BAB III DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN 3.1. Potret Desa Haria 3.1.1. Kondisi Geografis Desa Haria merupakan salah satu desa diantara 17 desa di Pulau Saparua dan berada dalam wilayah pelayanan Klasis GPM Pulau-pulau Lease. Desa Haria terletak sebelah barat dari Saparua yang merupakan Kota Kecamatan. Berdasarkan data yang tercatat dalam buku Register Desa Haria (2011), diketahui luas wilayah desa Haria adalah 1.900 hektar, dengan batas-batas desa sebagai berikut: sebelah Timur berbatasan dengan Desa Booy dan Desa Paperu, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Porto dan Laut, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tiouw dan sebagaian Desa Portho, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda.1 Keadaan iklim desa Haria yang umumnya berlaku pada daerah Maluku yaitu beriklim tropis. Sebagai sebuah daerah tropis, desa Haria dipengaruhi oleh 2 (dua) musim yaitu musim Barat/Utara yang berlangsung dari bulan Desember sampai bulan Maret dan musim Timur/Tenggara yang berlangsung dari bulan Mei sampai Oktober. Kedua musim ini silih berganti yang diselingi oleh musim panca roba yaitu peralihan yang terjadi pada bulan April (peralihan musim Barat ke musim Timur) dan bulan November (peralihan musim Timur ke musim Barat). Berdasarkan posisinya, kedudukan desa Haria dapat dikatakan cukup strategis, sebab berada pada jalur transportasi antar pulau, memiliki sarana penyeberangan, dan sekaligus berperan sebagai jalur perdagangan yang menghubungkan pulau Ambon dan 1
Buku Register Desa tahun 2011
25
pulau Saparua. Waktu tempuh yang diperlukan dari kota Ambon ke Haria (pulau Saparua) adalah sekitar 60 menit (1 jam perjalanan) dengan menggunakan angkutan laut. Jalur transportasi laut sangat lancar dan sekaligus juga dimaknai sebagai jalur perdangan atau perputaran uang. 3.1.2. Kondisi Penduduk, Mata Pencaharian dan Sosial Budaya Berdasarkan data kependudukan yang dihimpun dari kantor desa, tercatat pada tahun 2011 jumlah penduduk desa Haria adalah sebanyak 6.520. Rasio perbandingan antara perempuan dan laki laki adalah: jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak 3.253 jiwa, dan laki laki 3.267 jiwa. Apabila memperbandingkan jumlah penduduk dengan luas wilayah 1.900 ha, maka kepadatan penduduk desa Haria untuk setiap hektar ditempati oleh 3,4 % jiwa. Dengan demikian, dapat disimpulkan tingkat kepadatan penduduk di desa Haria adalah jarang atau tidak padat. Selain itu, jika mencermati jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia, maka dapat dikatakan bahwa usia produktif penduduk desa Haria dan usia non produktif agaknya berbanding lurus. Artinya tidak terdapat beban demografis yang besar, jika usia produktif diandaikan antara kisaran usia 18-60 tahun, maka jumlah usia produktifnya sebanyak 3.216 jiwa. Apabila diperbandingkan dengan jumlah usia tidak produktif (0-17 dan 61 tahun ke atas), maka satu orang usia produktif hanya akan menangung satu orang usia tidak produktif. Dengan demikian, terdapat bonus demografis yang cukup besar apabila masyarakat diberdayakan dengan baik. Untuk lebih jelas tentang jumlah penduduk berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
26
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur Golongan Umur Jumlah Jiwa (Tahun) 0–5 1.023 6 – 11 944 12 – 17 887 18 – 25 968 1.933 26 – 55 56 – 60 315 210 61 – 69 240 >70 Jumlah 6.520 Sumber: Register Desa, 2011
% 15,69 14,48 13,60 14,85 29,56 4,83 3,22 3,68 100
Mencermati posisi dan letak desa Haria, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Haria merupakan masyarakat pesisir, namun aktifitas pekerjaan mereka tidak hanya bergantung pada aktifitas di laut (nelayan maupun petani tambak) tetapi juga sebagai petani perkebunan. Hal ini sangat memungkinkan karena tersedianya lahan pertanian, baik untuk tanaman umur panjang seperti cengkih, pala, maupun tanaman pangan, dan lainlainnya. Karena itu ada musim tertentu bagi mereka untuk berkebun dan ada musim untuk kembali melaut baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk dijual. Pekerjaan rangkap seperti ini merupakan bagian dari pola adaptasi masyarakat terhadap kondisi alam atau lingkungan hidup yang mereka hadapi2. Untuk lebih jelas tentang variasi atau jenis mata pencaharian masyarakat, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
2
Hasil wawancara dengan Bapak A. Loupatty (50 tahun) tanggal 10 desember 2011
27
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Mata Pencaharian Petani Nelayan Guru Wiraswasta TNI/POLRI Pensiunan Total Sumber: Register Desa, 2011
Jumlah 762 664 74 165 3 40 1.708
% 44.61 38.88 4.33 9.66 0.18 2.34 100
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa, masyarakat dengan karakteristik sebagai masyarakat pesisir umumnya memiliki watak yang keras atau tampak dalam kesehariannya “suka ribut”, begitu pula yang tampak ketika orang mengunjungi Desa Haria, maka kesan pertama kita adalah masyarakatnya “tidak pernah mau diam” atau “suka ribut”. Hal ini disebabkan karena pada satu sisi mereka harus menghadapi kondisi alam laut yang keras. Alam yang menantang dan yang menuntut mereka untuk harus menyesuaikan diri dengan kondisi alam tersebut. Kesan masyarakat yang “suka ribut” ini selain diakibatkan oleh kondisi geografis (kewilayahan)
yang
memang
keras
dan
membentuk
karakter
mereka,
juga
mengkonfirmasikan nama Haria yang awalnya adalah Haraija bagi desa/negeri ini. Secara harfiah, Haria berarti “Suka Ribut” atau “Biasa Ribut”.3 Walau demikian, suka ribut bukan dalam artian suka bertengkar atau berkonflik. “Suka Ribut” diartikan sebagai semangat ketika mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak. Artinya apabila mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak maka ada ungkapan kegembiraan yang disertai dengan nyanyian dan pantun dengan iringan tifa (alat musik tradisional Maluku), guna 3
Wawancara dengan bapak F.J. Manuhutu (Sekretaris Negeri), tanggal 18 Desember 2011.
28
mengundang orang beramai-ramai turun ke laut atau pesisir pantai, menyambut para nelayan dan tangkapan mereka. Solidaritas seperti ini tampak sebagai pola yang mampu mengeliminir anggapan umum masyarakat luas tentang masyarakat pesisir yang berwatak keras, jadi watak keras suatu masyarakat perlu ditempatkan pada konteks yang mempengaruhinya. Sebagai sebuah masyarakat adat–umunya yang terdapat di Maluku, maka sistem atau tatanan kehidupan masyaraktnya diatur berdasarkan sistem kekerabatan menurut perspektif adat yang dimiliki. Begitu juga dengan Haria sebagai sebuah tatanan masyarakat adat, maka sistem kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat ini
adalah sistem
kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan, hubungan genealogis atau pertalian darah yang “diikat” semangat kekeluargaan dalam bentuk marga (hubungan mata rumah). Model sistem kekerabatan ini juga dikenal sebagai istilah lahatol yakni hubungan kekerabatan berdasarkan garis keturunan. Situasi hidup dalam keluarga, interaksi sosial dibangun. Proses pewarisan nilai, baik menyangkut pembentukan moral ataupun perilaku maupun pewarisan tuturan sejarah keluarga, ataupun ikatan kekerabatan dengan keluarga lain disampaikan dalam keluarga. Waktu yang dianggap sangat baik untuk percakapan dalam keluarga adalah pada saat “makan” dan semua anggota keluarga duduk pada satu meja makan. Karena diyakini apa yang dipercakapkan dan nasehat-nasehat yang diberikan kepada semua anggota keluarga khusus kepada anak-anak akan masuk tertelan bersama-sama dengan makanan yang mereka makan.4 Sebagai orang tua, merasa berkewajiban untuk membina anak-anak yang
4
Wawancara dengan bapak J. Manuhuttu (56 tahun) dan Bapak A. Loupatty (49 tahun) tanggal 15 Desember 2011 di rumahnya.
29
baik dan sukses dalam kehidupan mereka kelak. Hubungan sosial antar keluarga juga terbina dalam kehidupan bermasyarakat dalam wujud masohi atau gotong-royong dan semua proses “kerja sama” itu kembali pada sistem asali yakni lahatol. Interaksi sosial dalam lingkup yang lebih luas berlangsung juga dengan desa-desa lain baik di pulau Saparua maupun di luar pulau Saparua, baik desa kristen maupun desa Islam.5 Interaksi sosial ini yang sejak dulu sudah dibangun secara turun-temurun oleh para leluhur yang dikenal dengan sebutan Pela Gandong. Kehidupan masyarakat yang diikat dengan sistem Pela Gandong tersebut, memunculkan sikap bahwa semua masyarakat Maluku adalah satu keluarga besar, dengan sistem pemerintahan adatnya. Karena itu, desadesa atau negeri yang ada juga tampak kuat tali persaudaraan sebagai pengikat, dengan dasar pemikiran bahwa mereka semua adalah saudara (gandong). Masyarakat desa Haria dalam tuturan sejarahnya, tercakup dalam suatu persekutuan hukum adat yang terdiri dari dua rumpun masyarakat adat, yaitu: Uku Toru dan Rumu Toru. Masing-masing rumpun terdiri dari 3 (tiga) Soa, atau dengan kata lain, masyarakat adat negeri Haria terdiri dari 6 (enam) soa, masing-masing soa membawahi beberapa marga, dan hampir setiap marga memiliki matarumah sendiri. Untuk lebih jelas tentang sistem kekerabatan masyarakat negeri Haria, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
5
Sebutan desa Kristen dan desa Islam merupakan sebutan umum yang berlaku di Maluku. Penyebutan ini didasarkan pada realitas desa/negeri di Maluku yang dalam satu desa/negeri semua penduduknya (100%) memeluk agama tertentu, misalnya: Islam atau Kristen.
30
Tabel 3.3 Nama Rumpun, Soa, Marga, dan Matarumah di Negeri Haria No 1
RUMPUN
SOA Titasomi
Uku Toru
Louhatu
Tanarisa
Peinimua 2
Rumu Toru
Lounussa
Samalohy
MARGA Manuhutu Mahakena Ruhulessin Patilemionia Pattirawane Lohy Souhoka Pelamonia Picarima Sialana Sihasale Selano Mataheru Loupatty Hattu Waelauruw Tamaela Polnaya Leihitu Sahuleka Paunno Sarimole Parinussa Latuperissa Komul Leuwol Souissa Kaya Kainama
MATARUMAH Lilipori Lilipori Peu-Peu Tutulepi Tutulepi Setenia Pewae Pawae Pawae Pawae Pawae Mataaru Tomaula Rusela Palapessy Tutupory Souruletoitom Peihatu Sourela Soubiasa Peimou Kakerisa Posihatu Rosina Rosina Tewasei Sehati Tutupory Tutupory
Sumber: Data Primer 2011, diolah. Berdasarkan pengelompokan marga-marga di atas, maka diharapkan akan mendapatkan gambaran tentang lahatol di Desa Haria, yang dilakukan berdasarkan ikatan hubungan darah atau berdasarkan keturunan yang diikat dalam sistem matarumah.
31
3.1.3. Sistem Pemerintahan Desa Sistem pemerintahan desa6 Haria, termasuk semua desa di Maluku pada awalnya sangat berpegang kuat pada adat istiadat atau sistem pemerintahan adat yang dikenal dengan sistem Negeri. Negeri dikepalai oleh seorang raja, dan raja dilegitimasi oleh warganya untuk berkuasa atas wilayah (petuanan) dan komunitas adatnya. Sistem ini kemudian mengalami perubahan akibat politik penyeragaman oleh pemerintah Orde Baru lewat UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Akibat politik penyeragaman ini, semua wilayah di Indonesia harus mengikuti pola “desa” di Jawa dan “meninggalkan” tatanan (sistem) pemerintahan adat yang diwariskan leluhur mereka. Indonesia memasuki “babak baru” sistem pemerintahan yang dikontrol secara ketat oleh pemerintah pusat. Wilayah-wilayah dengan sistem pemerintahan adat termasuk Haria, akhirnya tercabut dari akar kultural pemerintahan adat mereka. Kondisi ini mengalami pembalikan–setelah sekian lama kehilangan citra kulturalnya–ketika UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah diberlakukan.7 Tidak ingin kehilangan moment Pemerintah Provinsi Maluku memanfaatkan pemberlakukan UU No. 32/2004 itu dengan mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku. Dengan penetapan Perda ini, maka sistem pemerintahan di Maluku kembali mendapatkan 6
Sebelum diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, di Maluku orang tidak mengenal “desa”, yang ada adalah “negeri”. Namun dengan diberlakukan UU ini setiap negeri berganti nama menjadi Desa mengikuti pola Desa di Jawa. Karena itu yang mengepalai desa di sebut Kepala Desa. 7 Bagi peneliti momen yang lebih tepat untuk mengembalikan tatanan adat itu adalah pada waktu diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2009. Namun momen ini sepertinya terlewatkan bagitu saja, mungkin akibat pemerintah dan rakyat Maluku kehabisan energi dalam menghadapi konflik kemanusiaan yang berkepanjangan waktu itu.
32
dasarnya sebagai pemerintahan adat, atau dapat dikatakan sebagai “kembali ke Negeri”. Apalagi dengan ditetapkannya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, ada pengakuan lebih, yang secara konstitusional sistem pemerintahan adat diakui keberadaannya di Indonesia. Dengan ditetapkannya UU No. 6 Tahun 2014, maka sistem pemerintah adat secara konstitusional diakui keberadaannya. Konsekuensinya adalah kembali pada sistem pemerintahan yang “diwariskan”, atau dengan kata lain berdasarkan garis keturunan, dan dalam pemerintahan adat Haria, marga Latuperissa yang berhak menduduki jabatan tersebut. Artinya proses menuju ke arah itu telah terbuka lebar, memang kelihatannya tidak demokratis, namun apakah yang demokrasi selalu baik? Fareed Zakaria dalam “Masa Depan Kebebasan”8 mencatat bahwa demokrasi hanya merubahkan salah satu nilai kebaikan yang ada di dunia, jadi bukan satu-satunya nilai kebaikan. Karena itu, sistem pemerintahan desa di Haria, diyakini dalam perjalanan waktu akan kembali pada sistem pemerintahan yang mengakomodir pemerintahan adat: Kepala Desa atau Raja “dipilih” masyarakat berdasarkan garis keturunan. Saat ini memang masih mengadopsi sistem pemilihan formal (yang demokratis), namun ruang untuk kembali pada sistem pemerintahan adat itu sudah terbuka lebar, dan keinginan untuk itu memang mulai nampak dalam sebutan “raja” dalam sistem pemerintahan desa, itu berarti pengaruh budaya masih sangat kuat dirasakan masyarakat. Secara administratif pemerintahan, desa Haria terbagi menjadi 9 (sembilan) Dusun, dan setiap dusun dikepalai oleh seorang kepala Dusun (Kadus), yang bertanggung jawab penuh terhadap anggota dusunya dan wajib melaporkan setiap perkembangan dusunnya
8
Fareed Zakaria, Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain, dialihbahasakan oleh Ahmad Lukman. (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004), 8
33
kepada Kepala Desa atau Raja. Masa jabatan seorang kepala dusun tidak menentu, dan jika terjadi kesenjangan dalam masa kepemimpinannya maka anggota dusun dapat memilih orang lain yang dianggap mampu lewat musyawarah bersama. Untuk lebih jelas tentang jumalah dusun di desa Haria dapat dilihat pada: Tabel 3.4. Susunan Nama Dusun di Desa Haria Nama Dusun Dusun Lounusa Dusun Tanarisa Dusun Louhatu Dusun Pemua Dusun Titasomy
Pengertian Nama Kepala Dusun Kumpul Pulau Lukas Souhoka Buang Ela diatas Tanah Karel Latuperissa Kumpul Batu Yakob Sarimole Semua Sudah Siap Mathias Maitimu Berjalan ditempat Babi Samuel Latuperissa Mandi 6. Dusun Sama Lohi Tanya Dia Yosias Hattu Persatuan Rupa, Alailo dan Junus Komul 7. Dusun Perat Tanjung 8. Dusun Nahitol Tempat Lahirku Isak Souhoka 9. Dusun Saka Mese Jaga Pulau itu Baik-baik Jantje Picarima Nusa Sumber: Data Primer 2011, diolah No 1. 2. 3. 4. 5.
Sedangkan kepala desa Haria atau dalam terminologi adat disebut Kepala Pemerintahan Negeri: Raja saat ini adalah J.M. Manuhutu, dan Sekretaris Negeri adalah F.J. Manuhutu, yang bantu oleh 3 (tiga) Kepala Urusan, yakni: Kaur Pemerintahan J. Leuwol, Kaur Pembangunan S. Sahuleka, dan Kaur Umum L. Manuhutu. Selain pemerintahan negeri, terdapat juga Saniri Negeri yang berfungsi sebagai “dewan adat”. Untuk lebih jelas, struktur pemerintahan negeri Haria dapat digambarkan sebagai berikut:
34
Gambar 3.1 Struktur Pemerintahan Negeri Haria
Raja
Kepala Soa
Sekretaris
Saniri Negeri
Bendahara
Kaur Pemerintahan Negeri Kaur Pembangunan Kaur Umum
3.2. Pemahaman Masyarakat Tentang Budaya Lahatol Menelusuri lebih jauh tentang kehidupan masyarakat Haria tidak akan lengkap tanpa terlebih dahulu mengenal dengan apa yang menjadi identitas khas dari daerah tersebut, yang biasanya dikenal dengan sebutan lahatol. Lahatol secara umum dipahami sebagai acara kumpul keluarga.9 Lahatol yang dilakukan sejak dahulu oleh para leluhur menjadi sangat bermakna bagi kehidupan masyarakat Haria saat itu. Lahatol pada prinsipnya memiliki makna saling membantu atau tolong menolong.
10
Lahatol biasanya
difungsikan pada beberapa kegiatan misalnya acara perkawinan, bangun rumah, cuci kabong, orang sakit, dan juga pada acara kematian. Pemahaman masyarakat yang terbatas tentang budaya lahatol dikarenakan tidak ada dokumen tertulis, hanya saja lahatol diwarisi oleh para leluhur secara lisan, sehingga
9
Hasil wawancara dengan Bapak Jacob Michel Manuhutu, Raja Haria, 13 Desember 2011 Hasil wawancara dengan Matheos Sahuleka, 13 Desember 2011
10
35
bagi orang tua di atas 30 tahun saat ini masih memiliki gambaran tentang budaya lahatol sedangkan bagi generasi penerus dibawah 30 tahun, lahatol tidak lagi dipahami secara baik.11 Walauun lahatol secara umum mulai surut identitasnya tetapi memiliki tujuan positif yang menyangkut masalah kekeluargaan. Oleh karena itu, pemaknaan tentang lahatol tetap harus diwariskan turun temurun oleh para orang tua. 3.2.1. Proses Pelaksanaan Budaya Lahatol Berikut ini akan dipaparkan cara dan bentuk-bentuk pelaksanaan lahatol di Desa Haria. Paparan terhadap hal ini disertai dengan analisa deskriptif untuk mendalami struktur nilai masyarakat dalam penyelenggaraan lahatol. Dalam tahap persiapan, beberapa bulan dan atau hari sebelumnya keluarga-keluarga mata rumah berkumpul untuk membicarakan maksud atau acara yang akan dilaksanakan oleh salah satu keluarga. Maksud atau acara tersebut bisa bersifat suka atau duka. Dalam proses lahatol, kumpul keluarga menjadi sangat penting untuk membagikan tugas, peran dan tanggung jawab dari masing-masing anggota keluarga. Upu12 atau orang yang dituakan dalam keluarga menjadi juru bicara dalam kegiatan kumpul lahatol tersebut. Setelah dibuka dengan doa oleh pendeta atau majelis jemaat maka selanjutnya dalam pertemuan kumpul lahatol mulai dibicarakan maksud atau acara dari salah satu anggota keluarga dam kemudian mereka akan berunding untuk membagi tugas, peran dan tanggung jawab bersama demi terselenggaranya maksud atau acara tersebut. Daftar nama penanggung dengan tanggungannya menjadi tanggung jawab juru tulis yang juga bertugas
11 12
Hasil wawancara dengan saudarai Sirces Ruhulessin, 17 Desember 2011 Upu artinya tuan atau yang dituakan atau yang dihormati.
36
untuk mengecak saat waktu pengumpulan tanggungan tersebut, atau biasanya disebut not.13 Pada acara perkawinan, biasanya kumpul keluarga dilakukan di mata rumah adat atau di rumah keluarga yang akan melakukan acara perkawinan kemudian didahuli dengan doa oleh pendeta atau majelis bertugas. Setelah itu Upu mengambil alih acara dengan mulai menjelaskan tujuan diadakan kumpul lahatol ini dan kemudian dibagikan tanggungan masing-masing keluarga dan not bertugas untuk mencatat agar tidak ada yang lupa atau tertukar. Ada yang berupa uang, bahan dan tenaga. Bagi anggota keluarga yang tidak sempat hadir dalam acara kumpul lahatol tetap diberi tanggung jawab tanggungan karena biasanya jika ada yang berhalangan telah dihubungi terlebih dahulu. Setelah itu doa tutup kegiatan dan diakhiri dengan jamuan makan bersama. Selanjutnya untuk tahap persiapan mendekat pada hari perkawinan dilakukan lagi acara kumpul lahatol. Acara kumpul lahatol yang kedua ini telah didahului dengan kumpul tanggungan bersama yang diatur oleh orang yang ditugaskan bersama not.14 Begitu pun dengan acara bangun rumah. Kumpul lahatol awalnya dilakukan oleh keluarga-keluarga mata rumah dan setelah doa dilakukan pembagian tanggungan bersama bahan-bahan bangunan dan juga tanggungan tenaga bersama dalam pelaksanaan pembangunan. Hal serupa juga dilakukan pada kumpul lahatol untuk acara cuci kabong.15 Berbeda dengan acara perkawinan, bangun rumah dan cuci kabong, kumpul lahatol untuk orang sakit dan orang duka (kematian) dilakukan dengan inisiatif salah satu anggota
13
Not adalah orang yang bertugas menulis dan mengecek hasil-hasil tanggungan bersama Hasil wawancara dengan Bapak Empy Manuhutu, Kepala Saniri), 14 Desember 2011 15 Hasil wawancara dengan Arman Manuhuttu, 18 Desember 2011 14
37
keluarga untuk kumpul orang saudara. Dan kemudian pembagian tanggungan dilakukan secara merata oleh upu dan ditindaklanjuti oleh orang yang diberikan tugas dan not.16 Satu hal yang pasti dalam kegiatan kumpul lahatol ialah bahwa harus ada timbal balik antara keluarga. Jika suatu saat keluarga yang lain akan mengadakan acara dan melakukan kumpul lahatol maka setiap anggota keluarga mata rumah tersebut juga harus turut mengambil bagian dalam penangungan bersama. Gambar 1 Contoh Pelaksanaan Lahatol
Gambar I. Pembangunan Rumah
Gambar II. Cuci Perabot RT Menjelang Acara Perkawinan
3.2.2. Lahatol Dalam Perspektif Pertukaran Konsepsi nilai budaya yang tampak dalam bentuk lahatol merupakan formulasi kearifan yang bertujuan mempertahankan kekerabatan keluarga yang diikat berdasarkan garis keturunan atau hubungan darah. Nilai dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai sebuah konsepsi eksplisit atau implisit, yang khas dimiliki seorang individu atau
16
Hasil wawancara dengan Ibu Rika Pattileamonia, 19 Desember 2011
38
kelompok, tentang yang seharusnya diinginkan yang memenuhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara dan tujuan-tujuan tindakan.17 Berdasarkan ungkapan di atas, pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana bentuk, cara dan tujuan tindakan yang diinginkan atau hendak dicapai dalam praktek lahatol di negeri Haria?. Jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak mudah, apabila tidak mendasarkan diri pada praktek lahatol yang dilakukan. Hal ini dikarenakan praktek budaya (lahatol) tentu memiliki maksud dan tujuan yang hanya bisa dijelaskan makanya oleh kelompok masyarakat yang memilikinya. Sekalipun lahatol merupakan konsensus nilai budaya yang berfungsi menjaga keutuhan “keluarga besar” yang terikat sistem kekeluargaan berdasarkan hubungan darah (dalam satu matarumah), awal-mula munculnya lahatol belum atai tidak diketahui secara pasti. Semua informan kunci yang diwawancarai tentang topik kemunculan lahatol hanya mengatakan bahwa “kemungkinan lahatol sudah ada sejak leluhur mereka”. Jawaban seperti ini memang tidak bisa disalahkan sebab pola pewarisan budaya (adat) yang secara umum terjadi di Maluku adalah pewarisan secara lisan, sehingga hal yang menyangkut dengan waktu (tahun) tentu tidak bisa secara mudah diketahui. Walaupun demikian, ketika lahatol dimaknai sebagai konsensus nilai yang berfungsi menjaga keutuhan keluarga secara geneologis (dalam arti sempit hubungan darah), maka dapat juga dikatakan bahwa sistem tolong menolong ini memang sudah ada sejak adalany lehuhur orang Maluku, khususnya leluhur orang Haria. Sebagai fungsi “penjaga keutuhan” keluarga berdasarkan hubungan darah, maka sistem tolong-menolong ini dikonsensuskan agar secara bersama-sama saling membantu dan meringankan beban 17
Amir Marsali, Antropologi dan Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 104-105
39
rumah tangga atau keluarga ketika melakukan acara-acara yang memerlukan banyak pengeluaran. Dalam konteks ini falsafah orang Maluku “ale rasa beta rasa” dan “potong dikuku rasa didaging” memiliki dasar referensi kulturalnya. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa persekutuan dalam bentuk lahatol ada justru karena berbagai kesulitan, penderitaan serta kekurangan yang sangat dirasakan dan dibutuhkan baik dari sisi material maupun spiritual. Untuk mengatasi persoalan hidup, maka berbagai cara dalam bentuk kekeluargaan atau kekerabatan ditempuh untuk dapat meringankan beban kelurarga, sehingga cara hidup saling membantu, saling menopang dapat menggambarkan ciri hidup saling mengasihi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa lahatol adalah kumpul keluarga untuk membicarakan dan membantu meringankan beban salah satu keluarga– berdasarkan garis keturunan– yang melakukan acara tertentu. Di Maluku, hubungan berdasarkan garis keturunan, diikat oleh sistem matarumah, karena itu, kedudukan lahatol ada pada level matarumah, bentuknya adalah pertemuan (kumpul) dengan tujuan bantu-membantu. Matarumah merupakan kesatuan kelompok geneologis yang besar sesudah keluarga, biasanya disebut juga ruma/luma inai yang adalah “rumah ibu”. Hal ini berhubungan dengan sistem kekerabatan yang dihitung berdasarka garis keturunan Ibu atau perempuan. Secara harfiah “luma” berarti “rumah” dan “inai” berarti “isi” atau artikan juga “ibu”. Secara konseptual, “inai” dan “ruma inai” dapat dimaknai sebagai “tempat penyimpanan periuk tembikar yang besar atau warisan keluarga” dan “ruma inai” berarti rumah dimana
40
penghuni-penghuninya hidup berdasarkan garis keturnan ibu dan makan bersama dari satu periuk.18 Sekalipun demikian, lahatol dilakukan bukan hanya berdasarkan pada garis keturunan ibu, tetapi lebih pada pengertian “inai” sebagai “isi”, jadi, lahatol adalah tanggungjawab semua keluarga yang diikat dalam satu matarumah, baik berdasarkan garis keturunan ibu (perempuan) maupun garis keturunan bapak (laki laki). Dengan demikian, maka sistem tolong-menolong dalam bentuk lahatol dapat dipahami sebagai uapaya mempererat tali persaudaraan dengan cara saling memberi bantuan berupa barang (materi) atau tenaga (jasa) kepada keluarga yang membutuhkan, dan pemberian bantuan ini didasarkan pada pertimbangan hubungan darah. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh J. Hattu (tokoh adat) Haria bahwa “lahatol adalah kumpulan persaudaraan yang memiliki hubungan darah atau kumpulan saudara berdasarkan garis keturunan”.19 Praktek Lahatol biasanya terjadi atau dilakukan pada acara-acara, seperti: perkawinan, pembangunan rumah, bahkan sampai acara kedukaan atau kematian, cuci kabong–membuka lahan untuk berkebun. Bantuan yang diberikan untuk membantu keluarga yang membutuhkan (memiliki acara–gawe–meminjam istilah dalam bahasa Jawa), diberikan baik berupa barang: baik sandang, pangan, dan papan; maupun jasa: waktu dan tenaga, dilakukan dengan satu pemahaman bersama bahwa keluarga yang dibantu pada saat atau waktu tertentu akan kembali membantu. Dengan demikian, maka lahatol memenuhi unsur sebagai bentuk kerjasama dalam wujud resiprocity atau
18 19
Effendi Ziwar, Hukum adat Ambon Lease (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1987), 25 Wawancara dengan bapak J. Hattu (Tokoh Adat) tanggal 15 Desember 2011, di rumah informan
41
resiprositas–kerjasama atau tolong menolong yang sifatnya timbal balik, karena itu, lahatol adalah juga pertukaran (exchange). Tujuan bersama yang diharapkan (expected reward) dari kegiatan lahatol adalah terwujudnya kehidupan kekeluargaan rukun, saling toleran dan saling bantu membantu. Tujuan seperti ini merupakan tujuan pada level yang lebih tinggi (makro), sedangkan pada level mikro (individu dan rumah tangga) harapan yang diinginkan dari lahatol adalah adanya pemberian (prestation) dari sanak-saudara untuk meringankan beban pengeluaran (cost) rumah tangga atau individu yang melakukan kegiatan atau acara tersebut. Walaupun demikian pemberian dari keluarga guna mengurangi cost rumah tangga pemilik acara, akan juga dicatat (not) sebagai bagian dari cost yang akan dikeluarkan oleh keluarga pemilik acara pada waktu-waktu kemudian, jika lahatol dilakukan oleh sanak-saudara yang lain. Dalam konteks inilah resiprositas dimaknai. Berdasarkan hal di atas, maka lahatol hanya akan dilakukan apabila terdapat acara yang dilakukan salah satu keluarga–rumah tangga. Dalam kaitan dengan praktek lahatol, dapat diformulasikan dua pola, yakni: keluarga yang baru pertama kali melakukan dan mengikuti lahatol, dan keluarga yang sudah pernah melakukan atau mengikuti lahatol. Pertama, bagi keluarga yang baru pertama kali melakukan atau mengikuti lahatol, dapat diformulasikan sebagai berikut: Awalnya kegiatan dilakukan dengan cara memberitahukan dan mengundang sanak-saudara yang memiliki hubungan darah untuk berkumpul di rumah keluarga yang memiliki acara pada waktu yang ditentukan oleh keluarga. Kemudian, pada saat hari pertemuan (rapat keluarga), seorang Pendeta atau seorang Majelis akan juga diundang untuk menghadiri acara tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Peran yang diharapkan dari pelayan Tuhan dan gereja (pendeta/majelis) itu adalah untuk “memeteraikan” acara tersebut lewat doa. Setelah pelayan Tuhan melakukan perannya (berdoa), 42
rapat keluarga dimulai yang dipinpin oleh orang yang dituakan (Upu) dari keluarga matarumah tersebut. Sebelumnya, Upu telah berdiskusi dengan keluarga yang membuat acara (misalnya perkawinan) tentang apakah acara tersebut akan dibuat mewah dan meriah atau hanya untuk keluarga saja, sekaligus memperkirakan berapa besaran biaya acara tersebut. Upu selanjutnya akan menjelaskan tentang ‘hasil pembicaraannya’ termasuk berapa besar anggaran yang dibutuhkan, kemudian bertanya kepada semua sanak-saudara yang hadir soal kesediaan akan menanggung apa. Semua sanak saudara yang hadir akan berbicara/memberitahukan apa yang akan ditanggungnya. Setelah semuanya mengemukakan pendapat tentang besaran tanggungan atau pemberian, not yang sejak awal mencatat pembicaraan itu akan menghitung apakah bantuan (baik berupa materi atau jasa) tersebut sudah memenuhi anggaran yang dibutuhkan untuk acara tersebut atau tidak, jika belum memenuhi, maka Upu akan kembali menawarkan kepada keluarga soal siapa yang masih ingin menambah bantuannya. Intinya adalah sampai besaran biaya acara tersebut terpenuhi, dan jika sudah terpenuhi, maka not diberi tugas untuk menagih dan mengumpulkan bantuan tersebut sebelum hari pelaksanaan acara. Walaupun demikian, penentuan atau kesepakatan tanggungan dilakukan atas dasar kerelaan masing-masing keluarga atau rumah tangga.20 Dalam pola pertama ini, sebab rumah tangga pelaksana acara belum melakukan atau mengikuti lahatol sebelumnya, maka tidak ada referensi dari not yang bisa dipertimbangkan oleh anggota matarumah dalam memberikan bantuan bagi keluarga yang memiliki acara. Yang terjadi adalah setiap anggota matarumah akan memberikan bantuan berdasarkan kemampuan mereka yang biasanya juga dipertimbangkan adalah bantuan tersebut diberikan berdasarkan profesi yang digeluti, misalnya: nelayan akan memberikan bantuan berupa ikan, petani akan memberikan bantuan berupa hasil kebun, PNS biasanya memberikan bantuan berupa uang atau bahan sembako lain yang sulit “dijangkau” oleh warga petani, dan lain sebagainya.
20 Wawancara dengan: bapak J. Hattu (Tokoh Adat) tanggal 15 Desember 2011, bapak A. Kaya (pengatur kegiatan lahatol) tanggal 20 Desember 2011, bapak T. Komul, bapak. Z. Manuhutu, dan Ibu K. Picarima (keluarga yang mengadakan lahatol) tanggal 15 desember 2011, dan bapak Z. Hattu (Tokoh Adat) tanggal 16 Desember 2011. Masingmasing di rumahnya.
43
Kedua, bagi keluarga yang telah melakukan atau mengikuti lahatol, maka pola lahatolnya dapat diformulasikan sebagai: Pola awalnya sama, yakni memberitahukan dan mengundang keluarga satu matarumah tentang acara yang akan dilakukan, termasuk pendeta dan majelis untuk berdoa. Setelah itu Upu akan memimpin lahatol dan menjelaskan maksud acara dan besarnya biaya yang dibutuhkan. Selanjutnya setiap perwakilan rumah tangga akan memberitahuan besaran bantuan yang akan dia tanggung dan berikan. Namun pada pola kedua ini, keputusan keluarga untuk menanggung sesuatu sudah didasarkan pada “referensi” lahatol sebelumnya, sebab sifatnya yang timbal-balik. Artinya keluarga yang membantu akan mempertimbangkan pemberian apa yang telah ditanggung (dibantu) oleh keluarga (rumah tangga) yang memiliki acara kepada mereka waktu sebelumnya. Misalnya, pada lahatol bebelumnya keluarga ini membantu saya beras 3 karun, maka dalam kesempatan ini saya akan membantu dalam bentuk yang sama, yakni memberikan tiga karun beras, atau bisa dikonversi ke bahan pangan lain yang penting nilainya masih sama, begitupun bagi keluarga yang lain akan memiliki pertimbangan yang sama dalam memberikan bantuan. Walaupun demikian, apabila bantuan yang terkumpul belum mencukupi besarnya biaya acara tersebut, maka Upu akan meminta kepada keluarga yang hadir siapa yang masih bersedia membantu, dan biasanya selalu ada yang bersedia. Disinilah kejelian seorang not itu diuji.21 Perbedaan kedua pola lahatol di atas ditentukan pada titik awal pelaksanaannya, fungsi not dan pola pertukaran yang dilakukan. Misalnya, fungsi not pada pola pertama tersebut adalah lebih pada mencatat kewajiban-kewajiban dari “semua anggota” matarumah dalam kesediaannya untuk memberikan bantuan, dan kemudian menagih dan mengumpulkan bantuan tersebut. Sedangkan pada pola kedua, fungsi not selain sebagai pencatat, juga berkembang menjadi penanggungjawab “kebenaran” catatan yang dibuat dan disimpan sejak lahatol sebelumnya, yang akan digunakan sebagai “referensi” setiap
21 Wawancara dengan: bapak J. Hattu (Tokoh Adat) tanggal 15 Desember 2011, bapak A. Kaya (pengatur kegiatan lahatol) tanggal 20 Desember 2011, bapak T. Komul, bapak. Z. Manuhutu, dan Ibu K. Picarima (keluarga yang mengadakan lahatol) tanggal 15 Desember 2011, dan bapak Z. Hattu (Tokoh Adat) tanggal 16 Desember 2011. Masingmasing di rumahnya.
44
anggota matarumah untuk menentukan besarnya bantuan yang akan mereka bayarkan (cost) bagi keluarga yang melakukan acara. Sedangkan model pertukaran pada pola pertama, ada exspected reward dari keluarga berupa materi dan jasa kepada sanak keluarganya yang lain, namun pertimbangannya adalah cost yang mungkin akan dikeluarkan pada waktu yang akan datang. Walaupun nilai lahatol adalah “kegiatan atau acara” ditanggung bersama-sama (satu matarumah) namun kemungkinan pertimbangan besaran biaya (cost) satu acara akan menjadi proiritas keluarga. Hal ini dikarenakan “tuntutan” timbal-balik (resiprocity) untuk pertukaran yang adil (fair exchange) dijamin juga dalam lahatol. Atau dengan kata lain, expected reward untuk menutupi kebutuhan keluarga dalam suatu acara dalam waktuwaktu selanjutnya akan menjadi cost yang harus dikeluarkan bagi keluarga yang lain. Sedangkan pada pola kedua, expected reward itu adalah konsekuensi dari cost yang telah lebih dulu dikeluarkan, sehingga expected-nya lebih pada sebuah bentuk fair exchange untuk mempertahankan nilai budaya yang telah disepakati bersama. Dalam konteks seperti ini, maka resiprositas dapat diartikan sebagai suatu bentuk pertukaran barang dan jasa yang nilainya dianggap sama oleh keduabelah pihak. Artinya pihak yang memiliki “acara” mengharapkan sesuatu bantuan (expected reward) dari keluarga-keluarganya yang hadir dalam pertemuan tersebut. Sedangkan keluarga yang diundang dan hadir dalam pertemuan itu juga memiliki harapan (expected) yang sama bahwa pemberian bantuan (cost) yang ditanggung nantinya pada waktu tertentu akan kembali sebab sistem nilai budaya (lahatol) yang telah dikonsensuskan bersama memang memberi ruang fair exchange. Jadi model pertukaran seperti ini sebenarnya bermakna 45
investasi, baik investasi ekonomi maupun investasi jasa. Sebab expected reward keluarga yang memberikan bantuan itu tampak berupa kebercayaan terhadap nilai lahatol bahwa cost yang telah dikeluarkan nanti akan kembali pada waktu tertentu. 3.2.3. Tanggapan Masyarakat Haria Terhadap Lahatol Ketika ditanya apakah ada keinginan untuk tetap mempertahankan lahatol informan menjawabnya kami sangat mendambahkan kegiatan lahatol ini dapat difungsikan kembali karena sekarang ini kehidupan masyarakat menjadi individualisme semata sehingga nilai-nilai kerjasama, tolong menolong, saling melayani dan persekutuan hidup antara keluarga menjadi renggang.22 Sekalipun kegiatan lahatol ini berlangsung sewaktuwaktu namun ada keinginan dari masyarakat untuk tetap mempertahankan lahatol dengan jalan memberikan pemahaman dan motivasi kepada orang lain di samping itu mereka harus menjadi contoh. Manusia dalam segala aspek kehidupan pada hakekatnya tergantung pada sesamanya, karena itu haras selalu berasaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesama, terdorong oleh jiwa sama rata sama sama rasa. Semakin baik pemahaman masyarakat tentang fungsi dan peranan lahatol serta mempraktekkan dalam hidup bersama, maka tercipta persekutuan yang saling melayani sebab kegiatan lahatol merupakan salah satu bentuk persekutuan yang memberlakukan hukum kasih walaupun berada dilingkungan yang mengutamakan hubungan darah. Dengan demikian tugas pembinaan bukan saja berada dalam tangan Gereja tetapi merupakan tanggung jawab bersama sehingga upaya untuk mendidik dan mengajar dapat
22
Hasil wawancara dengan keluarga-keluarga yang terlibat dalam kegiatan kumpul lahatol tanggal 19 Desember 2011
46
berjalan dengan baik dan masyarakat Desa Haria dapat meningkatkan pola hidup saling mengasihi dan saling membantu untuk mengatasi berbagai kesulitan dengan kegiatan kumpul lahatol.
47