BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN FUNGSI LEMBAGA PELINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A.
Pembatasan Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dalam UU PSK secara tegas menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga
yang mandiri. 65Kemandirian LPSK yang dimaksud oleh undang-undang ini, adalah sebuah lembaga yang independen tanpa campur tangan dari pihak manapun. Oleh karena idealnya sebuah lembaga yang mandiri inilah maka UU PSK tidak meletakkan struktur LPSK berada di bawah institusi manapun, baik itu instansi pemerintah (eksekutif) misalnya kepolisian, kejaksaan, departemen pemerintahan, maupun lembaga independen lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan komisi-komisi negara lainnya. UU PSK menetapkan model lembaga ini hampir sarna dengan berbagai lembaga yang telah ada seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya.Hal ini menunjukkan pula bahwa lembaga tersebut merupakan sebuah state auxiliaries. Pertimbangan para perumus UU PSK dalam menetapkan model lembaga seperti ini terkait dengan beberapa petimbangan dan argumentasi yang telah dibangun dalam rapat pembahasan-pembahasan RUU ini. Pertimbagan yang 65
Lihat Pasal 11 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006.
124
Universitas Sumatera Utara
Pertama adalah keinginan untuk membuat lembaga yang secara khusus mengurusi masalah perlindungan saksi dan korban yang tidak berada di bawah institusi yang sudah ada, yakni kepolisian atau kejaksaan, Komnas HAM atau Departemen Hukum dan HAM karena diyakini pasti akan lebih baik dari segi kemampuan maupun kinerjanya. 66 Pertimbagan Kedua adalah karena institusi yang lainnya sudah memiliki beban tanggungjawab yang besar, oleh karena itu lebih baik program perlindungan tidak lagi dibebani lagi kepada lembaga-lembaga tersebut. Bila dibandingkan dengan beberapa model lembaga perlindungan saksi di beberapa negara, maka kedudukan lembaga perlindungan saksi justru berada di bawah koordinasi maupun supervisi dari intansi pemerintah. Amerika Serikat misalnya, memiliki lembaga perlindungan saksi yang melaksanakan program perlindungan saksi (WITSEC) beradadi bawah Departement of Justice yang dipimpin oleh Jaksa Agung, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah akses dan koordinasinya. 67 Afrika Selatan 68 juga membuat model yang hampir sarna. Sedangkan Kanada meletakan program perlindungan saksi dibawah Jaksa Agung 66 Adanya ketidakpercayaan terhadap kinerja beberapa institusi tersebut yang menyebabkan pilihan mandiri ini dikemukakan oleh para perumus uu. Hal ini juga terkait dengan trend yang ada, pada umumnya setelah reformasi, terjadi ketidakpercayaan terhadap institusi yang terkait pemerintah atau berada dalam pemerintah sehingga para perumus awal RUU PSK mendorong agar program perlindungan saksi disupervisi oleh lembaga bam di luar lembaga yang telah ada. lihat: Supriyadi Widodo Eddyono, UU Perlindungan Saksi belum progresif, ELSAM & Koalisi Perlindungan Saksi, 2006. 67 Supdyadi Widodo Eddyono, Pemberian Perlmdungan Saksi di Amenka Serikat, ELSAM, 2004. Untuk melihat sejarah program perlindungan saksi yang lebih detail lihat juga: Pete Earley dan Gerarld Shur, WITSEC: Pengalaman Program Perlindungan Saksi Federal AS, ELSAM, 2005 68 Supriyadi Widodo Ecldyono, UU Perlindungan Saksi di Afrika Selatan, 2005, belum dipublikasikan. Undang undang Perlindungan Saksi di Afsel diberi mandat untuk membentuk suatu lembaga yang berada dalam sebuah Departemen Kehakiman yang dinamai "Lembaga untuk Perlindungan Saksi". Menurut UU ini, Menteri Kehakiman berwenang untuk mengurus secara administrasi mengenai lembaga ini termasuk kewenangan untuk (1) mendirikan sebuah kantor cabang Jawatan di daerah manapun (2) Menutup kantor atau menggabungkan suatu kantor cabang dengan kantor lain, (3) dan boleh melakukan penataan administratif dan lain-lain sejauh dianggapnya perlu untuk rujukan itu
Universitas Sumatera Utara
yang dikelola oleh komisioner. 69 Inggris memiliki program perlindungan saksi yang berada dalam struktur kepolisian negara bagian, dan juga ada dalam struktur kepolisian federals. 70 Demikian juga dengan program perlindungan saksi di Jerman
yang
berada
dalam
struktur
kepolisian
yang
disebut
sebagai
zeugenschuttzdienststelle (unit perlindungan saksi). 71 Oleh karena itu jelaslah bahwa kedudukan organisasi lembaga perlindungan saksi di Indonesia memang berbeda dan lebih unik dari lembaga-lembaga perlindungan saksi di berbagai negara yang telah ada saat ini. Disamping lembaga yang mandiri dan independen, UU PSK juga relah memberikan sebuah kewenangan yang besar kepada LPSK dalam hal melakukan koordinasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pasal 36 UU PSK menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya LPSK dapat bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang, dan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Oleh karena itu LPSK mempakan state auxiliaries yang melakukan supportsystem terhadap law enforcement officials atau sebuah lembaga negara independen yang menjadi salah satu pendukung (supporting) dari pekerjaan lembaga/institusi lainnya namun juga wajib di dukung oleh lembaga terkait lainnya. 72
69
Supdyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Saksi dalam UU Perlindungan Saksi di Kanada, 2006 70 Nicholas R. Fyfe, Perlindungan Saksi Terintimiaasi, ELSAM, 2006 71
Dina Zenita, Mengenal Per!indungan Saksi di Jerman, lCW, 2006
72
Notulensi Diskusi Terbatas mengenai lembaga negara, tanggal 7 Maret 2006 yang dilaksanakan oleh lCW dan Koalisi Perlindungan Saksi.
Universitas Sumatera Utara
Dari karakteristik pekerjaan tersebut maka LPSK tidak akan terlepas dari keberadaan beberapa lembaga penegak hukum yang ada. Dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan cara penempatan yang baik agar bisa menempatkan diri pada posisi tersebut. Oleh karena itu LPSK secara jelas harus membangun posisi kelembagaannya yang berada diantara dua posisi kepentingan yakni kepentingan pertama yang dimandatkan oleh UU PSK sebagai lembaga yang bersifat mandiri, dan memiliki kepentingan kedua yakni untuk menjalankan program yang juga harus didukung oleh instansi terkait yang dalam praktiknya nanti akan menimbulkan keterkaitan kewenangan. 73 UU No 13 Tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksidan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun UU PSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut 74, perumus UU kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 Tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UU. Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13 Tahun 2006, yaitu:
73
Supriyadi Widodo Edyono dkk, Pokok-Pokok Pikiran Penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, ICW 2008 Jakarta. Hal 5-8. 74
Lihat Pasal 12 UU No. 13 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29). 2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29). 3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1). 4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32). 5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7). 6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33dan 34). 7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34). 8. Bekerja
sama
dengan
instansi
terkait
yang
berwenang
dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan.(Pasal 39). Dari jabaran tersebut, tugas dan kewenangan LPSK dikelompokan menjadi empat tugas dan kewenangan pokok yakni: 1. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Perlindungan Saksi. 2. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kompensasi dan Restitusi Korban. 3. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Bantuan Korban. 4. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kerjasama.
Universitas Sumatera Utara
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undangundangnya maka kewenangan dari lembaga ini masih kurang memadai. Ada beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK adalah yang seharusnya masuk di dalam UU No 13 Tahun 2006 yakni: 1. Diberikan wewenang untuk menentukan layanan-layanan apa yang akan diberikan bagi saksi, untuk memberikan bukti dalam persidangan apapun. LPSK sebaiknya diperbolehkan membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan 75: a. bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan; b. penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan; c. konsultasi bagi para saksi; dan d. hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur untuk menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan; 2. Melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan saksi dan orang-orang terkait, termasuk menyangkut perlindungan sementara dan layanan-layanan lainnya. 3. Membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya membuat kesepakatan dengan Departemen dilingkungan Pemerintahan lainnya, atau membuat 75
Model-model kewenangan seperti ini ada dalam UU Perlindungan Saksi di Afrika Selatan, UU Perlindungan Saksi di Quensland, UU Perlindungan Saski di Kanada, UU Perlindungan Saksi di Amerika Serikat, di Jerman dll.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih luas. 4. Diberikan wewenang untuk (1) menggunakan fasilitas atau perlengkapanperlengkapan milik atau yangada di bawah penguasaan Depertemen, orang, institusi atau organisasi tersebut; (2) mendapatkan dokumendokumen atau informasi lainnya yang dibutuhkan dalam rangka perlindungan seseorang yang dilindungi; atau menyangkut berbagai hal yang akan membuat ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini dapat berjalan. 5. Menetapkan langkah-langkah dan cara-cara bagaimana ketentuanketentuan UU PSK mesti dijalankan oleh kantor-kantor cabangnya jika ada dan menunjuk tempat-tempat yang akan difungsikan sebagai tempattempat aman. LPSK harus juga mengawasi para staf di lembaga perlindungan saksi; dan boleh menjalankan kewenangan dan harus melaksanakan fungsi atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya oleh atau berdasarkan undangundang. 6. Secara tertulis mendelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya kepada anggota lain di LPSK. Anggota LPSK yang didelegasikan kewenangan,fungsi dan tugastugas sebagaimana dimaksud dalam bagian di atas, harus menjalankan kewenangan, melaksanakan fungsi dan tugas-tugas dibawah pengawasan dan petunjuk dari ketua LPSK;
Universitas Sumatera Utara
7. Ketua LPSK dapat sewaktu-waktu mencabut pendelegasian secara tertulis, dan pendelegasian kewenangan, fungsi dan tugas-tugas tidak menghalangi ketua menjalankan, melaksanakan atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas itu sendiri; 8. Semua Departemen dilingkungan Pemerintah harus memberikan bantuan yang sekiranya diperlukan dalam rangka menjalankan, melaksanakan atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepada ketua oleh atau menurut UU PSK. 9. Kewenangan lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga ini dalam kaitannya dengan lembaga penegak hukum lainnya adalah hak memberikan rekomendasi tentang kondisi saksi maupun korban termasuk ketika saksi akan memberikan keterangan dalam persidangan-persidangan pidana. 10. Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data-data tertentu dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program perlindungan saksi. Masalah atas minimalnya kewenangan dari LPSK dalam praktiknya dikhawatirkan akan menyulitkan implementasi dari pekerjaan yang harus dilakukan LPSK. 76Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam melaksanakan sebagian dari tugas-tugasnya LPSK akan tergantung pula dengan keberadaan institusiinstitusi lainnya. Oleh karena itu maka ketergantungan akan kerjasama dari institusi lainnya harus segera disadari oleh LPSK, dalam konteks ini ada beberapa hal yang harus menjadi perhatianyakni adanya problem eksistensi antar lembaga negara maupun antar instansi pemerintah bisa dikatakan tidak akan pernah 76
Perlu diberi catatan bahwa UU PSK memberikan status kemandirian dari LPSK, namun statusnya yang mandiri ini tidak didukung dengan mandat atau kewenangan yang cukup.
Universitas Sumatera Utara
hilang. 77Kemudian masalah keterkaitan kewenangan LPSK sebaiknya perlu memperhatikan pula bahwa dalam kasus-kasus tertentu kewenangan dari LPSK justru berbenturan pula dengan kewenangan lembaga lainnya. Hal ini penting dikaji secara lebih mendalam sehingga jika ada benturan kepentingan ataupun mandat sebaiknya sesegera mungkin diperkecil atau dapat diatasi. UU PSK sebenarnya sudah menentukan kewenangan dari LPSK, maka untuk membantu dan mendukung kerja-kerja LPSK harus segera membuat (pemetaan) daftar kewenangan dan turunan kewenangan yang telah dimandatkan oleh UU PSK. Setelah melakukan pemetaan, LPSK sebaiknya melihat kembali beberapa kelemahan dari kewenangan dan menutupinya dengan menetapkan dalam sebuah keputusan internal LPSK. Walaupun nantinya keputusan LPSK akan terbatas dapat diterapkan di luar LPSK. Namun dengan melakukan pemetaan kebutuhan, (tentunya untuk memperbesar kewenangan) LPSK bisa juga menggunakan perjanjian-perjanjian atau membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan berbagai instansi lainnya, tentunya dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan menggunakan model SKB atau perjanjian pemerintah ini diharapkan masalah kewenangan antar lembaga dapat diminimalisir. UU PSK menyatakan LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. Implikasi atas hal ini maka Presiden sebagai pejabat negara tertinggi yang bertanggung jawab atas kerja-kerja dari LPSK dan oleh karena itu pula maka Presiden harus memfasilitasi lembaga ini sesuai dengan mandat dan tugasnya.
77
Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat pertama sekali menerapkan program perlindungan saksi, kecemburuan dan eksistensi antar lembaga merupakan faktor penghambat dalam operasi·operasi perlindungan. Lihat Pete Earley dan Gerarld Shur, WITSEC: Pengalaman program perlindungan Saksi Federal AS, ELSAM, 2005
Universitas Sumatera Utara
Jangan sampai lembaga ini dibiarkan menjadi lembaga yang dikucilkan dan tak terdukung oleh Presiden. Selain itu Presiden juga haruslah mengawasi kinerja dari lembaga ini agar mampu bekerja dengan baik sesuai dengan tugas dan kewenangannya. UU PSK juga menugaskan LPSK untuk membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun. 78 Penugasan ini adalah sebagai fungsi kontrol dari DPR sebagi perwakilan rakyat Indonesia. Namun perlu diperhatikan isi dan format seperti apa yang harus dilaporkan kepada DPR maupun Presiden. Karena laporan-laporan tersebut jangan sampai membuka informasi yang justru telah ditatapkan sebagai rahasia oleh LPSK dan UU PSK. Disamping sebagai fungsi kontrol dan pengawasan kinerja, DPR juga seharusnya menjadi partner dari LPSK baik sebagai pendukung program LPSK maupun pemberi rekomendasi yang membantu pengembangan program LPSK itu sendiri.
B.
Ketidaksepahaman Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dengan Pihak-Pihak Terkait Pasal 36 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 berbunyi, “dalam melaksanakan
pemberian perlindungan dan bantuan LPSK dapat bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang”. Hal ini menjelaskan bahwa masalah dalam melakukan perlindungan saksi dapat terlaksana secara efektif jika ada kerjasama yang baik 78
Pasal 13 UU No. 13 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
antar instansi terkait yang berwenang 79 dengan LPSK. Kerjasama ini diperlukan karena tidak mungkin LPSK berjalan sendiri dalam melindungi saksi sementara beberapa pihak ada yang menginginkan agar LPSK tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya. Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Banyak hal yang terjadi sehingga menimbulkan masalah di dalam segala kegiatan LPSK dalam melindungi saksi terutama saksi dalam tindak pidana korupsi. Salah satu masalah yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK dengan pihakpihak terkait yang berwenang. Hal ini tentu akan menghambat tugas paling utama dari LPSK yaitu melindungi saksi dan atau korban. Salah satu pihak yang sangat ingin agar LPSK tumpul adalah pihak dari terdakwa itu sendiri. Ini dikarenakan terdakwalah yang sering melakukan intimidasi dan teror kepada saksi agar tindak pidana yang dilakukan oleh nya tidak dapat terbukti. Hal ini wajar mengingat sudah sangat sering kita melihat bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana dibebaskan karena keterangan saksi tidak memberatkan atau sama sekali sengaja sudah diatur oleh terdakwa itu sendiri agar saksi bungkam di pengadilan setelah sebelumnya mengancam saksi.
79
Lembaga pemerintah dan Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya lagi dalam kasus yang melibatkan mantan Kabareskrim Polri Komjen. Pol. Susno Duadji. Di sini terlihat adanya ketidaksepahaman antara LPSK dengan Polri. Polisi menahan Susno Duadji dalam kasus suap 500 juta saat beliau menangani kasus sengketa bisnis ikan arwana di Riau. Melalui pengacaranya Zul Armain Aziz LPSK harus melindungi kliennya dan menempatkannya di rumah khusus (safe house) sesuai dengan keputusan LPSK. Pengacara mengatakan tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak menghormati keputusan LPSK. Polri dan LPSK bekerja berdasarkan undang-undang tapi dalam masalah ini, aturan soal LPSK lebih dominan. Dia mengatakan, Susno sebagai peniup pluit kasus mafia hukum di tubuh kepolisian sudah seharusnya mendapatkan
perlindungan
keamanan
dari LPSK.
Tetapi Mabes
Polri
beranggapan lain dan masih bersikeras untuk menahan Susno dengan alasan status Susno adalah tersangka dan bukan saksi. 80
Penyelesaian kasus ini berbuntut panjang sehingga memaksa ketua LPSK Abdulharis Semendawai mengirimi surat kepada Presiden SBY agar memfasilitasi pertemuan antara LPSK dengan Kapolri. Di dalam surat itu, Abdulharis mengaku meminta pandangan dari Presiden SBY terhadap rencana LPSK memindahkan tahanan Susno Duadji dari ruang tahanan Mako Brimob Mabes Polri di Depok ke
80
http://tekno.kompas.com/read/2010/06/01/15032313/Minta.Polri.Hormati.Keputusan.L PSK..Diakses pada hari rabu 2 Mei 2012 pukul 09.26 WIB.
Universitas Sumatera Utara
safe house. Rencana tersebut sudah sesuai dengan kewenangan LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi. 81
Selain dengan pihak kepolisian, LPSK juga terkadang memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak pengacara dari saksi itu sendiri. Pada kasus yang dialami oleh saksi Mindo Rosalina Manullang terpidana kasus Wisma Atlet SEA GAMES melalui pengacaranya mengatakan bahwa sikap LPSK yang mengancam akan mencabut perlindungan saksi terhadap kliennya disesalkan oleh tim pengacara Mindo yaitu Ahmad Rifai dkk. Tim pengacara menilai sikap LPSK sebagai bentuk pengingkaran dalam upaya-upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Ahmad Rifai menambahkan, semestinya niat dan ikhtiar baik Rosalina tersebut direspon dengan baik oleh LPSK dan bukan dipersoalkan atau malah ditutup-tutupi dan bahkan akan mencabut perlindungan.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menolak dikatakan LPSK berusaha menutup-nutupi kasus Rosa tersebut agar proses hukumnya tidak diketahui publik. Ia mengaku, justru pihaknya mendukung Rosa yang akan melaporkan beberapa bukti dugaan keterlibatan menteri dalam kasus Wisma Atlet SEA Games Palembang.LPSK dalam waktu dekat akan membahas apakah perlindungan terhadap Rosalina ini akan dilanjutkan atau tidak. Pertimbangan LPSK adalah soal keselamatan dari saksi dan pelapor. Abdul menambahkan, dalam kaitannya perlindungan terhadap Rosa seharusnya tidak ada informasi apa pun yang
81
http://nasional.infogue.com/merasa_dihalangi_mabes_polri_lpsk_minta_sby_turun_tan gan. Diakses pada hari Rabu 2 Mei 2012 pada pukul 12.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
disampaikan Rosa ke pihak luar, hal itu akan memperlemah posisi saksi dan menempatkan dirinya dalam posisi bahaya.LPSK mencabut perlindungan sesuai ketentuan pasal 32 UU Perlindungan Saksi dengan alasan saksi dan/atau korban melanggar ketentuan perjanjian. Atau LPSK berpendapat bahwa saksi/korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. Jika tindakan Ahmad Rifai (pengacara Rosalina) merupakan kesepakatan Rosa, maka LPSK dapat menilai Rosa tidak lagi merasa terancam dan perlindungan dapat dihentikan.
Menurut Emerson, sebetulnya pengacara Mindo, Ahmad Rifai juga tak perlu menyebut-nyebut ke media terkait pelaporan adanya menteri yang terlibat. Bila memang Rosa memiliki bukti-bukti kuat keterlibatan itu, katanya, lebih baik disampaikan ke KPK. Ini berkaitan dengan keselamatan Rosalina. Makanya, menurutnya, apa yang dilakukan Ahmad Rifai itu bisa menjadi pelajaran bagi pengacara atau saksi/korban lainnya dalam hal ingin mengungkap kasus. 82
Dari
yang
dipaparkan
diatas
mengenai
adanya
permasalahan
ketidaksepahaman LPSK dengan pihak-pihak seperti terdakwa, Kepolisian, maupun pihak pengacara, hal ini sangat disayangkan karena sebagai institusi penegak hukum, baik Kepolisian maupun para Advokat yang membela kliennya harus ikut dalam penegakan hukum demi terciptanya sistem peradilan pidana yang berkeadilan.
82
http://www.jurnas.com/halaman/2/2012-02-27/200447.Diakses pada hari Kamis 4 Mei 2012 pukul 15.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Dapat dilihat bahwa antara LPSK dengan Kepolisian belum ada harmonisasi terkait dengan perlindungan saksi. Ini menyebabkan masing-masing pihak berdiri sendiri dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Hal ini tentu sangat disayangkan karena ketiadaan peraturan yang jelas dalam melakukan kerjasama dalam perlindungan saksi dapat mengakibatkan kerja dari LPSK “mandek” atau jalan ditempat.
Ini juga berlaku bagi pihak advokat yang menjadi kuasa hukum dari saksi tersebut. Tugas advokat yang paling utama tentunya adalah membela kliennya. Di titik ini dapat dilihat perbedaan yang sangat berbeda antara tugas dari LPSK dengan tugas dari advokat. Di satu sisi LPSK ingin agar saksi dilindungi karena mengetahui tindak pidana korupsi, untuk itu LPSK melakukan perjanjian dengan saksi agar saksi dilindungi oleh LPSK. Perjanjian dilakukan dengan catatan agar si saksi menceritakan semua apa yang diketahuinya tentang tindak pidana korupsi tersebut. Sedangkan di sisi lain kuasa hukum saksi juga pasti ingin mengetahui apa saja yang kliennya ketahui tentang tindak pidana korupsi.
Ini membuat kerahasiaan dari perjanjian perlindungan antara LPSK dengan saksi tidak berjalan karena saksi juga menceritakan kejadian sesungguhnya kepada kuasa hukumnya. Sementara LPSK tidak ingin ada yang mengetahui kerahasiaan perjanjian perlindungannya. Ketidaksepahaman ini menimbulkan konflik antara LPSK dengan kuasa hukum saksi, sehingga tak jarang LPSK mencabut perlindungan kepada saksi.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu perlu ada pengaturan semacam perjanjian kerjasama antar instansi seperti antara LPSK dengan kepolisian dan LPSK dengan pihak kuasa hukum agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Perjanjian itu bias berbentuk Mou kerjasama perlindungan saksi. di samping itu LPSK juga harus melakukan kerjasama dengan pihak kejaksaan dan pengadilan. Hal ini bertujuan agar tidak terulang kembali kejadian yang sama seperti yang terjadi antara LPSK dengan kepolisian dan dengan kuasa hukum.
C. Permasalahan Internal Kelembagaan LPSK UU PSK menyatakan LPSK terdiri atas, Pimpinan dan Anggota. 83 Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK Mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK akan diatur dengan peraturan internal LPSK nantinya. Sedangkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK ditetapkan oleh UU selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sarna, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Berdasarkan Undang-Undang, anggota dari LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia. UU PSK juga telah menetapkan siapa saja (representasi) yang berhak menjadi anggota dari lembaga ini yakni representasi dari: kepolisian, kejaksaan,
83
Pasal 16 UU No. 13 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
Departemen Hukum danHak Asasi Manusia, Komnas HAM, advokat, akademisi atau lembaga swadaya masyarakat. Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK akan dibantu oleh sebuah sekretariat yang
bertugas
memberikan pelayanan
administrasi bagikegiatan LPSK.
Sekretariat LPSK tersebut dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat ini dapat dilihat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 82 Tahun 2008 Tentang Kesekretariatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dari ketentuan yang demikian bisa dilihat bahwa lembaga ini, oleh perumusnya meniru bentuk bentuk lembaga atau komisi negara yang telah ada saat ini. 84 Karena disatu sisi ada keinginan yang kuat dari paraperumus RUU untuk membuat lembaga yang independen namun disisi lainya dalam praktek tidak mungkin karena dibutuhkan sebuah koordinasi yang besar antara lembaga pemerintah, penegak hokum dan masyarakat sipil, maka model keanggotaan ini yang menjadi pilihan. Akibatnya representasi anggotanya haruslah mewakili dari berbagai institusi yang telah ada. Representasi keanggotaan dalam rumusan tersebut masih didominasi aparat pemerintah dari berbagai institusi negara. Sedangkan anggota yang berlatar belakang profesional bukan dari institusi negara, justru menjadi minoritas.ini juga akan menjadi problem sehingga menutup akses bagi para profesional diluar lembaga negara. 84
Lembagalembaga seperti: KOMNAS HAM, KPK, dll.
Universitas Sumatera Utara
Masa jabatan Anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dalam satu kali masa jabatannya maka dapat dipilih kembali, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Namun untuk dapat dipilih kembali harusah mengikuti pemilihan yang sudah ditetapkan. Masa jabatan 5 tahun ini mengikuti dari pola atau trend dari masa jabatandi berbagai komisi negara lainnya seperti Komisi Nasional (Komnas) HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial dan lain lain. Pilihan masa jabatan 5 tahun dipilih karena apabila keanggotannya hanya dalam jangka waktu 3 tahun tentunya terlalu singkat dan akan membebani proses bekerjanya lembaga. Hal ini karena proses pemilihan anggota biasanya mengambil porsi yang besar dalam kinerja lembaga. Namun perlu dipikirkan mengenai masa jabatan dalam LPSK ini, karena UU PSK memang menetapkan masa jabatan dan pola rekruitmen bagi anggota LPSK secara serempak. Dalam pengalaman di berbagai lembaga lainnya pola rekruitmen yang serempak ini akan menimbulkan implikasi bagi pelaksanan tugas lembaga. Biasanya pelaksanaan tugas menjadi terganggu selama masa transisi ke pemilihan anggota baru (menjelang masa akhir angota dan terpilihnya anggota baru). Idealnya pemilihan anggota LPSK ini dilakukan dengan cara penggantian sebagian (starggerd terms) sehingga tidak terjadi kekosongan anggota LPSK. Sebagai solusi dari kelemahan UU ini maka pemilihan anggota LPSK sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum masa tugas anggota lama berakhir. UU PSK hanya menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK, seseorang haruslah memenuhi syarat 85 yakni: 85
Pasal 23 UU no. 13 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
1) Warga negara Indonesia; 2) Sehar jasmani dan rohani; 3) Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun 86; 4) Berusia paling rendah 40 (empat puluh) rahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan; 5) Berpendidikan paling rendah S1 (strata satu); 6) Berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun; 7) Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan 8) Memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Terhadap beberapa syarat umum tersebut ada hal-hal yang harus di kritisi. Pertama, UU tidak menjelaskan mengenai syarat tidak pernah dijatuhkan pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancamannya paling sedikit 5 tahun. Ketentuan ini sebaiknya harus di tambahkan perkecualiannya yakni tindak pidana yang terkait dengan politik. Kedua, adalah batasan umur yakni minimal 40 tahun. Syarat ini sebaiknya dihilangkan saja atau paling tidak diberi batasan yang lebih longgar misalnya 30 tahun. Pembatasan umur minimal 40 tahun akan menghambat orang-orang yang memiliki potensi dan kemampuan yang baik untuk bisa ikut mencalonkan dirinya. Lagi pula indikator kenapa harus 40 tahun tidak begitu jelas argumentasinya. 86
UU tidak menjelaskan mengenai sayrat tidak pernah dijatuhkan pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancamannya paling sedikit 5 tahun. Ketentuan ini sebaiknya harus ditambahkan pengecualiannya yakni tindak pidana yang terkait dengan politik.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, syarat mengenai pengalaman 10 tahun dalam bidang hukum dan HAM. Syarat ini justru membatasi orang-orang yang berkomptetan di bidang keilmuwan lainnya yang justru dibutuhkan dalam LPSK ini, misalnya, bidang kelimuwan medik dan kesehatan, psikolog, psikiatri dan lain sebagainya. Sangat aneh jika LPSK hanya berisikan orang-orang yang keilmuwannya sama hanya di bidang Hukum dan HAM semata. Ini justru kontra produktif dengan mandat lembaga ini. Apalagi jika dikaitkan syarat 10 tahun bekerja di bidang HAM dan Hukum, asumsi bahwa dengan 10 tahun maka orang tersebut akan banyak memiliki pengalaman adalah asumsi yang keliru. Ketentuan ini juga makin membatasi orang-orang yang kompeten untuk masuk ke dalam LPSK, karena anggotanya juga sudah dibatasi dengan perwakilan atau reperesentasi lembaga. 87 Pemilihan model keanggotaan seperti ini di satu sisi akan membebani kerja-kerja
LPSK
kedepannya
karena
pemilihan
maupun
keikutsertaan
anggotanya sudah di tetapkan sedemikian rinci. Sebaiknya pemilihan anggota didasari kepada latar belakang keahlian anggotanya yang dilihat dari kepentingan atau urgensitas kerja-kerja LPSK kedepannya. Misalnya, pakar perlindungan saksi, pakar dibidang dukungan terhadap korban kejahatan (victim suport), bidang hukum HAM dan pidana, keahlian psikolog dan lain-lain. Tidak justru diisi oleh orang-orang yang dalam kerja-kerja LPSK hanyalah sebagai wakil institusi semata. Jangan terjadi juga keanggotaan LPSK justru diisi oleh orang yang akan pensiun dari pekerjaan di Departemen dilingkungan pemerintah dan para pencari
87
Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, ICW-ICJR-Koalisi Perlindungan Saksi, 2007, hal 19.
Universitas Sumatera Utara
kerja, seperti yang saat ini banyak terjadi di pemilihan-pemilihan anggota Komisi lainnya. 88 Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden 89 dan dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan tersebut Presiden akan membentuk panitia seleksi yang terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan: 2 (dua) orang berasal dari unsur pemerintah; dan 3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat. Dalam kaitannya dengan pemilihan maka anggota panitia seleksi nantinya tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK. Namun ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK, akan diatur dengan Peraturan Presiden. 90 UU PSK menyatakan bahwa panitia seleksi setelah melakukan proses seleksi akan memberikan nama (mengusulkan) kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan. Dari hasil panitia seleksi tersebut Presiden kemudian memilih sebanyak 14 (empat belas) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selanjutnya DPR akan memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon yang disusulkan oleh Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima.
88
Ibid., hal 17.
89
Pasal 19 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006. Hal ini berarti untuk pemilihan generasi kedua dari LPSK akan dilakukan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh LPSK. Sebagai contoh lihat pemilihan 90
Pasal 19 ayat (5) UU No. 13 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
Jika dalam kondisi tertentu dimana DPR tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, maka dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejaktanggal diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, DPR harus memberitahukan kepada Presiden mengenai ketidaksetujuan DPR, disertai dengan alasan. Dan jika DPR tidak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud hal diatas, maka Presiden akan mengajukan calon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui. Dalam kondisi yang demikian maka DPR wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima. Setelah menerima persetujuan dari DPR mengenai calon anggota LPSK maka Presiden kemudian menetapkan anggota LPSK yang telah memperoleh persetujuan DPR, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden. Model pemilihan anggota LPSK yang dicantumkan dalam rumusan tersebut sebaiknya tidak menggunakan DPR sebagai pemilih final, karena model pemilihan tersebut “dapat dipolitisi”. Lagi pula karena lembaga ini bertanggung jawab kepada presiden, maka sebaiknya urusan tersebut sebaiknya di lakukan oleh presiden.
Universitas Sumatera Utara
UU menyatakan bahwa Anggota LPSK diberhentikan karena 91: a. Meninggal dunia; b. Masa tugasnya telah berakhir; c. Atas permintaan sendiri; d. Sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus; e. Melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK; f. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat5 (lima) tahun. Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tata
cara
pengangkatan
dan
pemberhentian anggota LPSK ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. UU PSK menyatakan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. Sekretariat LPSK ini akan dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat diatur dengan Peraturan 91
Pasal 24 UU No. 13 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2008 Tentang Kesekretariatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sekretariat Jendral adalah aparatur pemerintah yang di dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada ketua di lembaganya. Selain itu Sekertariat Jendral mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan teknis administratif kepada seluruh unsur di lingkungan lembaga tempat ia bekerja. Dalam melaksanakan tugasnya ini Sekertariat Jendral biasanya di berikan staf dan unit pendukung yang di bagi dalam biro-biro yang sesuai dengan kebutuhan dari lembaga yang bersangkutan. Dari studi atas fungsi dan tugas sekjen dalam lembaga negara lainnya, perlu langkah yang lebih kritis untuk melihat bagaimana tugas dan fungsi Sekjen ini dapat melebur dengan fungsi dan tugas dari LPSK. Hal ini menjadi krusial karena bila menggunakan model struktur sekjen yang telah ada seperti layaknya lembaga negara lain, kemungkinan menjadi tumpang tindihnya kewenangan dan mandat kerja baik yang dilakukan Sekjen beserta aparaturnya maupun Komisioner beserta kelengkapannya. Hal ini terjadi karena besarya tugas dan fungsi dari Sekjen yang bersangkutan yang biasanya mencakup dukungan teknis, menyelenggarakan kegiatan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi adminsitrasi kegiatan lembaga, pelayanan administrasi dalam penyusunan rencana dan program kerja lembaga, pelayanan administrasi dalam kerjasama lembaga dengan lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah baik di dalam negeri maupun di luar negeri, pelayanan kegiatan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data serta penyusunan laporan kegiatan Sekjen, menyelenggarakan kegiatan administrasi lembaga serta
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan pembinaan organisasi, administrasi keanggotaan lembaga serta melaksanakan pembinaan organisasi, administrasi kepegawaian, keuangan sarana dan prasarana Sekjen. Disamping itu pula biasanya Sekjen ini memiliki kewenangan besar dalam membuat rincian rumusan tugas dan fungsi dan susunan organisasi serta tata kerja sekjen. Begitu besarnya tugas dan fungsi Sekjen di dalam Komisi Negara sheingga dapat menimbulkan prasangka adanya dua posisi tertinggi yang ada dalam Komisi yakni Ketua Komisi dengan komisioner dan stafnya dan Sekjen dengan staf dalam lingkup fungsi dan tugasnya.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan LPSK maka posisi Sekjen ini haruslah diperhatikan dengan lebih teliti jangan sampai posisi dan porsi pekerjaan Sekjen yang terlalu dominan sehingga justru akan mengganggu kinerja staf dan pegawai di LPSK. Sebaiknya posisi Sekjen diletakkan dalam kerangka dan porsi yang lebih tepat yakni berada di sebuah bidang yang koordinasinya berada di bawah ketua LPSK. Model rekruitmen bagi Sekjen juga harus di kritisi karena selama ini praktik rekruitmen Sekjen dalam lembaga negara/komisi negara umumnya tidak transparan. Para calon Sekjen sebuah komisi biasanya hanya ditawarkan kepada Komisi oleh departemen terkait. Pola ini sebaiknya juga harus dikritisi. Lebih baik bila dalam rekruitmen calon Sekjen LPSK Anggota LPSK yang
membuka
bursa
calon,
atau
paling
tidak
LPSK
yang
akan
merekomendasikan 3 calon kepada Menteri Negara untuk selanjutnya menetapkan setelah melakukan konsultasi dengan LPSK.
Universitas Sumatera Utara
Keberhasilan program kerja LPSK hanya dapat dicapai jika adanya dukungan sumber daya manusia yang baik dari kalangan pegawai atau staf yang bekerja di LPSK Karena itulah maka keberadaan dukungan staf yang berintegritas tinggi, profesional, berkualitas dan memiliki produktifitas yang tinggi sangatlah penting dalam kerja LPSK Apalagi jika dikaitkan dengan misi yang spesifik dari kerja-kerja perlindungan saksi yang menunrut kedisiplinan dan kerahasiaan yang sangat tinggi. Selain itu perlu dipertimbangkan secara hati-hati bahwa sifat kerja atau karakter pekerjaan LPSK mungkin tidak dapat sepenuhnya mengadopsi system birokrasi negara. Problem kepegawaian atau staf di berbagai lembaga yang telah ada menunjukkan pola yang seragam misalnya lemahnya integriras, lemahnya kualitas, lemahnya produktifitas. Lemahnya integritas dapat dilaihat dari kecendrungan korupsi, dan kolusi. Bila dikaitkan dalam kerja LPSK lemahnya integritas ini bisa dilihat berbagai aspek misalnya menjual informasi mengenai program perlindungan saksi kepada pihak luar yang bersifat rahasia, memeras korban, penggelapan uang dan lain sebagainya.Terkait dengan lemahnya kualitas adalah tidak adanya kemampuan dari staf untuk melaksanakan pekerjaan dan tugas. Sedangkan lemahnya produktifitas bisa dilihat dad kurang disiplin kerja misalnya jarang masuk, sering terlambat, keluar di luar jam kerja dan lain sebagainya. Masalah-masalah tersebut disebabkan berbagai hal, misalnya karena kelemahan sistem rekruitmen staf, lemahnya Standard Operational Procedure (SOP), pengawasan yang lemah, dan karena gaji dan tunjangan staf yang tidak memadai.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kehadiran LPSK di tengah-tengah upaya pemerintah dalam memberantas korupsi merupakan hal yang baru dalam system hukum di Indonesia. Dahulu Indonesia tidak memiliki payung hukum yang kuat terkait dengan perlindungan saksi, yang ada hanyalah perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa yang pengaturannya berada di dalam KUHAP. Korupsi di Indonesia semakin tumbuh dan berkembang sehingga membuat aparat penegak hukum sulit untuk membuktikan tindak pidana korupsi tersebut. Sulitnya pembuktian tindak pidana korupsi itu dikarenakan banyaknya terlibat pihak-pihak dalam melakukan korupsi sehingga menjadikan korupsi sebagai suatu kejahatan yang terorganisir. Untuk membongkar kejahatan korupsi yang sifatnya terorganisir maka dibutuhkan peran LPSK sebagai alternatif penegakan hukum dalam membongkar kejahatan korupsi. Peran LPSK itu dapat dilihat melalui tugas dan kewenangan LPSK yaitu melindungi saksi, pelapor dan saksi pelaku dalam tindak pidana korupsi. Peran dari LPSK ini memberikan suatu keyakinan bahwa kejahatan korupsi yang terorganisir dapat dibongkar berkat kesaksian dari saksi yang sering disebut sebagai “orang dalam” tersebut. Dari pengakuan saksi yang merupakan “orang dalam” dimana ia yang merupakan bagian dari kejahatan korupsi yang terorganisir LPSK dapat menjadi titik tolak untuk selanjutnya mencari pelaku-pelaku korupsi lainnya. LPSK akan memberikan perlindungan maksimal sesuai yang tertulis dalam UU No. 13
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam menunjang kinerja dari LPSK, LPSK menjalin kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah, khususnya instansi yang terkait dengan pemberantasan korupsi seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Kerjasama ini akan membuat ruang yang sempit bagi para pelaku korupsi untuk mengelak dari perbuatan korupsi yang dilakukannya dan para pelaku dapat dijerat dan dipidana. 2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai sebuah lembaga yang memberikan perlindungan kepada saksi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menemui hambatan-hambatan yang dapat membuat kerja dari LPSK tidak berjalan. Hambatan itu dapat dilihat dari masalah kewenangan dai LPSK yaitu minimnya mandate dan kewenangan dari LPSK, termasuk kewenangan anggota LPSK dan tidak adanya aturan yang mengatur masalah delegasi kewenangan antar pemimpin dan anggota lembaga. Selain itu LPSK juga terbentur dengan masalah “conflict of interest” dengan instansi-instansi terkait karena belum adanya pola kerjasama antar lembaga. Kemudian terkait dengan permasalahan internal yang terjadi di tubuh LPSK ini dapat terjadi karena syarat keanggotaan didasarkan pada keterwakilan (representasi) lembaga lainnya sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kemandirian dan keprofesionalan LPSK. Tentu kita tidak ingin hambatan-hambatan semacam ini menghalangi tugas mulia dari LPSK demi terciptanya keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran 1. Saran penulis terkait peran LPSK dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi yaitu masih belum komprehensifnya peran LPSK dalam melindungi saksi dikarenakan mekanisme perlindungan saksi belum secara rinci diatur baik di dalam UU PSK maupun pada bagian penjelasannya. Dalam UU PSK juga belum mengatur jenis perlindungan apa yang akan diberikan kepada saksi karena ini menyangkut nyawa saksi yang mengalami intimidasi dari pihak yang berkepentingan. Hal ini dapat menghambat jalannya kinerja dari LPSK dalam memberikan perlindungan. Untuk itu pimpinan LPSK harus segera mengajukan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2006 kepada Presiden yang selanjutnya Presiden menyerahkan draf revisi tersebut kepada DPR untuk disetujui. 2. Saran penulis terkait dengan hambatan-hambatan LPSK dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi yaitu bahwa untuk menciptakan suatu lembaga yang benar-benar mandiri dan professional maka orang-orang di dalam lembaga tersebut harus juga professional dan tidak terkait dengan kepentingan pihak lain. Ini penting karena untuk menghindari adanya kemungkinan konflik kepentingan yang melibatkan para anggota LPSK dengan pihak atau lembaga tertentu. Selain itu untuk menghindari kesalah pahaman antara LPSK dengan pihak-pihak terkait, LPSK harus segera membuat perjanjian-perjanjian kerjasama antar lembaga.
Universitas Sumatera Utara