BAB II DASAR TEORI
BAB II DASAR TEORI
Eskavasi terbuka adalah memindahkan suatu massa dari material tanah (soil) ataupun batuan (rocks) dengan tujuan untuk memudahkan pembuatan konstruksi yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam usaha untuk mencapai tujuan di atas, suatu studi terperinci mengenai karakteristik tanah dan/atau batuan serta pengaruh kondisi geologi sekitar sangatlah diperlukan. Kondisi geologi yang ada di lapangan sangat berpengaruh terhadap kecepatan penggalian dan metoda eskavasi yang digunakan. Informasi geologi yang didapat merupakan suatu parameter yang dapat menentukan tingkat kestabilan dan sebagai referensi untuk pemilihan desain perkuatan lereng tersebut.
2.1
Analisis Kestabilan Lereng Batuan
Secara umum perpaduan orientasi diskontinuitas batuan akan membentuk tiga tipe longsoran/keruntuhan utama pada batuan (Gambar 2.1), yaitu : -
Keruntuhan geser planar (plane sliding failure)
-
Keruntuhan geser baji (wedge sliding failure)
-
Keruntuhan jungkiran (toppling failure)
Namun demikian, seringkali tipe keruntuhan yang ada merupakan gabungan dari beberapa keruntuhan utama sehingga seakan-akan membentuk suatu tipe keruntuhan yang tidak beraturan (raveling failure) atau seringkali disebut sebagai tipe keruntuhan kompleks.
Untuk mengetahui adanya potensi tipe keruntuhan pada suatu aktivitas pemotongan lereng batuan, perlu dilakukan pemetaan orientasi diskontinuitas yang dilakukan, baik sebelum maupun sesudah lereng batuan tersebut tersingkap. Sementara itu, metode analitik untuk memprediksi potensi keruntuhan batuan dan cara penanggulangannya seringkali tidak efektif (Maerz, 2000). Oleh karena itu, penggunaan desain empiris dan klasifikasi massa batuan menjadi penting (Franklin dan Maerz, 1996). Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
8
BAB II DASAR TEORI
Keruntuhan planar
Keruntuhan baji
Keruntuhan jungkiran
Gambar 2.1. Tipe keruntuhan utama pada batuan.
2.2
Klasifikasi Massa Batuan untuk Evaluasi Kestabilan Lereng
Desain empiris (empirical design) merupakan salah satu metodologi desain yang tidak menggunakan metode desain formal (yang pada umumnya menggunakan perhitungan atau persamaan analitis), namun lebih mendasarkan pada pengalaman kumulatif dari berbagai hasil penelitian terdahulu.
Sementara itu dalam kaitannya dengan rekayasa batuan, klasifikasi massa batuan (rock mass classification) berarti mengumpulkan data dan mengklasifikasikan singkapan batuan berdasarkan parameter-parameter yang telah diyakini dapat mencerminkan perilaku massa batuan tersebut. Salah satu contoh skema klasifikasi yang cukup populer dan yang telah memasukan elemen desain di dalamnya yaitu rock mass rating (RMR) atau geomechanics classification system (Bieniawski, 1984). Selain itu, terdapat juga beberapa sistem klasifikasi massa batuan yang dirancang khusus untuk lereng, misalnya sistem slope mass rating (SMR) yang dikemukakan oleh Romana (1985). Sistem ini mendasarkan pada hasil RMR dengan memberikan beberapa penyesuaian.
2.2.1 Klasifikasi Sistem RMR (Geomechanics Classification System) Klasifikasi geomekanika diusulkan oleh Bieniawski pada tahun 1984. Dalam menggunakan klasifikasi geomekanika, massa batuan dibagi menjadi beberapa kelompok daerah yang didasarkan kesamaan sifat dan karakteristik. Meskipun massa batuan bersifat diskontinuitas secara alamiah, namun pada setiap kelompok daerah yang telah dibagi akan memiliki kesamaan, seperti misalnya tipe batuan yang sama atau jarak spasi antar bidang diskontinuitas yang relatif sama. Setelah kelompok Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
9
BAB II DASAR TEORI
daerah ditentukan maka selanjutnya dicari parameter-parameter klasifikasi pada setiap kelompok daerah dengan melakukan pengukuran lapangan.
Di dalam klasifikasi ini, lima parameter dasar diukur atau diestimasi secara langsung di lapangan, meliputi : a. Kuat tekan uniaksial material batuan (intact rock) b. RQD (rock quality designation) c. Spasi diskontinuitas d. Kondisi diskontinuitas e. Kondisi keairan/airtanah
Setelah parameter-parameter klasifikasi diperoleh, kemudian dihitung rating dari massa batuan dengan menggunakan rock mass rating system (Tabel 2.1). Penjabaran lebih detail mengenai parameter kondisi diskontinuitas diberikan pada Tabel 2.2 yang mengikutsertakan karakteristik diskontinuitas secara lebih menyeluruh. Kemudian diberikan Tabel 2.3 sebagai suatu pembagian massa batuan berdasarkan total nilai pembobotan yang secara langsung didapatkan dari Tabel 2.1. Lebih lanjut lagi, Tabel 2.4 diberikan dengan tujuan untuk memaparkan setiap kelas massa batuan agar memudahkan pengaplikasian dalam hal kerekayasaan berdasarkan kelas massa batuan tersebut. Gambar 2.3 sampai 2.5 merupakan grafik yang digunakan untuk menginterpolasi nilai pembobotan untuk parameter kekuatan batuan (intact rock), RQD, dan spasi bidang diskontinuitas. Sementara itu, Gambar 2.6 memperlihatkan hubungan antara spasi bidang diskontinuitas dengan nilai RQD.
Hasil akhir penilaian RMR kemudian dapat digunakan untuk mendeterminasi kemampuan lereng akan stabil tanpa diberi perkuatan dan memilih jenis perkuatan yang dibutuhkan.
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
10
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.2. Grafik perbandingan nilai rating untuk setiap parameter kekuatan intact rock.
Gambar 2.3. Grafik perbandingan nilai rating untuk setiap spasi bidang diskontinuitas.
Gambar 2.4. Grafik perbandingan nilai rating terhadap nilai RQD.
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
11
BAB II DASAR TEORI
Tabel 2.1. Parameter-parameter klasifikasi RMR dan nilai-nilai pembobotannya. Parameter 1
Strength of intact rock material
Ranges of values
Point load strength index (MPa)
> 10
4 – 10
2–4
1–2
Uniaxial compressive strength (MPa)
> 250
100 – 250
50 – 100
25 – 50
5 – 25
15
12
7
4
2
Rating
For this low range, uniaxial compressive test is preferred 1–5 1
2
Drill core quality RQD (%) Rating
90 – 100 20
75 – 90 17
50 – 75 13
25 – 50 8
3 4
Spacing of discontinuities Rating Condition of discontinuities
>2m 20 Very rough surfaces Not continuous No separation Unweathered wall rock
0,6 – 2 m 15 Slighlty rough surface Separation < 1 mm Slightly weathered walls
200 – 600 mm 10 Slighlty rough surface Separation < 1 mm Highly weathered walls
30
25
20
60 – 200 mm 8 Slickensided surfaces or Gouge < 5 mm thick or Separation 1 – 5 mm Continuous 10
5
Groundwater
None
< 10
10 – 25
25 – 125
> 125
or
or
or
or
or
0
< 0,1
0,1 – 0,2
0,2 – 0,5
> 0,5
or
or
or
or
or
Completely dry 15
Damp 10
Wet 7
Dripping 4
Flowing 0
Rating Inflow per 10 m tunnel length (L min-1) Joint water pressure Ratio Major principal stress General conditions Rating
<1 0
< 25 3 < 60 mm 5 Soft gouge > 5 mm thick or Separation > 5 mm Continuous
0
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
12
BAB II DASAR TEORI
Tabel 2.2. Pembobotan setiap karakteristik diskontinuitas untuk parameter kondisi diskontinuitas. Parameter Discontinuity length (persistence/continuity) Separation (aperture) Roughness
Ratings <1m
1–3m
3 – 10 m
10 – 20 m
6 None 6 Very rough 6
2 < 0,1 mm 5 Rough 5
4 0,1 – 1,0 mm 4 Slightly rough 3
1 1 – 5 mm 1 Smooth 1
None 6 Unweathered
< 5 mm 4 Slightly weathered 5
Hard filling Infilling (gouge) Weathering
6
> 5 mm 2 Moderately weathered 3
> 20 m
0 > 5 mm 0 Slickensided 0 Soft filling < 5 mm > 5 mm 2 0 Highly Decomposed weatehered 1 0
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
13
BAB II DASAR TEORI
Tabel 2.3. Pengklasifikasian massa batuan dari total nilai pembobotan. 80 – 61 II Good rock
100 – 81 I Very good rock
Rating Class Description
60 – 41 III Fair rock
40 – 21 IV Poor rock
< 20 V Very poor rock
Tabel 2.4. Deskripsi terkait dari setiap kelas massa batuan. Class
I
II
III
IV
V
Average stand-up time Cohesion of the rock mass (kPa) Friction angle of the rock mass (deg)
20 y for 15 m span > 400 > 45
1 y for 10 m span 300 – 400 35 – 45
1 week for 5 m span 200 – 300 25 – 35
10 h for 2,5 m span 100 – 200 15 - 25
30 min for 1 m span < 100 < 15
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
14
BAB II DASAR TEORI
2.2.2 Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) Romana (1985) telah memodifikasi sistem klasifikasi RMR untuk menentukan kestabilan lereng dengan sistem klasifikasi SMR. Romana (1985) menambahkan faktor penyesuai seperti orientasi bidang diskontinuitas dan metoda eskavasi lereng. Faktor penyesuaian untuk orientasi bidang diskontinuitas lebih memberikan gambaran yang lebih spesifik tentang bagaimana menentukan sifat menguntungkan atau tidaknya orientasi bidang diskontinuitas terhadap orientasi lereng (favourability of discontinuity orientation), hal tersebut tidak dijelaskan secara lengkap pada sistem klasifikasi RMR (Bieniawski, 1984). Pendekatan ini sangat cocok untuk penilaian awal kestabilan lereng batuan, termasuk batuan lunak atapun massa batuan yang sangat terkekarkan (heavily jointed rock mass).
Nilai SMR diperoleh dari perhitungan bobot menurut klasifikasi RMR dan faktorfaktor penyesuaian F1, F2, F3, dan F4.
SMR = RMRbasic + ( F1 ⋅ F2 ⋅ F3 ) + F4 dengan, §
F1 bergantung kepada perbedaan besar sudut antara jurus bidang diskontinuitas ( α j ) dengan jurus dari permukaan lereng ( α s ), memiliki kisaran nilai 1,0 (jika
α j dan α s mendekati paralel) sampai 0,15 (jika sudut antara α j dan α s lebih dari 30º dan kemungkinan terjadinya keruntuhan sangat kecil).
[
]
F1 = 1 − sin (α s − α j ) §
2
F2 merupakan harga tangensial sudut kemiringan bidang diskontinuitas, dengan β j adalah sudut kemiringan diskontinuitas. Nilai F2 berkisar 1,00 (apabila sudut
kemiringan bidang diskontinuitas lebih dari 45º) sampai 0,15 (untuk β j kurang dari 20º). Untuk jenis longsoran jungkiran (toppling failure) nilai F2 berkisar 1,00. F2 = tan 2 β j
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
15
BAB II DASAR TEORI
§
F3 mencerminkan hubungan antara permukaan lereng dan kemiringan bidang diskontinuitas. Dalam tipe longsoran planar (planar sliding failure),
F3
berhubungan dengan kemungkinan terjadinya bidang luncur bebas (“day light”) ke arah permukaan lereng. §
F4 merupakan faktor penyelarasan yang berkaitan dengan metode eskavasi.
Besarnya bobot F1, F2, F3 diberikan pada Tabel 2.5 sedangkan F4 pada Tabel 2.6.
Setelah niai SMR diperoleh, maka nilai tersebut akan berada dalam salah satu kelas dengan nilai bobot tertentu. Tabel 2.7 mendeskripsikan setiap kelas pada sistem klasifikasi SMR.
Tabel 2.5. Penyesuaian pembobotan untuk diskontinuitas Case j – s| |( j – s) – 180º| F1
P T P/T
|
P P T
j
F2 F2
P T P/T
j
–
s
j
+
s
F3
Very favorable
Favorable
Fair
Unfavorable
Very unfavorable
> 30º
30 – 20º
20 – 10º
10 – 5º
< 5º
0,15
0,40
0,70
0,85
1,00
< 20º 0,15 1
20 – 30º 0,40 1
30 – 35º 0,70 1
35 – 45º 0,85 1
> 45º 1,00 1
> 10º < 110º 0
10 – 0º 110 – 120º -6
0º > 120º -25
0 – (-10º)
< -10º
-50
-60
P = keruntuhan bidang (plane failure) T = keruntuhan jungkiran (toppling failure)
j
= joint dip direction slope dip direction
s=
j s
= joint dip = slope dip
Tabel 2.6. Penyesuaian pembobotan untuk metoda ekskavasi lereng Method
Natural slope
Presplitting
Smooth blasting
Blasting or mechanical
Deficient blasting
F4
+15
+10
+8
0
-8
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
16
BAB II DASAR TEORI
Tabel 2.7. Deskripsi untuk setiap kelas SMR (Romana, 1985)
2.3
Class
SMR
Description
Stability
Failure
Support
I
81 – 100
Very good
Completely stable
None
None
II
61 – 80
Good
Stable
Some blocks
Occasional
III
41 – 60
Normal
Partially stable
Some joints or many wedges
Systematic
IV
21 – 40
Bad
Unstable
Planar or big wedges
Important/ corrective
V
0 – 20
Very bad
Completely unstable
Big planar or soil-like
Reexcavation
Analisis Kinematika untuk Evaluasi Kestabilan Lereng Batuan
Berbagai jenis longsoran lereng (slope failure) berhubungan dengan struktur-struktur geologi yang mengakibatkan adanya suatu diskontinuitas pada suatu massa batuan. Salah satu metode yang seringkali digunakan untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi bidang diskontinuitas pada singkapan lereng batuan yaitu metoda scan line (Hudson dan Harrison, 1997).
Dalam kaitannya dengan usaha pemetaan diskontinuitas batuan, scan line sampling harus dilakukan secara sistematik pada seluruh singkapan batuan yang ada. Parameter yang diukur di lapangan adalah panjang lintasan scan line (L), jumlah diskontinuitas (N) dalam lintasan pengukuran, dan kedudukan bidang-bidang diskontinuitas. Dengan demikian, maka frekuensi dikontinuitas ( λ ) dapat dinyatakan sebagai : λ=
N L
dan rata-rata spasi diskontinuitas ( x ) adalah : x=
L N
Dalam memperhitungkan stabilitas lereng batuan, data kedudukan bidang-bidang diskontinuitas hasil pengukuran scan line sampling digambarkan di dalam stereoplot. Pada umumnya, jika data struktur geologi tersebut telah diplot, beberapa konsentrasi kutub yang signifikan dapat hadir di dalam stereoplot (Gambar 2.2). Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
17
BAB II DASAR TEORI
Gambar 2.5. Penggambaran kutub bidang-bidang struktur pada umumnya memperlihatkan konsentrasi kutub, misalnya kutub A dan B.
Adalah sangat berguna untuk dapat memilah antara bidang-bidang yang berpotensi mengalami keruntuhan, dengan bidang-bidang yang kemungkinan tidak akan terlibat di dalam longsoran.
Faktor
kinematik
lereng
dikatakan
memenuhi
syarat
untuk menyebabkan
ketidakstabilan apabila pada lereng terdapat ruang bagi blok massa batuan untuk bergerak pada bidang gelincirnya menuju ruang tersebut (Hoek dan Bray, 1981).
2.3.1 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Geser Planar (Plane Failure) Longsoran bidang (plane failure) adalah bentuk longsoran yang paling mudah untuk diidentifikasi dan dianalisis. Longsoran bidang dapat terjadi dengan bidang gelincir tunggal ataupun set bidang gelincir. Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan keruntuhan tipe ini adalah : -
kemiringan lereng ( s) lebih besar daripada kemiringan bidang gelincir ( j)
-
jejak bagian bawah bidang diskontinuitas yang menjadi bidang gelincir harus muncul di muka lereng.
-
bidang gelincir memiliki jurus ( α j ) yang sejajar atau hampir sejajar (maksimal 20º) dengan jurus permukaan lereng ( α s ).
-
Kemiringan bidang gelincir ( j) lebih besar daripada sudut geser dalamnya.
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
18
BAB II DASAR TEORI
2.3.2 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Geser Baji (Wedge Failure) Berbeda dengan keruntuhan geser planar, keruntuhan geser baji akan terjadi bila ada dua bidang diskontinuitas atau lebih berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng. Persyaratan lain yang harus terpenuhi di antaranya adalah : -
arah garis perpotongan (trend) kedua bidang diskontinuitas harus mendekati arah kemiringan muka lereng.
-
sudut lereng lebih besar daripada sudut garis potong kedua bidang diskontinuitas
-
garis perpotongan kedua bidang diskontinuitas harus menembus permukaan lereng.
-
plunge dari garis perpotongan kedua bidang diskontinuitas lebih besar daripada sudut geser dalamnya.
Uji Markland (Hoek dan Bray, 1981) dilakukan untuk menentukan kemungkinan terjadinya keruntuhan geser baji (wedge sliding failure), dengan arah luncuran terjadi pada penunjaman garis perpotongan antara dua buah bidang diskontinu planar (Gambar 2.3B). Uji ini juga mencakup longsoran bidang yang merupakan kasus khusus dari longsoran baji (Gambar 2.3C). Pada longsoran baji, jika kontak pada kedua bidang tetap terjadi, luncuran hanya dapat terjadi pada arah penunjaman garis perpotongan.
2.3.3 Analisis Kinematika dari Keruntuhan Jungkiran (Toppling Failure) Keruntuhan jungkiran umumnya terjadi pada massa batuan yang kemiringan bidangbidang diskontinuitasnya berlawanan arah dengan kemiringan lereng. Bidang-bidang diskontinuitas tersebut membentuk kolom-kolom yang akan mengguling bila bidang diskontinuitas yang menghubungkan antar kolom menggelincir.
Analisis keruntuhan jungkiran lebih rumit bila dibandingkan dengan bentuk keruntuhan planar dan baji. Karena interaksi antar kolom-kolom yang mengguling secara simultan serta gaya-gaya geser yang terjadi antar kolom harus diperhatikan. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan keruntuhan tipe jungkiran adalah :
Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
19
BAB II DASAR TEORI
-
jurus dari bidang diskontinuitas harus paralel atau mendekati paralel dengan jurus permukaan lereng (perbedaan arah maksimal 20º).
-
sudut kemiringan bidang diskontinuitas harus sama besar dengan kemiringan permukaan lereng.
-
plunge dari bidang gelincir harus lebih kecil dari kemiringan permukaan lereng dikurangi sudut geser dalam dari bidang gelincir tersebut (Goodman, 1980).
a. Keruntuhan planar
b. Keruntuhan baji
c. Keruntuhan jungkiran
Gambar 2.6. Model stereoplot kondisi struktur yang dapat menyebabkan jenis-jenis longsoran utama pada batuan (Hoek, 2000). Analisis Kestabilan Lereng Batuan dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan; Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
20