BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM HAK CIPTA
A. Hak Cipta Sebagai Hak Kekayaan Intelektual Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga yang bermaksud mengganggu hak itu. Siapa saja wajib menghormati pelaksanaan hak kebendaan itu. Sebaliknya, hak perseorangan hanya dapat dipertahankan untuk sementara terhadap orang-orang tertentu saja. Karena itu, hak kebendaan bersifat mutlak (absolut) dan hak perseorangan bersifat relatif (nisbi). Wirjono Prodjodikoro menyatakan, bahwa hak kebendaan itu bersifat mutlak. Dalam hak gangguan oleh orang ketiga, pemilik hak benda dapat melaksanakan haknya terhadap siapapun juga yang mengganggunya dan orang pengganggu ini dapat ditegur oleh pemilik hak benda berdasar atas hak benda itu. Ini berarti, bahwa di dalam hak kebendaan tetap ada hubungan langsung antara seorang dan benda, bagaimanapun juga ada campur tangan dari orang lain. Sedang hak perseorangan, tetap ada hubungan antara orang-orang, meskipun ada terlihat suatu benda di dalam perhubungan hukum. 28 Di dalam praktik pembedaan antara hak kebendaan dan hak perseorangan itu sangat sumier, tidak mutlak lagi. Sifat-sifatnya yang bertentangan itu tidak tajam lagi. Pada tiap-tiap hak itu terdapat hak kebendaan dan hak perseorangan tersebut, dengan titik berat yang berlainan, mungkin pada hak kebendaan atau 28
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT.Intermasa, 1981), hal. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
mungkin pada hak perseorangan. 29 Apabila dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta tahun Tahun 1997 maupun Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Hak Cipta Tahun 2002, yang menyatakan bahwa hak cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya,
yang
berarti
hak
yang
semata-mata-mata
diperuntukkan bagi pemegangnya, sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dengan kata lain Hak Cipta memberikan hak khusus kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada orang lain yang boleh
menggunakan
atau
melakukan
hak
untuk
mengumumkan
atau
memperbanyak suatu ciptaan milik orang lain, terkecuali dengan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan. Pasal 56 dikaitkan dengan Pasal 73 Undang-Undang Hak CIpta Tahun 2002 menyatakan bahwa pemegang hak cipta berhak meminta kepada Pengadilan Niaga untuk melakukan penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan Ciptaan yang dilanggarnya, yang untuk selanjutnya dimusnahkan oleh Negara, terkecuali Ciptaanya bersifat unik dapat dipertimbangkan untuk tidak dimusnahkan. Bahkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar sebelum menjatuhkan putusan akhir, hakim dapat
29
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal 27-28
Universitas Sumatera Utara
memerintah pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/ atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta. Pemegang Hak Cipta juga berhak meminta seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukkan, atau pameran karya yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta. Pasal 56 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002 secara tegas juga memberikan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga karena merasa dirugikan atau dilanggarnya Hak Ciptaannya. Hal ini berhubung karya karya cipta dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tadi merupakan hak milik pribadi dan manunggal dengan dirinya, yang tidak dapat dialihkan atau disita daripadanya dan tetap mengikuti diri Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dimana saja dia berada. Dengan demikian, dari ketantuan Pasal 56 dihubungkan dengan Pasal 75 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, tampak sekali kalau Hak Cipta itu bagian daripada hak Kebendaan, yang merupakan hak mutlak serta bersifat mengikuti Ciptaannya, walaupun tidak mendapat perlindungan hukum di Negara ini.
B. Sistem Pendaftaran Hak Cipta Salah satu perbedaan yang dianggap cukup penting antara Auteurswet dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah tentang Pendaftaran Hak Cipta. Auteurswet 1912 tidak ada memberi ketentuan tentang pendaftaran Hak Cipta ini. Menurut KoIIewijn sebagaimana yang dikutip oleh Widya Pramono
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan, Ada 2 (dua) jenis pendaftaran atau stelsel pendaftaran, yaitu stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif. 30 Stelsel konstitutif berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan hukum. Stelsel deklaratif bahwa pendaftaran itu, bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaan atau prasangka saja bahwa menurut undang-undang orang yang ciptaannya terdaftar itu adalah yang berhak atas ciptaannya. Dalam penjelasan umum Undang-undang Hak Cipta disebutkan bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif, artinya bahwa semua permohonan pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian hak pemohon, kecuali sudah jelas ada pelanggaran Hak Cipta. Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 dinyatakan bahwa pendaftaran Hak Cipta Program Computer (Software) dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian dalam hal terjadi sengketa mengenai Hak Cipta Program Komputer. Pendaftaran ini tidak mutlak diteruskan, karena tanpa pendaftaran Hak Cipta Program Komputer dilindungi. Hanya mengenai ciptaan atas suatu Program Komputer yang tidak didaftarkan akan sukar dan lebih memakan waktu dalam pembuktiannya. Hal yang penting lagi dari pendaftaran ini adalah dengan pendaftaran dapat memberikan semacam kepastian hukum serta lebih memudahkan dalam prosedur pengalihan hak. 31
30
Widyo Pramono, Tindak Pidana Hak Cipta, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hal. 72 Andi Hamzah, Undang-Undang Hak Cipta yang telah Diperbaharui, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 60. 31
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 35 Undang-undang Hak Cipta hanya disebutkann, Dirjen menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan dicatat dalam daftar umum ciptaan. Jadi disini terlihat, bahwa untuk mendapatkan pengakuan hak cipta perlu pendaftaran. Tata cara pendaftaran hak cipta diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01-H.C.03.0.1.1987, tanggal 26 Oktober 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan. Dalam Pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut disebutkan: Permohonan pendaftaran ciptaan diajukan kepada Menteri Kehakiman melalui Direktur Paten dan Hak Cipta dengan surat rangkap 2 (dua), ditulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas folio berganda; 2 (dua) Surat Permohonan tersebut berisi: a. Nama, Kewarganegaraan dan alamat pencipta; b. Nama, Kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; c. Nama, Kewarganegaraan dan alamat kuasa; d. Jenis dan judul ciptaan; e. Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali; f. Uraian ciptaan rangkap 3 (tiga). Surat permohonan pendaftaran hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan. Selanjutnya dalam Pasal 11 disebutkan, pengumuman pendaftaran ciptaan dalam Tambahan Berita Negara RI. 32 Dengan terdaftarnya hak cipta seseorang dalam daftar ciptaan, secara teoritis hak cipta maupun pemegang hak cipta sudah aman. Untuk itu, apabila ada pihak lain yang mengklaim bahwa yang terdaftar tersebut adalah miliknya, maka pihak mengklaimlah yang wajib membuktikan kebenaran haknya. Keuntungan lain yang diperoleh bagi pencipta yang mendaftarkan ciptaannya, dapat menggugat pelanggar hak cipta tersebut.
32
Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.H.C.03.0.1.1987 tanggal 26 Oktober 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan
Universitas Sumatera Utara
C. Hak Cipta dalam Persetujuan TRIP’s dan Bern Convention Berkembangnya
perdagangan
internasional
dan
adanya
gerakan
perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan terhadap perlindungan HKI yang sifatnya tidak lagi timbal balik, tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad ke-19, perkembangan pengaturan HKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak sejarahnya diawali dengan dibentuknya Paris Convention for The Protection of Industrial Property (disingkat Paris Convention atau Konvensi Paris) yang merupakan suatu perjanjian internasional mengenai perlindungan terhadap hak kekayaan perindustrian yang diadakan pada tanggal 20 Maret 1883 di Paris. Tidak lama kemudian pada tahun 1886, dibentuk pula sebuak konvensi untuk perlindungan di bidang hak cipta yang dikenal dengan International Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (disingkat Bern Convention atau Konvensi Bern) yang ditandatangani di Bern. 33 Untuk mengelola kedua konvensi itu, melalui Konferensi Stockholm tahun 1967 telah diterima suatu konvensi khusus untuk pembentukan organisasi dunia untuk Hak Kekayaan Intelektual ( Convention Establishing the World Intelektual Property Organization/WIPO) dan Indonesia menjadi anggotanya bersama dengan ratifikasi Konvensi Paris. Sementara itu, General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dibentuk pada tahun 1947. Pada awalnya GATT diciptakan sebagai bagian dari upaya penataan kembali struktur perekonomian dunia dan mempunyai misi untuk mengurangi hambatan berupa bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan
33
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op. cit., hal. 12.
Universitas Sumatera Utara
lainnya (non-tariff barrier). Setelah sistem ini berjalan selama 40 tahun, akhirnya dengan ditandatangainya naskah akhir Putaran Uruguay timbul kesepakatan untuk membentuk organisasi internasional yang mempunyai wewenang substantif dan cukup komprehensif yaitu World Trade Organization (WTO) yang akan menggantikan GATT sebagai organisasi internasional. 34 WTO yang akan mengelola seluruh persetujuan dalam Putaran Uruguay bahkan persetujuan GATT serta hasil-hasil putaran setelah itu. Pada Putaran Uruguay, negara-negara maju berhasil membentuk koalisi yang bertujuan untuk memasukkan perlindungan HKI kedalam sistim GATT, dimana usulan itu menunjukkan bahwa negara-negara maju terutama Amerika Serikat ingin memasukkan issu HKI ke dalam kerangka GATT yang disebabkan terutama karena Amerika Serikat telah mengalami berbagai kerugian akibat terjadinya pelanggaran HKI dalam perdagangannya dengan negara lain. Kemudian atas desakan Amerika Serikat dan beberapa negara maju, topic perlindungan HKI di negara-negara berkembang muncul sebagai suatu isu baru dalam sistem perdagangan internasional. HKI sebagai issu baru muncul di bawah topik Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang kompleks, komprehensif, dan ekstensif. 35 TRIPs merupakan kesepakatan internasional paling lengkap berkenaan dengan perlindungan HKI. 36
34
H.S. Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI-Press, 1997),
35
Ibid. 253. Agus Sardjono, Op. cit, 149
hal. 18. 36
Universitas Sumatera Utara
Indonesia kemudian meratifikasi perjanjian TRIPs ini melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Pengesahan Organisasi Perdagangan Dunia) yang diundangkan pada tanggal 2 Nopember tahun 1994. Persetujuan TRIPs ditujukan untuk mendorong terciptanya iklim perdagangan dan investasi yang lebih kondusif dengan: 37 1. menetapkan standar minimum perlindungan HKI dalam sistim hukum nasional negara-negara anggota WTO; 2. menetapkan standar bagi administrasi dan penegakan HKI; 3. menciptakan suatu mekanisme yang transparan; 4. menciptakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan dapat diprediksi untuk menyelesaikan sengketa HKI di antara para anggota WTO; 5. memungkinkan adanya mekanisme yang memastikan bahwa sistem HKI nasional mendukung tujuan-tujuan kebijakan publik yang telah diterima luas; 6. menyediakan mekanisme untuk menghadapi penyalahgunaan sistem HKI. Selain ciri-ciri pokok tersebut, persetujuan TRIPs pun mengandung unsurunsur yang perlu diperhatikan dari segi peraturan perundang-undangan nasional tentang HKI, yaitu: 38
1. Memuat norma-norma baru; 37
Eddy Damian dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pte.Ltd., bekerjasama dengan Penerbit Alumni Bandung, 2002, hal. 4. 38 Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. Memiliki standar yang lebih tinggi; 3. Memuat ketentuan penegakan hukum yang taat. Berpijak dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kesepakatan TRIPs tidak lepas dari desakan dari negara-negara maju untuk melindungi kepentingan mereka di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual. Ketika negara-negara berkembang tidak memberikan perlindungan terhadap HKI, maka investor dari negara-negara maju enggan untuk datang membawa teknologi mereka dan menanamkan modalnya ke negara-negara berkembang. Bahkan bagi Amerika Serikat perlindungan HKI menjadi salah satu syarat penting untuk meningkatkan investasi. 39 Hak Kekayaan Intelektual sebagai sebuah “hak” tidak dapat dilepaskan dari persoalan ekonomi. Diakui bahwa HKI merupakan sebuah rezim yang sama sekali berbeda dengan karakteristik dari pengetahuan tradisional di negara-negara berkembang. Pada perkembangannya berkaitan dengan perdagangan dunia yang semakin mengglobal, HKI lebih bersifat rezim individualis untuk memonopoli teknologi guna melindungi investasi (modal). HKI tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pemilik modal. Tidak ada riset untuk tujuan mencapai new invention yang tidak memerlukan biaya besar. Pelaksanaan hasil riset (berupa invensi yang patenable) pun memerlukan modal yang tidak sedikit. Dengan demikian antara HKI, khususnya paten, dan modal layaknya seperti dua sisi mata uang yang sama,
39
Agus Sardjono mengutip William C. Revelos, “Paten Enforcemen Difficulties in Japan: Are There Any Satisfactory Solution for United States”, Op. cit. hal. 150.
Universitas Sumatera Utara
sehingga perlindungan HKI cenderung ditafsirkan sebagai perlindungan pemilik modal. 40 Prinsip HKI yang demikian tentu memiliki perbedaan dengan prinsip kepemilikan masyarakat tradisional di banyak negara berkembang yang lebih bersifat komunal. Menurut Agus Sardjono, referensi yang digunakan oleh pembuat Undang Undang Hak Cipta di Indonesia bukan sistem nilai atau norma yang bersumber dari masyarakat Indonesia pada umumnya, sebab masyarakat Indonesia pada umumnya tidak terbiasa atau tidak memahami sistem yang bercorak
induvidualistik-kapitalistik
sebagaimana
rezim
HKI
tersebut.
Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai karakter atau corak komunalistik dan spritualistik, yang sangat berbeda dengan dasar filosofi system HKI. Itulah sebabnya menjadi sangat mudah untuk ditebak bahwa referensi yang digunakan untuk menyususn perundang-undangan HKI Indonesia adalah hasil Konvensi Internasional seperti Paris Convention, Berne Convention, dan lainlainnya. Itulah sebabnya rezim HKI hingga hari ini dianggap sebagai rezim yang asing bagi sebagian besar warga masyarakat Indonesia. Bahkan mungkin masih banyak sarjana hukum Indonesia yang tidak memahami sistem HKI itu sendiri. 41 Berpijak dari uraian di atas, peneliti berpendapat bahwa ketidaksinkronan antara prinsip HKI yang bersifat individualistis dan lebih ditujukan sebagai perlindungan terhadap investasi dari negara-negara maju dengan pola kepemilikan dalam kebanyakan masyarakat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
40 41
Ibid. hal. 147. Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), hal.
16-17.
Universitas Sumatera Utara
yang bersifat komunal, walau berarti tidak mengakui hak-hak individu menjadi salah satu hambatan dalam penegakan undang-undang HKI. Konvensi Bern 1886, pada garis besarnya memuat tiga prinsip dasar, berupa sekumpulan ketentuan yang mengatur standar minimum sekumpulan ketentuan yang berlaku khusus bagi negara-negara berkembang. Tiga prinsip dasar yang dianut konvensi Bern, yaitu: 42 1. Prinsip National Tratment
Ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian (yaitu citaan seseorang warga negara, negara peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan disalah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama seperti diperoleh seorang pencipta warga negara sendiri. 2. Prinsip Automatic Protection
Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (must not be conditional upon compliance Independence with any formality). 3. Prinsip Independence of Protection
Suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindngan hukum negara asal pencipta. Mengenai pengaturan standar-standar minimum perlindungan hukum ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta
42
Edy Damian, Hukum Hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasional, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999), hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
dan jangka waktu perlindungan yang diberikan, pengaturannya adalah sebagaiberikut: 43 a. Ciptaan yang dilindungi, adalah semua ciptaan dibidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni, dalam bentuk apapun perwujudannya. b. Kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi (reservation), pembatasan (limitation) atau pengecualian (exeption), yang tergolong sebagai hak-hak eksklusif: 1) Hak untuk menterjemahkan; 2) Hak mempertunjukkan di muka umum suatu ciptaan sastra, drama musik, dan ciptaan musik; 3) Hak mendeklamasikan (to recite) di muka umum semua ciptaan sastra. 4) Hak penyiaran (broadcast) 5) Hak membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apapun. 6) Hak menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan audio visual. 7) Hak membuat arransemen dan adaptasi dari suatu ciptaan. Selain dari pada hak-hak eksklusif, dalam konvensi Bern juga mengatur apa yang dinamakan dengan hak moral. Hak dimaksud iniadalah hak pencipta untuk mengajukan keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaan yang dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta. 44
43 44
Ibid, hal. 61-62 Ibid, hal. 62
Universitas Sumatera Utara
Standar berlaku mengenai jangka waktu berlakunya perlindungan hukum hak cipta, konvensi Bern menentukan sebagai ketentuan umum: selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Terhadap ciptaan yangtidak diketahui atau penciptaanya memakai nama samaran atau pencipta merahasiakan jati dirinya, jangka waktu perlindungan adalah 50 tahun, semenjak pengumumannya secara sah dilakukan, kecuali jikapencipta yang memakai
nama
samaran
atau
merahasiakan
namanyadiketahui
identitas
pribadinya, jangka waktu perlindungan diberikansesuai dengan ketentuan yang berlaku umum, yaitu selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah meninggal dunia. Selanjutnya konvensi Bern mengatur jangka waktuperlindungan hukum ciptaan-ciptaan audiovisual, jangka waktu minimum perlindungan hukum adalah 50 tahun sejak ciptaan direkam dan dapat diperoleh oleh konsumen. Atau jika tidak direkam dan tidak dapat diperoleh konsumen perlindungan hukumnya adalah minimum 50 tahun semenjak diciptakan. Untuk ciptaan-ciptaan yang tergolong seni terapan dan fotografi, jangka waktu minimum perlindungan diberikan adalah 25 tahun semenjak diciptakan.
D. Pelanggaran Terhadap Hak Cipta Hak cipta sebagai salah satu kekayaan intelektual telah dikenal sejak lama. Namun, ironisnya, pelanggaran akan hak cipta ini lebih banyak terjadi
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan kekayaan intelektual lainnya. Oleh karena itu, hak cipta merupakan salah satu Hak Atas Kekayaan Intelektual yang sangat rentan dieksploitasi sehingga diperlukan pengaturan komprehensif di setiap negara sebagai langkah antisipatif. 45 Pelanggaran berarti tindakan yang melanggar hak cipta, seperti penggunaan hak cipta, yang adalah hak pribadi milik pencipta, tanpa izin, dan pendaftaran hak cipta oleh orang lain yang bukan pemegang hak cipta. Jika seseorang mencuri barang milik orang lain yang diperolehnya dengan kerja keras atau mengambil dan menggunakannya tanpa izin, ini termasuk kejahatan besar. Setiap orang tahu bahwa mencuri barang milik orang lain itu salah. Tetapi dalam hal barang tidak dapat diraba seperti hak cipta, orang tampaknya tidak merasa bersalah bila mencurinya. Namun, hak kekayaan intelektual, seperti hak cipta adalah hak milik yang berharga, hak yang diberikan kepada ciptaan yang dihasilkan secara kreatif dalam proses intelektual, seperti berpikir dan merasa. Perlindungan hak cipta secara individual pada hakikatnya merupakan hal yang tidak dikenal di Indonesia. Suatu ciptaan oleh masyarakat dianggap secara tradisional sebagai milik bersama. Tumbuhnya kesadaran bahwa ciptaan itu perlu perlindungan hukum setelah dihadapinya bahwa ciptaan itu mempunyai nilai ekonomi. Adapun dalam pandangan tradisional segi nilai moral hak cipta lebih menonjol daripada nilai ekonomisnya. Baru setelah menonjol nilai ekonomis dari hak cipta, terjadilah pelanggaran terhadap hak cipta, terutama dalam bentuk tindak
45
Ahmad M. Ramli, Fathurahman, Film Independen dalam Perspektif Hukum Hak Cipta dan Hukum Perfilmn Indonesia (Bandung: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 18
Universitas Sumatera Utara
pidana pembajakan lagu atau musik, buku dan penerbitan, film dan rekaman video serta komputer. Pada dasarnya, pelanggaran hak cipta terjadi apabila materi hak cipta tersebut digunakan tanpa izin dan harus ada kesamaan antara dua karya yang ada. Si penuntut harus membuktikan bahwa karyanya ditiru atau dilanggar atau dijiplak, atau karya tersebut berasal dari karya ciptaannya. Hak cipta juga dilanggar bila seluruh atau bagian substansial dari ciptaan yang telah dilindungi hak cipta telah dikopi. Tindak pidana hak cipta biasanya dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan perdagangan. Motifnya adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara melanggar hukum. Modus operandinya yang terbanyak adalah menggandakan dalam jumlah besar untuk dijual kepada masyarakat. Adapun alat yang digunakan berteknologi cukup canggih, seperti alat-alat komputer, mesin-mesin industri, alat-alat kimia, alat transportasi, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya guna mensukseskan usaha mereka. Hasil produksi bajakannya pun sangat baik, sehingga sulit untuk membedakan antara karya cipta yang asli dengan hasil bajakan. Lokasi untuk melakukan tindak pidana hak cipta pada umumnya dilakukan di lokasi pabrik pembuatan hasil produksinya dan di rumah-rumah perorangan yang dianggap aman dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Korban atau sasaran mereka adalah pencipta ataupun pengusaha/pedagang yang memegang hak cipta dari pencipta untuk memperbanyak ciptaan dari penciptanya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 (Konsolidasi), ada 2 (dua) klasifikasi pelaku kejahatan pelanggaran Hak Cipta, yaitu: 1. Pelaku utama, baik perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar Hak Cipta. Termasuk pelaku utama adalah pembajak Ciptaan atau rekaman. 2. Pelaku pembantu, yaitu pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum Ciptaan atau rekaman yang diketahuinya melanggar Hak Cipta. Termasuk pelaku pembantu adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual, pengedar, pihak yang menyewakan Ciptaan atau rekaman hasil pembajakan. Menurut siaran IKAPI 15 Februari 1984, kejahatan pelanggaran Hak Cipta dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 46 1. Mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah itu ciptaan sendiri, atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah itu ciptaan sendiri. Perbuatan ini dapat terjadi antara lain pada buku, lagu dan notasi lagu. 2. Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana
aslinya
tanpa
mengubah
bentuk,
isi,
Pencipta,
penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut pembajakan (piracy). Perbuatan ini banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu, kaset lagu dan gambar (DVD dan VCD). 46
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual (Lampung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 221
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Hak Cipta telah menyediakan dua sarana hukum, yang dapat dipergunakan sekaligus untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yakni sarana hukum pidana dan hukum perdata. Pelanggaran terhadap hak cipta dapat dituntut secara pidana dan perdata sekaligus. Dalam Pasal 42 ayat (3) lama atau Pasal 43B Undang-undang Hak Cipta Tahun 1997 dinyatakan bahwa: Hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta. Berdasarkan Pasal 42 ayat (3) lama atau Pasal 43B Undang-undang Hak Cipta Tahun 1997, pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, selain dituntut secara perdata, juga dapat dituntut secara pidana. Demikian Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002 juga telah menyediakan dua sarana hukum untuk yang dapat digunakan untuk menindak pelaku pelanggaran terhadap hak cipta, yaitu melalui sarana instrumen hukum pidana dan hukum perdata. Bahkan, dalam Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002, penyelesaian sengketa lainnya dapat dilakukan di luar Pengadilan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. Dalam Pasal 66 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002 dinyatakan bahwa: Hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 65 tidak mengurangi hak Negara untuk melakukan tuntutan terhadap pelanggaran Hak Cipta. Ini berarti berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002, pelaku pelanggaran Hak Cipta, selain dapat dituntut secara perdata, juga dapat dituntut secara pidana. Berhubung hak moral tetap melekat pada
Universitas Sumatera Utara
penciptanya, pencipta atau ahli waris suatu ciptaan berhak untuk menuntut atau menggugat seseorang yang telah meniadakan nama penciptanya yang tercantum pada ciptaan itu, mencantumkan nama pencipta pada ciptaannya, mengganti atau mengubah judul ciptaan itu, atau mengubah isi ciptaan itu tanpa persetujuannya terlebih dahulu. Hak ini dinyatakan dalam Pasal 41 Undang-undang Hak Cipta Tahun 1997 dan Pasal 65 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002, bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya: 1. meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada Ciptaan itu: 2. mencantumkan nama Pencipta pada Ciptaannya; 3. mengganti atau mengubah judul Ciptaan itu; atau 4. mengubah isi Ciptaan. Menurut Pasal 15 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta suatu perbuatan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan: 1. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan wajar dari Pencipta; 2. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan; 3. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
a. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau b. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta; 4. perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
Universitas Sumatera Utara
5. perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya; 6. perubahan yang dilakukan beradasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan; 7. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri. Mengacu pada Undang-undang Hak Cipta, maka ciptaan yang mendapat perlindungan hukum ada dalam lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Untuk ciptaan yang ada dalam ketentuan Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta ciptaan ini dilindungi dalam wilayah dalam negeri maupun luar negeri, sementara itu untuk ciptaan yang terdapat pada ketentuan Pasal 10 Undang-undang Hak Cipta sifat perlindungannya hanya berlaku ketika ciptaan itu digunakan oleh orang asing. Salah satu Ciptaan yang mendapat perlindungan Hak Cipta adalah buku. 47 Suatu karya tulis yang diterbitkan penerbit dengan wujud buku yang memuat tulisan tentang esai ilmu hukum adalah suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta karena buku semacam ini merupakan ciptaan baik yang termasuk ilmu pengetahuan (= ilmu hukum), maupun seni (= susunan perwajahan karya tulis), dan sastra (= esai). Esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Pelanggaran terhadap hak cipta telah berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas dan saat ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta. Dalam pengertian yang lebih luas,
47
Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran tersebut juga akan membahayakan sendi kehidupan dalam arti seluasluasnya.
Universitas Sumatera Utara