BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD TAQÎ MISBÂH YAZDÎ
A. Riwayat Hidup Nama lengkapnya Muhammad Taqî Misbâh Yazdî yang dilahirkan di kota Yazd, Iran pada tanggal 11 Brahman tahun 1313 HS,1 bertepatan dengan 17 Rabiul Awwal 1353 HQ /1934 M, dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayah dan ibunya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan, mereka mendiami rumah warisan dari neneknya. Demi kelangsungan hidup keluarga, maka setiap hari ibunya menyulam kaus kaki kemudian dijual oleh ayahnya disebuah toko yang kecil. Usaha ini tentu tidak memberikan pemasukan yang sangat berarti. Kerena itulah, ayahnya terpaksa meminjam sejumlah uang agar bisa melanjutkan roda pekerjaannya kembali dan membiayai pendidikan Misbâh Yazdî. Dalam kondisi seperti itu keluarga Misbâh Yazdî tetap memprioritaskan pendidikan anaknya. Misbâh Yazdî menyelesaikan pendidikan dasar di kota kelahirannya, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Hawzah 2 Ilmiyah
1
Masyarakat Iran menggunakan kalender Hijriyah Syamsiyyah sebagai sistem penanggalan. 2 Hawzah secara bahasa berarti teritori. Di lingkungan Syiah, Hawzah berarti wilayah yang dijadikan pusat-pusat pembelajaran studi-studi keislaman, seperti Najaf dan Karbala (Irak), Qum dan Marsyad (Iran). Pada awalnya, filsafat sebagai sebuah disiplin intelektual mulai dilirik dan mendapat perhatian sejumlah pemikir yang berasal dari luar Iran khususnya, ketika Mullâ Hosain-Qali Hamadani mulai mengajarkan filsafat Mullâ Shadrâ kepada murid-muridnya di Karbala. Tepatnya lagi saat Mullâ Sabzawari memindahkan pengajaran filsafat dari kawasan Sabzawar ke Najaf. Pada tahun 1499 M berdirilah kerajaan Safawi yang bertahan sampai sekitar 200 tahun. Selama periode Safawi inilah berkembang berbagai aliran pemikiran dalam matriks mazhab Syiah. Filsafat menjadi salah satu disiplin pemikiran yang paling berkembang pesat. Sejak itu, filsafat terus diajarkan, bahkan menjadi tradisi yang hidup sepanjang zaman di pusat-pusat seminari (hawzah) Syiah yang didirikan dinasti Safawi. Pada periode Safawi inilah tepatnya abad
84
Yazd, di bawah bimbingan Syeikh Muhammad Ali Nahwi. Sejak awal Misbâh Yazdî sudah memendam cita-citanya sendiri ia ingin menjadi ahli agama. Berkenaan dengannya, ada sebuah kejadian menarik. Saat sedang mengikuti pelajaran mengarang di kelas empat, ia diminta sang guru untuk menulis artikel pendek. Kemudian dalam artikel yang ditulisnya itu, ia pun mengungkapkan keinginannya untuk belajar ke Najaf (Irak) demi mendalami ilmu agama. Tentu saja artikel itu mengejutkan gurunya. Dikarenakan rata-rata teman sekelasnya bercita-cita menjadi pilot,perwira, dan lainnya, kemudian mereka menilai janggal cita-cita Misbâh Yazdî.3
Misbâh Yazdî muda pada tahun 1325-1326 HS menyelesaikan kuliah dasarnya. Hasratnya yang membara kepada ilmu-ilmu agama membuatnya menjauhi liburan dan rekreasi dan masuk ke Hawzah ilmiah Yazd diawal musim panas itu juga. Muhammad Taqî Misbâh Yazdî tinggal di salah satu kamar madrasah Syafi‘iyah—yang berlokasi di Bulovard Khan. Dengan tidak memperdulikan kondisi hawzah yang kurang bagus, rusaknya bangunan-bangunan madrasah, begitu juga kamar-kamarnya. Selain kekurangan para asatid dan tidak ada program yang teratur ia malah belajar mubahasah (pembahasan) dan muthala‟ah (telaah) dengan perhatian yang luar biasa, dalam waktu empat tahun berhasil menyelesaikan level mukadimah dan sathh (level menegah) hingga
XIII sampai abad XVII, filsafat Iran mencapai puncaknya. Dari hawzah-hawzah tersebut, bermunculan para tokoh filsafat Iran. Bahkan pada masa kemudian, Iran menjadi pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya filsafat, bagi dunia Islam yang banyak didatangi umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Lihat, Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, hlm. 39-40. 3 Keterkejutan dan penilaian dimasa tersebut bukan tanpa alasan. Saat itu kebanyakan orang kurang menaruh perhatian pada ilmu-ilmu agama, kaum rohaniawan, dan tokoh-tokoh agama. Sistem pemerintahan sekuler Reza Pahlevi yang represif telah memekarkan sikap ini lewat propaganda yang sangat gencar. Sebagian ulama pada masa itu umumnya terpaksa atau atas pilihan sendiri, menanggalkan propesinya sebagai mubalig dan guru agama akibat stigma politik dan himpitan ekonomi. Dalam situasi sulit dan kondisi sulit seperti itu, bila seorang saja menyatakan ingin menjadi seorang akhun (mullah, alim ulama), hal itu sudah cukup mengejutkan—malah dianggap punya keinginan yang bukan-bukan. Lihat, Muhammad Taqî Islami, Zendegi Nameh Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, (Qom: Istisyarat Partu Wilayat, 1382 HS/2000 M), hlm. 20. Dikutip dari, Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat…, hlm. 64.
85
ketahap kuliah Rasa`il dan Makasib dengan kesungguhan maksimum. Biasanya untuk menamatkan level-level ini diperlukan waktu sekitar 8 tahun. Selanjutnya guna melanjutkan studi keislaman, ia berangkat ke kota suci Najaf di Irak. Karena kecintaan sang ayah dan ibunya kepada puteranya, maka mereka mengambil keputusan untuk menjual rumah dan sarana pekerjaannya. Awalnya Muhammad Taqî Misbâh Yazdî minta izin agar ia bisa berangkat ke Qum4 dulu untuk menyelesaikan kuliahnya. Namun keluarganya sudah mengambil keputusan pergi menuju Najaf di akhir tahun 1330 HS. Dikarenakan problem finansial, ia hijrah ke Qum, setelah sempat berada satu tahun di Najaf. Sejak tahun 1331 HS hingga 1339 HS, ia mengikuti kuliah-kuliah ‗irfân dan politik Imam Khomeini, dan mempelajari tafsir al-Qur‘an pemikiran Ibnu Sina lewat karyanya asy-Syifâ dan al-Asfar al-Arba‟ah-nya Mullâ Shadrâ di bawah bimbingan ‗Allamah Thabâthabâ‘î, dan mengikuti kuliah fiqih Ayatullah Bahjat selama 15 tahun. Sejak Imam Khomeini diasingkan ke luar Iran oleh rezim
4
Qom‘s fame as an academy seems to have disappeared after the eleventh century, as the center of Shi_ite learning in Iran shifted to Rey and other northern towns. Although such figures as Fayz Kashani (d. 1681) and Molla Mohammad Tahir Qommi (d. 1686) lived here during the Safavid era, Qom‘s partial reemergence as an academy was due to the patronage of the Qajars. The presence of Mirza-ye Qommi (d. 1816), who enjoyed the patronage of Fath _Ali Shah (1797– 1834), is considered a point of departure in the history of Qom as an academy. However, a new era began with the arrival of Ayatollah Ha_eri (1859–1936) in 1921. He established the present center of learning (hawza-ye _ilmiyya) during a period when the Qajar regime was passing away and the Pahalvi regime was taking shape. From the times of Ayatollah Borujerdi (d. 1961) onward, the hawza began its rapid growth. At the end of Reza Shah‘s reign the number of seminary students was about 500. It was above 6,000 in 1975, and above 23,000 in 1991, and presently students from Iran and abroad make up more than 36,000. Under the leadership of Ayatollah Khomeini, a pupil of Ayatollah Ha_eri, Qom played a key role in leading the opposition to the Pahlavi regime in the events of 1964. It was here that on 9 January 1978 the confrontation with the Shah‘s security forces occurred, an event that triggered off the Islamic Revolution of 1979. Qom‘s political importance as a spiritual and academic center of the Shi_ite clergy has grown enormously following the Islamic Revolution. From being a small town with a population of 96,499 in 1956, Qom itself has grown rapidly to become one of the major cities of Iran, with a population of 825,627 in 2000. Lihat, Encyclopedia of Islam and the Muslim World, (USA: Macmillan reference vol.2 ,2004), hlm. 562.
86
Shah, ia sibuk melakukan penelitian dalam bidang sosiologi Islam, antara lain tentang jihad dan hukum peradilan. Sebagian prestasinya berkat bantuan dan dukungan para gurunya, teristimewa Syeh Muhammad Ali Nahwi, yang meluangkan waktu untuk mengajarnya secara privat. Selain melakukan mubahasah, ia senantiasa melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepadanya atau ia memintanya untuk menuliskan ringkasan kuliah dan kemudian ringkasan itu dialih bahasakan kedalam bahasa arab. Di madrasah Faidhiah di kota Qum, Misbâh Yazdî setiap hari pergi mengikuti empat mata kuliah. Yaitu, kuliah Makasib yang diberikan Ayatullah Aghâ Murtadhâ Hairi pagi hari di rumah beliau, kuliyah kifayah yang disampaikan Syeh Abdul Jawad pada siang hari di masjid Isyq Ali, sambil menunggu kuliah berikutnya, ia melakukan mubahasah (diskusi materi kuliah) dengan rekannya. Kuliah berikutnya adalah Kifayah yang disampaikan Ayatullah Murtadha Hairi sore hari di rumah beliau. Kuliah keempat adalah studi naskah filsafat
Syarh
al-Manzhûmah
karya
Mullâ
Sabzawari.
Misbâh
Yazdî
menghabiskan waktu seharian untuk mempelajari semua mata kuliah ini. Di malam hari selama 5 sampai 6 jam. Meski dengan segala kepayahan (terbatas materi), Misbâh Yazdî dalam kurun setahun berhasil merampungkan studi tingkat suthuh-nya. Pada tahun berikutnya, ia mengikuti pelajaran Bahtsul Kharij dalam bidang fiqih dari Ayatullah Burujerdi dan Bahtsul Kharij ushul fiqih dari Khomeini.
87
Mir Sepah, salah satu murid Misbâh Yazdî juga pernah menyebut-nyebut sosok gurunya yakni Misbâh Yazdî. Ia berkata: ―Saya akan tunjukan siapa sebenarnya Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, dan ini bukan basa basi atau dilebih-lebihkan. Banyak yang berkaitan dengan (keistimewaannya) yang tidak dapat saya sampaikan disini. Namun, untuk membuktikan itu, saya akan memberikan beberapa contoh sekedarnya.5
Mir Sepah menuturkan sebagai berikut: ― Saya masih ingat kalau saya pernah menyampaikan keberatan (kritik) dan anda pun menanggapinya. Namun saya belum puas terhadap jawaban anda. Selepas kuliah, saya segera menemui anda di salah satu ruang istirahat yang biasa digunakan untuk minum teh. Lalu saya menyampaikan kembali ketidakpuasan saya. Anda pun memberikan jawabannya. Namun karena masih juga belum merasa puas, kemudian saya berkata, ―mengapa jawaban anda tidak meyakinkan saya!‖6
Ungkapan semacam ini barangkali dapat menyinggung perasaan seseorang, namun Mir Sepah malah mengatakan: ―Tahukah anda, mengapa jawaban saya tidak memuaskan anda?‖ alasannya, saya memahami kata-kata yang saya ucapkan seperti ini, sementara anda memahaminya secara lain. Karena itulah jawaban saya sama sekali tidak relevan dengan kritik dan keberatan anda. Untuk menyelesaikan masalah ini. Marilah kita menyamakan persepsi mengenai istilah tersebut.‖7
Misbâh Yazdî mengawali profesi mengajarnya secara terprogram di madrasah Haqqânî (madrasah Montadhiriyyah). Selain menempa daya nalar, ideologi, dan loyalitas sejumlah murid agar berguna dan menjadi kader-kader masa depan pemerintahan Islam,8 ia juga mengajarkan al-Qur‘an, tafsir, dan
5
Wawancara dengan Mir sepah, Qum, 18 Juni 2007. Dikutip dari Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, hlm. 70. 6 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat…, hlm. 71. 7 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat…, hlm. 71. 8 Republik Islam Iran, nama Iran berasal dari bahasa Persia kuno yang berarti ―negeri bangsa Arya.‖ Nama Iran sudah digunakan sejak era Sassania. Lihat, Iran Tanah Peradaban, (Kedutaan Besar Republik Islam Iran, 2009), hlm. 2. Revolusi yang dipimpin oleh Imam Khomeini sendiri cukup spektakuler karena; pertama, berhasil menggulingkan rezim Syah yang
88
filsafat. Kuliah tafsir dalam tiga tingkat, digabungkan waktu penyampaiannya dengan kuliah akhlak dan pendidikan bertema mengenal diri untuk membentuk diri.9 Misbâh Yazdî menjadi guru pertama yang mengajarkan tentang Falsafatunâ (filsafat kita) karya Muhammad Bâqir Shadr dan Bidâyat al-Hikmah karya Thabâthabâ‘î selama 10 tahun. Karya-karya tersebut dijadikam modul yang sebelumnya belum ada, kemudian buku tersebut dijadikan buku daras Hawzah ilmiah yang membahas pemikiran-pemikiran filsafat modern. Selain itu, ia juga menggunakan buku dasar-dasar filsafat dan metode realism Thabâthabâ‘î, namun karena buku tersebut berbahasa Persia, maka pihak Hawzah belum mengakuinya sebagai modul. Di luar kegiatan mengajarnya yang teratur dan rapi di madrasah Haqqânî dan Rah Haq. Juga mengajarkan filsafat secara komprehensif seperti al-asfar al-
pada waktu itu sangat kuat yang didukung oleh angkatan bersenjata nomor lima terkuat di dunia pada masanya, berkat kekayaan minyak bumi dan program modernisasi. Kedua, revolusi itu mampu mengusir penjajah AS, sebuah negara adidaya dunia yang sangat ditakuti oleh bangsabangsa lain di dunia. Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini memang khas bersifat keagamaan yang mengambil inspirasinya dari ajaran Islam yang menentang tirani. Namun Revolusi Islam Iran itu juga mengandung nilai-nilai yang universal. Revolusi Islam Iran memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Revolusi Amerika, Revolusi Prancis, Revolusi Rusia ataupun Revolusi Cina di Timur. Ahli ilmu politik internasional terkemuka Richard Falk yang juga peneliti konfik dan perdamaian (Peace and Conflict Research) menengarai tiga karakteristik Revolusi Islam Iran tahun 1979 itu yaitu: Pertama, Relatif tidak mempergunakan kekerasan, seperti ketika Nabi saw menaklukkan Mekah, dan tidak seperti revolusi-revolusi lain yang berdarah-darah itu. Kedua, Tidak meniru model revolusi-revolusi lain di Barat maupun Timur. Ketiga, bersifat keagamaan yang menggabungkan politik dan agama serta agama dan nasionalisme pada abad modern. Dikutip dari, Dawam Rahardjo, Hubungan Agama dan Politik Dalam Pandangan Imam Khomeini, Makalah pada seminar sehari “Pemikiran Ayatullah Khomaini r.a dan Pengaruhnya Terhadap Gerakan Islam Kontemporer” Di UNIBRAW-Malang, Tanggal 17 Juni 2005. 9 Kuliah-kuliah ini dipublikasikan dengan sebuah buku yang berjudul; Self Recognition for Self-Improvement, Islamic propagation organization, Sepehr, Tehran, 1992. Edisi terjemahan Bahasa Indonesianya; Jagad Diri, Al-Huda, Jakarta, 2006.
89
arba‟ah karya Mullâ Shadrâ kepada para peminatnya dalam sebuah kelas khusus filsafat. Sejak wafatnya Muthahhari, Misbâh Yazdî merupakan figur pemikir produk Hawzah Ilmiah Qum yang paling menonjol dan produktif. Ia memainkan peran penting dalam menciptakan perkembangan wacana filsafat Islam dengan berusaha mengharmonisasikan Shadrâisme, Masyya‟iyah (paripatetisme ala Ibnu Sina), filsafat modern, dan visi politik Imam Khomeini yang berpijak pada konsep welayat-e faqih.10 Berkat Misbâh Yazdî yang berkolaborasi dengan pakar filsafat barat yakni Muhammad Legenhausen, berdirilah sejumlah pusat studi filsafat yang dikelola secara modern, yang mampu mencetak puluhan bahkan ratusan sarjana ruhaniawan sekaligus filsuf muda yang cukup produktif dan aktif menjadi narasumber dalam seminar keislaman baik secara kelokalan maupun internasional, serta aktif menulis pemikirannya baik dalam bentuk buku, jurnal ilmiah, surat kabar, maupun majalah. Peran Misbâh Yazdî dalam pendidikan, dakwah dan riset dapat dijelaskan dalam dua bagian sebagai berikut: 1. Memelopori reformasi sistem dan kurikulum pendidikan hawzah, antara lain; a. Mendirikan Dar-e Haq (Lembaga ‗menuju kebenaran‘). b. Membidani Markaz-e Amozesyi va Pazuhesy-e Imam Khomeini (The Imam Khomeini Education and Research).
10
Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mullâ Shadrâ, (Jakarta: al-Huda, 2005), hlm. 321.
90
c. Membina Markaz-e Jehan-e Olum-e Eslami (Pusat Studi Islam Internasional) yang berada di bawah hawzah. d. Memelopori berdirinya Imam Khomeini University. e. Menyusun manual mata kuliah filsafat dengan sistematika modern, almanhaj al-jadid fi ta‟lim al-falsafah (metode pengajaran baru filsafat. f. Menjalin kerjasama antar lembaga dengan berbagai universitas barat, antara lain Mc Gills University. 2. Memelopori studi wacana-wacana modern; a. Menerbitkan sejumlah jurnal pemikiran islam, antara lain Ketab-e Naqd, Zehn, Hawzeh, Ma‟refat, Olum-e Hadis, Houkmat-e Islami dll. b. Melakukan studi kritis terhadap pandangan-pandangan ulama dan filosof terdahulu termasuk Mullâ Shadrâ dan Allamah Thabathâba‘i. c.
Melakukan kunjungan dan menjadi pembicara pada seminar-seminar internasional baik di eropa dan amerika.11
d. Memasukan dialog filsafat dalam acara-acara televisi dan radio Iran.12
B. Guru-gurunya Misbâh Yazdî merupakan produk orisinal dari sistem pendidikan tradisional Hawzah Ilmiah Qom, ia adalah hasil dari didikan dua tokoh terkemuka Hawzah, yaitu Thabâthabâ‘î, dan Ruhullah Khomeini. Kecendrungannya pada 11
Pada tahun 2006 Misbâh Yazdî berkesempatan berkunjung ke Indonesia beliau bertindak sebagai pembicara di sejumlah forum ilmiah diantaranya; Studium General Filsafat Islam di ICC Jakarta, seminar masa depan filsafat islam di UGM Yogyakarta, seminar Pasca Sarjana Program Studi Kajian Timur-tengah dan Islam di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. dll 12 Muhsin Labib, Muthahhari II; Biografi Ayatullah M.T. Misbah Yazdi, (Jakarta: AlHuda, 2006), hlm.
91
ilmu-ilmu rasional, seperti filsafat, teologi, logika, dan matematika serta ‗irfan telah menjadikannya sebagai salah satu ikon ilmu-ilmu rasional. 1. Thabâthabâ’î Nama lengkapnya adalah Muhammad Hosein bin Muhammad bin Ali Asghar Thabâthabâ‘î Tabrîzî Qâdhî. Beliau adalah seorang Sayid/Habib (keturunan Rasul saw dari marga Thabâthabâ‘î) dari Azerbaijan. Thabâthabâ‘î lahir pada tanggal 29 Dzulhijjah tahun 1321 H/1892 M, di desa Shâdegan (propinsi Tabriz). Beliau ditinggal ibunya saat berusia lima tahun dan ayahnya saat berumur sembilan tahun. Thabâthabâ‘î memadukan ilmu-ilmu ‗naqliyyah dan ‗aqliyyah dalam dirinya. Sayed Hosein Nasr menyebutnya sebagai Filsuf, teolog, dan sufi yang dalam dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisis intelektual terpadu. Yang membedakannya dari Mullâ Shadrâ dan Sabzawari ialah bahwa ia tidak menggabungkan dzauq dengan nalar. Thabâthabâ‘î memuji Ibnu Sina dan menganggap pandangannya lebih kokoh daripada Mullâ Shadrâ dalam argumentasi filosofis. Namun pada saat yang sama, ia terheran-heran oleh implementasi baru Mullâ Shadrâ terhadap filsafat Yunani dengan teori-teori seperti ashâlat al-wujûd, itthâd al-âqil wa al-ma‟qûl, dan harakah jawhariyyah ia menganggap filsafat Mullâ Shadrâ lebih mendekati kenyataan. Thabâthabâ‘î memiliki dua karya monumental yang paling mendapat perhatian dibandingkan karya-karya lainnya. Pertama adalah tafsir Al-Mizan dalam dua puluh jilid, yang ditulis beliau dalam bahasa Arab selama dua puluh tahun. Dalam tafsir ini, beliau menggunakan metode penafsiran al-Qur‘an dengan
92
al-Qur‘an. Selain tafsir ayat dan pembahasan bahasa, beliau juga membahas ayatayat al-Qur‘an dari sudut pandang riwayat, sejarah, kalam, filsafat, dan sosial. Karya penting beliau yang lain adalah Ushule Falsafeh va Raveshe Realism. Buku ini mencakup empat belas makalah filosofis yang ditulis beliau pada dekade dua puluh dan tiga puluh Hijriah Syamsiah. Buku ini dikomentari oleh Murtadha Muthahhari dengan metode filsafat perbandingan. Buku ini termasuk
buku
yang
pertama
kali
membahas
topik
filsafat
dengan
membandingkan (cooperative study) antara aliran filsafat Islam dengan filsafat Barat. Karya Thabâthabâ‘î kurang lebih ada 22 judul buku. Berikut ini merupakan karya-karyanya antara lain; Bidayah Al-Hikmah: Buku yang berisi pelajaran ringkas filsafat yang diperuntukkan bagi para peminat ilmu-ilmu rasional di Qum dan pelbagai universitas di Iran. Nihayah Al-Hikmah: Buku pelajaran filsafat seperti yang pertama, namun mengandung pembahasan dan penjelasan yang lebih rinci dan rumit. Hasyiye bar Kifayah: Sebuah buku tentang metode-metode istinbath (pengambilan hukum). Majmoeye Mozakerat ba Profesor Henry Corbin: Berisi tentang tanya-jawab antara Allamah Thabathabai dan periset asal Prancis tentang Syiah dan pembahasan akidah. Resaleye Ensane Qabl az Donya, dar Donya, dan Ba`d az Donya: Buku ini berisi pembahasan tentang tiga alam, yaitu materi, mitsal, dan akal. Buku ini memberi jawaban terhadap sebagian besar pertanyaan yang mengusik benak kawula muda. Thabâthabâ‘î merupakan sosok yang banyak pengaruh terhadap Misbâh Yazdî. Darinya ia banyak memperdalam ilmu-ilmu filsafat. Namun ia juga banyak
93
mengkritisi gurunya. Dalam berbagai karya-karya Misbâh Yazdî, ia banyak mengutip pendapat-pendapat Thabâthabâ‘î dan melakukan analisis kritis terhadap pemikirannya, terutama dalam masalah ontologi.13
2. Imam Khomeini Khomeini dilahirkan pada 20 Jumadil Akhir tahun 1320 H/1902 M, di kota Khomein Tengah, Iran. Terlahir dari sebuah keluarga yang amat religius dengan silsilah yang bersambung kepada Imam Musa al-Kazim. Meskipun belajar fiqih dari Ayatullah Hai‘ri—dia benar-benar menjadi seorang faqih, bahkan marja‟ altaqlid di bidang ini pada tahun 1962—di Qum inilah Khomeini mengembangkan minatnya pada ‗irfân. Guru pertamanya dalam bidang ‗irfân adalah Mirza ‗Ali Akbar Yazdi (w. 1926), murid Husain Sabzavari yang belajar langsung dari Mullâ Hadi Sabzawari—penulis Syarh al-Manzhûmah, salah satu teks dasar ‗irfân yang paling luas dipakai sekarang. Guru utamanya di bidang ‗irfân adalah Ayatullah Muhammad Ali Syahabadi (w.1950). Setiap kamis dan jumat, Khomeini pun menyimak pelajaranpelajaran yang diberikan Syahabadi.14 Materi pelajarannya adalah komentar Dawud Qusyairi (w. 1350) atas Fushüs al-Hikam, karya Ibn‘ Arabi dan juga 13
Lihat, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, Buku Daras Filsafat Islam, hlm. 91. Syahabadi menekankan pentingnya perencanaan untuk mendidik dan mengorganisasikan kaum Muslim. Dia selalu menasihati siswanya untuk menyederhanakan subjek yang sulit agar dapat diapresiasi oleh banyak orang, sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi.saw ketika bersabda: ―berbicaralah kepada orang menurut tingkat kecerdasan mereka.‖ Inilah pelajaran yang dipraktekan dengan sangat efektif oleh Khomeini di tahun-tahun kemudian. Syahabadi memaparkan petunjuk berikut: Satu, terbitkan majalah keagamaan untuk mendakwahkan pemikiran dan aktifitas keagamaan di kalangan masyarakat. Dua, cermat dan sederhana dalam kehidupan keseharian, dan hilangkan kebiasaan yang merugikan. Tiga, bentuk perusahaan Islam untuk memproduksi barang-barang Islami dan kebutuhan orang Iran untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor. Empat, himpun dana untuk dipinjamkan tanpa bunga. Dikutip dari, Baqer Moin, Ayatullah Khomeini Mencari Kesempurnaan: Teori dan Realitas, dalam Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan, cet. 3, 1998), hlml. 75. 14
94
Miftâh al-Ghaib, karya Shadr al-Din al-Qunawi (w. 1274)—murid Ibn‘Arabi dan sekaligus Nashr al-Din al-Thusi—serta Manazil al-Sa‟irin, karya Khwajah ‗Abdullah Anshari (w. 1098). Pada usia 27 tahun memulai kariernya sebagai guru dengan mengajarkan hikmah, sebuah disiplin yang sangat dekat dengan ‗irfân. Khomeini mengajarkan pula teks-teks yang diajarkan termasuk bab ‗jiwa‘ dari al-Asfâr al-Arba‟ah dan Syarh al-Manzhümah pada saat ini Khomeini dikenal kefasihannya dalam bidang ‗irfân, akhlak, dan filsafat. Masalah-masalah ‗irfân juga merupakan tema tulisan-tulisan Khomeini. Pada tahun 1928, dia menulis komentar (syarh) atas Du‟â al-Sahar, karya imam Muhammad al-Baqir, pada 1931 disusul dengan terbitnya Mishbâh al-Hidâyah, suatu ulasan ringkas tetapi mendalam tentang hakikat Nabi. saw dan para Imam. Pada tahun 1937, Khomeini menyelesaikan serangkaian catatan pinggir atas komentar Qusyairi atas Fushüs al-Hikam dan Mishbâh al-Uns—komentar Hamzah Ibn‘ Fanari atas Miftâh al-Ghaib, karya Shadr al-Din al-Qunawi. Dua tahun kemudian, dia menyelesaikan karya pertamanya dalam bahasa Parsi yakni Syarh-I Chihil Hadits15 (syarh atas 40 hadis). Pada tahun itu juga Khomeini menerbitkan karyanya yang berjudul Mi‟râj Sâlikîn wa Shalâh al-Ârifîn16 (dikenal dengan Asrâr al- Shalâh), sebuah risalah dalam bahasa Parsi yang memerinci makna batin setiap bagian shalat, mulai dari wudhu hingga takbir penutup shalat. 15
Imam Khomeini, Syarh al-Arbaîn Haditsan, (Qum, Mu‘asassah Dar al-Kitab al-Islâmî). Dalam edisi berbahasa Indonesianya berjudul, 40 Hadis: Telaah Atas Hadis-hadis Mistis dan Akhlak, (Bandung: Mizan, ed. Revisi. Cet. 2, 2009). 16 Imam Khomeini, Sirr as- Shalâh Mi‟râj Sâlikîn wa Shalâh al-Ârifîn, (Teheran: Mu‘asassah Tanzhim wa Nasyr Turats al-Imam al-Khumainî, 1995). Dalam edisi berbahasa Indonesianya berjudul, Shalat Makrifat: Seputar Makna Batiniah Gerakan dan Bacaan Shalat (Bandung: Pustaka Hidayah, cet.2, 2006).
95
Akhirnya perlu juga disebutkan karyanya yang terbit pada 1944 yang berjudul Syarh-I Hadîts-I junûd-I Aql o Jahl yang sampai sekarang belum diterbitkan. Buku ini disebut-sebut sebagai uraian paling sistematis dan komprehensif tentang pandangan Khomeini mengenai akhlak dan ‗irfân. Konsep manusia sempurna menguasai imajinasi Khomeini, karena segenap pemikirannya dicurahkan untuk memformulasikan cara baru yang lebih efektif untuk mengungkapkan pemicu kemunduran Islam. Manusia punya kualitas tertentu yang tidak ada pada makhluk lain. Misal, pada diri manusia ada cita-cita untuk memiliki kekuasaan mutlak yang tak terbatas, kesempurnaan mutlak yang tak terbatas; dan karena kekuasaan serta kesempurnaan mutlak tak mungkin diraih oleh apapun dan siapapun kecuali Allah Swt., maka pada wataknya, manusia berusaha mencari Tuhan, tanpa tahu apa ang dilakukannya. Satu bukti kuat bahwa kesempurnaan mutlak itu ada, adalah cinta manusia yang sangat kuat kepada kesempurnaan mutlak itu. Manusia memang mencintai kesempurnaan mutlak. Tidak ada yang mencintai kalau tidak ada yang dicintai. Disini tak mungkin ada pengandaian, tak ada rekayasa, karena watak fitrah manusia menghendaki realitas kesempurnaan mutlak, sedangkan watak tak mungkin dikecoh. Watak manusia menuntut kesempurnaan mutlak.17
Pada dasarnya watak manusia senantiasa ingin lebih sempurna bagi dirinya sendiri. Menurut
Khomeini, semua manusia ada batasnya dalam
mengupayakan kesempurnaan. Bila semuannya mencapai kesempurnaan mutlak ini, berarti mereka menjadi satu. Maka tak ada lagi monopoli, maka tak ada lagi kemajemukan. Manusia menjadi bebas, tanpa ada kungkungan, melampaui batasan-batasan kategoris. Manusia adalah makhluk yang tak pernah selesai ―selalu menjadi‖. Manusia tidak akan puas dengan apa yang dimilikinya, ia akan senantiasa mencari lebih dari apa yang sudah didapatkannya. Manusia tidak akan tenang dengan
17
Baqer Moin, Ayatullah Khomeini…, hlm. 80.
96
segala usahanya, karena imajinasinya tentang hakikat kesempurnaan mutlak. Kecuali kalau sudah berpadu dengan samudra kesempurnaan mutlak, dan menjadi bagian dari samudra itu. Ali Mishbâh putra Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menerangkan hubungan ayahnya dengan Khomeini: Setelah mengikuti Khomeini, dalam masa liburan pelajaran tersebut ia memberikan perintah kepada murid-muridnya agar meneruskan pelajarannya dengan mubâhatsah. Misbâh Yazdî dan beberapa orag yang terkemuka seperti Muhammad Gilani Muhammad Yazdî, Hosain Mazhaheri, Ali Akbar Musawi, dan Muhammad Taqî Misbâh Yazdî melaksanakan perintah Khomeini tersebut dengan mubâhatsah secara bersama-sama. Mubâhatsah ini terus berlangsung sampai menangnya revolusi Islam Iran. Tema-tema yang dibahas dalam masalah ini sangat penting dan berkualitas, yang umumnya adalah masalah-masalah sosial Islam seperti ammar ma‟ruf nahi Munkar.18
C. Karya-Karya Intelektual Misbâh Yazdî bukanlah sosok pemikir yang mendiami satu kajian tertentu. Ia bersifat omnivorus; segala hal dia dalami dan menjadi ahli dibidang-bidang tersebut. Kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa Persia dan Arab. Berikut ini adalah beberapa karya penting yang ditulis Muhammad Taqî Misbâh Yazdî.19 1. Durus
Falsafah
(Pelajaran-Pelajaran
Filsafat),
Teheran:
Mu‘assisah
Muthala‘at va Tahqiqat Farhangi-e 1363/1984 M. Karya ini merupakan karya ringkas dari Amuzisy-e Falsafah. Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi, Buku Daras Filsafat Islam, Jakarta: Shadra Press, 2010. Prinsip yang
18
Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat…, hlm. 95. Karya-karya Misbah Yazdi menurut Muhsin Labib dalam bukunya yang berjudul, Para Filosof: Sebelum dan Sesudah Mula Shâdrâ. Terdapat kurang lebih 49 judul buku. Apa yang ditulis penulis tidak memuat semua karya Misbah Yazdi, yang dikutip dari pengantar Muhammad Legenhausen dan Azim Sarvdalir, Philosophical Intruction: an Introduction to Contemplary Islamic Philosophy (Istitute of Global Cultural Studies: University of Binghamton, 1999) 19
97
diajukan dalam Buku Daras Filsafat Islam adalah pemuliaan akal. Dan hanya akal yang berperan sebagai asas filsafat yang sanggup menyokong doktrin keagamaan. Unsur lain disamping akal yang diperlukan dapat diperoleh dari ‗introspeksi‘. Seluruh concern filsafat hanya dapat terjawab melalui akal dan instospeksi. 2. Khud-syenasi Baray e Khud-sazi (pengenalan diri untuk pembentukan diri). Edisi bahasa Inggrisnya; Self Recognition for Self-Improvement, Islamic Propagation Organization, Sepehr, Tehran, 1992. Edisi terjemahan Bahasa Indonesianya; Jagad Diri, Al-Huda, Jakarta, 2006. Buku yang membahas tentang manusia sebagai eksistensi yang menerima kesempurnaan, cara mencapainya. Mengenali manusia dari segi keberadaannya sebagai makhluk yang telah terhimpun dalam dirinya potensi dan kapabilitas yang dapat digunakan oleh manusia untuk peraihan penyempurnaan insani. 3. Chikideh-ye Bahts-e Falsafi (ringkasan beberapa pembahasan filsafat), Qum; Dar Rah-e Haqq, 1357/1978 M. Merupakan ikhtisar dari diskusi-diskusi yang berlangsung di London dalam serangkaian konferensi yang juga memuat komentar-komentar para pelajar Iran yang tinggal di Amerika Serikat mengenai konsep filsafat dan sejarahnya, pengetahuan rasional (rational knowledge), kausalitas, maujud tetap dan tak tetap, aktualitas serta potensialitas. 4. Amuzisy-e ‘Aqa’id (Pelajaran-pelajaran Aqidah) 3 jilid, Qum: Sazman-e Tablighat-e Islami, 1370/1991 M. Edisi terjemahan Bahasa Indonesianya, Iman Semesta, Al-Huda, Jakarta, 2005. Karya ini dipersiapkan oleh Misbâh Yazdî dengan mendapatkan bantuan dari sekelompok sarjana di Institut Dar Rah-e Haqq, untuk keperluan para pelajar tingkat menengah. Setiap jilidnya terdiri dari dua
98
puluh pelajaran. Topic-topik yang dibahas menyangkut teologi, kajian-kajian agama, pembuktian akan wujud Niscaya-Ada, Sifat-sifat Tuhan, kritik atas materialism, keesaan Tuhan, kehendak bebas, dan keterpaksaan (determinisme), kebutuhan akan para nabi dan imam serta kemaksuman mereka, al-Qur‘an, Imam Mahdi, immaterialitas ruh, kebangkitan (eskatologi), kehidupan setelah mati, keimanan dan kekafiran, serta masalah wasilah. 5. Durus-e Falsafeh-ye Akhlak (pelajaran-pelajaran filsafat Etika), Tehran: Ithila‘at, 1367/1988 M. Edisi terjemahan Indonesia; Meniru Tuhan, Al-Huda, Jakarta, 2006. Di dalam buku ini terkandung pembahasan-pembahasan mengenai kedudukan etika dalam filsafat, karakteristik konsep-konsep etika, kebaikan dan keburukan rasional, konsep-konsep nilai, mazhab-mazhab pemikiran etika, relativisme, serta hubungan antara etika dan agama. 6. Pasdari Az Sanggarha-ye Iydi’uluzik (Pengawal Benteng-Benteng Ideologi), Qum: Dar Rah-e Haqq, 1361/1982 M. buku ini merepakan kumpulan tulisan singkat yang membahas; makna pandangan-dunia, pengetahuan, sebab-akibat, gerak, dialektika, dan pandangan-dunia materialis. 7. Iydi’uluzhi-e Tahbiqi (Perbandingan Ideologi), Qum: Dar Rah-e Haqq, 1361/1982 M. buku hasil transkripsi ini terdiri atas empat puluh pelajaran yang disampaikan penulis setelah kemenangan Revolusi Islam Iran. Topik-topik yag didiskusikan meliputi; konsep ideologi, hubungan antara pandangan dunia dan ideologi, tipe-tipe pandangan dunia, konsep-konsep metafisika, epistemologi, realitas dunia luar, sofisme dan skeptisme, realisme dan idealisme, macam-macam pengetahuan, jenis-jenis objek pemahaman, kemendasaran nalar dalam imajinasi,
99
filsafat Descartes, Locke, Berkeley, Hume, dan Kant, empirisme dalam teori marxis, dan lingkup berbagai jenis pengetahuan. 8. Taliqah Ala Nahayah al-Hikmah (komentar atas buku Nihayah al-Hikmah) Qum: Dar Rah-e Haqq Istitute 1405/1984 M. buku ini ditulis dalam bahasa arab, yang mungkin merupakan karya filsafat penulis yang paling mendobrak. Di dalamnya, penulis menyajikan analisis kritis dan tajam atas karya utama gurunya Allamah Thabâthabâ‘I, dalam filsafat Islam tingkat lanjut. 9. Ma’arif-e Qur’an (ajaran-ajaran Al-qur‘an) karya ini terbagi dalam tiga bagian, teologi kosmologi, dan antropologi. 10. Jam’iyah va Tarikh az Didghah-e Qur’an (Masyarakat dan sejarah dalam perspektif al-Qur‘an), Qum: Sazman-e Tablighat-e Islami, 1368/1989 M. Buku ini mengangkat berbagai isu yang berkaitan dengan filsafat ilmu-ilmu social, seperti hubungan individu dan masyarakat dan pertanyaan mana dari keduannya lebih dahulu, revolusi islam serta kepemimpinan dalam islam. 11. Tarjumeh va Sharh-e Burhan-e Syifa, Teheran: Amir Kabir 1373/1994 M. Berisi tentang komentar atas bagian pertama bab logika dalam al-Syifa karya Ibnu Sina. 12. Syarh-e Asfar al-Arbaah, jilid pertama (ulasan atas empat perjalanan), Qum: Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini, 1375/1996 M. Jilid pertama dari transkrip kuliah-kuliah yang mengulas dan mengomentari maha karya pendapat Mullâ Shadrâ Asfar al-Arbaah.
100
D. Pemikiran Filsafat Misbâh Yazdî merupakan generasi ketiga mazhab Qum.20 Generasi pertama di wakili oleh Mullâ Shâdra, terdapat dua wacana yang menjadi insfrastruktur transendentalisme Mullâ Shâdra; kesejatian eksistensi (Ashalah alWujud) dan Gerak substansial (al-Harakah al-Jawhariyah). Kemudian Sabzawârî yang
mengembangkan
filsafat
al-Hikmah
al-Muta‘aliyyah,
meski
tidak
memberikan gagasan baru, ia berhasil memberikan penjelasan, komentar bahkan kritik tentang gagasan-gagasan baru Mullâ Shâdra melalui karyanya yang fenomenal yakni Syarh al-Manzhûmah. Generasi kedua diwakili yakni oleh Allamah Thabâthabâ‘î dan Imam Khomeini. Mazhab Qum berkembang dan terbagi dalam beberapa sub-mazhab dan kelompok. Pertama, sekelompok filsuf yang berperan sebagai advokat atau mediator (mufassir) murni filsafat Mullâ Shâdra tanpa melakukan penambahan apapun di dalamnya apalagi kritik, seperti Hasan Zadeh Amuli. Kedua, sekelompok filsuf seperti, Jawadi Amuli yang hanya mengkritisi sebagian argumen Mullâ Shâdra atau sistematika bukunya menyangkut pola pembagian dan pengurutan subtema. Ketiga, para filosof yang melakukan kritik dan ―berusaha‖ mengubah sebagian struktur bagian filsafat dengan menawarkan sistematika baru 20
Mazhab Qum dapat dianggap sebagai fenomena kematangan pemikiran filosofis yang bersumber dari tiga aliran dalam filsafat islam, yakni; Paripatetisme (masysya‟i), yang didirikan oleh al-Kindi dan berpuncak pada pemikiran Ibnu Sina (Avvicena). Iluminasionalisme (israqiyyah) dengan tokohnya Suhrawardi al-maqtul. Transendentalisme yang digagas oleh Mullâ Shâdra. Mazhab Qum adalah aliran pemikiran termuda diantara mazhab-mazhab sebelumnya yang dipelopori oleh Thabâthabâ‘î. Thabâthabâ‘î tidak menerima secara apa adanya semua pandangan dan gagasan Mullâ Shâdra, namun juga mengkritik dan bahkan menolaknya baik dengan menerima salah satu dari pandangan paripatetisme atau iluminasionalisme berkenaan dengan isuisu filosofis tertentu atau bahkan menggantinya dengan gagasan yang sama sekali baru. Locus pemikirannya seputar kesejatian eksistensi atau esensi (ashalah al-wujud, ashalah al-mahiyyah) manakah yang sejati, eksistensi atau esensi? Mazhab Qum mencoba memikir ulang masalah ini. Lihat, Muhsin Labib, Hawzah Ilmiah Qum…,hlm 156.
101
dalam penyajian dan pengajaran filsafat, tokohnya adalah Misbâh Yazdî. Meski demikian, tiga kelompok ini menyepakati tema-tema yang merupakan prinsif mazhab Qum. Misbâh Yazdî menurut Muhsin Labib, dianggap sebagai produk orisinal hawzah Qum yang diyakini mampu memberikan respon terhadap wacana-wacana kontemporer, termasuk aliran pemikiran modern dan postmodern. Misbâh Yazdî mencoba mendialogkan tradisionalisme dan modernisme. Untuk menelaah pemikiran filsafat Misbâh Yazdî tidaklah mudah, hal ini dikarenakan beberapa fakta, antara lain; pertama, Misbâh Yazdî tidak membangun sebuah aliran filsafat yang utuh dan terencana. Ia hanya berusaha untuk konsisten dengan pandangan-pandangan rasionalnya, sehingga kadang ia mendukung Mullâ Shadrâ, dan kadang pula memihak Ibnu Sina, atau memilih pendapat lain. Kedua, hampir seluruh pandangan dan pendapat Misbâh Yazdî dalam filsafat bersifat polemis, tidak demonstratif. Ketiga, ketidaktegasannya dalam memihak menjadikannya lebih pantas dipandang sebagai kritikus filsafat, daripada filsuf. Keempat, adanya tarik ulur antara pemisahan epistemologi dari ontologi dan penggabungan epistemologi dalam ontologi, terutama bila dikaitkan dengan prinsip ilmu hudhûri, menjadikan faktor yang menyulitkan upaya penyajian pemikirannya secara anatomis.21 Menurut kesimpulan Muhsin Labib dari penelitian dan hasil wawancaranya yaitu:
21
Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat…, hlm. 109-110.
102
―Yang patut disayangkan ialah ketidak terusterangan Misbâh Yazdî untuk membangun sebuah pemikiran alternatif, atau paling tidak neo-Shadrian. Karena Misbâh Yazdî tidak gigih melawan arus besar yang dihadapinya dari kalangan Hawzah yang sangat kritis dan jeli. Alasan lain yang tidak patut diabaikan, Misbâh Yazdî tidak sungguh-sungguh berencana membangun sebuah sub-mazhab Shadraisme yang baru secara utuh, namun hanya memberikan catatan-catatan kritis yang menurut kalangan Hawzah sudah sangat berani.‖22
Misbâh Yazdî mengkritik partikularisasi oleh para filsuf Barat terhadap filsafat sehingga filsafat dipakai dalam kontruksi-kontruksi genetif seperti ―filsafat moral‖, ―filsafat hukum‖, dan lain-lain. Menurutnya penggunaan macam ini acapkali digunakan oleh mereka yang mengetatkan istilah ―ilmu‖ pada ilmuilmu empiris dan ―filsafat‖ untuk bidang-bidang ilmu-ilmu kemanusiaan yang tidak bisa dibuktikan lewat pengetahuan inderawi. Alih-alih menggunakan ilmu teologi, umpamanya kalangan ini menggunakan istilah ―filsafat teologi‖. Sebagai mana yang di ungkapkan Misbâh Yazdî: This sort of expression is not peculiar to the positivists and those of like mind to them, but those who consider philosophical and evaluative knowledge to be ―science‖ and who consider their methods of research and inquiry to be ―scientific‖, also use this sort of expression. Sometimes, in order to avoid confusion with the previous usage, they add the word ―science‖ to the genetic construction. For example, they say, ―the philosophy of the science of history‖ in contrast to ―the philosophy of history‖, or they say, ―the philosophy of the science of morals‖ in contrast to ―the philosophy of morals‖ in the previous sense.23
Misbâh Yazdî juga mengkritik pelebaran pengertian filsafat yang tidak lagi membahas substansi, namun lebih menekankan pada aspek formal. Sehingga terkadang istilah filsafat dipakai untuk menjelaskan prinsif-prinsif ilmu lain. Lebih jauh, soal-soal seperti sejarah, tujuan, metode penelitian, dan jalan perkembangan suatu ilmu juga dibahas dalam tajuk (filsafat) ini.
22 23
Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat…, hlm. 111. Misbâh Yazdî, Philosophycal Intruction…, hlm. 54.
103
Istilah lain yang dipakai sebagai lawan ilmu adalah metafisika. Istilah ini sendiri berasal dari Yunani, metataphysica. Dengan membuang ―ta‖ tambahan dan mengubah phyisika ke fisika (physics) maka jadilah istilah ―metafisika‖. Kalau dalam bahasa arab diistilahkan dengan ma ba‟da al-thabî‟ah (sesuatu setelah fisika). Atau dalam istilah barat adalah sesuatu setelah yang fisik. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakikat objek (fisik) di dunia. Namun menurut Misbâh Yazdî, mengingat filsafat setara atau setidaknya berasal muasal dari filsafat pertama (proto philosophia) atau metafisika, dengan subjek ―maujud mutlak‖ (bukan maujud secara mutlak), maka filsafat layak didefinisikan ilmu yang membahas keadaan-keadaan maujud mutlak atau ilmu yang memaparkan hukum-hukum umum ke-maujud-an atau serangkaian persoalan yang menyangkut maujud sejauh itu adalah maujud (existent qua existent).24 Sebagaimana subjek fisika elementer adalah ―benda mutlak‖, maka subjek metafisika25 adalah ―maujud mutlak‖ atau ―maujud qua maujud‖. ―maujud mutlak‖ bukanlah subjek ilmu yang bersifat spesifik; karena itu, ilmu dengan 24
Misbâh Yazdî, Philosophycal Intruction…, hlm. 69. Pada era Islam, masalah-masalah metafisika diasimilasikan dengan tema-tema teologi yang kemudian disebut ―ketuhanan dalam arti luas). Bahkan sesekali tema-tema lain seperti Hari Kebangkitan (eskatologi) dan sarana-sarana mencapai kebahagiaan manusia, termasuk kenabian dan keimanan, ikut dilampirkan—sebagaimana dapat disaksikan pada bagian yang membahas masalah ketuhanan dalam buku asy-Syifâ karya Ibnu Sina. Jika masalah ini dianggap sebagai masalah utama suatu ilmu, dan tidak terjadi pemaksaan atau penyimpangan dalam kaitan ini, maka subjek ilmu ini diduga sangatlah luas. Menentukan satu subjek untuk beragam tema yang sama bukanlah perkara mudah. Sudah banyak ditempuh upaya untuk menentukan subjek tersebut dan menjelaskan bahwa semua predikat ini adalah cirri-khas esensialnya (essential properties), walau tidak begitu berhasil. Dalam konteks di atas muncul tiga alternative. Pertama, segenap masalah teoritis selain fisika dan matematika dipandang sebagai ilmu tunggal bersubjek tunggal. Kedua, tolak ukur dan criteria koherensi dan kemanunggalannya adalah tujuan dan sasarannya. Ketiga, masing-masing keberadaan, yang dibicarakan dalam ―filsafat pertama atau utama‖—mengikuti makna khas ―filsafat‖. Misbâh Yazdî, philosophycal Intruction…, hlm. 68. 25
104
nama metafisika atau belakangan disebut ―ilmu universal‖ mulai mengemuka. Dengan kata lain, pengertian filsafat di Hawzah ‗Ilmiah Qum berbeda dengan pengertian filsafat yang berkembang di Barat. Artinya, metafisika adalah induk filsafat bukan cabangnya. Hal lain yang perlu diperjelas adalah subjek filsafat dalam tradisi Hawzah ‗Ilmiah Qum. Misbâh Yazdî beranggapan bahwa: In this way, it has become clear that there is a series of important and basic problems for man which cannot be answered by any of the specific sciences, not even by the specific philosophical sciences. There must be another science by which to inquire into them, and this is metaphysics, the general science, first philosophy whose subject is not specific to a kind of existent or determined and particular essence. Inevitably, its subject must be the most universal concept which is applicable to all real and objective things, and this is the term ―existent‖. Of course, what is meant is not existent in that respect in which it is material, and not in that respect in which it is immaterial, but rather in that respect in which it is an existent, that is, the absolute existent, or existent in so far as it is an existent. Such a science has the position of being what is called ―the mother of the 26 sciences‖.
Karena ia mendahului ilmu, maka konsep masalah utama filsafat (baca maujud) adalah bersifat apriori (self-evident) dan tidak membutuhkan pada definisi, yang didasarkan pada ilmu yang berada pada urutan setelah filsafat. Menurut Muhsin Labib, pendapat Misbâh Yazdî yang membatasi subjek filsafat pada wujud menimbulkan ambiguitas, karena mestinya subjek berbeda dalam cakupan dengan ontologi yang menjadikan juga wujud sebagai subjek pembahasannya. Itulah sebabnya mengapa istilah ontology kurang digunakan dalam literatur filsafat di Hawzah ‗Ilmiah Qum, karena ontology telah diperlakukan sama dengan filsafat. Akibatnya, bangunan anatomi ilmu yang memposisikan filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan menimbulkan tanda Tanya. Mungkin yang perlu diperjelas Misbâh Yazdî yakni memposisikan ilmu 26
Misbâh Yazdî, Philosophycal Intruction…, hlm. 74.
105
sebagai induk lalu membaginya dalam filsafat teoritis dan filsafat praktis dengan semua bagiannya.27 Secara keseluruhan pandangan Misbâh Yazdî dapat dibagi dua, yaitu pandangan dalam filsafat Islam dan di luar filsafat islam.28 Dalam bidang pemikiran filsafat Misbâh Yazdî dianggap agresif dan kritis. Sebagian pandangannya cenderung keluar dari main stream hawzah yang kental dengan Shadrâisme dan Thabâthabâ‘isme. Antara lain: 1. Ontologi, berpendapat bahwa gradasi (tasykîk al-wujûd) hanya bersifat vertikal (thûlî), karena gradualitas dalam wujud hanya dapat diinterpretasi secara kausalitas; sedangkan pada gradasi horizontal (at-tasykîk al-arâdhî) tidak terdapat relasi kausalitas. Merupakan dalil shahih atas keniscaaan wujud râbith—yang pernah dikemukakan Allamah Thabâthabâ‘i. Dengan menolak gagasan assinkhiyah (koherensi) dalam maujud yang basith berkenaan dengan kaidah alwahid la yashduru minhu illâ al-wahid: beranggapan bahwa al-harakah aljawhariyah bisa bersifat shu‟ûdiyah (menanjak) dan bisa juga bersifat nuzûliyah (menurun) sebagaimana pendapat Mullâ Shadrâ. Menolak al-„uqul al-„asyrah (sepuluh intelek abstrak), sebagaimana pendapat al-Farabi, karena menurutnya, itu adalah warisan kosmologi Yunani kuno, yang semestinya dipisahkan dari ontologi dan teologi. 2. Logika, antara lain berpendapat bahwa berdalil dengan menganalisis proposisi tidaklah valid, karena pembahasan tentang proposisi tidaklah valid, karena
27 28
Lihat, Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat…, hlm. 118. Muhsin Labib, Para Filosof…,hlm.
106
pembahasan tentang proposisi berada dalam lingkup logika (manthiq) serta tidak berkaitan dengan realitas objektif. 3. Epistemologi, antara lain berpendapat bahwa epistemologi adalah pintu pengenalan filsafat. Dan bahwa ilmu hudhuri mesti dipisahkan dari tema-tema filsafat; dan mendukung pendapat dari mullâ Hâdi Sabzawârî yang menolak definisi Mullâ Shadrâ tentang al-ilm sebagai hudhûr mujarrad ladâ mujarrad, karena menurutnya, pengetahuan sesuatu yang memiliki eksistensi termulia (Tuhan) bisa mengenali entitas-entitas non-abstrak secara langsung, tanpa perantara entitas-entitas abstrak lainnya. 4. Kosmologi, antara lain dengan menolak pendapat Mullâ Shadrâ dan Thabathâba‘i tentang hyle (hayûla), karena menurutnya, selain mitos yang tersisipkan dalam filsafat, ia juga meniscayakan kontradiksi. Menurutnya, mestinya prinsip bahwa potensialitas existents tidak mendahului existents itu sendiri. 5. Antropologi Filosofis, antara lain, ia meletakan egoisme sebagai elemen fitriyah utama dalam diri manusia.29 Sedangkan diluar masalah filsafat, pemikiran Misbah Yazdi cukup komprehensif karena cakupannya cukup luas, antara lain: logika, manusia (antropologi dan psikologi Islam), kosmologi (Thabi‟iyat), ilahiyat (tauhid, nubuwah, imamah, dan kebangkitan), etika, irfan, kalam e-jadid (teologi modern), dan falsafeh-emuzaf (filsafat kontemporer), fikih politik (velayat-e faqih).
29
Untuk memahami sekilas pemikiran Misbah Yazdi, dapat merujuk salah satunya pada artikel Sajjad Rizvi dalam transendental philosophy (vol. II, no. 1, maret 2001) yang mengomentari karyanya yang populer; an Introduction to Contemporary Islamic Philosophy.