ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB III KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”
Pada bab ini akan dipaparkan temuan data yang peneliti dapatkan pada saat proses wawancara mendalam yang dilakukan oleh beberapa informan. Dalam bab ini meliputi pemaparan yang meliputi profil informan, kondisi lingkungan “Kampung Idiot”, stigma negatif kampung idiot, adaptasi masyarakat lokal atas stigma “kampung idiot”, keuntungan dan kerugian atas stigma “kampung idiot”. Penelitian ini informan diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi antara lain: Masyarakat Desa Sidoharjo, orang yang mengalami keterbelakangan mental(Retardasi Mental), pihak keluarga penderita serta tokoh masyarakat Desa Sidoharjo. Informan dipilih selain memiliki kesesuaian dengan kriteria yang telah peneliti tentukan sebelumnya, juga memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sehingga menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya, data-data pada bab ini akan diolah dan dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian yakni bentuk-bentuk stigmatisasi dan perilaku diskriminatif serta reaksi dari masyarakat atas stigma dan perilaku diskriminatif tersebut. III.1. Profil Informan III.1.1. Informan Pertama, MAD Informan pertama, berinisial MAD adalah seorang tokoh masyarakat berusia 30 tahun yaitu sebagai sekretaris atau carik di Desa Sidoharjo tersebut. MAD berasal dan lahir di Dukuh Gupak Warak, Desa Krebet RT.03/RW.05.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
MAD mendapatkan pendidikan SD di SD MI Krebet, SMP Negeri 1 Jambon, SMK Negeri 1 Jenangan Ponorogo dan sekarang beliau belum menyelesaikan pendidikannya di Universitas Merdeka Ponorogo. Pada akhirnya beliau tinggal di Desa Sidoharjo setelah menikah dengan seorang wanita dari desa tersebut dengan dikaruniai seorang putri yang masih berusia 3 tahun, kemudian menjabat sebagai sekretaris desa atau carik pertama yaitu pada tahun 2006 sampai sekarang. Selain menjabat sebagai sekretaris desa kesibukan lainnya adalah sebagai petani dengan mengurus beberapa lahan yang ada di desa tersebut. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang pekerja keras dan ramah kepada masyarakatnya. III.1.2. Informan Kedua, INU Informan kedua, berinisial INU adalah seorang tokoh masyarakat berusia 55 tahun di Desa Sidoharjo. INU adalah mantan kepala Desa pertama di Desa Sidoharjo. INU termasuk warga asli di Desa Sidoharjo tepatnya di Dukuh Klitik RT.01/RW.01, INU menempuh pendidikan pertama di SD Negeri 1 Krebet kemudian melanjutkan SMP di SMP Negeri 1 Badegan, itu menjadi pendidikan terakhir beliau yang telah beliau lalui. Samapai sekarang beliau dikaruniai satu orang putri yang sekarang telah menikah dan satu orang putra yang sekarang juga telah menikah yang menjabat sebagai seorang polisi di Kabupaten Ponorogo. III.1.3. Informan Ketiga, DEV Informan ketiga, berinisial DEV adalah bisa diatakan seorang tokoh masyarakat di Desa Sidoharjo karena beliau juga bekerja sebagai Kaur Kesra di Desa tersebut, beliau berusia 34 tahun yang memiliki dua orang pura, putra yang pertama berusia 12 tahun yang sekarang duduk di kelas 6 SD, sedangkan putra
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kedua masih 18 bulan. DEV termasuk sosok orang yang beragama islam yang sangat religius. DEV bukan warga asli yang lahir di desa ini, beliau berasal dari Kota Blitar yang menikah dengan orang Desa Sidoharjo yang akhirnya menetap di desa ini tepatnya di Dukuh Karangsengon. DEV saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Muhammadiyah Ponorono, selain kuliah dan bekerja sebagai kaur kesra di balai desa beliau juga sibuk mengajar di yayasan pendidikannya, karena beliau mempunyai sebuah yayasan pendidikanMadrasah Iftidaiyah di Desa Sidoharjo ini, yang ia bangun dan kelola sendiri dengan jumlah pengajar 7 orang. Walaupun masih ada 2 kelas, yaitu kelas 1 dan kelas 2 yayasan pendidikan yang ia bangun ini cukup mendapat respon yang baik dari masyarakat sekitar, karena putra-putri mereka selain belajar ilmu umum juga mendapatkan pendidikan agama yang baik. III.1.4. Informan keempat, ARI Informan keempat, berinisial ARI adalah salah satu informan yang tidak mempunyai keluarga yang keterbelakangan mental namun, tempat tinggalnya dekat dengan rumah salah satu keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang keterbelakangan mental.ARI adalah ibu rumah tanggal yang saat ini berusia 26 tahun yang mempunyai satu orang putra berusia 6 tahun yang sekarang duduk di kelas 1 SD. Pekerjaan sehari-hari selain sebagai ibu rumah tangga adalah menjaga warung kecilnya, dan juga sesekali membantu suaminya di sawah. ARI sebenarnya bukan warga asli Desa Sidoharjo ini, beliau berasal dari Desa Jenangan Ponorogo. Namun, setelah menikah dengan orang dari Desa Sidoharjo ini akhirnya beliau tinggal menetap di Desa Sidoharjo ini.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Meskipun ARI hanya lulusan SD di salah satu SD di Desa Krebet, Beliau seorang yang sangat memperhatikan agama dan pendidikan anaknya, beliau menginginkan anaknya selain mendapat pendidikan umum juga mendapat pendidikan agama, lewat sekolah dan TPA(Taman Pendidikan Al-Quran. ARI sesosok orang yang ramah dan sangat terbuka. Disaat peneliti melakukan wawancara denga ARI, beliau sangat komunikatif dan sangat lancar menjawab semua peretanyaan-pertanyaan dari peneliti. III.1.5. Informan Kelima, TIN Informan kelima, berinisial TIN adalah salah satu informan yang mempunyai dua anggota keluarga perempuan yang keterbelakangan mental.TIN adalah seorang ibu rumah tangga yang saat ini masih berusia 23 tahun yang mempunyai satu orang putri berusia 3 tahun. Dengan kondisi keluarganya yang tergolong keluarga yang kurang mampu TIN begitu sabar mengurus keluarganya tersebut tanpa kehadiran sosok suaminya, karena suaminya sudah tiga bulan ini bekerja sebagi seorang buruh bangunan di Jakarta. Selain mengurus dua anggota keluarganya yang keterbelakangan mental dan satu orang putrinya TIN juga harus memperhatikan ibunya yang sangat ini juga sudah tua. Namun, begitu ibunya sesekali juga membantu TIN mengurus dua anggota keluarganya yang keterbelakangan
mental
tersebut.
TIN
hidup
sederhana
yang
hanya
menggantungkan hidupnya dari upah yang diterima sualinya yang bekerja sebagai buruh bangunan tersebut, sesekali suami menelpon yang hanya sekedar mengetahu keadaaan dan melepas rasa rindu dengan keluarganya dirumah.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III.1.6. Informan keenam, IIM Informan keenam, berinisial IIM adalah warga asli Desa Sidoharjo RT.01/RW.10 Dukuh Karangsengon. IIM tidak mempunyai keluarga yang keterbelakangan mental namun rumah IIM sesekali didatangi salah seorang yang keterbelakangan yang hanya sekedar makan atau minta uang. IIM adalah ibu rumah tangga yang saat ini berusia sekitar 50 tahun yang mempunyai dua orang putra yang masih-masing bekerja di luar negeri, putra yang pertama bekerja di Taiwan, putra yang kedua bekerja di Malaysia dan satu orang putri yang masih sekolah di salah satu SMP di Kecamatan Jambon. Kesibukan IIM selain sebagai ibu rumah tangga, beliau juga membantu suaminya di sawah. III.1.7.Informan Ketujuh, WAR Informan ketujuh, berinisial WAR ini adalah salah seorang tokoh masyarakat, WAR adalah seorang ulama masyarakat yaitu sebagai seorang Modin yang ada di Desa Sidoharjo. Beliau saat ini berusia 46 tahun. WAR bukan warga asli yang lahir di Desa Sidoharjo namun, beliau adalah warga yang berasal dari Desa Badegan. Namun, setelah menikah dengan salah seorang di Desa Sidoharjo akhirnya beliau mengikuti istrinya untuk tinggal di Desa Sidoharjo, yang saat ini tinggal di Dukuh Klitik, RT.08/RW.02. WAR mempunyai tiga orang putra, putra pertama Aliyah kelas 3 dan putra kedua Aliyah kelas 2 yang sama-sama menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hudha Mayak Ponorogo, sedangkan putra ketiga SD kelas 5. III.1.8.Informan Kedelapan, SOI Informan kedelapan, berinisial SOI adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun, dengan kondisi keluarga dan tempat tinggalnya yang sangat
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
memperhatinkan, SOI seorang diri mengurus dua anggota keluarganya yang keterbelakangan mental, yaitu seorang anak perempuannya yang berusia 13 tahun dan seorang keponakan perempuannya yang berusia sekitar 30 tahun. Keponakannya tersebut adalah yatim piatu dia adalah anak dari kakak perempuan SOI.SOI memberikan penjelasan bahwa anaknya tersebut lahir dalam keadaan normal seperti bayi pada umumnya namun, pada usia tujuh bulan anaknya terkena panas yang sangat tinggi atau dalam istilasnya „step‟, yang ketika itu tidak langsung mendapat penanganan secara langsung. III.1.9. Informan Kesembilan, DAR Informan kesembilan, berinisial DAR adalah seorang laki-laki yang berusia 29 tahun dan penduduk asli Desa Sidoharjo yang juga menikah dengan orang Desa Sidoharjo, WAR sangat ini masih dikaruniai satu orang putri yang berusia 3 tahun. DAR adalah seorang tokoh masyarakat, yang saat ini menjabat sebagai kamituwo Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sampingan DAR adalah seorang fotografer yang sering diundang untuk acara pernikahan maupun foto keluaraga.Karena DAR belum memiliki studio foto sendiri dia masih bergabung dengan temannya untuk menjalankan usahanya tersebut. III.1.10.Informan Kesepuluh, TUN Informan kesepuluh, berinisial TUN adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 54 tahun yang memiliki empat orang anak yang semuanya telah berumah tangga sendiri-sendiri.TUN adalah salah satu informan dalam kategori keluaraga menengah kebawah yang sering menerima bantuan sosial dari para donator maupun dari pemerintah.TUN juga memiliki dua anggaota keluarga yang berketerbelakangan
SKRIPSI
mental.Dua
anggota
keluarga
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
laki-laki
yang
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
berketerbelakangan mental tersebut semuanya adalah saudara laki-laki dari suami informan yang tinggal dirumahnya.Karena sejak lahir sudah berketerbelakangan mental dan orangtuanya telah meninggal dunia, maka mereka ikut dan tinggal dengan keluarga TUN tersebut. III.1.11.Informan Kesebelas, MAN Informan kesebelas, berinisial MAN adalah laki-laki berusia 26 tahun yang bekerja sebagai sopir truk. MAN bukan warga Desa Sidoharjo asli, MAN tinggal di Desa Sidoharjo sekitar 6 bulan yang lalu setelah menikah dengan warga Desa Sidoharjo, sehingga MAN tinggal di desa tersebut. Sekarang ini MAN dikaruniai satu orang putri berusia 2 tahun. Keluarga MAN termasuk salah satu keluarga dalam kategori menengah kebawah, yang sering menerima bantuan dari pemerintah. III.1.12.Informan Keduabelas, LAN Informan keduabelas, berinisial LAN adalah seorang ketua RT. 4 Dukuh Klitik Desa Sidoharjo yang saat ini berusia 48 tahun.Informan LAN juga warga asli Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sehari-harinya adalah seorang petani dan mencari rumput untuk beberapa ekor kambing miliknya.Informan LAN saat ini mempunyai tiga orang anak, yang kedua anaknya sudah berkeluarga sedangakan anaknya yang terakhir masih bekerja di Surabaya.Sehingga saat ini LAN hanya tinggal dengan istrinya, yang sesekali istrinya juga membantu LAN di sawah. III.1.13.Informan Ketigabelas, INA Informan ketigabelas, berinisial INA adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 48 tahun, yang saat ini tinggal di Jl. Halmahera Ponorogo.Informan INA memiliki tiga orang anak.Anak pertama laki-laki yang saat ini berusia 20
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
tahun yang sedang kuliah di Universitas Muhammadyah Ponorogo, anak kedua berusia 17 tahun yang saat ini masih duduk di bangku SMA, sedangkan anak yang terakhir masih kelas 5 Sekolah Dasar.Informan INA mengaku sering mendengar kabar mengenai “Kampung Idiot” yang berada di Kecamatan Jambon tersebut, namun beliau belum pernah melihat daerahnya secara langsung. III.1.14.Informan Keempatbelas, WAN Informan keempatbelas, berinisial WAN adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun, yang saat ini memiliki tiga orang putra dan putri yang masih kecil, anak pertama masih SD, anak kedua TK sedangkan yang terakhir masil play group. WAN saat ini bekerja sebagai seorang satpam atau petugas keamanan di Kantor Pemerintahan Kota Ponorogo. WAN tinggal di JL.A. Yani Kota Ponorogo.WAN mengaku pernah ke Kecamatan Jambon, namun dia belum pernah mengunjungi langsung Desa yang disebut “Kampung Idiot” tersebut. “Kampung Idiot” menurut WAN sudah sangat terkenal dimana-mana, yang menurut WAN sebagai bentuk kejadian yang turun-temuran dari nenek moyang mereka. III.1.15. Informan Kelimabelas, ENA Informan Kelimabelas, berinisial ENA adalah seorang perempuan yang berusia 25 tahun dan saat ini ENA belum menikah atau berkeluaraga. ENA bekerja sebagai seorang pelatih kursus mengemudi di daerah Ponorogo.ENA tinggal di daerah Jenangan Ponorogo. ENA mengaku belum pernah pergi ke Desa Sidoharjo, walaupun belum pernah melihat secara langsung keadaan atau kondisi “Kampung Idiot” itu seperti apa namun ENA sering mendengar istilah daerah “Kampung Idiot”, yang menurut ENA banyak masyarakatnya yang „idiot‟.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III.1.16.Informan Keenambelas, YAH Informan keenambelas, berinisial YAH adalah salah satu pedagang jeruk di Pasar Songgolangit Ponorogo.Informan perempuan ini berusia 50 tahun.YAH mengaku pernah membeli jeruk dari seorang petani yang ada di Kecamatan Balong Ponorogo, yang juga salah satu kecamatan yang sebagian penduduknya ada yang penyandang keterbelakangan mental. Walaupun YAH belum pernah melihat salah satu penyandang yang ada disana namun, YAH mengetahui pada waktu itu daerah tersebut dekat dengan hutan dan pegunungan yang banyak batu kapurnya, yang sangat jauh dengan pusat kota Ponorogo, sehingga menurut YAH daerahnya sangat gersang dan panas. III.2. Kondisi Lingkungan Sosial “Kampung Idiot” Kondisi lingkungan sosial merupakan representatif dari lingkungan sekitar kampung idiot, kondisi tersebut meliputi kondisi sosial yang ada di dareah kampung idiot baik dari segi perlakukan yang positif maupun yang negatif bagi para penderita keterbelakangan mental, selain kondisi sosial juga meliputi kondisi ekonomi dan juga kondisi politik. Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk diskriminasi misalnya:Tidak mendapatkan kesamaan hak yang sama dalam PEMILU, menerima penolakan dari lingkungan sosialnya serta tidak mendapatkan kesamaan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. III.2.1. Kondisi Sosial Kondisi sosial adalah suatu kondisi tertentu dimana berlangsungnya hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain yang tentunya akan
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
terjadi saling mempengaruhi.Kondisi sosial dalam masyarakat “Kampng Idiot” pastinya akan terjadi saling berhubungannya antara penyandang keterbelakangan mental dengan masyarakat yang ada disekitarnya, termasuk dalam hal ini juga adalah tokoh masyarakatnya. Berdasarkan dari pernyataan dari Informan TIN yang mempunyai keluarga keterbelakangan dua orang ini, mengatakan bahwa belum pernah keluarganya yang penyandang tersebut menerima tawaran atau bantuan obat dari tetangganya disaat keluarganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut sakit, bahkan keluarganya yang penyandang tersebut disaat sakit langsung meminta obat ke pukesmas. “Mboten, mboten mbak. Nek sakit nggeh kadang teng Pukesmas piyambak”. (TIN, 2015) Artinya: “Tidak, tidak mbak. Kalau sakit ya kadang ke Pukesmas sendiri”. (TIN, 2015) Menurut keterangan TIN tersebut dapat diketahui bahwa, kepedulian masyarakat terhadap keluarga penyandang tersebut tidak seintens dengan keluarga yang lain. Dimana dapat dilihat bahwa sikap yang diberikan oleh salah satu tetangga dari keluarga penyandang menunjukkan sikap yang berbeda dengan keluarga mereka yang tidak memiliki keluarga penyandang. Berbeda dengan informan IIM, informan ini mengaku tidak pernah mengundang orang yang mempunyai keterbelakangan mental dalam acaraacaranya seperti acara rutin yasinan maupun acara selamatan dirumahnya. “Mboten. Mboten mbak, kula mboten nate ngundang nek mriki wonten slametan nopo yasinan “. (IIM,2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Artinya: “Tidak, tidak mbak, kalau saya tidak pernah mengundang kalau sini ada selamatan atau yasinan(tahlilan)”. (IIM, 2015)
Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan sikap antara orang-orang yang normal dengan mereka-mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Hal ini dapat dilihat dari sikap informan kepada keluarga penyandang yang memberikan perilaku diskriminatif kepada keluarga penyandang keterbelakangan mental tersebut. Bukan hanya itu saja, informan IIM juga pernah melihat keluarga dan kerabat mereka sendiri
memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan
kepada salah satu penyandang yang datang kerumahnya. ..”nggeh kadang niku mriki niku tiyangnge katah wonten lare kadang niku nyuwun nopo ngoten kadang-kadang nek mboten disukani niku nesu kadang niku lare-lare niku, ndang gek diweh i gek ngaleh. ngoten mbak ngoten niku mbak paling”. (IIM, 2015) Artinya: “…”ya kadang itu sini itu orangnya banyak ada anak kadang itu minta apa gitu kadang-kadang kalau tidak diberi itu marah kadang itu anak-anak itu, cepet dikasih terus pergi, gitu mbak gitu itu mungkin”. (IIM, 2015) Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa, adanya penolakan dari masyarakat tertentu terhadap penyandang keterbelakangan mental tersebut. Penolakan tersebut berupa tidak adanya penerimaan sosial atas kehadiran penyandang keterbelakangan mental tersebut. Berbeda lagi dari salah informan INU yang merupakan mantan Kepala Desa Sidoharjo. INU mengatakan bahwa, belum ada kegiatan desa seperti lomba
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
agustusan yang melibatkan penyandang keterbelakangan mental. INU juga memastikan bahwa tidak akan melibatkan warga penyandang dalam masalah lomba-lomba seperti agustusan tersebut. “Nek kegiatan-kegiatan lomba-lomba nopo ngoten niku ngantos sak meniko mriki nik sak meniko dereng enten. Yo sing jelas nek masalah agustusan niku mboten mbak, mboten diikutkan”. (INU, 2015) Artinya: “Kalau kegiatan-kegiatan lomba-lomba apa gitu sini sejauh ini sini sejauh ini belum ada. Ya yang jelas kalau masalah acara lomba agustus itu tidak mbak, tidak diikutkan”. (INU, 2015) Menurut pernyataan informan INU tersebut secara rasional memang mereka-mereka yang keterbelakangan mental akan sulit mengikuti kegiatankegiatan tersebut, namun secara moral mereka juga mempunyai hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat seperti orangorang normal lainnya. Informan DEV adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yang ada di Desa Sidoharjo ini, DEV juga aktif mengajar mengaji disalah satu masjid yang DEV dan keluarga DEV dirikan. Menurut pernyataan DEV mengenai soal pendidikan inklusi atau sekolah inklusi khususnya di Desa Sidohajo sendiri belum ada. Menurut DEV hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengajar yang khusus mampu menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus. “Kalau yang inklusi kita tidak bisa menjawab sepenuhnya, artinya begini, memang inklusi ini membutuhkan penanganan dan layanan khusus ya, jadi harus ada guru khusus yang ahli dibidangnya..” (DEV, 2015) Melihat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomer 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan termasuk didalamnya adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dari pernyataan informan DEV tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah daerah khususnya perangkat desa dalam hal ini kurang memberikan perhatian kepada warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus, padahal mereka mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kondisi mereka tersebut. III.2.2. Kondisi Ekonomi Kondisi ekonomi merupakan suatu kondisi yang menunjukkan pada kemampuan
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat
setempat.
Kemampuan
pemenuhan kebutuhan keluarga penyandang keterbelakangan mental merupakan salah satu yang menjadi perhatian utama, mengingat mayoritas keluarga yang mempunyai anggota yang keterbelakangan mental tingkat perekonomiannya sangat rendah, bahkan dapat dikatakan mereka tergolong miskin. Berdasarkan dari pernyataan dari Informan DEV, bahwa mayoritas keluarga penyandang adalah keluarga yang tingkat perekonomiannya sangat rendah, mereka tergolong lebih dari miskin bahkan termasuk duafa fakir. Masyarakat fakir adalah masyarakat yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian dan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan primer manusia. “Kalau dari aspek ekonominya sebagian besar mereka itu dari golongan duafa mbak, miskin ya. Lebih dari miskin ya, duafa fakir, mereka menghidupi keluarganya mencari penghasilan untuk kebutuhan keluarganya itu juga asal-asalan. Satu hari saja kadang gak cukup. Bekerja satu hari untuk makan sehari itu...” (DEV, 2015) Menurut argumen DEV melihat perbedaan pemenuhan kebutuhan dari orang yang berada di “Kapung Idiot” terbagi dari miskin dan duafa fakir. Orang
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
yang termasuk miskin adalah mereka yang memerlukan sesuatu, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, sedangkan duafa fakir kondisinya lebih buruk daripada orang miskin karena duafa fakir adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Informan WAR mempunyai pernyataan yang hampir sama dengan informan DEV. Bedanya informan DEV menganggap bahwa mereka termasuk keluarga fakir duafa, sedangkan informan WAR menganggap mereka termasuk orang atau keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Mereka masih dapat mencari pekerjaan walaupun itu hanya dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari. “Yowes rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang ya orang-orang yang min memang mbak. Yowes rata-rata ya seperti itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan dulunya memang kekurangan zat atau gizi atau kurang zat yodium itu tadi”. (WAR, 2015) Artinya: “Ya sudah rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang ya orang-orang yang kurang (minus) memang mbak. Ya suda ratarata ya seperti itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan dulunya memang kekurangan zat atau gizi atau kekurangan zat yodium itu tadi”. (WAR, 2015) Menurut argumen WAR tersebut menunjukkan bahwa, mereka yang termasuk ekonomi kurang. Dalam hal ini mereka masih dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari namun, masih kurang dari standar rata-rata yang sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Berbeda dari pernyataan informan MAD, bahwa keluarga yang mempunyai keterbelakangan mental tersebut ada yang keluarganya berkecukupan
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
karena ada salah satu anggota keluarganya yaitu ibunya yang bekerja di luar negeri sebagai TKI, sehingga menurut informan MAD mereka tidak termasuk keluarga yang miskin namun masih dalam kategori berekonomi sedang. ...”ada sing ibuk e TKI, dadi nek dianggap miskin mboten lah nek TKI niku miskin yo sedang ngono ae...” (MAD, 2015) Artinya: ...”ada yang ibuknya TKI, sehingga kalau dianggap miskin tidaklah kalau TKI itu miskin ya sedang gitu saja...” (MAD, 2015) Menurut pendapat informan MAD tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian dari mereka ada yang orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai TKI. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga mereka masih tergolong keluarga menengah kebawah. Dari pendapat informan MAD tersebut jika salah satu anggota keluarga yang bekerja di luar negeri, itu berarti masih ada anggota keluarganya yang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuahan sehari-hari keluarganya. Disamping potret kehidupan keluarga penyandang keterbelakangan mental tersebut yang jauh dari berkecukupan namun, ada beberapa penyandang keterbelakangan yang dapat bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Seperti pernyataan salah satu informan MAD yang menyatakan bahwa, hasil kerja mencangkul salah satu penyandang keterbelakangan mental lebih bagus daripada orang normal lainnya. ...”ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing mriki niku biasane sadean godong jati, Bagong sing Klitik kaleh Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku...” (MAD, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Artinya: ...”ada tiga bagong yang semuanya pekerja disini. Bagong yang disini ini biasanya jualan daun jati, Bagong yang Klitik dengan Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul sungguh mencangkulnya bagus mbak itu dengan orang normal gitu menurut saya bugus itu...” (MAD, 2015) Kenyataan bahwa para penyandang yang keterbelakangannya masih dalam kategori ringan masih dapat bekerja dan mencari nafkah untuk hidupnya, padahal secara ekonomi keluarga para penyandang sangat kekurangan dan tidak sedikit mereka adalah dalam kategori miskin. Namun, banyak para tetangganya yang meragukan hasil kerja para penyandang tersebut, hal tersebut dikarenakan keadaan fisik maupun mentalnya yang berbeda dari kebanyakan masyarakat lainnya. Dari argumen informan tersebut menunjukkan suatu bentuk perlakuaan diskriminatif dalam aspek ekonomi, dalam hal untuk memperoleh pekerjaan antara orang normal dengan orang yang berkebutuhan khusus, terlepas dari penyandang tersebut dapat bekerja dengan baik maupun tidak. Informan WAR misalnya dia tidak pernah menggunakan tenaga penyandang tersebut untuk membantu pekerjaannya dirumah. Karena dengan kondisi penyandang tersebut yang membuat WAR sendiri ragu untuk memberikan pekerjaan untuknya. “Belum pernah saya mbak, belum pernah. Karna saya sendiri melihat kondisinya saya sudah nggak..., istilahnya kasian gitu”. (WAR, 2015) Menurut TIN salah satu informan yang mempunyai dua orang anggota keluarga yang keterbelakangan mental dalam kategori sedang dan ringan mengaku anggota keluarganya tersebut juga jarang ditawari pekerjaan oleh tetangganya, padahal dahulu sering disuruh untuk cari air di sungai.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
“Nek riyen nggeh pernah di kongkon mendhet toyo riyen, nek sak niki mboten, wonten sanyo punan”. (TIN, 2015) Artinya: “Kalau dulu ya pernah disuruh ambil air dulu, kalau sekarang tidak, ada sudah ada sanyo”. (TIN, 2015) Melihat kondisi mereka yang mempunyai keluarga keterbelakangan mental mayoritas kondisinya sangat kekurangan, mereka bekerja sehari untuk biaya hidup sehari, mereka sangat membutuhkan bantuan dari tetangganya. Melihat dari argumen TIN tersebut dapat dikatakan bahwa penyandang keterbelakangan mental menjadi terdiskriminasi dalam aspek ekonominya, dengan kondisi yang serba kekurangan lapangan pekerjaan yang juga semakin sempit membuat mereka semakin termajinilisasi dari aspek ekonominya. III.2.3. Kondisi Politik Kondisi lingkungan sosial “Kampunt Idiot” tidak hanya dapat di representasikan melalui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat “Kampung Idiot”namun juga harus dilihat dari kondisi politik masyarakatnya. Dengan melihat kondisi politik masyarakatnya kita dapat melihat sejauh mana pemerintah daerah maupun pemerintah Desa Sidoharjo melaksanakan fungsi politik dalam warga masyarakatnya antara warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus atau penyandang keterbelakangan mental dengan warga masyarakatnya yang normal atau yang tidak berkebutuhan khusus tersebut. Informan MAD sebagai sorang tokoh masyarakat yaitu sebagai sekretaris Desa Sidoharjo mengaku bahwa MAD tidak pernah memberikan pendampingan secara langsung kepada para penyandang keterbelakangan mental yang ingin melakukan pemilihan suara di TPS (Tempat Pemilihan Suara). Namun, menurut
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
informan
MAD
tersebut
ada
sebagian
warganya
yang
penyandang
keterbelakangan mental yang ikut memilih dan didampingi oleh keluarganya sendiri. Menurut informan MAD perangkat desa tidak memberikan perlakuan khusus atau pendampingan kepada warganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut. ...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah enten..pernah enten menggunakan suarana nggeh wonten sing didampingi keluarganya. Kalau saya mgajak ndampingi mboten nate. Kalau perlakuan khusus untuk mereka ya, nek ngurusi sing berkebutuhan saja yo ra rampung”. (MAD, 2015) Artinya: ...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah ada...pernah ada yang menggunakan suaranya ya ada yang didampingi keluarganya. Kalau saya mengajak mendampingi tidak pernah. Kalau perlakuan khusus untuk mereka ya, kalau mengurusi yang berkebutuhan saja ya tidak selesai”. (MAD, 2015) Berdasarkan pernyataan informan MAD “nek ngurusi sing berkebutuhan saja yo ra rampung”(kalau mengurusi yang berkebutuhan saja ya tidak selesai), hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan sekaligus berupa bentuk perilaku diskriminasi
yang
diberikan
oleh
perangkat
desa
untuk
memberikan
pendampingan terhadap warganya yang akan melakukan hak politiknya. Padahal mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental dan sebagai warga Indonesia, sesuai Undang-Undang negara para penyandang cacat tetap mempunyai hak untuk menyalurkan suaranya. Berdasarkan dari pernyataan dari Informan INU bahwa, didalam aspek politik misalnya PEMILU mereka tetap masuk dalam DPT, walaupun
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kenyataannya
mereka
tidak
dapat
menyalurkan
hak
suaranya
karena
keterbatasannya tersebut. Kalau untuk pendampingan dalam PILKADA kepada masyarakatnya yang keterbelakangan mental maupun cacat fisik lainnya sampai saat ini tidak ada. ..”yo tetep ndue hak, tetep ndue hak, tetep ditulis walaupun mengke nek teko hari H niku saged rawuh nopo mboten. Nek pendampingan yo sosok mbak sosok karek event ne, nek event ne pomo pemilihan caleg pamane kan yo jauh lah istilah e, kui biasane ora..” (INU, 2015)
Artinya: ..”ya tetap punya mbak, tetap punya hak, tetap ditulis walaupun nantinya kalau pas hari H itu bisa datang atau tidak. Kalau pendampingan ya terkadang mbak terkadang tinggal acaranya, kalau acaranya seumpama pemilihan caleg misalnya kan ya jauh lah istilahnya, itu biasanya tidak..” (INU, 2015) Namun, menurut informan INU jika pilkades karena ruang lingkupnya kecil diadakan pendampingan oleh salah satu calon tertentu, karena dirasa masih dalam lingkungan salah satu calonnya, sehingga warganya tersebut kesempatan untuk dijadikan tambahan suara dalam pilkades. ...”lha nek pilkades niki termasuk tetep pamamne kulo jagone nggeh bersaing kalih A nopo B niku ngroso lingkunganku yo tak warahi kalih tim kulo terus mbenjeng nggeh didampingi kaleh, biasane ngoten”. (INU, 2015) Artinya: ...”lha kalau pilkades itu termasuk tetap semisal saya calonnya ya bersaing dengan A atau B itu merasa lingkunganku ya tak bimbing dengan TIM saya terus besok ya didampingi juga, biasanya seperti itu”. (INU, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Berdasarkan argumen dari informan INU tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat diskriminasi dari penyaluran hak suara dalam pemilu. Bentuk diskriminasi tersebut dapat kita lihat dalam penyaluran hak suara dari masyarakatnya
yang
penyandang
keterbelakangan
mental.
Tidak
ada
pendampingan dalam proses penyaluran hak suara mereka dalam pemilihan kepala daerah atau calon legislatif. Namun, hal tersebut berbeda jika pemilihan kepala desa, demi untuk menjomplang jumlah suara ada pendekatan khusus dari beberapa calan kandidat kepla desa. Pendekatan tersebut dapat dilihat adanya pendampingan khusus dari salah satu calon kandidat tertentu. III.3. Stigma Negatif “Kampung Idiot” Konsep “stigma” dalam pemikiran Erving Goffman(dalam Damaiyanti, 2009) yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam, yang bisa terlihat pada bahasa (baik itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan sehari-hari. Menurut Goffman, stigma diskredit adalah stigma yang dapat dimiliki seseorang, dimana aktor menganggap perbedaan yang nampak pada seseorang atau individu tersebut terlihat jelas bagi seseorang atau individu lain yang melihatnya, misalnya cacat fisik yang nampak pada diri seseorang atau individu. Orang yang mendapat stigma atau menerima stigma adalah mereka yang tentunya berbeda dan tidak sesuai dengan yang ditetapkan masyarakat. Termasuk bagi mereka yang menerima stigma diskredit dari masyarakat, misalnya orangorang yang cacat yang dapat terlihat secara jelas. Termasuk didalamnya adalah orang-orang yang keterbelakangan mental, yang biasanya fisiknya ditandai dengan kepala yang lebih besar, rahang gigi yang begitu menonjol atau perilakunya yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat lainnya. Ciri-ciri fisik
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
tersebut yang dianggap memiliki kriteria khusus sehingga hal tersebut dianggap sebagai salah satu yang menjadi syarat siapa-siapa yang pantas dan tidak pantas diterima oleh masyarakat, walaupun tidak secara tertulis syarakat-syarat tersebut secara langsung akan disetujui oleh masyarakat. Studi ini menemukan dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk stigma dari masyarakatnya. Bentuk-bentuk stigma yang diterima tersebut tidak hanya dalam bentuk verbal misalnya seperti panggilan goblok, mendho, peko‟, idiot‟, budeg sampai pada panggilan-panggilan yang bukan nama aslinya misalnya nama aslinya Nardi dipanggil Bagong namun juga dalam bentuk stigma non verbal misalnya mendapatkan penolakan dari kelompok masyarakat tertentu dan mendapatkan pandangan yang kurang menyenangkan dari orang lain serta sampai disuruh menyingkir saat datang diacara hajatan.Lebih jelasnya bentuk-bentuk stigma yang diterima oleh masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa Sidoharjo tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel 3.1 Bentuk-Bentuk Stigma yang Diterima NO. INFORMAN
STIGMA VERBAL
1.
MAD
- Mendho - Robet(Orang Krebet)
2.
INU
- Wong pinggiran - Ndeso
3.
DEV
- Goblok - Pekok - Mendho
4.
ARI
-Goblok -Idiot
5.
TIN
-
6.
IIM
- Goblok - Gak iso omong(bisu)
7.
WAR
-
STIGMA NONVERBAL Disuruh menyingkir saat datang ke acara hajatan dari salah satu warga. Pandangan bahwa dianggap masyarakat satu desa bodoh semua. Sering ditanya-tanya tempat tinggalnya dan pendapatkan pandangan yang kurang menyenangkandari orang lain. Disuruh menyingkir saat orang yang keterbelakangan tersebut akan bergabung bersama kelompok ibuibu yang sedang mengobrol.
peko‟ bude‟
Diusir oleh tetangganya saat salah satu penyandang datang kerumahnya.
Panggilan “Bagong”
-
Sumber: Data Primer Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa hampir semua informan yang ada didekat para penyandang keterbelakangan mental pernah mendengar dan melihat bahwa para penyandang keterbelakangan mental yang ada di desanya menerima stigma bahkan dari tetangganya sendiri. Informan TIN salah satu anggota keluarganya pernah disebut orang peko‟ (bodoh)dan bude‟ (bodoh).
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
“Nggeh, kasiann ngoten mbak dilok e. Kados budhe ne niki(sambil mengelus rambut putrinya).Kadang-kadang nggeh, dijuluki peko‟, bude‟ ngoten...” (TIN, 2015) Artinya: “Ya, kasian gitu mbak lihatnya. Seperti tantenya ini (sambil mengelus rambut putrinya). Kadang-kadang ya, dipanggil bodoh, tuli seperti itu...” (TIN, 2015) Menurut
pendapat
TIN
tersebut
anggota
keluarganya
yang
keterbelakangan mental mendapat dua sebutan dari orang lain yaitu sebutan peko‟ dan bude‟. Kedua sebutan tersebut disematkan sebagai bentuk representatif dari keadaan penyandang keterbelakangan mental tersebut, yang memang penyandang mengalami tingkat penurunan ingat otak dan penurunan pendengarannya. Berbeda dengan informan IIM yang pernah melihat dan mendengar sendiri Painah salah satu penyandang keterbelakangan mental yang sering datang ke rumahnya untuk meminta tepung gaplek (tepung ketela) menerima stigma dari tetangga dan saudara-saudaranya berupa sebutan atau panggilan „goblok‟. …”pamane mriki wonten tiyang mriki ngoten, ngeten mbak wong goblok bolak-balik njaluk ae diweh i ora ngaleh ngoten. Kan Painah niku lo mbak Sidowayah, niku mbendinten mriki mawon nyuwun, pun disukani nopo nek dereng disukani glepung gaplek lebut niku tasek nyuwun mawon”. (IIM, 2015) Artinya: ...”semisal disini ada orang yang datang gitu, gini mbak orang bodoh itu sering sekali minta tapi sudah dikasih tidak mau pergi. Kan Painah (salah satu nama penyandang) Sidowayah dikasih itu setiap hari kesini terus minta, sudah dikasi apapun kalau belum dikasih tepung singkong lembut itu masih saja minta terus”. (IIM, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Menurut pengalaman IIM tersebut, tetanganya yang bernama Painah mendapat sebutan goblok dalam bahasa Indonesia yaitu bodoh yang artinya seseorang yang tidak banyak mempunyai pengetahuan dan sulit untuk memahami dan mengerjakan sesuatu. Painah dianggap orang yang bodoh dan tidak memahami apa yang dia lakukan, karena setiap hari hanya meminta tepung ketela yang dimiliki IIM, serta tidak mau pergi sebelum mendapatkannya. Penerimaan stigma tidak hanya dialami oleh mereka yang mempunyai keterbelakangan mental saja. Namun, stigma juga dialami mereka yang bukan penyandang keterbelakangan mental. Informan MAD yang dulunya pernah sekolah di salah satu SMK Negeri di Kota Ponorogo, juga pernah menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya berupa sebutan mendhodi sekolahnya. ...”ngerti omahku krebet ngono, layak mendho(sambil ketawa) ngonten niku. Jane nggeh mboten mendho. Terus pomo aku rodok ngantuk ngono ke, nek nggojloki emm besok sarapan yang agak bergizi ya..(sambil ketawa)”. (MAD, 2015) Artinya: ...”tahu rumahku Krebet gitu, makanya bodoh (sambil ketawa) seperti itu. Tapi ya tidak bodoh. Terus kalau saya sedikit mengantuk gitu, kalau menertawain emm besok sarapan yang lebih bergizi ya..(sambil tertawa)”. (MAD, 2015) Sebenarnya jika melihat kondisi MAD yang sebenarnya, MAD bukan orang yang bodoh seperti stigma yang diberikan oleh teman-temannya tersebut. MAD adalah salah satu anak yang berprestasi di sekolahnya, MAD tidak pernah tidak ranking satu di kelasnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma yang diberikan
seseorang
tidak
selamanya
mempresentasikan
keadaan
yang
sesungguhnya. Namun hanya label yang melekat di desanya sebagai desa yang
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental atau orang memahaminya sebagai „tempat para orang bodoh‟ tinggal sehingga orang normalpun mendapat stigma yang sama. Selain itu juga dikarenakan MAD berasal dari Desa Krebet, informan MADmengaku
pernah
mendapatkan
perkataan-perkataan
yang
kurang
menyenangkan, seperti sebutan Robet yang artinya orang Krebet saat masa-masa sekolah SMA dulu. ...”sampek dijuluki Robet, Orang Krebet, semua temen-temen saya yang sekolah disitu, temen-temen disitu manggile Robet. Itu sebagai beban tersendiri Robet ini wes sak elek-elek e wong. Jane Orbet asline orang Krebet, orang-orang Krebet lo ya orang medho lah. Nyek-nyek an, kesakitan nek nyang komunitas nongkronge cah-cah”. (MAD, 2015) Artinya: ...”sampai dipanggil Robet, Orang Krebet, semua teman-teman saya yang sekolah disitu, teman-teman disitu memanggil Robet. Itu sebagai beban tersendiri Robet itu sudah sejelek-jeleknya orang. Aslinya Orber Orang Krebet, orang-orang Krebet ya orang Bodoh lah. Ejek-ejekan, kesakitan kalau di komunitas nongkrong anakanak”. (MAD, 2015) Melihat pengalaman MAD terkait stigma-stigma yang pernah MAD terima dari teman-temannya tersebut, sebutan „Robet‟ yang artinya orang Krebet sebagai bentuk representasi bahwa tempat tinggal membawa dan mempengaruhi stigma yang disematkan kepada orang lain. Sehingga stigma tidak hanya diberikan kepada mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan saja, namun juga kepada mereka yang tinggal dalam satu desa dengan para penyandang keterbelakangan mental. Informan WAR mempunyai cerita sendiri terkait stigma yang diberikan masyarakat kepada beberapa penyandang keterbelakangan di desanya tersebut. Mulai dari tokoh masyarakat sampai warga masyarakat di Desa Sidoharjo
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
mempunyai julukan tersendiri kepada tiga orang penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa tersebut. Julukan tersebut adalah julukan „Bagong‟ kepada ketiga orang laki-laki penyandang keterbelakangan mental. Namun ketiga orang tersebut masih dapat bekerja walaupun hanya dalam satu perintah pekerjaan, karena masih dalam tinggal keterbelakangan mental sedang. “Ya seperti umpamanya namanya Nardi tapi dipanggil Bagong karna memang panggilannya tiap hari ya gitu.Tapi kalau nama di identitas sebenarnya kan bukan itu”. (WAR, 2015) Artinya: “Ya seperti semisal namanya Nardi tapi dipanggil Bagong karena memang panggilannya tiap hari ya seperti itu. Tapi kalau nama di identitas sebenarnya kan bukan itu”. (WAR, 2015) Pernyataan WAR bahwa ketiga Bagong tersebut dapat bekerja, diperkuat oleh informan MAD, memang di desa ini ada tiga orang Bagong. Saat peneliti mengadakan wawancara dengan informan MAD, dia pernah menyebut tiga orang penyandang yang namanya Bagong yang ketiganya masih bisa bekerja, untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Ternyata ketiga nama Bagong tersebut hanya sebuah sebutan nama untuk ketiga penyandang keterbelakangan mental tersebut. ...”Niku Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental), ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing mriki niku biasane sadean godong jat. Nek Bagong sing Klitik kaleh Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku”. (MAD, 2015) Artinya: ...”itu Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental), ada tiga Bagong yang semuanya bekerja disini. Bagong yang disini itu biasanya jualan daun jati. Kalau Bagong yang Klitik dengan Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul hasil mencangkulnya bagus itu dengan orang biasa/normal gitu menurut saya bagus itu”. (MAD, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sehingga dari pernyataan kedua informan WAR dan MAD, dapat disimpulkan bahwa stigma juga dapat berupa penggantian nama asli menjadi nama panggilan yang disematkan kepada mereka-mereka yang mempunyain karakteristik fisik maupun mental secara khusus. Berbeda dengan argumen yang diberikan oleh salah satu informan ARI. Pada waktu peneliti menanyakan kepada salah satu informan ARI, apakah beliau mempunyai sebutan khusus atau panggilan khusus kepada warga masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental, ARI mengatakan bahwa sebutannya „Idiot‟, adalah mayoritas sebutan yang sering digunakan masyarakat di desanya tersebut. “Ohh, kalau disini sebutanne ya idiot ngono mbak.” (ARI, 2015) Artinya: “Ohh, kalau disini sebutannya atau panggilannya ya idiot gitu mbak”. (ARI, 2015) Menurut argumen dari informan ARI tersebut, sebutan „idiot‟ bagi waganya yang mengalami keterbelakangan mental adalah sebagai bentu representasi dari keadaan yang dialami oleh sebagian masyarakatnya tersebut. Namun, sebutan idiot sesungguhnya adalah istilah yang diberikan kepada merekamereka yang mengalami keterbelakangan mental dalam kategori berat saja, atau dalam istilahnya mereka-mereka yang masuk dalam severe retardation (retardasi mental berat) dengan IQ 20-34, anak dalam kategori retardasi mental berat, bisa disebut dengan„idiot‟, karena kebanyakan IQ mereka dibawah 30. Dalam kategori ini mereka sudah tidak bisa menerima pelajaran akademik dan sulit mengenali
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
orang-orang didekat mereka.Sehingga sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-harinya, seperti: makan, mandi dan lain sebagainya.Ditambah lagi mereka sudah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, sehingga membutuhkan banyak pengawasan dari orang disekitarnya. Padahal, pada kenyataannya masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa Sidoharjo tersebut ada yang dalam kategori ringan dan sedang. Sehingga tidak semuanya dapat dikatan „idiot‟ maupun dalam kagori „idiot‟. Stigma yang pernah didapatkan oleh masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental tidak hanya berupa stigma verbal saja, namun stigma nonverbal pernah mereka dapatkan. Informan ARI pernah melihat tetangganya penyandang keterbelakangan mental pernah mendapatkan penolakan dari kelompok masyarakat tertentu, hanya karena dia dianggap tidak normal seperti kebanyakan masyarakat lainnya. “Yowes ngelok-ngelokne mandak koyo ngono wes neng kono ae wes ra sah amor wong-wong ngene iki. Mayoritas mbak. Mandak koyo ngono ae kerjone piye…kadang kan ngenyek ngoten niku lo. Mboten nek koyo njuluki iki ke wong ngene ngoten niku mboten. Kula dereng miring”. (ARI,2015) Artinya: “Ya sudah menyebut-nyebut keadaan yang seperti itu sudah disitu saja tidak uasah bergabung dengan orang-orang seperti ini. Mayoritas mbak. Dengan keadaan seperti itu kerjanya gimna…kadang kan mengejek seperti itu. Tidak kalau memberi julukan ini orang seperti ini itu tidak. Saya belum pernah dengar”. (ARI, 2015) Selain
informan
ARI
yang mendapat
pernah
melihat
penolakan
tetangganya
keterbelakangan
tersebut
oleh
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
yang
sekelompok
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
masyarakatnya.MAD juga pernah melihat penyandang keterbelakanganmental mendapatkan perilaku yang kurang menyenangkan dalam suatu acara hajatan. “Sing kerep kulo eroh i nggeh diusir niku wau umpamane, neng rejan-rejan ngono kae nyedek ngono kui dikon ngaleh”. (MAD, 2015) Artinya: “Yang sering saya tahu ya diusir itu tadi misalnya, dalam acara pesta rakyat seperti itu mendekat gitu disuruh pergi”. (MAD, 2015) Menurut pernyataan ARI dan MAD tersebut, dapat disimpulkan bahwa, mereka-mereka yang berkebutuhan khusus seperti penyandang keterbelakangan mental tersebut sulit untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosial mereka.Penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapat penolakan dari lingkungan sosial mereka sendiri. Padahal mereka sesungguhnya sangat membutuhkan bantuan dari orang lain dalam kehidupannya, selain itu juga mereka berhak untuk bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain. Pemaparan diatas menunjukkan stigmatisasi yang pernah dialami dan diterima oleh beberapa masyarakat yang mengalamai keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo yang dikenal dengan “Kampung Idiot”.Stigma-stigma tersebut tidak hanya berbentuk stigma verbal, namun juga stigma non-verbal juga mereka terima. Stigma yang diberikan oleh mereka yang mengalami keterbelakangan mental kemudian akan menciptakan perilaku diskriminatif. Stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka-mereka yang menurut masyarakat tidak sesuai kriteria yang ada dimasyarakat. Oleh karena itu, masyarakat akan menolak kehadiran pihak-pihak yang mereka anggap berbeda dari masyarakat lainnya. Pihak-pihak yang dianggap
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
berbeda dari mereka akan mengalami penolakan sosial dari lingkungannya akibat atribut yang melekat pada mereka-mereka yang dianggap berbeda tersebut. Masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo yang dikenal sebagai “Kampung Idiot” tersebut adalah salah satunya. II.3.1. Identitas “Kampung Idiot” Berawal dari Jumlah Penyandang Keterbelakangan Mental yang Ada di Desa Sidoharjo Isu Desa Sidoharjo mendapatkan label sebagai “Kampung Idiot” awal mulanya tidak lepas dari data banyaknya jumlah masyarakat yang menderita cacat fisik dan mental. Berikut tabel kategori jumlah penduduk Desa Sidoharjo menurut penderita Cacat Fisik dan Mental tahun 2013 (dalam, Jambon dalam Angka 2014). Tabel 3.1 Kategori Jumlah Penduduk Menurut Penderita Cacat Fisik dan Mental NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
URAIAN Tuna Netra Tuna Rungu Tuna Wicara Tuna Rungu Wicara Tuna Daksa Tuna Grahita Cacat Mental Cacat Ganda Jumlah Sumber: Jambon dalam Angka 2014
JUMLAH 11 orang 32 orang 13 orang 7 orang 14 orang 8 orang 111 orang 43 orang 239 orang
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Desa Sidoharjo sebagian besar menderita cacat mental, yaitu sebesar 111 orang dari 239 orang yang menderita cacat fisik dan mental.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III.3.2. Status “Kampung Idiot” Diperkuat dengan Masuknya Media Massa Media massa merupakan salah satu institusi sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat. Media massa mampu membentuk suatu organisasi yang hidup di tengah masyarakat. Salah satu fungsi media massa selain fungsi informasi, fungsi hiburan dan fungsi penyebaran nilai, media massa juga mempunyai fungsi penafsiran dengan memberikan penafsiran terhadap kejadiankejadian penting yang ada di masyarakat. Ada keterkaitan antara fungsi informasi media dengan fungsi penafsiran, bahwa melalui informasi banyaknya masyarakat penderita cacat fisik terutama cacat mental yang ada di Ponorogo khususnya di Desa Sidoharjo tersebut, akhirnya media massa mempublikasikannya diberbagai media cetak maupun elektronik dengan berbagai penafsiran yang dibuat media tersebut. Berdasarkan dari pernyataan dari salah satu informan MAD, bahwa isu label atau sebutan “Kampung Idiot” tersebut pertama kali digulirkan oleh media. Menurut MAD media menyebutnya bahwa ini adalah bentuk dendam dari Undang-Undang pers pada era orde baru bahwa Undang-Undang media dibuat sedemikian ketat sehingga membuat media semakin terbumkam dengan informasi-informasi yang ada di masyarakatnya. “Sejarah penyebutan kampong idiot niku..temen-temen media yang menggulirkan, dulu sebelum ada keterbukaan informasi temen-temen media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan keadaan disini,...” (MAD, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Artinya: “Sejarah penyebutan Kampung Idiot itu.. teman-teman media yang menggulirkan, dahulu sebelum ada keterbukaan informasi temanteman media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan keadaan disini,..” (MAD, 2015) Akhirnya dengan perubahan masa dan perubahan mengenai UndangUndang kebebasan pers, media pada akhirnya dapat mengpublikasikan informasiinformasi yang dulunya tidak sempat dipublikasikan yang menurut mereka penting diketahui oleh masyarakat umum misalnya mengenai keadaan masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. ...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang. Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan desa sidoharjo, sesuatu sing ini nanti harus mendapat perhatian, akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...” (MAD, 2015) Artinya: ...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang. Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan desa sidoharjo, sesuatu yang ini nanti harus mendapat perhatian, akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...” (MAD, 2015) Menurut informan MAD tersebut dapat dilihat bahwa penyebutan “Kampung Idiot” itu sendiri adalah permainan media massa untuk mendapat simpati publik atas situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Walaupun tidak semua masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental ditambah lagi bukan hanya keterbelakangan mental saja namun juga ada yang menderita cacat fisik. Namun, stigma publik akan
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
beranggapan bahwa “Kampung Idiot” adalah suatu kampung yang masyarakatnya „idiot‟ semua. Itulah stigma yang masih melekat hingga sekarang ini. III.3.3. Didukung oleh Pemerintah Desa Sidoharjo Studi ini menemukan bahwa, stigma negatif “Kampng Idiot” tidak hanya didukung oleh jumlah penderita cacat mental dan cacat fisik yang ada di Desa Sidoharjo dan masyarakat luar seperti media massa, namun juga didukung oleh pemerintah Desa Sidoharjo itu sendiri. Pemerintah Desa Sidoharjo tidak mengganggap kondisi yang dialami masyarakatnya bukan sebagai aib yang harus mereka tutup-tutupi, namun sebaliknya kondisi ini harus disebar-luaskan ke masyarakat luar maupun ke pemerintah daerah. Seperti apa yang dipaparkan oleh salah satu informan INU, bahwa sebutan “Kampung Idiot” tersebut adalah permintaan dari pemerintah desa itu sendiri. “Yo pada dasarnya wong sak kecamatan ki ngerti mbak, kampong idiot kan yo jenenge deso ke yo ndue karep, memang seng njuluk ne kampong idiot deso iki dewe pemerintah desa dewe, supaya bab-bab iku ben tersebar luas, disebar luasne malahan, ora kok justru ditutup-tutupi...” (INU, 2015) Artinya: “Ya pada dasarnya orang sekecamatan ini mengetahuinya mbak. Kampung Idiot kan ya namanya desa itu ya mempunyai keinginan, memang yang memberikan sebutan Kampung Idiot desa ini sendiri pemerintah desa sendiri, supaya bab-bab itu biar tersebar luas, disebar luaskan malahan, tidak malah justru ditutup-tutupi...” (INU, 2015) Melihat argumen dari informan INU tersebut bahwa bukan hanya media saja yang memberikan sebutan “Kampung Idiot” namun juga pemerintah desa sendiri yang ingin kondisi masyarakatnya diketahui oleh masyarakat luas terutama pemerintah pusat dan daerah. Kondisi masyarakatnya tersebut harus diketahui
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
publik dikarenakan menurut informan INU bahwa agar persoalan tersebut dapat segera diatasi dan mendapat kepedulian dari pemerintah. “Nek wes disebar luasne kan yo akhir e enek wong-wong sing peduli, terutama pemerintah. Niku kan yo mesti enek kepedulian. Nek malah tak tutuptutupi yo malah…diarani kampong idiot yo selama onok deso iki, mau-maune nggeh mboten...” (INU, 2015) Artinya: “Kalau sudah disebar luaskan ya akhirnya ada orang-orang yang peduli, terutama pemerintah. Itu kan pasti ada kepedulian. Kalau malah saya tutup-tutupi yo malah...dikatakan Kampung Idiot ya selama ada desa ini, awalnya ya tidak...” (INU, 2015) Stigma “Kampung Idiot” identik dengan stigma kurang menyenangkan dan membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, hal tersebut akan berbeda dari pandangan dari salah satu informan INU tersebut, bawasannya tidak semua stigma dianggap buruk dan membawa dampak buruk bagi semua orang yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Berdasarkan argumen INU sebagai salah satu tokoh masyarakat di desa tersebut, dengan stigma “Kampung Idiot” membawa dampak positif bagi desanya. Hal tersebut terbukti bahwa Desa Sidoharjo semakin banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM dan para donatur-donatur lainnya. Sehingga hal tersebut membawa keuntungan tersendiri bagi Desa Sidoharjo tersebut. III.4. Respon Masyarakat Lokal Atas Stigma “Kampung Idiot” Masyarakat Desa Sidoharjo banyak yang memberikan stigma negatif sebagai
bentuk
penolakan
terhadapmereka-mereka
yang
mengalami
keterbelakangan atau retardasi mental karena mereka dianggap mempunyai ciri atau kriteria khusus yang nampak secara jelas, yang dianggap tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Terdapat bentuk-bentuk stigma yang disematkan kepada mereka-mereka yang tergolong berkebutuhan khusus atau mereka yang keterbelakangan mental. Bentuk-bentuk stigma tersebut ada yang berupa verbal dan non-verbal. Bentuk penolakan verbal tersebut berupa kata-kata misalnya dengan mengatakan bahwa orang tersebut idiot, goblok (bodoh), peko‟ (bodoh), mendho (bodoh), Robet(Orang Krebet), bisu sampai dengan memberikan panggilan yang bukan nama aslinya misalnya panggilan „Bagong‟. Sedangkan bentuk penolakan nonverbal yang tercermin dari bentuk gestur tubuh seperti pandangan yang kurang menyenangkan dari orang lain sampai bentuk perlakuan yang kurang menyenangkan misalnya penolakan terhadap penyandang dari kelompok masyarakat tertentu sampai pada pengusiran secara langsung dari suatu kelompok tertentu. Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental menerima stimulus negatif dari masyarakat lain maupun dari orang terdekatnya sendiri, baik berupa stigma verbal maupun non-verbal. Studi ini menemukan bahwa reaksi yang ditunjukkan oleh informan sangat beragam. Seperti yang ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Tabel 3.2 Respon yang Ditunjukkan Masyarakat Terhadap Stigma dan Perilaku Diskriminatif Masyarakat “Kampung Idiot” NO. INFORMAN 1.
-
MAD
2.
INU -
3.
DEV
4. 5.
ARI
-
-
TIN 6.
IIM
7.
WAR
-
RESPON YANG DITUNJUKKAN Percaya diri dibilang dari “Kampung Idiot Langsung diajak bicara jika ada orang yang memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan kepada salah seorang penyandang Tidak masalah Desa Sidoharjo disebut “Kampung Idiot”, karena jika tidak disebut “Kampung Idiot” malah tidak akan menyelesaikan masalah. Dianggap biasa aja jika orang banyak menyebut penyandang orang pingiran atau “ndeso” Menjelaskan keadaan Desa Sidoharjo bawasannya yang mengalami keterbelakangan mental tersebut tidak semua masyarakatnya. Berbicara secara langsung kepada orang yang mengatakan atau memanggil dengan panggilan yang kasar kepada salah seorang penyandang Menunjukkan respon yang kurang senang Biasa saja disaat anggota keluarganya dijuluki dengan panggilan-panggilan yang bukan namanya Malu jika tempat tinggalnya dijuluki “Kampung Idiot” Langsung menangepi bahwa itu sudah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa Biasa saja jika Desa Sidoharjo di sebut sebagai “Kampung Idiot”, tidak ada rasa malu
Sumber: Data Primer Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa respon yang ditunjukkan masyarakatterhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung Idiot” sangat bervariatif. Respon tersebut ditunjukkan oleh keluarga yang memiliki anggota yang keterbelakangan mental, lingkungan sekitar dan respon perangkat desa atas stigma “Kampung Idiot” tersebut.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III.4.1. Respon Keluarga yang Memiliki Anggota yang Keterbelakangan Mental TIN adalah salah satu informan yang mempunyai dua anggota keluarga yang keterbelakangan mental yang masih dalam kategori ringan, disaat keluarganya yang keterbelakangan mental tersebut mendapat perkataan-perkataan yang kurang baik
dari
peko‟(Bodoh),goblok(bodoh).
tetangganya Anggota
mulai
dari
keluarganya
mendapatkan yang
julukan
keterbelakangan
tersebut jika mendengarnya akan sedikit marah dan bergumam dengan bahasanya sendiri. …“kadang nek tiyangge mireng ngoten kadang nggeh nesu, ngamuk biasane, nguuumengg mawon, ngremeng ngoten”. (TIN, 2015) Artinya: ...”kadang kalau orangnya dengar gitu kadang ya marah, marah (tersinggung) biasanya, berbicara sendiri (namun tidak jelas bahasanya), menunjukkan ketidaksenangan seperti itu”. (TIN, 2015) Berdasarkan pernyataan TIN tersebut dapat dilihat bahwa, keluarganya yang keterbelakangan mental tersebut jika mendengar ada tetangga yang menjulukinya peko‟, goblok atau perkataan yang kurang menyenangkan dari tetangganya dia „ngrumeng‟ (berbicara yang kurang jelas) atau „gremeng‟, yang dalam
arti
bahasa
indonesianya
adalah
bergumam
sebagai
bentuk
ketidaknyamanan. „Ngumeng‟ atau „ngremeng‟ tersebut sebagai bentuk respon ketidaksenangan atau ketidaknyamanan penyandang tersebut atas perkataan yang tidak menyenangkan yang diberikan kepada dirinya.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sedangkan TIN sendiri jika keluarganya mendapatkan julukan peko‟, goblok dari tetangganya menanggapinya seperti kebanyakan informan lainnya, TIN meresponnya dengan biasa saja, TIN tidak pernah memberikan respon atau reaksi apapun kepada orang atau tetangganya tersebut, mengingat memang keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang terbatas yaitu sebagai penyandang keterbelakangan mental yang berbeda dengan masyarakat normal lainnya. “Pripun nggeh emang keadaane ngoten niku, terbatas yowess mbak, biasaae”. (TIN, 2015) Artinya: “Seperti apa ya memang keadaannya seperti itu, terbatas ya sudah mbak, biasa saja”. (TIN, 2015) Berdasarkan informan TIN tersebut respon biasa saja yang TIN berikan kepada seseorang atau tetanganya yang memberikan perlakuan atau perkataan yang kurang menyenangkan anggota keluarganya yang keterbelakangan mental menurut TIN dikarenakan keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang terbatas, sehingga ada sikap pasrah terhadap diri TIN mengenai sikap orang lain terhadap anggota keluarganya tersebut. III.4.2. Respon Lingkungan Sekitar Respon terhadap stigma “Kampung Idiot” dan perilaku diskriminatif terhadap penyandang keterbelakangan mental juga ditunjukkan oleh beberapa masyarakat sekitar. Salah satunya adalah yang dilakukan linforman IIM, yang langsung memberikan tanggapan langsung disaat IIM melihat dan mengalami
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
sendiri pada waku itu, yaitu kepada salah satu warganya yang memberikan julukan bisu kepada salah satu penyandang keterbelakangan mental tersebut. “Hee. . . kowe opo seneng nek koyo ngono kui, ora iso omong iku yo pawaue sing kuoso kok, kula nggeh ngoten. Kan leres ta mbak, tiyang ngoten niku nek. . . prayo isin to mbak”. (IIM, 2015) Artinya: “Hee...kamu apa senang kalau seperti itu, tidak bisa bicara itu ya pemberian dari Yang Maha Kuasa, saya ya gitu. Kan benar kan mbak, orang seperti itu...kan ya malu mbak”. (IIM, 2015) Berdasarkan pernyataan informan IIM bahwa apa yang dialami salah satu penyandang keterbelakangan mental dengan kondisi „bisu‟ adalah sudah menjadi pemberian dari Yang Maha Kuasa. Berdasarkan argumen tersebut IIM mengumpamakan kepada orang yang memberikan stigma „bisu‟ kepada salah satu penyandang tersebut agar orang tersebut bisa lebih bersimpati dengan kondisi atau keadaan yang dialami oleh penyandang keterbelakangan tersebut. Sehingga IIM berharap orang yang memandang rendah mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental tersebut, dapat lebih bersyukur dengan kondisinya yang normal sekarang ini. Respon berbeda diberikan salah satu informan ARI, menurut pernyataan ARI, pihaknya kurang senang dengan sebutan “Kampng Idiot” yang diberikan kepada desanya tersebut. Dengan alasan hanya sebagian kecil dari warga masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental. Sehingga menurut ARI sebutan atau julukan tersebut tidak tepat diberikan kepada Desa Sidoharjo. “Ya cuma yo kurang marem lah. Lha nyapo kok ndadak dikek kampong idiot barang ki kan yo sebagian gak semuanya ngono lo maksud e kan cuma sedikit kok dijuluki kampong idiot..”
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
(ARI, 2015) Artinya: “Ya Cuma ya kurang senang lah. Lha kenapa kok dikasih nama Kampung Idiot segala kan ya sebagian gak semuanya gitu lo maksudnya kan cuma sedikit kok dijuluki Kampung Idiot...” (ARI, 2015) Berdasarkan pernyataan ARI, dapat dilihat bahwa „kurang marem‟ atau dalam bahasa Indonesinya „kurang senang‟ menunjukkan ketidak senangan sekaligus penolakan dengan sebutan “Kampung Idiot” tersebut. Mengingat antara kenyataan atau kondisi yang sebenarnya dengan apa yang dipahami masyarakat luar sangat jauh berbeda. Antara masyarakat yang penyandang keterbelakangan mental dengan masyarakat normal jumlahnya jauh lebih banyak masyarakat normalnya, sehingga informan ARI menunjukkan respon ketidaksenangan dan ketidak setujuan dengan sebutan “Kampung Idiot” yang melekat di desanya tersebut. III.4.3. Respon Perangkat Desa Respon terhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung Idiot”tidak hanya ditunjukkan oleh penyandang keterbelakangan mental, pihak keluarga
penyandang
keterbelakangan
mental
maupun
dari
lingkungan
masyarakat sekitar, namun juga ditunjukkan oleh tokoh masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Salah satun informan WAR mengganggap dengan sebutan “Kampung Idiot” yang disemangatkan kepada desanya tersebut WAR tidak merasa malu ataupun menunjukkan ketidaksenangan. Mengingat dengan keadaan Desa Sidoharjo yang seperti itu keadaannya, WAR tidak akan menutupi atau
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
menyembunyikan keadaan yang sebenarnya tersebut, bahwa memang ada sebagian dari jumlah masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental. “Ya kalau saya sendiri yo nggak istilahnya malu atau apa enggak, terah memang keadaannya yo seperti itu apa boleh buat gitu kan”. (WAR, 2015) Artinya: “Ya kalau saya sendiri ya tidak istilahnya malu atau apa tidak, memang keadaannya ya seperti itu apa boleh buat gitu kan”. (WAR, 2015) Berdasarkan pernyataan WAR tersebut bahwa respon yang ditunjukkan WAR mengenai stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak ada rasa malu. WAR merasa stigma tersebut telah menunjukkan keadaan dan kondisi sebenarnya yang dialami masyarakatnya. Menurut WAR, tidak ada masalah jika orang luar memberikan sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”. Respon yang diberikan WAR sebagai salah satu tokoh masyarakat yang ada di desa tersebut, berbeda dengan respon yang ditunjukkan oleh Informan DEV. Respon yang diberikan DEV kepada orang yang memberikan sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” maupun kepada orang yang menanyakan apakah satu kampung tersebut masyarakatnya „idiot‟ semua, respon yang diberikan dan ditunjukkan DEV adalah DEV berusaha menjelaskan keadaan kampungnya yang sebenarnya. Bahwa, tidak semua masyarakat yang tinggal di Desa Sidoharjo tersebut masyarakatnya mengalami keterbelakangan mental atau sebutan mereka „idiot‟. …”memberikan pemahaman kepada mereka bawasannya anggapan mereka selama ini, itu kurang benar, terus kondisi sosial yang sering didengar itu juga kurang benar, maka dari itu warga lain ketemu dengan orang luar mereka pasti ditanya seperti itu dan
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
seharusnya mereka bisa menjawab menjelaskan sesuai dengan kenyataan yang ada di Desa Sidoharjo.” (DEV, 2015) Selain
itu
juga
DEV
tidak
menutup-nutupi
maupun
sengaja
menghilangkan keadaan atau kondisi sebagian warga masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan tersebut.Bahwa jumlah populasi warga masyarakat Desa Sidoharjo tersebut sangat banyak, namun yang mengalami keterbelakangan mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk Desa Sidoharjo tersebut. “Desa Sidoharjo ini jumlahnya sangat banyak dari jumlah itu ada jumlah itu ada warga kami yang mengalami keterbelakangan mental, namun jumlah mereka sangat kecil kecil ini yang tidak kami tutup-tutupi, artinya tidak berusaha untuk menghilangkan warga kami yang mengalami keterbelakangan itu”. (DEV, 2015) Seperti halnya DEV informan INU sebagai mantan kepada desa pertama di Desa Sidoharjo tersebut juga menanggapi secara positif mengenai stigma atau sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”, banyak orang luar sana yang menjuluki desanya dengan sebutan “Kampung Idiot”, karena jika ditutup-tutupi masalah tersebut tidak akan dapat terselesaikan. “Yo ra masalah, nek coro kula yo ra masalah, nyapo kok ditutaptutupi. Justru barang-barang sing ditutupi ngono kui ora iso anu ora iso nylesekne masalah. Nek ditutupi niku barang koyo ngono kok ditutup, terus akhire piye nek arep nylesaikan”. (INU, 2015) Artinya: “Ya tidak masalah, kalau menurut saya ya tidak masalah, kenapa kok ditutup-tutupi. Justru sesuatu apapun yang ditutupi itu tidak bisa apa tidak bisa menyelesaikan masalah. Kalau ditutupi itu sesuatu seperti itu kokditutupi, terus akhirnya bagaimana kalau ingin menyelesaikannya”. (INU, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Berdasarkan argument INU tersebut dapat diketahui bahwa INU tidak akan menutupi keadaan atau kondisi di desanya tersebut. INU akan membenarkan bahwa memang masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental. Sehingga dari pernyataan INU tersebut tidak ada masalah jika masyarakat luar menyebut desanya sebagai “Kampung Idiot” karena jika kondisi masyarakatnya ini ditutupi malah tidak akan memberikan penyelesaian terkait kondisi warga masyarakat Desa Sidoharjo. DEV juga memberikan pernyataan bahwa, berdasarkan pengalamannya sendiri DEV pernah melihat dan mendengar warganya yang menerima perkataan atau sebutan yang kurang menyenangkan, DEV langsung memberikan teguran secara langsung kepada orang yang memberikan sebutan yang kurang baik kepada orang tersebut. ..”ngomong baik-baik dengan remajanya itu sendiri bawasannya perbuatan itu sendiri tidak baik, memberikan sebutan kepada orang lain, memberikan apa panggilan kepada orang lain yang mana itu bukan namanya sendiri kan itu sendiri tidak baik, apalagi ini sebutan yang buruk seperti kata-kata kasar itu tadi..”. (DEV, 2015) Berdasarkan beberapa pengalaman DEV tersebut dapat diketahui bahwa, DEV tidak memberikan respon yang negatif atau kurang menyenangkan terhadap beberapa warganya maupun orang di luar desanya mengenai stigma dan informasi yang menurut DEV tersebut kurang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di desanya. Memberikan teguran langsung terhadap salah satu warganya yang memberikan panggilan yang bukan nama aslinya dan bahkan sebutan-sebutan kasar tersebutadalah tindakan yang dinilai DEV sebagai bentuk respon yang benar, agar masyarakat luar mendapat pemahaman maupun informasi yang benar
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
terkait kondisi yang sebenarnya Desa Sidoharjo tersebut. Mengingat warga masyarakat di Desa Sidoharjo mayoritas pendidikannya rendah, sehingga perlu memberikan pemahaman kepada warga masyarakatnya dalam memberikan sikap maupun perlakuan terhadap sebagaian warga masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan mental. Sehingga akan menunbuhkan sikap saling menghargai antar sesama masyarakat lainnya. Dari temuan data yang diperoleh, tidak semua informan menunjukkan respon secara langsung terhadap stigmatisasi dan perilaku diskriminatif yang dialami oleh masyarakat “kampung idiot” tersebut. Maupun memberikan respon yang keras terhadap stigmatisasi yang diberikan kepada masyarakat Desa Sidoharjo kepada sebagian warga masyarakat penyandang keterbelakangan mental tersebut. Ada beberapa masyarakat yang biasa saja jika Desa Sidoharjo mendapat sebutan “Kampung Idiot”, namun ada juga sebagian warga masyarakatnya yang berusaha menjelaskan keadaan atau kondisi yang sebenarnya di Desa Sidoharjo tersebut. III.5. Keuntungan Atas Stigma “Kampung Idiot” Konsep stigma yang identik dengan suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam, yang bisa terlihat pada bahasa dan gestur tubuh (baik itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan sehari-hari.Sehingga stigma juga identitik dengan suatu perbuatan maupun perkataan yang buruk terhadap individu maupun kelompok serta akan membawa pengaruh buruk pada individu atau kelompok yang menerimanya tersebut. Namun demikian, hal tersebut akan berbeda dengan apa yang dialami oleh masyarakat “Kampung Idiot” Desa Sidoharjo ini. Dengan stigma sebagai “Kampung Idiot” yang telah tersematkan
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
terhadap desa tersebut disisi lain ternyata membawa dampak atau pengaruh baik bahkan membawa keuntungan terhadap masyarakat yang tinggal di
Desa
Sidoharjo tersebut. III.5.1. Keuntungan dari Pihak Keluarga Stigma yang diterima oleh anggota keluarganya maupun pihak penyandang keterbelakangan itu sendiri bukan selamanya berpengaruh buruk maupun negatif kepada mereka. Namun, stigma tersebut ternyata berpengaruh baik atau positif bagi keluarga maupun bagi penyandang keterbelakangan itu sendiri. Hal tersebut dibuktikan melalui salah satu pernyataan informan SOI, yang mempunyai dua anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.SOI menyadari dengan stigma atau sebutan Desa Sidoharjo ini sebagai “Kampung Idiot” disatu sisi memberikan dapak positif kepada desanya, karena akhirnya setelah terkenal sebagai desa miskin yang masyarakatnya banyak yang berkebutuhan khusus yang akhirnya banyak bantuan yang datang ke desanya. Misalnya saja, dengan melihat kondisi keluaraga SOI pemerintah tidak hanya tinggal diam, SOI mengaku anaknya masih mendapat bantuan rutin dari pemerintah sebesar Rp.300.000,00 setiap bulannya. “Kan iki wes terkenal mbak kampong miskin mangan karat ngono, tapi yo akhirre akeh sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan ngoten niku, koyo niku(menunjuk anaknya yang sedang tidur) per bulan nggeh tasek bayaran 300 rutin per bulan”. (SOI, 2015) Artinya: “Kan ini sudah terkenal mbak Kampung Idiot miskin makan singkong begitu, tapi ya akhirnya banyak sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan seperti itu, seperti itu (menunjuk anaknya yang
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
sedang tidur)per bulan masih dapat bayaran 300 (tiga ratus) rutin setiap bulan”. (SOI, 2015) Menurut argumen SOI tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan stigma dan sebutan desa mereka sebagai “Kampung Idiot”, yang banyak orang diluar sana memberikan pandangan dan penafsiran bahwa masyarakatnya semua mengalami keterbelakangan mental. Padahal yang termasuk penyandang keterbelakangan mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari sekian populasi penduduk yang ada di Desa Sidoharjo. Pada akhirnya stigma tersebut tidak hanya memberikan dampak buruk pada keluarganya namun juga memberikan dampak positif tersendiri, berupa bantuan tunjangan hidup untuk penyandangnya sendiri. Selain informan SOI, salah satu tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yaitu informan DEV juga memberikan pernyataan bahwa, para keluarga penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapatkan bantuan berupa ternak kambing maupun ayam dari pemerintah daerah, sebagai bentuk
program
pemberdayaan
ekonomi
bagi
keluarga
penyandang
keterbelakangan mental. ...”kita berikan bantuan dari pemerintah kita salurkan yakni berupa ternak kambing, ada yang ternak ayam, dan yang lainnya ini sudah berjalan ada yang bagus ada yang kurang bagus ada yang sama sekali tidak ada perubahanya, ya tadi kendalanya banyak sekali karna harus senantiasa dipantau...” (DEV, 2015) Menurut argumen kedua informan tersebut dapat disimpulkan bahwa, keluarga penyandang keterbelakangan mental
yang ada di Desa Sidoharjo
tersebut mendapat bantuan tunjangan hidup berupa uang sebesar Rp.300.000,00 yang rutin diberikan setiap bulannya kepada penyandang dan selain itu juga
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
mendapatkan bantuan program pemberdayaan ekonomi berupa hewan ternak seperti kambing dan ayam. Sehingga stigma atau label tidak hanya memberikan dampak negatif maupun pengaruh buruk kepada individu atau kelompok yang menerimanya, namun juga memberikan banyak pengaruh positif bahkan menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi penerimanya. Seperti halnya yang dialami oleh Desa Sidoharjo yang mendapat stigma sebagai “Kampung Idiot” memberikan pengaruh besar dan berdampak positif bagi keluarga penyandang itu sendiri. III.5.2. Keuntungan dari Lingkungan Sekitar Keuntungan atas stigma “Kampung Idiot” tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga saja namun juga dari lingkungann sekitarnyanya, dalam kata lain keuntungan atau dampak positif tersebut tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga penyandang kerbelakangan saja, namun juga mereka-mereka yang tidak mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan mental. Informan ARI salah satunya yang merasakan keuntungan dari label desa sebagai “Kampung Idiot” ini. Menurut ARI semua warga masyarakat Desa Sidoharjo ini setiap tahun rutin samapai saat ini mendapatkan bantuan berupa garam yodium dari pemerintah daerah melalui dinas kesehatan setempat selain itu juga pernah mendapatkan beberapa paket makanan seperti: Susu, roti dan biskuit yang diberikan rutin setiap bulan kepada seluruh masyarakatnya, namun kalau untuk bantuan ini berhenti samapai tahun lalu saja. Bantuan garam yodium tersebut tidak hanya diberikan kepada mereka-mereka yang mempunyai anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental, namun juga kepada keluarga yang tidak mempunyai anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
“Garam niku ta? Nggeh niku rutin niku satu tahun sekali niku mbak, nek dulu itu satu bulan sekali itu kayak susu, roti, biscuit kayak gitu lo. Tapi sekarang nggak ada”. (ARI, 2015)
Artinya: “Garam itu ya? Ya itu rutin itu satu tahun sekali itu mbak, kalau dulu itu satu bulan sekali itu seperti susu, roti, biskuit seperti itu. Tapi sekarang tidak ada”. (ARI, 2015) Bukan hanya dari pernyataan informan ARI, salah satu informan DEV yang menjadi salah anggota relawan BASNAS Jawa Timur mengungkapkan bahwa pihaknya telah banyak menyalurkan bantuan dari BASNAS Jawa timur kepada masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Bantuan tersebut tidak hanya dirasakan dan diberikan kepada keluarga penyandang saja, namun juga seluruh warga masyarakat Desa Sidoharjo dapat merasannya. Menurut pernyataan DEV bantuan tersebut berupa perbaikan rumah warga yang rusak, pembuatan beberapa sumur sebagai penampuan air bersih sehingga kebutuhan air bersih warga masyarakatnya tercukupi. ...”progam perbaikan rumah tinggal atau yang disingkat property dari BASNAS dengan struktur dan bentuk yang sama itu bisa kita lihat sebanyak 62 rumah, diseluruh Desa Sidoharjo ini, serta pembuatan sumur yang mana sumur itu nanti dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan air dimasyarakat, artinya kebutuhan seharihari untuk mandi, masak dan mencuci...” (DEV, 2015) Selain perbaikan rumah atau tempat tinggal dan pembuatan sumur atau penampungan air bersih, BASNAS Jatim melalui relawannya yaitu informan DEV
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
sendiri memberikan bantuan berupa program pengembangan pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Program pengembangan pendidikan dari BASNAS ini, DEV sendiri yang mengatur dan mengurus segalanya keperluannya, mengingat DEV sebagai salah satu relawannya dan yang kebetulan tinggal di Desa Sidoharjo. “Dan yang ketiganya adalah untuk memajukan pendidikan, pendidikan masyarakat baik pendidikan formal maupun non formal, yakni seperti pengadaan majelis taklim, taman pendidikan al-quran, madrasah diniyah lha ini yang terbaru adalah madrasah iftidaiyah untuk melengkapi lembaga pendidikan tingkat dasar di Desa Sidoharjo ini”. (DEV, 2015) Menurut argumen DEV tersebut dapat diketahui bahwa, beberapa bantuan yang diberikan BASNAS berupa perbaikan rumah, pembuatan sumur, dan program pengembangan pendidikan bagi masyarakat Desa Sidoharjo tersebut memberikan
manfaat
yang
besar
bagi
warga
masyarakatnya
Desa
Sidoharjo.Dengan stigma bahwa Desa Sidoharjo sebagai desa yang keterbelakang, pinggiran, desa miskin, desa yang masyarakatnya banyak yang menderita cacat fisik maupun cacat mental hingga sampai pada munculnya label “Kampung Idiot”, banyak pihak-pihak yang peduli tentang situasi dan keadaan desa tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma “Kampung Idiot” tidak selamanya membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, namun justru sebaliknya malah membawa dampak posistif atau pengaruh baik bagi warga masyarakat Desa Sidoharjo. III.5.3. Keuntungan dari Perangkat Desa
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Stigma “Kampung Idiot”yang melekat di Desa Sidoharjo tidak hanya membawa keuntungan bagi pihak keluarga penyandang dan lingkungan sekitar, namun juga membawa keuntungan tersendiri dari perangkat desa sendiri. Menurut salah satu mantan kepala desa pertama Desa Sidoharjo yaitu informan INU menyatakan bahwa, desa sendiri yang membuat stigma “Kampung Idiot” itu sendiri.
Menurut informan INU, tujuan pemerintah desa membuat
sebutan “Kampung Idiot” ini adalah agar kondisi yang dialami oleh Desa Sidoharjo ini tersebar luaskan, untuk mendapatkan kepedulian dari pemerintah. ..”kan yo jenenge deso ke yo ndue karep, memang seng njuluk ne kampong idiot deso iki dewe pemerintah desa dewe, supaya bab-bab iku ben tersebar luas, disebar luasne malahan, ora kok justru ditutup-tutupi. Nek wes disebar luasne kan yo akhir e enek wongwong sing peduli, terutama pemerintah. Niku kan yo mesti enek kepedulian”. (INU, 2015) Artinya: ..”kan ya namanya desa mempunyai keinginan, memang yang memberikan nama Kampung Idiot desa ini sediri pemerintah desa sendiri, supaya bab-bab itu biar tersebar luas, disebar luaskan malahan, tidak mlah justru ditutup-tutupi. Kalau sudah tersebar luaskan kan akhirnya ada orang-orang yang peduli, terutama pemerintah. Itu kan pasti ada kepedulian”. (INU, 2015) Sehingga, stigma “Kampung Idiot” sengaja dimunculkan oleh desa sendiri melalui aparatur desa sebagai pihak yang menyelenggarakan segala urusan untuk membina seluruh anggota masyarakat. Selain itu juga pemerintah desa sebagai lembaga yang mengurusin segala keuangan dan administrasi yang diperlukan untuk pembangunan wilayah desa secara fisik maupun non fisik. Menurut informan INU dengan label Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” tersebut sangat membawa dampak atau pengaruh positif bagi pemerintah sendiri.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Keuntungannya adalah pemerintah desa sebagai lembaga yang mengurusi segala keperluan desa menjadi semakin mudah untuk mencari bantuan dari pemerintah daerah maupun dari dinas sosial maupun dinas kesehatan.Mengingat desa tidak ada anggaran khusus untuk menangani penyandang yang ada di desa tersebut. “Kene anggarane sing jelas yo ora eneng anggaran sing pasti kango wong sing ngono kui, sebab e deso isone mong njalok. Nah iku sak durungo njalok iki wes enek suoro-suoro sing ngono kui kan enteng njaluk e..” (INU, 2015) Artinya: “Disini angarannya yang jelas ya tidak ada anggaran yang pasti untuk orang yang seperti itu, karena desa bisanya hanya minta. Nah itu sebelum minta ini ada suara-suara (isu Kampung Idiot) yang seperti itu kan ringan mintanya...”. (INU, 2015) Menurut argumen INU tersebut dapat diketahui bahwa, stigma memberikan keuntungan besar bagi pemerintah desa terkait birokrasinya dengan pemerintah daerah maupun dinas sosial semakin dipermudah. Sehingga akhirnya menurut INU, banyak bantuan-bantuan yang datang khusus untuk menangani penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Seperti adanya pukesmas yang khusus menangani para penyandang keterbelakangan mental serta bantuan-bantuan lainnya dari dinas sosialPonorogo. ...”akhir e oleh pukesmas sing khusus ngurusi wong-wong sing stress, pomo pemerintah kene ora iso nangani yo dinas sosial njalok rono kan yo enteng mawon ngoten lo asline ngoten niku”. (INU,2015) Artinya: ...”akhirnya dapat pukesmas khusus yang khusus menangani orangorang yang stress, semisal pemerintah sini tidak bisa menangani ya dinas sosial minta kesana kan ya ringan saja seperti itu lo sebenarnya seperti itu”. (INU, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Menurut argumen informan INU tersebut, dapat disimpulkan bahwa, keuntungan yang diperoleh pemerintah desa terkait stigma “Kampung Idiot” tersebut adalah desa mendapatkan bantuan pukesmas yang khusus untuk menangani penyandang keterbelakangan mental serta bantuan dari dinas sosial Ponorogo. Sehingga keuntungan dengan adanya stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga penyandang keterbelakangan mental dan masyarakat lingkungan sekitar saja, namun juga keuntungan tersebut dapat dirasakan oleh pemerintah desa sendiri. III.6. Kerugian Atas Stigma “Kampung Idiot” Stigma yang dimiliki Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” pastinya tidak hanya membawa keuntungan saja yang dirasakan, namun juga membawa beberapa kerugian secara sosial terhadap pihak keluarga penyandang, lingkungan sekitar namun juga perangkat desa itu sendiri. Berikut beberapa kerugian secara sosial yang dirasakan atas stigma “Kampung Idiot” tersebut. III.6.1.KerugianPihak Keluarga Penyandang Keterbelakangan mental Pihak keluarga penyandangadalah salah satu orang yang paling dekat dengan kehidupan penyandang keterbelakangan mentalitu sendiri. Pihak keluargalah yang mengurusi, menjaga dan mengawasi kehidupan sehari-hari dari penyandang tersebut. Sehingga kerugian dengan adanya stigma yang diberikan kepada keluarganya yangketerbelakangan mental oleh masyarakat sekitar maupun dari masyarakat luar mengenai stigma atau label “Kampung Idiot” tersebut membawa dampak tersendiri bagi keluarga penyandang. Menurut salah satu informan TIN sebagai pihak keluarga dari penyandang yang mempunyai dua
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
orang anggota penyandang keterbelakangan mental mengaku TIN merasa malu dengan adanya sebutan atau label desanya sebagai “Kampung Idiot”. “Pripun nggeh. Sak jane niku nggeh isin ngoten mbak,dijuluki kampong idiot ngoten mbak”. (TIN, 2015) Artinya: “Seperti apa ya. Sebenarnya itu ya malu seperti itu mbak, disebut sebagai Kampung Idiot seperti ini mbak”. (TIN, 2015) Menurut argumen TIN tersebut, pihaknya merasa malu jika orang-orang diluar sana memberikan julukan Desa Sidoharjo sebagai tempat tinggalnya sejak ia dilahirkan ini sebagai “Kampung Idiot”. „Isin‟ dalam pemikiran TIN menunjukkan rasa kurang nyaman terhadap julukan yang diberikan kepada desanya,
mengingat
kedua
anggota
keluarganya
adalah
penyandang
keterbelakangan mental tersebut. Apalagi jika TIN pada saat tertentu harus bertemu dan berinteraksi dengan orang diluar desa tersebut. TIN juga harus menjelaskan pada saat itu jika menerima pertanyaan mengenai kondisi keluarganya dan keadaan desanya tersebut. Sedangkan informan TUN mempunyai pernyataan yang berbeda terkait stigma “Kampung Idiot” yang melekat di Desa Sidoharjo tersebut.Stigma tersebut menurut TUN kurang tepat mengingat warganya yang penyandang tidak sebanyak dengan jumlah penduduk yang ada di Desa Sidoharjo ini. TUN berharap desanya ini disebut Desa Sidoharjo, yang memang nama desanya, buka disebut sebagai “Kampung Idiot”. “Emmmm,, pripun nggeh mbak. Sing idiot ke sepiro lo, kan mlebu Sidowayah kono sing paling okeh. Pengenne yo disebut Desa Sidoharjo ngoten mawon”.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
(TUN, 2015) Artinya: “Emmmm,, seperti apa ya mbak. Yang „idiot‟ itu seberapa lo, kan masuk Sidowayah sana yang paling banyak. Pengenne ya disebut Desa Sidoharjo gitu saja”. (TUN, 2015) Berdasarkan pernyataan TUN tersebut „sing idiot sepiro lo‟(yang „idiot‟ berapa lo) menunjukkan ketidak setujuannya dengan sebutan desanya sebagai “Kampung Idiot”. Karena sebenarnya masyarakat paling banyak penyandangnya itu terpusat ada satu Dukuh yaitu Dukuh Sidowayah, walaupun di dukuh lainnya ada, namun tidak sebanyak yang di dukuh Sidowayah tersebut.Pernyataan „Pengenne yo disebut Desa Sidoharjo ngoten mawon‟ (pengennya ya disebut Desa Sidoharjo gitu saja) menunjukkan ketidaknyamanan TUN dengan sebutan “Kampung Idiot” tersebut. III.6.2. Kerugian dari Lingkungan Sekitar Lingkungan sekitar atau warga masyarakat yang tinggal di desa tersebut yang pihaknya tidak mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan mentalpun merasakan hal yang sama seperti pihak keluaraga penyandang. Seperti yang dirasakan salah satu informan IIM sebagai warga masyarakat Desa Sidoharjo, IIM mengaku bahwa pihaknya merasa kurang nyaman dan merasa malu, jika setiap kali IIM bertemu orang lain maupun kerabatnya yang ada di luar Kecamatan Jambon, IIM mengaku sering menerima pertanyaan-pertanyaan mengenai Dusun Sidowayah, bahwa orang mengetahuinya selain sebagai dusun yang banyak penduduknyayang „idiot‟, juga banyak penduduknya yang tidak bisa bicara(bisu). ...”prayo isin to mbak, nek pas ketemu wong njobo ngono, ditakoktakokk i, tiyang Sidowayah niku kok kathah sing idiot ta bu, niku
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
nopo sakeng..,.nopo niku nek mriku niku ngaranine danyangngan. Wong Sidowayah niku opo danyangnge okeh sing bisu? Ngoten”. (IIM, 2015) Artinya: ...”kan ya malu mbak, kalau pas ketemu orang luar gitu, ditanyatanyai, orang Sidowayah itu kok banyak yang „idiot‟ ya bu, itu apa karena.., apa itu kalau disana itu istilahnya leluhur yang sudah meninggal. Orang Sidowayah itu apa leluhurnya yang sudah meninggal dulu banyak yang „bisu‟? seperti itu”. (IIM, 2015) Menurut pernyataan IIM “Prayo isin to mbak,..” (kan ya malu mbak) tersebut dapat disimpulkan bahwa, IIM merasa malu dan kurang nyaman dengan pendapat-pendapat diluar Desa Sidoharjo tersebut yang menganggap Dusun Sidowayah Desa Sidoharjo masyarakatnya banyak yang bisu dan idiot. Padahal kategori idiot tersebut hanya diberikan kepada penyandang keterbelakangan dalam kategori berat.Sedangkan, Jika dibandingkan dengan warga masyarakatnya yang normal dengan warga masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan mental masih banyak jumlah warganya yang normal. Pernyataan yang hampir serupa di sampaikan oleh informan DAR. Menurut DAR banyak anak-anak muda sekarang yang tidak mengakui tempat tinggalna di Desa Sidoharjo, mereka hanya menyebutkan alamatnya Jambon tanpa menyebut nama desanya.Menurut DAR, mereka merasa malu jika harus mengakui bahwa tempat tinggal mereka di Desa Sidoharjo, atau yang dikenal dengan sebutan “Kampung Idiot”. ..”tapi kalau anak-anak yang muda itu kan biasanya ya mentalnya agak drop ya malu mungkin. Kan yang awalnya desa yang bisa dibanggakan akhirnya dengan julukan yang semacam itu secara otomatis ya nggak tataklah”. (DAR, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Artinya: …”tapi kalau anak-anak yang muda itu kan biasanya ya mentalnya sedikit drop ya malu mungkin. Kan yang awalnya desa yang bisa dibanggakan akhirnya dengan julukan yang semacam itu secara otomatis ya tidak percaya dirilah”. (DAR, 2015) Berdasarkan pernyataan dari informan DAR bahwa “mentalnya agak drop ya malu mungkin” dapat diketahui bahwa banyak anak muda disana yang tidak percaya diri jika menyebutkan alamat asli mereka ada di Desa Sidoharjo. Mereka merasa malu jika orang lain mengetahui mereka berasal dari desa yang dikenal dengan “Kampung Idiot”. Kebanyakan orang dapat membanggakan daerah asal mereka namun tidak berlaku untuk anak muda yang berasal dari Desa Sidoharjo, mereka tidak bisa membanggakan daerah asalnya, yang justru harus mereka sembunyikan karena tidak merasa percaya diri dengan desa mereka yang dikenal dengan “Kampung Idiot”. Pernyataan yang sama disampaikan oleh informan LAN, saat LAN bekerja di Malaysia banyak orang yang menanyakan alamat asli informan. LAN menjawab berasal dari Desa Sidoharjo Jambon.Dari jawaban LAN tersebut orang langsung paham bahwa desa tersebut dikenal dengan “Kampung Idiot”.Saat itu juga LAN merasa sedikit malu.Namun LAN harus menanggapinya dengan menjelaskan keadaan yang sebenarnya, bahwa memang ada sebagian warganya yang mengalami keterbelakangan mental, yang memang keadaan masyarakatnya tersebut tidak bisa dihilangkan begitu saja. “Jane nggeh rodhok isin. Tapi nggeh niku tapi waktu ngoten,ajeng diilak i nopo saged lo mbak”. (LAN, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Artinya: “Sebenarnya ya sedikit malu. Tapi ya itu tapi waktu seperti itu, mau dihilangkan itu apakah bisa mbak”. (LAN, 2015) Berdasarkan dari argument informan LAN “Jane yo rodhok isin” (sebenarnya ya sedikit malu) tersebut dapat diketahui bahwa informan merasa malu karena ternyata banyak orang diluar sana yang mengenal Desa Sidoharjo atau Desa Krebet tersebut sebagai “Kampung Idiot”. Sehingga tidak ada respon lain selain LAN menjelaskan keadaan yang dialami masyarakat yang ada di daerahnya, yang memang tidak dapat dipungkiri bahwa memang banyak masyarakat yang ada di desanya yang banyak penyandang keterbelakangan mental, yang menurut LAN hal tersebut tidak dapat dihilangkan begitu saja. III.6.3. Kerugian dari Perangkat Desa Kerugian dengan adanya stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak hanya dirasakan oleh keluarga penyandang keterbelakangan mental dan masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut saja, namun juga dirasakan oleh perangkat desa sebagai pihak yang menangani dan mengatur segala macam urusan mulai dari administrasi, sampai pada segala proses pelaksanaan yang terkait dengan desa dan warga desa itu sendiri serta proses pembangunan yang ada di suatu desa tersebut. Menurut salah satu informan MAD sebagai salah satu sekretaris desa atau carik, MAD mengaku banyak mengalami kendala saat melakukan proses pencatatan DPT(Daftar Pemilih Tetap) pada saat menjelang Pemilu. Kendala tersebut terkait masalah identitas para penyandang, hal tersebut dikarenakan banyak para orang tua penyandang yang tidak segera mengurus akta kerahiran anaknya tersebut. Sehingga banyak para anggota keluarga penyandang yang tidak
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
mempunyai akta kelahiran, sehingga menurut MAD hal tersebut akan memberikan banyak kendala saat pencatatan DPT(Daftar Pemilih Tetap) disaat menjelang Pemilu. ..”kadang niku yo dilematis, dilematis se ngeten, sebagian dari mereka tidak punya identidas sing pas, mboten ndang didamelne surat kelahiran akhirnya, mereka lahir kapan niku kita tidak punya data yang pasti. Tapi berusaha sebisa mungkin mereka harus masuk DPT, yang sudah menjadi hak mereka”. (MAD, 2015) Artinya: ...”kadang itu ya dilematis, dilematisnya seperti ini, sebagian dari mereka tidak mempunyai identitas yang pas atau benar, tidak segera dibuatkan surat kelahiran akhirnya, mereka lahir kapan itu kita tidak punya data yang pasti. Tapi berusaha sebisa mungkin mereka harus masuk DPT, yang sudah menjadi hak mereka”. (MAD, 2015) Berdasarkan pernyataan informan MAD tersebut bahwa ada perasaan „delematis‟ yang dirasakan MAD. „Delematis‟ menurut pendapat informan MAD berarti bahwa ada sedikit kerugian yang dirasakan oleh para perangkat desa. Salah satu kerugian yang dirasakannya adalah perangkat desa kesulitan mendata keluarga penyandang, dikarenakan banyak penyandang yang tidak mempunyai akta kelahiran. Sehingga mengakibatkan perangkat desa sulit mendata siapa-siapa yang masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). Kesulitan lain juga dirasakan oleh informan DAR, yang tidak jauh berbeda dengan pernyataan dari informan MAD. Informan DAR mengaku bahwa pihaknya kesulitan dalam mendata identitas para penandang keterbelakangan, bahkan untuk masyarakat yang bukan penyandang keterbelakangan mentalpun tidak ada kesadaran untuk mengurus KK (Kartu Keluarga) dan KTP (Kartu Tanda Penduduk).Walaupun menurut DAR sendiri pihaknya sudah sering melakukan sosialisasi-sosialisasi melalaui acara mantenan maupun kegiatan yasinan di
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
lingkungannya mengenai pentingnya pembutan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga). “Ohh kalau itu yang jelas iya mbak,kesulitan dalam pendataan identitas mereka. Bahkan masyarakat yang tidak mengalami gangguan seperti itu pun banyak yang tidak mempunyai kesadaran untuk mengurus akta, KK bahkan untuk yang sekarangpun banyak yang tidak punya KTP.” (DAR, 2015) Berdasarkan pernyataan dari informan DAR tersebut, pihaknya merasa kesulitan dalam melakukan pendataan identitas masyarakatnya.Menurutnya, dari pihak keluarganya sendiri yang bukan penyandang keterbelakanganpun tidak ada kesadaran untuk mengurus KK maupun KTP anggota keluarganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut.Sehingga DAR sebagai perangkat desa merasa kesulitan untuk melakukan rekapitulasi identitas masyarakatnya. Pengalaman yang hampir sama dialami oleh informan LAN sebagai ketua RT di dukuh Klitik tersebut. LAN mengaku merasa kebingungan saat melakukan pendataan untuk pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) di RTnya.LAN merasa telah memaksa warganya untuk pembuatan KTP, namun masalahnya banyak masyarakatnya yang tidak mengingat tanggal dan bulan lahirnya. “Yo tak pekso ngono yo ra eleng kelahiran tahun pinten, bulan, tanggal pinten, dino mawon mboten paham. Marahi niku bingung kolo. Ajeng kolo awur ke yo piye”. (LAN, 2015)
Artinya: “Ya tak paksa pun tidak ingat kelahiran tahun berapa, bulan, tanggal berapa, hari saja tidak paham. Sebabnya itu bingung saya. Mau saya asal gitu ya bagaimana”. (LAN, 2015)
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Berdasarkan pernyataan dari informan LAN “Marahi niku bingung kolo” (sebanya itu bingung saya), berdasarkan pernyataan LAN tersebut informan LAN merasa kebingungan dalam melakukan pendataan identitas masyarakatnya.Karena banyak dari masyarakatnya yang tidak mengingat kapan mereka lahir. Sehingga LAN sebagai ketua RT setempat mengaku merasa kesulitan untuk membuatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) maupun KK (Kartu Keluarga) dari penduduk setempat terlebih lagi mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental, karena pihak keluarganya juga tidak mengingat kapan keluarganya tersebut dilahirkan, hal tersebut dipicu karena telatnya pendaftaran kelahiran yang dilakukan pihak keluarga tersebut.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III. 7. MATRIKS INFORMAN PENELITIAN III.7.1. Matriks Stigma Pada Masyarakat “Kampung Idiot”
MATRIKS INFORMANMASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT” STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK KAMPUNG IDIOT
INDENTITAS INFORMAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”
I. No.
Pertanyaan
Jawaban
1.
Nama (Inisial)
ARI
IIM
2.
Jenis Kelamin
Perempuan
Perempuan
3.
Usia
26 tahun
50 tahun
4.
Agama
Islam
Islam
5.
Pekerjaan
Pedagang
Ibu rumah tangga
6.
Pendidikan Terakhir
SD
SD
II.
STIGMA 7.
Apa yang diketahui tentang Keterbelakangan mental/Retardasi Mental
SKRIPSI
Keterbelakangan mental itu adalah orangorang yang „idiot‟. Penyebabnya dahulu ada yang melakukan perkawinan sedarah. Seperti yang dialami oleh tetangganya dulu
Orang yang secara fisik mempunyai kelainan di tangan sama kakinya. Selain itu juga kebanyakan dari mereka „bisu‟ (tidak dapat berbicara). Sehingga mereka sering diminta-
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8.
Tanggapan mengenai sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”
9.
Bentuk stigma yang pernah diberikan kepada penyandang keterbelakangan mental yang ada di lingkungan sekitarnya
10.
Bentuk stigma yang pernah diberikan kepada Desa Sidoharjo
menikah dengan orang yang masih kerabat atau saudaranya sendiri. Sebutan “Kampung Idiot” dinilai kurang pas. Keinginan tetap ingin desa tempat tinggalnya tersebut disebut Desa Sidoharjo saja. Pihaknya tidak pernah menjuluki tetangganya yang penyandang dengan sebutan yang aneh-aneh, tapi pihaknya pernah melihat beberapa ibu-ibu di desanya mengusir salah satu penyandang keterbelakangan mental, pada saat mau bergabung dengan ibu-ibu tersebut. Sering mendengar orang luar menyebut tempat tinggalnya tersebut sebagai “Kampung Idiot” (tempat tinggalnya dikenal dengan sebutan “kampung Idiot”)
mintakan bantuan. Tidak senang dengan julukan seperti itu. Dan juga ada rasa malu yang ia rasakan.
Pihaknya tidak pernah memberikan perlakuan verbal maupun non-verbal. Namun, terkadang anak-anaknya memberikan sebutan „goblok‟ kepada salah satu penyandang yang sering kerumahnya.
Banyak dari masyarakat luar yang mengetahui informan dari Desa Sidoharjo atau Krebet pada waktu itu. Masyarakat banyak yang menanyakan apakah benar bahwa di desa tersebut masyarakatnya banyak yang idiot, seperti itu. Selain itu juga banyak yang menyebut masyarakatnya banyak yang „bisu‟.
III. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI 11.
Diskriminasi dalam aspek sosial
SKRIPSI
Masyarakat banyak yang tidak menerima kehadiran penyandang keterbelakangan mental. Sehingga dapat diartikan terjadi penolakan sosial oleh masyarakat sekitar kepada penyandang yang ada di desanya
Pihaknya mengaku tidak pernah mengundang penyandang keterbelakangan dirumahnya saat ada selamatan maupun hajatan dirumahnya.
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12.
Diskriminasi dalam aspek ekonomi
13.
Diskriminasi dalam aspek politik
tersebut. Mengaku tidak pernah mempekerjakan penyandang, walaupun salah satu tetangganya ada yang bisa bekerja.
Walaupun masuk DPT, tapi tidak memilih karena tidak ada pendampingan khusus dari panitia, sehingga kesulitan untuk menyalurkan hak pilihnya.
Pihaknya mengaku tidak pernah menyuruh secara langsung kepada penyandang untuk bekerja dirumahnya saat informan membangun rumah. Namun, salah satu penyandang „Bagong‟ sering datang dan ikut membantu pekerja yang ada disitu, tanpa ia menyuruhnya (ikut-ikutan). Sepengetahuan informan para penyandang tersebut tidak dimasukkan dalam DPT(Daftar Pemilih Tetap).
IV. RESPON YANG DIBERIKAN 14.
Respon yang diberikan kepada seseorang atas perilaku yang diberikan kepada penyandang keterbelakangan mental
Biasa saja, karena masyarakat mayoritas memang sudah seperti itu.
15.
Respon yang diberikan kepada masyarakat luar atas stigma Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” Perilaku yang diberikan kepada penyandang keterbelakangan mental
Kurang senang. Kenapa harus disebut k”Kampung Idiot” padahal desa punya nama sendiri yaitu Desa Sidoharjo.
16.
SKRIPSI
Diperlakukan sama seperti orang normal lainnya. Tidak ada pembedaan yang khusus.
Pihaknya pernah menegur salah satu orang yang memberikan sebutan yang kurang enak didengar dengan “Orang tersebut tidak bisa berbicara adalah sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, apakah kamu mau menjadi orang seperti dia”. Seprti itu. Menjelaskan keadaan yang sebenarnya, bahwa memang banyak masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental. Diperlakukan beda dengan orang normal lainnya.
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17.
2.
Tanggapan terhadap warga masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental
Mayoritas keluarga penyandang tersebut adalah keluarga miskin, yaitu keluarga yang kekurangan untuk hanya mencukupi kebutuhan sehari-harinya saja.
Penyandang keterbelakangan adalah orang yang mempunyai keterbatasan untuk melakukan aktivitas sehari-hari berbeda dengan orang normal lainnya.
INDENTITAS INFORMAN PIHAK KELUARGA PENYANDANG KETERBELAKANGAN MENTAL No.
Pertanyaan
1.
Nama
TIN
SOI
2.
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
3.
Usia
23 tahun
50 tahun
4.
Agama
Islam
Islam
5.
Pekerjaan
Ibu rumah tangga
Buruh tani
6.
Pendidikan terakhir
SD
SD tidak tamat
2 orang
2 orang
7.
Jumlah keluarga penyandang keterbelakangan mental II. STIGMA 8. Apa yang diketahui tentang Keterbelakangan mental/Retardasi Mental 9.
Tanggapan mengenai sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”
SKRIPSI
Jawaban
Keterbelakangan mental adalah akibat kekurangan gizi yang dialami oleh penderitanya, seperti salah satu anggota keluarganya tersebut. Kurang enak didengarkan. Kenapa harus disebut begitu, sangat kurang nyaman dengan sebutan “Kampung Idiot”.
Keadaan „idiot‟ seperti yang dialami oleh anaknya tersebut.
Biasa saja
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10.
11.
Bagaimana orang lain/masyarakat memandang keluarga informan Bentuk stigma yang pernah diterima anggota keluarga yang penyandang
Orang lain memandang keluarganya tersebut sangat kasian karena melihat kondisinya yang seperti itu. Pernah mendapat julukan peko‟ dan budeg, dari tetangganya.
II. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI 12. Diskriminasi dalam aspek Tidak pernah diikutkan dalam kegiatan sosial pengajian dan juga pada waktu salah satu anggota keluarga tersebut sakit tidak pernah ada tetangga yang menawari obat apalagi sampek dibawakan ke rumah sakit. 13. Diskriminasi dalam aspek Dulu sebelum ada sumur di lingkungan Ekonomi tempat tinggalnya, anggota keluarganya tersebut pernah disuruh kerja ambil air oleh tetangganya, sekarang tidak pernah ada yang mempekerjakannya lagi, waktu tetangganya panen jagung juga tidak ada yang mempekerjakannya, padahal warga sekitar tahu bahwa anggota keluarganya tersebut masih bisa bekerja. 14. Diskriminasi dalam aspek Dulu sempat dapat undangan sebagai Politik pimilih, tetapi sekarang tidak pernah.
SKRIPSI
Biasa saja tidak ada perlakuan atau sikap yang tidak mengenakkan dari masyarakat atau tetangganya. Tidak ada
-
-
Anaknya tidak masuk DPT tapi kalau keponakannya dulu masuk, karena pernah menerima undangan untuk memilih.
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
III. RESPON YANG DIBERIKAN 15. Respon atas stigma yang diterima
16. 17.
Respon atas bentuk-bentuk diskriminatif yang diterima Respon atas sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot
SKRIPSI
Anggota keluarganya yang penyandang tersebut pernah marah dan “nggumeng”(sikap tidak suka), pada saat ada yang membicarakannya atau mendapat panggilan-panggilan yang kurang enak didengar. Namun, informan sendiri tidak pernah memberikan respon apapun, mengingat memang kondisinya seperti itu adanya. Sehingga sekarang sudah terbiasa. Tidak ada. Karena memang keadaanya seperti itu. Tidak senang dan harapannya tidak mendapat sebutan “Kampung Idiot”.
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
-
Biasa saja, karena dengan sebutan “Kampung Idiot” anaknya sering menerima bantuan.
RIZA DIAN A
3.
INDENTITAS INFORMAN TOKOH MASYARAKAT Jawaban No. Pertanyaan 1. Nama MAD WAR DEV ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2. Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki 3. Usia 30 tahun 46 tahun 34 tahun 4. Agama Islam Islam Islam 5. Pekerjaan Petani Pengurus Yayasan Sekolah 6. Jabatan di desa Sekretaris Desa Modin Kaur Kesra 7. Pendidikan terakhir 1. STIGMA 8. Apa yang diketahui tentang Keterbelakangan mental/Retardasi Mental
9.
SKRIPSI
Tanggapan mengenai sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”
S1 Gangguan mental, yaitu seseorang yang sejak lahir punya kelainan kebatinan, mulai lahir mempunyai tanda-tanda yang berbeda dari kabanyakan orang normal lainnya, sehingga disebut keterbelakangan mental. Media yang menggulirkan isu sebutan “Kampung Idiot” atas kesepakatan desa sendiri.
SD Keterbelakangan mental sebenarnya adalah penyakit turun-temurun akibat kekurangan gizi dan zat yodium. Pihaknya sangat menolak anggapan bahwa yang terjadi masyarakat didesanya akibat perkawinan sedarah. Tidak masalah jika disebut “Kampung Idiot” karena memang keadaan yang ada di desanya seperti itu adanya. Serta tidak ada rasa malu dengan sebutan
S1
INU Laki-laki 55 tahun Islam Petani Mantan Lurah(lurah pertama) SMP
Suatu kondisi Orang-orang yang tidak dimana seseorang bisa berfikir secara mengalami normal. keterbatasan yang mana itu bisa kita lihat dengan keadaan dia senantiasa membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupannya sehari-hari.
Kurang terlalu tepat karena dilihat jumlah penduduk penyandang itu prosentasenya kecil dibandingkan dengan jumlah populasi jiwa yang ada di Desa
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
Tidak masalah dengan sebutan “Kampung Idiot”, karena memang kondisinya seperti itu. Pihaknya juga mengaku sebutan tersebut sengaja diberikan desa, karena dengan sebutan tersebut akan ada kepedulian dari
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
“Kampung Idiot” tersebut.
10.
SKRIPSI
Bagaimana orang di luar Desa sidoharjo, memandang Desa Sidoharjo
Banyak yang menafsirkan bahwa satu kampung warga desanya „idiot‟ semua.
Bagi yang masih satu lingkup Kecamatan Jambon tidak ada masalah, mereka memandangnya biasa saja, karena memang mengetahui kondisinya seperti itu. Sedangkan masyarakat di luar kecamatan Jambon, pastinya mereka kebanyakan menanyakan kebenaran akan Desa Sidoharjo yang masyarakatnya banyak yang
Sidoharjo dan real dilapangan jumlah penyandang itu sendiri tidak seperti jumlah yang dipublikasikan di media maka dari itu sebutan “Kampong Idiot” kurang tepat. Masyarakat luar mengira bawasannya jumlah penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo ini sangat banyak. Sehingga anggapananggapan masyarakat luar tentang kondisi Desa Sidoharjo banyak yang kurang benar.
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
masyarakat atau pemerintah.
Banyak yang menganggap masyarakat Desa Sidoharjo „bodoh‟ semua dan daerahnya pinggiran.
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11.
Bentuk stigma yang pernah diterima anggota keluarga yang penyandang
Pengalamannya sendiri pernah waktu masih sekolah dijuluki „mendho‟ dan sebutan „Robet‟ (orang krebet). Selain itu juga pernah melihat tetangganya yang keterbelakangan tersebut diusir dari sebuah acara hajatan perkawinan.
2. BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI 12. Diskriminasi dalam Penolakan dalam aspek sosial suatu acara hajatan tersebut. Kalau untuk masalah kepedulian antar sesama
SKRIPSI
„idiot‟. Pihaknya sendiri mengaku tidak pernah memberikan stigma apapun, namun masyarakat biasa memanggil Nardi(salah satu nama penyandang) dengan sebutan „Bagong‟. Dan ada tiga penyandang yang diberikan julukan yang sama tersebut.
- Penyandang tidak diikutsertakan dalam kegiatan lomba-lomba seperti agustusan. - Ada beberapa penyandang yang dibedakan sama lingkungan karena
Pihaknya mengaku tidak pernah memberikan stigma khusus kepada penyandang, namun pihaknya pernah menjumpai salah satu penyandang mendapat panggilan seperti sebutan goblok, pekok, mendho kepada penyandang keterbelakangan mental tersebut. Belum ada pendidikan inklusi di desanya, mengingat belum adanya pengajar yang khusus di bidangnya. Pihaknya juga pernah mendapat cerita dari tetangganya, yang pernah ditilang polisi karena
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
-
Kalau untuk ada pengajian atau acara hajatan perkawinan tidak diberikan duduk depan, namun tetap masih diperlakukan sama dengan orang normal lainnya.
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
perilakunya yang kadang membahayakan orang lain, karena ada beberapa penyandang yang suka „ngamuk‟ (main kasar kepada orang lain). 13.
Diskriminasi dalam aspek ekonomi
14.
Diskriminasi dalam aspek politik
SKRIPSI
Pihaknya mengaku tidak pernah memberikan suatu pekerjaan kepada salah satu penyandang, walaupun pihaknya sendiri mengetahui bahwa ada tiga penyandang yang bisa bekerja dengan baik. Ada beberapa penyandang yang dimasukkan dalam DPT, tapi bagi yang masuk DPT tidak ada pendampingan
menerobos lampu merah, setelah tetangganya menyebutkan rumahnya Sidoharjo, polisi tidak jadi menilangnya.
Pihaknya tidak pernah memberikan pekerjaan kepada penyandang, walaupun masih ada yang dapat bekerja dengan baik.
-
-
-
-
-
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
khusus dari panitia. Yang penting sudah penyandang yang yang terdafatar dalam DPT.
3. RESPON YANG DIBERIKAN 15. Respon ketika warganya yang penyandang keterbelakangan mental mendapatkan stigma dari masyarakat lain
16.
SKRIPSI
Respon dengan stigma Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”
Langsung memberikan teguran kepada orang tersebut, dengan memahamkan bahwa seorang penyandang juga manusia, yang butuh berkumpul dengan orang lain juga. Menjelaskan keadaan yang sesungguhnya. Namun juga tidak menutupi bahwa memang sebagian masyarakatnya ada yang penyandang keterbelakangan mental.
-
Biasa saja, mengingat kondisi di desanya memang seperti itu. Serta tidak ada rasa malu dengan sebutan “Kampung Idiot” tersebut.
Bagi orang yang belum tahu kondisi yang sebenarnya, berusaha menjelaskan keadaan yang sebenarnya, sehingga sebutan “Kampung Idiot” tersebut dinilai
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
Biasa saja, karena memang kondisi masyarakatnya seperti itu adanya.
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17.
Perlakuan terhadap warganya yang penyandang keterbelakangan mental dengan yang bukan penyandang keterbelakangan mental (normal)
Secara keseluruhan secara sosial diperlakukan sama, namun dalam hal tertentu seperti bantuan sosial para penyandang yang akan lebih diutamakan.
18.
Solusi mengenai permasalahan yang dialami oleh warganya tersebut
Karena memang penyebabnya itu kekurangan gizi dan zat yodium, maka memberikan bantuan garam yodium itu perlu serta sosialisasi niku ibu hamil, ibu menyusui dan balita itu butuh asupan gizi yang baik.
SKRIPSI
Ada perbedaan perlakuan, bagi penyandang keterbelakangan mental diberikan beberapa keutamaan seperti untk menerima pengobatan gratis atau bantuanbantuan lainnya lebih diutamakan daripada masyarakat normal lainnya. Solusi yang sudah pemerintah berikan adalah pemberian bantuan garam yodium mbak, itu setiap tahun rutin, dan membantu sekali. Selain itu juga semakin meningkatnya taraf hidup masyarakatnya dan kesadaran akan gizi, sedikit-demi sedikit
kurang tepat. Diperlakukan secara berbeda, mengingat kebutuhan orang normal dengan yang mempunyai keterbelakangan itu berbeda. Sikap kita kepada merekapun pasti akan berbeda.
- Berupa pemberian JADUP atau jatah hidup untuk mereka dari kementerian - Focus kepada ini bantuan aktifitas keseharian mereka yakni dengan memberikan pendampingan dan pelatihan itu bagi para
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
Diperlakukan sama seperti masyarakat normal lainnya.
Dengan memberikan bantuan-bantuan kepada mereka, untuk meringankan beban hidup mereka. Karena mayoritas keluarga penyandang termasuk keluarga yang menengah kebawah.
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
jumlah penderita berkurang.
SKRIPSI
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
penyandang dalam kehidupannya sehari-harinya.
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Matriks Informan Self Masyarakat “Kampung Idiot”
III.7.2.
MATRIKS INFORMANMASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT” STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK KAMPUNG IDIOT
I.
IDENTITAS INFORMAN
No. 1.
Pertanyaan Nama (Inisial)
SOI
DAR
Jawaban TUN
LAN
MAN
2.
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
Laki-Laki
3.
Usia
50 tahun
29 tahun
54 tahun
48 tahun
26 tahun
4.
Agama
Islam
Islam
Islam
Islam
Islam
5
Pekerjaan
Buruh Tani
Fotografer
Ibu Rumah Tangga
Petani/Ketua RT
Sopir
6.
Pendidikan Terakhir
Tidak Tamat SD
SMA
Tidak Tamat SD
SD
SMA
Kejadian yang menimpa masyarakat d desanya sebagian dimaknainya sebagai bentuk hukuman dari Tuhan, karena dulunya ada yang durhaka kepada
Karena kejadian yang menimpa kedua keluarganya tersebut sudah sejak dia dilahirkan, maka hal ini sudah menjadi takdir dari Tuhan, yang harus keluarga hadapi
Kejadian yang menimpa masyarakatnya dimaknai sebagai akibat kekurangan gizi, karena hampir sebagian besar keluarga penyandang keterbelakangan
Mayoritas penyandang keterbelakangan tersebut telah mereka alami sejak lahir, dengan keadaan yang memang seperti itu. Hal tersebut juga dipengaruhi
II. 7.
“SELF”/KONSEP DIRI
Bagaiman memaknai dirinya sebagai keluarga, orang tua dari anak berkebutuhan khusus dan masyarakat
SKRIPSI
Kejadian yang menimpa anaknya dianggap merupakan kesalahannya sebagai orang tua yang kurang cepat mengambil tindakan saat anaknya
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
“Kampung Idiot”
SKRIPSI
mengalami kejang-kejang dan demam tinggi. Karena saat lahir sampek usia 7 bulan anaknya sehat dan normal tanpa ada cacat fisik maupun mental.
orang tuanya. Namun, secara keseluruhan ini memang akibat masyarakatnya yang kekurangan gizi yang cukup.
untuk menerima ini mental adalah semua. keluarga menengah kebawah atau dalam kategori dibawah garis kemiskinan.
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
oleh faktor kemiskinan dan tempat tinggal mereka di pinggiran yang jauh dari fasilitasfasilitas umum.
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Matriks Informan Identity Masyarakat di Luar “Kampung Idiot”
III.7.3.
MATRIKS INFORMANMASYARAKAT DI LUAR “KAMPUNG IDIOT” STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK KAMPUNG IDIOT
I.
IDENTITAS INFORMAN
No. 1.
Pertanyaan Nama (Inisial)
INA
WAN
ENA
YAH
2.
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
Perempuan
3.
Usia
40 tahun
35 tahun
25 tahun
50 tahun
4.
Agama
Islam
Islam
Islam
Islam
5
Pekerjaan
Ibu rumah tangga
Pendidikan Terakhir
SMA
Pelatih Kursus Mengemudi SMA
Pedagang
6.
Satpam Kantor Pemkap SMA Kejadian yang turun temurun dari jaman nenek moyang mereka. Tidak percaya dengan kabar yang beredar karena akibat perkawinan sedarah.
Bisa disebabkan oleh kutukan, seperti kabar yang beredar di masyarakat Ponorogo. Namun, kejadian satu kampung menderita keterbelakangan mental
SD
“IDENTITY”
II. 7.
Jawaban
Bagaimana memandang dan memaknai Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”
SKRIPSI
Kejadian yang menimpa Desa Sidoharjo salah satu desa yang banyak masyarakatnya yang berketerbelakangan mental disebabkan
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
Kejadian turuntemurun yang telah terjadi sejak jaman nennek moyang mereka. Hal tersebut dipengaruhi salah satunya adalah lokasi
RIZA DIAN A
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
beserta alasannya
SKRIPSI
oleh faktor ekonomi sehingga banyak masyarakatnya yang kekurangan gizi. Namun, juga disebabkan oleh incest atau perkawinan sedarah, karena memang mereka hanya berinteraksi dengan kelompok masyarakat mereka saja akibat lokasi mereka yang jauh dengan kampung atau desa lainnya.
Kondisi yang ada di desa itu akibat ada sebagian masyarakatnya yang telah melanggar salah satu pantangan yang ada di desa tersebut, yaitu dialarang membersihkan salah satu makam yang ada di desa itu, namun ada sebagian masyarakat yang telah membersihkannya. Akibatnya berdampak seperti apa yang dialami oleh masyarakatnya tersebut.
seperti yang ada di Desa Sidoharjo tersebut, bisa juga telah menjadi takdir dari Yang Maha Kuasa.
STIGMA MASYARAKAT PONOROGO...
desa mereka yang ada di pinggir hutan yang jauh dari desa lain maupun pusat kota. Akibatnya banyak masyarakatnya yang melakukan perkawinan sedarah atau kedekatan darah. Sehingga berakibat kepada keturunan-keturunan mereka, yang terjadi hingga saat ini.
RIZA DIAN A