BAB III KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM KOMUNITAS PONDOK DAMAI KOTA SEMARANG
A. Sekilas Tentang Pondok Damai Kota Semarang 1. Pengertian Pondok Damai Pondok Damai adalah komunitas pegiat lintas iman, kumpulan anak-anak muda dari berbagai agama dan kepercayaan. Dalam komunitas ini tak mengenal kasta berdasarkan agama. Tak ada istilah agama yang disayangi negara dan tidak disayangi oleh negara, semua sama.1 Teddy menuturkan bahwa Pondok Damai itu hanya sekian dari kegiatan lintas iman yang mereka bangun. Karena mereka masing-masing
membawa
gerbong
atau
kendaraan
lembaganya. Teddy tergabung dalam Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), dan juga melibatkan teman-teman UIN Walisongo Semarang. Saat itu Teddy dan Asrori ditempatkan di Gereja Isa Al Masih, demikian juga Awi. Dan melalui Pondok Damai ataupun komunitas asal, mereka saling menyinergikan dan mengembangkan berbagai aktivitas yang mendukung terciptanya perdamaian antar pemeluk agama. Dalam wawancaranya, Teddy menyampaikan bahwa sebenarnya sulit untuk mendefinisikan komunitas Pondok
1
http://jurnal.elsaonline.com/?p=56, Oktober 2016 pada pukul 22.10
53
diakses pada tanggal 20
54 Damai ini. Menurut beliau, Pondok Damai merupakan komunitas sementara, bukan permanen. Artinya Pondok Damai merupakan rumah sementara atau rumah singgah. Sedangkan rumah nyatanya berada di komunitas masingmasing. “Karena Pondok Damai ini rumah sementara, maka rumah nyatanya ya di komunitas dimana teman-teman berada. Jadi mereka tidak akan selamanya di Pondok Damai itu. Formalnya yang diadakan Pondok Damai itu hanya satu tahun sekali, tetapi di sela-sela itu ada kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan oleh teman-teman, dan itu bukan sesuatu yang diplanning secara resmi, itu mengalir saja. Memang agak sulit mendefinisikan komunitas ini, karena kita bukan komunitas yang berwujud, punya legal formal.”2 Hal ini juga disampaikan oleh perwakilan Kamil Ahmed, Kamil Ahmed mengatakan bahwa Pondok Damai merupakan komunitas yang tidak memiliki badan hukum. “Pondok Damai sebenarnya bukan suatu organisasi, lebih kepada jejairng komunitas. Jadi, Pondok Damai merupakan bukan sebuah organisasi yang memiliki NPWP atau sebagai organisasi yang terdaftar. Pondok Damai merupakan sebuah komunitas yang didesaian untuk mewadahi para pemuda Islam dalam rangka menyatukan cita mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Dan hal ini dilaksanakan melalui jaringan non resmi.”3 2
Hasil wawancara dengan Teddy Kholiludin, Direktur eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang) pada tanggal 12 April 2016 3 Hasil wawancara dengan Teddy Kholiludin, Direktur eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang) pada tanggal 12 April 2016
55 2. Sejarah Pondok Damai Kota Semarang Pondok Damai pertama kali digagas oleh Pendeta Roni Candra Kristanto. Mulanya, pada tahun 2007, Roni menjadi pelayan di Gereja Al Masih Pring Gading. Roni menjabat sebagai Ketua Divisi Sosio-Religi-Kultural, sebuah devisi di kepengurusan Gereja Al Masih Pring Gading. Sebagai Ketua Divisi Sosio-Religi-Kultural, Roni mempunyai program untuk membuat komunitas yang menyediakan para pemuda lintas iman untuk berbagi pengalaman masingmasing. Saat itu, Roni memberi nama komunitas tersebut dengan sebutan Pondok Damai. Roni mengawali kegiatan Pondok Damai pada saat 2007. Dia menghubungi teman-teman yang tergabung dalam komunitas lintas iman interfaith. Sebagaian teman-teman lintas iman ada yang mengikuti kegiatan Pondok Damai tersebut. Namun, pada saat itu, dari kalangan muslim, hanya ada satu pemuda muslim yang ikut tergabung dalam kegiatan Pondok Damai tersebut. Oleh karenannya, Roni merasa belum puas. Sehingga Roni melanjutkan ekspansi perekrutan anggota Pondok Damai ke pemuda muslim lain. Salah satunya adalah Roni menghubungi Teddy Kholiludin, seorang Direktur eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang). Dalam sebuah artikel yang termuat pada elsaonline,
disebutkan
bahwa
Roni,
sapaan
jurnal
akrabnya,
menemukan buku berjudul “Dekonstruksi Islam Madzhab
56 Ngaliyan” yang ditulis oleh aktifis-aktifis eLSA. Karena penasaran, lelaki 30 tahun lebih yang baru menikah setahun lalu ini menghubungi penerbit, eLSA melalui surat elektronik. Setelah email diterima, kemudian Direktur eLSA Semarang Tedi Kholiludin bertemu dengan Rony yang kemudian mengenalkan tentang kegiatan pondok damai di Semarang dan mengajak serta Tedi serta teman-temannya di eLSA untuk terlibat di Pondok Damai. Sejak dilaksanakan kali pertama di tahun 2007, komunitas ini rutin setiap tahun hingga 2014 ini, mengadakan live in pondok damai dengan peserta semua agama dan kepercayaan.4 “Pada saat itu, komposisinya hanya ada satu orang Islam di situ, rupanya dia kurang puas. Ia kemudian meng-email saya, sekitar tahun 2007 awal, memperkenalkan diri sebagai orang yang bertanggungjawab di departemen itu, dan dia pernah menyelenggarakan kegiatan lintas iman, yang dinamakan Pondok damai itu”, tutur Teddy.5 Setelah itu, kami ketemuan, membicarakan banyak hal. Di tahun itu, eLSA sudah ada lebih dulu, eLSA sudah berjalan tahun ketiga, dan eLSA sudah melaksanakan banyak kegiatan. Roni adalah orang baru di Semarang, tahun 2007 itu, asli Solo dan baru saja menyelesaikan kuliah di Program Pascasarjana Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Jogjakarta. Kami bertemu dengan berbagai kesamaan, salah satunya adalah saat itu eLSA juga sedang
4
http://elsaonline.com/?p=2990, diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pada pukul 22.05 5 Hasil wawancara dengan Teddy Kholiludin, Direktur eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang) pada tanggal 12 April 2016.
57 menggarap interfaith community atau intervite dialog”, lanjut Teddy.6 Adapun isi surat yang dikirimkan oleh Rony Chandra adalah sebagai berikut: “Salam, Pertama perkenankan saya memperkenalkan diri, saya Rony Chandra, menangani hubungan lintas agama di Gereja Isa Almasih Pringading, Semarang, juga menjadi koordinator dari Pondok Damai, jejaring kaum muda lintas agama. Saya tertarik dengan visi dan misi eLSA, gerak apa yg sudah dilsayakan selama ini, selain penerbitan buku? Apa jawdal agenda rutin yg diadakan? Dan kegiatan apa yg akan diadakan dalam waktu dekat? Bagaimana dengan kemungkinan berjejaring dan bekerjasama dalam membangun wacana multikulturalisme dan pluralisme di Semarang?” Kemudian Teddy Kholiludin membalas pesan dari Rony Chandra. Adapun isi pesan yang dikirim kepada Rony Chandra adalah sebagai berikut: “Maaf baru balas. Terima kasih atas perhatiannya. untuk membangun hubungan ini. saya kira kita perlu melibatkan banyak pihak termasuk dari kalangan agama Budha, Hindu Katolik Kejawen dan lainnya. Untuk kegiatan eLSA, tiap hari jumat kita bekerjasama dengan Koran Sore Wawasan menerbitkan satu artikel disana, ada tawaran bentuk real kerjasamanya?”7
6
Hasil wawancara dengan Teddy Kholiludin, Direktur eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang) pada tanggal 12 April 2016. 7 https://web.facebook.com/notes/tedi-kholiludin/saya-awi-dan rony/10152055020718966/?_rdr,diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pada pukul 22.00
58 Menurut penuturan Teddy Kholiludin, Roni sudah mulai membangun Komunitas Pondok Damai ini pada tahun 2007. Dalam tulisan yang diunggah di sosial media, Teddy menyampaikan sebagai berikut: “Sejak kali pertama datang ke Semarang pada 2007, Rony langsung tancap gas. Ia menghubungi kelompok muda lintas agama di Semarang. Ia mendesain sebuah forum pemuda lintas agama, dengan setting yang agak beda. Bukan pelatihan, seminar atau diskusi. Mereka tinggal bersama-sama di suatu tempat. Lalu ada percakapan tentang pengalaman sebagai seorang Kristen, Katolik, Muslim, Hindu, Buddha, Khonghucu dan lain-lain. Jadi semuanya adalah pembicara sekaligus peserta. Inilah yang oleh Rony disebut sebagai pondok damai itu”.8 Saat itu, pemuda lintas iman yang berasal dari eLSA baru berada di posisi kajian. Yaitu, lembaga perkumpulan pemuda yang mengkaji hal-hal yang terkait sosial dan agama. Selanjutnya, pada tahun 2008, Teddy Kholiludin baru mengikuti komunitas Pondok Damai. Di komunitas ini, Teddy menjadi jembatan pemuda muslim untuk bergabung di Pondok Damai. Sehingga pada tahun 2008, banyak pemuda muslim, termasuk mahasiswa dari UIN Walisongo, yang bergabung di Komunitas Pondok Damai Semarang. Kemudian pada tahun 2009, teman-teman yang berasal dari agama Katolik, mulai ikut gabung. Salah satunya adalah Lukas Awi. Teddy menceritakan bahwa setelah 8
https://web.facebook.com/notes/tedi-kholiludin/saya-awi-danrony/10152055020718966/?_rdr, diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pada pukul 22.00
59 bergabungnya Lukas Awi di Komunitas Pondok Damai, kemana-mana mereka selalu bertiga, yaitu Teddy, Doni, dan Awi. Misalnya, Roni mempunyai agenda diskusi malam minggu dengan teman-teman pemuda, Awi mempunyai acara di ibu amalia , dan ketika eLSA mempunyai acara satu sama lain saling mengundang untuk ikut gabung dalam komunitas intra yang diikuti sebelumnya. 3. Tujuan Pendirian Pondok Damai Tedi Kholiludin menyampaikan, berdirinya komunitas pondok damai murni karena anak-anak muda Semarang ingin menciptakan hidup damai dan tenang. Menurutnya, semua individu wajib terjamin keamanan dan ketenangannya dalam memilih agama dan keyakinan. “Mereka berharap damai melalui Pondok Damai,” kata Tedi.9 Dalam wawancaranya, Teddy menuturkan bahwa tujuan diadakannya Pondok Damai adalah untuk memberi ruang alternatif berdialog. Jika biasanya dialog kegamaan dilaksanakan oleh kalangan elit, seperti ketua NU dengan salah satu Romo, maka Pondok Damai ini dihadirkan untuk memberi ruang kepada para pemuda untuk berdialog keagamaan. Hal ini menunjukkan bahwa dialog keagamaan tidak hanya dilsanakan oleh para tokoh agama tetapi juga oleh para pemuda. Teddy menambahkan bahwa pemuda yang
9
http://elsaonline.com/?p=2990, diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pada pukul 22.05
60 mengikuti kegiatan Pondok Damai ini bukan hanya pemuda yang mempunyai latar beakang agama, tetapi orang-orang yang tidak punya latar belakang pendidikan agama. Sebab, menurut Teddy, pemuda yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama juga bisa mendiskusikan persoalan agama. Dan di Pondok Damai, mereka mendiskusikan agama berdasarkan pengalaman, bukan berdasarkan teori. Sedangkan untuk tujuan jangka panjang, Teddy menuturkan
bahwa tujuan jangka panjang diadakannya
Pondok Damai ini sebenarnya dapat dilihat dari nama komunitas tersebut. Pondok merupakan tempat sementara, bukan permanen. Secara filosofis, Pondok Damai ini hanya dijadikan sebagai ruang sementara. Artinya, ketika para pemuda yang tergabung dalam komunitas Pondok Damai ini sudah selesai mengikuti dan berkiprah di Pondok Damai, maka mereka akan kembali kepada komunitas masing-masing untuk menyebarkan nilai-nilai dan ide-ide yang mereka dapatkan di Pondok Damai. Teddy menuturkan bahwa selayaknya di Pesantren, orang tidak akan selamanya menjadi santri. Meskipun mencari ilmu setulus zaman, tetapi paada praktiknya dia akan kembali pada masyarakat untuk menyebarkan ilmu-ilmunya yang telah ia dapatkan di Pondok Pesantren. Demikian juga Pondok Damai, setiap orang yang tergabung dalam komunitas Pondok Damai ini diharapkan menjadi virus, agen perdamaian.
61 Kemudian menyebarkan kembali ke komunitas masingmasing untuk menyebarkan virus-virus perdamaian sesuai dengan kapasitas dan kemampuanya.10 Teddy, Roni dan Awi hanya menjalankan apa yang mungkin bisa mereka laksanakan. Karena, mereka memiliki bacaan lain terhadap kegiatan-kegiatan lintas iman yang biasanya menghadirkan dialog yang dialogis dan memuat kajian-kajian filosofis. Namun, disisi lain mereka harus masuk di ranah sains untuk masuk ke dalam dunia anak muda. Kerena mereka juga semestinya menjadi bagian terpenting dari proses-proses penanaman nilai bersama ini. Akan tetapi pantanganya adalah, tidak semua anak muda mempunyai latar belakang teologis yang mempunyai kemampuan baik untuk melaksanakan diskusi-diskusi keagamaan. Karena mereka melihat keragaman itu, maka mereka mengadakan dialog yang berdasarkan dengan pengalaman. Jadi, Pondok Damai memaksa kita untuk berdialog bukan dari teori melainkan berdasarkan pengalaman sebagai manusia yang beragama. Manusia yang pernah berjumpa dengan pemeluk agama lain. Dan perjumpaan itu terkadang ada yang mengenakkan dan ada juga yang kurang mengenakkan. Materi yang didiskusikan bukan berdasarkan teori Hans Kung misalnya, tetapi benar-
10
Hasil wawancara dengan Teddy Kholiludin, Direktur eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang) pada tanggal 12 April 2016
62 benar bercerita tentang pengalaman keberagamaan yang masing-masing kita alami. 4. Keanggotaan Komunitas Pondok Damai Kota Semarang a. Latar Belakang Sosial-Keagamaan Peserta Pondok Damai Kota Semarang Berikut
adalah
daftar
nama
peserta
yang
mengikuti komunitas Pondok Damai Kota Semarang: No
Nama
JK
TTL
Agama
1
Widia Dharma
L
…………… ……..., 6 Juli 1991
Budha
2
Yudi Darma
L
Temanggung, 21 Mei 1992
Budha
3
Agapitus Murdaniyant o
L
Semarang, 7 Agustus 1989
Katolik
4
Wida Ismaiva
P
Jepara, 3 Mei 1993
Islam
5
Yuniati S
P
6
Alif Adibatul Latifa
L
7
Acun Paulus
L
Biangrosan, 8 Oktober 1991
Katolik
8
Paulus Leti
L
Binalawan, 9 Juni 1993
Katolik
Pati, 26 Juni 1995 Grobogan, 31 Desember 1993
Islam Islam
Alamat Des. Tanjung Dsn Gronggong Kec. Pakis Aji Kab. Jepara RT 2 RW 6 Lamuk Kalimanggis Kaloran Temanggun g Jl. Seruni 1/55 Telogosari Desa Bandung Harjo Donorojo Jepara Banjarsari Semarang Nusa Indah 1 Ngaliyan Semarang Lembong sari, Semarang Jl. Gergaji Balekamban g No.2 RT 01 RW 07
63
L
Semarang, 10 Februari 1991
Hindu
Jl. Karang Rejo IV Rt 09/ Rw 02 Jatingaleh
L
Semarang, 10 September 1990
Hindu
Jl. Tegalsari Barat I no 7 Semarang
11
Anas Joko Waluyo
L
…………… …….., 19 April 1984
-
Wonosari VII Rt 06/ Rw 03 Semarang
12
Nurul Izzah Dienillah
P
Tegal, 22 Desember 1992
Islam
Ungaran,
13
Firdaus
L
Tegal, 31 Agustus 1991
Islam
14
Subagyo
L
Rembang, 13 April 1991
Buddha
15
Ahmad Luthfi
L
Pati, 17 Mei 1993
Islam
16
Yohanes Sumarno
L
Blora, 24 Maret 1991
Kriaten
17
Wahyu Utomo
L
Temanggung, 2 Mei 1993
Buddha
18
C. Resa Satiti
P
Semarang, 15 Okober 1993
Katolik
19
Devi Oktaviani
P
Pati, 14 Februari 1993
Buddha
20
Titus Bayu Santoso
L
Semarang, 28 Juli 1988
Katolik
21
Muna Rif'atil Akhlaq
P
Salatiga, Mei
Islam
9
I Gede Surya Dinata
10
I komang Jananuraga Caesar Adi Pradipta
07
Tegalgubuk Arjawinang un Cirebon Lasem Kab. Rembang Guyangan Trangkil Pati Blora Candiroto, Temanggun g Jl. Tlogowungu no 6, Pondok Indah Semarang Ds. Pekuwon RT 09/ RW 02 Juwana,Pati, Jawa Tengah Jl. Arjuna no. 11, Semarang Tingkir Lor, Tingkir,
64
22
Rika Puspita Mandasari
P
Surakarta, 25 November 1992
Katolik
23
Lukas Awi Trijianto
L
Brebes, 23 Juni 1979
Katolik
24
Ninik Jumoenita
P
Sragen, 3 Mei 1982
Budha
25
Rony Chandra Kristanto
L
Surakarta, Agustus
Kristen
26
Muhamad Zainal Muwahib
L
Demak, 10 Oktober 1990
Islam
27
Teguh Nugroho
L
Kab. Semarang, 18 Januari 1985
Kristen
28
Ahmad Muntaha Hasan
L
Semarang, 27 Januari 1983
Islam
29
Simon Bulmann
L
Tibingen, 19 Juli 1993
Kristen
30
Karsono
L
-
Sedulur Sikep (SAMIN)
Al
6
Salatiga Jl. Sibela Dalam 2/2 RT 04 /26 Mojosongo Perum Taman Keradenan Asri Blok G7,Sampanga n Kategan RT 4 RW 4 Gemolong Sragen Cendrawaasi h M-4, Solo Baru Ds. Harjowinan gun RT 10/ RW II Kec. Dempet Kab. Demak Srumbung Gunung RT 02/ I Poncoruso Kec. Bawen Kab. Bawen Jl. Gang sari no.39 Kauman Lor, Kec. Pabelan, Kab. Semarang Jl. Diponegoro 233 50512 Ungaran
-
65
31
32
Edi
Fais Riyadi
L
L
-
-
33 Iseh Sharoni
34
35
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 50 51
Hartono
Santoso Tia Rizkya Dilbar Sumadi Sagita Ayu Budiati Irma Rosyidah Sarpani Ahmad Muqsith I Putu Hatesa Aris triyono M enzam sayahputra Antonius Krishna Aditama Aan Nur Hikmah Nono Sarjono Prabhu Sachi Novi
L
L
L
P
-
-
-
-
Sedulur Sikep (SAMIN) Sedulur Sikep (SAMIN) Sedulur Sikep (SAMIN) Sedulur Sikep (SAMIN) Sedulur Sikep (SAMIN)
-
-
-
-
-
Lain-lain -
P
-
Islam
P
-
Islam
L
-
Islam
L
-
Islam
L
-
Hindu
L
-
Hindu
L
-
Islam
L
-
Kristen
L
-
Hindu
L P L L P
-
Budha Islam Budha Hindu Hindu
-
66 Tabel di atas menunjukkan bahwa peserta yang mengikuti komunitas Pondok Damai berasal dari multi agama. Ada yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Konghucu. Selain itu, ada pula yang berasal dari aliran sedhulur sikep (SAMIN). Keberagaman peserta dalam komunitas Pondok Damai ini menunjukkan bahwa Pondok Damai ini didesain sebagai komunitas yang menaungi para pemuda lintas agama dengan tujuan untuk membangun
komunikasi
yang
damai
antar
umat
beragama. Komunitas Pondok Damai diikuti oleh mayoritas kaum pemuda. Hal ini terlihat dari kelahiran para peserta Pondok Damai tahun 1992 ke atas. Adapun peserta yang lahir di tahun 1992 ke bawah merupakan para generasi awal atau mereka yang memiliki jiwa muda yang sangat kuat. Adapun latar belakang sosial peserta Pondok Damai, mayoritas dari peserta Pondok Damai adalah seorang mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa mereka merupakan sekelompok orang yang aktif mendedikasikan diri dalam aktivitas sosial di masayarakat dan sekitarnya. b. Motivasi Peserta Mengikuti Komunitas Pondok Damai Kota Semarang Motivasi peserta dalam mengikuti kegiatan Pondok
Damai
Kota
Semarang
sangat
beragam.
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti laksanakan
67 terhadap beberapa peserta Pondok Damai Kota Semarang, menunjukkan bahwa motivasi yang memicu mereka mengikuti kegiatan Pondok Damai Kota Semarang adalah sebagai berikut: Pertama, dalam wawancaranya, pihak perwakilan Kamil Ahmed menyampaikan bahwa motivasi mereka dalam mengikuti kegiatan Pondok Damai adalah didorong oleh keinginan berbagi. Hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa sebagai makhluk sosial yang secara kodrati akan hidup bermasayarakat, maka melalui Pondok Damai inilah melatih sikap dan mental mereka untuk saling
berbagi
dan
berbaur
di
dalam
kehidupan
masayarakat. Kedua, berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Zainal Muwahib, perwakilan Justisia, salah satu Lembaga
Jurnalistik
di
Fsayaltas
Sayari’ah
Uin
Walisongo Semarang. Zainal Muwahib menyampaikan bahwa motivasi mengikuti kegiatan Pondok Damai sebenarnya didorong oleh salah satu generasi awal di Komunitas tersebut, yaitu saudara Teddy Kholiludin. Awalnya mereka mengenal Teddy dan dia meminta anakanak dari Justisia untuk ikut serta dalam komunitas Pondok Damai. Kemudian mereka teman-teman Justisia dikenalkan dengan orang-orang non muslim, dan awalnya memang mereka hanya sekedar ikut-ikutan. Namun,
68 setelah pihak Justisia mengikuti kegiatan Pondok Damai motivasi itu berkembang dan mulai terarah. Ada semangat perbaikan yang muncul. Sebab, melalui pondok damai mereka benar-benar mengenal orang non muslim. Dan inilah yang membuat paradigma mereka terbuka, yang awalnya sebelum mengikuti kegiatan Pondok Damai mereka serta merta men-justice bahwa orang yang beragama selain islam itu adalah kafir, namun setelah mengikuti kegiatan pondok damai, mulai meyakini bahwa mereka memang diciptakan berbeda. Tujuan mereka mengikuti Pondok Damai.11 Ketiga, bagi Wahyu Utomo, motivasi mengikuti kegiatan Pondok Damai diawali oleh tugas atau kewajiban dari kampus yang mengharuskan dia mengadakan hubungan eksternal dengan lembaga, organisasi, atau komunitas di bidang sosial agama. Hal ini disebabkan oleh amanah yang dia emban sebagai kepala bagian ekstern kampus. Dia mengikuti Pondok Damai ke-empat, saat itu sekitar tahun 2013. Motivasinya mengikuti kegiatan Pondok Damai ini sebenarnya bermula dari tugas kampus. Sebagai kepala bagian hubungan eksternal kampus dia diharuskan membuat hubungan dengan instansi luar, instansi pemerintahan, agama, termasuk
11
2016
Hasil wawancara dengan Zainal Muwahib pada tanggal 10 Mei
69 pondok damai. Namun motivasi mulai berubah setelah dia selesai mengikuti kegitan Pondok Damai dan kenal dengan umat agama lain. Yang awalnya dia mengira jika mengikuti kegiatan Pondok Damai akan mengurangi keyakinannya, ternyata tidak. Kenyataan berbanding terbalik, ternyata dengan mengikuti kegiatan Pondok Damai justru hal itu membuat keyakinanya bertambah. Dan dengan mengamati setiap dialog maka dia bisa membandingkan keyakinan satu dengan yang lain denagn diiringi rasa toleran.12 Keempat, berbeda dengan motivasi dari Ninik. Ninik menyampaikan bahwa motivasi yang mendorong dia untuk mengikuti kegiatan Pondok Damai melalui pengalaman spiritual yang cukup panjang. Ninik tidak serta merta menerima tawaran dari Pendeta Roni untuk mengikuti kegiatan Pondok Damai. Dia mengatakan motivasi yang mendorongnya untuk mengikuti kegiatan Pondok Damai adalah untuk mengungkapkan kegelisahan dalam perjalanan spiritual. Selain itu, Ninik mengatakan bahwa sebenarnya dia membutuhkan teman diskusi tentang proses perjalanan beragama yang sedang dan atau telah dilalui.
12
2016
Hasil wawancara dengan Wahyu Utomo pada tanggal 25 April
70 Kelima, berbeda dengan yang disampaikan oleh Komang Jananuraga. Komang menyatakan motivasinya mengikuti Pondok Damai adalah untuk mengasah spiritualnya, karena dalam spiritual, toleransi dalam dualitas maupun perbedaan adalah dasar mencapai Sang Kebenaran. Selain itu menambah persaudaraan baru dalam komunitas perdamaian.13 c. Spiritual Experience (pengalaman spiritual) Peserta Pondok Damai Semarang Dalam perjalanan kehidupan manusia, lebih khusus lagi dalam beragama, pasti mengalami perjalanan spiritual. Baik pengalaman spiritual dalam proses mencari hingga bagaimana cara mereka beragama. Begitupun yang dialami oleh beberapa peserta komunitas Pondok Damai. Sebagian besar atau bahkan keseluruhan memiliki pengalaman yang unik dalam proses beragama. Proses perjalanan spiritual ini disampaikan melalui forum Pondok Damai. Proses perjalanan spiritual ini meliputi pengalaman-pengalaman keberagamaan individu. Mulai dari proses mengapa beragama? Dan mengapa harus memilih agama yang diikuti saat ini? Dalam
hal
ini,
hasi
penelitian
lapangan
menjelaskan bahwa setiap orang memiliki pengalaman
13
Mei 2016
Hasil wawancara dengan Komang Jananuraga pada tanggal 27
71 spiritual yang berbeda. Ada yang unik, membahagiakan, menyedihkan, dan lain sebagainya. Kondisi emosional ini selalu mengiringi setiap orang dalam menjalani proses beragama. Misalnya pengalaman dari Kamil Ahmed. Dalam
perjalanan
spiritualnya,
Kamil
Ahmed
menceritakan bahwa seringkali Kamil Ahmed terdapat hambatan dalam beragama. Hambatan ini disebutkan bahwa masih banyak yang memberikan penilaian negatif terhadap kelompok Kamil Ahmed. Dan tidak jarang, bagi kelompok Ahmadiyah, persepsi negatif ini mengganggu aktivitas beragama ataupun bersosial di masayarakat. Oleh sebab itulah, motivasi Kamil Ahmed mengikuti Pondok Damai salah satunya untuk menyampaikan apa dan bagaimana sesungguhnya kelompok Ahmadiyah. Kamil Ahmed merasa beruntung karena sudah tergabung di komunitas Pondok Damai. Kamil Ahmed mengikuti komunitas Pondok Damai melalui Saudara Manto. Di Pondok Damai, Kamil Ahmed dan peserta lainnya saling berbagi (sharing). Melalui Pondok Damai memberikan kesempatan kepada kelompok Kamil Ahmed untuk memberikan wawasan baru kepada peserta yang lain. Sehingga peserta yang lain tidak merasa tabu jika mendengar ataupun bertemu dengan kelompok Kamil Ahmed. Seperti yang peneliti sampaikan sebelumnya,
72 bahwa di Pondok Damai dialog yang terjadi membahas berbagai pengalaman spiritual masing-masing peserta. Jadi Pondok Damai itu isinya pengalaman yang ada dalam suatu organisasi, misal Kamil Ahmed dari Ahmadiyah. Pertanyaan yang muncul adalah “Apa sih enaknya dalam Ahmadiyah. Kemudian apa sisi negatif menjadi orang Ahmadiyah dengan masayarakat umum. Saat itu rekanrekan yang mendengar cerita dari Kamil Ahmed jadi tahu bahwa Oh, jadi Ahmadiyah seperti ini, tidak seperti itu. Artinya Kamil Ahmed ingin menyampaikan bahwa Ahmadiyah juga tetap ingin bermasayarakat dan tetap menjunjung tinggi pancasila dan NKRI. Hasil dari wawancara bersama Kamil Ahmed dikantor Ahmadiyah kota Semarnag.14 Selain itu, perjalanan spiritual yang dialami oleh Kamil Ahmed terlihat dari bagaimana Kamil Ahmed merespon adanya isu keagamaan yang muncul. Apakah ada perbedaan setelah atau sebelum mengikuti Pondok Damai. Dalam merespon terhadap isu keagaamaan yang muncul, sebenarnya tidak ada perbedaan, ketika ada aksi yang berkaitan dengan sesama agama mereka langsug merespon.
14
2016
Terutama
ketika
kebetulan
lingkungan
Hawil wawancara dengan Kamil Ahmed pada tangga 27 April
73 Ahmadiyah yang berada di Petasan berdampingan dengan Nasrani. Kebetulan ada satu gereja Bpi Samirono yang runtuh. Saat itu, alhamdulillah mereka dari komunitas Ahmadiyah yang pertama mengajak semua jamaah untuk membantu, bergotong royong mengangkut serpihan puing-puing bangunan yang runtuh. Lalu masayarakat ikut serta, jadi dari sisi itu, intinya mereka Ahmadiyah terbuka, bahkan semakin bertambah terbuka bahwa mereka ini hidup tidak sendiri, mereka ini hidup bermasyrakat, dan hidup bernegara sesuai dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara.15 Adapun pengalaman dari Zainal Muwahib dalam beragama, melalui fase fanatik, fanatik terhadap agama yang dianut. Artinya, Zainal Muwahib sempat menolak keberadaan agama lain. Bahkan sempat tertanam dalam paradigma Zainal Muwahib, bahwa agama selain agama yang dianut adalah seseorang yang kafir. Berlatar belakang alumni dari kependidikan keagamaan yang salaf, yaitu S1 Falak di UIN Walisongo, MA TBS Kudus, yang tentunya membahas soal agama islam saja. Dari situlah Muwahib berpandangan bahawa orang yang beragama selain islam adalah kafir, bahkan orang-orang yang terlahir bukan dalam keluarga islam maka itu adalah salah.
15
2016
Hawil wawancara dengan Kamil Ahmed pada tangga 27 April
74 Namun ada pemahaman berbeda oleh Muwahib setelah mengikuti kegiatan Pondok Damai. Tidak jauh berbeda dari Zainal Muwahib, dalam perjanan spiritual Wahyu Utomo, dia termasuk seseorang yang menutup diri dari agama selain yang dianutnya. Dan setelah mengikuti Pondok Damai, akhirnya mampu mengubah pola pikir Wahyu Utomo tentang persepsi Wahyu Utomo terhadap agama lain. Dengan mengikuti kegiatan Pondok Damai ini, mengubah pola pikirnya , pada awalnya memang dia terlalu fanatik dengan agamanya sendiri, dia tidak mau menerima agama lain, baik itu agama Kristen, Islam, maupun Hindu. dia lebih fokus di Budha. Setelah mengikuti Pondok Damai, justru dia mendapatkan sesuatu yang tidak ia dapatkan di agama Budha. Karena beda pola pikir dan cara pandang juga, menurut Wahyu Utomo.16 Mengenai konflik yang terjadi di Indonesia, justru menjadi salah satu yang memotivasi Wahyu, dari Pondok Damai yang pertama tahun 2013, akhirnya ia membuat skripsi tentang itu, yaitu “Korelasi antara Dialog Antar Agama, Sikap Pluralisme, dan Orientas Religius, yang dengan potensi konflik beragama, dia baru tersadarsadar ketika masuk Pondok Damai.
16
2016
Hasil wawancara dengan Wahyu Utomo pada tanggal 25 April
75 Menurut
Wahyu
Utomo,
berdasarkan
hasil
observasi yang dia laksanakan terhadap fenomena konflik yang terjadi. Wahyu Utomo menyampaikan bahwa sebenarnya fenomena konflik yang terjadi ini bukan berarti semuanya disebabkan oleh agama. Wahyu Utomo mengatakan bahwa konflik yang ada di indonesia muncul disebabkan oleh politisasi saja. Agama di Indonesia berbeda dengan di Timur Tengah (Lebih radikal seperti ISIS, banyak organsisasi yang radikal), seperti ISIS, banyak orgnaisasi yang radikal juga. Salah satu yang memiliki potensi dan orientasi kerukunan hanya di Indonesia, karena hanya di Indonesia yang memang mengenal agama dijadikan agama, dan disayangi, posisinya disamakan antara satu agama dengan yang
lain,
hanya
memang
orang-orang
yang
menyalahgunakan itu, kebanyakan yang minoritas harus ikut yang mayoritas. Berbeda pengalaman spiritual yang dialami oleh Ninik. Pengalaman yang dihadapi salah satu peserta Pondok Damai ini cukup unik dan panjang. Berawal dari sebuah proses pencarian yang panjang, kumpulan kegelisahan dalam beragama, hingga kesediaan Ninik mengikuti komunitas Pondok Damai. Ninik mulai mengikut Pondok Damai tahun 2010, yaitu angkatan ke 4. Ninik merupakan peserta yang termasuk aktif di Pondok
76 Damai. Dalam wawancarnya, dia menceritakan latar belakang
dia
mengikuti
Pondok
Damai.
Dia
menyampaikan awal pertama kali dia mengenal Pondok Damai melalui Pendeta Roni. Ninik menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Roni di Wisma Ratras Karang Panas. Dia kenal Roni sekitar tahun 2009 di acara kesenian, di Rumah Seni. Di Rumah seni waktu itu ada diskusi dan yang mengisi adalah seorang Romo, Romo yang giat di bidang seni, seni lukis
khususnya.
Di
acara
itu,
mereka
sedang
mengapresiasi karya beliau yang diselenggarakan di sanggar seni. Di situ Romo didampingi oleh Roni, salah satu yang ada di ruangan itu adalah Roni, dan kemudian mereka berkenalan. Pada waktu itu Dia seorang pekerja seperti ini, mereka berbeda lembaga, dan dalam proses internal Dia, saat itu Dia sedang dalam proses pencarian yang sangat kuat. Karena sesungguhnya Dia senang diskusi dengan berbagai kalangan, tidak terkecuali dengan Roni. Lalu Dia ditawari Roni untuk ikut Pondok Damai. Waktu itu Dia sudah kerja, Dia berusia 27 tahun, banyak hal yang Dia alami dalam konteks spiritual. Pada saat usia Dia 27 itu, Dia sudah pernah masuk ke semua tempat ibadah, belajar tentang cara beribadah semua agama. Kemudian, sebenarnya tidak hanya coba-coba, tetapi lebih kepada kegelisahan dalam proses spiritual. Diabelum
77 menemukan agama yang cocok. Dia menyampaikan bahwa dia tidak menemukan jawaban yang indah dari proses spiritual yang dia alami. Dalam wawancaranya, Dia mengatakan bahwa sebenarnya berangkat dari kegelisahan dalam proses spiritual. Kemudian dalam proses spiritual yang Dia alami, Dia juga pernah mengalami fase-fase fanatik, fasefase agresif, fase-fase menyerang, dan itu bukan dalam konteks pemikiran saja tetapi juga tindakan. Pernah sampai usia 27 tahun, saat Dia ikut Pondok Damai adalah fase dimana Dia mencapai anti klimaks, bukan anti klimaks sebenarnya, pokoknya sudah kilmaksnya dalam proses spiritual. Dia sudah pernah mengalami remisi seperti yang dia alami saat itu. Dan Dia juga belajar hak asasi manusia. Di sisi lain, pekerjaan Dia mengajarinya tentang Hak Asasi Manusia. Jadi ketika fase tahun-tahun usia yang Dia melakukan kekerasan itu adalah usia 19-20. Lalu, fase tegang fanatis ketika Dia berusia 22 tahun, kemudian pernah merasa menyadari bahwa itu tidak benar. Selanjutnya, Dia juga pernah mengalami drop ke satu fase yang Dia sebut survive, dalam artian Dia tidak memutuskan keyakinan apapun, tetapi Dia memegang nilai-nilai kebaikan bahwa kebaikan jelas harus dilakukan. Kemudian Dia termotivasi lagi untuk mencari kebenaran lagi pada usia-usia 20-24. Di usia 23 tahun, Dia mencari
78 lagi mulai dari Islam lagi, mencari terus. Banyak catatan yang secara psikis mengikuti, dalam arti kegalauan ataupun kegelisahan itu selalu mengiringi proses spiritual yang Dia alami. Kondisi psikis juga mengikuti kegelisahan dalam proses spiritual yang Dia alami, dia mengatakan bahwa dia sebenarnya membutuhkan teman diskusi dalam konteks keyakinan. Sebenarnya Roni adalah partner diskusi yang kemudian ketika Dia ditawari Pondok Damai itu, Dia tidak serta langsung mau, karena Dia merasa menjadi pribadi yang berbeda, Dia merasa berbeda dengan proses yang orang lain belum tentu alami, sehingga Dia merasa Dia tidak perlu juga untuk berinteraksi dengan banyak orang. Karena hal itu bagi Dia sangat privat, dan tidak banyak orang yang bisa mengerti proses sprititual itu. Kalau orang lain tidak memahami, bisa saja mereka membenci. Maksudnya, Dia bercerita kepada banyak orang, tetapi belum tentu semua orang bisa memahami tentang proses yang sangat privat itu, karena itu adalah hal yang sensitif. Ketika Dia merasa “Dia tidak nyaman di Islam, maka orang islam mungkin akan merasa tidak nyaman. Waktu itu Dia berfikiran seperti itu. Jadi ketika Dia menceritakan Pondok Damai, maka Diamerasa tidak nyaman, Dia sepertinya tidak butuh, karena Dia tidak perlu bicara sama orang lain, karena Dia saja masih
79 mencari. Dan saat itu, Dia disuruh mengikuti satu forum yang isinya beda-beda agama, dan Dia harus bercerita. Inilah proses spiritual yang Dia alami. Ninik mengatakan bahwa Roni mendesaknya terus. “Tidak apa-apa, pengalamanmu unik, dan kami merasa
penting
untuk
kamu
bercerita
tentang
pengalamanmu, bahwa dalam proses individu itu sangat berbeda-beda, dan di situlah terdapat ruang bagi kita harus saling menghargai”, bujuk Roni pada Ninik. Tetapi menurutnya, itu terlalu beresiko, artinya kalau dia memutuskan untuk ikut bergabung Pondok Damai, maka resiko sudah pasti akan dia tanggung sendiri. Namun, karena Roni terus mendesak, akhirnya dia ikut. Karena dia sudah ikut, awalnya dia canggung, secara usia dia sudah tua sekali, yang lain masih anak-anak. Sedangkan diasudah berusia 27 tahun, sudah cukup mateng di situ. Di Pondok Damai, Ninik menceritakan pengalaman spiritual yang
dialami
secara
natural,
apa
adanya.
Dia
menyebutkan bahwa kondisi dia saat itu sangat emosionil. Maksudnya adalah ekspresi emosi, bisa sangat sedih, bisa sangat marah. Dia bercerita tentang dia pernah dalam kondisi
ekstrim,
banyak
tekanan,
kemudian
dia
tersadarkan dan survive di satu ajaran, yaitu di dalam organisasi pengestu. Dan di situ dia diajarkan tentang kebenaran universal nilai-nilai kebaikan. Kemudia dia
80 pernah kembali belajar agama, melaksanakan shalat dengan khusyuk, dan pernah juga mengikuti majlis almarhumah ibu Fatimah Usman, terus kemudian merasa drop lagi. Dia juga menyatakan bahwa dia pernah masuk ke gereja, gereja yang doanya teriak-teriak, gereja karismatik, pernah ke katolik, tetapi dia belum pernah ke Hindu atau Budha. Karena dia meyakini, dia harus berkeyakinan, dia harus beragama, tetapi agamanya harus samawi, karena dalam pangestu itu, ada satu yang disampaikan, yaitu bahwa mereka harus beragama. Dan agama yang baik itu adalah agama samawi. Agama samawi yaitu antara islam atau kristen, maka dari itu yang dia cari agama samawi. Ninik juga menjelaskan bahwa dia memahami dinamika kehidupan beragama sebagai peta yang sangat jelas. Ninik menganalogikan bahwa dinamika kehidupan beragama ini sudah ada letak-letak. Dia menyebutnya sebagai arah dan jalan yang dilewati setiap manusia dalam melewati dinamika beragama. Dalam gambarannya, Ninik menyebutkan ada perempatan. Dan di posisi ini, Ninik menyatakan bahwa ketika umat beragama, di waktu yang sama berada di posisi itu, maka mereka akan bertikai, karena akan berlawanan arah atau simpangan. Ninik juga menjelaskan bahwa semua yang dituju mereka adalah untuk mencapai rumah masing-masing.
81 Dan ini sesuai jalan yang ditempuh oleh pemeluk agama masing-masing. Hanya saja, rumah yang dihuni berbedabeda. Dan setiap orang tidak boleh memaksa orang lain agar menetap di rumah yang ditempati. Kalau mampir dibolehkan. Ninik juga tidak memperkenankan orang untuk menjustice bahwa yang ditempati orang lain bukan rumah. Karena setiap orang, menurut Ninik, sedang dalam proses pencarian, jadi setiap orang belum bisa memastikan apakah yang ditempati sekarang merupakan rumah yang sebenarnya. Menurut Ninik, beragama merupakan cara agar kita menemukan rumah kita masing-masing. Dan saat ini memang setiap manusia masih berada pada proses mencari rumah yang benar tersebut. Kalaupun jalannya, itu sesuai dengan kehendak dan pilihan masing-masing individu.17 Pengalaman dan cerita menarik banyak ditemukan di antara peserta dalam sesi demi sesi yang dijalani. Semisal dalam “mengapa saya beragama”, sesi ini seluruh peserta mengungkapkan semua tentang apa yang mereka rasakan selama ini dalam agama mereka. Muhammad Zainal
Muwahib
contohnya
yang
menceritakan
pengalaman ketika ikut acara tersebut kepada penulis, menceritakan ketika bahwa ia memeluk Islam tidak tahu,
17
Hasil wawancara dengan Ninik pada tanggal 16 Juni 2016
82 tiba-tiba ketika dewasa sudah menyadari Islam adalah agamanya. Muhammad Zainal Muwahib sebagai lulusan pondok pesantren juga mendapat pengalaman terbaru dalam sejarah hidupnya, ia bisa mengenal dan mengetahui teman yang berbeda agama, serta mengetahui ritual ibadah
teman-temannya
dalam
pondok
damai.
Ia
menyadari bahwa sebelumnya pandangannya terhadap yang non muslim adalah kafir, jahat dan masuk neraka. Pondok damai telah merubah cara pandangnya terhadap pemeluk agama lain, dari dahulu yang fundamentalis menjadi orang yang terbuka atas perbedaan. Kisah berbeda juga datang dari Teguh, pemuda Kristen yang berbagi tentang kisah pahitnya semasa kecil. Ia mendapat caci maki dari keluarganya sendiri karena berbeda agama, sampai ektrimnya mereka mengatakan halal darahnya untuk dibunuh. Berbekal dari pengalaman pahit tersebut ia merasakan hal yang berbeda ketika berkumpul bersama lintas iman, bahwa sesungguhnya tidak semua pemeluk agama mempunyai pemahaman yang sekeji itu. Pengalaman
peserta
lainnya
dialami
oleh
Ceprudin, pemuda muslim, baginya pondok damai adalah pengalaman pertamanya tidur dengan orang non muslim. Pada mulanya ia menuturkan sempat canggung dan tsayat,
83 sehingga suasana pada malam pertama pun diam dan tidak terjadi percakapan yang serius. Di hari selanjutnya ia mulai berdialog dengan sekamarnya yang non muslim, Yohanes namanya. Ceprudin mengsayai bahwa dalam dialog tersebut ia menjelaskan tentang Islam yang dianggap oleh Yohanes sebagai agama yang keras dan kejam, ia berusaha menjelaskan bahwa hal itu terjadi tergantung pemahaman orang terhadap ajaran agama.18 Dalam wawancaranya, Teddy juga menceritakan pengalaman yang dialami peserta selama mengikuti kegiatan Pondok Damai. “Ada pengalaman dua orang tidur dalam satu kamar, satu orang muslim dan satu orang kristen. Ternyata mereka tidak puas dengan sesi diskusi yang dilewati. Yang muslim ini berasal dari kampung, mereka mengenal kristen melalui perkataan orang-orang, kata orang bahwa kristen itu seperti itu, tidak baik. Adapun orang kristen itu berasal dari Bojonegoro, dia mempunyai pengalaman menjadi hanya satu-satunya orang Kristen di SMA, dia mengalami pengalaman yang traumatik. Kemudian dua orang ini bercerita di Kamar, tentang sesuatu yang mereka alami, sesuatu yang buruk tentang Kristen, dan sesuatu yang buruk tentang Islam, tetapi kemudian Orang yang beragama kristen itu menceritakan perspektif baru tentang kekristenan kepada yang muslimyang berbeda dengan apa yang diterima dari perkataan orang-orang, begitu juga sebaliknya. Dan percakapan itu menjadi titik balik bagi mereka, tentang cara pandang mereka 18
http://jurnal.elsaonline.com/?p=56, diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pada pukul 14.30
84 terhadap kekristenan dan keislaman, setelah itu mereka bilang “oh ternyata ya”, terang Teddy. “Ada lagi cerita orang Hindu, orang Hindu yang sangat tidak suka dengan orang Katolik, karena ketika di Sekolah, setiap kali berjumpa dengan orang Kristen, dia akan disuruh ke Gereja. Setelah itu, dalam satu perjalanan, dia semacam dehidrasi dan lemas dan pingsan di jalan. Dia terkaget saat dia sadar dan sudah berada di Rumah sakit, dan di sampingnya ada seorang suster biara, bukan suster perawat. Dan ternyata sang suster itu yang membopong dia saat pingsan, dan membawa dia ke rumah sakit naik angkot, menunggu sampai dia sadar. Sejak saat itu, persepsi dia tentang kekristenan berubah total. Ternyata kristen dan katolik itu tidak hanya mereka yang memaksa saya masuk gereja tetapi juga ada suster yang merelakan diri untuk membantu saya saat pingsan”, jelas Teddy. “Jadi itu salah satu aktivitas yang diadakan oleh Pondok Damai. Yah, dan itu tentu saja hanya champion-champion kecil yang mungkin bisa diduplikasi oleh orang, diduplikasi di tempat lain karena kita tidak pernah bermaksud untuk membekukan bahwa itu kurikulum Pondok Damai. Sembarang, komunitas lainnya bisa melaksanakan hal yang sama. Karena ini juga kemudian dilaksanakan di Jepara. Meskipun orang-orang yang hadir juga tetap dari Semarang. Sedangkan untuk lokasi pelaksanaan kegiatan Pondok Damai adalah setiap tahun berbeda”, jelas Teddy.
85 B. Aktivitas-Aktivitas
Para
Pemuda
Lintas
Iman
Dalam
Komunitas Pondok Damai Kota Semarang Mengusung misi yang sangat mulia yakni perdamaian dan menyemai toleransi antar umat beragama. Acara tersebut diikuti oleh beberapa orang dari berbagai agama dan kepercayaan. Hal yang menjadi menarik dan berkesan dalam acara tersebut adalah dimana semua peserta berkumpul melaksanakan sejumlah kegiatan dan live in (tinggal bersama) selama tiga hari dua malam. Untuk format acara, sebenarnya cukup sederhana tetapi di kemas dengan unik. Dimulai dari diskusi, nonton film, games, pentas seni, serta berkunjung ke tempat ibadah umat agama lain. Tak hanya itu, para peserta pun melaksanakan aktifitas makan dan tidur secara bersama-sama. Seperti yang disampaikan oleh Teddy, kegiatan para pemuda lintas iman di komunitas Pondok Damai adalah membicarakan kenapa saya menjadi muslim, Kristen dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman apa yang saya alami ketika saya berjumpa dengan orang yang berbeda agama. Sisi lainnya bisa membicarakan isu-isu terkini, ada pentas seni, kunjungan rumah ibadah, ada renungan-renungan. Teknisnya adalah, setiap kamar diisi dari peserta yang beda agama, agar tak ada sekat dan perbedaan antara peserta dari satu agama dan agama lain. Semua bergaul dan bercengkrama menikmati
indahnya
kebersamaan.
Kemudian
aktivitas
dilaksanakan dengan semangat kekeluargaan. Sehingga penetrasi
86 tentang pesan moral tentang misi acara tersebut dapat dipahami oleh peserta dengan baik. Tidak ada teori maupun argumenargumen keagamaan yang diberikan. Semua natural dan berusaha untuk saling terbuka. Sharing atau diskusi dikemas dalam sesi; 1.
Mengapa saya beragama/beriman
2.
Pengalaman yang menyenangkan dari pemeluk agama lain
3.
Pengalaman yang tidak menyenangkan dari pemeluk agama lain
4.
Menonton film
5.
Kunjungan ke rumah ibadah Semua sesi di atas dilaksanakan dengan santai dan rileks,
mulai dari proses bagaimana pencarian iman, mempertahankan iman, pengalaman baik dan buruk terhadap penganut agama lain. Sehingga semua peserta dapat memahami, proses pencarian mempertahankan iman seorang penganut agama bukanlah mudah. Sehingga memang sangat tepat jika tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama. Karena itu menyangkut hak dan urusan individu masing-masing. Sikap eksklusifitas peserta dalam beragama juga sudah seharusnya dirubah. Selain itu, pada forum itu juga sebagai bahan intropeksi diri bagi para peserta, dimana suatu tindakan baik ataupun buruk yang kita anggap sepele terhadap umat agama lain ternyata dapat membekas dan membuat pengalaman tersendiri kepada mereka. Bahkan sebuah tindakan kecil seperti “meledek” umat agama lain ternyata mampu membuat trauma bahkan
87 menimbulkan dendam dan permusuhan di waktu yang akan datang. Pada malam kedua, acara Pondok Damai diisi oleh pentas seni. Dimana peserta dibagi kedalam beberapa kelompok. Peserta diharuskan menampilkan sebuah drama yang memiliki pesan kedamaian. Setiap peserta berlomba-lomba mempersembahkan drama terbaik serta pesan moral yang luhur. Seusai pentas seni dilaksanakan, acara dilanjutkan dengan renungan dan doa bersama. Dimana kita kembali merenungkan apa yang telah kita dapatkan selama dua hari ini dan untuk apa kita mengikuti acara tersebut. Acara menjadi semakin sayahdu ketika lagu “Indonesia Tanah Air Beta” dinyanyikan bersama-sama. Peserta saling berjanji untuk selalu menjaga dan menularkan bibit toleransi dan kedamaian demi ibu pertiwi tercinta. Doa untuk kedamaian Indonesia pun dilantunkan bersama-sama.19 Aktivitas lain yang dilakukan oleh peserta Pondok Damai perekrutan peserta untuk bergabung di komunitas Pondok Damai adalah salah satunya melalui jejaring sosial media. Hal ini ditujukan agar informasi yang ada dan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh lembaga dapat tersampaikan. Misalnya, “Eh, hari Selasa nanti eLSA ada diskusi, teman-teman yang dekat Ngaliyan kalau mau gabung, ikut gabung ya”. “Itu sebenarnya prinsip yang mudah ya, pada prinsipnya kita memang mencoba untuk menjadikan kehidupan umat 19
http://jurnal.elsaonline.com/?p=56, diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pada pukul 14.40
88 beragama ini seenteng dan seringan mungkin, jadi ini bagian dari sekema kehidupan yang murah. Dialog agama bukan sesuatau yang harus dihadirkan di Hotel berbintang, tapi itu nyata dan dialami. Sehingga identitas itu nyaris tidak terlihat. Karena kita tidur di tempat yang sama, makan makanan yang sama. Teman-teman yang lain juga demikian, mereka juga mengadakan kegiatan, karena Pondok Damai ini rumah sementara, maka rumah nyatanya ya di komunitas dimana teman-teman berada. Jadi mereka tidak akan selamanya di Pondok damai itu. Formalnya yang dilaksanakan Pondok Damai itu hanya satu tahun sekali, tetapi di sela-sela itu ada kegiatan-kegiatan yang bisa dilaksanakan oleh teman-teman, dan itu bukan sesuatu yang diplanning secara resmi, itu mengalir saja. Memang agak sulit mendefinisikan komunitas Pondok Damai, karena kita bukan komunitas yang berwujud, dan tidak mempunyai legal formal”, terang Teddy.