BAB III DASAR TEORI 3.1.
Klasifilasi Massa Batuan Klasifikasi massa batuan sangat berguna pada tahap studi kelayakan dan
desain awal suatu proyek tambang, dimana sangat sedikit informasi yang tersedia tentang massa batuan dan tegangan serta karakteristik hidrogeologi massa batuan tersebut. Namun klasifikasi massa batuan tidak dimaksudkan dan tidak dapat menggantikan pekerjaan desain rinci, sebab untuk desain rinci diperlukan informasi yang lebih lengkap lagi tentang tegangan insitu, sifat massa batuan dan arah penggalian yang biasanya belum tersedia pada tahap awal proyek (Hoek, dkk, 1995). Secara sederhana klasifikasi ini digunakan sebagai sebuah check list untuk memastikan apakah seluruh informasi penting mengenai massa batuan sudah dimasukkan kedalam desain. Jika semua informasi ini telah tersedia, maka klasifikasi massa batuan dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi spesifik lapangan. Dalam menggunakan klasifikasi massa batuan, sangat direkomendasikan untuk tidak hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga menggunakan metode klasifikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai pembanding atas hasil yang diperoleh dari tiap metode. Menurut Bieniawski (1989), tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah: 1. Menentukan parameter yang terpenting yang mempengaruhi perilaku massa batuan 2. Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam kelompok yang mempunyai perilaku sama, yaitu kelas massa batuan dengan berbagai kualitas 3. Memberikan dasar untuk pengertian karakteristik dari tiap kelas massa batuan 4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di suatu lokasi dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain 5. Memberikan data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa (engineering design)
20
6. Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan Sistem klasifikasi yang paling banyak dipakai pada proyek-proyek tambang bawah tanah saat ini adalah Geomechanics Classification atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR) system, dan Rock Tunneling Quality Index (Q) system. Kedua sistem klasifikasi ini memakai parameter Rock Quality Designation (RQD) yang diperkenalkan oleh Deere pada tahun 1964. Selain RMR dan Q-system, menurut Palmstorm (2000) terdapat beberapa sistem klasifikasi lainnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1 Tabel 3.1 Sistem Klasifikasi Massa Batuan ( Palmstrom, 2000) NAME The Terzaghi Rock load Classification System Lauffer’s Stand up time Classification The New Australian Tunneling Methode (NATM) Rock Classification for rock mechanical purposes Unified Cklassification of soils and rocks The Rock Quality Designation The Size strength Classification The Rock Stucture Rating Classification The Rock Mass Rating Classification The Q Classification The Typological Classification The Unified Rock Classification System Basic Geotechnical Classification (BGC) Geological Strength Index (GSI) The Rock Mass Index (RMI) System
FORM AND TYPE Descriptive and behaviouristic form functional type Descriptive form Functional type Descriptive and Behaviouristic form Tunneling Concept Descriptive form General type Descriptive Form General type Numerical Form General type Numerical form Functional type Numerical form Functional type Numerical form Functional type Numerical form Functional type Descriptive Form General type Descriptive Form General type Descriptive Form General type Numerical form Functional type Numerical form Functional type
MAIN APPLICATIONS
REFERENCES
Design steel support in tunnel
Terzaghi, 1946
Input in tunneling design
Lauffer,1958
For excavation and design in incompetent (overstress) ground
Rabcewicz, Muller and Pacher, 1958-64
For input in rock mechanics
Patching and Coates, 1968
Based on particles and blocks for communications Based on core logging, used in other classification system Based on rock strength and block diameter, used mainly in mine For design of (steel) support in tunnel For use in tunnel, mine and foundation design For Design of Support in Underground Excavation For use in communication For use in communication For general use For design of support in underground excavation For general characterization, design of support, TBM progress
21
Deere at al, 1969 Deere at al, 1967 Franklin, 1975 Wickham et al, 1972 Bieniawski, 1973 Barton et al, 1974 Matula and Holzer, 1978 Williamson, 1980 ISRM, 1981 Hoek, 1994 Palmstorm, 1995
3.1.1. Rock Mass Rating System Rock Mass Rating System atau juga dikenal dengan Geomechanichs Cclassification dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1973. Metode ini dikembangkan selama bertahun-tahun seiring dengan berkembangnya studi kasus yang tersedia dan disesuaikan dengan standar dan prosedur yang berlaku secara internasional (Bieniawski, 1979). Metode klasifikasi RMR merupakan metode yang sederhana dalam penggunaannya, dan parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini dapat diperoleh baik dari data lubang bor maupun dari pemetaan struktur bawah tanah (Gonzalez de Vallejo, 1983; Cameron-Clark & Budavari 1981; Nakao et al., 1983). Metode ini dapat diaplikasikan dan disesuaikan untuk situasi yang berbeda-beda seperti tambang batubara, tambang pada batuan kuat (hard rock), kestabilan lereng, kestabilan pondasi, dan untuk kasus terowongan. Dalam menerapkan sistem ini, massa batuan dibagi menjadi seksi-seksi menurut struktur geologi dan masing-masing seksi diklasifikasikan secara terpisah. Batas-batas seksi umumnya struktur geologi mayor seperti patahan atau perubahan jenis batuan. Perubahan signifikan dalam spasi atau karakteristik bidang diskontinu mungkin menyebabkan jenis massa batuan yang sama dibagi juga menjadi seksi-seksi yang berbeda. Dalam mengklasifikasikan massa batuan berdasarkan sistem Klasifikasi RMR, Bieniawski menggunakan lima parameter utama, yaitu a. Uniaxial Compressive Strength (UCS) batuan b. Rock Quality Designation (RQD) c. Joint spacing atau spasi bidang diskontinu d. Kondisi bidang diskontinu e. Kondisi dari ground water Berikut ini sekilas penjelasan mengenai kelima parameter yang dipakai dalam sistem klasifikasi RMR a. Uniaxial Compressive Strength (UCS) Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh (intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin 22
tekan untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS merupakan besar tekanan yang harus diberikan sehingga membuat batuan pecah. Sedangkan point load index merupakan kekuatan batuan batuan lainnya yang didapatkan dari uji point load. Jika UCS memberikan tekanan pada permukaan sampel, pada uji point load, sampel ditekan pada satu titik. Untuk sampel dengan ukuran 50 mm, Bieniawski mengusulkan hubungan antara nilai point load strength index (Is) dengan UCS adalah UCS = 23 Is. Pada umumnya satuan yang dipakai untuk UCS dan Is adalah MPa. b. Rock Quality Designation (RQD) RQD didefinisikan sebagai prosentase panjang core utuh yang lebih dari 10 cm terhadap panjang total core run. Diameter core yang dipakai dalam pengukuran minimal 54.7 mm. Dan harus dibor dengan double-tube core barrel. Perhitungan RQD mengabaikan mechanical fracture yaitu fracture yang dibuat secara sengaja atau tidak selama kegiatan pengeboran atau pengukuran (Hoek, dkk. 1995). Menurut Deere (1967) prosedur pengukuran RQD adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1 Prosedur pengukuran RQD (After Deere,1989)
23
Jika tidak ada core yang tersedia, maka nilai RQD dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan Palmstrom (1982) RQD = 115 – 3,3 Jv, dimana Jv adalah jumlah joint per satuan volume massa batuan. Jika S adalah joint spacing dalam suatu joint set, maka Jv dapat ditentukan dengan persamaan
1 Jv = ∑ . Hubungan antara Jv dan RQD dapat dilihat dari grafik berikut ini: S
Gambar 3.2 Grafik hubungan RQD dan Jv (Palmstrom,1982) Kualitas batuan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai RQD nya. Tabel 3.2 memperlihatkan pengelompokan kualitas batuan berdasarkan nilai RQD.
24
Tabel 3.2 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere,1967) RQD (%)
ROCK QUALITY
< 25
Very Poor
25-50
Poor
50-75
Fair
75-90
Good
90-100
Excellent
c. Joint Spacing Spasi bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidang-bidang diskontinuitas yang mempunyai kesamaan arah (satu keluarga) yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scanline) yang dibuat sembarang. Kramadibrata (2002) memberikan persamaan untuk menghitung spasi ratarata antar bidang diskontinuitas :
Gambar 3.3 Pengukuran Bidang Diskontinuiti dengan Metode Scanline (Kramadibrata, Suseno, 2002) 25
d(i,i+1)=J(i,i+1) cos
θi+θ(i+1)
(3-3)
2
cos θ = cos(α n − α s ) cos β n cos β s + sin β n sin β s α d < 180, α n = α d + 180
α d > 180, α n = α d − 180 β n = 90 − β d dengan : d(i,i+1) = jarak sebenarnya amtara 2 kekar yang berurutan dalam satu (m) J(i,i+1) = jarak semu antara 2 kekar yang berurutan dalam satu set (m) θ
= sudut normal
αn
= arah dip dari garis normal
αd
= arah dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan αf )
αs
= arah dip dari scanline
βn
= dip dari garis normal
βd
= dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan βf )
βs
= sudut kemiringan scanline
Persamaan Kramadibrata diatas ini akan digunakan untuk menghitung nilai RMR pada dinding crosscut dan drift yang telah di scanline. Hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi penilaian RMR pada core log (hasil pemboran inti) d. Joint Condition Ada
beberapa
parameter
yang
digunakan
oleh
Bieniawski
dalam
memperkirakan kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter tersebut adalah sebagai berikut:
Roughness Roughness atau kekasaran
permukaan bidang diskontinu merupakan
parameter yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu. Suatu permukaan yang kasar akan dapat mencegah terjadinya pergeseran antara kedua permukaan bidang diskontinu.
26
Tabel 3.3 Penggolongan dan pembobotan kekasaran menurut Bienawski (1976) Kekasaran Permukaan
Deskripsi
Sangat kasar (very rough)
Apabila diraba permukaan sangat tidak rata, membentuk punggungan dengan sudut terhadap bidang datar mendekati vertikal,
Kasar (rough) Sedikit kasar (slightly rough) Halus (smooth) Licin berlapis (slikensided)
Bergelombang, permukaan tidak rata, butiran pada permukaan terlihat jelas, permukaan kekar terasa kasar. Butiran permukaan terlihat jelas, dapat dibedakan, dan dapat dirasakan apabila diraba Permukaan rata dan terasa halus bila diraba Permukaan terlihat mengkilap
Pembobotan
6
5
3 1 0
Separation Merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu. Jarak ini biasanya diisi oleh material lainya (filling material) atau bisa juga diisi oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu tersebut.
Continuity Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu, atau juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu.
Weathering Weathering menunjukkan derajat kelapukan permukaan diskontinu. Tabel 3.4 Tingkat pelapukan batuan (Bieniawski, 1976) Klasifikasi
Keterangan
Tidak terlapukkan
Tidak terlihat tanda-tanda pelapukan, batuan segar, butiran kristal terlihat jelas dan terang Kekar terlihat berwarna atau kehitaman, biasanya terisi dengan lapisan tipis material pengisi. Tanda kehitaman biasanya akan nampak mulai dari permukaan sampai ke dalam batuan sejauh 20% dari spasi
Sedikit terlapukkan
27
Terlapukkan
Tanda kehitaman nampak pada permukaan batuan dan sebagian material batuan terdekomposisi. Tekstur asli batuan masih utuh namun mulai menujukkan butiran batuan mulai terdekomposisi menjadi tanah.
Sangat terlapukkan
Keseluruhan batuan mengalami perubahan warna atau kehitaman. Dilihat secara penampakan menyerupai tanah namun tekstur batuan masih utuh, namun butiran batuan telah terdekomposisi menjadi tanah
.
Infilling (gouge) Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang diskontinu mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi oleh ketebalan, konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi tersebut. Filling yang lebih tebal dan memiliki sifat mengembang bila terkena air dan berbutir sangat halus akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah.
e. Kondisi Air Tanah Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi kekuatan massa batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam klasifikasi massa batuan. Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu •
Inflow per 10 m tunnel length : menunjukkan banyak aliran air yang teramati setiap 10 m panjang terowongan. Semakin banyak aliran air mengalir maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil
•
Joint Water Pressure : semakin besar nilai tekanan air yang terjebak dalam kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil.
•
General condition : mengamati atap dan dinding terowongan secara visual sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaaan umum dari opermukaan seperti kering, lembab, menetes atau mengalir. Untuk penelitian ini, cara ketiga ini yang digunakan.
28
Tabel 3.5 Rock Mass Rating System
29
Pada Tabel RMR tersebut ditunjukkan bahwa parameter-parameter itu mempunyai rating tertentu. Rating yang lebih tinggi menunjukkan kondisi massa batuan yang lebih baik. Kondisi massa batuan dievaluasi untuk setiap set bidang diskontinu yang ada (Bieniawski,1989). Dengan menjumlahkan semua rating dari lima parameter pada bagian A Tabel, akan diperoleh nilai RMR dasar yang belum memperhitungkan orientasi bidang diskontinu. Pengaruh dari orientasi bidang diskontinu selanjutnya diperhitungkan berdasarkan bagian B Tabel. Adjusment terhadap orientasi bidang diskontinu ini dipisahkan dalam perhitungan nilai RMR karena pengaruh dari bidang diskontinu tersebut tergantung pada aplikasi engineering-nya, seperti terowongan, chamber, lereng atau fondasi (Edelbro, 2003). Arah umum dari bidang diskontinu berupa strike dan dip, akan mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan oleh sumbu dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau sejajar strike, penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip atau berlawanan arah dengan dip dari bidang diskontinu. RMR dapat digunakan sebagai panduan memilih penyangga terowongan, seperti terlihat pada tabel. Panduan ini tergantung pada beberapa faktor seperti kedalaman lubang bukaan dari permukaan, ukuran dan bentuk terowongan serta metode penggalian yang dipakai (Bieniawski,1989) Sedangkan untuk menentukan kestabilan lubang bukaan dapat ditentukan melalui stand-up time dari nilai RMR menggunakan grafik span terhadap standup time pada gambar 3.4 (Bieniawski 1989). Bieniawski (1976) mengembangkan grafik ini berdasarkan konsep dasar stand-up time yang diperkenalkan oleh Lauffer (1958). Keakuratan dari stand-up time ini menjadi diragukan karena nilai stand-up time sangat dipengaruhi oleh metode penggalian, ketahanan terhadap pelapukan (durability), dan kondisi tegangan in situ yang merupakan parameterparameter penting yang tidak tercakup dalam metode klasifikasi RMR. Oleh karena itu, sebaiknya grafik ini digunakan hanya untuk tujuan perbandingan semata.
30
Gambar 3.4 Grafik Hubungan Antara Span, Stand-Up Time, Dan RMR (after Bieniawski, 1989 & 1993) Kelebihan dan kekurangan Klasifikasi RMR diberikan pada Tabel 3.4 dibawah ini: Tabel 3.6 Kelebihan Dan Kelemahan Metode RMR Bieniawski (Swart, A. H., 2004) Kelebihan Telah dikenal dan digunakan secara luas.
Adanya faktor koreksi terhadap orientasi kekar.
Adanya faktor koreksi terhadap pengaruh air tanah. Kondisi kekar yang digambarkan meliputi kontinuitas, separasi, kekasaran, isian, dan alterasi kekar.
Kelemahan Sangat bergantung terhadap metode penggalian yang digunakan. Rekomendasi penyangga yang diberikan hanya berlaku untuk bentuk terowongan tapal kuda dengan span maksimum 10 m dan kedalaman maksimum 900 m. Faktor koreksi terhadap orientasi kekar merupakan kategori yang kasar dan sulit ditentukan tanpa pengalaman yang luas. Pada kondisi terburuk, orientasi kekar tidak dipertimbangkan untuk mendapatkan pengaruh yang dominan pada perilaku massa batuan. Dalam praktiknya, beberapa kondisi kekar tidak dapat digambarkan secara akurat Nilai RQD ditentukan melalui persamaan yang diberikan oleh Palmström. Nilai RQD yang diberikan oleh persamaan ini bisa menghasilkan nilai yang lebih besar daripada nilai RQD yang dihitung secara aktual.
31
Kelebihan
Kelemahan
Mudah menggabungkan parameterparameter yang diukur yaitu RQD dan jarak antar kekar untuk menjelaskan frekuensi kekar ataupun ukuran blok. Kuat tekan uniaksial digunakan untuk menentukan kekuatan batuan intak. Nilai ini dapat dengan mudah ditentukan uji point load secara langsung dilapangan. Parameter-parameter penting dari massa batuan dapat ditentukan dari nilai RMR.
Metode RMR memperhitungkan frekuensi kekar dua kali, yaitu melalui RQD dan jarak antar kekar. Oleh karena itu, metode ini sangat sensitif terhadap perubahan dari spasi fraktur yang ada. Tidak memperhitungkan pengaruh dari tegangan terinduksi dalam perkiraan kestabilan lubang bukaan. Metode RMR dikembangkan dari latar belakang teknik sipil yang berbeda dengan penggalian berbentuk lombong-lombong. Metode RMR sangat tidak sensitif terhadap kuat tekan batuan intak yang merupakan parameter penting dalam perilaku teknik dari massa batuan tertentu (Pells, 2000). Metode RMR tidak dapat membedakan perbedaan grade dari material batuan yang dihadapi dengan baik (Pells, 2000). Keakuratan dari nilai stand-up time yang diberikan oleh Bieniawski diragukan sejak nilai ini sangat bergantung terhadap metode penggalian yang digunakan, durability dan tegangan in situ yang merupakan parameter penting yang tidak tercakup dalam metode RMR. Oleh karena itu, grafik tersebut hanya digunakan untuk kepentingan perbandingan semata. Tidak memperhitungkan laju pada saat batuan segar melapuk ketika tersingkap ke permukaan.
3.1.2. Rock Mass Quality (Q) System
Rock Mass Quality (Q) System atau disebut juga sebagai Tunneling Quality Index pertama kali diusulkan oleh Barton, Lien dan Lunde pada tahun 1974 di Norwegian Geotechnical Institute (NGI) sehingga disebut juga NGI Classification System. Q-System sebagai salah satu dari klasifikasi massa batuan dibuat berdasarkan studi kasus dilebih dari 200 kasus tunneling dan caverns.
32
Q-system merupakan fungsi dari enam parameter yang dinyatakan dengan persamaan berikut: Q=
RQD Jr Jw × × Jn Ja SRF
dimana, RQD : Rock Quality Designation Jn
: Joint set number
Jr
: Joint roughness number
Ja
: Joint alteration number
Jw
: Joint water reduction factor
SRF
: Stress Reduction Factor
Dalam menjelaskan keenam parameter yang dipakai untuk menghitung Q, Barton (1974) membagi enam parameter tersebut menjadi tiga bagian: •
RQD/Jn merepresentasikan struktur dari massa batuan, menunjukkan ukuran blok batuan.
•
Jr/Ja menunjukkan kekasaran (roughness) dan karakteristik geser dari permukaan bidang diskontinu atau filling material dari bidang diskontinu tersebut. Suatu bidang diskontinu dengan permukaan yang kasar dan tidak mengalami alterasi dan mengalami kontak dengan permukaan bidang lainnya, akan mempunyai kuat geser yang tinggi dan menguntungkan untuk kestabilan lubang bukaan. Adanya lapisan mineral clay pada permukaan kontak antara kedua bidang diskontinu tersebut, akan mengurangi kuat geser secara signifikan. Selanjutnya kontak
antar
permukaan
bidang
diskontinu
yang
mengalami
pergeseran juga akan mempertinggi potensi failure pada lubang bukaan. Dengan kata lain Jr/Ja menunjukkan shear strength atau kuat geser antar blok batuan. •
Jw/SRF terdiri dari dua parameter stress. Parameter Jw adalah ukuran tekanan air yang dapat mempengaruhi kuat geser dari bidang diskontinu. Sedangkan parameter SRF dapat dianggap sebagai 33
parameter total stress yang dipengaruhi oleh letak dari lubang bukaan yang dapat mereduksi kekuatan massa batuan. Secara empiris Jw/SRF mewakili active stress yang dialami batuan. Menurut Barton, dkk parameter Jn, Jr dan Ja memiliki peranan yang lebih penting dibandingkan pengaruh orientasi bidang diskontinu. Oleh karena itu dalam Q-system tidak terdapat parameter adjustment terhadap orientasi bidang diskontinu. Nilai Q yang didapat dihubungkan dengan kebutuhan penyanggan terowongan dengan menetapkan dimensi ekivalen (equivalent dimension) dari galian. Dimensi ekivalen merupakan fungsi dari ukuran dan kegunaan dari galian, didapat dengan membagi span, diameter atau tinggi dinding galian dengan harga yang disebut Excavation Support Ratio (ESR). Span atau tinggi (m) Dimensi Ekivalen = ESR Tabel 3.7 Nilai ESR Untuk Berbagai Lubang Bukaan Excavation Category
ESR
A Temporary mine openings B Permanent
mine
openings,
3–5 water
tunnels
for
hydropower
(Excluding high pressure penstocks), pilot tunnels, drifts, and 1.6
headings for large excavations C Storage rooms, water treatment plants, minor road and railway tunnels, surge chambers, access tunnels
1.3
D Power stations, major road and railway tunnels, civil defence 1
chambers, portal intersections E Underground nuclear power stations, railway stations, sports and
0.8
public facilities, factories
34
Hutchinson dan Diederichs (1996) memperkenalkan grafik hubungan antara nilai Q dan span maksimum untuk berbagai macam nilai ESR
Gambar 3.5 Grafik Hubungan Antara Nilai Q, Maksimum Span, Dan Nilai ESR Barton et al. (1980) memberikan informasi tambahan terhadap panjang rockbolt, span maksimum, dan tekanan penyangga atap untuk melengkapi rekomendasi penyangga pada publikasi yang diterbitkan tahun 1974. Panjang L dari rockbolt ditentukan dari lebar penggalian (B) dan dari nilai ESR melalui persamaan:
2 + 0,15B L= ESR
Span maksimum yang tidak disangga dapat dihitung dengan persamaan: Span maksimum (Tidak disangga) = 2 ESR Q0,4 Grimstad dan Barton (1993) memberikan hubungan antara nilai Q dengan tekanan penyangga atap permanen Proof melalui persamaan: 2(√Jn)Q-1/3 Proof = 3 Jr
35
Rekomendasi penyangga ditentukan melalui grafik yang di berikan oleh Grimstad dan Barton (1993) seperti yang ditunjukkan oleh gambar 3.6
Gambar 3.6 Grafik Penentuan Rekomendasi Penyangga Berdasarkan Q-System (After Grimstad & Barton, 1993) Kelebihan dan kelemahan dari metode Q-System diberikan pada tabel 3.8 Tabel 3.8 Kelebihan Dan Kelemahan Metode Q-System (Swart, A. H., 2004) Kelebihan Telah dikenal dan digunakan secara luas. Telah terbukti konsisten selama lebih dari 20 tahun dimana sistem dasarnya tidak berubah Deskripsi terhadap indeks untuk setiap parameter yang berbeda sangat terinci. Dalam penerapannya, Q-System berfokus pada parameter-parameter yang seringkali dilupakan pada saat tahap penyelidikan lapangan.
Kelemahan Berdasarkan persepsi dari Afrika Selatan, metode ini hanya berlaku untuk klasifikasi massa batuan untuk terowongan semata. Sulit untuk menggunakannya karena banyaknya tabel klasifikasi. Namun sistem ini sangat mudah digunakan jika sudah terbiasa menggunakannya. Pengaruh dari arah kekar tidak dipertimbangkan. Dalam kasus lombonglombong dengan span yang lebih besar dari terowongan, arah dari kekar sangat mempengaruhi kestabilan dari panel. Pada beberapa kasus, arah penggalian diubah karena pengaruh dari arah set kekar mayornya.
36
Kelebihan
Kelemahan
Mempertimbangkan pengaruh dari tegangan induksi yang diakibatkan oleh penggalian terhadap kestabilan galian.
Karena adanya pertimbangan akan pengaruh tegangan terinduksi pada metode ini, maka harus dipastikan bahwa tidak ada koreksi lanjut terhadap parameter ini.
Joint roughness dan joint alteration dianalisis secara terpisah.
Meskipun memberikan deskripsi yang rinci untuk joint roughness dan isian kekar, QSystem tidak memperhitungkan kemenerusan kekar dan separasi dari kekar. Parameterparameter ini dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap kekuatan dari kekar-kekar. Q-System mempertimbangkan kondisi dari permukaan kekar sebagai parameter penting, akibatnya massa batuan yang memiliki kekar dengan kekuatan yang rendah diklasifikasikan sebagai massa batuan yang lemah. Pada kenyataannya, permukaan kekar hanya akan mempengaruhi kekuatan massa batuan jika arah dari kekar sangat tidak menguntungkan terhadap arah penggalian. Karena Q-System tidak mempertimbangkan arah dari bidang diskontinu, maka metode ini tidak memberikan indikasi yang tepat terhadap perilaku massa batuan disekeliling tambang. Q-System memperkirakan desain penyangga untuk terowongan pada kedalaman dangkal secara non-konservatif (Pells, 2000). Q-System dikembangkan dari latar belakang teknik sipil sehingga konservatif untuk kasus lombong.
Memperhitungkan pengaruh dari air tanah
Dapat memperkirakan deformability dari massa batuan dengan mengkonversikan nilai Q ke RMR.
3.1.3. Q System dan hubungannya dengan RMR System
Beberapa ahli telah melakukan penelitian untuk mengetahui korelasi antara dua sistem klasifikasi RMR dan Q system. Korelasi ini dikembangkan di lokasi yang bermacam-macam dengan karakteristik batuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu hasil yang didapat juga berbeda-beda. Pada tabel 3.9 terdapat beberapa korelasi antara RMR dan Q serta ahli yang mengusulkannya dan daerah tempat korelasi tersebut diturunkan.
37
Tabel 3.9 Korelasi antara Geomechanics Classification (RMR) dengan Q Classification System (Choquet and Hadjigeorgiou,1993) CORRELATION
AUTHOR, YEAR
ORIGIN
COMMENTS
RMR = 13.5 log Q + 43
-
New Zealand
Tunnels
RMR = 9 ln Q + 44
Bieniawski, 1976
Diverse origin
Tunnels
RMR = 12.5 log Q + 55.2
-
Spain
Tunnels
RMR = 5 ln Q + 60.8
Cameron, 1981
S. Africa
Tunnels
RMR = 5.9 ln Q + 43
Rutledge & Preston,
-
-
1978 RMR = 43.89 - 9.19 ln Q
-
Spain
Mining soft rock
RMR = 10.5 ln Q + 41.8
Abad, 1984
Spain
Mining soft rock
RMR = 12.11 log Q + 50.81
-
Canada
Mining hard rock
RMR = 5.4 ln Q + 55.2
Moreno, 1980
-
-
RMR = 8.7 ln Q + 38
-
Canada
Tunnels, sedimentary rock
RMR = 10 ln Q + 39
-
Canada
Mining hard rock
Perbandingan nilai Q system dengan klasifikasi RMR dapat diinterpretasikan sebagai grafik seperti ditunjukkan pada gambar 3.7.
Gambar 3.7 Grafik hubungan klasifikasi RMR dan Q system (Bienawski, 1993) 38
3.2.
Shaft Shaft adalah lubang bukaan utama miring atau vertikal didalam batuan
yang bertujuan untuk menyediakan jalan masuk ke berbagai level didalam tambang bawah tanah. Shaft dapat diklasifikasikan berdasarkan : 1. Kegunaannya : Produksi, pelayanan, ventilasi, eksplorasi, jalan ke luar, dan kombinasi dari semuanya. 2. Bentuk dan ukurannya : Kecil, medium, dan besar. 3. Penyanggannya : Penyangga sementara dan penyangga tetap. 4. Metode Penggaliannya : Metode konvensional dan metoda kontinyu. 3.2.1. Shaft berdasarkan kegunaannya
Kegunaan shaft bermacam-macam, antara lain : 1. Produksi
: Pengangkutan bijih dan pengotor
2. Pelayanan
: Pengangkutan personil dan material
3. Ventilasi
: Keluar masuk aliran udara
4. Eksplorasi
: Lokalisasi dan menetukan jumlah cadangan bijih
5. Jalan ke luar
: Keselamatan kerja
6. Kombinasi dari semuanya 3.2.2. Shaft berdasarkan bentuk dan ukurannya
Bentuk utama dari shaft umumnya salah satu dari bulat, persegi, atau elips dan ukurannya : 1. Kecil : 3 – 15 m2. 2. Medium : 15 – 200 m2 3. Besar : >200 m2. 3.2.3. Shaft berdasarkan penyangganya
Penyangga yang dipasang pada struktur shaft dapat diklasifikasikan menjadi penyangga sementara dan penyangga tetap.
39
3.2.4. Shaft berdasarkan metode penggaliannya
Ada dua macam metoda penggalian yaitu metoda kontinyu dan metoda konvensional. Metoda konvensional adalah penggalian yang merupakan gabungan antara kegiatan pengeboran, peledakan, dan pengangkutan yang diikuti kegiatan penyanggaannya. Bisa digunakan untuk berbagai macam bentuk dan kemiringan. Sedangkan metoda kontinyu adalah kegiatan penggalian secara mekanis yang tidak mengalami interupsi. Metoda ini menggunakan prinsip rock cutting dengan raise boring atau shaft boring machine. Metoda ini diawali dengan pembuatan pilot hole lalu diikuti pemboran lubang besar. Semua metoda pemboran shaft kontinyu adalah berbentuk bulat, dengan berbagai metoda variasi penyanggannya. 3.2.5. Lokasi dan kemiringan Shaft
Parameter yang mempengaruhi lokasi dan kemiringan shaft adalah sebagai berikut : 1. Tata letak permukaan tambang 2. Lokasi, kemiringan, dan kemenerusan badan bijih 3. Jumlah level kerja 4. Lokasi fasilitas penanganan bijih dan waste 5. Sump 6. Keamanan dan stabilitas shaft pillar 7. Kelanjutan arah penambangan di masa datang Kemiringan badan bijih adalah faktor utama yang menentukan apakah sebuah shaft itu harus miring (incline) atau tegak. Faktor kedua adalah karakteristik kekuatan massa batuan dan batuan utuh yang akan ditembus oleh shaft. Incline shaft biasanya dibuat bila sumbu terpanjang badan bijih juga membentuk sudut terhadap garis horizontal, karena kalau memakai vertical shaft pembuatan cross cut untuk mencapai badan bijih menjadi lebih jauh dan lebih mahal.
40
Gambar 3.8 Macam-macam Shaft 3.2.
Jenis Penyangga
Jenis penyangga dapat dikelompokkan sebagai penyangga sementara dan penyangga
tetap.
Penyangga
sementara
diaplikasikan
untuk
menjamin
keselamatan kerja selama kegiatan penambangan. Penyangga tetap diaplikasikan untuk menjaga kestabilan lubang bukaan selama kurun waktu tertentu. Jenis penyangga juga dapat dikelompokkan sebagai penyangga primer dan penyangga sekunder. Penyangga primer dipasang sesaat setelah penggalian untuk menjamin keselamatan kerja bagi penggalian selanjutnya. Penyangga sekunder dipasang pada tahap yang lebih lanjut. Berdasarkan proses pembebanan, penyangga dapat dibedakan menjadi penyangga aktif dan penyangga pasif. Dikatakan penyangga aktif apabila penyangga langsung mendapatkan pembebanan setelah dipasang. Sedangkan penyangga pasif apabila penyangga tidak langsung mendapatkan pembebanan setelah dipasang. Penyangga akan mendapatkan pembebanan setelah massa batuan terdeformasi. Jenis penyangga yang dijelaskan adalah penyanggaan yang digunakan pada penelitian ini seperti baut batuan dengan pengikatan geser (friction anchored rockbolt), beton tembak (shotcrete), dan perlengkapan penunjang.
41
3.2.1. Baut Batuan dengan Pengikatan Geser (Friction Anchored Rockbolt)
Dua tipe baut batuan dengan pengikatan geser yang tersedia, yaitu split set dan swellex. Mekanisme pengikatan split set timbul dari kekuatan geser dari adanya pembebanan yang mendekati batas beban maksimum dari baut batuan, saat baut batuan akan tergelincir. Sedangkan pengikatan dari swellex ditimbulkan dari kekuatan geser pembebanan. Jenis baut batuan yang digunakan di UBPE Pongkor PT Antam,Tbk. adalahjenis split set seperti terlihat pada gambar 3.8
Gambar 3.9 Split set (Hoek and Brown, 1980) 3.2.2. Perlengkapan Penunjang
Beberapa komponen penunjang yang digunakan bersama dengan baut batuan adalah: b. Face plate Sebuah face plate dirancang untuk mendistribusikan beban pada kepala baut secara merata di sekitar batuan sekelilingnya. Jenis dan bentuk face plate dapat dilihat pada gambar 3.9. c. Mes kawat (wire mesh) Dua jenis wire mesh yang umum digunakan adalah chailink mesh dan weld mesh. Chailink mesh kuat dan fleksibel, umunya digunakan pada permukaan. Weld mesh terdiri atas kabel baja yang diatur dengan pola segiempat atau bujur sangkar dan dipatri pada ttitik perpotongannya. Weld mesh digunakan untuk memperkuat beton tembak dan lebih kaku dari chailink mesh. 42
Gambar 3.10 Face plate (Schach, 1971) 3.2.3. Beton Tembak (Shotcrete)
Beton tembak adalah salah satu jenis penyangga yang bersifat pasif. Beton tembak dihasilkan dari dua jenis proses yaitu: beton tembak campuran kering dimana campuran semennya kering dan air ditambahkan pada penyemprot (nozzle) dan beton tembak campuran basah yang pada dasarnya memiliki komponen yang sama dengan campuran kering, tetapi airnya telah dicampurkan dalam tempat pengaduk. Beton tembak campuran kering lebih sering digunakan karena peralatan yang digunakan lebih ringan dan ekonomis. Namun, beton tembak campuran basah memiliki keuntungan karena tingkat debu yang dihasilkan yang lebih rendah, tidak membutuhkan keahlian khusus, dan peralatan yang dibutuhkan lebih sedikit pada saat mengaplikasikan. Campuran beton tembak harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Shotability, yaitu kemampuan untuk melekat di atas permukaan batuan dengan kemungkinan lepas sangat kecil. 2. Kekuatan awal (early strength) harus cukup kuat untuk menyediakan penyanggaan dalam waktu kurang dari 24 jam.
43
3. Harus mampu mencapai kekuatan 28 hari dengan komposisi pemercepat
(accelerator) yang dibutuhkan untuk mendapatkan
kekuatan awal. 4. Durability, yaitu ketahanan terhadap pengaruh cuaca. 5. Ekonomis, yaitu biaya material yang rendah dan biaya minimum akibat material yang lepas. Karena beton tembak dipergunakan beberapa saat setelah penggalian, maka diperlukan kekuatan awal sehingga mampu memberikan penyangga dengan segera. Untuk itu pada campuran bahan untuk semen ditambahkan pemercepat yang mengandung garam-garam larut dalam air (water soluble salts) yang berfungsi mempercepat pengerasan. Tipe persentase pencampuran komponen kering dengan berat: Semen
15 – 20 %
Aggregate kasar
30 – 40 %
Aggregate halus/pasir
40 – 50 % 2–5 %
Accelerator
Nisbah berat air/semen untuk beton tembak campuran kering ditempatkan pada interval 0,3 - 0,5 sedangkan untuk campuran basah pada interval 0,4 - 0,6. Penambahan serat besi baja dengan panjang 50 mm dan diameter 0,4-0,8 mm dapat meningkatkan kekerasan, daya tahan, tegangan geser dan flexural beton tembak, dan untuk mengurangi formasi keretakan.
44