BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hak Cipta sebagai Objek Jaminan Fidusia. 1. Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud (immateriel) Dalam rumusan Pasal 499 KUHPerdata menunjukkan bahwa Hak Cipta dapat digolongkan sebagai benda yang dimaksudkan oleh Pasal tersebut. Pasal 499 KUHPerdata memberikan batasan tentang rumusan benda, menurut Pasal tersebut bahwa menurut paham undang-undang yang dinamakan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai menjadi objek kekayaan (property) atau hak milik. Pengertian benda (zaak) dinyatakan dalam Pasal 499 KUHPerdata, yang berbunyi “Menurut Undang-Undang, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang dapat menjadi objek dari hak milik”. Kata “dapat” dalam Pasal 499 KUHPerdata tersebut mempunyai arti penting karena membuka berbagai kemungkinan, yaitu pada saat tertentu “sesuatu” itu belum berstatus sebagai objek hukum, namun pada saat lain merupakan objek hukum. Adapun untuk menjadi objek hukum haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu penguasaan manusia, mempunyai nilai ekonomi dan karenanya dapat dijadikan sebagai objek (perbuatan hukum). Bahkan kebendaan yang mempunyai nilai ekonomis dapat dijadikan sebagai jaminan suatu perikatan atau utang tertentu dari seorang debitor terhadap kreditornya. (Rachmadi Usman, 2003:39) Menurut Prof. Mahadi, rumusan lain dalam Pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut “yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda tersebut terdiri dari barang atau hak.” Benda immateriel atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak atas kekayaan intelektual. Menurut Pitlo, serupa dengan hak tagih, hak immateriel itu tidak mempunyai benda (berwujud) 49
50
sebagai objeknya. Hak milik immateriel termasuk ke dalam hak-hak yang disebut Pasal 499 KUHPerdata. Oleh karena itu, hak milik immateriel itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu benda. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak hak absolut yang objeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama hak atas kekayaan intelektual. (Saidin, 2013:53) Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), benda dibedakan menjadi dua yaitu benda bergerak (onroerende zaken) dan benda tidak bergerak (roerende zaken). Mengenai benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 - Pasal 508 KUHPerdata. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 - Pasal 518 KUHPerdata. Kemudian benda dapat dibedakan pula atas benda yang berwujud atau bertubuh (lichamelijk zaken) dan tidak berwujud atau tidak bertubuh (onlichamelijk zaken) yang diatur dalam Pasal 503 KUHPerdata. Selanjutnya benda dapat dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken) dan benda yang tidak dapat dihabiskan (onverbruikbare zaken) yang diatur dalam Pasal 505 KUHPerdata. Menurut Subekti, suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undangundang. Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa adapun benda yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ (pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya, ialah tidak bergerak
51
karena ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak. (Subekti, 2001: 61) Pada sisi lain masih menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari suatu benda yang bergerak, lijfrenten, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan, surat-surat obligasi negara, dan sebagainya. (Subekti, 2001:62) Menurut Frieda Husni Hasbullah, bahwa untuk kebendaan tidak bergerak dapat dibagi dalam tiga golongan: a. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPerdata) misalnya tanah dan segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan tanaman-tanaman yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik, demikian juga barang-barang tambang. b. Benda
tidak
bergerak
karena
peruntukannya
atau
tujuan
pemakaiannya (Pasal 507 KUHPerdata) misalnya pabrik dan barangbarang
yang
dihasilkannya,
penggilingan-penggilingan,
dan
sebagainya. Juga perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lainlain; kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun gedung tersebut, dan lain-lain. c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak pakai hasil, dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha, dan lain-lain (Pasal 508 KUHPerdata). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal berukuran
52
berat kotor 20 m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register kapal sehingga termasuk kategori benda-benda tidak bergerak. (Frieda Husni Hasbullah, 2002:43-44) Lebih lanjut, Frieda Husni Hasbullah menerangkan bahwa untuk kebendaan bergerak dapat dibagi dalam dua golongan: a. Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal 509 KUHPerdata). Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal-kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu dan sebagainya (Pasal 510 KUHPerdata). b. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPerdata) misalnya: 1) Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak; 2) Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan; 3) Penagihan-penagihan atau piutang-piutang; 4) Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain. (Frieda Husni Hasbullah, 2002:44-45) Manfaat pembedaan benda bergerak dan benda bergerak akan terlihat dalam hal cara penyerahan benda tersebut, cara meletakkan jaminan di atas benda tersebut, dan beberapa hal lainnya. Menurut Frieda Husni Hasbullah, pentingnya pembedaan tersebut berkaitan dengan empat hal yaitu penguasaan, penyerahan, daluwarsa, dan pembebanan. Keempat hal yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Kedudukan berkuasa (bezit) Bezit atas benda bergerak berlaku sebagai titel yang sempurna (Pasal 1977 KUHPerdata). Tidak demikian halnya bagi mereka yang menguasai benda tidak bergerak, karena seseorang yang menguasai benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik benda tersebut.
53
b. Penyerahan (levering) Menurut Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering). Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering). Sedangkan menurut Pasal 616 KUHPerdata, penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan
dalam
Pasal
620
KUHPerdata
antara
lain
membukukannya dalam register. Dengan berlakunya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), maka pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dan peraturan pelaksananya. c. Pembebanan (bezwaring) Pembebanan terhadap benda bergerak berdasarkan Pasal 1150 KUHPerdata harus dilakukan dengan gadai, sedangkan pembebanan terhadap benda tidak bergerak menurut Pasal 1162 KUHPerdata harus dilakukan dengan hipotek. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah hanya dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan. Sedangkan untuk benda-benda bergerak juga dapat dijaminkan dengan lembaga jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. d. Daluwarsa (verjaring) Terhadap benda bergerak, tidak dikenal daluwarsa sebab menurut Pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata, bezit atas benda bergerak adalah sama dengan eigendom; karena itu sejak seseorang menguasai suatu benda bergerak, pada saat itu atau detik itu juga ia dianggap sebagai pemiliknya. Terhadap benda tidak bergerak dikenal
54
daluwarsa karena menurut Pasal 610 KUHPerdata, hak milik atas sesuatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa. (Frieda Husni Hasbullah, 2002:45-48) Dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 disebutkan bahwa “Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud”. Kaitannya dengan penggolongan benda tidak bergerak menurut Frieda Husni Hasbullah di atas, Hak Cipta termasuk dalam kategori benda bergerak karena ditentukan Undang-Undang seperti yang termuat dalam Pasal 511 KUHPerdata. Otto Hasibuan menambahkan, “Dengan demikian, Hak Cipta merupakan hak milik (property right) yang kepadanya berlaku sifat-sifat hak milik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan hukum perdata.” (Otto Hasibuan, 2008:108) Dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Fidusia Tahun 1999 disebutkan bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek. Oleh sebab itu kaitannya dengan objek jaminan fidusia, Hak Cipta telah memenuhi salah satu syarat benda yang dapat dijadikan objek jaminan fidusia karena sifatnya termasuk kedalam kategori benda bergerak tidak berwujud karena ditentukan oleh Undang-Undang (Pasal 16 ayat (1) UU Hak Cipta Tahun 2014) 2. Hak cipta dapat dialihkan Sebagai benda bergerak, Hak Cipta dapat dialihkan baik sebagian maupun seluruhnya kecuali dalam hal hak moral yang tidak dapat dialihkan karena sifat manunggalnya yang melekat pada ciptaan walaupun telah dialihkan dengan berbagai cara peralihan yang diatur oleh Undang-Undang. Pengalihan Hak Cipta hanya sebatas pengalihan hak ekonominya saja. Hal ini dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 16 ayat (2) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "dapat beralih atau dialihkan" hanya hak ekonomi,
55
sedangkan hak moral tetap melekat pada diri Pencipta. Pengalihan Hak Cipta harus dilakukan secara jelas dan tertulis baik dengan atau tanpa akta notaris. Vollmar menuliskan, “untuk penyerahan benda bergerak dapat dilakukan pemberian secara nyata, sedangkan untuk benda tidak bergerak penyerahannya dilakukan dengan akte pendaftaran.” (Saidin, 2013:66) Hal ini berlaku pada Hak Cipta, Hak Cipta tidak dapat dilakukan penyerahan secara nyata karena sifat manunggalnya dengan pencipta dan bersifat tidak berwujud seperti yang telah dibahas di atas bahwa Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud, sehingga penyerahannya hanya dapat dilakukan melalui akte pendaftaran. (Pasal 16 ayat (1) UU Hak Cipta Tahun 2014) Menurut Salim, sifat manunggalnya Hak Cipta yang menyebabkan Hak Cipta tidak dapat digadaikan, karena apabila digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditor. Sesuai dengan peraturan gadai yang objeknya berpindah ke tangan pihak kreditor. Berbeda dengan hipotek yang hanya dapat dilakukan terhadap benda-benda tidak bergerak, bendanya tetap berada ditangan debitor, bilamana benda tersebut dijadikan objek hipotek. (Saidin, 2013:66) Rachmadi Usman menambahkan, “sesuai dengan sifat manunggal Hak Cipta dengan penciptanya, dari segi moral seseorang atau badan hukum tidak diperkenankan untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu hasil karya cipta, baik itu mengenai judul, isi, apalagi penciptanya. Hal demikian dapat dilakukan apabila mendapat izin dari pencipta atau ahli warisnya apabila pencipta meninggal dunia. Dengan demikian, pencipta atau ahli warisnya saja yang mempunyai hak untuk mengadakan perubahan pada ciptaan-ciptaannya untuk disesuaikan dengan perkembangan. Namun apabila pencipta tidak dapat melaksanakan sendiri penyesuaian karya ciptanya dengan perkembangan, hal itu dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin penciptanya atau ahli warisnya untuk melaksanakan pengerjaannya.” (Rachmadi Usman, 2003:112113) Peralihan Hak Cipta dapat disebabkan oleh pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis atau karena sebab lain yang dibenarkan sesuai
56
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 16 ayat (2) UU Hak Cipta Tahun 2014) Menurut Stewart yang dikutip oleh Otto Hasibuan, “Stewart mencoba merangkum bahwa dari berbagai konvensi dan hukum Hak Cipta dari berbagai negara, ada enam macam hak yang dapat dipandang sebagai dasar hak ekonomi Pencipta atau pelaku, yaitu: a. The reproduction right; b. The adaptation right; c. The distribution right; d. The public performance right; e. The broadcasting right; and f. The cablecasting right. Penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut: a. The reproduction right atau hak reproduksi merupakan hak yang paling fundamental dari seluruh hak ekonomi pencipta dan hak ini diakui baik dalam Konvensi Bern, Universal Copyright Convention (UCC) maupun hukuk Hak Cipta di setiap negara. Hak ini pada hakikatnya adalah memberi izin untuk mereproduksi atau mengkopi atau menggandakan jumlah ciptaan dengan berbagai cara, misalnya dengan cara mencetak atau secara mekanik. Itu sebabnya hak mereproduksi ini sering dibagi lagi menjadi printing right dan mechanical right. b. The adaptation right adalah hak memberi izin melakukan adaptasi, aransemen, atau perbuatan lain untuk mengubah bentuk sebuah karya atau ciptaan. c. The
distribution
right
adalah
hak
memberi
izin
untuk
mendistribusikan (menyebarkan) hasil penggandaan suatu karya atau ciptaan kepada publik. Termasuk pada kelompok hak ini antara lain menjual, menyewakan dan bentuk-bentuk lain pengalihan hasil perbanyakan dari suatu karya atau ciptaan.
57
Kecuali yang berhubungan dengan karya cinematografi di dalam Konvensi Bern. d. The public performance right adalah hak memberi izin untuk menampilkan suatu karya atau ciptaan kepada publik. e. The broadcasting right adalah hak memberi izin untuk menyiarkan suatu karya dengan pentransmisian tanpa kabel. Pengertian broadcasting disini adalah penyiaran suara dan gambar dari suatu karya atau ciptaan, misalnya oleh radio dan televisi dan berbagai bentuk pengkomunikasian karya atau ciptaan kepada publik secara tidak langsung dan tidak menggunakan kabel. f. The cablecasting right adalah hak memberi izin untuk menyiarkan suatu karya atau ciptaan dengan menggunakan kabel. Ada dua bentuk
penyiaran
dalam
bentuk
kabel
ini,
yaitu
cable
retransmission adalah pentransmisian kembali dengan kabel suatu penyiaran karya, jadi merupakan sebuah kegiatan meneruskan yang sudah
ada
(pre-existing)
dan
cable
origination
adalah
pentransmisian asli dengan kabel sebuah karya atau ciptaan. Di dalam Konvensi Bern, bentuk yang pertama ditempatkan sebagai bagian dari broadcasting right dan bentuk yang kedua diberlakukan sebagai bagian dari the public performance right. (Otto Hasibuan: 2008: 72-73) Hal tersebut di atas dapat kita lihat pada Pasal 80-83 UU Hak Cipta Tahun 2014 yang mengatur tentang Lisensi. Dilihat dari pengertian lisensi pada Pasal 1 ayat (20) yang berbunyi,” Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu.” Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa peralihan Hak Cipta, dalam hal ini adalah hak ekonominya, dapat dilakukan melalui lisensi. Dengan kata lain lisensi termasuk dalam salah satu bentuk peralihan Hak Cipta yang bersifat sebagian atau sementara dan dengan syarat tertentu.
58
Lebih lanjut lisensi diatur dalam Pasal 80 UU Hak Cipta Tahun 2014. Pada ayat (1) disebutkan,” Kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2).” Perbuatan yang dimaksud di atas antara lain: a. Pasal 9 ayat (1): 1) Penerbitan ciptaan; 2) Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; 3) Penerjemahan Ciptaan; 4) Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; 5) Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; 6) Pertunjukan Ciptaan; 7) Pengumuman Ciptaan; 8) Komunikasi Ciptaan; dan 9) Penyewaan Ciptaan. b. Pasal 23 ayat (2): 1) Penyiaran atau Komunikasi atas pertunjukan Pelaku Pertunjukan; 2) Fiksasi dari pertunjukannya yang belum difiksasi; 3) Penggandaan atas Fiksasi pertunjukannya dengan cara atau bentuk apapun; 4) Pendistribusian atas Fiksasi pertunjukan atau salinannya; 5) Penyewaan atas Fiksasi pertunjukan atau salinannya kepada publik; dan 6) Penyediaan atas Fiksasi pertunjukan yang dapat diakses publik. c. Pasal 24 ayat (2): 1) Penggandaan atas Fonogram dengan cara atau bentuk apapun;
59
2) Pendistribusian atas Fonogram asli atau salinannya; 3) Penyewaan kepada publik atas salinan Fonogram; dan 4) Penyediaan atas Fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik. d. Pasal 25 ayat (2): 1) Penyiaran ulang siaran; 2) Komunikasi siaran; 3) Fiksasi siaran; dan/atau 4) Penggandaan Fiksasi siaran. Perjanjian lisensi seperti yang disebutkan di atas harus disertai dengan pemberian royalti kepada pemegang Hak Cipta atau pemilik hak terkait selama jangka waktu lisensi yang besaran dan tata cara pemberiannya ditentukan dalam perjanjian lisensi kecuali diperjanjikan lain. (Pasal 80 ayat (3) dan (4) UU Hak Cipta Tahun 2014) Perjanjian lisensi merupakan salah satu cara peralihan Hak Cipta yang tergolong dalam peralihan sebagian dan bukan peralihan seluruhnya. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 82 ayat (3) UU Hak Cipta Tahun 2014 yang berbunyi,” Perjanjian Lisensi dilarang menjadi sarana untuk menghilangkan atau mengambil alih seluruh hak Pencipta atas Ciptaannya.” Namun kaitannya dengan objek jaminan, kecuali diperjanjikan lain, pemegang hak lisensi tidak dapat menjaminkan Hak Cipta karena perjanjian lisensi hanya sebatas melaksanakan hak ekonomi yang diberikan oleh pemegang Hak Cipta atau pemilik hak terkait dengan syarat dan ketentuan yang tertulis dalam perjanjian lisensi. Kemudian pada Pasal 17 UU Hak Cipta Tahun 2014 menegaskan bahwa Hak Cipta dapat dialihkan baik seluruhnya atau sebagian. Hal ini dapat dilihat pada bunyi Pasal 17 ayat (1),” Hak ekonomi atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta selama Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tidak mengalihkan seluruh hak ekonomi dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tersebut kepada penerima pengalihan hak atas Ciptaan.” Dan bunyi Pasal 17 ayat (2),” Hak ekonomi yang dialihkan Pencipta
60
atau Pemegang Hak Cipta untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dialihkan untuk kedua kalinya oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang sama.” Bahkan dalam Pasal 18 UU Hak Cipta Tahun 2014 secara eksplisit menjelaskan bahwa Hak Cipta dapat diperjual-belikan. Namun Pasal tersebut melindungi pencipta dari sistem jual putus (sold flat). Bunyi dari Pasal 18 UU Hak Cipta Tahun 2014, “Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, Hak Ciptanya beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun.” Yang kemudian dijelaskan pada Penjelasan Pasal 18,” Yang dimaksud dengan "jual putus" adalah perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan Ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas Ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta dapat dialihkan baik sebagian maupun seluruhnya dengan berbagai cara peralihan yang telah disebutkan di dalam Pasal 16-18 UU Hak Cipta Tahun 2014. Sehingga kaitannya dengan objek jaminan fidusia, Hak Cipta telah memenuhi salah satu syarat benda yang dapat dibebani fidusia yaitu benda yang dapat dialihkan. (Pasal 1 ayat (4) UU Fidusia Tahun 1999)
3. Hak cipta memiliki nilai ekonomis yang dapat dijaminkan Menurut W. Rudolf S mengatakan bahwa HAKI atau HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. (W. Rudolf S, 2012:3) Menurut Choir, HAKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta
61
berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis. (Choir, 2010:1) Dalam sistem hukum, HKI merupakan bagian dari hak kekayaan atau hak kepemilikan (property) yang memiliki nilai ekonomi atau “economic rights”, karena adanya hak eksklusif untuk mengeksploitasi tersebut. Harold F. Lusk memberikan batasan tentang hak milik atau ownership sebagai, “the exclusive right to possess, enjoy and dispose or rights having economic value”. Bahwa hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, menikmati dan mengatur suatu objek atau hak-hak yang memiliki nilai ekonomi. (Djuhaendah Hasan, 1996:43) Sebagai aset yang bernilai ekonomi, maka HKI memberikan keuntungan ekonomis bagi pemilik hak atau pemegang hak (right owner/right holder). Menurut Saliman hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Secara umum, hak ekonomis merupakan hak eksklusif dari pengarang untuk memperoleh keuntungankeuntungan ekonomi. Hak ekonomis ini meliputi hak memperbanyak, hak distribusi, hak pertunjukan, dan hak peragaan. (Saliman, 2005:197), Hak cipta adalah hak eksklusif atau yang hanya dimiliki si Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil karya atau hasil olah gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, Hak Cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan" atau hak untuk menikmati suatu karya. Hak cipta juga sekaligus memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi pemanfaatan, dan mencegah pemanfaatan secara tidak sah atas suatu ciptaan. Mengingat hak eksklusif itu mengandung nilai ekonomis yang tidak semua orang bisa membayarnya, maka untuk adilnya hak eksklusif dalam Hak Cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. (Haris Munandar dan Sally Sitanggang, 2008:14) Dalam Pasal 8 UU Hak Cipta Tahun 2014 juga disebutkan bahwa, “Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan.” Dari pengertian hak ekonomi di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Cipta memiliki manfaat yang bersifat
62
ekonomis dan melalui cara peralihannya, Hak Cipta memiliki nilai yang bersifat ekonomis dan dapat dinilai dengan uang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam hal ini adalah Hak Cipta, merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seseorang atau sekelompok orang sebagai hasil kreatifnya yang di ekspresikan ke khalayak umum dalam bentuk nyata yang memiliki nilai ekonomis dan dapat dinilai dengan uang. Dalam hal perjanjian kredit atau utang-piutang, untuk menanggung atau menjamin pembayaran atau pelunasan utang tertentu, debitor umumnya diwajibkan menyediakan jaminan berupa agunan (kebendaan tertentu) yang dapat dinilai dengan uang, yang nilainya minimal sebesar jumlah utang yang diberikan kepadanya. Untuk itu seharusnya lembaga penjamin utang atau perseorangan meminta kebendaan jaminan dengan maksud agar apabila debitor tidak dapat melunasi utangnya (wanprestasi) atau dinyatakan pailit, maka kebendaan jaminan tersebut dapat dicairkan atau diuangkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian uang pinjaman (utang). Ini berarti, bahwa tidak semua kebendaan atau hak-hak (piutang-piutang) dapat dijadikan sebagai jaminan utang, kecuali kebendaan jaminan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai jaminan utang. Dalam hal ini yang dijamin selalu pemenuhan suatu kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Dalam hal ini, salah satu syarat benda yang dapat dijaminkan adalah benda yang memiliki nilai yang bersifat ekonomis dan dapat dinilai dengan uang. (Subagio Gigih Wijaya, 2010:96-97) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebendaan jaminan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan sekaligus kepastian hukum, baik kepada kreditor maupun kepada debitor. Bagi kreditor dengan diikatnya suatu utang dengan kebendaan jaminan, hal itu kan memberikan kepastian hukum jaminan pelunasan utang debitor seandainya debitor wanprestasi atau dinyatakan pailit. Kebendaan jaminan akan memberikan kepastian hukum kepada pihak kreditor beserta dengan bunganya akan tetap kembali dengan cara menguangkan kebendaan jaminan utang yang bersangkutan. J. Satrio
63
menambahkan, “Oleh karena itu benda sebagai jaminan seharusnya benda yang dapat dialihkan dan mempunyai nilai jual (ekonomis), karena apabila debitor cidera janji (wanprestasi) yang dilanjutkan dengan kreditor mengeksekusi benda jaminan tersebut untuk tujuan melunasi utang debitor, lalu ternyata benda yang dijaminkan itu tidak dapat dialihkan dan tidak mempunyai nilai jual, maka hal tersebut akan merugikan pihak kreditor.” (J. Satrio, 2000:13) Menjaminkan suatu benda merupakan salah satu itikad baik debitor, guna memastikan pelunasan utangnya sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian pokoknya, sedangkan kreditor manjadi lebih yakin akan niat baik debitor, apabila ada benda tertentu yang mempunyai nilai ekonomis yang diikat dalam perjanjian yang dikenal dengan jaminan kebendaan. Jaminan haruslah dikuasai hak hukumnya secara sah oleh debitor atau penjamin, serta dapat diterima oleh kreditor karena jaminan tersebut dianggap bernilai ekonomis. Syarat suatu benda untuk dapat dijadikan objek jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi, “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupaun yang tidak bergerak yang tidak dapat disebani Hak Tanggungan atau Hipotek” Dari bunyi Pasal di atas dapat disimpulkan bahwa benda yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia berupa: a. Benda yang berwujud maupun tidak berwujud; b. Benda yang terdaftar maupun tidak terdaftar; c. Benda yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan atau hipotek; dan d. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan. Dari keseluruhan pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa Hak Cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud merupakan salah satu bentuk kekayaan intelektual yang memiliki manfaat yang bernilai ekonomis dan dapat dialihkan melalui berbagai cara yang diatur dalam Undang-Undang. Hak kepemilikan Hak Cipta dapat muncul secara otomatis sejak lahirnya Hak Cipta
64
baik didaftarkan maupun tidak, namun apabila dijadikan objek jaminan, maka Hak Cipta tersebut wajib didaftarkan. Hak cipta juga tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotek karena sifat Hak Cipta yang merupakan benda bergerak. Hal tersebut menjadikan Hak Cipta termasuk dalam objek jaminan fidusia karena telah memenuhi semua unsur-unsur dan syarat-syarat untuk menjadi objek jaminan fidusia. Sehingga Hak Cipta sangat dimungkinkan untuk dijadikan objek jaminan utang dalam bentuk jaminan fidusia.
B. Lembaga Jaminan Fidusia sebagai Lembaga Penjamin Utang yang Objek Jaminannya Berupa Hak Cipta. 1. Perbedaan lembaga jaminan fidusia dengan lembaga jaminan lainnya dalam hal objek jaminannya a. Hak Tanggungan Menurut Budi Harsono, “hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan anggunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya apabila debitor cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas utang debitor kepadanya” (Budi Harsono, 1999:24) Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, “yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagai mana yang di maksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang di utamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lainnya.” Dari pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung dalam hak tanggungan meliputi: 1) Hak jaminan yang di bebankan hak atas tanah
65
2) Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. 3) Untuk pelunasan utang tertentu 4) Memberikan kedudukan yang di utamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lainnya. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka objek hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu: 1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah apabila debitor cidera janji maka objek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang; 2) Mempunyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya; 3) Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang
berlaku,
karena
harus
dipenuhi
"syarat
publisitas".
Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan objek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya; 4) Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa objek jaminan hak tanggungan hanyalah hak-hak yang berhubungan dengan tanah yang merupakan benda tidak bergerak. Sehingga apabila dikaitkan dengan Hak Cipta yang dijadikan objek jaminan utang, maka hak tanggungan bukanlah lembaga yang tepat untuk dibebani jaminan yang objeknya Hak Cipta.
66
b. Hipotek Hypotheca berasal dari bahasa latin, dan hypotheek dari bahasa Belanda, yang mempunyai arti “Pembebanan”. (John Salindeho, 1994:20) Sedangkan Menurut Pasal 1162 KUHPerdata, “hipotek adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda-benda tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari (pendapatan penjualan) benda itu.” Hartono Hadisoeprapto menjelaskan bahwa, “hipotek adalah bentuk jaminan-jaminan kredit yang timbul dari perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang adanya harus diperjanjikan terlebih dahulu.” (Hartono Hadisoeprapto, 1984:61) Dijelaskan dalam Pasal 1171 KUHPerdata yang mengatakan: “Hipotek hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik, kecuali dengan hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh Undang-Undang”. Kemudian Pasal 1175 berbunyi: “Hipotek hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada. Hiopotik atas benda-benda yang akan ada di kemudian hari adalah batal.” Selanjutnya Pasal 1176 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut: “Suatu Hipotek hanyalah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan di dalam akta.” Berdasarkan bunyi dari Pasal-Pasal dalam KUHPerdata di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hipotek yaitu: 1) Harus ada benda yang dijaminkan. 2) Bendanya adalah benda tidak bergerak. 3) Dilakukakan oleh orang yang memang berhak memindahtangankan benda jaminan. 4) Ada sejumlah uang tertentu dalam perjanjian pokok dan yang ditetapkan dalam suatu akta. 5) Diberikan dengan suatu akta otentik. 6) Bukan untuk dinikmati atau dimiliki, namun hanya sebagai jaminan pelunasan utang saja. Namun apabila utangnya bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu, maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah harga taksiran, yang para pihak
67
diwajibkan menerangkan di dalam aktanya (Pasal 1176 ayat 2 KUHPerdata) Dengan demikian hipotek tidak mengandung hak untuk menguasai atau memiliki benda yang dibebani hipotek. Namun, sifat kebendaan pada hipotek pada benda tetap ada karena hipotek tetap melekat pada bendanya meskipun benda tersebut dipindah tangankan kepada orang lain, sehingga tidak lagi dimiliki debitor atau pemberi hipotek karena hipotek hanyalah merupakan
hak
kebendaan
yang
memberi
jaminan
pelunasan
(pembayaran) utang debitor kepada kreditor, perjanjian pembebanannya merupakan perjanjian tambahan (accessoir) dari perjanjian pokok berupa perjanjian utang piutang antara kreditor dan debitor. Di
Indonesia,
objek
hipotek
mengalami
beberapa
periode
perkembangan yaitu sebelum lahirnya UU Pokok Agraria (UUPA), setelah lahirnya UUPA dan setelah lahirnya UU Hak Tanggungan. Sebelum lahirnya
UUPA,
objek
hipotek
diatur
dalam
KUHPerdata
dan
KUHDagang. Dalam Pasal 1164 KUHPerdata, yang dapat dibebani dengan hipotek ialah: 1) Benda-benda tidak bergerak yang dapat di pindah-tagankan, beserta segala perlengkapannya yang dianggap sebagai benda tidak bergerak. 2) Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas-atas benda tersebut beserta segala perlengkapanya. 3) Hak numpang karang (postal, identik dengan hak guna bagunan) dan hak usaha (erfpacht, identik dengan hak guna usaha). 4) Bunga tanah, baik yang harus di bayar dengan uang maupun yang harus di bayar dengan hasil tanah. 5) Bunga sepesepuluh 6) Pasar-pasar yang di tentukan oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya. Dipertegas oleh bunyi Pasal 1167 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotek.” Adapun
68
benda-benda tidak bergerak milik debitor yang dapat dihipotekkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: (Hartono Hadisoeprapto, 1984:61-64) 1) Tanah beserta bangunan Yang dimaksud dengan jaminan berupa tanah beserta bangunan ialah jaminan atas semua tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan berikut seperti: Bangunan rumah, bangunan pabrik, bangunan gudang, bangunan hotel, bangunan losmen dan lain sebagainya. 2) Kapal laut yang berukuran 20 m3 isi kotor ke atas. Dasar dari ketentuan bahwa kapal laut yang berukuran paling sedikit 20 m3 isi kotor ke atas dapat dihipotekkan ialah Pasal 314 ayat 1 dan Pasal 314 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Di dalam Pasal 314 ayat 1 KUHD ditentukan bahwa: “Kapal-kapal Indonesia yang ukurannya paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor dapat didaftarkan di suatu daftar kapal sesuai dengan peraturan-peraturan yang akan diberikan dengan ordonasi tersendiri.” Pasal 314 ayat 3 KUHD mengatakan bahwa: “Atas kapal-kapal yang terdaftar dalam daftar kapal, kapal-kapal yang sedang dibuat dan bagian-bagian dalam kapal-kapal yang demikian itu, dapat diadakan hipotek.” Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang berlaku sejak tanggal 24 September 1960, pengaturan hipotek dalam buku II KUHPerdata telah dicabut sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek terhadap kapal yang berukuran 20 m3 keatas yang didaftar dalam register kapal. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960, diadakan penggolongan-penggolongan sebagai berikut: Hak-hak
69
tanah yang dapat dibebani hipotek adalah Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari konvensi tanah-tanah Barat yaitu eigendom, hak postal dan hak Erfpacht. Hak-hak tanah yang dapat dibebani Credietverband adalah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang berasal dari hak-hak Indonesia yaitu hak-hak atas tanah adapt. Namun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1961 dengan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Mentri Agraria Nomor 15 tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hipotek dan Credietverband, maka tidak ada lagi pengolongan mengenai hak-hak tanah yang dapat dibebani hipotek dan yang dapat dibebani Credietverband. Hal tersebut yang disebabkan karena baik hipotek maupun Credietverband dapat dibebankan pula pada: 1) Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha baik yang berasal dari konvensi hak-hak Barat maupun yang berasal dari konvensi hak-hak tanah adat. 2) Hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang baru (yang tidak berasal dari konvensi) yaitu yang baru diadakan setelah tanggal berlakunya UUPA tanggal 24 september 1960. Hal ini didasarkan pada Pasal 1 Peraturan Mentri Agraria Nomor 15 tahun 1961 yang menyatakan bahwa, “tanah-tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha yang telah dibukukan dalam daftar buku tanah menurut ketentuan PP Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah dapat dibebani hipotek dan Credietverband.” Namun dengan berlakunya UU Hak Tanggungan, maka hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA yaitu hak milik (Pasal 25 UUPA), hak guna usaha (Pasal 33 UUPA), hak guna bangunan (Pasal 39 UUPA), dan hak pakai (atas tanah negara) hanya dapat dibebani dengan Hak Tanggungan menurut UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 27 UU Hak Tanggungan beserta penjelasannya, penjelasan umum butir 5 UU Hak Tanggungan, rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun yang di dirikan atas tanah
70
hak pakai atas tanah negara yang didaftarkan dan menurut sifat dan kenyataannya
dapat
dipindahkan,
dapan
dibebani
dengan
Hak
Tanggungan. Rumah susun yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di atas hanya dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia (Pasal 1 butir (2) dan Pasal 3 UU Jaminan Fidusia) (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005:201-202) Munculnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, ketentuan-ketentuan hipotek mengenai Tanah Beserta BendaBenda yang berkaitan dengan Tanah tidak berlaku lagi. Hipotek pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lain. (M. Bahsan, 2007:15) Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS) yang saat ini telah menggunakan UU Nomor 20 Tahun 2011. Dengan berlakunya UURS pada tahun 1985, objek utama hak jaminan adalah bangunan rumah susun bukan tanahnya, Pasal 12 ayat 1 UURS tahun 1985 menyatakan sebagai berikut: “Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan utang dengan: 1) Dibebani hipotek, apabila tanahnya merupakan tanah hak milik atau hak guna bangunan. 2) Dibebani fidusia, apabila tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara. Kemudian dalam Pasal 12 UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang saat ini sudah diperbarui dengan Pasal 71 UU Nomor 1 Tahun
2009
tentang
Penerbangan,
yang
menetapkan
mengenai
pembebanan hipotek atas pesawat udara dan helikopter. Pasal 49 UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang saat ini dperbarui dengan Pasal 60-65 UU Nomor 17 Tahun 2008, yang menetapkan mengenai pembebanan hipotek atas kapal.
71
Sehingga saat ini dapat disimpulkan bahwa objek hipotek hanya mengikat objek jaminan yang ditunjuk oleh Undang-Undang yaitu rumah susun dengan tanah hak milik atau hak guna bangunan, kapal dan pesawat yang didaftarkan. Sehingga apabila dikaitkan dengan Hak Cipta sebagai objek jaminan, maka hipotek bukanlah lembaga yang ditunjuk UU Hak Cipta Tahun 2014 sebagai lembaga penjamin utang dengan objek jaminannya Hak Cipta. Hak cipta juga bukanlah objek yang dapat dibebani hipotek karena tidak ada Undang-Undang yang menunjuk Hak Cipta dapat dijadikan objek jaminan hipotek.
c. Gadai Berdasarkan Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.” Dari definisi gadai tersebut, unsur-unsur gadai (secara umum) adalah sebagai berikut: 1) Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak. Pada dasarnya gadai itu merupakan suatu hak kebendaan bagi pihak yang berpiutang atau kreditor. Hak kebendaan hanya meliputi barang-barang yang bergerak dan tidak meliputi barang-barang yang tidak bergerak. 2) Barang bergerak tersebut diserahkan kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain atas namanya. Perolehan dan penyerahan barang bergerak tersebut adalah dari pihak yang
72
berutang atau debitor ataupun dari pihak ketiga. Penyerahan dapat dilakukan secara nyata ataupun melalui sebuah akta. 3) Memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orangorang berpiutang lainnya. Melalui hak kebendaan berupa gadai ini, pihak yang berpiutang atau kreditor menjadi kreditor konkuren terhadap kreditor-kreditor lainnya dalam hal pelunasan utang-utang pihak yang berutang atau debitor. 4) Dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan. Walaupun pihak yang berpiutang atau kreditor ini memiliki hak konkuren dibandingkan dengan kreditor yang lainnya, namun terdapat hak lain yang lebih tinggi yaitu hak yang dimiliki oleh balai lelang atas biaya-biaya pelelangan barang bergerak dan biaya pemeliharaan barang bergerak yang digadaikan. Pelunasan biayabiaya tersebut harus didahulukan dari pelunasan atau hak-hak yang lain. Objek jaminan gadai harus diserahkan kepada kreditor secara fisik apabila tidak demikian maka perjanjian gadai dianggap tidak sah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1152 KUHPerdata yang berbunyi, “Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak. Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berutang atau si pemberi gadai, atau pun yang kembali atas kemauan si berpiutang.” Akan tetapi, kreditor penerima gadai memiliki kewajiban atas benda yang dijaminkan, kewajiban kreditor penerima gadai adalah: 1) Menjaga barang yang di gadaikan sebaiknya.
73
2) Tidak di perkenankan mengalihkan barang yang di gadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberi gadai wanprestasi (Pasal 1154 KUH perdata) 3) Memberitahukan
kepada
pemberi
gadai
(debitor)
tentang
pemindahan barang-barang gadai (Pasal 1156 KUH perdata) 4) Bertanggung jawab atas kerugian, atau susutnya barang gadai, sejauh hal itu terjadi akibat kelalainnya (Pasal 1157 KUH perdata) Dalam suatu perjanjian utang piutang, debitor sebagai pihak yang berutang meminjam uang atau barang dari kreditor sebagai pihak yang berpiutang. Agar kreditor memperoleh rasa aman dan terjamin terhadap uang atau barang yang dipinjamkan, kreditor mensyaratkan sebuah agunan atau jaminan atas uang atau barang yang dipinjamkan. Agunan ini diantaranya bisa berupa gadai atas barang-barang bergerak yang dimiliki oleh debitor ataupun milik pihak ketiga. Debitor sebagai pemberi gadai menyerahkan barang-barang yang digadaikan tersebut kepada kreditor atau penerima gadai. Disamping menyerahkan kepada kreditor, barang yang digadaikan ini dapat diserahkan kepada pihak ketiga asalkan terdapat persetujuan kedua belah pihak. Mengenai benda bergerak tidak berwujud, kecuali terhadap suratsurat tunjuk atau surat-surat bawa, dengan bukti tertulis yang dibuat oleh pemberi gadai (debitor), diletakkan dengan pemberitahuan tentang pegadaiannya yang berisi kepada orang dan terhadap siapa hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan. (Pasal 1153 KUHPerdata) Adapun yang menjadi objek gadai, benda yang tidak berwujud yang dapat menjadi jaminan antara lain adalah surat-surat berharga, sahamsaham, obligasi, sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, hak tagih. Berdasarkan Pasal 1153 KUHPerdata di atas, apabila berupa saham, maka debitor harus menyerahkan bukti kepemilikan surat berharganya (baik yang berupa rekening saham maupun kertas/lembar saham) kepada kreditor atau pihak ketiga, kemudian debitor wajib memberitahukan perihal pegadaian surat berharganya kepada lembaga yang berwenang
74
dalam hal ini lembaga kustodian atau lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang nantinya akan dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus pemegang saham tentang perihal penggadaian saham yang dilakukan oleh debitor kepada kreditor penerima gadai. Dengan digunakannya saham sebagai jaminan kredit, maka selama debitor belum melunasi utangnya, saham tersebut berada dalam kekuasaan kreditor, namun segala hak yang timbul dari pemilikan saham tersebut tetap berada pada debitor sebagai pemilik saham. Hal ini disebabkan oleh karena sifat penyerahan saham tersebut adalah hanya tertuju pada jaminan sebagai pelunasan utang apabila debitor ternyata tidak dapat melunasi utangnya tepat pada saat yang telah diperjanjikan untuk itu. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan benda melalui gadai mensyaratkan benda yang dijadikan objek jaminan harus diserahkan secara fisik kepada kreditor penerima gadai baik benda bergerak tersebut berwujud maupun tidak berwujud. Benda jaminan tersebut menjadi kekuasaan kreditor sepenuhnya sampai debitor melunasi seluruh utang-utangnya. Sehingga debitor sama sekali tidak memiliki kuasa atas benda yang dijaminkan dengan cara gadai. Hal tidak berkuasanya debitor pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor penerima gadai. Namun debitor pemberi gadai berhak menuntutnya kembali apabila barang yang digadaikan hilang atau kecurian saat dalam kekuasaan kreditor penerima gadai. (Pasal 1152 KUHPerdata) Apabila dikaitkan dengan pembebanan Hak Cipta sebagai objek jaminan utang, maka gadai bukanlah lembaga penjamin utang yang tepat untuk mengurusi pembebanan Hak Cipta sebagai objek jaminan utang. Melihat dari syarat gadai yang mengharuskan debitor menyerahkan benda objek jaminan kepada kreditor penerima gadai, maka Hak Cipta tidak dapat dijaminkan dengan cara gadai karena sifatnya yang apabila hak ekonominya dikuasai oleh kreditor maka pihak debitor akan dirugikan karena debitor tidak dapat menggunakan manfaat ekonomis yang
75
dihasilkan dari Hak Cipta yang dijaminkan. Sedangkan pihak kreditor yang mendapat manfaat ekonomisnya tanpa memasukkannya ke dalam tagihan utang karena kuasa penuh atas benda jaminan gadai berada ditangan kreditor.
d. Fidusia Seperti yang telah diuraikan pada BAB II mengenai dasar teori penelitian, fidusia merupakan salah satu lembaga penjamin utang yang terbentuk atas dasar ketidak-puasan masyarakat terhadap gadai. Latar belakang timbulnya lembaga jaminan fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi
kebutuhan
masyarakat
dan
tidak
dapat
mengikuti
perkembangan masyarakat. (Sri Soedewi Machjoen Sofwan:1981) Karena adannya kelemahan-kelemahan yang dimiliki gadai, dalam praktik muncul lembaga baru yaitu fidusia. Menurut J. Satrio, munculnya jaminan fidusia disebabkan oleh faktor-faktor berikut: 1) Kebutuhan praktik akan jaminan yang kuat karena gadai kadangkadang kalah terhadap privelege. 2) Resiko atas barang gadai 3) Jaminan yang diberikan kepada pembeli yang beritikad baik seperti dalam Pasal 1197 ayat (2) jo. Pasal 582 KUHPerdata tidak melindungi pemegang gadai 4) Masalah tempat penyimpanan barang jaminan gadai 5) Sehubungan dengan berlakunya UUPA untuk hak atas tanah tertentu. (J. Satrio, 2000:149) Pada awal perkembangannya di Belanda, lembaga ini mendapat tantangan yang keras dari yurisprudensi karena dianggap menyimpang (wetsontduiking) dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata. Lembaga jaminan fidusia dianggap tidak memenuhi syarat tentang harus
76
adanya causa yang diperkenankan. Namun, dalam perkembangannya arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 mengakui sahnya lembaga jaminan fidusia. Arrest ini terkenal dengan nama Bierbrouwerij Arrest. Pertimbangan yang diberikan oleh Hoge Raad lebih menekankan pada segi hukumnya daripada segi kemasyarakatannya. Hoge Raad berpendapat perjanjian fidusia bukanlah perjanjian gadai dan tidak terjadi penyimpangan hukum. (H. Salim, 2005:59) Pengertian fidusia dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia: “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”. (Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum) Disamping fidusia, dikenal juga istilah jaminan fidusia dalam Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: “Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.” (Pasal 1 huruf b Ketentuan Umum UU Jaminan Fidusia) Menurut H. Salim, unsur-unsur jaminan fidusia adalah: 1) Adanya hak jaminan; 2) Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun; 3) Benda yang menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia; dan
77
4) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor. (H. Salim, 2005:57) Pasal 11 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menegaskan bahwa untuk menciptakan perlindungan terhadap kreditor maka terlebih dahulu perjanjian jaminan fidusia harus didaftarkan. Pendaftaran
jaminan
fidusia
sebagai
pemenuhan
asas
publisitas,
pembebanan jaminan fidusia yang hanya dengan akta Noratis tanpa dilakukan pendaftaran tidak akan melahirkan hak preference terhadap kreditor penerima fidusia sehingga pendaftaran memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditor lain. Karena jaminan fidusia memberikan hak kepada Pemberi Fidusia untuk tetap menguasai benda. (H. Salim, 2003:82) Hal tersebut diperkuat oleh pendapat J. Satrio yang mengatakan, “Seharusnya dilakukan pendaftaran atas objek yang dibebani dengan jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, pendaftaran ini dilakukan untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia” (J. Satrio, 2000:146) Kegunaan dari didaftarkannya benda yang dibebani jaminan fidusia sesuai ketentuan Undang-Undang Jaminan Fiduisa adalah agar masyarakat dapat mengetahui bahwa benda tersebut telah dibebani jaminan fidusia, sehingga masyarakat akan berhati-hati untuk melakukan transaksi jual beli atas benda jaminan fidusia tersebut, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi kreditor bahwa kredit yang diberikan kepada debitor akan dapat terbayar apabila terjadi debitor wansprestasi. Bila jaminan fidusia sudah dilakukan pendaftaran, maka eksekusi benda jaminan fidusia dapat dilakukan. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia atau kreditor berupa sertifikat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran fidusia.
78
Fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan
dengan
ketentuan
bahwa
benda
yang
hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada di dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Benda tidak bergerak yang dapat dijadikan jaminan fidusia adalah bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan yaitu rumah susun. Hal ini diatur dalam Pasal 48 ayat (4) dan (5) UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang berbunyi, “SKBG sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. SKBG sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.” SKBG dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12, “Sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun yang selanjutnya disebut SKBG sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa.” Sedangkan sarusun dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3, “Satuan rumah susun yang selanjutnya disebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.” Kaitannya dengan Hak Cipta yang merupakan benda bergerak tidak berwujud, fidusia merupakan lembaga yang tepat untuk dibebani jaminan yang objek jaminannya Hak Cipta. Karena jaminan fidusia merupakan jaminan kebendaan yang terbentuk atas dasar kepercayaan yang mana barang/benda objek jaminannya tetap dalam kuasa debitor, sehingga
79
debitor masih tetap dapat menghasilkan keuntungan yang bersifat ekonomis dengan tujuan untuk melakukan pelunasan utang kepada kreditor pemegang fidusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fidusia merupakan satu-satunya lembaga penjamin utang yang dapat dibebani utang dengan objek jaminannya berupa Hak Cipta. 2. Penguasaan benda jaminan fidusia Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata "Fides", yang berarti kepercayaan, Sesuai dengan arti kata ini maka hubungan (hukum) antara debitor (pemberi kuasa) dan kreditor (penerima kuasa) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001:113). Fidusia yang berarti penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan memberikan kedudukan kepada debitor untuk tetap menguasai barang jaminan, walaupun hanya sebagai peminjam pakai untuk sementara waktu atau tidak lagi sebagai pemilik. Beberapa prinsip utama dan jaminan fidusia adalah sebagai berikut: 1) Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya. 2) Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada apabila ada wanprestasi dari pihak debitor. 3) Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia. 4) Apabila hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia. (Sri Soedewi Maschjoen Sofwan, 1997:27) Apabila hal tersebut di atas dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip hukum perjanjian, maka nampak bahwa prinsip kebebasan berkontrak merupakan dasar bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta dan pemberi kredit (fidusia). Penerapan prinsip tersebut berkaitan dengan kebebasan debitor (pemberi fidusia) dan kreditor (penerima fidusia) untuk melakukan perjanjian. Namun setelah perjanjian disepakati berlakulah sebagai
80
undang-undang bagi para pihak, sehingga harus ditaati (prinsip pacta sunt servanda). Ketaatan terhadap perjanjian tersebut berkaitan dengan unsur kepercayaan bahwa pemberi fidusia akan melakukan kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati, antara lain memelihara barang jaminan dan melunasi
utangnya.
Sebaliknya
penerima
fidusia
berjanji
akan
mengembalikan penguasaan secara yuridis kepada pemberi fidusia setelah utangnya dilunasi. Kesepakatan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik (prinsip itikad baik), dalam arti pemberi fidusia dan penerima fidusia berkewajiban melaksanakan kesepakatan tersebut tanpa ada maksud untuk melakukan kecurangan, misalnya apabila debitor wanprestasi, kreditor baru dapat melakukan eksekusi barang jaminan. kemudian apabila terdapat kelebihan harga barang yang dilelang harus dikembalikan kepada debitor (pemberi fidusia). (Sudjana, 2012:410) Namun bukan berarti tidak ada jaminan perlindungan hukum bagi kreditor pemegang fidusia. UU Jaminan Fidusia melindungi kreditor manakala debitor mempunyai itikad tidak baik. Hal tersebut terlihat dalam bunyi Pasal 10 UU Jaminan Fidusia Tahun 1999 “Kecuali diperjanjikan lain: Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan Fidusia. Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan.” Menurut Moch. Najib Imanullah, maksud dari bunyi Pasal 10 Undang-Undang Fidusia Tahun 1999 adalah bahwa benar keuntungan yang bernilai ekonomis yang dihasilkan oleh benda yang dijaminkan termasuk objek jaminan fidusia. Tidak ada penguasaan dalam hal jaminan fidusia. Yang dimaksud Pasal tersebut adalah keuntungan yang dihasilkan dari benda yang dijaminkan juga menjadi objek jaminan, nilai ekonomis dari keuntungan yang dihasilkan dari benda yang dijaminkan tersebut menjadi pertimbangan kreditor dalam memberi utang. Hal tersebut juga menjadi perlindungan dan jaminan terhadap kreditor karena debitor tidak lagi memiliki kuasa penuh terhadap benda yang dijaminkan tersebut.
81
Segala hal termasuk keuntungan yang bersifat ekonomis yang dihasilkan oleh benda jaminan dikontrol oleh kreditor. Selama hasil tersebut digunakan debitor untuk keperluan yang diperbolehkan oleh kreditor maka debitor boleh menggunakannya. Contohnya hasil tersebut digunakan untuk membayar utang kepada kreditor atau untuk keperluan yang
menunjang
untuk
tujuan
tersebut
maka
debitor
berhak
menggunakannya dalam pengawasan kreditor. Apabila suatu saat debitor wanprestasi, maka keuntungan yang bersifat ekonomis yang dihasilkan oleh benda jaminan tersebut dapat digunakan untuk melunasi utang kepada kreditor. Karena tidak adanya penguasaan terhadap benda jaminan, maka fidusia sangat berbeda dengan gadai. Pengawasan kreditor terhadap keuntungan yang bersifat ekonomis yang dihasilkan oleh benda jaminan merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap kreditor maupun debitor. Kreditor terlindungi karena apabila debitor melakukan wanprestasi maka keuntungan yang bersifat ekonomis yang dihasilkan benda jaminan tersebut dapat digunakan untuk membayar utang. Begitu juga melindungi debitor dari penguasaan benda jaminan seluruhnya oleh kreditor. Debitor masih tetap dapat menggunakan benda jaminan untuk menghasilkan keuntungan yang bersifat ekonomis yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidup serta dapat digunakan untuk membayar utangnya kepada kreditor. Hal ini sejalan dengan prinsip latar belakang terbentuknya lembaga jaminan fidusia dimana debitor tetap dapat menggunakan barang yang dijaminkan guna menghasilkan keuntungan yang bersifat ekonomis untuk kelangsungan hidupnya dan untuk melunasi utangnya kepada kreditor. (Moch. Najib Imanullah, dalam wawancara skripsi ini pada tanggal 12 Februari 2016) Berbeda dengan gadai, kata “gadai” dalam undang-undang digunakan dalam dua arti, pertama menunjukkan kepada bendanya (benda gadai). Kedua, tertuju kepada haknya (hak gadai). Adapun yang menjadi objek jaminan gadai adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun
82
tidak berwujud. Benda yang tidak berwujud yang dapat menjadi jaminan antara lain adalah surat-surat berharga, saham-saham, obligasi, sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, hak tagih. Saham sebagai suatu hak yang merupakan benda yang dapat dikuasai dengan hak milik juga dapat ditemukan dasarnya pada ketentuan umum yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 511 angka (4). Saham adalah bukti kepemilikan atas sejumlah modal dalam suatu perseroan terbatas (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 60 UU Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa saham adalah benda bergerak dan karena itu dapat digadaikan. Bahwa kepemilikan atas saham sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan kepada pemegangnya yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang saham yang memiliki saham mempunyai hak kebendaan terhadap saham tersebut. Oleh karena itu saham sebagai benda bergerak dapat dijadikan sebagai jaminan utang dengan gadai atau jaminan fidusia sebagai lembaga jaminannya. (Pasal 60 ayat (1) - (4) UU Perseroan Terbatas) Mengenai saham sebagai jaminan kredit, maka selama debitor belum melunasi utangnya, saham tersebut berada dalam kekuasaan kreditor, namun segala hak yang timbul dari pemilikan saham tersebut tetap berada pada debitor sebagai pemilik saham. Hal ini disebabkan oleh karena sifat penyerahan saham tersebut adalah hanya tertuju pada jaminan sebagai pelunasan utang apabila debitor ternyata tidak dapat melunasi utangnya tepat pada saat yang telah diperjanjikan untuk itu. Kedudukan pemegang gadai berbeda dengan pemegang fidusia, karena benda jaminan berada dalam penguasaan pemegang gadai selaku kreditor. Dalam hal ini kreditor sedapat mungkin akan terhindar dari itikad tidak baik pemberi gadai. Dalam gadai benda jaminan sama sekali tidak boleh berada dalam penguasaan (inbezitstelling) pemberi gadai, sedang benda yang dijaminkan dengan jaminan fidusia tetap berada di tangan pemberi jaminan fidusia selaku debitor. Namun dengan adanya Pasal 10
83
UU Jaminan Fidusia membuktikan bahwa pemberi fidusia dalam hal ini adalah debitor, tidak dapat dengan sesuka hati menggunakan barang jaminan untuk keperluan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan pelunasan utang kepada kreditor. Segala bentuk tindakan debitor yang menggunakan barang jaminan untuk menghasilkan keuntungan yang bersifat ekonomis akan diawasi dan dikontrol oleh kreditor selaku pemegang jaminan fidusia. Sehingga baik kreditor maupun debitor terlindungi haknya dari itikad tidak baik yang nantinya akan menimbulkan masalah di kedua belah pihak. Hak cipta sebagai hak kebendaan dalam sistem hukum benda tergolong kedalam benda bergerak yang tidak berwujud. Tetapi di dalam pengikatan
jaminannya
tidak
dapat
memenuhi
syarat
keharusan
penguasaan atas benda jaminan bagi penerima gadai apabila dilakukan dengan gadai. Hal tersebut disebabkan Hak Cipta tidak dapat memenuhi persyaratan penyerahan benda objek gadai. Hak cipta walaupun mempunyai persamaan dengan benda-benda immateriel lainnya seperti hak piutang dan surat-surat berharga tetapi memiliki perbedaan di dalam prosedur penyerahannya. Surat berharga dan hak atas piutang dapat diserahkan dengan endosemen dan cessie sehingga pengikatannya dapat dilakukan dengan lembaga jaminan gadai. Tetapi, penyerahan untuk Hak Cipta tidak cukup dilakukan dengan penyerahan sertifikat Hak Cipta saja. Namun membutuhkan tindakan hukum lain yaitu dengan melakukan permohonan pendaftaran peralihan Hak Cipta pada Ditjen HKI demikian juga keberadaan Hak Cipta, mempunyai hubungan yang erat dengan usaha si pencipta atau pemegang Hak Cipta. Oleh karena itu jenis lembaga jaminan yang dapat diikatkan pada Hak Cipta adalah dengan menggunakan lembaga jaminan fidusia. (Subagio Gigih Wijaya, 2010: 132) Sehingga apabila melihat objek jaminan fidusia yang berupa Hak Cipta, maka debitor dalam hal ini pencipta atau pemegang Hak Cipta tetap menguasai benda/barang ciptaannya dan akan tetap mendapatkan
84
keuntungan yang bersifat ekonomis dari ciptaannya untuk tujuan pelunasan utang kepada kreditor pemegang jaminan fidusia.
3. Syarat Hak Cipta dijadikan sebagai objek jaminan fidusia Terhadap Hak Cipta, pencipta atau pemegang Hak Cipta dapat mengalihkan kepada orang lain. Hal ini membuktikan bahwa Hak Cipta itu, berlaku sebagai syarat-syarat pemilikan, baik mengenai cara penggunaannya maupun pengalihan haknya. Hak cipta pun telah memenuhi ciri suatu jaminan dimana suatu benda jaminan harus dapat dialihkan, hal tersebut telah diakomodasi dalam Pasal 16 UU Hak Cipta Tahun 2014 dimana Hak Cipta dapat beralih dan dialihkan. Fidusia yang berupa Hak Cipta dapat saja didaftarkan, hanya yang menjadi masalah cara mengidentifikasinya. Apabila berupa barang berwujud lebih mudah karena barang tersebut dapat diperinci jenis atau spesifikasinya. Ada kemungkinan untuk Hak Cipta yang didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hal Kekayaan Intelektual masih bisa dikualifikasi yaitu berdasarkan nomor register pendaftarannya, tetapi untuk Hak Cipta yang tidak didaftarkan akan menimbulkan kesulitan. (Sudjana, 2012:413) Suatu Hak Cipta yang akan dijadikan jaminan utang sebaiknya telah terdaftar dalam daftar umum ciptaan walaupun dalam undangundangnya tidak diharuskan suatu Hak Cipta itu untuk didaftarkan karena sistem dari Hak Cipta bukanlah dengan pencatatan (konstitutif) tetapi dengan pengumuman (deklaratif) saja Hak Cipta tersebut telah diakui. Akan tetapi pendaftaran suatu ciptaan ke Ditjen HKI sebagai lembaga pencatatan Hak Cipta di Indonesia, sebenarnya akan sangat berguna dalam hal pembuktian apabila ada sengketa kepemilikan di kemudian hari, pendaftaran ini walaupun dalam Pasal 72 UU Hak Cipta disebutkan “Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk dari Ciptaan yang didaftar” Namun, dalam penilaian Hak Cipta sebagai objek jaminan utang, sertifikat Hak Cipta sebagai bukti tertulis kepemilikan akan Hak Cipta
85
tentu akan sangat membantu pembuktian siapa pemilik Hak Cipta tersebut. (Subagio Gigih Wijaya, 2010: 131) Syarat lain Hak Cipta tersebut masih dalam masa perlindungan. Masa berlakunya Hak Cipta tersebut penting artinya dalam hal perlindungan dan kepemilikan terhadap hak tersebut, apabila masih berlaku tentu saja nilai ekonomis Hak Cipta tersebut masih terjamin dan masih dapat dipertahankan terhadap siapa saja.
4. Kesulitan lembaga jaminan fidusia dalam proses penjaminan Hak Cipta sebagai objeknya Dalam menentukan besarnya pinjaman/kredit yang dapat diberikan oleh kreditor, maka perlu adanya proses menaksir nilai ekonomis dari suatu barang/benda yang akan menjadi jaminan kredit/utang. Hal ini perlu dilakukan mengingat besarnya nilai pinjaman/utang tidak boleh melebihi besarnya nilai benda/barang yang dijaminkan. Umumnya jumlah pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 85 % sampai 89% dari nilai taksiran barang yang dijaminkan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan manakala debitor wanprestasi, benda/barang yang dijaminkan nantinya akan dilelang yang hasilnya akan diberikan kepada kreditor sebagai pelunasan utang, dan sisanya dikembalikan kepada debitor. Apabila nilai benda yang dijaminkan lebih rendah dari nilai pinjaman/kredit yang diajukan debitor, maka pihak kreditor akan mengalami kerugian karena hasil pelelangan benda jaminan tersebut tidak dapat menutup utang debitor. Seorang ahli taksir adalah orang yang memiliki kompetensi di dalam bidang taksiran dan atau mampu memberikan penilaian yang objektif terhadap nilai suatu barang bergerak/tidak bergerak yang menjadi agunan kredit. Proses kerja penaksir adalah suatu rangkaian aktifitas oleh petugas fungsional penaksir di kantor cabang mulai dari penerimaan barang jaminan, menentukan taksiran barang jaminan berdasarkan ketentuan yang berlaku sampai dengan proses penyerahan barang jaminan yang telah ditaksir kepada penyimpan/pemegang gudang.
86
Proses menaksir harga/nilai suatu benda/barang yang akan dijaminkan dimulai dari penaksir/ahli taksir menentukan taksiran atas barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah. Taksiran yang baik akan menghasilkan uang pinjaman yang baik pula. Uang pinjaman yang baik akan menghasilkan sewa modal yang optimal. Sebaliknya taksiran yang buruk (taksiran tinggi/rendah) akan menghasilkan uang pinjaman yang bermasalah. Taksiran tinggi akan menyebabkan terhambatnya perputaran modal kerja dan cost of capital yang tinggi karena perlu penanganan yang lebih lanjut atas kasus taksiran tinggi. Taksiran rendah akan menyebabkan uang pinjaman rendah dan pendapatan sewa modal yang rendah pula, selain itu kepercayaan masyarakat kepada lembaga penjamin utang tersebut akan semakin rendah karena benda/barang mereka ditaksir rendah oleh penaksir. Apabila nasabah telah menyetujui jumlah uang pinjaman yang akan diberikan, kemudian dibuatkan surat bukti kredit. Surat bukti kredit dibuat dua lembar. Satu lembar yang asli diberikan dan disimpan oleh nasabah, tembusan disimpan oleh lembaga penjamin. Hasil pemeriksaan taksiran tersebut setiap hari dicatat dalam buku yang telah disediakan untuk maksud itu serta dibubuhi keterangan tentang tanggal dan jam-jam pemeriksaan. Apabila terdapat perbedaan penaksiran, sebab-sebab dari perbedaan tersebut harus ditulis di belakang angka taksiran. Pada setiap akhir pemeriksaan kepala cabang dan penaksir harus membubuhi tanda tangannya, nama terang dan NIKnya (Nomor Induk Kepegawaian). Untuk itu ada dua hal pokok yang menjadi pedoman dalam menaksir barang jaminan yaitu peraturan yang berlaku di lembaga penjamin utang berupa rumus taksiran, patok taksiran dan lain sebagainya serta perkiraan nilai/harga dari suatu barang yang dijadikan barang agunan yang dinyatakan dalam satuan uang (rupiah). Nilai/harga sesuai dengan konsep ekonomi terbagi dua yaitu nilai intrinsik dan nilai nominal. Nilai intrinsik adalah nilai yang berdasarkan kepada nilai/perkiraan harga yang sesungguhnya dari materi yang ada di dalam barang tersebut. Sedangkan
87
nilai nominal adalah nilai yang ditetapkan berdasarkan kepada satuan yang tertera/tercantum pada barang tersebut berdasarkan pengesahan dari pemerintah yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Nilai tersebut sangat berkaitan dengan harga yang berlaku pada suatu daerah tertentu dan dalam kurun waktu tertentu pula. Dalam hubungannya dengan proses menaksir barang jaminan dan harga tersebut sangat berkaitan erat dengan suatu istilah yang disebut dengan "Harga Pasar". Harga pasar adalah nilai dari suatu barang yang diukur berdasarkan dengan sejumlah nominal (uang) yang terbentuk dari proses pertemuan antara permintaan dan penawaran yang terjadi berdasarkan kaidah hukum yang berlaku. Pengertian harga pasar tersebut berlaku dalam kurun waktu tertentu dan dalam ruang lingkup tertentu pula. Harga pasar dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1) Harga Pasar Pusat (HPP) yaitu suatu nilai/harga barang yang ditetapkan oleh kantor pusat lembaga penjamin dan berlaku di seluruh Indonesia. Harga pasar ini ditetapkan oleh kantor pusat karena sebagai bentuk dari suatu penyeragaman harga yang secara umum berlaku di seluruh wilayah Indonesia. 2) Harga Pasar Daerah (HPD) yaitu suatu nilai/harga barang yang ditetapkan oleh Pemimpin Wilayah yang berlaku di suatu daerah tertentu di Indonesia. Adapun HPD ini terbentuk karena di suatu tempat dalam ruang lingkup Kantor Wilayah memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan wilayah lain. 3) Harga Pasar Setempat (HPS), yaitu suatu nilai/harga barang yang diusulkan oleh Manajer Cabang kepada Pemimpin Wilayahnya, kemudian setelah dikoreksi dan seperlunya maka dikirimkan kembali ke kantor cabang yang bersangkutan untuk digunakan dalam kurun waktu tertentu. HPS ini dibuat dengan cara sebagai berikut: Para penaksir di kantor cabang melakukan survey secara berkala guna mengetahui secara pasti harga dari suatu barang tertentu. Penaksir dapat pula melakukan perbandingan harga
88
tersebut dengan tabloid/media cetak yang memuat harga pasar secara umum. (Oki Ismail. Materi Modul Pelatihan PERUM Pegadaian. 18 Oktober 2008) Para penaksir di kantor cabang diwajibkan untuk melakukan survey harga pasar minimal tiga bulan sekali. Hal ini dimaksudkan agar dalam menentukan taksiran barang gudang, para penaksir dapat mengetahui secara pasti harga riil yang sebenarnya di pasar setempat sehingga taksiran yang ditetapkan akan optimal sesuai dengan kondisi objektif di lingungan sekitar kantor cabang. Hasil survey tersebut dicatat pada "Buku Harga Pasar Setempat" (BHPS) dan harus ditandatangani oleh penaksir yang melakukan meninjauan harga tersebut. BHPS menjadi dasar usulan Harga Pasar Setempat Kantor Cabang ke Kantor Wilayah yang dikirimkan setiap tiga bulan sekali. Dalam fidusia tidak ada kewajiban bagi debitor untuk menyerahkan barang yang difidusiakan. Hak cipta yang difidusiakan tetap dikuasai oleh debitor sebagai pemegang Hak Cipta. Satu hal yang terpenting di sini adalah karena fidusia wajib didaftarkan di Dirjen HKI maka sertifikat fidusia merupakan sebuah bukti wujud Hak Cipta yang dijaminkan secara fidusia. Apabila dibandingkan dengan gadai yang lahir tanpa pendaftaran, kreditor juga akan sulit membuktikan adanya gadai Hak Cipta. Selain Hak Cipta, HKI bidang yang lainnya seperti merek dan paten juga dapat difidusiakan karena sebagai barang bergerak yang tidak bertubuh. Apabila utang debitor di kemudian hari tidak dapat dilunasi, maka kreditor dapat menarik Hak Cipta dari kekuasaan debitor untuk dilakukan eksekusi fidusia. Penarikan dilakukan dengan cara debitor membuat pemyataan bahwa debitor menyerahkan Hak Cipta sebagai objek fidusia kepada kreditor untuk kepentingan pelaksanaan pelunasan utang dengan melakukan penjualan barang tersebut. Selanjutnya setelah mengetahui Hak Cipta dapat dijaminkan dengan fidusia, tampaknya fidusia Hak Cipta untuk sementara ini masih belum diminati oleh pelaku bisnis. Hal ini dipengaruhi antara lain karena
89
merasa hukumnya masih belum jelas dan nilai objeknya juga belum pernah diketahui nilai pasarannya seperti barang bergerak lainnya. Demikian pula tentang nilai pasaran objek fidusia, bahwa Hak Cipta memang mempunyai nilai ekonomi akan tetapi sebagaian besar masyarakat masih merasa awam perdagangan Hak Cipta, karena masih belum pernah terdengar nilai pasarannya. Tidak seperti barang bergerak yang bertubuh misalnya kendaraan, elektronik maupun perhiasan. Masyarakat merasa tidak mengalami kesulitan mengetahui harga pasarannya, karena setiap hari terjadi transaksi jual beli barang-barang tersebut. Karena kesulitan mengetahui harga pasaran para pelaku bisnis tidak begitu tertarik menggunakan Hak Cipta sebagai objek jaminan. Kesulitan dalam mengaplikasikan Pasal 16 ayat (3) adalah dalam menaksir atau menilai dan menetapkan harga (di-appraisal) suatu Hak Cipta yang dilakukan oleh lembaga jaminan fidusia maupun perbankan. Dalam hal benda yang dijaminkan adalah Hak Cipta, penaksir nantinya akan mengalami kesulitan dalam menentukan besaran nilai ekonomis Hak Cipta yang dijaminkan. Penaksir harus memiliki pengalaman dan kemampuan memprediksi nilai Hak Cipta yang akan dijaminkan. Menurut Sudjana, fidusia yang berupa Hak Cipta dapat saja didaftarkan, hanya yang menjadi masalah cara mengidentifikasinya. Apabila berupa barang berwujud lebih mudah karena barang tersebut dapat diperinci jenis atau spesifikasinya. Ada kemungkinan untuk Hak Cipta yang didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hal Kekayaan Intelektual masih bisa dikualifikasi yaitu berdasarkan nomor register pendaftarannya, tetapi untuk Hak Cipta yang tidak didaftarkan akan menimbulkan kesulitan. (Sudjana, 2012:413) Dalam
Sertifikat
Jaminan
Fidusia
sebagaimana
dimaksud
dicantumkan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila debitor cidera janji, penerima
90
fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. (Sudjana, 2012:413) Apabila ketentuan tentang kekuatan eksekutorial dari Sertifikat Jaminan Fidusia diterapkan untuk jaminan yang objeknya Hak Cipta, maka ketentuan proses eksekusinya (penjualan objek fidusia yang berupa Hak Cipta) harus telah tertulis dalam klausula perjanjiannya. Karena dengan mengeksekusi Hak Cipta berarti Hak Cipta akan dialihkan kepada pihak ketiga yang membeli lelang Hak Cipta yang dijaminkan. Peralihan yang akan digunakan adalah perjanjian tertulis seperti yang tercantum pada Pasal 16 ayat (2) huruf e UU Hak Cipta Tahun 2014 yang berbunyi, “Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik sebagian maupun seluruhnya karena: […] e. perjanjian tertulis.” Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat
Jaminan
Fidusia,
penerima
fidusia
wajib
mengajukan
permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan, melakukan pencatatan perubahan tersebut dalam buku Daftar Fidusia dan menerbitkan Pernyataan Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dan Sertifikat Jaminan Fidusia. Ketentuan tersebut masih tidak jelas, apakah perubahan dalam sertifikat jaminan fidusia tersebut berkaitan dengan objek fidusia yaitu barangnya atau akte jaminan fidusianya? Ketidakjelasan pengaturan tersebut menandakan perlunya perbaikan melalui pengembangan atau pembangunan hukum agar kepastian hukum dapat tercapai sesuai dengan teori hukum pembangunan. Apabila hal itu dikaitkan dengan fidusia untuk Hak Cipta, dapat saja terjadi perubahan pemegang Hak Cipta misalnya karena terjadinya lisensi terhadap Hak Cipta tersebut. Hal ini berakibat juga terhadap perubahan akte jaminan fidusianya (perubahan klausulaklausula perjanjiannya), karena pemberi fidusia (pemegang Hak Ciptanya) berubah.