BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN DAN PENELITIAN TERDAHULU
3.1. Sikap Kerja 3.1.1 Definisi Sikap Kerja Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins & Coulter (2007) sebagai pernyataan evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa. Hal tersebut mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Kreitner dan Kinicki (2005) mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan merespon sesuatu secara konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan objek tertentu. Gibson (2003) menjelaskan sikap sebagai perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan.
Sikap lebih merupakan determinan perilaku
sebab, sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sikap juga memiliki pengertian suatu keadaan jiwa dan keadaan berfikir yang disiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang diorganisasikan melalui pengalaman serta mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung pada praktik/tindakan (Notoatmodjo, 2003). Kesimpulan dari pendapat para ahli di atas adalah sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek kognitif, konatif dan afektif yang merupakan kesiapan mental psikologis untuk mereaksi dan bertindak secara 23
24
positif atau negatif terhadap objek tertentu.
Sikap dapat berubah dan dapat
dipengaruhi, dapat dibina dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam membentuk kompetensi individu. Sikap negatif dapat berubah menjadi sikap positif, dari yang awalnya tidak senang menjadi senang, yang semula antipati menjadi bersimpati, dan sebagainya.
3.1.2 Teori Sikap Kerja Seseorang bisa memiliki ribuan sikap, tetapi dalam kehidupan organisasi difokuskan pada beberapa jenis sikap yang berkaitan dengan kerja. Sikap kerja berisi evaluasi positif atau negatif yang dimiliki seseorang tentang aspek-aspek lingkungan kerja mereka.
Azwar (2007) menggolongkan sikap dalam tiga
kerangka pemikiran utama. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti L. Thurstone, R. Likert dan C. Osgood.
Para ahli
berpendapat sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap
seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan G. Allport. Kelompok ini berpendapat bahwa sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu.
Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang
potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.
25
Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Pendapat kelompok ini adalah sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek. Setyobroto (2004) merangkum batasan sikap dari berbagai ahli psikologi sosial diantaranya pendapat G.W. Alport, Guilford, Adiseshiah dan J. Farry, serta Kerlinger yaitu : 1) Sikap bukan pembawaan sejak lahir 2) Dapat berubah melalui pengalaman 3) Merupakan organisasi keyakinan-keyakinan 4) Merupakan kesiapan untuk bereaksi 5) Relatif bersifat tetap 6) Hanya cocok untuk situasi tertentu 7) Selalu berhubungan dengan subjek dan objek tertentu 8) Merupakan penilaian dari penafsiran terhadap sesuatu 9) Bervariasi dalam kualitas dan intensitas 10) Meliputi sejumlah kecil atau banyak item 11) Mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif Karakteristik dasar atau ciri-ciri dasar dari sikap menurut Brigham (1993) terdiri dari 4 hal yaitu: 1) Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
26
2) Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis atau kategori, dalam hal ini skema yang dimiliki individu mengkategorisasikan objek target dimana sikap diarahkan. 3) Sikap dipelajari. 4) Sikap mempengaruhi perilaku. Memegang teguh suatu sikap yang mengarah pada suatu objek memberikan satu alasan untuk berperilaku mengarah pada objek itu dengan suatu cara tertentu. Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri.
3.1.3 Penelitian Terdahulu Penulis melakukan riset dan studi literatur penelitian-penelitian terdahulu dengan tema sikap kerja yang dirasa berhubungan serta dapat dijadikan bahan referensi bagi penulis sebagai bagian dari informasi awal bagi penulis. Penelitianpenelitian terdahulu antara lain sebagai berikut: 1) Tesone dan Ricci (2005). D.V. Tesone dan P. Ricci melakukan penelitian pada tahun 2005 dengan judul “Attributes of entry-level employees: Hospitality and tourism managers seeking more than knowledge and skills” yang diterbitkan pada Journal of Applied Management and Entrepreneurship.
Penelitian ini menyimpulkan
bahwa sikap kerja merupakan hal yang paling penting jika dibandingkan
27
dengan pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skills).
Penelitian ini
menyarankan agar sikap kerja dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sehingga dapat memenuhi kompetensi serta sesuai dengan permintaan industri.
2) Grote (2005). Penelitian yang dilakukan oleh Grote pada tahun 2005 dengan judul “Attitude adjustments” memberikan kesimpulan bahwa cara memperbaiki sikap kerja yang buruk adalah dengan menemukan fakta yang objektif terhadap sesuatu yang dianggap buruk. Hal yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan meningkatkan kompetensi individu sesuai dengan perannya masingmasing. Penelitian ini diterbitkan pada Journal of Human Resources.
3) Josephat (2012) P. Josephat dalam International Journal of Human Resource Studies melakukan penelitian dengan judul “Job and Work Attitudes Deteminants: An Application of Multivariate Analysis” pada tahun 2012. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat 5 faktor yang mempengaruhi secara positif dan signifikan “Job and Work Attitude” yaitu kepuasan, independensi, kerjasama, kebebasan berekspresi dan hubungan pengawasan.
4) Kowske, Rasch dan Wiley (2010) B.J. Kowske, R. Rasch dan J. Wiley melakukan penelitian pada tahun 2010 dengan judul “Millennial’s (Lack of) Attitudes Problem: An Empirical Examination of Generational Effects of Work Attitudes”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa setiap generasi memiliki sikap kerja yang unik dan khas
28
walaupun terkadang perbedaannya tidak signifikan atau hanya sedikit. Keunikan dari masing-masing generasi ini harus ditangani dengan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing agar tercipta kepuasan kerja dan hasil kerja yang maksimal.
3.1.4 Indikator Sikap Kerja Walgito (2001) dan Hawkins, et.al (2001) sama-sama mengemukakan bahwa sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap.
Gambar 3.1 Komponen-komponen sikap dan perwujudannya. Sumber: Hawkins, et. al (1992:350).
Ketiga komponen tersebut di atas adalah komponen kognitif, afektif dan konatif yang dapat dijadikan indikator dalam suatu penelitian. Berikut uraian indikator-indikator tersebut di atas: a. Komponen Kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap obyek sikap.
29
Komponen ini merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu, terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. b. Komponen Afektif (komponen emosional),
yaitu komponen
yang
berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif.
Aspek inilah yang biasanya berakar paling dalam
sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin dapat mengubah sikap seseorang. c. Komponen Konatif (komponen perilaku/behavior, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Komponen ini bukan perilaku nyata melainkan masih berupa keinginan untuk melakukan suatu tindakan. Penjelasan di atas relevan dengan pendapat Robbins & Coulter (2007) yang menyatakan bahwa sikap terbentuk dari tiga komponen (aspek) yaitu aspek evaluasi (komponen kognisi) dan perasaan yang kuat (komponen afektif) yang akan membimbing pada suatu tingkah laku (komponen kecenderungan untuk berbuat/konasi). Memandang sikap yang tersusun dari tiga komponen di atas akan membantu memahami kerumitan sikap dan hubungan yang potensial antar sikap dan perilaku.
30
3.2 Kompetensi Armstrong (2004) berpendapat bahwa kompetensi adalah knowledge, skill dan kualitas individu untuk mencapai kesuksesannya.
Menurut Spencer dan
Spencer, (1993 : 9) Kompetensi adalah sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya. “An underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion – referenced effective and or superior performance in a job or situation”.
Underlying Characteristics mengandung makna kompetensi adalah bagian dari kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan.
Causally
Related memiliki arti kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja.
Criterion Referenced mengandung makna
bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan.
3.2.1 Management Competency 3.2.1.1 Definisi Management Competency Pearlman, Prien dan Sanchez (2000) mengatakan bahwa management competency adalah keberhasilan individu dalam melaksanakan tugas atau pekerjaannya atau mampu menguasai bidang pekerjaan tertentu dengan baik. Management Competency juga dapat digambarkan sebagai aktivitas sumber daya manusia terintegrasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan pengembangan
31
kompetensi karyawan dan digunakan agar dapat meningkatkan efektivitas individu dan efektivitas organisasi (Paulsson, et.al., 2005)
3.2.1.2 Teori Management Competency Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menghadapi situasi dan keadaan di dalam pekerjaannya. Kompetensi merupakan aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior (LOMA’s Dictionary, 1998).
Management
Competency jika dapat diimplementasikan dengan baik maka akan membawa banyak keunggulan (Becker dan Huselid, 1999). Menurut Bitencourt (2008), terdapat 8 (delapan) aspek utama yang terkait erat dengan Management Competency. Aspek-aspek tersebut sebagai berikut: 1) Development of concepts, skills and attitudes (formation) yang dikemukakan oleh para ahli seperti Boyatizis (1982), Parry (1996), Boog (1999), Becker (2001), Spencer dan Spencer (1993), Hipoliti (2000), Dutra et al (1998) dan Sandberg (1996). 2) Capability (apptitude) oleh Moscovici (1994), Ruas (1999), Dutra et al (1998), Zarifian (2001). 3) Work Practices, ability to mobilize resources, which distinguishesit from the concept of potential (action), hal ini sesuai dengan pendapat Sparrow dan Bognanno (1994), Ruas (1999), Moscovici (1994), Boterf (1997), Perrenoud (1998), Fleury dan Fleury (2000), Davis (2000) dan Zarifian (2001). 4) Combination of Resources (mobilization) oleh Boterf (1997).
32
5) Search for better performances (results) yang dikemukakan oleh Boyatizis (1982), Sparrow dan Bognanno (1994), Parry (1996), Becker et al (2001), Spencer dan Spencer (1993), Ruas (1999), Fleury dan Fleury (2000), Hipolito (2000), Dutra et al (1998), Davis (2000) dan Zarifian (2001). 6) Permanent Questioning (dynamic perspective) oleh Hipolito (2000). 7) Individual Learning Process in which the higher responsibility should be attributed to the individual him/herself oleh Bruce (1996). 8) Relationship to other people (interaction) oleh Sandberg (1996).
Palan (2007) dalam bukunya “Competency Management- A Practicioner’s Guide”,
mengungkapkan
competency
(kompetensi)
merupakan
deskripsi
mengenai perilaku sementara competence (kecakapan) sebagai deskripsi tugas atau hasil pekerjaan. Menurut Palan, kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) dengan demikian kompetensi terdiri dari beberapa jenis karakteristik yang berbeda yang mendorong perilaku. Pondasi karakteristik ini terbukti dalam cara seseorang berperilaku di tempat kerja. Kompetensi adalah mengenai orang seperti apa dan apa yang dapat mereka lakukan, bukan apa yang mungkin mereka lakukan. Management Competency hanya akan berhasil apabila tujuan inisiatif kompetensi disusun dengan jelas dan perlu diintegrasikan dengan aplikasi yang terkait dengan aspirasi organisasi. Keinginan seluruh anggota organisasi untuk
33
menerapkan kompetensi sebagai inisiatif jangka panjang merupakan salah satu prasyarat keberhasilan manajemen kompetensi. Keberhasilan inisiatif kompetensi pada gilirannya dibuktikan dengan faktor-faktor (a) adanya inisiatif perbaikan kinerja, (b) adanya akuisi talenta, (c) adanya program pengembangan dan pelatihan yang efektif, tepat waktu,dan sesuai dengan kebutuhan, dan (d) kemampuan perusahaan menempatkan seumberdaya manusia secara efektif; dan hasilnya adalah kecocokan posisi yang terbaik untuk orang di masa kini dan mendatang.
3.2.1.3 Penelitian Terdahulu Penelitian dengan tema kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan telah banyak diteliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan penulis akan melihat variabel kompetensi dari sudut pandang yang berbeda karena didasari oleh latar belakang industri pariwisata khususnya MICE yang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri.
Berikut penelitian terdahulu yang penulis ambil sebagai
bahan referensi dalam penelitian ini: 1) Green (2007) J.L. Green dalam penelitian disertasi yang berjudul “The essential competencies in hospitality and tourism management: Perceptions of industry leaders and university faculty” pada tahun 2007 menyimpulkan bahwa kompetensi inti yang perlu dipelajari dengan lebih mendalam adalah Management Competency dan Cultural Competency. Hal tersebut dibutuhkan
34
dalam menghadapi era keterbukaan dimana pekerja dan pengguna jasa pariwisata dan hospitalitas dapat berasal dari negara manapun.
2) Heinsman, Annebel, Koopman & Van, J. J. (2008) Heinsman, Annebel, Koopman & Van, J. J. pada tahun 2008 melakukan penelitian dengan judul “Commitment, control, and the use of competency management”. Penelitian tersebut mengambil kesimpulan bahwa pendekatan orientasi komitmen dapat meningkatkan management competency oleh karyawan serta sikap positif karyawan dan kontrol perilaku merupakan hal penting untuk dapat mencapai tujuan utama perusahaan.
3) Bücker dan Poutsma (2010) Penelitian yang dilakukan oleh J. Bücker dan Poutsma, E pada tahun 2010 dengan judul “Global management competencies: A theoretical foundation” dalam Journal of Managerial Psychology mengambil beberapa kesimpulan yaitu konsep dasar yang berhubungan dengan Global Management Competency adalah global mindset, cross-cultural competence, intercultural sensitivity dan cultural intelligence.
Konsep ini menjadi perhatian utama
dalam dua dekade terakhir tetapi sayangnya hasil dari penelitian-penelitian mengenai hal ini belum sepenuhnya memuaskan dari sudut padang konseptual.
3.2.1.4 Indikator Management Competency Individu untuk dapat melakukan tugas dan tanggung jawab dalam pekerjaannya perlu memiliki berbagai kemampuan yang diperlukan. Menurut
35
Katz (1964) bahwa kemampuan manajerial itu meliputi technical skill (kemampuan teknik), human skill (kemampuan hubungan kemanusiaan), dan conceptual skill (kemampuan konseptual). Kemampuan teknik adalah kemampuan yang berhubungan erat dengan penggunaan alat-alat, prosedur, metode dan teknik dalam suatu aktivitas manajemen secara benar (working with things), sedangkan kemampuan hubungan kemanusiaan merupakan kemampuan untuk menciptakan dan membina hubungan baik, memahami dan mendorong orang lain sehingga mereka bekerja secara suka rela, tidak ada paksaan dan lebih produktif (working with people). Kemampuan konseptual adalah kemampuan mental untuk mengkoordinasikan, dan memadukan semua kepentingan serta kegiatan organisasi. Kemampuan konseptual ini terkait dengan kemampuan untuk membuat konsep (working with ideas) tentang berbagai hal dalam organisasinya. Indikator-indikator Management Competency dari berbagai ahli dapat dirumuskan menjadi dua hal utama yaitu Technical Competencies/Hardskills dan Interpersonal Competencies/Softskills.
Hal ini sesuai dengan pendapat Mayo
(2002) bahwa lulusan pendidikan pariwisata dan hospitalitas agar dapat menjadi sukses membutuhkan kompetensi manajemen atau keahlian manajemen seperti “soft skills” dan “technical skill”, berikut pendapatnya: “The results of a study conducted with hospitality and tourism educators and recruiters showed that hospitality and tourism graduates need management skills, “soft skills” and technical skill to be succesfull (Mayo, 2002)”.
Hard skill adalah pengetahuan dan kemampuan teknis yang dimiliki seseorang.
Pengetahuan teknis tersebut meliputi pengetahuan mengenai desain
36
dan keistimewaan dari produk atau jasa tertentu, mengembangkannya sesuai dengan teknologi, mampu mengatasi masalah yang terjadi serta menganalisis kegunaan produk atau jasa dalam usaha untuk mengidentifikasikan ide-ide baru mengenai produk ataupun pelayanan tersebut. Soft skill adalah Ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (Interpersonal skills) dan ketrampilan dalam mengatur dirinya sendiri (Intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal. Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skills merupakan kompetensi yang paling utama (Christou, 2000).
3.2.2 Social Competency 3.2.2.1 Definisi Social Competency Antonacopoulou dan Fitzgerald (1996) menyebutkan kompetensi terdiri dari sifat-sifat unik setiap individu yang diekspresikan dalam proses interaksi dengan pihak lain dalam konteks sosial, jadi tidak hanya terbatas pada pengetahuan dan skill yang spesifik atau standar kinerja yang diharapkan dan perilaku yang diperlihatkan. Kompetensi ini mencakup sikap, persepsi dan emosi serta menekankan pada faktor interaksi personal dan sosial. Pendapat
Goleman
(1999)
mengenai
Social
Competency
yaitu
menggambarkan bagaimana individu memiliki kemampuan menangani sebuah hubungan dengan baik dan tepat (personal as weel as professional). Gullota (1999) menyimpulkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan, kecakapan
37
atau keterampilan individu dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan dan memberi pengaruh pada orang lain demi mencapai tujuan dalam konteks sosial tertentu yang disesuaikan dengan budaya, lingkungan, situasi yang dihadapi serta nilai yang dianut oleh individu. Ford (1982) memberikan definisi yang lebih terarah dengan mengartikan kompetensi sosial sebagai tindakan yang sesuai dengan tujuan dalam konteks sosial tertentu, dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan memberikan efek positif bagi perkembangan.
3.2.2.2 Teori Social Competency Kompetensi adalah sumber perubahan yang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan perubahan sosial kemasyarakatan.
Kondisi sosial
kemasyarakatan berubah maka kompetensi juga akan mengalami perubahan; demikian juga sebaliknya, jika kompetensi masyarakat meningkat, maka akan berdampak terhadap perubahan kondisi sosial masyarakat (Ornstein dan Hunkins, 1988). Pendapat dari Durkin (1994), bahwa ciri-ciri individu yang memiliki kompetensi sosial yang baik adalah mampu untuk berkomunikasi efektif, mampu memahami diri dan orang lain, memahami peran gender, mengetahui moralitas yang ada di lingkungannya dan mampu mengontrol emosi, mampu menyesuaikan perilaku dalam merespon tuntutan-tuntutan sosial yang sesuai dengan usianya, dapat diketahui bahwa orang yang memiliki kompetensi sosial yang kurang adalah
38
kebalikan
dari
ciri-ciri
tersebut.
Kurangnya
kompetensi
sosial
dapat
mengakibatkan perilaku yang negatif. Goleman (1999) berpendapat bahwa emotional intelligence menentukan hal paling potensial dalam praktik pembelajaran yang berdasarkan pada dua kompetensi (personal competency dan social competency). Individu yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi mampu mengekspresikan perhatian sosial lebih banyak, lebih simpatik, lebih suka menolong dan lebih dapat mencintai.
3.2.2.3 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu yang penulis gunakan sebagai informasi awal antara lain sebagai berikut: 1) Ishak, Hassan dan Syafrimen (2010) N.M. Ishak, S.N.S. Hassan dan Syafrimen melakukan penelitian yang berjudul “Quality Teachers Beget Quality Students: Inculcating Emotional Intelligence” tahun 2010.
Kesimpulan dalam penelitian tersebut adalah
terdapat hubungan yang tinggi antara emotional intelligence dengan social competency, dimana social competency digambarkan melalui indikator emphaty dan social skills. Social competency ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengajar dan siswa.
2) Stump, Ratliff, Wu, dan Hawley (2009) K.N. Stump, K.M. Ratliff, Y.P. Wu, dan P.H. Hawley melakukan penelitian pada tahun 2009 dengan judul “Theories of Social Competence from the Top-Down to the Bottom-Up: A Case for Considering Foundational
39
Human Needs”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa social competency sangat dibutuhkan dalam kelompok organisasi manapun termasuk pada kelompok anak-anak. Social competency secara teori dapat dilihat dari beberapa macam hal antara lain melalui pendekatan pekerja/karyawan, teori kebulatan tekad individu, teori evolusi dasar tentang social competency serta gabungan antara teori kebulatan tekad dan teori evolusi dasar social competency yang berkaitan dengan pengaplikasian social comptency dalam kehidupan sehari-hari.
3) Katarzyna (2014) Penelitian yang dilakukan oleh Katarzyna pada bulan februari tahun 2014 dengan judul “Temperamental Determinants of Social Competencies” ini mengambil kesimpulan bahwa faktor yang paling signifikan dalam pembentukan social competency adalah aktivitas, emotional reactivity dan sonsory sensitivity. Kelemahan dari penelitian ini adalah hasil yang ada sangat tergantung pada alat ukur yang digunakan dalam penelitian.
3.2.2.4 Indikator Social Competency Social Competency terdiri dari dua bidang utama atau dimensi utama yaitu empathy dan social skills. Empati dan Social Skills ini masing-masing memiliki indikator-indikator yang dapat dijadikan sebagai alat ukur dalam meneliti Social Competency dari individu-individu. Indikator-indikator dari kedua dimensi diatas dijabarkan oleh Goleman (2006) sebagai berikut: 1) Dimensi Empathy memiliki pengertian yaitu memungkinkan individu untuk memahami maksud orang lain, memprediksi perilaku mereka dan
40
mengalami emosi yang dipicu oleh emosi mereka (Baron-Cohen dan Wheelwright, 2004).
Indikator dari empati antara lain sebagai berikut:
memahami orang lain, membangun hubungan dengan orang lain, berorientasi melayani, pengaruh keanekaragaman industri dan kesadaran politik. 2) Dimensi Social Skill yaitu kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari (Gimpel dan Merrell, 1998). Dimensi ini meliputi indikator-indikator sebagai berikut: kemampuan mempengaruhi, komunikasi, manajemen konflik, kepemimpinan, katalisator perubahan, membangun
hubungan/keterikatan,
kolaborasi
dan
kerjasama
serta
kemampuan tim.
3.2.3 Cultural Competency 3.2.3.1 Definisi Cultural Competency Menurut Haris dan Moran (1996), Cultural Competency adalah kemampuan seseorang untuk dapat memahami karakteristik organisasi yang spesifik melalui kebudayaan asing dan minoritas berikut dengan pengaruh pola perilakunya. Pendapat tersebut sebagai berikut: “Competencies involving the ability to understand specific organizational characteristics of foreign cultures and minorities and those influences on behavior”.
41
Kompetensi Budaya juga mengandung pengertian lain yaitu kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok, organisasi atau dalam etnis dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari kebudayaan lain. Pendapat di atas sesuai dengan pendapat para ahli seperti: “Cultural competence is defined as a set of congruent behaviors, attitudes, and policies that come together in a system, agency, or among professionals and enables that system, agency, or those professionals to work effectively in cross– cultural situations (Davis & Donald, 1997)”.
3.2.3.2 Teori Cultural Competency Operasionalisasi konsep terkait dengan cultural competence adalah bagian terintegrasi dan proses transformasi pengetahuan mengenai individu dan sekelompok orang kedalam spesifikasi standar, kebijakan, kebiasaan dan sikap yang digunakan dalam latar belakang kebudayaan yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan; terutama menciptakan hasil yang lebih baik (Davis, 1997). Haris dan Moran (1996) mengidentifikasi ada 10 konsep dasar dari cultural competency, yaitu global leadership, cross-cultural communication, cultural sensitivity, acculturation, cultural influences on management, effective intercultural performance, changing international business, cultural synergy, work culture dan global culture. Menurut Green (2007), pada tahun 2020 pengelolaan keanekaragaman industri dan melayani pasar dengan keragaman budaya akan menjadi hal yang utama. Green menyarankan agar dimasa yang akan datang universitas dapat lebih
42
fokus pada kemampuan mahasiswanya dalam menghadapi kebudayaan asing dan memasukkannya pada pengalaman internasional mereka. Cultural Competency merupakan suatu perilaku yang kongruen, sikap, struktur, juga kebijakan yang datang bersamaan atau menghasilkan kerja sama dalam situasi lintas budaya. Setiap kompetensi budaya dari seorang individu tergantung pada institusi sosial, organisasi/kelompok kerja, dan tempat individu berada (secara fisik maupun sosial). Faktor tersebut membentuk sebuah sistem yang mempengaruhi kompetensi budaya individu yang efektif. Kompetensi budaya dapat dikatakan merupakan tanggung jawab atas total sistem sebuah kebudayaan. Kompetensi budaya berkaitan dengan suatu keadaan dan kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi perbedaan budaya.
3.2.3.3 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu dengan tema cultural competency yang penulis gunakan antara lain sebagai berikut: 1) Onyoni & Ives (2007) Tahun 2007 terdapat penelitian dengan judul “Assessing implementation of cultural competency content in the curricula of colleges of pharmacy in the united states and canada” yang diteliti oleh Onyoni & I. Timothy. Penelitian dalam American Journal of Pharmaceutical Education ini mengambil kesimpulan bahwa pelatihan mengenai cultural competency disarankan sebagai strategi promosi untuk mengidentifikasi dan meningkatkan pengetahuan,
43
keahlian dan sikap kerja yang profesional sehingga mampu melayani berbagai macam sektor kebudayaan.
2) Griffin et al (2010) K. Edgren, S., Cason, C. L., Brennan, A. M. W., Reifsnider, E., Hummel, F., Mancini, M., & Griffin, C., melakukan penelitian pada tahun 2010 dengan judul “Cultural competency of Graduating BSN Nursing Students”. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa pendekatan kebudayaan adalah kompetensi dasar yang dibutuhkan bagi lulusan baru.
Pendekatan kebudayaan ini
sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum dasar agar dapat efektif dalam mencapai esensi dari cultural competency.
3) Paz, Stan (2008) Paz pada tahun 2008 melakukan penelitian dengan judul “Cultural Competency” dengan kesimpulan yaitu cultural competency merupakan penggabungan dan perubahan pengetahuan individu dan kelompok masyarakat ke dalam standar yang spesifik, kebijakan, pelaksanaan dan sikap yang digunakan dengan latar belakang kebudayaan yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan, dengan demikian dapat menghasilkan hasil yang terbaik.
3.2.3.4 Indikator Cultural Competency Cultural Competency merujuk pada proses dimana individu dan sistem merespon dengan sadar dan efektif mengenai masyarakat dengan seluruh kebudayaannya, bahasa, kelas, ras, latar belakang etnis, agama dan faktor
44
keanekaragaman lainnya, dimana tata cara tersebut dapat dikenali, diperkokoh, dan bernilai manfaat bagi individu, keluarga dan komunitas serta melindungi dan menjaga martabat yang lain. Cultural Competency ini tidak pernah sepenuhnya disadari, dicapai atau disempurnakan, tetapi cultural competency ini adalah proses berkelanjutan bagi setiap pekerja dimana selalu menghadapi klien yang beranekaragam dan situasi baru dalam setiap pelaksanaannya (NASW, 2007).
Gambar 3.2 Education Pathway on Cultural Competency Sumber: John Stanford International School (2000)
Gambar 3.2 diatas menunjukkan komponen dari Cultural Competency yang terdiri dari Academic Excellence, Global Perspective dan World Languages. Komponen tersebut didalamnya terdapat beberapa dimensi yang lebih spesifik, dimensi-dimensi tersebut antara lain: 1) Global Leadership yaitu seseorang yang dapat memberikan efek perubahan positif yang signifikan di dalam organisasi atau bidang tertentu dengan membangun komunitas melalui pembangunan rasa kepercayaan dan pengaturan struktural dan proses-proses dari organisasi di dalam konteks
45
yang melibatkan berbagai macam pemegang kepentingan dari berbagai negara, berbagai sumber dari otoritas lintas batas, dan berbagai macam jenis kebudayan yang bergantung kepada keadaan, letak geografis serta kompleksitas budaya (Mendenhall et al., 2008). 2) Global Culture atau Budaya global dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang digunakan untuk menjelaskan tentang ‘mendunianya’ berbagai aspek kebudayaan, yang di dalamnya terjadi proses penyatuan, unifikasi, dan homogenisasi.
Budaya
global
sering
diidentikkan
dengan
proses
‘penyeragaman budaya’ atau ‘imperalisme budaya’. Beberapa ahli ada juga yang mengatakan bahwa budaya global merupakan suatu proses pertukaran antar seseorang ataupun kelompok atas pengetahuan, maupun hasil-hasil alam dalam level global, dimana turut meningkatkan komunikasi antar kelompok atau perseorangan tersebut (Yani, 2012). 3) Cross-Cultural Communication yaitu kemampuan individu untuk dapat memahami dan menggunakan bahasa asing dengan baik serta memiliki pengetahuan mengenai kebudayaan asing tersebut pada saat melakukan rekrutmen untuk posisi bisnis internasional (Czepiec dan Landers, 1997) 4) Work Culture yaitu Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. (Supriyadi, 2011). Budaya kerja berbeda antara
46
organisasi satu dengan yang lainnya, hal itu dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap orang dalam organisasi berbeda.
3.3 Kerangka Penelitian Brian Aprinto (2013) menjelaskan Karakteristik Kompetensi terdiri atas Sikap (attitude), Pengetahuan (knowledge) dan Keahlian (skill) merupakan hal inti yang wajib dimiliki oleh seluruh pekerja dalam bidang apapun. Kompetensi dapat dibentuk serta dimiliki salah satunya melalui pendidikan formal seperti di perguruan tinggi. Pengetahuan yang dipupuk sejak berada di perguruan tinggi diharapkan dapat membentuk sikap kerja lulusan yang juga akan menjadi baik. Peningkatan Kompetensi yang berkelanjutan diharapkan dapat membuat sikap kerja dari individu dapat berujung pada tercapainya target ataupun tujuan dari perusahaan. Kompetensi yang sesuai dengan industri pariwisata khususnya MICE adalah Management Competency, Social Competency dan Cultural Competency, sedangkan Sikap Kerja dinilai dari rasa empati dan social skill dari individu. Berikut gambaran kerangka pemikiran dari penelitian ini:
Gambar 3.3 Kerangka Pemikiran
47
3.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran tersebut diatas, hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Hipotesa 1 H0
Tidak terdapat pengaruh signifikan Management Competency terhadap Sikap Kerja.
H1
Terdapat pengaruh signifikan Management Competency terhadap Sikap Kerja.
Hipotesa 2 H0
Tidak terdapat pengaruh signifkan Social Competency terhadap Sikap Kerja.
H1
Terdapat pengaruh signifikan Social Competency terhadap Sikap Kerja.
Hipotesa 3 H0
Tidak terdapat pengaruh signifikan Cultural Competency terhadap Sikap Kerja.
H1
Terdapat
pengaruh signifikan Cultural Competency terhadap
Sikap Kerja. Hipotesa 4 H0
Tidak terdapat
pengaruh signifikan antara Management
Competency, Social Competency dan Cultural Competency terhadap Sikap Kerja. Terdapat pengaruh signifikan antara Management Competency, H1
Social Competency dan Cultural Competency terhadap Sikap Kerja.