BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNGJAWAB, INFORMASI, MASYARAKAT KONSUMEN, DAN PT. PLN (PERSERO) AREA BALI SELATAN
2.1 TanggungJawab 2.1.1 Pengertian tanggungjawab. Secara umum tanggungjawab berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.Sehingga bertanggungjawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.1 Tanggungjawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Menurut Frans Magnis Suseno, tanggungjawab merupakan kesediaan dasariah untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada), demikian tegas Emmanuel Levinas. Adapun uraiannya sebagai berikut: kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk bersikap dan berprilaku. Oleh karena itu, manusia wajib bertanggungjawab atas pilihan yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral baru akan mempunyai arti apabila manusia tersebut mampu dan/atau mau bertanggungjawab atas pilihan yang dibuatnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana dikatakan, bahwa
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 1006.
22
23
pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin ditunjukan bagi orang yang dapat dan/atau mau bertanggungjawab. 2 Dalam kaitan uraian diatas, setiap orang harus bertanggungjawab (aanspraklijk) atas perbuatannya. Oleh karena itu, bertanggungjawab dalam pengertian
hukum
berarti
keterkaitan.
Tanggungjawab
hukum
(legal
responsibility) dimaksudkan sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum.3 Menurut Ridwan Halim, tanggungjawab hukum adalah suatu akibat lanjutan dari pelakasanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan/atau kewajiban dan/atau kekuasaan. Secara umum tanggungjawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu yang tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada. 4 Purbacaraka berpendapat bahwa tanggungjawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan
hak
dan/atau
melaksanankan
kewajibannya.
Lebih
lanjut
ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak, baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan. 5 2
Frans Magnis Suseno, 2000, Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-21, Kanisius, Yogyakarta, hal. 87.
3
Anak Agung Sagung Ngurah Indradewi, 2014, Tanggung Jawab Yuridis Media Penyiar Iklan, Udayana University Press, Denpasar, hal. 143. 4
Khairunnisa, 2008, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, tanpa penerbit, Medan, hal. 4. 5
Purbacaraka, 2010, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 37.
24
2.1.2 Prinsip - prinsip tanggungjawab. Secara umum prinsip-prinsip tanggungjawab dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (liability based on fault) Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPer, prinsip ini di pegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPer, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu : 1. adanya perbuatan; 2. adanya unsur kesalahan; 3. adanya kerugian yang diderita; dan 4. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. 6 b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab, sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada si penggugat. Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocemence) yang lazim dikenal 6
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, hal. 59.
25
dalam hukum positif Indonesia. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat. c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip untuk selalu bertanggung jawab.Prinsip untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. d. Prinsip tanggungjawab mutlak Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggungjawab absolute (absolute liability).Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminilogi di atas.Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.Namun, ada pengecualianpengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab, misalnya keadaan force majeur.Sebaliknya, absolute liabilitya dalah prinsip tanggungjawab tanpa kesahalan dan tidak ada pengecualian.
26
e. Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/cetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas) maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. 7
2.2. Informasi 2.2.1. Pengertian informasi. Istilah informasi sering disebut dalam lingkup teknologi, seperti istilah teknologi informasi yang umumdiketahui, namuninformasi memiliki pengertian yang sangat luas bukan hanya ada dalam teknologi. Secara etimologi, kata informasi ini berasal dari kata bahasa Perancis kuno informacion, kata ini berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu informationem yang berarti konsep, ide atau garis besar.Informasi ini merupakan kata benda dari informare yang berarti ‘pengetahuan yang dikomunikasikan’. 8Menurut KBBI, informasi didefinisikan sebagai “penerangan;pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu; dan lingkungan keseluruhan makna yang menunjang amanat yang terlihat dalam bagian-bagian amanat itu”.9
7
Ibid, h. 64. Wikipedia, 2005, “Definisi Informasi”, http://wikipedia.com., diakses pada tanggal 18 Desember 2015. 8
9
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h.1007
27
Sedangkan menurut pendapat para sarjana, yakni: Abdul Kadir, et. al., informasi didefinisikan sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut.Azhar Susanto menyatakan bahwa informasi adalah hasil pengolahan data yang memberikan arti dan manfaat, dan Burch dan Strater menyatakan bahwa informasi adalah pengumpulan atau pengolahan data untuk memberikan pengetahuan atau keterangan.10 Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa informasi adalah sekumpulan fakta-fakta yang telah diolah menjadi bentuk data, sehingga dapat menjadi lebih berguna dan dapat digunakan oleh siapa saja yang membutuhkan data-data tersebut sebagai pengetahuan ataupun dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
2.2.2. Pengaturan informasi. Secara legal formal perihal informasi di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan terkait. Dalam konteks ini, secara konstitusional perihal informasi diatur dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Syahdan, regulasi dalam hirarki yang lebih rendah yang mengatur perihal informasi adalah
10
Jogianto, 2004, Analisis dan Desain Sistem Informasi, Jakarta, Sinar Grafika, h.8.
28
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksaaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-08/MBU/2014 tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di LingkunganKementerian Badan Usaha Milik Negara, serta PeraturanKomisi InformasiNomor1Tahun 2010 tentangStandar Layanan Informasi Publik.
2.2.3. Jenis-jenis informasi. Secara umum, jenis-jenis informasi dapat dibedakan dalam beberapa kategori, diantaranya: a. Informasi berdasarkan fungsi dan kegunaan, adalah informasi berdasarkan materi dan kegunaan informasi tersebut. Informasi jenis ini diantaranya meliputi: (1) Informasi yang menambah pengetahuan, misalnya: peristiwaperistiwa, pendidikan, kegiatan selebritis; (2) Informasi yang mengajari pembaca (informasi edukatif), misalnya makalah yang berisi tentang caraberternak itik, artikel tentang cara membina persahabatan, dan lain-lain; dan (3) Informasi berdasarkan format penyajian, yaitu informasi yang dibedakan berdasarkan bentuk penyajian informasinya. Misalnya: informasi dalam bentuk tulisan (berita, artikel, esai, resensi, kolom, tajuk rencana, dll). b. Informasi berdasarkan lokasi peristiwa, yaitu informasi dari dalam negeri dan informasi dari luar negeri.
29
c. Informasi berdasarkan bidang kehidupan, misalnya pendidikan, olahraga, musik, sastra, budaya, dan iptek. d. Informasi berdasar penyampaian, yang terdiri dari: 1. Informasi yang disediakan secara berkala; 2. Informasi yang disediakan secara tiba-tiba; 3. Informasi yang disediakan setiap saat; 4. Informasi yang dikecualikan; dan 5. Informasi yang diperoleh berdasarkan permintaan. 11
2.3. Konsumen 2.3.1. Pengertian konsumen. Pengertian konsumen dalam tataran yuridis dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Pasal 1 angka 15 undang-undang ini disebutkan bahwa“konsumen sebagai setiap pemakai dan/atau penggunaan barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. Sedangkan UUPK sendiri juga memberikan rumusan pengertian konsumen yang lebih komprehensif. Menurut Pasal 1 angka 2 UUPK, “konsumen adalahsetiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
11
Ibid., h.19-35.
30
Syahdan, secara etimologi dalam hal ini merujuk pada KBBI, konsumen diartikan sebagai pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dsb), penerima pesan iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb). 12Sedangkan menurut pandangan para sarjana, semisal Janus Sidabalok, konsumen diartikan sebagai “semua orang yang membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya”.13 Menurut Munir Fuady, “konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 14Menurut Hornby, konsumen
(consumer)
adalah
“seseorang
yang
menggunakan jasa, seseorang atau suatu perusahaan
membeli
barang
atau
yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu, sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. 15 2.3.2. Pengaturan konsumen. Pengaturan konsumen di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya: 1. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., h. 300.
13
Janus Sidabalok, op. cit., h. 17.
14
Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 227 15
Anonim, 2010, “Hukum Perlindungan Konsumen”, http://hukbis.files.wordpress.com/ 2008/02/hukum-bisnis-akuntansi-3-5-edit-2007.ppt., diakses pada tanggal 25 September 2015.
31
2. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat; 3. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen; 5. Surat Edaran Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri Nomor 235/DJPDN/VII/2001 Ditujukan
kepada
tentang Seluruh
Penangan Dinas
Pengaduan
Perindustrian
Konsumen dan
yang
Perdagangan
Provinsi/Kabupaten/Kota; dan 6. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 795//DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
2.3.3. Jenis - jenis konsumen. Dalam khazanah teoritis, jenis-jenis konsumen yang dikenal secara luas meliputi 2 jenis, yakni: a. Konsumen akhir; dan b. Konsumen antara. Konsumen akhir adalah suatu istilah yang dikenal luas dalam tataran ilmu hukum. Hal ini merujuk pada pengertian konsumen sebagaimana disebutkan dalam UUPK tahun 1999 diatas, dimana pada hakikatnya merujuk pada jenis konsumen akhir. Dalam hal ini, pengertian konsumen tersebut mengarah pada kedudukan konsumen sebagai penggunaan atau pemanfaat akhir dari suatu
32
produk. Hal ini tercermin dari beberapa unsur yang terkandung dalam definisi konsumen tersebut, diantaranya: 1. Setiap orang (natuurlijke persoon) atau pribadi kodrati dan bukan berbentuk badan hukum (recht persoon); 2. Pemakai yang dalam hal ini ditekankan pada pemakai akhir; 3. Barang dan/atau jasa; 4. Tersedia dalam masyarakat; 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain; dan 6. Barang dan/ atau jasa tersebut tidak untuk diperdagangkan. 16 Jenis konsumen lainnya adalah konsumen antara. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/atau jasa lain untuk diperdagangkan kembali. Bagi jenis konsumen ini, barang dan/atau jasa itu adalah barang dan/atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen). Kalau ia distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang dan/atau jasa itu dari pasar industri atau pasar produsen. Pada hakikatnya konsumen antara ini adalah merupakan sebutan lain dari pelaku usaha sebagaimana dikenal dalam UUPK, namun terminologi konsumen antara ini lebih dikenal dalam khazanah ilmu ekonomi. 17
16
17
Celina Tri SiwiKristyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. hal. 87
Az. Nasution, 1994, Hukum dan Konsumen Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal. 9. (selanjutnya disebut Az. Nasution I).
33
Merujuk pengertian diatas terlihat bahwa ada perbedaan antara kedua jenis konsumen tersebut. Tujuan pemanfaatan dari produk barang dan/atau jasa yang diperolehnya adalah pembeda utama. Dalam konsumen akhir, tujuan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperolehnya adalah untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, sedangkan pada konsumen antara, tujuan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperolehnya adalah untuk mendapatkan barang dan/atau jasa lainnya dan/atau untuk diperdagangkan kembali (tujuan komersil). 2.3.4. Hak dan kewajiban konsumen. Konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat memiliki hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu : 1.
Hak untuk mendapatkan keamanan (the right safety);
2.
Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3.
Hak untuk memilih (the right to choose); dan
4.
Hak untuk didengar (the right to heard). Empat hak dasar ini diakui secara Internasional, dalam perkembangannya
organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat.18 Dalam UUPK, disebutkan bahwa hak konsumen adalah : 18
Shidarta, op. cit., h. 20.
34
1.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang digunakan;
5.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan
9.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa
masalah kenyamanan, keamanan, keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam hukum perlindungan konsumen. Beragamnya pilihan barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat memungkinkan
35
konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa yang sesuai dengan kebutuhannya serta memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Untuk dapat melaksanakan haknya tersebut, konsumen berhak mendapatkan informasi yang akurat tentang barang dan/atau jasa yang digunakannya. Selanjutnya, apabila terjadi sengketa, konsumen berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut, sehingga hak-hak konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa dapat ditegakkan.19 Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut : 1.
Hak atas keamanan dan keselamatan. Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.
2.
Hak untuk memperoleh informasi. Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai.Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat
19
Shidarta, loc.cit.
36
memilih produk yang diinginkan atau sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. 3.
Hak untuk memilih. Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen
untuk
memilih
produk-produk
tertentu
sesuai
dengan
kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini, konsumen berhak memutuskan untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. 4.
Hak untuk didengar. Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produkproduk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.
5.
Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup. Hak ini merupakan hak yang sangat mendasar, karena menyangkut hak untuk hidup.Dengan demikian, setiap orang (konsumen) berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang dan/atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya secara layak.Hak-hak ini terutama yang berupa hak atas pangan, sandang,
37
papan, serta hak-hak lainnya yang berupa hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan dan lain-lain. 6.
Hak untuk memperoleh ganti kerugian. Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen.Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan.
7.
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.
8.
Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan sehat diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
9.
Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya.
38
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar.Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang dan/jasa yang diperolehnya. 10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. Hak ini tentu saja dimaksud untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.20 Syahdan terkait kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, disebutkan bahwa kewajiban konsumen adalah : a.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
Bertindak baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan
d.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adaya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggungjawab jika konsumen
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,op. cit., h. 41.
39
yang
bersangkutan
menderita
kerugian
akibat
mengabaikan
kewajiban
tersebut.Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa.Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan pelaku usaha mulai pada saat melakukan transaksi dengan pelaku usaha.Berbeda dengan pelaku usaha, kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh pelaku usaha atau produsen.21 Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.Kewajiban yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban
konsumen
mengikuti
upaya
penyelesaian
hukum
sengketa
perlindungan konsumen secara patut.Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum diundangkannya UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata, sementara dalam kasus pidana tersangka atau terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akanmenjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak
21
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,op. cit., h. 47-48.
40
cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha. 22
2.4. PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan 2.4.1. Profil PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan. Sebelum Perang Dunia II pada zaman penjajahan Belanda perusahaan listrik di Denpasar bernama N.V Electriciteit Bali Lombok (N.V Ebalom Denpasar) yang dibangun pada tahun 1927 dan dioperasikan pada tahun 1928. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Jepang menang atas Sekutu (salah satunya Belanda) sehingga Jepang mengambil alih daerah kekuasaan Sekutu, termasuk Indonesia. Menjelang datangnya tentara Jepang ke Indonesia, orang-orang Belanda yang ada di Denpasar saat itu mengungsi ke luar Indonesia, termasuk pemimpin N.V Ebalom Denpasar, L de Yong, yang mengungsi ke Australia. Saat itu Belanda menyerahkan kepengurusan N.V Ebalom Denpasar kepada B.O.W. (sekarang disebut dengan Dinas Pekerjaan Umum) dan selanjutnya dipimpin oleh I Ketut Mandra (pimpinan B.O.W ketika itu). Jepang masuk ke Bali pada Desember 1942 dan mengambil alih perusahaan listrik N.V Ebalom Denpasar dan mengganti namanya menjadi Nipon Hatsudeng yang dikepalai oleh Kawaguci. Akan tetapi di akhir Perang Dunia II tahun 1945, Jepang kalah perang atas Sekutu dan selanjutnya Jepang meninggalkan Indonesia termasuk Denpasar dan menyerahkan perusahaan listrik
22
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,op. cit., h. 49-50.
41
Nipon Hatsudeng kepada Dinas Pekerjaan Umum yang saat itu dikepalai oleh I Ketut Mandra. Usai Perang Dunia II sekitar tahun1946, Tentara Sekutu yang diwakili Inggris masuk ke Bali disusul pula dengan pendaratan Tentara Gajah Merah Belanda dipantai Sanur pada tanggal 2 Maret 1946. Beberapa hari kemudian perusahaan listrik dikuasai kembali oleh Belanda serta dijaga oleh Tentara Belanda. L de Yong yang didatangkan dari Australia ke Denpasar, kembali memimpin perusahaan yang diganti namanya kembali menjadi N.V Ebalom. Setelah penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia pada Desember 1949, N.V Ebalom masih dikuasai oleh Belanda sampai saat terakhir penguasaan oleh Belanda, N.V Ebalom Denpasar dipimpin oleh antara lain L de Yong, J.de Hart, Kwee The Tjong, Renould, J.J.Welters, Shoerincha, dan lain-lain. Sekitar tahun 1956 – 1957 N.V Ebalom Denpasar dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Namanyapun diganti menjadi Perusahaan Listrik Negara (PLN) Eksploitasi IX Cabang Denpasar dan ditempatkan di bawah pengawasan/pembinaan Kantor Besar PLN Surabaya, yang kemudian kantor Besar Surabaya berganti sebutan menjadi Kantor PLN Exploitasi X Surabaya. Kemudian dalam perkembangannya, semenjak tanggal 4 Mei 1965 di Denpasar diresmikan berdirinya Kantor PLN Exploitasi VIII – Nusra yang membawahi semua unit-unit atau cabang PLN yang ada diseluruh Nusa Tenggara termasuk yang ada di Bali, termasuk Perusahaan Listrik Negara Eksploitasi IX Cabang Denpasar yang sebelumnya berada di bawah Kantor PLN Exploitasi X
42
Surabaya, dimana semenjak saat itu Kantor PLN Exploitasi IX Cabang Denpasar berlokasi di Jl. P.B. Sudirman-Lingkungan Br. Gemeh, Denpasar, hingga kini. Perusahaan Listrik Negara Exploitasi IX Cabang Denpasar inilah yang menjadi cikal bakal dari PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan sebagaimana yang dikenal sekarang. Semenjak restrukturisasi PLN tahun 1994 melalui Surat Keputusan Direksi PT PLN (Persero) Nomor: 32.K/010/DIR/2001, PT PLN (Persero) Eksploitasi IX Cabang Denpasar berganti nama menjadi PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan. Perkembangan selanjutnya adalah bahwa berdasarkan Surat Keputusan Direksi Nomor: 119.K/010/DIR/2002 tentang perubahan keputusan Direksi PLN (Persero) Nomor : 089.K/010/DIR/2002 maka PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan ditetapkan untuk membawahi PT. PLN (Persero) Rayon Denpasar, PT. PLN (Persero) Rayon Kuta, PT. PLN (Persero) Rayon Mengwi, dan PT. PLN (Persero) Rayon Tabanan. 23
2.4.2. Wilayah Usaha PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan. Menurut Retno Aji Wulandari selaku Supervisor Pelayanan Pelanggan PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan, disebutkan bahwa wilayah usaha PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan selaku pelaku usaha penyedia tenaga listrik yang melingkupi sejumlah wilayah di area Bali Selatan dalam keberlakuannya membawahi beberapa rayon PT. PLN (Persero). Dalam artian bahwa PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan adalah “atasan” dalam suatu susunan hirarki dari PT. 23
PT. PLN (Persero), 2011, “Profil PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan”, http://www.pln.co.id/blog/ profil-perusahaan, diakses pada tanggal 18 Desember 2015.
43
PLN (Persero) Rayon Denpasar, PT. PLN (Persero) Rayon Kuta, PT. PLN (Persero) Rayon Mengwi dan PT. PLN (Persero) Rayon Tabanan. Rayon – rayon sebagaimana dimaksud diatas diantaranya meliputi beberapa kecamatan, yakni : Rayon Denpasar (Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar Timur, Denpasar Barat dan Denpasar Utara), Rayon Kuta (Kecamatan Kuta Selatan, Kuta Utara dan Kuta), Rayon Mengwi (Kecamatan Abiansemal, Mengwi dan Petang), dan Rayon Tabanan (Kecamatan Baturiti, Kediri, Kerambitan, Marga, Penebel, Selemadeg, Selemadeg Barat, Selemadeg Timur, dan Tabanan). Disini, pembagian keempat rayon tersebut didasarkan pada luas wilayah usaha dan kuantitas sebaran penduduk, misalnya dalam hal Rayon Kuta dan Rayon Mengwi. Kuta dan Mengwi pada dasarnya terletak dalam satu kabupaten, Kabupaten Badung, namun wilayah usahanya dibedakan karena luas geografis wilayah yang dilingkupinya dan jumlah penduduk selaku konsumen listrik yang berbeda. Dalam hal ini, Rayon Kuta dilihat dari kacamata luas wilayah dan jumlah sebaran penduduk tentu lebih tinggi dibandingkan dengan Rayon Mengwi. Disisi lain, eksistensi sejumlah PT. PLN (Persero) Rayon sebagaimana dimaksud diatas tidaklah bersifat saling berhadap-hadapan dengan PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan, namun hubungan yang tercipta diantaranya adalah bersifat kordinasi dan supervisi, dalam artian bahwa ketika ada suatu persoalan tetang kegiatan usaha PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan yang tidak dapat diselesaikan sendiri maka hal tersebut akan dilimpahkan kepada PT. PLN (Persero) Rayon yang bersangkutan dengan tetap sepengawasan dari PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan. (Wawancara dilakukan pada tanggal 21 Februari 2016).
44
2.4.3. Bentuk dan Tujuan PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan. Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat orang banyak dikuasai oleh Negara”. Rumusan Pasal ini secara konstitusional mengamanatkan bahwa Negara melalui pemerintah memiliki hak menguasai atas cabang-cabang produksi sebagaimana tersebut meliputi bumi, air, dan kekayaan alam lainnya yang terkandung didalamnya, dimana peruntukan atas hal ini adalah demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Dalam kaitan ini, bila ditelaah lebih lanjut maka ruang lingkup dari cabangcabang produksi sebagaimana dimaksud yang meliputi bumi, air, dan kekayaan alam lainnya begitu luas. Sektor agraria, sektor sumber daya strategis, sektor energi, dll adalah sebagian kecil contoh cabang-cabang produksi yang dikuasai oleh Negara. Merujuk pada uraian diatas, salah satu cabang produksi yang menarik perhatian adalah pada sektor energi, khususnya pada
bidang
ketenagalistrikan, mengapa? Karena pada bidang ini, Negara memiliki hak menguasai secara mutlak yang direpresentasikan melalui peranan PT. PLN (Persero) dalam “memainkan peran tunggal” selaku penyedia tenaga listrik di Indonesia. Hal ini tentu berbeda bila dikomporasikan dengan sektor-sektor lainnya sebagaimana termaksud sebagaimana eksistensi pihak swasta yang masih “bermain” di dalamnya, sehingga hak menguasai oleh Negara tidak seluruhnya mutlak.
45
PT. PLN (Persero) sebagaimana telah diuraikan diatas adalah “pemain tunggal” penyedia tenaga listrik di Indonesia. Dalam hal ini, kedudukan PT. PLN (Persero) sebagai “perpanjangan tangan” Negara selaku “aktor” yang menguasai sektor ketenagalistrikan di Indonesia. PT. PLN (Persero) secara hirarki terusun dalam berbagai bentuk tingkatan mulai dari pusat hingga yang terkecil adalah rayon. Disini, PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan adalah cabang perusahaan dari PT. PLN (Persero) Pusat yang berkedudukan di Jakarta, dimana sebagai satu kesatuan hirarki maka PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan haruslah seiring sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh PT. PLN (Persero) Pusat. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa PT. PLN (Persero) Pusat maupun PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan adalah satu kesatuan hirarki, maka dapatlah diketahui bentuk usaha yang dijlankan adalah perusahaan perseroan berbentuk perseroan terbatas. Kemudian daripada itu, sebagaimana “nama” yang diusungnya, PT. PLN (Persero) merupakan suatu BUMNdengan badan hukum berbentuk persero yang secara spesifikmemiliki maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum dalam jumlah dan mutu yang memadai, sertamemupuk keuntungan dan melaksanakan penugasan pemerintah di bidang ketenagalistrikan dalam rangka menunjang
pembangunan
denganmenerapkan
prinsip-prinsip
perseroan
terbatas.Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Persero atau perusahaan perseroan adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51%
46
(lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Persero atau perusahaan perseroan dalam badan BUMN pada prinsipnya sama dengan perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUPT 2007, yang secara eksplisit menyatakan bahwa “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.Lebih lanjut akan hal ini, dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 12 UU BUMN ditegaskan bahwa PT. PLN (Persero) sebagai BUMN yang berbentuk persero bertujuan untuk mengejar keuntungan. Hal ini sesuai dengan hakikat perseroan menurut UUPT 2007 juga untuk mengejar keuntungan (profit oriented)mengingat persero pada dasarnya merupakan perseroan terbatas, semua ketentuan UUPT 2007 termasuk pula segala peraturan pelaksanaannya berlaku pula bagi persero.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PT. PLN (Persero) baik PT. PLN (Persero) Pusat maupun PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan tunduk dengan ketentuan-ketentuanUUPT 2007.24 Sehubungan dengan uraian diatas, usaha penyediaan tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan dapat dijabarkan dalam beberapa bidang, yakni : 1. Pengoperasian dan pemeliharaan distribusi; 2. Pelaksanaan penertiban pemakaian tenaga listrik;
24
Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 168.
47
3. Pengelolaan alat pembatas dan alat pengukur dan pengelolaan tata usaha langganan di area Bali Selatan, yang meliputi: a. Fungsi pelayanan pelanggan; b. Fungsi pembacaan meter; c. Fungsi pembuatan rekening listrik; d. Fungsi pembukuan pelanggan; e. Fungsi penagihan; dan f. Fungsi pengawasan kredit. 25 Kemudian dalam kaitan dengan tujuan usaha PLN (Persero) Area Bali Selatan, maka sesuai dengan uraian diatas bahwa tujuan utama dari suatu perseroan terbatas adalah profit oriented. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa PLN (Persero) Area Bali Selatan dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya lebih ditujuan untuk kepentingan bisnis/usahanya dengan orientasi utama yang dikejar adalah profit/laba yang sebesar-besarnya. Selanjutnya, sebagai bagian dari PT. PLN (Persero) Pusat, maka tujuan usaha lainnya dari PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan adalah sama dengan tujuan usaha PLN (Persero) Pusat, yang dalam hal ini diejawantahkan lebih lanjut dalam misi perusahaan, diantaranya: 1. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi kepada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan, dan pemegang saham; 2. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; 25
Mahmud Ismadi, 2011, “Gilang Gemilang PT. PLN (Persero) Area Bali Selatan” http://202.162.216.68:4321/klienjaser/ssm.php, diakses pada tanggal 21 Februari 2016.
48
3. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan-kegiatan ekonomi; dan 4. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan. 26
26
Ibid.
24