ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III AKIBAT HUKUM OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PTN-BH DITINJAU DARI BEBERAPA ASPEK 3.1 Otonomi dalam Pengelolaan Keuangan PTN-BH Dalam UU Dikti, bentuk-bentuk otonomi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yakni otonomi akademik dan otonomi non-akademik. Otonomi akademik merupakan otonomi yang secara kodrati dimiliki oleh PTN sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi. Otonomi akademik dapat berupa otonomi keilmuan, bahwa otonomi keilmuan diartikan bahwa PTN sebagai lembaga akademik dapat melaksanakan fungsi pendidikan secara mutlak tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sedangkan dalam otonomi non-akademik dikenal beberapa bentuk yang diantaranya adalah otonomi pengelolaan keuangan, otonomi pengelolaan ketenagaan, otonomi pengelolaan struktur dan organisasi PTN. Bentuk-bentuk otonomi sebagaimana disebutkan diatas merupakan bentuk pemberian kewenangan peraturan perundang-undangan kepada PTN-BH. Bentuk-bentuk pemberian kewenangan peraturan perundang-undangan secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan45 (UU Administrasi Pemerintahan). Dalam UU Administrasi Pemerintahan dikenal 3 (tiga) bentuk pemberian kewenangan yakni atribusi, delegasi, dan mandat yang diartikan sebagai berikut : 45
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.
75 Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
76 1. Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh UUD NRI 945 atau undang-undang. 2. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. 3. Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugar tetap berada pada pemberi mandat. Tentunya, kewenangan otonomi yang diberikan kepada PTN-BH secara umum sebagai bentuk dari otonomi merupakan suatu bentuk pemberian kewenangan secara atribusi karena telah diamanatkan oleh Undang-Undang. Terkait dengan keberadaan otonomi masing-masing PTN-BH kewenangannya diberikan secara delegasi, artinya kewenangan PTN-BH didapat dari kedudukan Statuta masingmasing PTN-BH. Statuta PTN-BH dalam UU Dikti diberikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai landasan hukum utama dalam pengelolaan PTNBH. Pendelegasian kewenangan PTN-BH diartikan sebagai pelimpahan kewenangan secara penuh dari Menteri Pendidikan Nasional sebagai pengelola pendidikan tinggi kepada Rektor masing-masing PTN-BH. Dengan demikian segala bentuk tanggung jawab dan tanggung gugat sepenuhnya beralih kepada Rektor masing-masing PTN-BH.
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
77 Dalam pelaksanaan pengelolaan PTN-BH, otonomi diartikan sebagai penyerahan kewenangan yang akan dikelola secara mandiri oleh PTN-BH. Dalam hal otonomi akademik, penyerahan kewenangan pengelolaan bersifat benar-benar mandiri tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Sedangkan dalam otonomi nonakademik bentuk otonomi tidak dilakukan secara penuh melainkan masih terdapat campur tangan pihak lain yakni pemerintah. Dapat dikatakan bahwa bentuk penyerahan kewenangan ini lebih mencocoki sebagai istilah semi-otonom. Hal ini dicontohkan
dalam
pengelolaan
keuangan
PTN-BH,
Pemerintah
tetap
memberikan anggaran senilai 20% (dua puluh persen) dalam pendidikan dengan pertanggungjawaban yang disesuaikan dengan dengan peraturan perundangundangan yang ada. Pengelolaan keuangan PTN-BH dikatakan semi-otonom karena PTN-BH tidak dapat secara mandiri mengelola keuangan yang diberikan oleh Pemerintah dan harus sesuai dengan rambu-rambu UUKN sebagai peraturan pokok terkait dengan keuangan negara. 3.2 Akibat Hukum Terkait Barang Milik Negara berupa Tanah dan Bangunan serta Hak Atas Tanah Pengelolaan tanah negara merupakan salah satu aspek yang diberikan sebagai bentuk Otonomi PTN. Tanah sebagai aset yang dimiliki PTN terkait dengan kepemilikan tanah negara yang dilakukan pengelolaan oleh PTN. Dalam Pasal 65 ayat (3) huruf a UU Dikti jo. Pasal 24 ayat (1) PP Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Tinggi menegaskan kekayaan PTN-BH adalah suatu bentuk kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah. Dapat diartikan bahwa,
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
78 dengan adanya otonomi PTN maka kekayaan negara yang semula melekat pada PTN menjadi milik sepenuhnya dari PTN-BH kecuali tanah. Tanah sebagai salah satu aset negara tidak dipisahkan dikarenakan kedudukan Hak Menguasai Negara atas Tanah. Hak menguasai negara atas tanah hakikatnya merupakan salah satu bentuk kewenangan negara untuk mengandung unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat Indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, rakyat Indonesia sebagai pemegang hak tertinggi memberikan mandat pengelolaan tanah yang diberikan kepada sebuah otoritas tertinggi yang dinamakan sebagai negara. Dalam UU Perbendaharaan Negara, telah dijelaskan bahwa Tanah dan Bangunan merupakan bagian dari kajian pengelolaan keuangan negara. Dapat dikatakan bahwa keberadaan tanah dan bangunan sebagai bentuk barang milik negara merupakan aset tidak bergerak yang pengaturannya selain bersumber pada UU Perbendaharaan Negara juga bersumber pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria46 (UUPA). Pada UU Perbendaharaan Negara mengatur terkait pengeloaan tanah yang dimiliki oleh instansi-instansi pemerintah sedangkan pada UUPA hanya mengatur perihal ketentuan perolehan tanahnya saja. Dapat dismpulkan bahwa pengaturan dalam UU Perbendaharaaan Negara hanya terbatas pada pengelolaan tanah dan bangunan yang menjadi milik negara dengan kata lain, UU Perbendaharaan
46
Skripsi
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
79 Negara merupakan lex specialis dari UUPA sebagai lex generalis. Mengenai konsep secara umum mengenai Hak Pakai atas tanah muncul dalam Pasal 16 UUPA dan diaatur secara khusus dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Selain UUPA, terdapat peraturan yang lebih spesifik yang mengatur mengenai Hak Pakai atas tanah yakni dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 58 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah47. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUPA, Hak Pakai atas Tanah adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanhanya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Dalam pengertian tersebut terdapat beberapa peristilahan yang bermakna bias yakni kata “menggunakan tanah” dan “memungut hasil dari tanah” dari 2 (dua) peristilahan tersebut daat dijelaskan bahwa makna “menggunakan tanah” adalah Hak Pakai sebagai alas hak dalam pendirian bangunan dan makna “memungut hasil dari tanah” adalah Hak Pakai dapat digunakan sebagai alas hak selain pendirian bangunan misalnya,
47
Skripsi
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643.
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
80 perkebunan, pertanian, perikanan, dan peternakan48.
Pengaturan lain adalah
terkait dengan subjek hukum dari Hak Pakai, berdasarkan Pasal 42 UUPA, subjek hukum Hak Pakai adalah : (1) WNI, (2) orang asing yang berkedudukan di Indonesia, (3) badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, (4) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Ketentuan tersebut disempurnakan dalam peraturan pelaksana yang menyebutkan bahwa subjek hukum hak pakai terdiri dari : 1. Warga Negara Indonesia 2. Badan
Hukum
yang
didirikan
menurut
hukum
Indonesia
dan
berkedudukan di Indonesia 3. Departemen, Lembaga Pemerintah non-departemen, dan Pemerintah Daerah 4. Badan-Badan Keagamaan dan Sosial 5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia 6. Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia 7. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional Sebagai Pemegang Hak Pakai, subjek hukum tersebut juga dikenakan sebuah hak dan kewajiban atas penggunaan fasilitas Hak Pakai tersebut. Hak Pemegang Hak Pakai antara lain :
48
Skripsi
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, hal 119
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
81 1. Menguasa dan menggunakan tanah selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi dan usahanya; 2. Memindahkan Hak Pakai kepada pihak lain; 3. Membebaninya dengan Hak Tanggungan 4. Menguasai dan menggunakan tanah untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama kepentingannya digunakan untuk keperluan tertentu. Selain pengaturan terkait hak pemegang Hak Pakai, kewajiban pemegang Hak Pakai adalah sebagai berikut: 1. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas Hak Milik; 2. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas Hak Milik; 3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yanga ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; 4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemilik tanah sesudah Hak Pakai tersebut hapus;
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
82 5. Menyerahhkan sertipikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat 6. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung oleh tanah Hak Pakai. Terdapat 3 (tiga) asal usul perolehan Hak Pakai atas Tanah yakni Hak Pakai atas Tanah Negara, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan, dan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik Pengaturan terkait tanah dan bangunan dalam UU Perbendaharaan Negara hanya terbatas pada pemindahtanganan yang meliputi : 1. Pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan 2. Tanah dan/atau Bangunan tidak termasuk tanah dan/atau bangunan, yang : 1. sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota; 2. harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; 3. diperuntukkan bagi pegawai negeri; 4. diperuntukkan bagi kepentingan umum; 5. dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
83 perundang-undangan, jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. Dalam hal pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan kewenangannya dimiliki oleh beberapa instansi yaitu : 1. Dewan Perwakilan Rakyat 2. Menteri Keuangan untuk tanah dan/atau bangunan yang nilainya sampai dengan sepuluh miliar 3. Presiden untuk tanah dan/atau bangunan yang nilainya antara sepuluh miliar hingga seratus miliar. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa keberadaan UU Perbendaharaan Negara mengatur mengenai pengelolaan tanah dan/atau bangunan yang menjadi aset yang telah dimiliki oleh PTN-BH. Pengelolaan tersebut hanya sebatas pada status yang diberikan oleh negara kepada PTN-BH sebagai bentuk kekayaan negara yang dipisahkan. Tentunya, pengelolaan tanah dan/atau bangunan ini terbatas pada instansi yang memiliki kewenangan yang secara atribusi delegatif diberikan oleh negara. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA yang hanya mengatur mengenai cara perolehan hak atas tanah yang diberikan kepada PTN-BH. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat diklasifikasikan bahwa penggunaan Hak Pakai atas Tanah yang digunakan oleh PTN-BH didasarkan pada Hak Pakai atas Tanah Barang Milik Negara. Pemakaian atas tanah negara tersebut
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
84 terdapat dalam ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU Dikti yang menyebutkan bahwa tanah merupakan kekayaan negara yang tidak dipsahkan dari kekayaan awal PTN BH. Dalam Penjelasan Pasal 65 ayat (3) tersebut dijelaskan bahwa kekayaan berupa tanah tersebut dapat dimanfaatkan dan pendapatan dari tanah tersebut dapat dijadikan kekayaan PTN-BH selain itu, kekayaan berupa tanah negara tersebut tidak dapat dipindahtangankan atau dijaminkan kepada pihak lain. Ketentuan tersebut mencocoki bahwa tanah milik negara yang dimiliki oleh PTNBH memiliki alas hak Hak pakai atas Tanah Barang Milik Negara yang jelas tidak bisa dipindahtangankan. Pengelolaan tanah hingga dapat menjadikan kekayaan bagi PTN Badan Hukum merupakan imbas pemberian otonomi. Dengan demikian, perolehan tanah yang digunakan oleh PTN-BH berdiri diatas alas Hak Pakai yang pengelolaannya mengikuti ketentuan UU Perbendaharaan Negara sebagai bentuk Barang Milik Negara. Dengan kata lain, yang dimiliki oleh PTNBH hanyalah hak pakai atas tanah saja sedangkan tanah yang dikenai hak pakai tetap menjadi barang milik negara yang tidak dipisahkan dan masuk dalam inventaris barang milik negara. Terkait dengan pembanding, dalam PTN berbentuk pengelolaan BLU status tanah tidak diatur secara khusus dalam statuta masing-masing PTN tersebut, jika dikaitkan dengan status PTN dengan sistem pengeleloaan BLU yang masih mendapatkan intervensi negara dalam pengelolaannya tetap menggunakan Hak Pakai atas Tanah Barang Milik Negara yang sama-sama tidak dapat dipindahtangankan dan tidak bisa dijaminkan. Sedangkan status tanah dalam
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
85 pengelolaan PTN tersebut masih menjadi tanggung jawab negara dan pengelolaan serta hasil pengelolaannya menjadi bagian audit dari PTN tersebut oleh Negara. Dalam sistem BLU seperti yang dipaparkan diatas , BLU merupakan bentuk pendelegasian tugas dari instansi pemerintah yang lebih tinggi. Jadi, secara atributif pendelegasian tugas dan wewenang PTN dengan sistem Pengelolaan BLU menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional secara khusus dan Negara secara umum, sehingga hasil tanah negara yang dimanfaatkan tersebut tidak serta merta menjadi milik PTN dengan sistem pengelolaan BLU tersebut. Selain itu, dalam perolehan tanah yang dilakukan oleh PTN-BH harus mengikuti mekanisme yang terdapat dalam UU Keuangan Negara dengan melalui pengajuan dalam APBN. Hal tersebut dikarenakan adanya ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan BadanBadan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah 49. Dalam Pasal 1 menjelaskan bahwa badan hukum yang berhak memiliki hak milik atas tanah antara lain : 1. Bank-bank yang didirikan oleh negara (Bank Negara) 2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139) 3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria 49
Skripsi
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah , Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1963 Nomor 61.
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
86 setelah mendengar Menteri Agama 4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial Dari keempat jenis badan hukum yang dapat memperoleh Hak Milik atas Tanah tersebut, PTN-BH tidak termasuk salah satu diantaranya, artinya, PTN-BH tidak termasuk dalam kriteria subjek pemegang Hak Milik atas Tanah.. 3.3 Akibat Hukum Terkait Kedudukan Barang Milik Negara selain Tanah dan Bangunan Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya, atau penetapan Undang-Undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Benda tak bergerak diatur dalam Pasal 306, 507, dan 508 BW. Sehingga terdapat 3 (tiga) golongan benda tak bergerak yakni : 1. Benda yang menurut “sifatnya” memang tak bergerak. Benda tak bergerak menurut sifatnya ini dibagi lagi menjadi 3 (tiga) macam : 1. Tanah 2. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serat bercabang (seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik , dan sebagainya) 3. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karenna didirikan diatas tanah yaitu karena tertanam atau terpaku (bangunan)
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
87 2. Benda yang menurut “tujuan pemakaiannya” supaya bersatu dengan tanah, seperti 1. Pada Pabrik ; segala macam mesin-mesin, katel-katel, dan alat-alat lain yang dimaksudkan supaya terus menerus berada disitu untuk digunakan dalam menjalankan pabrik 2. Pada suatu perkebunan; segala sesuatu yang digunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain lain 3. Pada rumah kediaman; segala bentuk kaca, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding, sarang burung yang dapat dimakan (walet) 4. Barang-barang
reruntuhan
dari
suatu
bangunan,
apabila
dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan tersebut. 3. Benda yang menurut “penetapan Undang-Undang” sebagai benda tak bergerak, antara lain : 1. Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak (seperti hak postal, hak hipotek, hak tanggungan, dan sebagainya) 2. Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (berdasarkan WvK atau KUHD) Benda Bergerak adalah benda-benda yang karena sifatmya, tujuannya,
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
88 atau penetapan Undang-Undang dinyatakan sebagai benda bergerak. Benda bergerak diatur dalam Pasal 509, 510, dan 511 BW. Terdapat 2 (dua) golongan benda bergerak yakni : 1. Benda yang menurut “sifatnya” bergerak dalam arti benda tersebut dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain misalnya kendaraan bermotor, alat perkakas, perabot rumah tangga 2. Benda yang menurut “penetapan Undang-Undang” sebagai benda bergerak ialah segala hak atas bnda-benda bergerak. Misalnya, Hak atas kekayaan Intelektual, hak memetik buah-buahan, hak mengambul hasil, hak atas surat berharga. Perbedaan antara benda tak bergerak dan benda bergerak tersebut sangat penting karena terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda tersebut misalnya : 1. Mengenai Hak Bezit; dalam Pasal 1977 ayat (1) BW menentukan bahwa barangsiapa yang menguasai benda bergerak maka dialah yang dianggap sebagai pemiliknya. Sedang dalam hukum benda tak bergerak tidak bisa dianggap demikian. 2. Mengenai pembebanan (bezwaring); dalam BW dijelaskan bahwa terhadap benda bergerak yang dapat dibebankan adalah jaminan gadai, sedangkan pada benda tak bergerak adalah dengan lembaga jaminan hipotek (Pasal 1150 dan Pasal 1162 BW). Seiring dengan berlakunya
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
89 UUPA hipotek atas tanah diganti dengan Hak Tanggungan. 3. Mengenai penyerahan (levering); berdasarkan Pasal 612 BW penyerahan benda bergerak adalah melalui penyerahan langsung, sedangkan benda tak bergerak berdasarkan Pasal 616 BW harus dilakukan balik nama pada daftar umum. 4. Mengenai daluwarsa (verjaring); pada benda bergerak tidak mengenal konsep daluwarsa sebab menguasai (bezit) sama dengan memiliki (eigendom). Sedangkan benda tak bergerak mengenal daluwarsa 20 (dua puluh) tahun untuk benda dengan alas hak yang sah atau 30 (tiga puluh) tahun untuk benda tak bergerak tanpa adanya alas hak. 5. Mengenai penyitaan (beslag); terhadap benda bergerak berlaku revindicatoir beslag dengan menuntut kembali benda bergerak miliknya yang berada dalam penguasaan orang lain. Sedangkan dalam benda tak bergerak yang berlaku adalah excecutoir beslag yakni penyitaan melalui putusan pengadilan. Pembagian jenis benda bergerak maupun benda tak bergerak ini yang akan dijadikan pedoman dalam menganalisis bentuk pengelolaan benda bergerak yang merupakan bagian dari barang milik negara maupun barang milik daerah yang terdapat dalam PTN-BH. Bentuk pengelolaan ini akan ditinjau dari sudut hukum perbendaharaan negara yang terdapat dalam UU Perbendaharaan Negara. Pengertian Perbendaharaan Negara yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
90 Perbendaharaan
Negara
adalah
segala
bentuk
pengelolaan
dan
pertanggungjawaban keuangan negara termasuk investasi dan kekayaan negara yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pada dasarnya kedudukan hukum perbendaharaan negara dan hukum keuangan negara memiliki kesetaraan kedudukan dan saling berhubungan. Keduanya memiliki kesamaan yang membahas mengenai salah satu obyek vital dalam penyelenggaraan negara yakni pengelolaan terhadap keuangan negara. Bedanya, hukum keuangan negara mengatur terkait pelaksanaan dan prosedur pengelolaan keuangan negara secara teknis sedangkan, hukum perbendaharaan negara mengatur mengenai penggunaan uang negara yang prosedurnya telah diatur dalam UU Keuangan Negara. Sehingga keduanya memiliki hubungan yang erat dalam penyelenggaraan negara. Tentunya, kajian mengenai pengelolaan PTN-BH tidak akan terlepas dari kedua hal tersebut. Pengelolaan PTN-BH dapat dikategorikan sebagai salah satu objek kajian hukum perbendaharaan negara dikarenakan PTN-BH masih menggunakan anggaran yang disediakan oleh negara dalam pengelolaannya selain itu, kedudukan kelembagaan PTN-BH yang masih belum jelas juga menjadi salah satu penyebab masuknya hukum perbendaharaan negara dalam kajian tersebut. Perlu digaris bawahi bahwa PTN-BH juga memiliki kekayaan negara yang telah dipisahkan sehingga juga masuk dalam kajian hukum perbendaharaan negara. Kekayaan negara yang dipisahkan inilah yang berdasarkan Pasal 1 angka 10 dan Pasal 1 angka 11 UU Perbendaharaan Negara termasuk Badan Milik Negara yang diartikan sebagai semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
91 APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah dan Barang Milik Daerah yang diartikan sebagai barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Pengelolaan kekayaan negara berdasarkan UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara meliputi 4 (empat) hal yang saling terkait yakni : 1. Pengelolaan Uang Negara 2. Pengelolaan Piutang Negara 3. Pengelolaan Investasi; dan 4. Pengelolaan Barang Milik Negara Barang milik negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan keuangan negara sehingga memerlukan pengelolaan agar dapat digunakan secara maksimal untuk kepentingan negara. Dalam pengelolaan barang milik negara memiliki beberapa pihak yang terkait dengan pengelolaan barang milik negara yaitu : 1. Menteri Keuangan sebagai pengatur dan pengelola barang milik negara 2. Menteri/pimpinan lembaga negara non kementerian dan pimpinan lembaga negara merupakan pengguna barang milik negara yang disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing 3. Kepala kantor dalam lingkungan kementerian berperan sebagai kuasa pengguna barang milik negara.
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
92 Landasan teori pelimpahan kewenangan dari ketiga jenis badan penyelenggara negara tersebut merupakan salah satu bentuk wewenang secara atribusi. Kewenangan secara atribusi tersebut adalah dampak dari pembagian kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang. Dengan adanya pelimpahan kewenangan secara atribusi tersebut maka tanggung jawab juga beralih secara penuh kepada penerima penerima kewenangan. Pada dasarnya barang milik negara dan/atau barang milik daerah terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu tanah dan/atau bangunan serta barang lainnya selain tanah dan/atau bangunan. Secara yuridis, tanah dan/atau bangunan dapat dikategorikan sebagai benda tetap atau biasa disebut benda tak bergerak sedangkan benda non tanah dan/atau bangunan dapat diklasifikasikan secara yuridis sebagai benda bergerak. Barang milik negara yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara tidak dapat dipindahtangankan kecuali mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemindahtanganan tersebut dapat berupa beberapa cara, yakni : 1. Jual beli 2. Tukar menukar 3. Hibah 4. Penyertaan modal pemerintah. Persetujuan yang diberikan oleh DPR ini digunakan dalam pemindahtanganan barang milik negara yang berupa tanah dan/atau bangunan serta barang milik
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
93 negara selain tanah dan/atau bangunan yang nilainya lebih dari 10 (sepuluh) miliar rupiah. Sedangkan untuk barang milik negara bukan tanah dan/atau bangunan yang nilainya sampai dengan 10 (sepuluh) miliar rupiah dapat dilakukan dengan persetujuan menteri keuangan. Hal tesebut pada dasarnya digunakan sebagai bentuk pertanggung jawaban negara agar menimbulkan kepastian hukum ketika dilakukan pemindahtanganan barang milik negara kepada pihak lain. Pengalihan kepemilikan barang milik negara kepada pihak lain harus dilakukan dengan cara-cara tersebut diatas dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misal : penjualan barang milik negara dapat dilakukan dengan cara lelang. Dalam pengalihan kepemilikan barang milik negara terdapat beberapa instrumen hukum sebagai batasan yang berupai larangan dalam pengelolaan barang milik negara, antara lain : 1. Larangan untuk menyerahkan barang milik negara kepada pihak lain sebagai bentuk pembayaran atas tagihan. 2. Larangan untuk menggadaikan atau menjaminkan barang milik negara untuk mendapatkan pinjaman 3. Larangan untuk melakukan penyitaan terhadap barang milik negara yang berupa : 1) Barang bergerak milik negara yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga. 2) Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya yang menjadi
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
94 milik negara. 3) Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan. Terkait dengan sistem kelembagaannya, PTN-BH merupakan sebuah lembaga negara yang bersifat otonom yang masih mendapatkan sumber pendanaan dari pemerintah maka tetap harus memberikan pertanggungjawaban keuangannya kepada pemerintah. Selain itu, barang yang dimiliki PTN-BH merupakan barang milik negara yang pertanggungjawaban penggunaannya tetap kepada negara. Namun, dengan adanya ketentuan yang mengatur bahwa kekayaan PTN-BH merupakan kekayaan negara yang dipisahkan maka barang milik negara yang ada padanya hanya terbatas pada bentuk keikutsertaan/partisipasi negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini dapat disamakan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU BUMN yang keduanya menyebutkan bahwa BUMN maupun PTN-BH memiliki kekayaan negara yang terpisahkan. Terhadap kekayaan negara yang dipisahkan tersebut inilah yang menjadikan masuknya pengaturan UU Perbendaharaan Negara. Namun, dalam kajian terhadap kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN tidak dikaji menurut UU Perbendaharaan Negara melainkan menggunakan UU BUMN sebagai lex specialis dan UU Perseroan Terbatas sebagai lex generalis. Setidaknya, konsep BUMN dan PTNBadan Hukum ini tetap memiliki perbedaan walalupun status yang diberikan kepada keduanya sama-sama kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam UU BUMN, yang dimaksud sebagai kekayaan negara yang
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
95 dipisahkan merupakan suatu bentuk penyertaan uang negara yang nantinya dikonversi menjadi suatu saham yang menjadi syarat mutlak berdirinya suatu Perseroan Terbatas. Dari ketentuan diatas memiliki beberapa persepsi terkait keberadaan uang negara yang dipisahkan tersebut. Dalam perbedaan persepsi tersebut permasalahan pokok yang timbul adalah mengenai dikotomi uang negara dan uang privat dalam BUMN. Wakil Ketua BPK RI, Hasan Bisri berpendapat50 bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan dalam UU Keuangan Negara tidak seutuhnya dipisahkan dari kepemilikan dan pengelolaan keuangan negara, melainkan sebatas pemisahan dari APBN saja. Berbeda dengan itu, Hikmahanto Juwana51 yang berpendapat bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang mendasari bahwa kekayaan negara yang disetor dalam BUMN bukan merupakan bagian dari keuangan negara, antara lain pertama bahwa uang yang disetorkan oleh negara akan dikonversi menjadi saham oleh BUMN sehingga kepemilikan saham itulah yang akan dicatatkan dala daftar kekayaan negara yang dipisahkan. Kedua, konsep pengelolaan Keuangan Negara dengan keuangan BUMN berbeda, dalam mengelola keuangan negara bukan merupakan suatu instansi yang dapat menimbulkan akibat hukum laba dan rugi sedangkan BUMN juga bisa menimbulkan kerugian akibat suatu akibat bisnis. Ketiga, konsep menyamakan kondisi BUMN dengan negara menyalahi konsep uang 50
51
Skripsi
Penjelasan Hasan Bisri dalam sidang pengujian Undang-Undang 17 tahun 2003 terhadap UUD 1945 dalam Sidang MK September 2013 dalam Udin Silalahi, Kajian Seputar Problematika Keuangan Negara, Aset Negara, dan Kekayaan Negara yang dipisahkan, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia. Jakarta bersama Azza Grafika , Yogyakarta, 2013, hal. 9 Hikmahanto Juwana, Uang BUMN, Uang Negara?, Harian Kompas 7 Juli 2013, Hal. 7, dalam Op.Cit, Hal. 10-11
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
96 publik dan uang privat. Dengan adanya konsep BUMN yang mengalami dikotomi seperti di atas, terkait dengan pengelolaan PTN-BH akan menimbulkan kerancuan. Makna kekayaan negara yang dipisahkan akan menjadi berbeda. PTN-BH sebelum adanya UU Dikti merupakan instansi yang mendapatkan wewenang delegasi dari Kementerian Pendidikan Nasional untuk menjalankan fungsinya sebagai penyalur jasa pendidikan yang merupakan suprstruktur fungsi negara yang terdapat dalam Konstitusi. Sedangkan BUMN murni merupakan penerapan fungsi entrepeneur yang dilakukan oleh negara untuk mendapatkan suatu keuntungan bagi negara. PTN-BH yang berada ditengah-tengah himpitan fungsi kelembagaan negara, sehingga, dapat disimpulkan bahwa kedudukan PTN-BH merupakan suatu lembaga otonom yang tidak lagi menjadi sub structure dari salah satu Kementerian Negara dan sistem pengelolaan Keuangan Negara PTN-BH telah dipisahkan dari sistem APBN yang menjadikan status uang negara yang diberikan tetap menjadi milik negara. Terkait dengan pengelolaan barang milik negara, sebelum adanya status PTN-BH segala macam benda bergerak maupun benda tak bergerak tentunya merupakan menjadi milik negara. Semenjak adanya UU Dikti maka secara atribusi benda-benda yang semula menjadi milik negara tersebut beralih pengelolaannya kepada PTN-BH. Peralihan status tersebut tentunya menimbulkan polemik yang panjang. Polemik tersebut muncul karena adanya diskursus dasar hukum yang dipakai dalam melakukan pengelolaan barang negara tersebut.
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
97 Pengaturan terkait pengelolaan aset PTN-BH diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PP Pendanaan PTN-BH)52, ketentuan tersebut membagi jenis pengelolaan barang yang ada dalam PTN-BH yakni : 1. Barang yang diperoleh oleh PTN-Badan Hukum dicatat sebagai daftar inventaris dan dikelola secara penuh oleh PTN-BH 2. Barang yang diperoleh PTN-BH dari kekayaan negara yang dipisahkan menjadi hak pengelolaan PTN-BH. 3. Tanah yang berada dalam penguasaan PTN-BH yang diperoleh dari APBN merupakan barang milik negara yang tetap dimasukkan dalam daftar inventaris barang milik negara. Hal ini diartikan bahwa hak atas tasnah yang dimiliki oleh PTN-BH tidak termasuk kekayaan negara yang dipisahkan. 4. Secara a contrario, tanah yang diperoleh oleh PTN-BH diluar APBN dapat dimasukkan sebagai inventarisasi aset yang dimiliki oleh PTNBH. Pengelolaan lembaga/instansi
PTN-BH
yang
sebelum
diberikan
adanya
wewenang
UU
delegasi
Dikti oleh
dikategorikan Kementerian
Pendidikan untuk menjalankan fungsi pendidikan tinggi. Demikian pula dengan
52
Skripsi
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5438.
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
98 status barang milik negara yang terdapat pada PTN-BH. Barang milik negara pada dasarnya merupakan inventaris negara yang dengan adanya UU Dikti menjadikan barang inventaris negara tersebut dipisahkan dari negara dan menjadi beban pengelolaan dari PTN-BH. Pemisahan pengelolaan barang yang semula menjadi milik negara menjadi milik PTN-BH dapat disinyalir sebagai upaya mengubah kedudukan PTN-BH yang semula badan hukum publik menjadi badan hukum privat. Pemisahan kekayaan negara inilah yang disebut sebagai penyertaan kekayaan negara kepada PTN-BH. Dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan PTN-BH, seluruh bentuk barang milik negara kecuali tanah yang dikuasai menjadi wewenang pengelolaan dari PTN-BH sehingga inventaris tersebut tidak bisa dimasukkan dalam kajian hukum perbendaharaan negara. 3.4 Akibat Hukum Terhadap Pola Pengelolaan Keuangan Negara Pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Sebagai badan hukum publik, negara memiliki fungsi yang wajib dilaksanakannya sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat UUD NRI 1945. Fungsi tersebut antara lain : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) untuk memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdsarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dari keempat hal tersebut tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila tidak ditipang dengan keuangan negara sebagai sumber pembiayaan. Dengan demikian, posisi keuangan negara sangat penting untuk mewujudkan tugas negara yang menjadi
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
99 tanggung jawab pemerintah. Pengertian keuangan negara secara khusus terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara, dalam Pasal tersebut keuangan negara diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian Keuangan Negara tersebut memiliki sebuah arti luas dan arti sempit, dalam arti luas Keuangan Negara diartikan meliputi hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk barang milik negara yang tidak tercakup dalam anggaran negara. Sedangkan dalam arti sempit, Keuangan Negara hanya terbatas pada hak dan kewajiban negara, termasuk barang milik negara yang tercantum dalam anggaran negara untuk tahun bersangkutan 53. Penjelasan sebagaimana tersebut diatas pada dasarnya didasarkan pada Penjelasan Umum yang terdapat dalam UU Keuangan Negara yakni : 1. Dari sisi Obyek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut; 2. Dari sisi subyek, yang dimaksud keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut diatas yang dimiliki oleh negara, dan/atau dikuasai 53
Skripsi
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara : Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal. 11
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
100 oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang berkaitan dengan keuangan negara; 3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan hingga pertanggungjawaban; 4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan
objek
sebagaimana
tersebut
diatas
dalam
rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara. Sebagai badan hukum publik dan badan hukum privat, keduanya memiliki perbedaan yang secara prinsipiil dalam pengelolaan keuangan negara. Badan hukum publik jelas harus tunduk pada pengaturan UU Keuangan Negara sebagai bentuk pertanggungjawaban atas konsekuensi yuridis tersebut, sedangkan badan hukum privat termasuk BUMN tunduk pada hukum privat yakni tunduk akan konsensus yang telah dibuat sebagai pedoman pelaksanaan perseroan. Dalam Pasal 2 huruf I UU Keuangan Negara menegaskan bahwa kekayaan pihak lain yang diperoleh dari kekayaan negara termasuk pula bagian dari kekayaan negara. Sehingga, ketika terjadi kerugian atau bahkan dinyatakan pailit maka negara turut serta bertanggung jawab atas beban yang dialami oleh pihak swasta tersebut. Terkait dengan kedudukan BHMN, PTN-BH sesuai dengan UU Dikti
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
101 merupakan suatu kekayaan negara yang dipisahkan, kedudukannya dapat diartikan memiliki kesamaan dengan BUMN. Dalam kajian keuangan negara, kedudukan BHMN terdapat dalam ranah hukum privat sehingga kajian mengenai keuangan negara tidak dapat diberlakukan dalam BHMN. Kajian tersebut memang dibenarkan dalam teori akan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaan PTNBH tetap melibatkan keuangan negara. Berdasarkan Pasal 83 UU Dikti disebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan dana kepada PTN-BH dalam setiap penganggaran APBN dan/atau APBD. Selain itu, dalam Pasal 89 Ayat (1) UU Dikti diterangkan bahwa penggunaan dana dalam APBN dan/atau APBD tersebut digunakan sebagai biaya operasional, dosen dan tenaga kependidikan, serta investasi dan pengembangan. Dengan pola demikian kedudukan badan hukum PTN-BH tidak murni merupakan Badan Hukum seperti yang terdapat dalam UU BUMN dan/atau perusahaan negara lainnya karena PTNBH tidak murni sebagai badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan, melainkan dalam pengelolaannya tetap didasarkan pada pemberian anggaran negara. Dalam ketentuan yang lain, seperti yang terdapat dalam Pasal 89 ayat (5) UU Dikti dijelaskan bahwa Pemerintah dapat memberikan dana bantuan operasional PTN yang diambil dari anggaran pendidikan yang bersumber dari Dana Kementerian diluat Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa penerimaan anggaran oleh PTN-BH merupaka bentuk penerimaan pengangaran dari Pemerintah yang diberikan melalui fungsi Anggaran
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
102 dari Kementerian yang terkait sehingga PTN-BH bukan merupakan Badan Hukum yang mandiri karena penerimaan dan pengelolaannya didasarkan pada APBN. Ketidakjelasan status hukum dari PTN-BH inilah yang menimbulkan status uang negara yang dimiliki PTN-BH. Berbeda dengan kedudukan BLU sebagai pendelegasi tugas pemerintah tetap menjadikan BLU sebagai Badan Hukum Publik sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya tunduk pada UU Keuangan Negara. Pengelolaan keuangan negara pada umunya berada dalam tanggung jawab menteri keuangan sebagai bendahara umum negara. Tugas menteri keuangan sebagai bendahara umum negara adalah menguasai semua bentuk uang negara. Uang negara diartikan sebagai rupiah dan valuta asing yang terdapat dalam kas negara dan uang pada bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian, dan lembaga negara. Dari penjelasan mengenai definisi uang negara diatas, keberadaan PTNBH merupakan suatu instansi pemerintah yang memberikan fungsi pelayanan pendidikan yang sesuai dengan amanat konstitusi. Ditinjau dari kelembagaannya, PTN-BH merupakan lembaga yang berada dalam pengawasan Menteri yang mengurusi bidang pendidikan tinggi. Dalam Pasal 65 ayat (3) UU Dikti memiliki hak untuk mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel. Keberadaan hak tersebut merupakan imbas dari pemberian otonomi terhadap pengelolaan suatu badan hukum. Otonomi pengelolaan keuangan pada PTN-BH bertentangan
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
103 dengan konsep keuangan negara yang menegaskan bahwa setiap instansi pemerintahan harus mengelola sesuai dengan koridor UU Keuangan Negara yang menitikberatkan pada pertanggungjawaban yang akuntabel. Selain itu, kriteria badan hukum yang digunakan oleh PTN-BH tidak seperti BUMN atau perseroan terbatas lainnya karena pada PTN-BH tetap mendasarkan pembiayaan pada sistem penganggaran APBN yang nantinya akan dikelola secara mandiri, sedangkan dalam BUMN kekayaan negara hanya terdapat pada permulaan pendirian sebagai bentuk penyertaan modal negara terhadap kepada BUMN. Terlebih dalam Pasal 3 PP Pendanaan PTN-BH dijelaskan bahwa sumber pendanaan PTN-BH berpangkal pada anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah dalam APBN. Alokasi dana tersebut merupakan bagian dari 20% (dua puluh persen) dari total anggaran fungsi pendidikan. Menurut pasal tersebut sumber pendanaan PTN-BH dapat dibagi menjadi 6 (enam) jenis yakni: 1. Masyarakat; hal ini merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam pendanaan PTN-BH yang dapat berupa sumbangan, hibah, dan/atau sumber yang lain. 2. Biaya Pendidikan; biaya pendidikan merupakan contra prestatie atas jasa yang diberikan oleh PTN-BH kepada mahasiswa sehingga biaya pendidikan merupakan kewajiban mahasiswa. 3. Pengelolaan dana abadi dan usaha-usaha PTN-BH; inilah yang menjadi legal standing pendirian badan usaha oleh PTN-BH.
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
104 4. Pengelolaan kekayaan negara yang diberikan Pemerintah dan Pemerintah daerah untuk kepentingan pengembangan pendidikan tinggi. 5. Sumber-sumber lain yang sah. Kelima sumber pendanaan PTN-BH tersebut dikelola secara mandiri oelh PTNBH dengan otonomi non-akademik yang diberikan kepada PTN-BH. Cotoh otonomi dalam pengelolaan keuangan negara inilah yang diartikan sebagai bentuk otonomi semu yang diberikan oleh negara. Diartikan semu karena pada dasrnya otonomi tersebut tidak serta merta dilakukan secara penuh melainkan hanya sebagian
yakni
dalam
pelaksanaannya
saja
akan
tetapi,
dalam
pertanggungjawaban tetap menganut asas yang sesuai dengan UUKN. Pendapatan PTN-BH dikategorikan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak54 (UU PNBP) yang dikategorikan sebagai penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Pengelolaan PNBP ini menjadi penting karena dalam UU PNBP mewajibkan bahwa instansi subjek PNBP wajib segera untuk menyetor hasil PNBP tersebut kepada negara. Penentuan besaran PNBP ini dapat ditentukan melalui penetapan pemerintah atau penghitungan instansi yang bersangkutan. Dengan demikian terbukti bahwa otonomi pengelolaan keuangan yang diberikan pada PTN-BH tidak mutlak. 54
Skripsi
Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687.
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
105 Dengan demikian, keberadaan BHMN sebagai bentuk baru badan hukum bukan merupakan suatu solusi yang tepat karena keberadaan BHMN tidak memiliki landasan teori yang kuat, sehingga kedudukannya sangat lemah. Kelemahan hal tersebut terlihat pada sistem keuangan dan pengelolaan keuangan yang terdapat dalam BHMN umumnya dan PTN-BH khususnya. Berbeda dengan kedudukan BLU sebagai bentuk pendelegasian tugas negara yang tetap mendasarkan kewenangan pengelolaan keuangan negaranya atas dasar UU Keuangan Negara. Pertanggungjawaban keuangan BLU dapat diartikan sama seperti pertanggungjawaban Lembaga Negara lainnya. 3.5 Akibat Hukum dalam Pola Pengelolaan Sistem Kepegawaian Pada Perguran Tinggi Negeri (PTN) Dalam kajian teori, disebutkan bahwa terdapat hubungan antara Hukum Administrasi dengan Hukum Kepegawaian yang disebut dengan openbare dientsbetrekking (hubungan dinas publik) terhadap negara yang merupakan salah satu bentuk hubungan subordinatie yakni hubungan antara atasan dengan bawahan. Selain itu, dapat dikategorikan bahwa subjek hukum dari hukum kepegawaian adalah PNS. Selain itu terdapat beberapa pendapat mengenai hubungan dinas publik antara lain : 1. Menurut Logemaann hubungan dinas publik terjadi ketika seseorang mengikatkan dirinya untuk tunduk pada perintah pemerintah untuk melakukan suatu atau beberapa jabatan yang dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan lain. Dalam hal ini yang diartikan sebagai
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
106 hubungan dinas publik adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu yang berakibat bahwa pegawai yang bersangkutan tidak menolak pengangkatannya dalam suatu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah atau sebaliknya pemerintah berhak mengangkat pegawai tanpa harus ada persetujuan dari yang bersangkutan55 2. Kajian hubungan dinas publik ini berkaitan dengan segi pengangkatan Pegawai Negeri. Hubungan antar pegawai negeri dengan negara dari segi pengangkatan ini dikenal sebagai teori Contrac Suigeneris. Teori yang didasarkan pada pendapat Buys ini mensyaratkan bahwa pegawai negeri harus setia dan taat selama menjadi Pegawai Negeri, meskipun disetiap saat dia bisa mengundurkan diri. Pendapat Buys berarti meniadakan hak asasi pegawai negeri sehingga Pemerintah dapat menyatakan bahwa yang bersangkutan
bukanlah
orang
yang
diperlukan
bantuannya
oleh
pemerintah. Pendapat tersebut ditentang oleh Y. Helskrek dengan mengemukakan pendapat bahwa ketika Pemerintah membatasi hak pegawai negeri berarti pemerintah melakukan perbuatan inkonstitusional. Namun walaupun demikian, hukum kepegawaian di Indonesia cenderung mengikuti pendapat Buys56. 3. Menurut Philipus M. Hadjon, kajian Hukum Administrasi lebih melihat
55
56
Skripsi
S.F. Marbun dan Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,Liberty, Yogyakarta, 1984, hal. 98-99 Ibid, hal. 99-100
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
107 bahwa hubungan kepegawaian sebagai bentuk hubungan Openbare dienstbetrekking yang melekat pada hubungan antara atasan dengan bawahan57. Pengertian Pegawai sudah pernah diartikan oleh beberapa ahli hukum pada abad 19-20 masehi. Kranenburg mendefinisikan Pegawai Negeri sebagai pejabat yang ditunjuk. Pengertian Kranenburg tersebut tidak termasuk mereka yang jabatannya merupakan fungsi perwakilan seperti Anggota Parlemen, Presiden, dan sebagainya. Logemann dengan menggunakan kriteria yang bersifat materiil mencermati hubungan antara negara dengan Pegawai Negeri dengan memberikan pengertian bahwa Pegawai Negeri adalah setiap pejabat yang memiliki hubungan dinas dengan Negara58. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara59 (UU ASN) menjelaskan beberapa pengertian terkait keberadaan Pegawai Negeri Sipil. Dalam Pasal 1 angka 1 UU ASN menjelaskan mengenai pengertian Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai berikut : Pasal 1 angka 1 UU ASN Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Selain pengertian ASN, juga dijelaskan beberapa pengertian lain berkaitan dengan pegawai pemerintahan yakni : 57
58 59
Skripsi
Philippus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 214 Sri Hartini, dkk.,Hukum Kepegawaian di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal 31 Indonesia, Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 No. 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5494.
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
108 Pasal 1 angka 2 UU ASN Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja yang oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 1 angka 3 UU ASN Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN scara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Pasal 1 angka 4 UU ASN Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disebut PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja dengan jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Dari keempat pengertian tersebut diartikan bahwa terdapat 2 (dua) jenis pegawai dalam lingkup pemerintahan yakni PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kedua jenis pegawai tersebut tergabung dalam pengertian Pegawai ASN guna menjalankan fungsi Aparatur Sipil Negara. Ketiga makna tersebut itulah yang dinamakan pengertian secara stipulatif yakni pengertian yang didasarkan pada penetapan oleh peraturan perundang-undangan. Pembagian jenis-jenis Pegawai ASN ini didasarkan pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU ASN yang menjelaskan pembagian Pegawai ASN adalah sebagai berikut : 1. PNS, yakni Pegawai ASN yang diangkat sebagai Pegawai Tetao oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional 2. PPPK, yakni Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai melalui Perjanjian Kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
109 kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan UU ASN. Dalam pelaksanaan kewajiban sebagai PNS, Pegawai ASN sesuai dengan Pasal 2 UU ASN beserta Penjelasan pasal tersebut harus mendasarkan pelaksanaan manajemen dan kebijakan yang sesuai dengan asas-asas sebagai berikut : 1. Kepastian Hukum; yakni dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN harus mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan, dan keadilan. 2. Profesionalitas; yakni dalam penyelengaraan kebijakan dan manajemen ASN harus mengutamakan keahlian yang berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan 3. Proporsionalitas; yakni dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban. 4. Keterpaduan; yakni dalam pengelolaan Pegawai ASN didasarkan pada satu sistem pengelolaan yang terpadu secara nasional; 5. Delegasi; yakni dalam pembagian kewenangan pengelolaan manajemen Pegawai ASN dapat didelegasikan pengelolaannya kepada Kementerian, Lembaga Negara Non-Kementerian, dan Pemerintah Daerah. 6. Netralitas; bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. 7. Akuntabilitas; bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Efektif dan Efisien; bahwa dalam menyelenggarakan manajemen ASN sesuai dengan target atau tujuan dengan tepat waktu sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. 9. Keterbukaan; bahwa dalam penyelenggaraan manajemen ASN bersifat terbuka untuk publik. 10. Nondiskriminatif; bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN tidak ada pembedaan perlakuan berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan golongan. 11. Persatuan dan Kesatuan; bahwa Pegawai ASN sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
110 12. Keadilan dan Kesetaraan; bahwa penyelenggaraan ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai Pegawai ASN. 13. Kesejahteraan; bahwa penyelenggaraan ASN diarahkan mewujudkan peningkatan kualitas hidup Pegawai ASN.
untuk
Perbedaan antara PNS dan PPPK adalah status kepegawaian yang melekat pada ASN adalah adanyan Perjanjian Kerja atau tidak, dalam kaitannya dengan Hukum Perburuhan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan60, Perjanjian Kerja diartikan sebagai perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Dalam pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa PPPK merupakan pihak pekerja dengan Pejabat Pembina Kepegawaian sebagai pemberi kerja sebagai bentuk pendelegasian tugas negara kepada Pejabat tersebut. Hanya saja konsep Perjanjian Kerja yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan berbeda dengan konsep yang terdapat dalam UU ASN. Perbedaan tersebut terdapat pada kewenangan dan subyek yang dapat melakukan Perjanjian Kerja. Lain lagi halnya dengan jenis Pegawai Negeri yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU Pokok-Pokok Kepegawaian 1999)61 yang dibagi menjadi : 1. Pegawai Negeri Sipil 60
61
Skripsi
Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279 Indonesia, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
111 2. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan 3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan, PNS sendiri dalam Pasal 2 ayat (2) dibagi menjadi 2 (dua) yakni : 1. PNS Pusat, yakni PNS yang gajinya dibebankan pada APBN dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Negara, Instansi Vertikal di Daerah Provinsi Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya. 2. PNS Daerah, yakni PNS daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada APBD dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan diluar instansi induknya. Berkaitan dengan jenis Pegawai pada lembaga Pemerintahan yang lain dalam UU Pokok-Pokok Kepegawaian 1999 juga dijelaskan mengenai kedudukan Pegawai Tidak Tetap yang diartikan sebagai pegawai yang diangkat oleh Pejabat yang berwenang dan diangkat untuk waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai Tidak Tetap ini bukan termasuk dalam kategori Pegawai Negeri, penamaan Pegawai Tidak Tetap ini mempunyai arti sebagai pegawai diluar PNS dan pegawai lainnya. Penamaan ini merupakan bentuk antisipasi pemerintah terhadap kebutuhan pegawai dan terbentur dalam hal penggajiannya yang terdapat dalam APBN/APBD. Pada
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
112 dasarnya, kebutuhan dalam pengangkatan Pegawai Tidak Tetap diserahkan pada masing-masing kebutuhan instansi. Perkembangan peraturan oerundang-undangan tersebut diatas memiliki konsekuensi yuridis bahwa terdapat perubahan penyebutan yang dalam UU Pokok-Pokok Kepegawaian 1999 disebut sebagai Pegawai Tidak Tetap sedangkan dalam UU ASN disebut sebagai PPPK. Walaupun demikian, pengertian keduanya tetap sama yakni sama-sama bukan PNS yang mempunyai keterikatan dinas dengan Pemerintah maupun dengan negara. Walaupun demikian, dalam UU ASN menjelaskan bahwa PPPK adalah bagian dari ASN meskipun bukan PNS. Dalam kajian kelembagaan pada Hukum Kepegawaian, Pasal 25 UU ASN menjelaskan mengenai kedudukan ASN sebagai sebuah struktur organisasi kedinasan sebagai berikut : 1. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi yang diartikan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengambilan kebijakan, pembinaan profesi, dan pembinaan manajemen ASN. 2. Selanjutnya, Presiden mendelegasikan tugasnya dalam pengelolaan ASN kepada beberapa instansi terkait diantaranya : 1. Kementerian yang mengurusi bidang pendayagunaan aparatur negara (Kementerian-PAN)
yang
bertugas
untuk
menetapkan
dan
merumuskan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan ASN
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
113 2. Komisi
ASN
dengan
kewenangan
monitoring
dan
evaluasi
pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN untuk mewujudkan Sistem Merit62 serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN. 3. Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan kewenangan untuk melakukan penelitian, pengkajian kebijakan manajemen ASN, pembinaan, dan penyelenggaraan pelatihan bagi ASN. 4. Badan
Kepegawaian
Negara
(BKN)
dengan
kewenangan
penyelenggaraan manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN. Selanjutnya, terkait dengan kedudukan kepegawaian dalam UU Dikti dijelaskan dalam Pasal 69 ayat (1) UU Dikti beserta penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa keteneagaan perguruan tinggi terdiri atas 2 (dua) jenis yakni : 1. Dosen; didefinisikan dalam Pasal 1 angka 14 UU Dikti sebagai pendidik
profesional
dan
ilmuwan
dengan
tugas
utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. 2. Tenaga Kependidikan; yang diartikan sebagai anggota masyarakat
62
Skripsi
Sistem Merit dalam Pasal 1 angka 22 UU ASN dijelaskan sebagai sistem kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, dan kondisi kecacatan
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
114 yang
mengabdikan
diri
dan
diangkat
untuk
menunjang
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi antara lain, pustakawan, tenaga administrasi, laboran, dan teknisim serta pranata teknik informasi. Dalam Pasal 70 UU Dikti membagi kembali status kepegawaian yang ada dalam PTN-Badan Hukum yakni : 1. Dosen dan Tenaga Kependidikan yang diangkat dan ditempatkan oleh Pemerintah; dalam hal ini status kepegawaian yang diberikan kepada keduanya adalah status Pegawai Negeri Sipil (PNS) 2. Dosen dan Tenaga Kependidikan yang diangkat dengan Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja oleh Badan Penyelanggara. Badan Penyelenggara dalam UU Dikti tidak dijelaskan secara spesifik mengenai pengertian Badan Penyelenggara. 3. Dosen Tetap yang diangkat oleh Internal PTN-BH seperti yang diuraikan dalam Pasal 71 ayat (1) UU Dikti. Sesuai dengan konsep Perjanjian Kerja yang telah dijelaskan terlebih dahulu diatas, maka berkaitan dengan gaji dan tunjangan Dosen dan Tenaga Kependidikan dibebankan kepada Badan Penyelenggara pengangkatan Dosen dan Tenaga Kependidikan. Namun, dalam UU Dikti tidak dejelaskan mengenai pengertian Badan Penyelenggara tersebut. Berbeda dengan hal tersebut, UndangUndang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen63 yakni dalam Pasal 1
63
Skripsi
Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Lembaran Negara
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
115 angka 5 disebutkan bahwa Penyelenggara Pendidikan adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal. Penyelenggara Pendidikan seperti yang disebut diatas juga memiliki kewenangan atribusi untuk melakukan dan/atau membuat Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama dengan guru dan/atau dosen yang tetap memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan prinsip kesewajaran berdasarkan peraturan perundangundangan. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Dikti, dalam Pasal 48 ayat (1) UU Guru dan Dosen membagi 2 (dua) jenis dosen yang terdapat dalam Perguruan Tinggi, yakni : 1. Dosen Tetap; diartikan sebagai dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi (PTN) tertentu. 2. Dosen Tidak Tetap; diartikan sebagai dosen yang bekerja paruh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi (PTN) tertentu. Selain itu, pembagian jenis dosen Satuan Pendidikan Tinggi juga dibagi berdasarkan instansi yang melakukan pengangkatan terhadap dosen tersebut. Pembagian instansi yang mengangkat tersebut juga berkaitan dengan kewajiban
Republik Indonesia tahun 2005 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
116 pemberian gaji dan tunjangan kepada dosen tersebut. Berdasarkan Pasal 52 UU Guru dan Dosen terdapat 2 (dua) jenis instansi tersebut yakni : 1. Satuan Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan gaji dosen yang diangkatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Satuan Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki kewajiban untuk memberikan gaji dosen yang diangkatnya sesuai dengan kesepakaran yang terdapat dalam klausula Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama. Gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 UU Guru dan Dosen tersebut meliputi beberapa hal yakni gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang meliputi tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Jika dikaitkan dengan keberadaan UU ASN maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan dosen dan tenaga kependidikan adalah sama-sama sebagai Aparatur Sipil Negara. Namun, pembagian dalam status kepegawaian dalam UU Dikti terlihat berbeda karena terdapat pembagian kewenangan pengangkatan antara Pemerintah dan Internal PTN-Badan Hukum sehingga dapat disimpulkan menjadi seperti berikut :
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
117 (tabel 3.5.1) Pembagian Kewenangan Pengangkatan Dosen dan Tenaga Kependidikan dalam UU Dikti Pemerintah
Internal PTN-Badan Hukum
Pemerintah berwenang mengangkat Dosen dan tenaga kependidikan yang diperlukan oleh PTN-BH untuk menerapkan fungsi pendelegasian tugas seperti yang terdapat dalam UU ASN sebagai bentuk delegasi untuk membantu dalam pelaksanaan tugas yang terdapat dalam PTN-BH. Selain itu, Badan Penyelanggara juga dapat melakukan perjanjian kerja untuk mengangkat dosen atau tenaga kependidikan. Dalam hal pengangkatan oleh pemerintah tersebut Dosen dan Tenaga Kependidikan berstatus sebagai PNS. Sedangkan Dosen dan tenaga kependidikan yang diangkat melalui Perjanjian Kerja bukan merupakan PNS namun juga termasuk dalam ASN. Beban dalam hal gaji dan tunjangan dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus PNS akan dibebankan pada APBN/APBD.
Berdasarkan Pasal 70 dan Pasal 71 PTN-BH berhak mengangkat dosen tetap yakni dosen yang tidak diangkat oleh Pemerintah melainkan diangkat sesuai dengan Standart Nasional Pendidikan oleh PTN-BH itu sendiri dengan persetujuan oleh Pemerintah. Status Dosen Tetap ini bukan menjadi tanggung jawab pemerintah melainkan kewenangan dari PTN-BH mengingat kebutuhan internal dari PTN-BH tersebut. Status dosen tetap yang diangkat oleh PTN-BH bukan merupakan PNS maupun ASN. Kewenangan Pengangkatan dosen tidak tetap berada pada Pimpinan PTN-BH atau Rektor Universitas dengan memperhatikan persetujuan pemerintah. Beban gaji pokok dan tunjungan atas dosen tetap dibebankan kepada interlan PTN-BH, sedangkan pemerintah dapat memberikan tunjangan kepada dosen tetap berupa tunjangan jabatan akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan kehormatan Pada tabel diatas telah dijelaskan mengenai pembagian jenis status
kepegawaian yang terdapat dalam UU Dikti. Namun, selain hal tersebut akan juga disertakan tabel terkait penbagian jenis dosen yang terdapat dalam UU Guru dan Dosen dan UU Dikti. Pembagian tersebut perlu dijelaskan karena berkaitan dengan keberlakuan kedua Peraturan Perundang-Undangan tersebut yang keduanya sama-sama masih berlaku dan keduanya juga mengatur mengenai objek
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
118 yang sama yakni jenis-jenis status kepegawaian yang terdapat dalam PTN-BH khususnya status kepegawaian dosen karena keduanya memiliki perbedaan dalam pembagian status kepegawaian yang dapat dikenakan atas keberadaan Dosen sebagai salah satu pilar dalam PTN-BH. (tabel 3.5.2) Pembagian Jenis Dosen Berdasarkan Ketentuan UU Dikti dan UU Guru dan Dosen UU GURU DAN DOSEN
UU DIKTI
Berdasarkan Status Kepegawaian yang diberikan : 1. Dosen yang diangkat oleh Pemerintah (PNS). 2. Dosen yang diangkat melalui Perjanjian Kerja atau Kesepakatan Kerja Bersama yang dilakukan dengan Penyelenggara Pendidikan atau Satuan Pendidikan Berdasarkan Instansi yang melakukan pengangkatan : 1. Pemerintah dan ditempatkan ke Satuan Pendidikan Tinggi milik Negeri (PTN) tertentu 2. Satuan Pendidikan Tinggi Negeri 3. Satuan Pendidikan Tinggi yang diselenggarakan masyarakat
Berdasarkan Status Kepegawaian yang diberikan : 1. Dosen yang diangkan oleh Pemerintah 2. Dosen yang diangkat melalui Perjanjian Kerja yang dibuat dengan Badan Penyelenggara Berdasarkan Instansi yang melakukan pengangkatan : 1. Pemerintah 2. Badan Penyelenggara 3. Internal PTN-BH melalui kewenangan Pimpinan PTN-BH (Rektor) dengan memperhatikan persetujuan dari Pemerintah.
Dalam UU Dikti pengangkatan dosen yang dilakukan oleh Internal PTNBadan Hukum mempunyai konsekuensi bahwa dosen yang diangkat hanya Selain itu, Dosen yang diangkat oleh sebagai Dosen Tetap yang statusnya Satuan Pendidikan Tinggi terbagi 2 bukan sebagai PNS maupun ASN (dua) jenis : 1. Dosen Tetap 2. Dosen Tidak Tetap Dalam tabel tersebut dijelaskan bahwa ketentuan yang terdapat dalan UU Guru dan Dosen mengalami tumpang tindih pengaturan terkait keberadaan status
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
119 kepegawaian eosen. Dalam UU Guru dan Dosen dalam pembuatan perjanjian kerja dilakukan oleh calon dosen dengan Penyelenggara Pendidikan atau Satuan Pendidikan, sedangkan dalam UU Dikti perjanjian kerja dibuat antara calon dosen dengan Badan Penyelenggara. Dalam penjelasannya Badan Penyelenggara yang disebutkan dalam UU Dikti tidak dijelaskan secara spesifik mengenai Instansi mana yang memiliki kewenangan untuk melakukan perjanjian kerja. Selain itu, dalam UU Guru dan Dosen membagi jenis dosen yang diangkat oleh Internal Satuan Pendidikan Tinggi menjadi Guru Tetap dan Guru Tidak Tetap sedangkan berdasarkan UU Dikti, dosen yang diangkat oleh Internal PTN-Badan Hukum hanya dosen tetap saja. Ketentuan tersebut diatas jelas terdapat tumpang tindih pengaturan karena keberadaan kedua Peraturan Perundang-Undangan tersebut sama-sama masih berlaku. Sebagai pembanding, tabel diatas merupakan pembagian jenis dosen yang terdapat di Indonesia melalui pendekatan peraturan perundang-undangan maka selanjutnya akan diperbandingkan juga ketentuan yang mengikat UU Dikti terkait dengan status kepegawaian dengan ketentuan yang terdapat pada UU ASN sebagai peraturan induk terkait dengan keberadaan Aparatur Sipil Negara sebagai bentuk pelaksana tugas negara. (tabel 3.5.3) Perbandingan UU ASN dan UU Dikti Terkait Kedudukan ASN UU ASN
UU DIKTI
Dalam UU ASN pembagian tenaga Dikenal 2 (dua) macam tenaga kependidikan didasarkan pada kependidikan dalam UU DIKTI yakni pembagian jenis ASN yakni PNS dan tenaga kependidikan yang diangkat oleh
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
120 PPPK kedua jenis pegawai tersebut Pemerintah dan/atau Badan termasuk kedalam kulifikasi sebagai Penyelenggara ASN yang diberi tugas untuk Pengangkatan tenaga kependidikan menjalankan fungsi pemerintahan yang diangkat oleh Pemerintah diangkat dengan gaji yang dibebankan pada berdasarkan ketentuan peraturan negara. perundang-undangan. Tenaga Mekanisme pengangkatan PNS harus kependidikan ini menjadi bagian dari didasarkan pada rekruitmen yang ASN didasarkan pada peraturan perundang- Pengangkatan tenaga kependidikan undangan. Berakhirnya status PNS yang diangkat oleh Badan adalah telah ditentukan oleh peraturan Penyelenggara diangkat berdasarkan perundang-undangan. Perjanjian Kerja. Tenaga kependidikan Berbeda dengan konsekuensi yuridis diatas bukan merupakan bagian dari terkait keberadaan PPPK yang dalam ASN. hal ini merupakan pegawai kontrak. Kontrak kerja yang dibuat antara instansi pemerintahan tersebut merupakan landasan pengangkatan PPPK tersebut. Terkait dengan status kepegawaian tenaga kependidikan, antara UU ASN dan UU Dikti tidak memiliki perbedaan yang signifikan karena pada dasarnya keberadaan tenaga kependidikan ini terdapat kesamaan pengaturan yakni adanya status PNS dan status tenaga kependidikan yang didasarkan pada Perjanjian Kerja. Namun, terdapat beberapa pengaturan yang berbeda yakni terkait keberadaan instansi yang melakukan pengangkatan atas tenaga kependidikan dengan Perjanjian Kerja. Jika dilihat dari UU ASN, maka instansi yang melakukan pengangkatan dikatakan dengan istilah “Instansi Pemerintah yang membutuhkan” sedangkan dalam UU Dikti instansi tersebut dikenal dengan istilah “Badan Penyelenggara” perbedaan tersebut menimbulkan persepsi ganda bahwa jika dilihat dari sudut pandang UU ASN, Pegawai dengan Perjanjian Kerja dapat diadakan oleh Instansi Pemerintah jika terdapat kebutuhan terkait kinerja Insatansi Pemerintah yang bersangkutan. Sedangkan dalam persepsi UU Dikti
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
121 proses pengangkatan Tenaga Kependidikan denga Perjanjian Kerja dapat dilakukan kapan saja. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan kekaburan hukum jika keduanya sama-sama merupakan Peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 64 ayat (3) UU Dikti mengatur mengenai bentuk otonomi PTN-BH yang salah satunya adalah otonomi dalam pengelolaan ketenagaan. Yang dimaksud dengan pengelolaan ketenagaan adalah terkait dengan pengelolaan tenaga kependidikan dan pengelolaan dosen. Berbeda dengan otonomi pengelolaan dalam PTN-BH, PTN dengan sistem pengelolaan BLU memiliki ciri-ciri bukan merupakan suatu badan hukum tersendiri dan tidak memiliki otonomi pengelolaan secara khusus tidak mungkin melakukan pengelolaan ketenagaan secara mandiri dan tetap mengikuti alur pengelolaan ketenagaan yang dilakukan oleh Pemerintah. Dengan demikian maka dalam tulisan ini akan disertakan tabel perbandingan berkaitan dengan pengelolaan ketenagaan dalam PTN-BH dan PTN dengan sistem pengelolaan BLU. (tabel 3.5.4) Perbandingan Pengelolaan Ketenagaan dalam PP Statuta Univ. Airlangga sebagai PTN-Badan Hukum dan Statuta Univ. Bengkulu sebagai PTN STATUTA UNAIR
STATUTA UNIV. BENGKULU
Dalam Pasal 67 PP Statuta UNAIR Berdasarkan Pasal 103 Statuta Univ. menjelaskan bahwa Pegawai UNAIR Bengkulu dijelaskan bahwa Dosen terdiri dari Dosen dan Tenaga dibagi menjadi 2 (dua) jenis yakni : Kependidikan. Pegawai tersebut 1. Dosen Tetap yakni dosen dengan dibagi menjadi beberapa jenis yakni : status PNS yang bekerja di Univ. 1. PNS yang dipekerjakan yang Bengkulu
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
122 dengan melihat syarat-syarat 2. Dosen Tidak Tetap yakni dosen yang telah ditentukan Peraturan yang bekerja paruh waktudan Perundang-Undangan diangkat sesuai dengan 2. Pegawai Tetap kebutuhan. 3. Pegawai Tidak Tetap Sedangkan terkait tenaga kependidikan Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak diatur dalam Pasal 108 Statuta Univ. Tetap dipekerjakan sesuai dngan Bengkulu namun dalam hal ini tidak Peraturan Rektor. diatur mengenai status kepegawaian dari Dalam Pasal 68 PP Statuta UNAIR tenaga kependidikan tersebut. Namun, membagi jenis Dosen sebagai berikut : pada dasarnya Tenaga Kependidikan 1. Dosen Tetap; yang dibagi lagi dapat berasal dari PNS maupun bukan menjadi 2 (dua) jenis yakni : PNS Dosen Tetap yang berasal Dalam Pasal 109 Statuta Univ. dari PNS yang dipekerjakan Bengkulu mengatur masalah Dosen Tetap yang berasal pengangkatan, penempatan, dari tenaga yang dilakukan pemindahan, dan pemberhentian dosen perekrutan oleh UNAIR dan tenaga kependidikan diatur dengan 2. Dosen Tidak Tetap Peraturan Rektor sesuai dengan Sedangkan, Tenaga Kependidikan Peraturan Perundang-Undangan. diatur dalam Pasal 69 PP Statuta UNAIR dibagi menjadi : 1. Tenaga Kependidikan Tetap 2. Tenaga Kependidikan Tidak Tetap. Keduanya juga terbagi menjadi Tenaga Kependidikan yang berasal dari PNS maupun Tenaga Kependidikan yang direkrut oleh internal UNAIR. Tenaga Kependidikan berasal dari PNS didasarkan pada Peraturan PerundangUndangan. Sedangkan Tenaga Kependidikan Tidak Tetap pengaturannya didasarkan pada Perjanjian Kerja. Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengaturan terkait ketenagaan diantara keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan namun walaupun demikian, dalam pembagian jenis dosen dalam PTN tidak mengikuti aturan yang terdapat dalam UU Dikti. Pengaturan mengenai dosen tersebut tunduk pada UU Guru dan Dosen yang dibuktikan bahwa pembagian dosen dalam PP Statuta
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
123 UNAIR dan Statuta Universitas Bengkulu mengenal istilah dosen tidak tetap yang dalam UU Dikti tidak mengenal hal tersebut. Selain itu, dalam kedua Statuta PTN tersebut tidak mengenal PPPK melainkan masih menggunakan istilah Pegawai Tidak Tetap tentu saja hal ini secara teknis sudah tidak sesuai dengan UU ASN
sebagai
Peraturan
Perundang-Undangan
Pokok
terkait
masalah
kepegawaian. Dari kedua hal tersebut terlihat jelas bahwa keberadaan UU Guru dan Dosen dan UU Dikti terdapat tumpang tindih pengaturan khususnya pengaturan terkait keberadaan Dosen. Selain itu, terdapat kejanggalan dalam PP Statuta UNAIR mengenal istilah Dosen Tetap yang merupakan tenaga yang direkrut oleh UNAIR. Kejanggalan tersebut diartikan sebagai landasan hukum untuk melakukan pengangkatan secara sendiri tersebut termasuk sebagai bentuk otonomi yang diberikan oleh UU Dikti kepada UNAIR. Namun belakangan ini terlihat bahwa keberadaan dosen tetap yang berada dalam lingkup PTN-BH seperti UNAIR tidak termasuk dalam kajian hukum kepegawaian karena pada hakikatnya keberadaan dosen tetap adalah sama saja dengan pekerja kontrak. Dengan kata lain, Dosen tetap ini nantinya akan disamakan statusnya seperti karyawan BUMN. Pemberian status yang demikian inilah dapat dikategorikan sebagai upaya pelepasan sektor pendidikan terutama sektor pendidikan tinggi yang semula sektor publik demi penyelenggaraan fungsi negara menjadi sektor negara yang menitikberatkan bahwa sektor pendidikan merupakan jasa yang bisa diperjual-belikan. 3.6 Akibat Hukum Pendirian Badan Usaha dan/atau Penyertaan Modal
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
124 Badan Usaha oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Secara umum badan usaha merupakan kesatuan yuridis dan ekonomi yang mengggunakan faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa dengan tujuan untuk mencari keuntungan semata. Secara teoritis badan usaha dibagi menjadi 2 (dua) jenis : a) Badan Usaha yang Bukan Badan Hukum (Non-Badan Hukum) Dikatakan sebagai badan usaha yang bukan badan hukum dikatakan demikian karena beberapa hal yaitu tidak terdapat pemisahan harta kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha. Selain itu, pertanggungjawaban dalam badan usaha bukan badan hukum bisa sampai kepada kekayaan pemiliknya. Dalam teori, badan usaha yang bukan badan hukum dibagi menjadi beberapa jenis yaitu : 1. Persekutuan Perdata 2. Firma 3. Comanditaire Venootschaap (CV) b) Badan Usaha yang merupakan Badan Hukum Pada Badan Usaha yang berbentuk badan hukum memiliki pmisahan harta kekayaan pemilik dengan harta kekayaan badan usaha sehingga pemilik bertanggumng jawab hanya sebatas pada modal yang disetor. Terdapat 3 (tiga) jenis badan usaha ber badan hukum antara lain :
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
125 1. Perseroan Terbatas (PT) Berdasrkan Pasal 1 angka 1 UU PT-2007 dijelaskan bahwa Perseroan Terbatas merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian dimana seluruh modal dasarnya terbagi atas saham. Dalam konsep Perseroan Terbatas, kekayaan Perseroan Terbatas berbeda dengan kekayaan pemilik. Pendirian Perseroan Terbatas dapat dilakukan oleh subjek Hukum orang perseorangan baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang dapat bertindak sebagai pemilik perseroan dan pemegang saham perseroan, begitu pula dengan Badan Hukum juga dapat bertindak sama seperti halnya perseorangan. 2. Yayasan Pada dasarnya, yayasan merupakan bentuk badan hukum yang bukan merupakan ajang pencarian keuntungan atau ajang berusaha. Yayasan lebih mengarah pada kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial. Dalam pengurusan yayasan kekayaan pendiri atau kekayaan pengurus harus dibiuat terpisah dari kekayaan yayasan. Pendirian yayasan berdasarkan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan64 dapat
64
Skripsi
Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
126 dilalukan oleh orang perseorangan baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum. 3. Koperasi Koperasi merupakan suatu badan usaha yang menjadi pilar ekonomi rakyat yang didasarkan pada prinsip gotong royong dan didirikan oleh orang perorang atau suatu badan hukum. Pada dasarnya koperasi merupakan suatu badan usaha yang bertumpu pada keberadaan anggota koperasi dengan Rapat Anggota Tahunan yang menjadi forum tertinggi dalam pengelolaan koperasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian65 dalam keanggotaan koperasi hanya berlaku bagi Warga Negara Indonesia (WNI) saja begitu pula bagi pengurus dan pengawas koperasi tersebut. Pada dasarnya Peraturan Perundang-Undangan memberikan peluang bagi PTN-BH untuk mendirikan dan/atau memiliki badan usaha sebagai bentuk layanan penunjang untuk tridharma perguruan tinggi. Jika dilihat dari konsep kedudukan kelembagaan maka, PTN-BH juga merupakan badan hukum yang diperbolehkan untuk membuat suatu badan usaha. Pendirian dan/atau kepemilikan
65
Skripsi
Nomor 4132 Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
127 badan usaha oleh PTN-BH tidak lain untuk melakukan fungsi entrepeneur. Fungsi inilah yang termasuk dalam kewenangan otonomi pengelolaan yang diberikan kepada PTN-BH. Dalam UU PT-2007 dijelaskan bahwa pendirian suatu Perseroan Terbatas memiliki syarat sah sebagai berikut : 1. Harus didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih 2. Pendirian harus berbentuk Akta Notaris 3. Dibuat dalam Bahasa Indonesia 4. Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham yang diterbitkan 5. Mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM Konteks pendirian badan usaha yang dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh PTN-BH tidak hanya terbatas pada bentuk Perseroan Terbatas. Polemik yang muncul adalah jika kedudukan PTN-BH jika dikaitkan subjek kepemilikan Badan Hukum. Dalam Hukum Indonesia, subjek dalam hukum mengenal tidak hanya orang secara natural/orang perseorangan saja (natuurlijke persoon) melainkan juga mengenal suatu badan hukum (recht persoon). Dalam konsep Hukum Keuangan Negara telah dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh PTN-BH tetap mengikuti pengelolaaan keuangan negara, demikian pula dalam konsep Hukum Perbendaharaan Negara yang menyebutkan bahwa kedudukan PTN-BH merupakan lembaga negara yang diberikan otonomi khusus berupa kekayaan negara yang dipisahkan. Hal tersebut menimbulkan persepsi bahwa keberadaan PTN-BH menjadi suatu kewenangan yang terkesan
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
128 “tanggung” karena ketidakjelasan posisi kelembagaannya. Sebagai suatu lembaga negara yang dapat melakukan tindakan pemerintahan yang berupa perbuatan hukum (rechthandelingen).yakni perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum secara langsung. Dalam hukum Administrasi perbuatan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut tidak boleh menyimpang dan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan sehingga tidak akan menimbulkan cacat substansi, wewenang, dan prosedur. Perbuatan pemerintah tersebut dibagi menjadi 2 (dua) golongan66 yakni : 1. Perbuatan Publik Dalam Perbuatan Publik yang dilakukan pemerintah terdapat 2 (dua) macam yakni Perbuatan Publik Bersegi Satu dan Perbuatan Publik Bersegi Dua. Perbuatan Publik Bersegi Satu diartikan sebagai pengambilan
keputusan
yang
secara
sepihak
dilakukan
oleh
Pemerintah sebagai bentuk kebijakan publik dan bukan merupakan suatu perjanjian yang didasarkan pada suatu perundang-undangan. Sedangkan, Perbuatan Publik Bersegi Dua menurut Van Der Ppr. Kranenberg, Vegting, Wiarda, dan Donner diartikan sebagai suatu kebijakan pemerintah yang menganding perjanjian yang didasarkan pada Hukum Publik. Sebagai contoh adalah Kortvartbend Contracten yakni perjanjian kerja jangka pendek yang melibatkan seorang sebagai
66
Skripsi
M. Lutfi Chakim, Perbuatan Pemerintah, www.lutfichakim.com yang diakses pada Jum'at 3 April 2015
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
129 pekerja dan pihak pemerintah sebagai pihak pemberi pekerjaan. Pada Kortvartbend Contracten terdapat persesuaian kehendak antara pekerja dan pemberi pekerjaan yang diatur oleh Hukum Publik. 2. Perbuatan Privat Pada Perbuatan Hukum Privat, Pemerintah diberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian dengan subyek hukum yang lain atas dasar asas kebebasan berkontrak yang didasarkan pada ketentuan hukum privat. Pendiran Badan Usaha yang dilakukan oleh PTN-BH dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum privat, dikarenakan pendirian dan/atau kepemilikn badan usaha pada pokoknya didasarkan pada kehendak untuk mengikatkan diri suatu lembaga kepada lembaga lain dengan suatu perjanjian untuk membentuk badan usaha. Ketentuan tersebut tetap berlaku apabila PTN-BH dianggap sebagai salah satu bentuk instansi Pemerintah. Jika PTN-BH tidak dianggap sebagai salah satu bentuk instansi Pemerintah maka tindakan pendirian badan usaha tersebut tidak dianggap sebagai bentuk tindakan pemerintah yang bersifat privat melainkan tindakan pendirian badan usaha tersebut merupakan suatu tindakan yang lazim dilakukan oleh suatu badan hukum demi mengembangkan usahanya sekaligus sebagai pengakuan eksistensi keberadaan badan hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum. Keistimewaan otonomi pengelolaan kelembagaan menyebabkan PTN-BH dapat mendirikan suatu badan usaha. Contohnya, Pasal 88-Pasal 91 PP Statuta
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
130 UNAIR. Dalam Pasal-Pasal tersebut menyatakan bahwa sebagai PTN-BH, UNAIR berhak mendirikan usaha yang dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Kegiatan usaha tersebut juga meliputi satuan usaha akademik yang diartikan sebagai bentuk pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Pendirian Badan Usaha maupun satuan usaha akademik tersebut dilakukan secara mandiri dalam internal UNAIR sebagai salah satu bentuk otonomi pengelolaan PTN-BH. Bahwa pendirian Badan Usaha maupun satuan usaha akademik ini dalam PP Statuta UNAIR dikategorikan sebagai bentuk dari tindakan privat yang dilakukan demi menambah pemasukan dari UNAIR untuk memajukan pelaksanaan Tridharma Pendidikan Tinggi sehingga pendirian maupun kepemilikan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah kewjaran dari suatu badan hukum maupun suatu instansi pemerintah. Tak hanya itu, UNAIR sebagai suatu PTN-BH dapat melakukan penyertaan modal terhadap suatu Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 91 PP Statuta UNAIR dijelaskan bahwa UNAIR dapat mendirikan suatu badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas yang didirikan oleh UNAIR sebagai PTN-BH memiliki syarat pendirian sebagai berikut : 1. Penyertaan modal tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari kekayaan UNAIR 2. UNAIR harus memiliki 51% (lima puluh satu persen) dari saham Perseroan Terbatas yang didirikan. Dengan demikian UNAIR harus menjadi pemegang saham mayoritas dalam Pendirian Perseroan
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
131 Terbatas 3. Pemegang Saham diwakili oleh Rektor UNAIR dalam setiap pengambilan keputusan Perseroan Terbatas. Rektor bertindak sebagai perwakilan pemegang saham UNAIR dalam suatu Perseroan Terbatas yang mewakili dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas yang didirikan 4. Perseroan Terbatas yang didirikan harus didasarkan pada kaidahkaidah
tata
kelola
perusahaan
yang
baik
(Good
Corporate
Governance) Syarat-syarat tersebut menjadi suatu syarat kumulatif terkait pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh UNAIR sebagai PTN-BH. Dapat diartikan bahwa keempat syarat tersebut merupakan syarat tambahan selain syarat-syarat pendirian Perseroan Terbatas yang terdapat dalam UU PT-2007. Adapun yang dimaksud dengan tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) kekayaan UNAIR yang boleh disetorkan inilah yang menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini terkait dengan status kekayaan UNAIR yang dapat dijadikan modal disetor dalam Perseroan Terbatas yang didirikan oleh UNAIR. Jika dianalisis, keuangan PTNBH juga merupakan bagian dari keuangan negara. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat pendapat yang berbeda mengenai bentuk keuangan negara. Dengan demikian, jika beranjak pada pendapat yang menyatakan bahwa walaupun kekayaan yang dimiliki oleh PTN-BH merupakan kekayaan negara yang dipisahkan maka, pendirian Badan Usaha oleh PTN-BH
Skripsi
disamakan
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
132 kedudukannya sebagai Badan Usaha Negara. Jika didasarkan pada pendapat yang lain, maka selain PTN-BH merupakan Badan Hukum tersendiri, Badan Usaha yang didirikannya pula merupakan menjadi kewenangan PTN-BH seutuhnya dan negara tidak mempunyai andil dalam pengelolaan Badan Usaha tersebut.
Skripsi
RYAN SURYA PRADHANA OTONOMI PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN NEGERI BADAN HUKUM (PTNI-BH)