), (3.22), (3.23), (3.24), dan (3.25) ke dalam persamaan (3.19) dan kemudian menyusun persamaan tersebut seperti yang telah dijelaskan dalam proses penjelasan mengenai prosedur kalibrasi di atas, maka akan didapatkan bentuk persamaan (3.26). Syarat batas dari persamaan (3.32) adalah apabila fl/fc’=0 maka nilai dari fcc’/fc’=1.
f cc ' ⎛ 3.B − 3.D =⎜ − f c ' ⎜⎝ 2.A
fl ⎞ 3 3.B 2 6 3B.D 9.D 2 ⎛ 3.C + 9.D ⎞ ⎟+ + − + +⎜ ⎟. f c ' ⎟⎠ A 4.A2 A ⎠ 4.A2 4.A2 ⎝
fcc ' ⎛ − 3.B − 3.D =⎜ − fc ' ⎜⎝ 2.A
fl ⎞ 3 3.B2 6 3B.D 9.D2 ⎛ 3.C + 9.D ⎞ ⎟+ + − + +⎜ ⎟. fc ' ⎟⎠ A 4.A2 A ⎠ 4.A2 4.A2 ⎝
fl (3.26a) fc '
fl fc '
(3.26b)
fcc ' ⎛ 3.B − 3.D fl ⎞ 3 3.B2 6 3B.D 9.D2 ⎛ 3.C + 9.D ⎞ fl + − + +⎜ = ⎜⎜ − ⎟⎟ − ⎟. fc ' ⎝ 2.A fc ' ⎠ A 4.A2 A ⎠ fc ' 4.A2 4.A2 ⎝
(3.26c)
fcc ' ⎛ − 3.B − 3.D fl ⎞ 3 3.B2 6 3B.D 9.D2 ⎛ 3.C + 9.D ⎞ fl ⎜ ⎟ + − + +⎜ = − ⎟− ⎟. fc ' ⎜⎝ 2.A fc ' ⎠ A 4.A2 A ⎠ fc ' 4.A2 4.A2 ⎝
(3.26d)
Untuk persamaan (3.26a) akan didapatkan nilai-nilai konstanta material, A = 15,352 ; B = -5,267 ; C = -2,355 ; dan D = 3,7625 dari persamaan (3.26b) adalah : A = 3,452 ; B = -2,947 ; C = 6,854 ; dan D = -0,236 Persamaan (3.26c) dan (3.26d) tidak akan memberikan nilai riil pada konstantakonstanta material tersebut. Pada Gambar 3.6 diperlihatkan failure surface Hsieh-Ting-Chen terhadap data-data hasil uji triaksial.
37
Gambar III.7 Failure Surface Hsieh-Ting Chen
Hasil perbandingan nilai kuat tekan beton terkekang dari uji triaksial dan model failure surface Hsieh-Ting-Chen tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.1 Perbandingan Kuat Tekan Beton Terkekang Hasil Eksperimen terhadap Model
No
Benda Uji
fl/fc'
fcc’/fc’ Eksperimen
fcc’/fc’ Model
1 2 3 4 5 6 7 Jumlah
KC-1 KC-2 KD-1 KD-2 KD-3 KL-1
0.0598 0.0849 0.0691 0.1027 0.1523 0.0970
1.0387 1.0538 1.0443 1.0644 1.0942 1.0610
1.3268 1.3771 1.3268 1.3771 1.2816 1.3268
Syarat Batas
0,0000
1,0000
0,49
6.3563
8.5063
Dengan demikian persamaan untuk failure surface dari model Hsieh-TingChen tersebut, setelah dilakukan kalibrasi akan menjadi persamaan (3.27)
38
f (σ , ε , κ ) = 15,352.
f (σ , ε , κ ) = 3,452.
J2 − 5,267. J 2 − 2,355.σ 1 + 4,625.I 1 − f c ' = 0 (3.27a) fc '
J2 − 2,947. J 2 + 6,854.σ 1 − 0,269.I 1 − f c ' = 0 (3.27b) fc '
Kedua persamaan (3.27) tersebut akan memberikan bentuk permukaan hancur yang paling baik untuk persamaan yang pertama dengan memberikan besaran korelasi deterministik yang sama, yaitu R2=0,924. Perbedaan pada persamaan (3.27) tersebut akan
memberikan nilai yang berbeda untuk dua
parameter lainnya (k0 dan Ehtc) dalam persamaan permukaan lelehnya, seperti dijelaskan pada sub bab berikut di bawah ini. Selanjutnya nilai untuk korelasi deterministiknya, adalah sebagai berikut:
R=
R=
)( )( ) ⎛⎜ m. ( f ' / f ') 2 − ( ( f ' / f ') )2 ⎞⎟.⎛⎜ m. ( f ' / f ') 2 − ( ( f ' / f ') )2 ⎞⎟ ⎝ ∑ cc c eksp ∑ cc c eksp ⎠ ⎝ ∑ cc c mod ∑ cc c mod ⎠ (
m. ∑( f cc ' / f c ')eksp.( f cc ' / f c ')mod − ∑( f cc ' / f c ')eksp . ∑( f cc ' / f c ')mod
7 x8,9808 − (6,3563 x 8,5063) (7 x7,7358 − 11,2068 2 ).(7 x11,2068 − 8,5063 2 )
= 0,961
R 2 = 0,924
III.4.2. Pengembangan Permukaan Leleh Hingga ke Permukaan Hancur
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam model ini, mekanisme leleh merupakan suatu fenomena menerus. Dimana dalam proses pengembangan dari permukaan leleh pertama hingga ke permukaan hancur (failure surface) akan terdapat sejumlah tak hingga permukaan leleh lainnya. Selanjutnya tingkat perubahan dari permukaan leleh (loading surface) disini dinyatakan sebagai fungsi dari kehancuran material, representasi dari kondisi tersebut dinyatakan dalam jumlah akumulasi deformasi plastis. Fungsi hardening dalam proses pengembangan permukaan leleh tersebut menggunakan model isotropic hardening. 39
Dari penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa material beton akan mengalami deformasi plastis, bahkan dalam kondisi pembebanan hidrostatis (ρ=0). Hal ini mengakibatkan bahwa permukaan-permukaan leleh yang digunakan dalam memodelkan plastisitas material beton tersebut, seharusnya akan memotong sumbu pembebanan hidrostatis. Secara empirik, tipe permukaan leleh ini dapat diturunkan melalui persamaan dasar dari permukaan hancur (failure surface) Hsieh-Ting-Chen di atas dengan memodifikasi persamaan tersebut yang akan mengurangi ukuran dari permukaan tersebut dan memastikannya untuk memotong sumbu hidrostatis (Imran & Pantazopoulou 2001). Bentuk persamaan dasar (3.19) tersebut di atas akan menjadi persamaan (3.28)
A.
J2 1− k 2 + B J 2 + C.k .σ 1 + D.k .I1 + E htc . I − k. f c ' = 0 k. f c ' 1 k. f c '
dimana bentuk E htc
(3.28)
1− k 2 I akan menentukan perpotongan dari permukaan leleh k. f c ' 1
terhadap sumbu hidrostatis. Variabel k menentukan tingkat hardening material beton selama terjadinya proses pembebanan. Selama deformasi plastis terjadi, nilai k ini akan bervariasi, dimana nilai k=k0 menyatakan kondisi awal dari deformasi plastis dan k=1 menyatakan bahwa kondisi tegangan berada pada permukaan hancur (failure surface). Untuk k=1 maka bentuk persamaan (3.28) akan sama dengan bentuk persamaan dasar dari failure surface empat parameter Hsieh-Ting-Chen (3.19).
Penentuan awal deformasi plastis menjadi masalah utama dalam penentuan permukaan leleh pertama. Untuk kasus uniaksial material beton deformasi plastis terjadi pada saat nilai invarian pertama tensor tegangan, I1=0,3fc’ (Chen 1982), sedangkan untuk kasus pembebanan hidrostatis deformasi plastis akan terjadi pada saat nilai I1=2fc’. Pada kasus kolom beton terkekang, tegangan monotonic triaksial akan bekerja sejak awal dilakukannya pembebanan 40
tersebut, selanjutnya besar dari nilai k0(0,3fc’) dan Ehtc ditentukan dari dua kondisi tegangan, yaitu: 1) Kondisi tegangan uniaksial tekan, dimana deformasi plastis terjadi pada saat nilai I1=0,3fc’. 2) Kondisi tegangan hidrostatis, dimana deformasi plastis terjadi pada saat nilai I1=2fc’. Untuk persamaan (3.27a) didapatkan nilai : k0(0,3fc’) = 0,276 dan Ehtc = 0,183 ; untuk persamaan (3.27b) : k0(0,3fc’ )= 0,161 dan Ehtc = 0,04 Variabel k dalam persamaan (3.28) merupakan fungsi dari akumulasi regangan plastis
ε p = ∫ dε p
(3.29)
Di bawah ini digambarkan bentuk permukaan leleh dalam koordinat HaighWestergaard yang didefinisikan oleh persamaan (3.28) untuk rentang nilai k antara
k0 dan 1.
ρ
k=1
k=k0
ξ
Gambar III.8. Pengembangan Permukaan Leleh selama Hardening
41
III.4.3. Fungsi Hardening κ(εp)
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa parameter k menentukan ukuran dari pemukaan-permukaan leleh dan merupakan fungsi dari akumulasi regangan plastis, εp. Kondisi batas dari perubahan permukaan leleh ini adalah sebagai berikut: 1. Pada saat regangan total sama dengan nol, maka nilai k=0. 2. Pada saat regangan total, ε0, menghasilkan tegangan maksimum. Permukaan leleh akan berimpit dengan permukaan hancur (k=1). Untuk menyatakan perubahan k tersebut dan terpenuhinya kondisi batas di atas, maka digunakan parabola Hognestad.
⎛ 2.ε ⎛ ε −⎜ k = κ (ε p ) = ⎜⎜ ⎜ ε 0 ⎜⎝ ε 0 ⎝
⎞ ⎟⎟ ⎠
2⎞
⎟ ⎟⎟ ⎠
(3.30)
dimana :
ε
= total regangan = εe+εp
ε0
= regangan pada saat tegangan maksimum
Apabila persamaan (3.30) tersebut dinyatakan dalam bentuk εp, akan menjadi persamaan (3.31).
κ (ε p ) =
(2.
ε p .ε p max − ε p ε p max
)
(1 − k 0 ) + k 0
(3.31)
dimana k0 menyatakan nilai κ(εp) pada saat nilai εp=0, pada tahap mulainya terjadi deformasi plastis. Besaran εpmax dalam persamaan (3.31) menyatakan jumlah terakumulasi regangan plastis tersebut saat mencapai permukaan hancur (failure
surface). Modulus plastis Hp yang menyatakan laju pengembangan permukaan leleh diperoleh melalui penurunan persamaan (3.31) tersebut terhadap εp. 42
Hp=
⎛ ⎞ 1 ⎜ .ε p max − 1⎟ ⎜ ε .ε ⎟ p p max ⎝ ⎠
ε p max
.(1 − k 0 )
(3.32)
III.4.4. Fungsi Potensial Plastis—Arah dari Plastic Flow
Per definisi, fungsi hardening dari model tersebut dikendalikan oleh jumlah terakumulasi deformasi plastis dalam material. Selama pembebanan pada tahap plastis, arah dari deformasi plastis dalam material didefinisikan melalui fungsi potensial plastis. Pada penelitian ini fungsi potensial plastis yang digunakan berbeda dengan fungsi permukaan leleh Æ nonassociated plastic flow. Fungsi potensial plastis yang digunakan adalah fungsi potensial plastis DruckerPrager, dinyatakan dalam bentuk invarian tegangan:
g = a.ξ + ρ − c = 0
(3.33)
dimana
ξ
= tegangan hidrostatis
ρ
= tegangan deviatorik
c
= konstanta
Parameter a dalam persamaan (3.39) menyatakan kemiringan fungsi DruckerPrager, yang didefinisikan melalui perbandingan a=-dρ/dξ.
43
ρ
dεp
a
ξ
c
Gambar 3.9 Fungsi Potensial Plastis Drucker Prager
Bentuk persamaan a yang digunakan adalah sebagai berikut (Imran & Pantazopoulou 2001).
a=
⎛ εp ⎞ ⎜ −η⎟ ⎟ (1 − η )(ε v max / ε vumax )1 / 3 ⎜⎝ ε p max ⎠ au
(3.34)
dimana : au
= nilai a ketika pembebanan uniaksial mencapai permukaan hancur (0,58)
εp
= nilai regangan plastis terakumulasi
εpmax
= regangan plastis terakumulasi pada saat mencapai permukaan hancur
η
= perbandingan εp/εpmax pada saat kenaikan regangan plastik volumetrik
sama dengan nol, diperoleh dengan memasukkan nilai k=0,88 pada persamaan (3.37). Nilai k=0,88 ini merupakan nilai parameter hardening di permukaan hancur untuk kasus tekan uniaksial (Imran & Pantazopoulou, 2001).
εvmax
= regangan volumetrik maksimum = εr+εz+εθ
44
Pada kolom silinder beton dengan kekangan tabung baja nilai maksimum εr,εθ didapatkan dengan menggunakan nilai ε dari material pengekang saat mencapai regangan ultimitnya/runtuh. Berikut di bawah ini disajikan nilai-nilai dari parameter dari model yang digunakan untuk melakukan analisis. Tabel 3.2 Parameter-parameter Model Parameter (1)* (2)** 15.352 3,452 A -5,267 -2,947 B 2,355 6,854 C 3.7625 -0,236 D 0,183 0,04 Ehtc 0,351 0,387 η 0,276 0,161 k0 0,0012 0,0012 εpmax u -0,00089 -0,00089 εvmax *)
Persamaan (3.26a), **)Persamaan (3.26b)
III.5. Persamaan Konstitutif
Algoritma yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan konstitutif ini adalah dengan menggunakan metode bisection. Dengan mempertimbangkan penyederhanaan analisis, selain itu juga bahwa nilai besaran skalar plastis akan selalu bernilai positif maka sebagai nilai awal dari besaran skalar plastis tersebut adalah sama dengan nol. Selanjutnya dilakukan penambahan terhadap nilai awal besaran skalar plastis tersebut hingga didapatkan nilai awal dλkiri dan dλkanan. Proses iterasi selanjutnya dilakukan hingga didapatkan nilai dλ dimana f(dλ) = 0.
45
f(dλ)
dλkanan
dλ
dλkiri dλ
Gambar 3.10 Metode Bisection untuk Penentuan dλ
Skema integrasi kenaikan tegangan dan regangan, pertama kali adalah dengan memeriksa apakah pembebanan berada pada daerah plastis atau tidak dengan mengevaluasi fungsi kelelehan pada setiap kondisi tegangan, untuk melihat apakah f(σij,εijp,k)>0, dimana
σ ijn+1 = σ ijn + C ijkl .dε kl
(3.36)
Arah dari plastic flow ∂g/∂σij dan besaran skalar positif kenaikan plastis dλ, selanjutnya ditentukan secara iteratif untuk memenuhi kondisi konsistensi kenaikan dari fn+1(dλ)=0. Besarnya kenaikan regangan plastis adalah ⎛ ∂g p dε ij = dλ .⎜ ⎜ ∂σ ij ⎝
⎞ ⎟ ⎟ ⎠ n+1
(3.37)
Selanjutnya, kenaikan tegangan elastis terkoreksi ditentukan melalui
46
dσ ij = C ijkl .dε kl − dλ .C ijkl .
∂g
(3.38)
∂σ kl
Return mapping algorithm memproyeksikan tegangan elastis prediksi kembali pada permukaan leleh final f(σij,εijp,k)=0. Dengan kenaikan tegangan di atas, maka kondisi tegangan final didefinisikan dalam persamaan (3.39) sebagai berikut:
σ ij ( n+1) = σ ij ( n) + C ijkl .dε kl − dλ .C ijkl . 144 42444 3 σT
∂g
(3.39)
∂σ kl ( n+1)
dimana σT menyatakan tegangan prediksi. Untuk besaran dλ, ditentukan dari kondisi konsistensi : ⎛
⎜ ∂f p df (σ ij , ε ij , k ) n+1 = ⎜
⎞
∂f ⎟ p dσ ij + dε ij + dk ⎟ =0 p ∂k ⎟ ⎜ ∂σ ij ∂ε ij ⎠ n+1 ⎝
dλ =
⎛ ∂f ⎜ ⎜ ∂σ ij ⎝ ⎛ ∂f ⎜ ⎜ ∂σ pq ⎝
∂f
⎞ ⎟ .C ijkl .dε kl ⎟ ⎠ n+1
⎞ ⎟ .C pqrs .⎛⎜ ∂g ⎜ ∂σ ⎟ ⎝ rs ⎠ n+1
⎞ p ⎟⎟ + H n+1 ⎠ n+1
(3.40)
(3.41)
Faktor perkalian kenaikan plastis dλ ditentukan dengan memenuhi kondisi fn+1(dλ)=0. Besar modulus Hp ditentukan melalui persamaan (3.42)
=− H hard p
df dk . dk dε p
∂g ∂g . ∂σ ij ∂σ ij
(3.42) 47
Secara umum langkah-langkah yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan konstitutif di atas adalah sebagai berikut :
Input : σ ijn , ε ijp
n
Tegangan prediksi :
Evaluasi :
f = f (σ ijn +1 , ε np+1 ), dλ = 0 f (σ
Jika :
σ ijn+1 = σ ijn + C ijkl dε kln
n +1 ij
,ε
Evaluasi arah dari εpij :
n +1 p
) > 0
∂g ∂σ ij
⎛ n ∂g ∂g , ε p + dλ Return Mapping : f ⎜ σ in +1 − dλ.Cij ⎜ ∂σ j ∂σ ⎝
⎞ ⎟ = 0 ⇒ dλ ⎟ ⎠
dλ kiri + dλ kanan 2 < tol dλ kiri + dλ kanan 2
dλ − Metode Bisection :
⎛ ∂g ( k −1) ∂g ⎜ σ in +1 − dλCij ⎜ ∂σ ij ⎝ Perbaharui arah dari εp(k)ij : ∂σ ij
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
Setelah nilai toleransi dicapai kemudian perbaharui nilai regangan plastis dan tegangan.
ε np+1 = ε np + dλ
∂g ∂σ
σ in+1 = σ in+1 − dλCij
∂g ∂σ j
de Borst (1986) dalam Cervenka & Cervenka menyusun regangan total ke dalam tiga komponen, yaitu
ε =εe +ε p +ε f
εe
(3.43)
= regangan elastis 48
εp
= regangan plastis
εf
= regangan failure
Pada penelitian ini, dengan memperhatikan komposisi regangan total tersebut, maka analisis yang dilakukan menjadi tiga tahap. Pada tahap elastis, maka hanya komponen regangan elastis saja yang bekerja. Pada tahap elastisplastis, hanya dua komponen regangan yang bekerja, kedua komponen regangan ini bekerja selama adanya kenaikan regangan plastis hingga dicapainya regangan plastis maksimum. Pada tahap ketiga, dimana akumulasi regangan plastis telah mencapai nilai maksimumnya (εpmax), maka selanjutnya tidak akan terdapat lagi kenaikan regangan plastis, dimana hal ini ditandai dengan bekerjanya komponen regangan failure. Pada tahap ini hanya terdapat satu loading function, dimana loading function yang digunakan tersebut merupakan failure envelope dari permukaan leleh Hsieh-Ting-Chen (Persamaan 3.19). Proses untuk mendapatkan kenaikan regangan failure sama dengan proses yang digunakan dalam mendapatkan kenaikan regangan plastis, seperti yang dijelaskan dalam algoritma di atas. Fungsi potensial plastis yang digunakan pada tahap ini, menggunakan parameter nilai a sebagai berikut : − a u .η a= (1 − η )(ε v max / ε vumax )1 / 3
(3.44)
Kondisi post peak atau setelah tahapan permukaan hancur (failure surface) , kriteria pembebanan loading function yang merupakan failure envelope dari permukaan leleh Hsieh-Ting-Chen dimodifikasi untuk kondisi softening / degradation surfaces menjadi,
A.
J2 I 1− k + B J 2 + C.σ 1 + D.I 1 + (1 − r ). 1 Trans f c '−r. f c ' = 0 k. f c ' I1
49
(3.45)
Kontraksi / penyusutan dari failure surface sebagai fenomena kehancuran yang berkelanjutan ( damage progress ) dikontrol oleh fungsi softening , yaitu :
r=
⎛ rep − 1 ⎞ 1 1 ⎟ + cos⎜ π u ⎜ r −1⎟ 2 2 ⎝ ep ⎠
(3.46)
dimana,
rep =
εp ε p max
, dan
repu =
ε pult ε p max
(3.47)
ε pult
= akumulasi regangan plastis ketika tegangan mencapai tegangan sisa.
r
= parameter softening yang mengontrol perubahan/perkembangan dari
degradation surfaces , dengan nilai r = 1 pada failure surface dan r = 0 pada residual strength /tegangan sisa. I1Trans = nilai residual strength dari data triaxial test , dimana dalam pemodelan
menggunakan data yang digunakan oleh Imran & Pantazopoulou (2001).
Kompatibilitas dari deformasi antara pengembangan lateral beton dan material pengekang akan menghasilkan tegangan pengekang yang dinyatakan dalam flateral (σ3), yang dihitung berdasarkan algoritma berikut ini: 1. Pada langkah ke-n, keseimbangan terjadi antara elemen beton terkekang dengan material pengekang yang dinyatakan σ3 = σFRP. 2. Kenaikan regangan aksial Δε2, diaplikasikan pada elemen beton. 3. Kenaikan tegangan aksial Δσ2, dan kenaikan regangan lateral Δε3 kemudian dihitung. 4. Kenaikan regangan lateral Δε3 diaplikasikan pada material pengekang untuk memenuhi kompatibilitas deformasi. Sehingga didapatkan nilai tegangan lateral elemen beton dan material pengekang.
50
5. Pemeriksaan keseimbangan dilakukan pertama kali dengan menganggap bahwa material beton belum mengalami deformasi plastis, setelah kondisi keseimbangan pada tahap elastis dicapai kemudian periksa apakah kondisi tegangan tersebut berada di dalam atau di luar permukaan leleh pertama. 6. Apabila kondisi tegangan berada di dalam permukaan leleh pertama, maka set n Å n +1 dan kembali ke langkah nomor satu.
7. Apabila kondisi tegangan berada di luar permukaan leleh pertama, maka
σ1 Å σ1 - σ1koreksi σ2 Å σ2 - σ2koreksi σ3 Å σ3 - σ3koreksi Apabila kondisi keseimbangan belum tercapai, perbaharui Δε3 hingga dicapai kondisi keseimbangan.
σ3 - σ3koreksi = σFRP Apabila kondisi keseimbangan telah dicapai, maka
εpn+1 = εpn + dλ⏐dg/dσ⏐ set n Å n+1 dan kembali ke langkah nomor satu. Perhitungan di atas dihentikan ketika besar dari regangan lateral/ radial telah mencapai nilai regangan leleh dari material pengekang.
III.6. Tinjauan Kasus pada Berbagai Kondisi Pembebanan
Pada penelitian ini tinjauan dilakukan pada tiga tipe pembebanan. Dimana perbedaan ketiga tipe pembebanan tersebut didasarkan kondisi tegangan awal yang terjadi pada material beton dan pengekangnya. Ketiga tipe pembebanan tersebut adalah : 1. Tegangan awal yang terjadi bekerja bersama-sama baik pada material beton dan material pengekangnya. 2. Tegangan awal yang bekerja pada material beton.
51
III.6.1. Tegangan Awal Bekerja pada Material Beton dan Material Pengekang
Pada kondisi tegangan awal yang bekerja pada material beton dan material pengekang ditandai dengan adanya pengembangan yang terjadi secara bersamaan. Hal ini dikarenakan adanya pemberian zat adhesif antara material beton dan pengekang tersebut. Fungsi dari zat adhesif tersebut adalah untuk memberikan daya lekatan, dan dengan adanya lekatan ini yang menyebabkan terjadinya mekanisme pengembangan material secara bersamaan sejak dilakukannya pembebanan. Pendekatan selanjutnya dalam melakukan analisis adalah dengan menentukan besarnya tegangan pengekang sebagai akibat dari adanya perubahan regangan pada material pengekang tersebut yang dinyatakan dalam persamaan (3.11) dan (3.13) di atas.
III.6.2. Tegangan Awal Bekerja pada Material Beton
Pada kasus dimana tegangan awal yang bekerja hanya pada material beton, maka mekanisme pengembangan pada awal pembebanan terjadi hanya pada material beton saja sedangkan pada material pengekang tersebut belum terjadi adanya perubahan regangan (tegangan pada material pengekang tersebut sama dengan nol). Pengembangan bersama-sama antara material beton dan material pengekang terjadi setelah melewati tahapan tertentu selama berlangsungnya pembebanan. Hal ini diakibatkan tidak adanya daya lekatan antara material beton dan material pengekang (unbonded). Analisis pendekatan yang digunakan untuk memodelkan kasus ini adalah dengan membagi kondisi tegangan menjadi tiga, yaitu : 1. Kondisi elastis, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada saat awal pembebanan tegangan yang bekerja adalah tegangan arah longitudinal saja sedangkan tegangan lateral adalah sama dengan nol. 2. Kondisi leleh uniaksial, apabila kondisi tegangan telah memasuki kondisi deformasi plastis sedangkan tegangan lateral masih bernilai nol. Besar nilai 52
parameter potensial plastis yang digunakan adalah untuk kondisi uniaksial, dimana nilai parameter a = au = 0,58. 3. Kondisi leleh triaksial, apabila kondisi tegangan telah memasuki kondisi deformasi plastis dan tegangan lateral dari material pengekang adalah tidak sama dengan nol. Besar nilai parameter potensial plastis yang digunakan adalah untuk kondisi triaksial, dimana nilai parameter a yang digunakan adalah seperti pada persamaan (3.34) atau persamaan (3.44). Sedangkan besarnya tegangan pengekang pada tahap leleh triaksial ini dapat dinyatakan dalam persamaan (3.46).
f cp =
.E h .(ε t − ε l ' ).t h R
(3.52)
dimana εl’ menyatakan besarnya regangan lateral beton pada saat material beton dan material pengekang bersama-sama mengalami pengembangan.
Berikut di bawah ini digambarkan pembagian permukaan leleh yang digunakan untuk melakukan analisis untuk kasus dimana terjadinya tegangan awal pada material beton. Pada umumnya perpindahan dari daerah II ke daerah III dinyatakan dalam kuat tekan material (Harries & Carey, 2002), misalnya dengan menyatakan bahwa terjadinya pengembangan bersama-sama antara material beton dan pengekang terjadi pada saat tegangan longitudinal bernilai 0,85fc’.
53
ρ
k=1 III
I. Elastis II. Leleh uniaksial III. Leleh triaksial
II I
k0
ξ
Gambar 3.11 Pembagian Permukaan Leleh
Beberapa pengembangan yang telah dilakukan dalam penelitian ini antara lain adalah : 1. Pada saat nilai regangan plastis telah mencapai nilai maksimumnya, maka kriteria pembebanan yang digunakan adalah failure envelope dari permukaan lelehnya Æ selubung hancur Hsieh Ting Chen. 2. Tinjauan dilakukan pada tiga kemungkinan interaksi antara material beton dan pengekang dengan memperhatikan pola pengembangan material beton dan pengekang selama berlangsungnya proses pembebanan. 3. Penggunaan nilai a (kemiringan fungsi potensial plastis Drucker Prager) yang berbeda-beda selama tahap pembebanan, untuk mengikuti pola pengembangan regangan selama tahap elastis, elastis-plastis, dan failure yang berbeda. Terutama pada saat failure pola pengembangan regangan akan sangat ditentukan dari karakteristik material pengekangnya, hal ini dikarenakan pada tahap failure material beton telah mengalami penurunan integrasi akibat adanya retak.
54