BAB III TEORI DASAR Bab ketiga ini memberikan penjelasan umum tentang gelombang ultrasonik seperti sifat-sifatnya, fenomena piezoelektrik dan pembangkitan ultrasonik, dan dasar-dasar pengolahan sinyal ultrasonik.
3.1. Teori Gelombang
Gelombang adalah suatu gejala yang terjadi sebagai akibat suatu gangguan pada besaran fisis tertentu serta perambatan gangguan tersebut dalam medium di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa osilasi posisi partikel, osilasi tekanan atau kerapatan massa dalam medium yang bersangkutan. Setelah gelombang selesai melewati suatu medium, maka keadaan medium akan kembali seperti semula. Berdasarkan medium perambatannya, gelombang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Gelombang mekanik, yaitu gelombang yang dapat merambat di dalam suatu medium elastik. Contoh dari jenis gelombang ini adalah gelombang bunyi, gelombang tali, dan gelombang permukaan air. 2. Gelombang nonmekanik atau gelombang elektromagnet, yaitu gelombang yang tidak memerlukan medium untuk merambat. Jadi, gelombang jenis ini dapat merambat dalam ruang hampa. Contoh dari gelombang jenis ini adalah gelombang radio (radio frequency, RF), gelombang mikro (microwave), dan gelombang cahaya.
θ
ct f(x)
f(x-ct)
Gambar 3.1. Penjalaran gelombang sepanjang sumbu x
Model matematika dari gelombang dapat diturunkan dari permisalan seperti Gambar 3.1. di atas. Dimisalkan variabel gangguan ini merupakan suatu besaran θ yang merambat di dalam suatu medium dengan kecepatan c sepanjang sumbu x sistem koordinat Kartesian seperti Gambar 3.1. di atas. Bentuk gelombang ini mirip dengan bentuk gelombang yang terjadi pada tali ketika salah satu ujungnya diberi gangguan dengan hentakan. Selama menjalar, diasumsikan baik besar maupun bentuk gelombang tidak berubah. Pada saat t = 0, maka besaran θ akan merupakan suatu fungsi dari x yang dapat dituliskan sebagai:
θ = f (x)
(3.1)
Setelah selang waktu t, gangguan akan menjalar sejauh c.t. Oleh karena diasumsikan bahwa besar dan bentuknya tidak berubah, maka besaran θ akan tetap dinyatakan oleh persamaan (2.5) dengan pusat sumbu dari sistem koordinat semula dipindahkan ke posisi x = c.t. Jadi, jika dinyatakan dalam sistem koordinat semula akan didapatkan:
θ = f ( x − ct ) Dimana:
θ
= suatu besaran gangguan pada medium
c
= kecepatan rambat gelombang
t
= waktu tempuh
(3.2)
Bila besaran θ yang dinyatakan oleh persamaan (2.6) diturunkan dua kali terhadap x dan t, maka akan diperoleh: ∂ 2θ = f ' ' ( x − ct ) ∂x 2
(3.3)
∂ 2θ = c 2 f ' ' ( x − ct ) ∂t 2
(3.4)
Maka, dari persamaan (3.3) dan (3.4) dapat diperoleh hubungan: 2 ∂ 2θ 2 ∂ u =c ∂t 2 ∂x 2
(3.5)
Persamaan diferensial yang ditunjukkan oleh persamaan (3.5) adalah persamaan dasar dari suatu gelombang. Jadi, apabila ada suatu persamaan yang memiliki bentuk seperti persamaan (2.9), maka persamaan tersebut adalah merupakan suatu bentuk gelombang. Jika θ pada persamaan (2.9) adalah perpindahan partikel suatu medium, yang disebabkan oleh adanya gaya-gaya mekanik, maka gelombang ini disebut gelombang mekanik. Sifat-sifat gelombang mekanik ini bergantung pada sifat-sifat medium yang dilaluinya sehingga gelombangnya disebut juga gelombang elastik. Apabila suatu medium elastik, maka partikel-partikel medium tersebut akan turut bergetar bersama gangguan. Gelombang yang terjadi sebagai akibat perpindahan partikel medium disebut sebagai gelombang elastik. Oleh karena itu, gelombang elastik tidak dapat merambat di ruang hampa karena gelombang elastik memerlukan medium untuk merambat. Gerak gelombang elastik dapat terjadi secara longitudinal. Artinya, getarannya searah dengan arah rambatnya sehingga disebut juga sebagai gelombang longitudinal. Ketika gelombang ini melewati suatu medium, maka kerapatan medium akan berosilasi sebagai rapatan dan regangan medium karena adanya tekanan dan gaya vibrasi dari
gelombang penyebabnya. Gelombang elastik longitudinal ini dapat terjadi pada medium padat juga cair. Gelombang ultrasonik merupakan gelombang elastik dengan frekuensi di atas 20 kHz sehingga dapat menjalar dalam medium padat secara longitudinal. Namun, karena frekuensinya di luar batas kemampuan pendengaran manusia (di atas 20 kHz), maka gelombang ultrasonik tidak dapat didengar oleh telinga manusia.
3.1.1.
Impedansi Akustik
Impedansi akustik dapat dianalogikan dengan impedansi pada listrik. Pada suatu rangkaian listrik, impedansi merupakan perbandingan antara tegangan dengan arus listrik. Sedangkan pada gelombang akustik, impedansi merupakan perbandingan antara tekanan akustik dengan kecepatan partikel, yaitu:
Z= Dimana:
p v
Z
= impedansi akustik
p
= tekanan akustik
v
= kecepatan
(3.6)
Besarnya impedansi akustik dapat dicari dengan persamaan (3.7) berikut ini: ⎛ P e − jkx + P2 e jkx Z = ρc⎜⎜ 1 − jkx + P2 e jkx ⎝ P1e
⎞ ⎟⎟ ⎠
(3.7)
Tampak dari persamaan ini bahwa impedansi merupakan bilangan kompleks. Bila yang ditinjau adalah gelombang akustik dalam arah x positif saja, maka impedansi akustik menjadi bilangan riil biasa, yaitu:
Z 0 = ρ .c
(3.8)
Besaran Z0 disebut sebagai impedansi akustik spesifik atau impedansi karakteristik medium atau bahan dengan satuan dalam SI adalah Rayls atau sama dengan kg/m2s.
Impedansi akustik memiliki peranan dalam: 1. Perhitungan pemantulan dan pembiasan pada bidang batas dua medium yang berbeda. 2. Perancangan transduser ultrasonik. 3. Perhitungan absorpsi akustik dalam sebuah medium. Akibat perbedaan impedansi ini, maka akan timbul suatu penurunan energi. Besarnya rasio energi yang terpantul dengan yang terbias antara dua medium dapat dinyatakan dalam koefisien refleksi, R, yang dapat dihitung dengan:
⎡ Z − Z1 ⎤ R=⎢ 2 ⎥ ⎣ Z 2 + Z1 ⎦
2
(3.9)
Tampak bahwa perbedaan impedansi menentukan besarnya energi yang dibiaskan dan dipantulkan di antara bidang batas dua medium berbeda. Dari persamaan (3.9) dapat dilihat bahwa jika gelombang akustik dilewatkan pada suatu batas medium yang berbeda, maka akan terjadi pengurangan energi. Sebagai contoh penerapannya, jika gelombang dilewatkan pada tumit manusia, maka energi gelombang akustik yang telah melewati tumit akan berkurang. Hal ini disebabkan gelombang telah melewati medium yang berbeda, yaitu kulit dan tulang. Besarnya pengurangan intensitas ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kesehatan tulang yang diukur.
3.1.2.
Atenuasi
Apabila suatu gelombang merambat pada suatu medium, intensitas gelombang akan berkurang seiring dengan jarak yang ditempuhnya. Hal ini disebabkan karena absorpsi dalam medium dan hamburan akibat refleksi di antara batas medium. Pengurangan karena efek absorpsi dan hamburan ini disebut atenuasi atau redaman. Nilai atenuasi akibat medium ini dalam banyak aplikasi dapat dimanfaatkan sebagai ukuran untuk pengujian suatu bahan atau medium.
Atenuasi ultrasonik merupakan laju penurunan intensitas gelombang ultrasonik ketika merambat pada suatu medium. Besar atenuasi ultrasonik dapat dihitung dengan persamaan berikut:
A = A0 .e −αd
(3.10)
1 A ln d A0
(3.11)
atau
α= Dimana:
A0
= amplituda gelombang sebelum melewati medium (Volt)
A
= amplituda gelombang setelah melewati medium (Volt)
d
= jarak tempuh gelombang dalam material (m)
α
= atenuasi (Nepers/m)
Beberapa penelitian telah memanfaatkan atenuasi untuk mengevaluasi kualitas dari suatu material. Salah satu aplikasinya adalah untuk mengevaluasi kualitas tulang.
3.1.3.
Kecepatan Gelombang
Kecepatan gelombang akustik yang merambat pada suatu medium bergantung pada rapat massa dan sifat elastisitas medium. Keadaan suatu bahan berkaitan erat dengan elastisitasnya sehingga dengan mengukur kecepatan rambat gelombang ultrasonik di dalam bahan yang bersangkutan, maka keadaan atau kualitas bahan tersebut dapat diketahui. Kecepatan rambat gelombang longitudinal dapat dihitung dengan hubungan sebagai berikut: vL =
(1 − v) ρ 0 (1 + v)(1 − 2v) E
Sedangkan kecepatan gelombang arah transversal dapat dihitung dengan:
(3.12)
vT = Dimana:
E 2 ρ 0 (1 + v)
E
= modulus Young atau elastisitas (N/m2)
V
= perbandingan Poisson
ρ0
= rapat massa (kg/m3)
vL
= kecepatan gelombang longitudinal (m/det)
vT
= kecepatan gelombang transversal (m/det)
(3.13)
Kecepatan gelombang akan berubah ketika bergerak dari suatu medium ke medium lain seperti dari udara ke bahan yang akan diuji. Pada penelitian ini, kecepatan rambat gelombang ultrasonik, v, akan digunakan sebagai salah satu parameter kesehatan tulang. Pada eksperimen kecepatan gelombang atau kemudian akan disebut sebagai speed of sound pada tulang kalkanea akan dihitung dengan hubungan:
v=
d Δt
(3.14)
Dimana: v
= kecepatan rambat gelombang ultrasonik atau speed of sound (m/s)
d
= ketebalan tumit sukarelawan (m)
∆t
= waktu tempuh atau time of flight dari gelombang dalam bahan (s)
Dari persamaan-persamaan tersebut di atas, tampak bahwa kecepatan gelombang dalam bahan bergantung pada sifat mekanik bahan tersebut. Jadi, perubahan sifat bahan mekanik bahan akan mengubah kecepatan rambat gelombang sehingga dapat diketahui sifat bahan dengan mengukur kecepatan rambat gelombang ultrasonik yang melalui bahan itu. Oleh karena itu, kecepatan gelombang ultrasonik atau speed of sound dapat digunakan untuk melakukan evaluasi kesehatan tulang karena sifatnya yang terpengaruh oleh perubahan sifat mekanik bahan.
3.2. Pembangkitan Gelombang Ultrasonik Gelombang ultrasonik merupakan gelombang akustik yang memiliki frekuensi di atas 20 kHz hingga sekitar 1 GHz. Gelombang suara atau gelombang sonik dengan frekuensi di atas 1 GHz disebut sebagai gelombang hipersonik. Frekuensi gelombang ultrasonik berada di luar batas pendengaran manusia sehingga gelombang ultrasonik tidak dapat didengar manusia. Spektrum gelombang ultrasonik untuk berbagai aplikasi dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut ini: MEDICAL IMAGING ACOUSTIC SENSORS GUIDED WAVES CAVITATION
104
105
ACOUSTIC MICROSCOPY NDT
106
107
SAW
108
109
1010
Gambar 3.2 Spektrum frekuensi gelombang suara dalam berbagai penerapan. Terdapat beberapa keunggulan pada gelombang ultrasonik sehingga dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti uji-tak merusak (non-destructive testing), pengukuran dimensi (contohnya: jarak dan volume), karakterisasi material, dan sejenisnya. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain adalah: 1. Pancaran gelombang ultrasonik lebih terarah dibandingkan gelombang sonik. Hal ini disebabkan panjang gelombang ultrasonik lebih kecil daripada gelombang sonik sehingga gelombang ultrasonik lebih mudah diarahkan meskipun dalam lingkungan yang sangat bising.
2. Gelombang ultrasonik bergerak 100.000 kali lebih lambat daripada gelombang elektromagnetik. Dengan sifat ini, maka dapat dibuat suatu cara untuk menampilkan informasi dalam waktu. 3. Gelombang ultrasonik dapat dengan mudah menembus berbagai bahan. Bahkan pada bahan yang tidak tembus cahaya.
3.2.1.
Fenomena Piezoelektrik
Kristal piezoelektrik akan mengalami deformasi jika diberi energi listrik atau tegangan listrik. Gelombang ultrasonik dapat dibangkitkan dari kristal piezoelektrik. Sebaliknya, jika kristal piezoelektrik dikenakan stress atau strain, maka akan menghasilkan energi listrik (tegangan). Oleh karena itu, memanfaatkan fenomena ini, gelombang ultrasonik dapat dibangkitkan dari kristal piezoelektrik, yaitu dengan memberikan sinyal listrik yang frekuensinya lebih dari 20 kHz (frekuensi yang berada dalam rentang ultrasonik). Kemudian, kristal piezoelektrik akan menghasilkan gelombang ultrasonik sesuai dengan frekuensi sinyal listrik yang diberikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar transduser piezoelektrik adalah perubahan energi listrik menjadi energi akustik dan sebaliknya. Kedua proses perubahan energi tersebut dapat terjadi secara bolak balik. Jika ditinjau dari kelistrikan pada piezoelektrik, polarisasi muatan per satuan luas P dinyatakan dengan: Pi = d ijk σ jk Dimana:
(3.15)
σ jk = stress yang dikenakan d ijk = jarak deformasi (dapat dinyatakan sebagai rank tensor)
Dan proses sebaliknya adalah:
ε jk = d ijk Ei Dimana:
ε jk = strain
(3.16)
Ei
= energi listrik yang dikenakan
Tensor strain piezoelektrik g ijk menyatakan hubungan dengan stress yang dikenakan pada piezoelektrik, sebagai: g=
Dimana:
d
εε 0
d
= jarak deformasi
ε0
= permitivitas ruang hampa
ε
= konstanta dielektrik
(3.17)
Koefisien kopling mekanik, κ , adalah ukuran perbandingan antara energi yang diterima transduser dengan energi hasil pengubahannya. Hubungan yang diberikan adalah:
κ 2 = gdE
(3.18)
dengan E adalah Modulus Young. Transduser pemancar yang baik memiliki nilai d yang besar. Sensitivitas transduser dapat ditingkatkan dengan memperbesar nilai g. Dalam penerapannya, baik transduser pemancar maupun penerima menggunakan jenis yang sama. Oleh karena itu, maka nilai d dan g haruslah tinggi agar menghasilkan k yang besar. Transduser merupakan bagian penting dalam sistem pengukuran ultrasonik. Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, transduser menggunakan piezoelektrik untuk mengubah sinyal listrik menjadi getaran mekanik (proses pengiriman atau
transmitter) dan mengubah getaran mekanik menjadi sinyal listrik (proses penerimaan atau sebagai receiver). Banyak faktor yang mempengaruhi sifat transduser, seperti jenis bahan, konstruksi mekanik dan listriknya, keadaan mekanik eksternal, dan beban. Beberapa parameter konstruksi mekanik itu antara lain adalah
luas permukaan pancaran, damping mekanik, wadah, jenis konektor, dan variabel fisis lainnya.
3.2.2.
Berkas Pancaran Gelombang Ultrasonik
Berkas gelombang yang dipancarkan oleh transduser ke medium ditentukan oleh diameter transduser dan panjang gelombangnya. Berkas pancaran gelombang ultrasonik sebuah transduser yang berbentuk silinder dapat dilihat pada gambar 3.4. Berkas pancaran ini terdiri dari dua zona, yaitu zona dekat (near zone) atau Fresnel
Zone dan zona jauh (far zone) atau Fraunhofer Zone. Pada daerah zona dekat, gelombang ultrasonik dapat dipandang sebagai berkas gelombang yang lurus. Jarak zona dekat ini dapat dihitung dengan hubungan:
N= Dimana:
D2 4λ
N
= jarak zona dekat
D
= diameter transduser
λ
= panjang gelombang
(3.19)
Sumber: Bahan Mata Kuliah EL 5024 Gelombang Elektromagnetik dan Ultrasonik dalam Biomedika
Gambar 3.3 Bentuk pancaran gelombang ultrasonik dari transduser piezoelektrik Pada zona jauh berkas gelombang akan menyebar membentuk sudut θ dan membentuk gelombang bola, sehingga intensitasnya akan berkurang berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya dari transduser. Sifat berkas yang menyebar di dalam zona jauh ini cocok digunakan untuk melakukan deteksi cacat di dalam suatu bahan. Besar sudut yang yang dibentuk pada zona jauh dapat dihitung dengan:
λ ⎛θ ⎞ sin ⎜ ⎟ = 1,22 D ⎝2⎠
(3.20)
Tampak dari persamaan (3.20), jika diamater transduser semakin besar, maka zona dekat akan semakin panjang dan sudut penyebaran akan semakin kecil. Demikian juga jika panjang gelombangnya pendek atau frekuensi tinggi, maka akan menghasilkan berkas yang lebih lurus dan panjang. Berkas gelombang seperti ini dapat dimanfaatkan untuk mengukur cacat yang terletak dekat permukaan bahan yang diuji.
Berkas gelombang yang keluar dari transduser tidak hanya dari sebuah titik pada permukaan saja, melainkan dari banyak titik pada seluruh permukaan elemen piezoelektrik. Transduser yang berbentuk silinder seringkali disebut sebagai transduser piston. Ini dikarenakan bentuk berkas gelombang yang keluar menyerupai silinder. Berkas bagian yang terang menandakan bahwa intensitasnya lebih besar. Jika ditinjau intensitas berkas dalam arah lateral, maka intensitas maksimum terjadi di sumbu aksialnya pada zona jauh seperti gambar 3.4.
3.2.3.
Karakteristik Transduser Piezoelektrik
Gambar 3.4 Model fisis transduser piezoelektrik. Karakteristik tranduser piezoelektrik ditentukan oleh beberapa faktor seperti bahan penyusun dan konstruksi mekanik serta sinyal listrik. Gambar 3.5 menunjukkan model struktur tranduser piezoelektrik yang tediri dari material backing, elemen aktif (piezoelektrik), dan lapisan matching layer yang keseluruhannya dikemas dalam suatu wadah logam. Masing-masing elemen ini akan menentukan karakteristik transduser. Gambar 3.5 memperlihatkan struktur sebuah transduser utrasonik komersial.
Tebal elemen piezoelektrik dibuat setengah panjang gelombang yang diinginkan. Hal ini dimaksudkan agar energi yang keluar dari piezoelektrik sebesar mungkin. Oleh karena itu, semakin tinggi frekuensi transduser, maka lapisan piezoelektrik yang harus dipasang akan semakin tipis.
Gambar 3.5 Penampang struktur dan elemen transduser ultrasonik. Di antara lapisan piezoelektrik dan wadah bagian depan dipasang bahan yang berfungsi sebagai penyesuai impedansi atau matching layer. Lapisan ini dipasang agar seluruh gelombang yang dibiaskan keluar dari lapisan matching layer memiliki fasa yang sama, baik gelombang bias akibat batas medium maupun gelombang bias akibat refleksi di dalam laisan matching layer. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, maka ketebalan bahan dibuat optimalnya adalah ¼ panjang gelombang. Pada transduser yang kontak dengan objek ukur, bahan penyesuai impedansi atau matching
layer ini dipilih dengan ketentuan nilai impedansinya ada di antara nilai impedansi elemen aktif (piezoelektrik) dan nilai impedansi baja. Material backing yang menyokong piezoelektrik menentukan karakteristik damping dan karakteristik frekuensi transduser yang bersangkutan. Jika impedansi material
backing dibuat sama dengan impedansi lapisan piezoelektrik, maka akan diperoleh
transduser dengan bandwidth yang sempit namun sensitifitas tinggi. Jika impedansi piezoelektrik dengan impedansi backing tidak sama, maka transduser akan memiliki daya tembus yang tinggi namun memiliki sensitifitas rendah. Beberapa transduser dibuat khusus untuk penggunaan tertentu saja sehingga tidak akan begitu cocok apabila digunakan untuk penggunaan lain.
Contohnya pada
deteksi kerusakan dalam logam, diperlukan transduser yang memiliki sensitifitas tinggi, sehingga harus dibuat transduser dengan nilai damping yang tinggi pula. Contoh lain, jika transduser akan digunakan untuk aplikasi yang memerlukan daya tembus besar, maka sensitifitas transduser akan rendah. Frekuensi yang tercantum pada transduser menyatakan frekuensi tengahnya. Nilai frekuensi tengah ini tergantung pada bahan backing yang digunakan. Tranduser dengan nilai damping yang tinggi akan merespon frekuensi-frekuensi di atas dan di bawah frekuensi tengahnya (bandwidth lebih lebar). Transduser dengan nilai damping kecil akan memiliki rentang frekuensi yang lebih sempit dan daya tembus yang lebih kuat. Frekuensi tengah juga menyatakan kemampuan transduser. Transduser dengan frekuensi rendah (0,5 MHz – 2,25 MHz) akan memiliki energi dan daya tembus yang lebih besar, sedangkan transduser dengan frekuensi tinggi (15 MHz – 25 MHz) daya tembusnya kecil, namun sensitifitasnya lebih besar terhadap batas medium. Pada penelitian ini, transduser akan digunakan untuk membangkitkan gelombang ultrasonik yang akan dilewatkan pada tumit manusia. Tulang kalkanea atau tulang tumit termasuk bahan padatan sehingga akan memiliki atenuasi yang lebih tinggi dibanding gas dan cairan. Sehingga transduser yang dipilih harus memiliki daya tembus yang tinggi. Transduser yang umum digunakan untuk melakukan pengukuran pada tulang adalah transduser yang memiliki frekuensi dalam rentang 500 kHz sampai 2,25 MHz. Dalam penelitian ini akan digunakan transduser dengan frekuensi tengah 1 MHz.
3.3. Pengolahan Sinyal Ultrasonik Pengolahan sinyal digunakan untuk mengungkapkan informasi yang terkandung dalam data sinyal ultrasonik. Apabila sinyal ultrasonik diukur dengan menggunakan osiloskop, osiloskop akan menampilkan sinyal ultrasonik dalam domain waktu dengan sumbu vertikal menyatakan amplituda sinyal dan sumbu horizontal menyatakan waktu. Pengukuran dengan osiloskop saja cukup memadai untuk mengetahui informasi pada sinyal-sinyal sederhana. Namun, untuk sinyal-sinyal yang lebih kompleks, misalnya untuk sinyal yang memiliki lebih dari satu komponen frekuensi, sangat sulit untuk melakukan analisa dalam domain waktu. Apabila dibutuhkan untuk mengetahui informasi berkait dengan frekuensi-frekuensi yang terdapat dalam sinyal, maka harus dilakukan transformasi sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi. Pada domain frekuensi, sumbu vertikal menyatakan daya sinyal dan sumbu horizontal menyatakan frekuensi. Transformasi ini disebut pula dengan spektral daya sinyal. Spektral daya menunjukkan berapa banyak energi sinyal yang terkandung sebagai fungsi dari frekuensi. Untuk sinyal yang sederhana seperti gelombang sinus tunggal, spektral daya tidak memberikan informasi tambahan. Namun, untuk sinyal-sinyal yang kompleks seperti sinyal respon transduser dengan bandwidth lebar, spektral daya akan memberian lebih banyak informasi. Teori Transformasi Fourier menyebutkan bahwa bentuk gelombang kompleks periodik dapat diuraikan menjadi kumpulan gelombang sinus dengan amplituda, frekuensi, dan fasa yang berbeda-beda. Proses penguraian ini dinamakan Analisis Fourier atau Analisis Frekuensi, dan hasilnya adalah kumpulan amplituda, frekuensi, dan fasa untuk setiap sinus yang membentuk gelombang kompleks tersebut. Dengan menjumlahkan kembali sinus-sinus ini, maka bentuk gelombang asli akan didapatkan
kembali. Grafik frekuensi atau fasa setiap sinus terhadap amplituda dinamakan spektrum.
3.3.1.
Representasi Sinyal Diskrit dan Teorema Sampling
Sinyal ultrasonik yang diterima oleh transduser penerima atau receiver merupakan sinyal kontinyu. Sinyal tersebut mengandung informasi tentang kondisi medium atau bahan yang telah dilaluinya. Untuk melakukan ekstraksi atau mendapatkan informasi dari sinyal ultrasonik tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pengolahan sinyal secara digital oleh komputer. Agar pengolahan sinyal secara digital tersebut dapat dilakukan, sinyal kontinyu tersebut harus diubah menjadi sinyal diskrit atau sinyal digital. Terdapat banyak keuntungan jika melakukan pengolahan sinyal secara digital. Keuntungan tersebut antara lain adalah sinyal dapat direkam dan selanjutnya dapat dilakukan analisis spektral dalam domain frekuensi. Proses digitalisasi ini meliputi proses sampling sinyal kontinyu menjadi sinyal diskrit. Berikut ini adalah teori tentang hubungan antara sinyal kontinyu dalam domain waktu dengan sinyal diskrit. Sinyal hasil proses sampling dengan interval sampling ∆T secara matematis dapat dinyatakan sebagai: x s (τ ) = x c (τ ) τ = kΔT
Dimana:
(3.21)
xs (τ ) adalah sinyal diskrit dalam domain waktu hasil sampling xc (τ ) adalah sinyal kontinyu dalam domain waktu sebelum di-sampling
Jika diasumsikan bahwa sampler adalah ideal, maka:
xs (τ ) = xc (τ ) p(τ )
(3.22)
dengan p(τ ) adalah sampler untuk melakukan digitalisasi sinyal kontinyu dengan fungsi sebagai berikut:
p(τ ) =
∞
∑ δ (τ − kΔT )
(3.23)
k = −∞
Pada domain frekuensi hubungan antara sinyal dengan sampler merupakan hubungan konvolusi sebagai berikut:
X s (ω ) =
1 [X (ω ) * P(ω )] 2π
(3.24)
Transformasi Fourier suatu deretan impulse periodik adalah juga deretan impulse (dalam domain frekuensi) dengan frekuensi sampling ωs, dimana:
P(ω ) =
2π ΔT
∞
∑ δ (ω − kω )
k = −∞
(3.25)
s
Dengan demikian spektral sinyal diskrit dalam domain frekuensi menjadi: X s (ω ) =
1 [X (ω ) * P(ω )] = 1 2π ΔT
∞
∑ X (ω − kω )
k = −∞
s
(3.26)
Jadi, X s (ω ) adalah suatu fungsi periodik yang merupakan replika yang tergeser dari spektrum sinyal kontinyu, X (ω ) yang magnitudonya terskala dengan faktor 1/∆T. Jika xc (τ ) diasumsikan merupakan sinyal dengan bandwidth tertentu dengan hubungan:
⎧1 X c (ω ) = ⎨ ⎩0
ω ≤ ωB ω > ωB
(3.27)
Maka, terdapat beberapa keadaan berdasarkan hubungan antara nilai ωs dan ωB:
⎧ω ≤ ωB (atauωB < ωs − ωB ) ω=⎨ ⎩ω > ωB (atauωB > ωs − ωB )
(3.28)
Aliasing terjadi karena frekuensi sampling yang lebih kecil daripada frekuensi Nyquist-nya. Jika xc (τ ) merupakan sinyal dengan bandwidth tertentu dengan X (ω ) = 0 untuk
ω > ω B . Maka, xc (τ ) ditentukan oleh sampelnya xc (kΔT ) jika memenuhi frekuensi sampling ω s sebesar:
ω s > 2ω B
(3.29)
dimana:
ωs =
2π ΔT
xc (τ ) =
(3.30) ∞
∑ x (kΔT )
k = −∞
c
sin ω B (τ − kΔT ) ω B (τ − kΔT )
(3.31)
dan frekuensi Nyquist dinyatakan sebagai:
f NYQUIST =
fs 2
(3.32)
Jika sinyal di-sampling tidak berdasarkan teorema sampling sehingga terjadi aliasing, maka frekuensi alias-nya dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut:
f alias = 2kf NYQUIST ± f true untuk k ≥ 1
3.3.2.
(3.33)
Transformasi Fourier Diskrit
Transformasi Fourier Diskrit (DFT) digunakan untuk menghitung spektral sinyal diskrit. Hubungan DFT dengan invers-nya dapat dihitung dengan hubungan sebagai berikut: M −1
X (Ω m ) = DFT [x(t )] = ∑ x(t )e − jΩ mt
(3.34)
t =0
x(t ) = IDFT [ X (Ω m )] =
1 M
M −1
∑ X (Ω
m =0
m
)e jΩmt
(3.35)
untuk sinyal periodik x(t ) dengan frekuensi diskrit Ω m = 2πm / M . Lebih lengkapnya hubungan DFT dan inversnya dapat dinyatakan dengan hubungan berikut: M −1
X (Ω m ) = X (e jΩm ) = X (e j ( 2π / M ) m ) = ∑ x(t )e − j ( 2π / M ) mt
(3.36)
t =0
dan
x(t ) =
1 M
M −1
∑ X (e
j ( 2π / M ) m
)e j ( 2π / M ) mt
(3.37)
m =0
Berdasarkan sifat DFT X (Ω m ) juga merupakan fungsi periodik dengan periode M. Jadi, DFT digunakan untuk periodik, namun DFT dapat juga digunakan untuk sinyal aperiodik dengan panjang terbatas, dengan menganggap bahwa sinyal tersebut merupakan sinyal periodik x p (t ) dengan satu periode. ⎧ x p (t ) 0 ≤ t ≤ M − 1 x(t ) = ⎨ selain t ⎩0
(3.38)
Jadi, koefisien DFT X (Ω m ) secara unik menyatakan sinyal aperiodik tersebut. Pada kenyataannya, umumnya sinyal yang dihadapi adalah sinyal kontinyu atau analog. Melalui teorema sampling, sinyal-sinyal tersebut dapat direkonstruksi menjadi sinyal kontinyu kembali dari data digitalnya atau dari sampelnya. Berikut ini merupakan beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menggunakan DFT: 1. Sinyal kontinyu [xc (τ ), X c (ω )] 2. Impulse sampler [ p (τ ), P(ω )]
3. Proses sampling [x s (τ ), X s (ω )] 4. Window [w(τ ),W (ω )] 5. Data dengan window [x w (τ ), X w (ω )] 6. Frekuensi sampler [ f (τ ), F (ω )]
7. Frekuensi sampling [x(τ ), X (Ω m )] Jika suatu sinyal kontinyu sembarang di-sampling dengan sampler ideal, maka besar magnitudo spektral akan terskala dengan faktor 2π / ΔT dan komponen frekuensinya akan terletak di perkalian bilangan bulat frekuensi sampling ω s . Proses sampling merupakan operasi perkalian atau modulasi antara sinyal dengan sampler. Sinyal hasil operasi ini adalah periodik. Sedangkan spektrum hasil dari proses ini adalah:
X s (ω ) =
1 ΔT
∞
∑ X (ω − kω ) s
k = −∞
(3.39)
Sinyal rekaman hasil sampling panjangnya terbatas (dengan panjang Td). Hal ini juga berarti bahwa sinyal pada domain waktu dikalikan dengan window persegi. Transformasi Fourier window persegi kontinyu merupakan fungsi sinc seperti berikut: W (ω ) = Td e − j (ωTd / 2 )
sin(ωTd / 2) ωTd / 2
(3.40)
Perkalian fungsi ini di domain waktu merupakan perkalian konvolusi di domain frekuensi. Spektrumnya dinyatakan dengan: X w (ω ) = X s (ω ) *W (ω )
(3.41)
Proses windowing ini menghasilkan “leakage” yang disebabkan oleh fungsi sinc yang durasinya terbatas. Fungsi sinc yang durasinya terbatas akan menyebabkan sidelobe. Semakin pendek data window, maka lebar sidelobe-nya akan semakin lebar (hal ini tidak diharapkan). Akibat spectral leakage, daya sinyal tidak terkumpul pada frekuensinya tetapi tersebat ke seluruh rentang frekuensi spektral. Untuk mengurangi leakage, dapat dilakukan dengan memilih window yang memiliki sidelobe yang lebih kecil daripada window persegi. Namun, terdapat konsekuensi dari mengurangi leakage, yaitu resolusi frekuensi akan turun.
Karena DFT adalah fungsi spektral diskrit, maka DFT dapat dinyatakan dengan melakukan sampling di domain frekuensi dengan sampler ideal sebagai berikut: F (ω ) = ∑ δ (ω − mω d ) dengan ω d = m
2π Td
(3.42)
Operasi sampling dalam domain frekuensi merupakan operasi perkalian dalam domain waktu. Sebaliknya, operasi konvolusi dalam domain waktu merupakan perkalian dalam domain frekuensinya. Hasil spektrum dinyatakan dengan: X (Ω m ) = X w (ω ) F (ω ) yang menyatakan DFT
[xc (τ )] .
(3.43)
Jadi, DFT sinyal kontinyu akan menghasilkan
beberapa aspek aproksimasi (periodisitas, truncation, leakage, dan lain-lain) yang menyebabkan beberapa hal seperti ripple dan aliasing. Resolusi frekuensi, Δf , adalah kemampuan membedakan frekuensi. Resolusi merupakan performansi estimator spektral. Untuk dapat membedakan dua sinusoid yang frekuensinya sedikit berbeda, maka selisih frekuensi sinyal haruslah lebih besar daripada lebar mainlobe. Δf = ( f1 − f 2 ) >
fs N
(3.44)