BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER Dalam kaitannya dengan kejadian luar biasa, dalam epidemiologi matematika dikenal suatu besaran ambang batas (threshold) yang menjadi indikasi apakah dalam suatu populasi akan terjadi epidemi atau tidak. Besaran ini dikenal dengan nama Basic Reproduction Number (R0). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.
3.1 Basic Reproduction Number (R0) Basic reproduction number (R0) menjadi suatu hal yang paling penting dalam mempelajari
epidemik,
khususnya
digunakan
dalam
membandingkan
efek
pengontrolan pada dinamika populasi, usaha yang dibutuhkan untuk pengontrolan dan keefektifannya. Dalam demografi dan ekologi, R0 diinterprestasikan sebagai nilai ekpektasi dari betina yang melahirkan keturunan betina selama masa hidupnya. Namun R0 biasanya digunakan dalam epidemik. R0 bergantung pada kontak/hubungan, penularan, perioda infeksi, heterogenitas, jalur transmisi (langsung, tidak langsung, vertical, horizontal, diagonal, melalui vektor dan lain-lain). Basic Reproduction Number (R0) adalah nilai ekpektasi dari terjadinya kasus sekunder akibat dari kasus primer dalam suatu populasi yang virgin dan tertutup.
13
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER Tertutup artinya terjadinya penambahan atau pengurangan jumlah populasi hanya melalui kelahiran dan kematian. Dalam penyebaran demam berdarah dengue, nilai R0 dapat mengindikasikan apakah timbul penularan suatu penyakit atau tidak sama sekali. Jika R0 >1 artinya pada populasi terjadi kasus epidemik atau terjadi penularan penyakit sedangkan R0 <1 artinya pada populasi tidak terjadi kasus epidemik atau tidak terjadi penularan penyakit. Ada beberapa metoda dalam menghitung Basic Rreproduction Number (R0) baik untuk penyakit infeksi yang ditulari lewat vektor maupun yang bukan melewati vektor, yaitu 1. Menghitung jumlah host yang berpotensial untuk terinfeksi oleh orang yang terinfeksi pertama kali. Namun ini membutuhkan data entomologi yang biasanya tidak diketahui. 2. Menggunakan hubungan antara R0 dengan nilai akhir yang merata. Untuk menaksir nilai rataannya, mesti diketahui jumlah akhir dari kasus dan ukuran populasi dimana epidemik sedang berkembang. Namun ini sulit untuk ditentukan. Karena bisa terjadi penaksiran yang terlalu rendah pada jumlah kasus yang tidak dilaporkan atau mungkin penaksiran yang terlalu tinggi karena kesamaan dari gejala demam berdarah atau penyakit lainnya. 3. Anggap penularannya berantai. Tapi ini sulit untuk menentukan siapa menginfeksi siapa dan ketika kasus tidak sesuai dengan yang sebenarnya. 4. Menaksir nilai R0 dari gradien pertumbuhan eksponensial jumlah kasus (force of infection). Metoda ini menggunakan data (biasanya data harian) dan tidak bergantung pada ukuran kasus yang dilaporkan dan dimonitor, selama ukuran ini diasumsikan konstan, dengan memasukkan nilai periode inkubasi intrinsik dan ekstrinsik, metode ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan metode lainnya.
14
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER
3.2 Model Basic Reproduction Number Demam Berdarah Dengue Ada beberapa Model yang akan dibahas dalam bab ini, antara lain
3.2.1 Model 1 Basic Reproduction Number Misalkan x(t) adalah jumlah susceptible, y(t) adalah individu terinfeksi, n(t) adalah total populasi dengan µ adalah angka kematian dari populasi host, β adalah kontak rate,
1
γ
adalah periode terinfeksi. Sehingga diperoleh hubungan dy (t ) x(t ) y (t ) =β − ( μ + γ ) y (t ) dt n(t )
(3.1)
Pada awal epidemik diasumsikan bahwa jumlah total populasi (n) sama dengan jumlah susceptible (x). dy (t ) = β y (t ) − ( μ + γ ) y (t ) dt dy (t ) = ( β − ( μ + γ )) y (t ) dt dy (t ) ∫ y(t ) = ∫ ( β − ( μ + γ ) ) dt
(3.2)
ln y (t ) = ( β − ( μ + γ ) ) t sehingga diperoleh solusi untuk Persamaan 3.1 adalah y (t ) = exp ⎡⎣( β − ( μ + γ ) ) t ⎤⎦ + C dengan C adalah suatu konstanta. Kemudian dengan menggunakan first doubling time (td) - yaitu selang waktu dimana jumlah kasus penyakit meningkat menjadi dua kali lipat atau
y(td) = 2y(0) – maka dari Persamaan 3.2 akan diperoleh nilai Basic
Reproduction Number (R0) sebagai berikut
15
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER ln 2 y (0) = ( β − ( μ + γ ))t d ln 2 + ( μ + γ )t d = β t d
β ln 2 +1 = ( μ + γ )t d (μ + γ ) R0 =
3.2.2
(3.3)
ln 2 +1 ( μ + γ )t d
Model 2 Basic Reproduction Number
Model lain yang digunakan dalam menentukan Basic Reproduction Number (R0) adalah dengan menggunakan force of infection ( Λ ) yaitu peluang susceptible (orang sehat yang mungkin sakit) menjadi terinfeksi, K (t ) ∼ e (
Λt )
(3.4)
dengan K adalah jumlah kasus demam berdarah pada saat t. Pada awal epidemik, populasi di asumsikan homogen.
Berikut adalah laju pertambahan jumlah host dan vektor penyakit demam berdarah dengue, d H S (t ) H S (t )V I (t ) = γ N H − mab − γ H S (t ) dt NV
(3.5)
H S (t − τ i )V I (t − τ i ) d H I (t ) = mab − γ H I (t ) dt NV
(3.6)
dV S (t ) V S (t ) H I (t ) = λ NV − ac − λV S (t ) dt NH
(3.7)
V S (t − τ e ) H I (t − τ e ) dV I (t ) = exp(−λτ e )ac − λV I (t ) dt NH
(3.8)
16
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER Keempat Persamaan di atas menjelaskan laju perubahan populasi tiap kompartemen sebagai berikut : 1. Laju jumlah susceptible host terhadap waktu. Penambahannya dipengaruhi oleh kelahiran alami susceptible host dan berkurang karena adanya kontak antara susceptible host dengan infectious vektor yang dipengaruhi oleh indeks banyaknya vektor terhadap host, nilai rata-rata dari gigitan perhari pervektor perhost, proporsi gigitan dari infectious vector pada susceptible host sehingga menjadi terinfeksi dibagi dengan jumlah total vektor, dan kembali berkurang karena adanya kematian dari susceptible host. 2. Laju jumlah infectious host terhadap waktu. Penambahannya dipengaruhi oleh adanya kontak antara susceptible host dengan infectious vector pada saat lampau, indeks banyaknya vektor terhadap host, jumlah rata-rata dari gigitan perhari pervektor perhost, proporsi gigitan infectious vector pada susceptible host sehingga menjadi terinfeksi terhadap jumlah total vektor, dan kembali berkurang karena kematian dari infectious host. 3. Laju jumlah susceptible vektor terhadap waktu. Penambahannya dipengaruhi oleh kelahiran alami dari vektor dan berkurang karena adanya kontak antara susceptible vektor dengan infectious host, nilai rata-rata dari gigitan perhari pervektor per host, proporsi gigitan dari susceptible vektor
pada host
sehingga menjadi infectious vector, dan berkurang karena kematian dari susceptible vektor. 4. Laju jumlah infectious vector terhadap waktu. Penambahannya dipengaruhi oleh adanya kontak antara susceptible vektor dengan infectious host pada saat lampau (masa inkubasi ekstrinsik pada vektor), nilai rata-rata dari gigitan perhari pervektor per host, proporsi gigitan dari susceptible vector pada host sehingga menjadi infectious vektor dan berkurang karena kematian dari infectious vektor.
17
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER Tabel Variabel dan Parameter Simbol Parameter
Nilai
H S (t )
jumlah susceptible host
variabel
H I (t )
jumlah infectious host
variabel
V S (t )
jumlah susceptible vector
variabel
V I (t )
jumlah infectious vector
variabel
NH
nilai awal dari susceptible host
6000
NV
jumlah total vektor
0-18000
a
nilai rata-rata dari gigitan perhari pervektor per host
0-0.5 /hari
b
c
proporsi gigitan dari infectious vector pada susceptible host sehingga menjadi terinfeksi proporsi gigitan dari susceptible vector pada host sehingga menjadi infectious vector
0-1
0-1
m
indek banyaknya nyamuk terhadap manusia
0-3
H0
proporsi awal dari susceptible host
1
γ
survive rate dari host
0-0.5 /hari
λ
survive rate dari vektor
0-0.2 /hari
τe
masa inkubasi ekstrinsik (pada vektor)
1-16 hari
τi
masa inkubasi intrinsik (pada host)
1-11 hari
Untuk kasus ini, jumlah host dan vektor yang tidak susceptible diabaikan, dan jumlah host dan vektor dapat diasumsikan sebagai berikut,
H I (t ) ≈ H 0 exp(Λt ) dan V I (t ) ≈ V0 exp(Λt ) H S (t ) ≈ N H dan V S (t ) ≈ NV
(3.9) (3.10)
Persamaan 3.9 dan 3.10 disubsitusikan ke Persamaan 3.6 dan 3.8 maka
18
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER mabN H V0 e Λ (t −τ i ) − γ H 0 e Λt NV
(A)
e( − λτ e ) acNV H 0 eΛ ( t −τ e ) = − λV0 e Λt NH
(B)
ΛH 0 e Λt = ΛV0 e
Λt
bagi Persamaan A dan B dengan e( Λt ) , sehingga didapatkan Persamaan (Λ + γ ) H 0 = (Λ + λ )V0 =
mabN H V0 e −Λτ i NV
e − λτ e acNV H 0 e− Λτ e NH
(C)
(D)
Subsitusikan C ke D
( Λ + λ )( Λ + γ ) eΛ (τ e+τ i ) = e−λτ e a 2 mbc
(E)
Kedua sisi Persamaan E dibagi dengan γλ sehingga diperoleh nilai R0 sebagai berikut, ⎛ Λ ⎞⎛ Λ ⎞ ma 2 bc exp ( −λτ e ) ⎜1 + ⎟ ⎜1 + ⎟ exp ⎡⎣ Λ (τ e + τ i ) ⎤⎦ = R0 * = γ ⎠⎝ λ ⎠ λγ ⎝
(3.11)
Maka secara umum dapat dituliskan Model untuk menentukan nilai Basic Reproduction Number (R0) adalah ⎛ Λ ⎞⎛ Λ ⎞ R0 = ⎜ 1 + ⎟ ⎜ 1 + ⎟ exp ⎡⎣ Λ (τ e + τ i ) ⎤⎦ γ ⎠⎝ λ ⎠ ⎝
(3.12)
3.3 Perhitungan Basic Reproduction Number (R0) Pada sub bab ini akan dihitung besarnya Basic Reproduction Number (R0) Demam Berdarah Dengue untuk kasus demam berdarah yang pernah terjadi di beberapa negara Asia dan kota Bandung dengan menggunakan Model yang ada pada sub bab 3.2. Dalam perhitungan ini, digunakan Model lain sebagai perbandingan yang ditemukan oleh Marques (1994)
19
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER ⎛ Λ⎞ R0 = ⎜⎜1 + ⎟⎟ ⎝ γ ⎠
(3.13)
⎛ Λ ⎞⎛ Λ ⎞ R0 = ⎜⎜1 + ⎟⎟⎜1 + ⎟ γ ⎠⎝ λ ⎠ ⎝
(3.14)
dan oleh Massad (2001)
3.3.1 Basic Reproduction Number (R0) untuk Kasus DBD di Beberapa Negara Asia Misalkan parameter yang digunakan adalah
λ = 0.2, γ = 0.5, τ e = 7 hari, dan τ i =5 hari dengan mensubtitusikan data penyakit DBD pada Persamaan 3.4 dan menggunakan Model 3.12, maka besarnya Basic Reproduction Number (R0) untuk beberapa Negara Asia adalah sebagai berikut
Gambar 3.1 Basic Reproduction Number DBD beberapa negara Asia
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa rata-rata R0 untuk kasus demam berdarah di beberapa negara di Asia lebih dari satu, artinya telah terjadi kasus endemik atau penyebaran penyakit DBD dibeberapa negara Asia.
20
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER
Sebagai perbandingan, akan dihitung R0 dengan menggunakan Model di Persamaan 3.13 dan 3.14 sehingga nilai R0 untuk negara Indonesia adalah seperti grafik berikut
Gambar 3.2 Basic Reproduction Number DBD di Indonesia
Grafik 3.2 memperlihatkan bahwa perhitungan R0 dengan menggunakan Model di Persamaan 3.12 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dua Model di Persamaan 3.13 dan 3.14 (Massad dan Marques). Model Massad dan Marques cenderung konstan karena hanya melibatkan beberapa parameter yang nilainya konstan jika dibandingkan dengan Persamaan 3.12.
3.3.2 Basic Reproduction Number (R0) untuk Kasus DBD di Kota Bandung Dengan menggunakan besaran parameter dan Model yang sama dengan sub bab 3.3.1, maka berdasarkan data kasus DBD di kota Bandung akan diperoleh perhitungan R0 untuk kota Bandung sebagai berikut
21
BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER
Gambar 3.3 Basic Reproduction Number DBD di Kota Bandung
Dari Gambar 3.3 dapat disimpulkan bahwa telah terjadi kasus endemik demam berdarah dengue di kota Bandung karena Basic Reproduction Number nya lebih besar dari satu baik menggunakan Model 3.12 maupun menggunakan Model Massad dan Marques dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
22