BAB III MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP
Pada bab ini dibahas mengenai AHP yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty di Wharton School of Business University of Pennsylvania pada sekitar tahun 1970-an dan baru dipublikasikan pada tahun 1980 dalam bukunya yang berjudul The Analytic Hierarchy Process Saaty [12]. Setelah membahas AHP kemudian dibahas tentang bagaimana menentukan bobot (prioritas) dalam AHP tersebut dengan menggunakan metode dekomposisi nilai singular. Pada akhir bab ini akan disajikan contoh perhitungan dari matriks perbandingan berpasangan yang ditentukan dekomposisi nilai singular nya untuk mendapatkan prioritas.
III.1
Prinsip dan Tahapan AHP
Secara umum terdapat tiga prinsip yang menjadi satu kesatuan di dalam mengkonstruksi AHP. Tiga prinsip yang dimaksud adalah: decomposition, comparative judgment, dan synthesis of priority. Decomposition Decomposition yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana. Selanjutnya, dibuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria-kriteria, kemudian sub-kriteria dengan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi. Pemecahan tersebut akan menghasilkan beberapa tingkatan dari suatu persoalan. Oleh karena itu proses analisis ini dinamakan hierarkhi. Contoh hierarkhi dalam AHP seperti pada gambar 3.1 :
31
32
Gambar 3.1: Contoh Hierarkhi AHP
Comporative Judgment Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dan penilaian ini akan tampak lebih baik bila disajikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan ( pairwise comparison). Misalkan kita mempunyai n obyek yang akan dibandingkan dari suatu tingkat hirarki yang dinotasikan oleh C1 , C2 , C3 , ..., Cn dengan bobot pengaruh masing-masing w1 , w2 , ..., wn . Bila diketahui nilai perbandingan elemen Ci terhadap elemen Cj adalah aij , i, j = 1, 2, 3, ..., n, maka kita dapat menuliskan matriks perbandingan
33 berpasangan A sebagai berikut: C1
C2 · · · Cn
C1 a11 a12 · · · a1n A∼ = C2 a21 a22 · · · a2n .. .. .. . . . . .. . . . Cn an1 an2 · · · a33 Matriks A merupakan matriks positif n × n yang reciprocal yaitu aji =
1 . aij
Matriks
tersebut konsisten jika aij .ajk = aik , untuk i, j, k = 1, 2, 3, ..., n. Dengan demikian aij =
aik . ajk
Jika A konsisten dan aij =
wi wj
, dengan i, j = 1, 2, 3, ..., n maka dengan
mengalikan A dengan vektor w = (w1 , · · · , wn )T diperoleh:
Aw = nw.
(3.1)
Ini menunjukkan bahwa w merupakan vektor eigen dari matriks A dengan nilai eigen n. Skala dasar yang digunakan untuk membandingkan elemen-elemen tersebut oleh Saaty dibuat dalam bentuk skala perbandingan yang selanjutnya kita sajikan sebagai berikut;
34 Tabel 1. Skala Perbandingan Berpasangan, berdasar Saaty [11] Bobot
Definisi
1
Sama pentingnya
3
Agak lebih penting yang satu dengan yang lainnya
5
Cukup penting
7
Sangat penting
9
Mutlak lebih penting
2,4,6,8
Nilai antara
Kebalikan
Jika i mempunyai nilai lebih tinggi dari j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibanding dengan i
Rasio
Rasio yang didapat langsung dari pengukuran
Synthesis of Priority Dari setiap matriks perbandingan berpasangan yang telah dibuat kemudian dicari vektor eigennya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matriks perbandingan berpasangan terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesa di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesa ini berbeda menurut bentuk hirarki. Dari prioritas global akhir itulah yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Adapun tahapan- tahapan proses pengambilan keputusan dengan AHP adalah sebagai berikut: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.
35 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. 4. Menghitung prioritas dan menguji kekonsistenannya. 5. Mengulangi langkah 3, dan 4 untuk seluruh tingkat hirarki.
Disamping ketiga prinsip dasar tersebut, hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat suatu keputusan dengan AHP adalah konsistensi dari jawaban. Idealnya, setiap orang menginginkan keputusan yang konsisten. Namun demikian banyak kasus yang kita tidak dapat mengambil keputusan yang benar-benar konsisten. Dalam menggunakan AHP ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan responden memberikan jawaban yang tidak konsisten, yaitu: keterbatasan informasi, kurang konsentrasi, ketidakkonsistenan dalam dunia nyata, struktur model yang kurang memadai. Sebagai contoh ketika seseorang mengatakan madu dua kali lebih manis dari pada gula, dan gula tiga kali lebih manis dari pada sirup, maka kita tidak bisa memaksakan bahwa madu enam kali lebih manis dari pada sirup. Salah satu hal yang perlu dicatat dalam hal inkonsistensi adalah bahwa tujuan utama proses pengambilan keputusan bukanlah derajat inkonsistensi yang rendah. Inkonsistensi rasio yang rendah bersifat perlu namun belum cukup untuk sebuah keputusan yang baik. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Saaty telah mendefinisikan kekonsistenan suatu
36 keputusan yang dikenal dengan Indeks konsistensi (CI) sebagai berikut:
CI =
λmax − n n−1
Adapun batas ketidakkonsistenan suatu matriks, oleh Saaty diukur dengan menggunakan Consistency Ratio (CR) Saaty [12] yaitu perbandingan antara indek konsistensi (CI) dengan nilai Indeks Random (RI).
CR =
CI RI
Indeks Random tersebut bergantung pada ukuran suatu matriks. Jika nilai consistency ratio (CR) yang diperoleh kurang dari 10 persen, maka keputusan yang diambil dianggap konsisten, akan tetapi jika rasio konsistensi yang diperoleh ternyata lebih dari 10 persen, maka si pembuat keputusan disarankan melakukan kajian ulang terhadap matriks perbandingan yang diperoleh. Ini artinya keputusan yang diambil kurang konsisten. Tabel 2. Tabel Indeks Random (RI)
III.2
N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
RI
0
0
0.58
0.90
1.12
1.24
1.32
1.41
1.45
1.49
1.51
Dekomposisi Nilai Singular
Selanjutnya pada pasal ini dibahas mengenai dekomposisi nilai singular. Teori ini akan digunakan dalam menentukan bobot prioritas dalam AHP. Kajian mengenai dekomposisi nilai singular dapat di lihat pula pada Leon,S.J [7].
37 Teorema III.2.1 Misalkan A ∈ Mn (R). Nilai eigen dari matriks AT A adalah nonnegatif. Bukti: Misalkan λ nilai eigen dari AT A. Karena AT A simetri maka λ adalah bilangan real dan terdapat x ∈ Rn vektor eigen yang bersesuaian dengan λ. Kemudian kita hitung panjang vektor Ax, yaitu:
|Ax|2 = (Ax)T (Ax) = xT AT Ax = xT λx = λxT x = λ|x|2 .
Karena AT Ax = λx, dan |Ax|2 ≥ 0 serta |x|2 > 0 maka nilai λ ≥ 0.
2
Teorema III.2.2 (Dekomposisi nilai singular) Misalkan A matriks berukuran m × n maka ada matriks diagonal D berukuran r × r dengan r ≤ min {m,n }, matriks orthogonal Um×m dan matriks orthogonal Vn×n , sehingga berlaku :
A = U ΣV T
dengan
P
(3.2)
adalah matriks berukuran m × n yang mempunyai bentuk : X
D 0 = . 0 0
38 Bukti: Menurut Teorema III.2.1 matriks simetri AT A dapat didiagonalkan secara orthogonal dengan nilai eigen yang tak negatif. Misalkan
λ1 ≥ λ2 ≥ · · · ≥ λn
merupakan nilai eigen dari AT A. Kemudian nilai singular dari A didefinisikan sebap gai σj = λj , dimana j = 1, 2, ..., n.
Misalkan rank (A) = r , maka rank (AT A) = r dan nilai eigen tak nol dari AT A juga sebanyak r buah. Jadi, misalkan
λ1 ≥ λ2 ≥ · · · ≥ λr > 0
dan
λr+1 = λr+2 = · · · = λn = 0.
Hal yang sama juga berlaku untuk nilai singular tersebut, yaitu
σ1 ≥ σ2 ≥ · · · ≥ σr > 0
dan
σr+1 = σr+2 = · · · = σn = 0.
Selanjutnya misalkan v1 ,· · · , vn vektor-vektor yang saling ortogonal dan merupakan vektor eigen dari AT A yang berkaitan dengan nilai eigen λ.
λ1 ≥ λ2 ≥ · · · ≥ λr > λr+1 = · · · = λn = 0.
Kemudian bentuk matriks :
V1 = [v1 · · · vr ],
V2 = [vr+1 · · · vn ]
V = [V1 V2 ]
39 yaitu matriks dengan kolomnya merupakan vektor eigen . Misalkan D dan
P
adalah
matriks-matriks berikut D=
σ1
0
0 .. .
σ2 .. .
0
0
···
0 ··· 0 ∈ Rr×r . .. . . . · · · σr
dan
D 0 n×n Σ= ∈R . 0 0
Diperoleh untuk j = r + 1, · · · , n
AT Avj = 0 vjT AT Avj = 0 |Avj |2 = 0 Avj = 0,
sehingga AV2 = 0. Matriks V merupakan matriks orthogonal, maka I = V V T = V1 V1T + V2 V2T
A = AI = AV1 V1T + AV2 V2T = AV1 V1T .
Perhatikan bahwa untuk i, j = 1, 2, · · · , r
AT Avj = λj vj viT AT Avj = λj viT vj
(3.3)
40 λj , jika i = j T T vi A Avj = 0 , jika i = 6 j Jadi diperoleh bahwa vektor-vektor Av1 , Av2 , · · · , Avr saling ortogonal dengan panjang |Avj | = λj 6= 0, j = 1, 2, · · · , r. Oleh karena itu U = (u1 , u2 , · · · , un ) dapat didefinisikan sebagai berikut
uj =
1 Avj σj
untuk j = 1, 2, · · · , r.
(3.4)
ur+1 , · · · , un dipilih dari Rn sehingga {u1 , u2 , · · · , un } membentuk basis ortonormal. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan proses Gram Schmidt. Misalkan U1 = u1 u2 · · · ur maka berlaku
AV1 = U1 D
dan
AV = U Σ.
(3.5)
Matriks U tersebut adalah matriks orthogonal. Sekarang akan ditunjukkan bahwa U ΣV T = A . Dari persamaan (3.5) diperoleh U ΣV T =
U1 U2
V1T
D 0 V2T 0 0
= U1 DV1T = A1 V1 V1T = A.
2
41 Teorema III.2.3 Misalkan A ∈ Mn (R), u1 , · · · , un dan v1 , · · · , vn adalah kolomkolom dari U dan V dan σi adalah diagonal-diagonal dari D, maka persamaan (3.2) ekuivalen dengan bentuk:
A=
n X
σi ui vi T
(3.6)
i=1
Bukti:
A = U ΣV T =
u 1 u2
· · · un
=
σ1 u1 σ2 u2
σ1
0
0 .. .
σ2 .. .
0
0
· · · σn un
···
0 ··· 0 . .. . .. · · · σn
=
v1T
v2T .. . T vn
v1T v2T .. . T vn
=
σ1 u1 v1T n X
+
σi ui viT .
σ2 u2 v2T
+ ··· +
σn un vnT
2
i=1
Jelas nilai singular σk∗ +1 , · · · , σn lebih kecil, dibanding σ1 , · · · , σk∗ untuk k ∗ < n, maka dengan menghilangkan n − k ∗ ruas kanan bentuk (3.6) merupakan hampiran yang baik untuk matriks A. Definisi III.2.1 Misalkan matriks A = (aij )n×n . Norm Frobenius dari matriks P P 21 n n 2 A ∈ Cn×n didefinisikan sebagai kAkF = |a | . ij i j
42 Teorema tentang hampiran rank rendah pertama kali dikemukakan oleh Eckart dan Young yang dapat dilihat pada Eckart,Carl [4]. Teorema III.2.4 Misalkan A =
Pr
i=1
σi ui viT ∈ Mn (R) bentuk dekomposisi nilai
singular dari A dengan σ1 ≥ σ2 ≥ · · · ≥ σr > 0 adalah semua nilai singular tak nol dari A. ϕ = {X ∈ Mn (R) | rank (X) = 1 atau X = 0}. Tulis A[1] = σ1 u1 v1T . Maka A[1] memenuhi persamaan
kA − A[1] kF = minX∈ϕ kA − XkF
(3.7)
Teorema III.2.4 mengatakan bahwa A[1] adalah matriks berrank 1 yang terdekat dengan matriks A, berdasarkan norm Frobenius. Bukti: Dalam bukti ini kita asumsikan bahwa nilai minX∈ϕ kA − Xk ada. Jadi misalkan X0 ∈ ϕ sehingga kA − X0 kF = minX∈ϕ kA − XkF . Selanjutnya akan dibuktikan kA − X0 kF = kA − A[1] kF . Jelas bahwa A[1] ∈ ϕ sehingga kA − X0 kF = minX∈ϕ kA − XkF ≤ kA − A[1] kF . Jadi kA − X0 kF ≤ kA − A[1] kF Misalkan bentuk dekomposisi nilai singular dari X0 adalah
w 0 T X0 = Q P 0 0 = QΩP T .
untuk suatu w ∈ R+ , w > 0
43 Tulis B = QT AP yang berarti A = QBP T sehingga
kA − X0 kF = kQ(B − Ω)P T kF = kB − ΩkF .
b11 B12 Misalkan B = B21 B22 maka kA − X0 k2F = kb11 − wk2F + kB12 k2F + kB21 k2F + kB22 k2F . Andaikan B12 6= 0 maka kB12 k2F > 0.
w B12 T Perhatikan bahwa terdapat Y = Q P 0 0
∈ ϕ sehingga
2 2
b11 − w 0
w B 12
= kA − Y k2F = B −
B21 B22 0 0
F
F
= kb11 − wk2F + kB21 k2F + kB22 k2F < kA − X0 k2F
kontradiksi dengan pemisalan bahwa X0 memenuhi persamaan
kA − X0 kF = minX∈ϕ kA − XkF .
Jadi haruslah B12 = 0.
b11 0 Dengan cara serupa dapat ditunjukkan bahwa B21 = 0. Jadi B = . 0 B22
44
b11 0 T Sekarang bentuk Z = Q P maka Z ∈ ϕ dan diperoleh 0 0
kA − Zk2F = kB22 k2F ≤ kb11 − wk2F + kB22 k2F = kA − X0 k2F .
Karena kA − X0 kF = minX∈ϕ kA − XkF dan Z ∈ ϕ maka kA − Zk2F = kA − X0 k2F yang berarti kb11 − wk2F = 0 atau b11 = w. w 0 Jadi QT AP = dengan w adalah nilai singular tak nol dari X0 . 0 B22 Karena rank(A) = r maka rank (B22 ) = r − 1. Misalkan B22 = U2 ΛV2T , bentuk dekomposisi nilai singular dari B22
0 λ1 ... dengan Λ = λr−1 0 0 Diperoleh
λ1 ≥ 0 · · · ≥ λr−1 > 0.
w
λ1 0 1 0 .. A = Q . 0 U2 λr−1 0
1 0 P 0 V2T
0
45 adalah bentuk dekomposisi nilai singular dari A, sehingga
kA −
X0 k2F
=
kB22 k2F
=
kΛk2F
=
r−1 X
λ2i
i=1
dan λ1 , · · · , λr−1 , w adalah nilai singular dari A. Supaya nilai
Pr−1 i=1
λ2i minimal
haruslah w = σ1 dan λ1 = σ2 ≥ λ2 = σ3 ≥ · · · ≥ λr−1 = σr . Jadi
kA − A[1] kF = k
r X
r X
σi ui viT kF =
i=2
=
! 21 σi2
i=2
! 12
r X
λ2i−1
i=2
=
! 21
r−1 X
λ2i
i=2
2
= minX∈ϕ kA − XkF .
Teorema III.2.5 Menurut Gass,S.I.,Rapcsak [6] Dekomposisi nilai singular pada matriks positif yang konsisten A memenuhi:
c1 w1 c w 2 2 c1 A= . c2 .. cn wn
1 , c1 w 1
1 , c2 w 2
···
1 cn w n
n dengan w = wi ∈ R+
dengan c1 dan c2 adalah konstanta positif sehingga c21 = dengan
c1 c2
adalah nilai singular pada A.
Pn 1 2 i=1
wi
, c22 =
Pn 1
1 i=1 w2 i
,
46 Bukti: Berdasarkan Corolari II.1.15 rank matriks positif yang konsisten = 1, dengan bentuk umum matriks A adalah:
w1 w2
w1 w1
w 2 w A = .1 ..
w2 w2
.. . wn w2
wn w1
···
w1 wn
··· .. .
w2 wn
···
wn wn
.. .
w w w 1 1 1 1 w2 1 w2 1 w2 = . ··· w1 .. w2 ... wn ... wn wn wn c w c w c w 1 1 1 1 1 1 1 c2 w2 1 c1 w2 1 c1 w2 = ··· c1 w1 ... c1 w2 ... c1 wn ... cn wn c1 wn c1 wn c1 c2 w1 c1 c2 w1 c1 c2 w1 1 c1 c2 w2 1 c1 c2 w2 1 c1 c2 w2 · · · = .. .. .. c1 c2 w1 c1 c2 w2 c1 c2 wn . . . c1 c2 wn c1 c2 wn c1 c2 wn c2 w1 c2 w1 c2 w1 c c2 w2 c c2 w2 c w c1 2 2 1 1 = ··· c1 c2 w1 ... c1 c2 w2 ... c1 c2 wn ... c2 wn c2 wn c2 wn
47
c w c w 2 1 2 1 c1 1 1 c2 w2 1 c2 w2 A= . . ··· c2 c1 w1 .. c1 w2 .. c1 wn c2 wn c2 wn c1 w1 c1 c2 w2 1 1 1 . = . c w , c w , ··· c w n n 1 1 2 2 c2 .. cn wn
c w 2 1 c2 w2 . .. c2 wn
2
Misalkan matriks A[1] adalah matriks ukuran n×n yang mempunyai rank 1, dibentuk dari nilai singular terbesar dan berkorespondensi dengan vektor singular kiri dan kanan pada A. Matriks A akan didekati dengan matriks A[1] .
III.3
Menentukan Prioritas AHP Menggunakan Dekomposisi Nilai Singular
Dalam subbab ini akan dibahas metode menentukan vektor bobot dari suatu matriks perbandingan berpasangan A dengan memanfaatkan dekomposisi nilai singular dari A. Secara umum yang akan dilakukan ada 2 langkah : 1. Menaksirkan A[1] matriks rank satu yang dekat dengan A. 2. Menaksirkan matriks perbandingan berpasangan yang transitif yang dekat dengan matriks A[1] . Dari Teorema III.2.2 dan Teorema III.2.3 didapat A[1] = σ1 u1 v1T , merupakan hampiran matriks rank satu yang terbaik pada matriks A dengan menggunakan norm Frobenius, yaitu matriks A[1] adalah solusi optimal masalah meminimumkan jarak
48 dalam bentuk kA − A[1] k = min
n X n X
(aij − xij )2
(3.8)
i=1 j=1
untuk semua matriks X = (xij ) rank satu. Lema III.3.1 Vektor singular kiri u dan vektor singular kanan v yang berasosiasi dengan nilai singular terbesar σ1 dan merupakan vektor eigen matriks AAT dan AT A; komponen- komponennya positif. Bukti: Misalkan A = U
P
V T , berdasarkan Teorema II.1.17 ada vektor x positif
yang memenuhi AT Ax = σ12 x,dengan vektor eigen yang berkaitan nilai eigen σ12 . Lebih lanjut setiap vektor eigen dari AT A yang berkaitan dengan σ12 adalah kelipatan dari x. Artinya vektor singular dari A yang terkait dengan σ1 memenuhi v1 = kx, untuk suatu k. Pilih untuk k > 0 dan karena x > 0 maka didapat v1 = sehingga v1 > 0 dipenuhi, selanjutnya bentuk u1 =
Av1 σ1
=
x A kxk
σ1
, karena
x kxk
x kxk
> 0,
2
A > 0 dan σ1 > 0 maka u1 > 0.
AHP tujuannya tidak untuk menemukan hampiran satu rank yang terbaik pada A, tetapi untuk mendapatkan hampiran yang baik pada vektor prioritas. Pemecahan masalah ini diterjemahkan sebagai masalah meminimumkan suatu ukuran atau jarak. Karena komponen vektor u1 dan v1 positif, Merujuk dari Kullback dan Leibler I-divergence information theory approach for measuring the difference of two discrete probability distributions yang bisa di lihat di Mes` z aros,Cs [8], maka ukuran tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah di atas. Kullback dan Leibler n mendefinisikan jarak antara x dan y dengan x, y ∈ R+ adalah
D(xky) =
n X i=1
n
xi ln
n
X xi X − xi + yi , yi i=1 i=1
(3.9)
49 Perhatikan fungsi real u f (t) = uln − u + t t −u f 0 (t) = +1 t
untuk setiap t ∈ R+
untuk suatu u ∈ R+
Jadi titik kritis f (t) adalah t = u. Misalkan t0 = u maka, u − u + t0 t0 u = uln − u + u u
f (t0 ) = uln
= uln1 − 0 =0
Untuk t > u maka nilai f (t) positif dan untuk t < u nilai f (t) juga positif. Jadi u merupakan titik minimum. Walaupun f (t) ≥ 0, tetapi tidak memenuhi sifat transitif dan ketaksamaan segitiga pada metrik. Dengan memanfaatkan fungsi f (t) tersebut, dapat disimpulkan bahwa D(xky) ≥ 0 dan D(xky) = 0 jika dan hanya jika x = y. Karena A[1] bukan matriks perbandingan berpasangan, selanjutnya A[1] didekati dengan suatu matriks perbandingan berpasangan yang transitif A˜ =
1 T w . w
50 Diperoleh
A[1] −
1T 1 T 1T 1 w = u1 v1T − u1 ( ) + u1 ( ) − wT w u1 u1 w 1 1 1 = u1 v1T − ( )v1T + ( )v1T − wT . v1 v1 w
Perhatikan bahwa: Jika w dekat dengan
1 u1
maka A˜ =
1 T w w
dekat dengan A[1] . Begitu pula jika w dekat
˜ = 1 wT juga dekat dengan A[1] . Dari argumentasi ini maka dicari dengan v1 maka w A w1 . P .. dengan wi = 1 sehingga vektor w = wn Berdasarkan (3.9) menentukan vektor w yang dekat
1 u1
dan vektor w yang dekat v
dapat diterjemahkan sebagai masalah meminimumkan fungsi g(w) berikut: 1 g(w) = D(ukw) + D( kw) v n n n n n n X X X X X 1 1 1 X ui ui + wi + ln − + wi , = ui ln − wi v vi wi v i=1 i=1 i=1 i=1 i i=1 i i=1 dengan kendala eT w = 1,
n w ∈ R+ .
(3.10) Diperoleh
min g(w) =
n X i=1
karena
Pn
i=1
P P ui , ni=1 wi = 1 dan ni=1
n
ui X 1 1 ui ln + ln wi i=1 vi vi wi 1 vi
tidak bergantung pada w.
(3.11)
51 Diperoleh: 1 1 1 − w1 v1 w1 1 1 = −(u1 + )( ) v1 w1
gw1 (w1 ) = −u1
.. . gwn (wn ) = −(un +
(3.12)
1 1 )( ) vn wn
diperoleh:
∇g(w1 , w2 , · · · , wn ) = (gw1 (w1 ), gw2 (w2 ), · · · , gwn (wn )) ∇h(w1 , w2 , · · · , wn ) = (hw1 , hw2 , · · · , hwn ) = (1, 1, · · · , 1)
Menggunakan metode pengali Lagrange titik kritis harus memenuhi persamaan :
∇g = λ∇h h=0
berarti
gw0 1 (w1 ) = λ.1 gw0 2 (w2 ) = λ.1 .. . gw0 n (wn ) = λ.1
52 diperoleh
λ = gw1 (w1 ) 1 1 )( ) v1 w1
= −(u1 + .. . λ = gwn (wn ) = −(un +
1 1 )( ) vn wn
λ = −(ui +
1 1 )( ) vi wi
Jadi
n X
wi = 1, w ∈
(3.13)
n R+
i=1
Untuk suatu indeks j λ = −(uj +
1 )( w1j ). vj
Selanjutnya kita bandingkan wj dengan
wi kita peroleh: 1 )( w1j ) vj 1 )( w1i ) vi 1 )( w1j ) vj 1 )( w1i ) vi
−(uj + −(ui + −(uj + −(ui + uj + wj
1 vj
.
ui +
Karena
λ =1 λ
=1
wi =1 ui + v1i
uj +
Pn
=
1 vj 1 vi
=
wj wi
i=1 wj = 1 dengan menjumlahkan kolom j diperoleh
Pn
j=1
uj + v1
j
ui + v1
i
=
1 wi
53 Jadi, 1 vi
ui +
wi = Pn
j=1
Misalkan gi (wi ) = ui ln wuii +
1 ln vi1wi vi
(3.14)
1 vj
uj +
, untuk i = 1, · · · , n,
dan wi > 0.
Dari persamaan (3.12) diperoleh pula :
g1” (w1 ) =
u1 +
1 v1
w12 .. .
gn” (wn )
=
un +
1 vn
wn2
Jadi
gi” (wi )
=
1 vi
ui + wi2
>0
∀i = 1, 2, · · · , n.
Jadi, karena penyebut > 0 dan ui +
gi” =
ui + wi2
1 vi
1 vi
> 0 maka
> 0,
i = 1, · · · , n.
(3.15)
Hal tersebut menunjukkan bahwa gi (wi ) cekung ke atas dan titik (wi , g(wi )) adalah merupakan titik minimum. Selanjutnya untuk gi , i = 1, 2, · · · , n g mempunyai solusi tunggal sesuai persamaan (3.14) yang komponen-komponennya positif. Artinya bahwa jarak A˜ = ( w1 wT ) dari matriks A[1] yaitu matriks yang mempunyai rank satu dengan matriks A cukup dekat. Sehingga kita dapat menggunakan matriks
54 A˜ = ( w1 wT ) untuk menentukan vektor prioritas dari matriks A. Dengan demikian untuk menentukan vektor bobot dari suatu matriks perbandingan berpasangan, dengan menggunakan metode dekomposisi nilai singular dapat dihitung dengan menggunakan vektor singular kiri dan kanan yang berkorespondensi dengan nilai singular terbesar diperoleh dengan rumus sebagai berikut
wi = Pn
ui +
j=1 (uj
1 vi
+
1 , ) vj
(3.16)
dengan u = (u1 , u2 , · · · , un ) dan v = (v1 , v2 , · · · , vn ) adalah vektor singular kiri dan kanan yang berasosiasi dengan nilai singular terbesar pada matriks perbandingan berpasangan A.
III.4
Contoh Perhitungan Menentukan Prioritas
Untuk lebih jelasnya berikut akan disajikan contoh perhitungan menentukan prioritas dalam matriks perbandingan berpasangan A menggunakan dekomposisi nilai singular. Misalkan
1 0.5 1.25 A= 1 2.5 2 , 0.8 0.4 1
2 0.8 1 diperoleh AT = 0.5 1 0.4 1.25 2.5 1 7.05 5.64 2.82 dan AT A = 2.82 1.41 3.525 . 7.05 3.525 8.8125
55 Langkah selanjutnya dicari nilai eigen dari matriks AT A didapat λ1 = 15.863 dan λ2 = 0 dan λ3 = 0. Vektor eigen yang bersesuaian dengan λ1 = 15.863 adalah v1 = (0.596 0.298 0.745), vektor eigen yang bersesuaian dengan λ2 = 0 adalah v2 = (0 0.928 − 0.371) dan vektor eigen yang bersesuaian dengan λ3 = 0 adalah v3 = (0.803 − 0.222 − 0.554). Vektor-vektor vi yang saling ortonormal adalah
0.447 0.596 0.667 V= 0.298 0.333 −0.894 0.745 −0.667 0 Selanjutnya akan ditentukan vektor u1 , u2 dan u3
1 0.5 1.25 0.59628 1 1 2 0.29814 u1 = Av1 = √ 1 2.5 σ1 15.863 0.8 0.4 1 0.74536
serta vektor u2 dan vektor u3 diperoleh
0.151 0.894 u2 = 0.301 u3 = −0.447 . 0 −0.942
0.421 = 0.842 0.337
56 Sehingga didapat dekomposisi nilai singular dari matriks A sebagai berikut:
A=U
X
VT
0.894 0.421 0.151 = 0.842 0.301 −0.447 0.337 −0.942 0 1 0.5 1.25 . = 2 1 2.5 0.8 0.4 1
0.745 3.98 0 0 0.596 0.298 0 0 0 0.667 0.333 −0.667 0 0 0 0.447 −0.894 0
Kemudian akan ditentukan prioritas dari masing-masing alternatif. Untuk baris ke-1, diperoleh u1 +
w1 = Pn
j=1
=
uj +
0.421 + 2.099 = 7.842 = 0, 264
1 v1 1 vj
1 0.596
0.421 + + 0.151 +
1 0.596 1 0.298
+ 0.894 +
1 0.745
57 Untuk baris ke-2, diperoleh u2 +
w2 = Pn
j=1
1 v2
uj +
=
0.421 + 4, 117 = 7.842
1 vj
1 0.596
0.842 + + 0.151 +
1 0.298 1 0.298
+ 0.894 +
1 0.745
0.337 + + 0.151 +
1 0.745 1 0.298
+ 0.894 +
1 0.745
= 0, 525.
Untuk baris ke-3,diperoleh u3 +
w3 = Pn
j=1
1 v3
uj +
=
0.421 + 1.655 = 7.842
1 vj
1 0.596
= 0, 211.
Jadi urutan prioritas sebagai dasar pengambilan keputusan adalah : w2 = 0.525, w1 = 0.264 kemudian w3 = 0.211.