BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitian yaitu penyiapan sampel, skrining simplisia, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, penyiapan hewan percobaan dan pengujian respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi pada hewan percobaan. Data hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 17.0.
3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, kertas saring, lampu spritus, lemari pengering, mikroskop (Boeco), microtitration plate, microtube, mortir dan stamfer, neraca hewan (Presica), neraca kasar, neraca listrik (Vibra), oral sonde, perkolator, pipet mikro (Brand), pletismometer air raksa, rotary evaporator (Heidolph VV300), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, spuit 1 ml (Terumo), tanur,
dan velocity 18R refrigerated centrifuge (Dynamic). Gambar alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 66-67.
3.1.2 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sambung nyawa, karboksi metil selulosa (CMC), sel darah merah sapi (SDMS), levamisole, larutan fisiologis, etanol 96%, toluen, kloroform, besi (III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendorff, Mayer, Molish, asam klorida 2 N, asam sulfat 2 N, kloralhidrat, natrium hidroksida 2 N, Liebermann-Bouchard, timbal (II) asetat 0,4 M, heparin, dan air suling.
3.2 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit jantan dengan berat badan
20-35 gram berumur 2-3 bulan. Sebelum
digunakan, mencit dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan diberi makan pelet hewan serta air. Gambar hewan percobaan dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 68.
3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi
Pembuatan larutan pereaksi terdiri dari asam klorida 2N, asam sulfat 2N, besi (III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendorff, kloralhidrat, Mayer, Molish, natrium hidroksida 2N dan timbal (II) asetat 0,4M (Depkes RI,1995). Liebermann-Burchard menurut Harborne (1987). 3.3.1 Besi (III) klorida 1%
Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml kemudian disaring.
3.3.2 Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml. 3.3.3 Dragendorff
Sebanyak 0,85 g bismut (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 100 ml asam asetat glasial ditambahkan 40 ml air suling. Kemudian pada wadah lain ditimbang 8 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 20 ml air suling, lalu dicampurkan kedua larutan sama banyak. Kemudian ditambahkan 20 ml asam asetat glasial dan diencerkan dengan air suling hingga 100 ml. 3.3.4 Mayer
Sebanyak 1,35 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling. Kemudian pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml air lalu dicampurkan keduanya dan ditambahkan air suling hingga 100 ml. 3.3.5 Molish
Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga volume 100 ml. 3.3.6 Asam klorida 2 N
Sebanyak 7,3 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga volume 100 ml. 3.3.7 Asam sulfat 2 N
Sebanyak 9,8 ml asam sulfat pekat kemudian diencerkan dengan air suling hingga 100 ml.
3.3.8 Natrium hidroksida 2 N
Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml. 3.3.9 Kloralhidrat
Sebanyak 50 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 ml air. 3.3.10 Liebermann-Bouchard
Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrida dicampurkan dengan 5 ml asam sulfat pekat kemudian ditambahkan etanol hingga 50 ml 3.3.11 Timbal (II) asetat 0,4 M
Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air bebas karbondioksida hingga 100 ml.
3.4 Prosedur Pembuatan Simplisia 3.4.1 Pengambilan Bahan
Pengumpulan
sampel
dilakukan
secara
purposif
yaitu
tanpa
membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah daun sambung nyawa. Daun yang digunakan adalah daun tua yang belum menguning maksimum pada daun ke-8 dari pucuk (Winarto, 2003). Sampel diambil dari Jl. Penghasilan Dalam, Kota Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. 3.4.2 Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor. Hasil identifikasi sampel dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 55.
3.5 Karakteristik Simplisia 3.5.1 Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan
makroskopik
dan
organoleptik
dilakukan
dengan
mengamati bentuk, warna, bau dan rasa dari simplisia daun sambung nyawa dan daun sambung nyawa segar. Gambar makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 56-57. 3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap daun segar dengan cara memotong tipis secara melintang diatas kaca preparat lalu diteteskan larutan kloralhidrat dan dipanaskan diatas api bunsen kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diamati di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 58-59. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan kloralhidrat kemudian ditutup dengan kaca penutup setelah itu dilihat dibawah mikroskop. 3.5.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluen). Cara penetapan: ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml aquades, didestilasi selama 2 jam. Setelah toluena didinginkan dan volume air pada tabung penerima dibaca. Kemudian kedalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dipanaskan hati – hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur, kurang
lebih 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena yang telah jenuh. Penyulingan dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume dibaca. Selisih kedua volume air dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1992). Perhitungan penetapan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 60. 3.5.4 Penetapan kadar sari larut dalam air
Sebanyak 5 g serbuk dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml airkloroform (2,5 ml kloroform dalam akuades sampai 1 liter) dengan menggunakan botol bersumbat warna coklat sambil sekali-kali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18-24 jam dan disaring, sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan hingga kering dalam cawan yang telah dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan dalam oven pada suhu 105ºC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989). Perhitungan penetapan kadar sari yang larut air dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 61. 3.5.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol
Sebanyak 5 g serbuk dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dengan menggunakan botol bersumbat berwarna coklat sambil sekali-kali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18-24 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan hingga kering dalam cawan
yang telah dipanaskan dan ditara. Residu dipanaskan dalam oven pada suhu 105ºC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989). Perhitungan penetapan kadar sari yang larut etanol dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 62. 3.5.6 Penetapan kadar abu total
Lebih kurang 2 g zat yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan kedalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselen bersama isinya dipijarkan perlahan–lahan hingga arang habis, didinginkan, ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989). Perhitungan penetapan kadar abu total dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 63. 3.5.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, dikumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam, disaring dengan kertas saring, lalu dicuci dengan air panas. Kemudian residu dan kertas saring dipijarkan sampai diperoleh bobot tetap, didinginkan dan ditimbang beratnya. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989). Perhitungan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 64.
3.6
Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida, steroid/triterpenoid, dan antrakinon.
3.6.1
Pemeriksaan Flavonoid
Serbuk simplisia ditimbang 0,5 g, lalu ditambahkan 10 ml metanol, direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas dengan kertas saring. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling, setelah dingin ditambahkan 5 ml petroleum eter, dikocok hati-hati, lalu didiamkan sebentar. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40ºC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring. Filtratnya digunakan untuk uji flavonoid dengan cara berikut: sebanyak 1 ml filtrat diuapkan sampai kering, sisa dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, lalu ditambah 0,1 g serbuk Mg dan 10 tetes asam klorida pekat. Jika terjadi warna merah jingga sampai warna merah unggu menunjukkan adanya flavonoid. Jika terjadi warna kuning jingga menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron (Depkes,1995). 3.6.2
Pemeriksaan Alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:
a. ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1995). 3.6.3 Pemeriksaan saponin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1989). 3.6.4
Pemeriksaan tanin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes, 1989). 3.6.5
Pemeriksaan glikosida
Sebanyak 3 g serbuk simplisia ditimbang kemudian disari dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform
(2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari lapisan isopropanolol diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50ºC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol untuk larutan percobaan 0,1 ml larutan percobaan diuapkan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995). 3.6.6
Pemeriksaan steroida/triterpenoida
Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987). 3.6.7 Pemeriksaan antrakinon
Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditimbang, dicampur dengan 5 ml asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzen, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzen dipisahkan dan disaring, kemudian kocok dengan 2 ml NaOH 2 N, didiamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzen tidak berwarna menunjukkan adanya antrakinon (Depkes RI, 1995).
3.7
Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sambung Nyawa
Sebanyak 500 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana tertutup, etanol 96% dituangkan ke dalam bejana sampai seluruh simplisia terendam, diaduk, dibiarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Dipindahkan massa sedikit demi sedikit kedalam perkolator sambil tiap kali ditekan hatihati, dituangkan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, ditutup perkolator, dibiarkan selama 24 jam. Dibiarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, ditambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari diatas simplisia. Perkolasi dihentikan setelah tetesan terakhir perkolat tidak berwarna lagi atau apabila sebanyak 500 mg cairan perkolat diuapkan di atas penangas air tidak meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary evaporator). Kemudian dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer (Ditjen
POM, 1995).
3.8 Uji Efek Imunomodulator
Uji efek imunomodulator meliputi penyiapan hewan percobaan, penyiapan kontrol, bahan uji, antigen, uji respon hipersensitivitas tipe lambat, dan uji titer antibodi. 3.8.1 Penyiapan Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan adalah mencit jantan dengan berat 20-35 g dibagi 5 kelompok, 1 kelompok untuk kontrol negatif, 1 kelompok untuk kontrol positif, dan 3 kelompok uji. Tiap kelompok terdiri dari 6 ekor mencit.
Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang lebih satu minggu dalam kandang yang baik pada suhu ruangan untuk penyesuaian lingkungan, pengontrolan kesehatan dan berat badan. Mencit diberi makan pelet hewan dan tetap diberi air minum. 3.8.2 Penyiapan Kontrol, Bahan Uji, dan Antigen
Penyiapan kontrol, bahan uji, dan antigen meliputi penyiapan CMC 1%, penyiapan suspensi levamisole, penyiapan suspensi ekstrak daun sambung nyawa 2%, dan penyiapan sel darah merah sapi. 3.8.2.1 Penyiapan CMC Na 1%
Pembuatan suspensi CMC Na 1% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 1 g CMC Na ditaburkan kedalam lumpang yang berisi air panas sebanyak 20 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan air suling sampai batas tanda. 3.8.2.2 Penyiapan Suspensi Levamisole
Pengambilan sampel tablet levamisole yaitu dengan cara ditimbang dan diserbukhaluskan tidak kurang dari 20 tablet. Ditimbang serbuk yang telah dihaluskan tersebut kemudian ditimbang seksama sejumlah serbuk setara dengan lebih kurang 25 mg levamisole (Depkes, 1995). Pembuatan suspensi levamisole dilakukan dengan cara sebagai berikut: ditimbang serbuk levamisole 29,46 mg (setara dengan 25 mg levamisole) dan dimasukan kedalam lumpang. Digerus serbuk kemudian ditambahkan suspensi
CMC Na 1% secukupnya. Digerus hingga homogen dan dituangkan kedalam labu tentukur 25 ml, dan kemudian ditambahkan suspensi CMC Na 1% sampai batas tanda. 3.8.2.3 Penyiapan Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa (SEDSN) 2%
Pembuatan suspensi ekstrak daun sambung nyawa 2% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 500 mg ekstrak daun sambung nyawa dimasukkan kedalam lumpang, ditambahkan suspensi CMC Na 1% secukupnya kemudian digerus sampai homogen. Dituang ke dalam labu tentukur 25 ml, ditambahkan suspensi CMC Na 1% sampai batas tanda. 3.8.2.4 Penyiapan Sel Darah Merah Sapi (SDMS)
Penyiapan dan pembuatan SDMS didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Yufri
(2011). Darah segar dikumpulkan dari sapi yang
disembelih, diperoleh 500 ml. kemudian ditambahkan 1,5 ml heparin dan dimasukan kedalam termos yang berisi es. Darah dicuci dengan larutan NaCl fisiologis (1:1) masing-masing sebanyak 5 ml dan diaduk homogen kemudian disentrifus dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit, dibuang supernatannya, diulangi 3 kali dengan menambahkan 5 ml NaCl fisiologis setiap pengulangan. Setelah didapatkan eritrosit ditambahkan larutan NaCl fisiologis dengan volume yang sama, hingga diperoleh SDMS 50%. Kemudian diambil 0,2 ml SDMS 50%, ditambahkan larutan NaCl fisiologis hingga 10 ml, sehingga diperoleh SDMS 1%.
3.8.3 Uji Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat
Efek imunomodulator ekstrak daun sambung nyawa ditentukan dengan mengukur volume respon hipersensitivitas tipe lambat menggunakan uji pembengkakan telapak kaki hewan uji (foot paw swelling test) (Lakshmi, et al., 2003; Ray, et al., 1996). Sebanyak 30 ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok dengan pembagian sebagai berikut: a. Kelompok I diberi suspensi CMC Na 1% (b/v) sebagai kontrol negatif. b. Kelompok II diberi Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa (SEDSN) dengan dosis 125 mg/kg BB. c. Kelompok III diberi SEDSN dengan dosis 250 mg/kg BB. d. Kelompok IV diberi SEDSN dengan dosis 500 mg/kg BB e. Kelompok V diberi Suspensi Levamisole dengan dosis 25 mg/kg BB sebagai kontrol positif. Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml sel darah merah sapi (SDMS) 1% dalam dalam larutan NaCl fisiologis secara intraperitoneal pada hari ke-0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7, sendi kaki mencit sebelah kanan diberi tanda batas pengukuran volume kaki mencit. Volume kaki mencit diukur sebagai volume awal (V0). Kemudian mencit diinjeksikan dengan 0,1 ml suspensi SDMS 1% dalam dalam larutan NaCl fisiologis secara intraplantar pada telapak kaki sebelah kanan.
Pada hari kedelapan (setelah 24 jam) diukur volume pembengkakan kaki mencit dengan pletismometer air raksa. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan kaki mencit ke dalam tabung yang berisi air raksa sampai tanda batas pengukuran. Perubahan volume air raksa terlihat pada kenaikan skala pada pletismometer sebagai volume waktu tertentu (Vt) kaki mencit. Volume pembengkakan kaki mencit ditentukan berdasarkan selisih antara volume waktu tertentu (Vt) dengan volume awal (V0) (Shivaprasad, 2006). 3.8.4 Uji Titer Antibodi
Tiap kelompok diinjeksikan dengan 0,1 ml sel darah merah sapi (SDMS) 1% dalam larutan NaCl fisiologis secara intraperitoneal pada hari ke0. Perlakuan dimulai dari hari ke-0 dan diberikan satu kali setiap hari selama 7 hari. Pada hari ke-7, sampel darah masing-masing mencit diambil melalui pembuluh darah vena di bagian ekor. Sampel darah dikumpulkan dalam tabung mikro (microtube), kemudian dilakukan pemusingan 1900 rpm dengan alat sentrifugasi pada suhu 4C selama 10 menit dan diambil serumnya. Nilai titer antibodi ditentukan dengan teknik hemaglutinasi. Duapuluh lima mikroliter (25 μl) serum diteteskan ke dalam sumur microtitration plate 96 lubang, ditambahkan dalam larutan NaCl fisiologis dan SDMS dengan volume yang sama, dan diencerkan dua kali lipat (1:2; 1:4; 1:8; 1:16; 1:32; 1:64; 1:128; 1:256; 1:512; 1:1024; 1:2048) kemudian diamati penggumpalan yang terjadi (Makare, et al., 2001; Puri, et al., 1993). Nilai titer antibodi ditentukan berdasarkan pengenceran terakhir dimana antibodi masih terdeteksi melalui hemaglutinasi yang terlihat secara visual. Nilai titer antibodi tersebut
selanjutnya ditransformasikan dengan [2log(titer)+1] (Hargono, 2000; Eldiza, 2011).
3.9 Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 17.0. Data ditentukan homogenitas dan normalitasnya untuk menentukan analisis statistik yang digunakan. Data dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA satu arah (One-Way ANOVA) untuk menentukan perbedaan rata-rata di antara perlakuan. Jika terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan menggunakan uji Post Hoc Tukey untuk mengetahui variabel mana yang memiliki perbedaan. Berdasarkan nilai signifikansi, P < 0,05 dianggap signifikan. Data hasil statistik ANAVA satu arah (One-Way ANOVA) dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 53.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Simplisia dan Ekstrak
Tumbuhan
yang
digunakan
telah
diidentifikasi
di
Herbarium
Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 55. Hasil pemeriksaan organoleptik terhadap daun sambung nyawa segar yaitu daun berwarna hijau, berbau aromatik, rasa kelat dan sedikit manis. Sedangkan hasil pemeriksaan organoleptik simplisia daun sambung nyawa adalah berwarna hijau pekat, berbau aromatik, dan rasa kelat. Hasil pemeriksaan makroskopik terhadap daun sambung nyawa segar adalah daun berwarna hijau, bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang, helaian daun bulat telur dengan pangkal daun membulat dan ujung daun runcing, pinggir daun bergerigi dangkal, panjang daun sampai 21 cm, lebar daun sampai 9 cm, kedua permukaan daun berambut halus dengan pertulangan menyirip. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 5657. Hasil pemeriksaan mikroskopik penampang melintang pada daun sambung nyawa segar yaitu adanya: sel kelenjar, trakea, kutikula, epidermis atas, jaringan palisade, jaringan bunga karang (spons), epidermis bawah dan rambut penutup. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia pada daun sambung nyawa adanya rambut penutup, trakea, epidermis atas dengan
mesofil, dan stomata. Hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 58-59. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia daun sambung nyawa diperoleh kadar air 9,2%, kadar sari yang larut dalam air 23,67%, kadar sari yang larut dalam etanol 13,64%, kadar abu total 6,39% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,62%. Persyaratan umum pada Farmakope Herbal adalah kadar air tidak lebih dari 10%, kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 7,9%, kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 3,9%, kadar abu tidak lebih dari 7,2%, dan kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1,2%. Dengan demikian hasil penetapan kadar air, kadar sari yang larut dalam etanol, kadar abu total, kadar abu yang tidak larut asam dan kadar air memenuhi persyaratan pada Farmakope Herbal (2010). Data hasil pemeriksaan karakteristik simplisia ditunjukkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Simplisia Persyaratan Farmakope Herbal (%) < 11 > 7,9 > 3,9
No.
Penetapan / Karakteristik Simplisia
1 2 3
Kadar air Kadar sari larut dalam air Kadar sari larut dalam etanol
9,2 23,67 13,64
4
Kadar abu total Kadar abu tidak larut dalam asam
6,39
< 7,2
0,62
< 1,2
5
Kadar (%)
Pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia daun sambung nyawa yang dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan alkaloida, glikosida, saponin, flavonoid, tanin dan triterpenoid/steroid, dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Skrining Simplisia
No
Senyawa
1 Alkaloida 2 Glikosida 3 Saponin 4 Flavonoid 5 Tanin 6 Steroid/Triterpenoid Keterangan : + = Mengandung golongan senyawa - = Tidak mengandung golongan senyawa
Serbuk simplisia + + + + +
Berdasarkan hasil pemeriksaan skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia daun sambung nyawa terdapat kandungan senyawa kimia golongan alkaloida, glikosida, saponin, flavonoid, tanin, dan steroida/triterpenoida. Standarisasi diperlukan karena kandungan bahan aktif yang terkandung dalam jenis tanaman yang sama dapat bervariasi, dengan standarisasi diharapkan bahan aktif yang terkandung di dalam bahan baku tersebut cukup konsisten, sehingga takaran yang digunakan untuk pengujian memiliki kandungan aktif yang setara. Hasil penyarian 500 g serbuk simplisia daun sambung nyawa dengan pelarut etanol 96% diperoleh ekstrak kental yang kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator dan dikeringkan, diperoleh 98,32 g ekstrak kental.
4.2 Pengujian Efek Imunomodulator
Pengujian efek imunomodulator ekstrak daun sambung nyawa dilakukan dengan metode respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi yang digunakan untuk melihat pengaruh ekstrak terhadap aktivitas dan mekanisme sistem imun humoral yang melibatkan sel T dan sel B. Menurut Makare, et al., (2001), kombinasi kedua metode tersebut mempunyai keuntungan yaitu memungkinkan dua komponen respon imun diukur pada spesies yang sama dibawah kondisi ideal, relatif sederhana dan tidak mahal. Penentuan dosis dilakukan dengan orientasi dari dosis 50 mg/kg bb hingga 1 g/kg bb. Dari orientasi yang dilakukan diperoleh bahwa dosis 125 mg/kg bb, 250 mg/kg bb, dan 500 mg/kg bb sudah memberikan efek yg lebih dari normal dan pembanding. Pembanding yang digunakan ialah levamisole dengan dosis 25 mg/kg bb. Dosis levamisole tertinggi yang dapat digunakan tinggi pada mencit ialah 25 mg/kg bb (Katzung, 1989). Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Volume Pembengkakan Kaki Mencit dan Nilai Titer Antibodi
N Perlakuan o. 1
CMC Na 1%
2
Suspensi ekstrak daun sambung nyawa dosis 125 mg/kg bb
3
Suspensi ekstrak daun sambung nyawa dosis 250 mg/kg bb
4
Suspensi ekstrak daun sambung nyawa dosis 500 mg/kg bb
5
Suspensi levamisole dosis 25 mg/kg bb
Volume kaki mencit (ml) V0
Vt
∆V
0,3 0,4 0,3 0,4 0,5 0,3 0,4 0,3 0,5 0,3 0,4 0,5 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,3 0,4 0,4 0,4 0,3 0,4 0,3 0,4 0,3 0,3 0,5 0,4 0,3
0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0.6 1,2 1,2 1,4 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,6 1,7 1,6 1,5 1,8 1,8 1,9 1,7 1,9 1,8 1,6 1,4 1,4 1,8 1,5 1,4
0.3 0,3 0,4 0,4 0,3 0,3 0,8 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 1,2 1,2 1,2 1,2 1,1 1,2 1,4 1,4 1,5 1,4 1,5 1,5 1,2 1,1 1,1 1,3 1,1 1,1
Nilai Titer Antibodi Titer Antibodi 8 8 8 8 8 8 64 128 128 128 64 64 128 256 256 256 128 128 256 512 512 512 512 512 16 32 32 64 32 32
[2(Log titer)+1]
2,81 2,81 2,81 2,81 2,81 2,81 4,61 5,21 5,21 5,21 4,61 4,61 5,21 5,82 5,82 5,82 5,21 5,21 5,82 6,42 6,42 6,42 6,42 6,42 3,41 4,01 4,01 4,61 4,01 4,01
Keterangan: V0 = Volume awal kaki mencit Vt = Volume pembengkakan kaki mencit ∆V = selisih antara volume waktu tertentu (Vt) dengan volume awal (V0).
4.2.1 Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat
Respon hipersensitivitas tipe lambat dikenali dengan reaksi imunoinflamasi karena makrofag dan sel T helper (Th1) berperan besar dalam proses tersebut (Mukherjee, 2010). Reaksi ini ditandai dengan adanya pembengkakan pada tempat terjadinya induksi antigen. Pembengkakan terkait langsung dengan cell mediated immunity (CMI), karena antigen mengaktivasi sel T terutama sel Th1. Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan beberapa sitokin yang bersifat proinflamasi. Sitokin tersebut akan menarik makrofag ke tempat terjadinya induksi dan mengaktivasinya sehingga menyebabkan peningkatan aktivitas fagositik untuk melawan antigen yang masuk (Fulzele, et al., 2002). Penarikan makrofag ini terjadinya pembengkakan. Semakin besar pembengkakan menunjukkan semakin
tinggi
respon
hipersensitivitas
tipe
lambat
sehingga
dapat
menggambarkan peningkatan aktivitas sistem imun. Pengujian dilakukan dengan cara menginduksi mencit dengan sel darah merah sapi (SDMS) sebagai antigen secara intraperitoneal pada hari ke-0. Respon hipersensitivitas tipe lambat diketahui dari volume pembengkakan kaki mencit yang diukur pada hari ke-8. Setelah sehari sebelumnya mencit diberi tanda batas pengukuran volume kaki mencit pada sendi kaki mencit sebelah kanan, volume kaki mencit diukur sebagai volume awal (V0). Kemudian mencit diinjeksikan dengan 0,1 ml suspensi SDMS 1% dalam dalam larutan NaCl fisiologis secara intraplantar pada telapak kaki sebelah kanan. Pengukuran volume pembengkakan dilakukan dengan menggunakan alat
pletismometer air raksa. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan kaki mencit ke dalam tabung yang berisi air raksa sampai tanda batas pengukuran. Perubahan volume air raksa terlihat pada kenaikan skala pada pletismometer sebagai volume waktu tertentu (Vt) kaki mencit. Volume pembengkakan kaki mencit ditentukan berdasarkan selisih antara volume waktu tertentu (Vt) dengan volume awal (V0) (Shivaprasad, 2006).Hasil pengukuran volume pembengkakan kaki kanan mencit sebagai respon terhadap hipersensitivitas tipe lambat dapat dilihat pada Gambar 4.1.
1.6 1.4
n1.2 ak a k1 g n e b0.8 m e P0.6 e m 0.4 u l o V0.2
1.45 1.18
1.15
0.88 0.33
0 CMC Na 1%
SEDSN 125 mg/kg bb
SEDSN 250 mg/kg bb
SEDSN 500 mg/kg bb
Levamisole 25 mg/kg bb
Perlakuan Gambar 4.1 Volume pembengkakan kaki mencit pada berbagai perlakuan (Rerata ± SEM). Pada Gambar 4.1 terlihat bahwa SEDSN dosis 125, 250, dan 500 mg/kg bb, dan SL dosis 25 mg/kg bb menunjukkan volume pembengkakan yang jauh berbeda dengan suspensi CMC Na 1% sebagai kontrol. SEDSN dosis 500 mg/kg bb dengan volume pembengkakan 1,45 ml menunjukkan
volume pembengkakan yang lebih besar dibandingkan dengan SEDSN dosis 125 mg/kg bb, SEDSN dosis 250 mg/kg bb dan SL dosis 25 mg/kg bb yang masing-masing bernilai 0,88, 1,18 dan 1,15 ml. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, maka dilakukan analisis variansi (ANAVA) menggunakan program SPSS versi 17.0 terhadap volume pembengkakan kaki mencit. Hasil uji Anava menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap volume pembengkakan kaki mencit dengan nilai signifikansi P < 0,05. Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji Post Hoc Tukey. Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji Post Hoc Tukey terhadap semua perlakuan dimana hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 72. Hasil uji Post Hoc Tukey menunjukkan bahwa volume pembengkakan kaki mencit kelompok perlakuan SEDSN dosis 250 mg/kg bb tidak berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan SL dosis 25 mg/kg bb (kontrol positif). Untuk dapat membedakan mekanisme kerja levamisole dan ekstrak daun sambung nyawa, maka dilakukan uji berikutnya, yaitu titer antibodi. Berdasarkan perhitungan statistik di atas, terlihat adanya peningkatan volume pembengkakan kaki mencit pada kelompok perlakuan SEDSN dosis 125, 250, 500 mg/kg bb terhadap kontrol negatif CMC Na 1%. Peningkatan volume pembengkakan kaki mencit merupakan gambaran adanya peningkatan
respon hipersensitivitas tipe lambat mencit tersebut. Peningkatan respon ini mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan sel imun mencit dalam menanggapi antigen terutama peningkatan respon imun spesifik seluler. Sel yang berperan dalam respon imun seluler adalah sel T terutama sel Th. Sel Th memproduksi IFN-γ yang kemudian merekrut dan mengaktivasi makrofag (Kresno, 2010). Dengan demikian, ekstrak daun sambung nyawa menunjukkan efek stimulasi terhadap sel T terutama sel Th. 4.2.2 Titer Antibodi
Titer antibodi ditentukan dengan metode hemaglutinasi. Penentuan hemaglutinasi titer antibodi bertujuan untuk mengetahui respon imun humoral melawan SDMS. Peningkatan respon imun humoral dibuktikan dengan adanya peningkatan titer antibodi mencit yang mengindikasikan peningkatan kepekaan sel T dan sel B terkait dengan produksi antibodi. Pengukuran nilai titer antibodi dilakukan pada hari ke-7 dengan menggunakan metode hemaglutinasi. Hemaglutinasi merupakan pengujian terhadap serum darah mencit yang dilakukan dengan menambahkan antigen dalam jumlah yang sama. Interaksi antara antigen dengan antibodi menyebabkan terjadinya reaksi yaitu berupa aglutinasi atau presipitasi sebab antigen merupakan partikel-partikel kecil yang tidak larut. Gumpalan yang terbentuk antara antigen dan antibodi akan bersatu dan akhirnya mengendap sebagai gumpalan-gumpalan besar dan mudah terlihat dengan cairan diatasnya tetap jernih. Hal ini terjadi karena pada umumnya antibodi memiliki lebih dari satu reseptor pengikat antigen sehingga antibodi bereaksi dengan molekul
antigen lain yang mungkin sudah berikatan dengan salah satu molekul antibodi dan terbentuklah gumpalan (Novanita, 2011).Efek pemberian SEDSN dan SL menunjukkan hasil yang berbeda pada titer antibodi. Titer antibodi sel imun mencit dapat dilihat pada Gambar 4.2.
1 2 3 4 5
Gambar 4.2 Titer Antibodi Sel Imun Mencit
Keterangan: 1. CMC Na 1%; 2. Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa 125 mg/kg bb; 3. Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa 250 mg/kg bb; 4. Suspensi Ekstrak Daun Sambung Nyawa 500 mg/kg bb; 5. Suspensi Levamisole 25 mg/kg BB. Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa SEDSN dosis 125, 250, dan 500 mg/kg bb menunjukkan nilai titer antibodi yang berbeda dengan CMC Na 1% sebagai kontrol. Pemberian SEDSN dosis 500 mg/kg bb menunjukkan peningkatan titer antibodi tertinggi hingga konsentrasi pengenceran 0,0488 µg/50 µl, dan pada pemberian SEDSN dosis 250 mg/kg bb dan 125 mg/kg bb mencapai konsentrasi pengenceran 0,0976 µg/50 µl dan 0,1953 µg/50 µl.
Pemberian SEDSN dengan dosis 125 mg/kg bb, 250 mg/kg bb dan 500 mg/kg bb menunjukan peningkatan titer antibodi lebih besar dibandingkan dengan suspensi levamisole. Pemberian suspensi levamisole menunjukan nilai titer antibodi yang lebih tinggi dari CMC Na 1% yaitu 0,3906 µg/50 µl, sedangkan CMC Na 1%
3,1250 µg/50 µl. Hal ini menunjukkan bahwa levamisole
meningkatkan produksi antibodi. 7 6 5i
d o b i 4 tn A r 3e ti T
4.91
6.23
5.51
2
4.01 2.81
1 0 CMC Na 1%
SEDSN 125 mg/kg bb
SEDSN 250 mg/kg bb
SEDSN 500 mg/kg bb
Levamisole 25 mg/kg bb
Perlakuan Gambar 4.3 Titer Antibodi Sel Imun Mencit pada berbagai perlakuan (Rerata ± SEM).
Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa SEDSN dosis 125, 250, dan 500 mg/kg bb menunjukkan nilai titer antibodi yang berbeda dengan CMC Na 1% sebagai kontrol. Pemberian SEDSN dosis 500 mg/kg bb menunjukkan peningkatan nilai titer antibodi senilai 6,23. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan SEDSN dosis 125 dan 250 mg/kg bb yang bernilai 4,91 dan 5,51. Perbedaan
yang cukup besar juga terlihat antara SEDSN dosis 500 mg/kg bb dengan SL dosis 25 mg/kg bb. Bahkan nilai titer antibodi SL dosis 25 mg/kg bb, yaitu 4,01 lebih tinggi dibandingkan dengan CMC Na 1% (kontrol negatif). Hal ini menunjukkan bahwa levamisole meningkatkan produksi antibodi. Dengan demikian terbukti bahwa mekanisme levamisole adalah meningkatkan respon sel T dengan merangsang aktivasi sel T dan proliferasi, meningkatkan fungsi monosit dan makrofag termasuk fagositosis dan kemotaksis, dan meningkatkan mobilitas neutrofi (Anonim, 2012). Untuk melihat ada/tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) menggunakan program SPSS versi 17.0 terhadap titer antibodi. Hasil uji Anava menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap titer antibodi sel imun, dengan nilai signifikansi P < 0,05. Untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki efek yang sama atau berbeda antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain dilakukan uji Post Hoc Tukey terhadap semua perlakuan. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 72. Hasil uji Post Hoc Tukey menunjukkan adanya perbedaan titer antibodi yang signifikan dari masingmasing kelompok uji dengan signifikansi P < 0,05. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian SEDSN dosis 125, 250, dan 500 mg/kg bb memberikan efek peningkatan titer antibodi sel imun mencit. Peningkatan titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th, yaitu sel Th2 untuk menstimulasi produksi dan meningkatkan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roit, et al., 1989). Antibodi akan berikatan dengan antigen yang
menginfeksi tubuh. Ikatan antigen dan antibodi memberikan gambaran adanya efek stimulasi ekstrak daun sambung nyawa terhadap respon imun humoral yang berkaitan dengan stimulasi dan aktivasi sel B. Berdasarkan uraian hasil uji statistik di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian SEDSN memberikan efek meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit jantan. Pemberian SEDSN dosis 500 mg/kg bb memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian SEDSN dosis 125 mg/kg bb dan SEDSN dosis 250 mg/kg bb. Pemberian SL dosis 25 mg/kg bb memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan CMC Na 1%. Pemberian SEDSN dosis 500 mg/kg bb memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian SL dosis 25 mg/kg bb. Maka dapat disimpulkan bahwa SEDSN dapat meningkatkan sistem imun, dimana SEDSN memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan levamisole.
Dimana
mekanisme
levamisole
yaitu
dapat
merangsang
pembentukan antibodi terhadap berbagai antigen, meningkatkan respon sel T dengan merangsang aktivasi sel T dan proliferasi, mempotensiasi fungsi monosit dan makrofag termasuk fagositosis dan kemotaksis, dan meningkatkan mobilitas neutrofil (Anonim, 2012), sehingga suspensi ekstrak daun sambung nyawa (SEDSN) dapat digunakan sebagai imunostimulator. Berdasarkan pengamatan tersebut, daun sambung nyawa dapat digunakan sebagai imunostimulator terkait dengan pengaruhnya dalam meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat dan titer antibodi sel imun mencit.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa: a. hasil pemeriksaan karakterisasi simplisia daun sambung nyawa diperoleh kadar air 9,2%, kadar sari yang larut dalam air 23,67%, kadar sari yang larut dalam etanol 13,64%, kadar abu total 6,39% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,62%. b. hasil pemeriksaan skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia daun sambung nyawa terdapat kandungan senyawa kimia golongan glikosida, saponin, flavonoid, tanin, dan steroida/triterpenoida. c. pemberian ekstrak daun sambung nyawa dapat meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat pada mencit jantan, pada dosis 500 mg/kg bb diperoleh volume pembengkakan rata-rata 1,45 ml lebih tinggi dibandingkan kontrol positif (levamisole) volume pembengkakan yang diperoleh 1,15 ml. d. pemberian ekstrak daun sambung nyawa dapat meningkatkan titer antibodi sel imun mencit jantan dimana pada dosis 125, 250 dan 500 mg/kg bb diperoleh nilai titer antibodi rata-rata 4,91 µl, 5,51 µl, dan 6,23 µl lebih tinggi dibandingkan kontrol positif (levamisole) nilai titer antibodi yang diperoleh 4,01 µl.
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat melanjutkan penelitian ini dengan menggunakan metode lain seperti uji granulosit, bioluminisensi radikal, dan uji transformasi limfosit T.