BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA
Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan air bersih, permintaan terhadap air tanah sebagai alternatif sumber air bersih juga ikut meningkat. Perubahan tersebut membawa konsekuensi terhadap keseimbangan sumberdaya lingkungan. Ketersediaan air tanah saat ini telah mengalami penurunan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif saat ini air tanah dan air permukaan telah mengalami penurunan mutu. Secara kuantitatif cadangan air tanah di DKI Jakarta semakin berkurang dari tahun ketahun.
3.1.
Kondisi Geografis DKI Jakarta
DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut. Terletak pada posisi 6o12’ Lintang Selatan dan 106o48’ Bujur Timur. Luas Wilayah DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 661,52 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Terdapat tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, terdapat 27 buah sungai/ saluran/ kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan.
Di sebelah Utara membentang pantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 sungai dan 2 buah kanal. Sementara di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah Jawa Barat dan sebelah Barat dengan Provinsi Banten, sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.
Iklim kota Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu maksimum udara berkisar 30,8 OC pada siang hari, dan suhu minimum udara berkisar 26,1 OC pada
- 29 -
malam hari. Curah hujan sepanjang rata-rata mencapai 1.600 mm dengan tingkat kelembaban udara mencapai 77,1 % dan kecepatan angin rata-rata 2,8 m/detik. Daerah di sebelah Selatan dan Timur Jakarta terdapat rawa/ situ dengan total luas mencapai 96,5 Ha. Kedua wilayah ini cocok untuk digunakan sebagai kawasan resapan air. Dengan iklimnya yang lebih sejuk sehingga ideal untuk dikembangkan sebagai wilayah permukiman. Kegiatan industri lebih banyak diarahkan di Utara dan Timur Jakarta sedangkan untuk kegiatan perkantoran lebih banyak di daerah Jakarta Pusat, Barat dan Selatan.
3.2.
Kondisi Demografis DKI Jakarta
Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006 adalah 8,96 juta jiwa. Dengan luas wilayah 661,52 km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,5 ribu/km2, sehingga menjadikan provinsi terpadat penduduknya di Indonesia.
Grafik 3.1. Jumlah Penduduk DKI Jakarta dari tahun ketahun
Jumlah penduduk
1961
1971
1980
1990
2000
2006
2,906,533
4,576,018
6,480,654
8,227,746
8,347,083
8,965,673
Sumber : BPS 2007
3.3.
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di propinsi DKI Jakarta terdiri dari perumahan, Industri, perkantoran dan pergudangan dan taman dan lain-lain. Daerah di sebelah Selatan dan Timur Jakarta terdapat rawa/ situ dengan total luas mencapai 96,5 Ha. Kedua - 30 -
wilayah ini cocok untuk digunakan sebagai kawasan resapan air. Dengan iklimnya yang lebih sejuk sehingga ideal untuk dikembangkan sebagai wilayah permukiman. Kegiatan industri lebih banyak diarahkan di Utara dan Timur Jakarta sedangkan untuk kegiatan perkantoran lebih banyak di daerah Jakarta Pusat, Barat dan Selatan. Tabel 3.2. Luas Tanah dan Penggunaannya di DKI Jakarta No.
Penggunaan
Luas (Ha)
Persentase
1
Perumahan
44.196,11
66,8
2
Industri
3.559,00
5,3
3
Perkantoran/ Gudang
8.262,36
12,5
4
Taman
1.084,89
1,6
5
Lainnya
9.049,62
13,68
Luas Tanah
66.152,00
100
Sumber: Jakarta dalam Angka, BPS, 2006
3.4.
Hidrogeologi
Secara morfologi daerah Jakarta merupakan landaian dengan kemiringan bervariasi 0 - 3 % dan 40 persen luas daerah DKI Jakarta adalah berada di bawah permukaan laut. Lapisan tanah Jakarta dibentuk oleh satuan batuan endapan permukaan yang terdiri atas kipas aluvium yang tersusun dari tufa halus berlapis, tufa konglomerat, tufa konglomerat berselang-seling dengan tufa pasir dan tufa batuapung. Bagian permukaan dari endapan tersebut telah mengalami pelapukan dan umumnya menampakkan bentuk sebagai tanah merah halus berukuran lanau sampai lempung.
Air tanah di Jakarta pada dasarnya termasuk dalam Cekungan Air tanah Jakarta (Groundwater of Jakarta Basin) yang meliputi daerah-daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Air tanah Jakarta terdapat dalam akuifer dari batuan yang berumur kwarter yang terdiri atas endapan laut, sungai, rawa dan endapan gunung api. Endapan laut dijumpai sepanjang pantai Jakarta, tersusun dari lempung dan pasir yang mempunyai ukuran butir pasir halus sampai pasir kasar dengan sifat lepas dan ketebalannya berkisar 2,0 - 5,0 meter. Endapan - 31 -
sungai merupakan endapan alur sungai lama yang penyebarannya relatif tegak lurus dengan garis pantai yang tersusun atas kerikil, pasir, lempung dan lanau. Proses pengendapan batuan-batuan tersebut terdapat di daerah Pantai Jakarta sampai Utara Depok. Ke arah Selatan Jakarta hingga Puncak Bogor daerahnya tersusun oleh endapan asal gunung api yang terdiri atas batuan lempung, tufaan, pasir dan kerikil.
Secara umum sistem air tanah di daerah Cekungan Air tanah Jakarta dibagi menjadi 3 yaitu: daerah peresapan (recharge), daerah aliran (transmition) dan daerah pelepasan (discharge). Daerah peresapan terletak di bagian selatan yaitu antara Depok sampai Puncak-Bogor merupakan daerah yang berperanan penting dalam berlangsungnya proses pengisian air tanah. Daerah pelepasan terletak di sekitar pantai, sedangkan daerah aliran terletak di antara keduanya.
3.5
Visi Misi Kota DKI Jakarta
3.5.1. Visi Pembangunan Kota Jakarta diarahkan dengan visi mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar dengan kota-kota besar negara maju, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkelanjutan.
3.5.2. Misi Untuk mewujudkan visi, maka arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan 3 (tiga) misi utama, yaitu: a.
membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat;
b.
mengembangkan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan;
c.
mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional.
3.6
Potensi dan Daya Dukung Air Tanah DKI Jakarta
Potensi air tanah adalah jumlah air keseluruhan yang terdapat dalam tanah, baik yang terdapat di dalam air tanah dangkal (akuifer bebas) maupun di dalam air tanah dalam (akuifer tertekan). Perhitungan tingkat ketersediaan air tanah sangat penting dilakukan dalam rangka kegiatan pengelolaan sumberdaya air. Air tanah - 32 -
merupakan salah satu unsur dalam siklus hidrologi yang terjadi secara alamiah. Apabila pemanfaatan air tanah sampai memutuskan salah satu mata rantai siklus hidrologi, misalnya air yang diturap melebihi besarnya pengisian kembali (natural recharge), maka akan terjadi pengurangan volume air tanah. Pengurangan volume air tanah akan terlihat pada penurunan muka air tanah atau penurunan tekanan air tanah secara terus-menerus, sehingga sisa air tanah yang tertinggal tidak dapat dikeluarkan lagi. Akhirnya sumber air tanah akan mengering dan akan menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi lingkungan.
Namun demikian, hasil perhitungan tersebut apabila dibandingkan dengan dampak yang terjadi akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, diyakini tidak mencerminkan pengambilan air tanah yang nyata di DKI Jakarta. Hal ini disebabkan untuk mengetahui jumlah pasti pengambilan air tanah dari suatu daerah bukanlah merupakan hal yang mudah. Kesulitan-kesulitan di lapangan yang terjadi antara lain adalah tidak semua sumur yang diambil air tanah terdaftar, dari sumur yang terdaftar tidak semuanya terpasang meter air, dan tidak semua angka yang tercantum dalam meter air menunjukkan jumlah pengambilan sebenarnya, serta tidak semua melaporkan secara rutin jumlah pengambilan air tanahnya. Total cadangan sumber daya air tahun 2006 tercatat sebesar 6.619,25 juta m3 terdiri dari sumber air hujan sebanyak 2.885,37 juta m3, air permukaan sebanyak 3.472,48 juta m3 dan air tanah sebanyak 281,67 m3. Sedangkan sumber daya air yang dapat dimanfaatkan sebesar 728,30 juta m3.
Secara nasional, pemanfaatan air tanah menunjukkan hampir 70 % kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan dan perdesaan berasal dari air tanah. Sedangkan untuk dunia industri, angka tersebut lebih besar lagi, yaitu sekitar 90 %. Khusus untuk DKI Jakarta, berdasarkan Surver Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2000 oleh BPS Provinsi DKI Jakarta, diketahui bahwa 44,56 % rumah tangga di seluruh DKI Jakarta menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih. Bahkan untuk daerah Jakarta Selatan sebesar 83,88 % menggunakan air tanah sebagai sumber air bersihnya, angka yang paling kecil dimiliki oleh derah Jakarta Utara,
- 33 -
yaitu hanya sebesar 1,81 %. Secara terperinci data penggunaan air tanah oleh masyarakat di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Berdasarkan angka-angka di atas, peranan air tanah sangat signifikan dalam mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan, khususnya di DKI Jakarta. Dari data kenaikan pemakaian air tanah dan berkurangnya daya dukung lingkungan
terhadap
pengisian
dan
penggantian
kembali
(recharge/
replenishment) air tanah, dapat diprediksi bahwa kondisi air tanah DKI Jakarta telah berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Karena itu, upaya pengelolaan dan pelestariannya menjadi penting dan memiliki skala prioritas utama.
3.7.
Penggunaan Air Tanah di DKI Jakarta
Berdasarkan angka-angka pada Tabel 3.4 tersebut, peranan air tanah sangat signifikan dalam mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat perkotaan, khususnya di DKI Jakarta. Tabel 3.3 Persentase Cara Memperoleh Air Minum Di DKI Jakarta Kotamadya
PAM/aqua/pedagang keliling 16.12
Air Tanah
Jumlah
83.88
100
Jakarta Timur
32.57
67.43
100
Jakarta Barat
72.78
27.22
100
Jakarta Pusat
82.55
17.45
100
Jakarta Utara
98.19
1.81
100
DKI Jakarta
55.44
44.56
100
Jakarta Selatan
Sumber: BPS 2006
3.8.
Kondisi Air Tanah
Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang sangat esensial bagi kehidupan umat manusia. Ketersediaan sumberdaya air di bumi tidak merata, dinamis dari waktu ke waktu, dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.
- 34 -
Kota Jakarta (dulu Batavia) pada tahun 1880 komunitas penduduk hanya ratusan ribu orang. Pada saat itu, untuk memnuhi kebutuhan air bagi warga DKI Jakarta cukup disediakan 10 buah sumur artesis. Semua sumur itu mengalirkan sendiri air tanah (free flowing) tanpa dipompa sekalipun. Ini terjadi karena muka air tanah berada di atas permukaan tanah sekitar 8-10 meter dari daerah Tanjung Priok. Namun seiring dengan kondisi, maka sejak tahun 1922 Pengelolaan air minum dilakukan oleh PAM Jaya dan air yang digunakan sebagai sumber airnya sebagian besar adalah dari waduk Jatiluhur.
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan kota Jakarta berdampak pada peningkatan kebutuhan air bersih. Bahkan saat ini kebutuhan air bersih di DKI Jakarta pertahun mencapai 547,5 juta meter kubik sementara kemampuan pasokan air oleh PAM Jaya adalah 295,65 juta meter kubik atau hanya dapat memenuhi 54 persen dari kebutuhan air bersih DKI Jakarta. Hal ini berdampak pada peningkatan eksploitasi air tanah (Grafik 3.5).
Eksploitasi air tanah yang begitu besar mengakibatkan ketidakseimbangan antara pengambilan dengan pemulihan air tanah kembali akibat degradasi lingkungan, karena secara fisiografis, wilayah DKI Jakarta merupakan bagian dari sub-sistem kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) hulu hilir, yang mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi oleh proses-proses alamiah yang berlangsung di dalam DAS. Grafik 3.4. Eksploitasi Air Tanah di DKI Jakarta
300 250 200 150 100 50 0 Eksploitasi air tanah (juta meter kubik)
1965
1975
1985
1995
2005
7
15.7
24.1
34.5
251.8
- 35 -
Sumber Dinas Pertambangan DKI Jakarta tahun 2005
Penyedotan air tanah di DKI Jakarta diperkirakan mencapai 251,8 juta meter kubik. Angka tersebut belum termasuk air bawah tanah yang disedot untuk proyek pembangunan dan industri. Sedangkan batas aman penyedotan air bawah tanah di Jakarta adalah sekitar 186,2 juta meter kubik. Artinya, analisa keseluruhan pada tahun 2005 menunjukkan adanya "defisit" air bawah tanah sebesar 66,6 juta meter kubik (belum termasuk eksploitasi air bawah tanah untuk proyek pembangunan dan industri, yang berjumlah besar). Bahkan pengambilan air tanah pada musim kemarau semakin besar,
Pengambilan air tanah secara besar-besaran tersebut
jelas berdampak pada kekosongan air di dalam tanah. Akibatnya, air laut merembes masuk dan mengisi kekosongan air tanah tersebut hingga jauh ke dalam (intrusi air laut). Dan memang, rembesan air asin dari Teluk Jakarta kini telah menjangkau Monas. Menurut Hasil penelitian Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan menyebutkan, intrusi air laut kini hampir merata di seluruh wilayah Jakarta. Wilayah dalam radius 10-15 kilometer di Ibu Kota pada umumnya telah dilanda intrusi air laut. Misalnya, air laut telah merasuk ke daerah Kebun Jeruk (Jakarta Barat) dan wilayah Segi Tiga Emas Setiabudi, Kebayoran Baru, Cengkareng, dan Senen (Jakarta Pusat). Padahal, 20 tahun lalu luas daratan yang terkena intrusi air laut baru sekitar dua kilometer dari garis pantai.
Grafik 3.5. Kondisi air tanah pada 48 sumur pantau di DKI Jakarta Jumlah sumur pantau
18
12 9
Baik
9
Cemar ringan
Cemar sedang
Sumber Hasil penelitian BPLHD DKI Jakarta 2004 - 36 -
Cemar berat
Selain terjadinya penurunan kuantitas, air tanah juga mengalami penurunan kualitasnya, dari hasil pemantauan yang dilakukan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah
(BPLHD) DKI Jakarta terhadap 48 sumur yang
tersebar di lima wilayah kota Jakarta pada Oktober 2004 menunjukkan bahwa air tanah di Jakarta memiliki kandungan pencemar organik dan anorganik yang tinggi. Akibatnya, air tanah di wilayah Jakarta tidak sesuai lagi dengan baku mutu peruntukannya, terutama air minum. Saat ini kualitas air tanah Jakarta semakin memburuk, bahkan beberapa daerah di Jakarta sudah tidak layak dikonsumsi. Hasil pemantauan BPLHD DKI Jakarta terhadap 48 sumur dilakukan di Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan 27 sumur tercatat cemar berat dan cemar sedang dan 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik (grafik 4.5). Wilayah yang memiliki kualitas air paling buruk adalah Jakarta Utara karena wilayah ini umumnya digunakan untuk kawasan industri dan pemukiman padat, sedangkan untuk wilayah dengan kualitas air masih cukup baik adalah Jakarta Selatan. Hasil pemantauan juga menunjukkan 15 persen sumur melebihi baku mutu untuk parameter besi (Fe) dan 27 persen melebihi baku mutu untuk parameter Mangan (Mn).dan 46 persen melebihi baku mutu untuk parameter Detergen (MBAS). Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat Jakarta tidak dapat lagi memanfaatkan air tanah dangkal sebagai pemenuhan kebutuhan air bersihnya oleh karena kondisi air tanah dangkal yang tidak memungkinkan untuk dikonsumsi. Bahkan daerah dengan kondisi air tanah yang tidak dapat dikonsumsi tersebut semakin meluas.
- 37 -