BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCEGAHAN, TINDAK PIDANA DAN PENIPUAN JUAL BELI ONLINE
2.1 Pencegahan a. Pengertian Pencegahan Pencegahan adalah proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar suatu tidak terjadi. Dapat dikatakan suatu upaya yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran. Upaya pencegahan kejahatan merupakan upaya awal dalam menanggulangi kejahatan. Upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah meliputi langkah penindakan (represif) disamping langkah pencegahan (preventif). 28 Langkah-langkah preventif tersebut yang dimana meliputi: a. b.
Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan.; Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan; Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat; Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif; Meningkatkan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum. 29
c. d. e.
28
Baharuddin Lopa & Moch Yamin, 2001, Undang-Undang Pemberntasan Korupsi, Alumni, Bandung, h.16 29
Ibid, h.17
27
28
Ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan dalam crime prevention yaitu : 1. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan. Cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis (pengulangan kejahatan) dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual. 2. Metode untuk mencegah kejahatan pertama kali (the first crime). Cara yang ditujukan untk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali (the first crime) yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode preventif (prevention).30 Berdasarkan
uraian
di
atas
dapat
dilihat
bahwa
upaya
penanggulangan kejahatan mencakup preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif. Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi kejahatan ulang. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis. Upaya preventif tersebut dapat beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yakni:
30
h.66
Romli Atmasasmita, 2010, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung,
29
1. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat. 2. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-ganguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis.31 Dapat dilihat disini kejahatan dapat ditanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sementara faktorfaktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja. Jadi dalam upaya preventif itu adalah melakukan suatu usaha yang positif, serta menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang, selain itu dilakukan peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama. b. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Upaya pencegahan tindak pidana sendiri salah satunya adalah dikeluarkannya
suatu
peraturan
yang
mengatur
agar
terjadinya
keharmonisan di dalam suatu masyarakat. Untuk menjaga keharmonisan suatu masyarakat tersebut dibentuklah suatu peraturan perundang-
31
Ibid, h.79
30
undangan.
Membicarakan
pencegahan
tentu
tidak
jauh
dari
penanggulangan. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.32 Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahapan yaitu: 1. Tahap Formulasi Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif
32
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 22
31
2. Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif. 3. Tahap Eksekusi Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.33 Tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu: a. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu : 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. b. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.34
33
34
Ibid, h.25
Badra Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. h.77
32
2.2 Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana sering kita mendengar istilahnya “Het Strafbaar Feit”. Istilah tersebut memiliki terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh beberapa pakar yaitu: 1. Peristiwa Pidana; 2. Perbuatan Pidana; 3. Tindak Pidana.35 Penggunaan istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi masalah sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteks dan dipahami maknanya. Istilah mengenai Strafbar Feit juga menimbulkan perdebatan di konseptual di dalamnya yaitu munculnya perbedaan dari istilah yang dimaksud seperti: 1. SIMONS Simons merumuskan bahwa Strafbar Feit adalah suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang. 2. VOS VOS merumuskan Strafbar Feit adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. 3. POMPE 35
Zainal Abidin, Muhammad dan I Wayan Edi Kurniawan, 2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indie Publishing, Depok, h.76.
33
Pompe merumuskan Strafbar Feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan
ketertiban
hukum),
terhadap
mana
pelaku
mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum, dan masih banyak lagi perumusan perumusan lainnya.36 Istilah strafbaar feit ke dalam bahasa Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut: a. b. c. d.
Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum; Peristiwa pidana; Perbuatan pidana; Tindak Pidana.37 Pengertian istilah di atas para sarjanapun memberikan pengertian
tersendiri terhadap istilah tersebut, diantaranya:38 1. Moeljatno menyatakan strafbaar feit diistilahkan dengan perbuatan pidana, yang dimana perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang dimana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2. E Utrech menyatakan strafbaar feit sebagai peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah feit (peristiwa) dari sudut hukum pidana penggunaan istilah peristiwa pidana sering dijumpai dalam KUHP.
36
Ibid, h.77
37
E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, h. 208. 38
Zainal Abidin, Muhammad dan I Wayan Edi Kurniawan, op.cit, h.78
34
3. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah strafbaar feit sebagai tindak pidana, yang dimana suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pada dasarnya, setiap tindak pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan tindak pidana, oleh karena itu harus diketahui apa saja unsur-unsur atau ciri-ciri dari perbuatan pidana itu sendiri. Adapun 5 unsur yang terkandung dalam tindak pidana, yaitu: a. b. c. d. e.
Harus ada sesuatu kekuatan (gedraging); Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang; Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; Kelakuan itu diancam dengan hukuman.39
Unsur-unsur tindak pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif, unsur-usur tersebur dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Kesalahan yang dimaksud
39
C.S.T. Kansil dan Kristine S.T. Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet. Kedua, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, h. 38.
35
disini adalah kesalahan yang berasal atau diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan. Para pakar menyetujui bahwa kesengajaan terdiri dari tiga bentuk yaitu: 1. Kesengajaan dengan maksud (oogmark); 2. Kesengajaan
dengan
keinsyafan
pasti
(opzet
als
zekerheidsbewustzijn); 3. Kesengajaan
dengan
keinsyafan
kemungkinan
(dolus
evantualis). Kealpaan adalah bentuk kesengajaan yang lebih ringan atau dengan nama lain bahwa orang yag melakukan dengan kelalaiannya. Dalam hal ini kealpaandibagi menjadi dua bentuk yaitu: 1. Tak berhati-hati (kealpaan tanpa kesadaran); 2. Dapat menduga akibat perbuatan itu (kealpaan dengan kesadaran).40 2. Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur yang berasal dari luar pelakuyang terdiri atas: a. Perbuatan manusia 1. Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif, yang dimaksud dengan act dalam hal ini adalah apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan. Hal ini oleh oleh para pakar di sebut
40
Zainal Abidin, op.cit. h. 91
36
act. contoh act adalah Pasal 362, 338, dan sebagainya. Pada Pasal 362 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa yang mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum….” Pasal ini merupakan perbuatan positif seseorang karena dalam perumusan pasal ini memformulasikan mengenai perbuatan pelaku. 2. Ommision, yakni perbuatan negatif atau perbuatan pasif, yaitu perbuatan yang mendiamkan ataupun membiarkan terjadinya kejahatan, atau bagaimana sikap seseorang tersebut dalam terjadinya kejahatan, para pakar menyatakan hal ini sebagai omission. Contoh omission dapat dilihat dalam Pasal 165, 531, dan sebagainya. Pada Pasal 165 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa mengetahui bahwa ada orang yang bermaksud untuk melakukan suatu pembunuhan dan dengan sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan sepatutnya dan waktunya, baik kepada yang terancam, jika kejadian itu benar terjadi ama dihukum…” Dalam perumusan pasal ini jelas menyatakan bahwa pasal ini merupakan omission, dikarenakan formulasi dalam pasal ini berisikan sikap pelaku yang berupa membiarkan terjadinya kejahatan.41 b. Akibat (result) perbuatan manusia
41
Zainal Abidin, op.cit, h. 92
37
Akibat
tersebut
membahayakan
atau
merusak,
bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya. c. Keadaan-keadaan (cirumstance) Pada umumnya perbedaan tersebut dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan 2. Keadaan setelah perbuatan dilakukan d. Sifat melawan hukum Sifat
melawan
hukum
berkenaan
dengan
alasan-alasan
penghapusan pidana dalam perbuatan itu, yang mana sifat melawan hukum adalah apabila suatu perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Semua unsur delik tersebut merupakan suatu kesatuan. Tidak terbuktinya salah satu unsur dapat mengakibatkan terdakwa dibebaskan dalam pengadilan. Tidak hanya pengertian yang dijabarkan oleh Lamintang, Cristine dan Cansil pun turut menyatakan pendapat mengenai unsur-unsur tindak pidana yakni, selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld (diancam
38
dengan pidana), Toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab), serta adanya Schuld (terjadi karena kesalahan).42 Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris dalam buku Moeljatno merumuskan empat hal pokok dalam tindak pidana, yaitu tindak pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumus delik, Wederrechtjek (melanggar hukum), dan dapat dicela. Tidak jauh berbeda dengan yang telah dijelaskan sebelumnya, Moeljatno menyebutkan bahwa tindak pidana terdiri dari lima elemen, yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif dan unsur melawan hukum yang objektif.43 Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang akan dikenakan sanksi pidana.
2.3 Tindak Pidana Penipuan a. Pengertian Tindak Pidana Penipuan Berdasarkan teori dalam hukum pidana mengenai penipuan, terdapat 2 (dua) sudut pandang yang harus diperhatikan, yakni menurut pengerian Kamus Besar Bahasa Indonesia dan menurut pengertian yuridis, penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
42
C.S.T. Kansil, op.cit, h.38.
43
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. h. 69.
39
Disebutkan bahwa tipu berarti kecoh, daya cara, perbuatan, atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Penipuan merupakan proses, perbuatan, cara menipu, perkara menipu (mengoceh). Dengan demikian, berarti yang terlibat dalam penipuan adalah 2 (dua) pihak, yaitu orang yang menipu disebut dengan penipu dan orang yang tetipu. Jadi, penipuan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan atau membuat, perkataan seseorang yang tidak jujur atau bohong dengan maksud untuk menyesuaikan atau mengakali orang lain untuk kepentingan dirinya atau kelompok. 2. Menurut Pengertian Yuridis Pengertian tindak pidana penipuan dengan melihat dari segi hukum sampai saat ini belum ditemukan, kecuali pengertian yang sudah dirumuskan di dalam KUHP. Rumusan penipuan dalam KUHP bukanlah suatu definisi melainkan hanyalah untuk menetapkan unsur-unsur suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan dan pelakunya dapat dipidana. Penipuan menurut Pasal 378 KUHP dirumuskan sebagai berikut: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun” Pidana bagi tindak pidana penipuan adalah pidana penjara paling lama empat tahun tanpa alternative denda. Delik penipuan dipandang lebih berat daripada delik penggelapan karena pada delik penggelapan ada alternative denda. Penuntut umum oleh karena itu menyusun dakwaan primair dan dakwaan
40
subsidair kedua pasal ini harus mencantumkan tindak pidana penipuan pada dakwaan primair, sedangkan dakwaan subsidair adalah penggelapan. Cleiren menyatakan bahwa tindak pidana penipuan adalah tindak pidana dengan adanya akibat (gevolgsdelicten) dan tindak pidana berbuat (gedragsdelicten) atau delik komisi.44 b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan Dalam KUHP tentang Penipuan terdapat dalam BAB XXV Buku II. Keseluruhan pasal pada BAB XXV Buku II ini dikenal dengan sebutan bedrog atau perbuatan curang. Bentuk pokok dari bedrog atau perbuatan curang ini adalah Pasal 378 KUHP tentang Penipuan. Berdasarkan rumusan tersebut, maka tindak pidana penipuan memiliki unsur-unsur pokok yaitu: a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Dengan maksud harus diartikan sebagai tujuan terdekat dari pelaku, yakni pelaku hendak mendapatkan keuntungkan. Keuntungan ini adalah tujuan utama pelaku, dengan jalan melawan hukum seorang pelaku masih membutuhkan tindakan lain dengan maksud agar keinginannya terpenuhi. Dengan demikian maksud tersebut harus ditujukan untuk menguntungkan dan melawan hukum sehingga pelaku harus mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya harus bersifat melawan hukum.
44
Andi Hamzah, 2010, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 112.
41
b. Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu, martabat palsu atau keadaan palsu, tipu muslihat dan rangkaian kebohongan) Sifat dari penipuan sebagai tindak pidana ditentukan oleh cara-cara pelaku menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang. Alat-alat penggerak yang digunakan untuk menggerakkan orang lain adalah sebagai berikut: 1) Nama palsu Nama palsu dalam hal ini adaah nama yang berlainan dengan nama yang sebenarnya, meskipun perbedaan tersebut sangat kecil. Apabila penipu menggunakan nama orang lain yang sama dengan nama orang lain, maka penipu dapat dipersalahkan dengan melakukan tipu muslihat. 2) Tipu muslihat Tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain. Tipu muslihat merupakan perbuatan atau tindakan. 3) Martabat atau keadaan palsu Memakai martabat atau keadaan palsu adalah bilamana seseorang memberikan pernyataan bahwa dia berada dalam suatu keadaan tertentu dan keadaan itu memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam keadaan tersebut. 4) Rangkaian kebohongan
42
Beberapa kata bohong dianggap tidak cukup sebagai alat penggerak. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 8 Maret 1926, bahwa:45 “Terdapat suatu rangkaian kebohongan jika anatara berbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedimikian rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain sehingga mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolaholah merupakan suatu kebenaran.” Rangkaian kebohongan itu harus diucapkan secara tersusun sehingga merupakan suatu cerita yang dapat diterima secara logis dan benar. Dengan demikian, kata yang satu memperkuat atau membenarkan kata orang lain. 5) Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi utang, atau menghapus utang. Dalam perbuatan menggunakan orang lain untuk menyerahkan barang diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak dan penyerahan barang. Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 25 Agustus 1923, bahwa:46 “Harus terdapat suatu hubungan sebab manusia antara upaya yang digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari itu. Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan alat-alat penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa menguraikan pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal sehingga orang tersebut terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus menimbulkan dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang tersebut menyerahkan suatu barang ”
45
Bastian Bastari, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Delik Penipuan, Makassar, h. 40
46
Ibid.
43
2.4 Trasaksi Jual Beli Online a. Pengertian Transaksi Jual Beli Online Transaksi jual beli online merupakan transaksi yang menggunakan elektronik sebagai perantaranya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU ITE, disebutkan bahwa “Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringang komputer, dan atau media elektronik lainnya.” Transaksi jual beli secara online merupakan suatu perwujudan dari ketentuan diatas. Pada transaksi elektronik ini, para pihak yang terkait di dalamnya melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara online dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 UU ITE disebut bahwa ”kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektroik.” b. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Jual Beli Online Perkembangan selama ini, syarat perjanjian hanya tertera dalam Pasal 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien. Gambarannya adalah sebagai berikut, dalam ransaksi jual beli tetap saja dikenakan proses embayaran dan penyerahan barang. Dalam e-commerce tetap ada pembayaran dan penyerahan barang, dari situlah dapat disimpulkan bahwa dengan adanya internet atau e-commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana.
44
Secara hukum tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung. Transaksi online, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian dibagi dalam beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli online tersebut. Ada tiga pihak yang terlibat dalam jual beli online baik B2B (business to business) dan B2C (business to consumer), antara lain : 1. perusahaan penyedia barng (seller), 2. perusahaan penyedia jasa pengiriman (packaging), 3. jasa pembayaran (bank). Dalam pekerjaan penawaran, pembayaran dan pengiriman masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual (seller) dan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual. Transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli. Bank akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi ecommerce tersebut. Penjual setelah menerima konfirmasi pembayara dari pembeli bahwa telah mmbayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan dengan mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirmkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Perjanjian tersebut
45
dianggap selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut berakhir setelah semua proses terlewati dimana proses penawaran, pembayaran dan penyerahan barang yang dipesan ke alamat pembeli.47
47
Bung Pokrol, 2005, “Syarat Sah Perjanjian Dalam e-commerce”, hukumonline.com, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl531/syarat-sah-perjanjian-dalam-ecommerce, diakses tanggal 17 Maret 2016