BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEGAWAI NEGERI SIPIL
2.1.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata pegawai berarti orang
yang bekerja pada Pemerintah (Perusahaan dan sebagainya). Sedangkan negeri berarti negara atau pemerintah. Jadi Pegawai Negeri adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau negara.1 Di dalam ketentuan perundangan yang pernah berlaku, pengertian pegawai negeri tidak dibuat dalam suatu rumusan yang berlaku umum, tetapi hanya merupakan suatu rumusan yang khusus berlaku dalam hubungan dengan peraturan yang bersangkutan. Bezoldingings regeling lijke lands dienaar 1938 (BBL. 1938) menggunakan istilah landsdienaar, yang berarti pengabdi negeri, sedangkan Betalings regeling ambtenaren in Gepen sioneerden 1947 (BAG. 1949) menggunakan istilah ambtenaar yang berarti pegawai.2 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), meskipun tidak diberikan suatu definisi tertentu, tapi diberikan beberapa perumusan tentang istilah Pegawai Negeri. Dalam pasal-pasal mengenai “Kejahatan Jabatan” (pasalpasal 413 sampai dengan 437), pada pokoknya dianggap sebagai Pegawai Negeri
1
W.J.S. Poerwadarminta, 1951, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan, Jakarta, h.514. 2 Rozali Abdullah, 1986, Hukum Kepegawaian, CV. Rajawali, Jakarta, h.13.
dan atau disamakan dengannya adalah “seseorang yang secara tetap atau untuk sementara diserahi sesuatu jabatan publik”. Kemudian dalam Pasal 92 KUHP diterangkan, bahwa termasuk dalam arti Pegawai
Negeri,
“orang-orang
yang dipilih
dalam
pemilihan-pemilihan
berdasarkan peraturan-peraturan umum dan juga mereka yang bukan dipilih, tetapi diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat dan Dewan-Dewan Daerah serta Kepala-Kepala Desa” dan sebagainya. Jadi, pengertian Pegawai Negeri menurut KUHP ini adalah luas sekali, tapi pengertian ini hanya berlaku dalam hal ada orang-orang yang melakukan “kejahatan dan pelanggaran jabatan” dan tindak pidana lain yang disebut dalam KUHP.3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 merupakan undang-undang yang pertama kali menetapkan mengenai pengertian Pegawai Negeri Sipil secara resmi. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 ini, Pegawai Negeri Sipil dirumuskan sebagai berikut: “Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, diangkat, digaji menurut Peraturan Pemerintah yang berlaku dan dipekerjakan dalam suatu jabatan negeri oleh pejabat atau badan negara yang berwenang.”4 Kalau diperhatikan rumusan pengertian Pegawai Negeri di dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat dikatakan bahwa rumusan tersebut memperluas arti Pegawai Negeri sampai dengan orang-orang yang bukan Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud 3
H. Nainggolan, 1984, Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, BAKN Jakarta, Cetakan Ketujuh, Jakarta, h.5. 4 Viktor M. Situmorang, 1989, Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Bineka Cipta, Jakarta, h.18.
dalam
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1974
tentang
Pokok-Pokok
Kepegawaian, yaitu orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.5 Pengertian Pegawai Negeri dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut di atas cukup luas, sehingga dapat juga menjangkau orang-orang lain. Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai Negeri sebagai disebutkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas adalah yang bukan Pegawai Negeri Sipil. Pasal 1 sub a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok kepegawaian merumuskan Pegawai Negeri sebagai: “Mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya, yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari rumusan Pegawai Negeri Sipil tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang dapat disebut Pegawai Negeri, jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. b. c. d. 5
Seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diangkat oleh pejabat yang berwenang. Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau tugas negara lainnya. Digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
A. E. Manihuruk, 1982, Masalah Kepegawaian di Indonesia, Makalah disampaikan dalam Penataan Kepegawaian bagi Pejabat Kepegawaian di Daerah, BAKN Jakarta.
Rumusan pengertian Pegawai Negeri ini berlaku dalam pelaksanaan semua peraturan-peraturan Kepegawaian dan pada umumnya dalam pelaksanaan semua peraturan-peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika diberikan suatu definisi yang lain.6 Lebih lanjut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 membagi Pegawai Negeri: a.
Pegawai Negeri Sipil;
b.
Anggota ABRI.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil terdiri dari: a.
Pegawai Negeri Sipil Pusat;
b.
Pegawai Negeri Sipil Daerah; dan
c.
Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 pengertian Pegawai Negeri Sipil terdapat dalam Bab I Pasal 1 sebagai berikut: “Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Melihat perumusan dalam Undang-Undang yang baru dihubungkan dengan penjelasan-penjelasan pemerintah pada saat membahas Rancangan 6
Sastra Djatmika dan Marsono, 1985, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.8-9.
Undang-Undang ini di forum DPR, maka jelas bahwa pengertian Pegawai Negeri dalam undang-undang yang baru adalah lebih luas daripada undang-undang yang lama.7 Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 disebutkan ruang lingkup pengertian Pegawai Negeri sebagai berikut: (1) Pegawai Negeri terdiri dari: a. Pegawai Negeri Sipil, dan b. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (2) Pegawai Negeri Sipil terdiri dari: a. Pegawai negeri Sipil Pusat b. Pegawai Negeri Sipil Daerah c. Pegawai negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat, Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan Pegawai Negeri lainnya dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sebagai berikut: a.
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah: - Pegawai Negeri Sipil Pusat yang gajinya dibebankan pada anggaran dan belanja negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah
Non
Departemen,
Kesekretariatan
Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Instansi Vertikal di daerah-daerah, dan Kepaniteraan Pengadilan. - Pegawai Negeri Sipil Pusat yang bekerja pada perusahaan jawatan.
7
A. Tambuan, 1975, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Bina Cipta, Bandung, h.22.
- Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan atau dipekerjakan pada daerah otonom. - Pegawai Negeri Sipil yang berdasarkan suatu peraturan perundangundangan diperbantukan atau dipekerjakan pada bagian lain, seperti Perusahaan Umum, Yayasan dan lain-lain. - Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan lain-lain. b.
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Otonom.
c.
Organisasi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan oleh sebab itu organisasi harus selalu disesuaikan dengan perkembangan tugas pokok
dalam
mencapai
tujuan.
Berhubung
dengan
itu
ada
kemungkinan bahwa arti Pegawai Negeri Sipil akan berkembang di kemudian hari. Kemungkinan perkembangan itu harus diletakkan landasan dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 di dalam pasal-pasalnya tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil dan Anggota ABRI. Tetapi kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa “Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil adalah Pegawai Negeri yang bukan anggota ABRI.”8
8
Rozali Abdullah, 1981, Hukum Kepegawaian, PT. Raja Grafindo Indonesia, Jakarta, h.16.
Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat disebut Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut: a. Seseorang yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diatur dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dikemukakan bahwa setiap warga negara yang memenuhi syaratsyarat yang ditetapkan mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil berarti mengadakan Pegawai Negeri Sipil harus didasarkan atas syarat-syarat obyektif yang telah ditentukan dan tidak boleh didasarkan atas golongan, agama, atau daerah. b. Diangkat oleh Pejabat yang berwenang Pejabat berwenang yang dimaksud di sini adalah pejabat yang mempunyai
kewenangan
mengangkat
atau
memberhentikan
Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat yang berwenang mengangkat Pegawai Negeri adalah orang yang benar-benar diberikan kewenangan dalam pengangkatan Pegawai Negeri dapat dilakukan secara obyektif. c. Diserahkan dalam suatu jabatan negeri atau tugas negara lainnya Pada prinsipnya pengadaan Pegawai Negeri adalah untuk mengisi formasi yang lowong. Jadi, orang yang diangkat menjadi Pegawai Negeri harus diserahi tugas berdasarkan formasi. d. Digaji menurut peraturan perundang-undangan
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dirumuskan bahwa setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Dimaksudkan agar
Pegawai
Negeri
dapat
memusatkan
perhatian
untuk
melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Kalau dilihat dari unsur-unsur tersebut di atas, seorang anggota ABRI adalah termasuk Pegawai Negeri dalam pengertian Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 ini, sehingga Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 43 Tahun 1999 membagi Pegawai negeri atas: a. Pegawai Negeri Sipil Pusat Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah mereka yang gajinya dibebankan kepada APBN dan bekerja pada Departemen, Kesekretariatan
Lembaga Lembaga
Pemerintah
Non
Tertinggi/Tinggi
Departemen,
Negara,
Instansi
Vertikal di Daerah-Daerah, dan Kepaniteraan Pengadilan, Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan atau dipekerjakan pada daerah otonom yang diperbantukan pada perusahaan jawatan dan yang diperbantukan pada yayasan dan lain-lain. b. Pegawai Negeri Sipil Daerah Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai pegawai penuh pada daerah otonom yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang berhak, berwenang
dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. c. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Sampai saat ini belum ada penjelasan tentang siapa yang termasuk dalam klasifikasi Pegawai Negeri Sipil lain ini, demikian pula mengenai Peraturan Pemerintah yang ditugaskan untuk mengatur juga belum ada. Dalam perkembangan terakhir, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian diganti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Kemudian dipertegaskan lagi oleh Pasal 135 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 ini, yang menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, PNS Pusat dan PNS Daerah disebut sebagai Pegawai ASN.
2.2.
Pembinaan Pegawai Negeri Sipil Sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN
Tahun 1999-2004 dapat dikemukakan bahwa visi pendayagunaan aparatur adalah terselanggaranya pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan misinya adalah mewujudkan aparatur negara yang netral, profesional, berdayaguna, produktif, transparan dan bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) untuk melayani dan memperdayakan masyarakat. Kriteria sumber daya aparatur yang bersih dan bertanggung jawab adalah mempunyai sikap dan perilaku yang baik, disiplin, mempunyai
profesionalisme,
ditempatkan
sesuai
dengan
latar
belakang
pendidikan, selalu meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan.9 Berkaitan dengan otonomi luas sebagaimana dinyatakan dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka diperlukan adanya penataan kepegawaian daerah. Ada beberapa rencana strategis yang perlu dilakukan dalam rangka reformasi personil Pemerintah Daerah, yaitu analisis kebutuhan pegawai, reaktualisasi sistem rekrutmen, pengembangan pegawai, aktualisasi sistem penilaian dan peningkatan sistem kesejahteraan.10 Untuk mewujudkan adanya birokrasi yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan otonomi daerah, perlu adanya sistem pembinaan yang mencakup seluruh aspek
9
Mustopadiharja, 1998/1999, Strategi Kualitas Pelayanan di Daerah, LAN, Jakarta, h.36. Made Suwandi, 2001, Agenda Kebijakan Reformasi Pemerintahan Daerah, Badan Litbang Depdagri, Jakarta, h.15. 10
pembinaan Pegawai negeri Sipil secara terpadu, mulai perencanaan sampai pada pemberhentiannya.11 Istilah “pembinaan” tersurat dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Terdapat beberapa pengertian “pembinaan” yang dapat dikemukakan dan salah satunya adalah pembinaan, yaitu suatu tindakan, proses, hasil atau pernyataan menjadi lebih baik. Pengertian pembinaan memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam kedua undang-undang kepegawaian tersebut. Istilah pembinaan Pegawai Negeri Sipil dijumpai dalam Bab III undangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, di mana Pasal 12 menyebutkan: (1)
Pembinaan Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna.
(2)
Pembinaan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan berdasarkan sistim karier dan sistim prestasi kerja.
Dalam perkembangan selanjutnya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian, mengganti istilah pembinaan pada Bab III Undang-Undang
11
Moh Idrus, 2001, Pengembangan PNS Dalam Kaitannya Dengan Pelaksanaan Otonomi Daerah, BKN, Jakarta, h.6.
Nomor 8 Tahun 1974 dengan istilah manajemen Pegawai Negeri Sipil, namun masih dimunculkan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999: (1)
Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna.
(2)
Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperlukan PNS yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititik beratkan pada sistem prestasi kerja.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mempergunakan istilah manajemen (Bab VIII) sebagai pengganti istilah pembinaan. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menyebutkan “Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit.” Dengan memperhatikan pengertian secara teori dan yang tersurat dalam undang-undang, maka pembinaan kepegawaian diartikan sebagai suatu tindakan dan proses untuk meningkatkan kemampuan/kapasitas/kualitas pegawai dan sistem/kebijakan kepegawaian sehingga menghasilkan output kepegawaian yang lebih baik.12 Dalam bahasa yang berbeda, maka untuk meningkatkan profesionalisme Pegawai Negeri Sipil, perlu diadakan perubahan sistem pembinaan Pegawai Negeri Sipil agar mampu mencapai tujuan berikut, yaitu: dapat memenuhi 12
Aswin Eka Adhi, 2015, “Dilema Kepegawaian Daerah” Bulletin Kepegawaian BKN Nomor 2, Pebruari 2015.
kebutuhan pemerintahan koalisi, dapat memenuhi tuntutan desentralisasi kewenangan kepegawaian, berkemampuan mengakomodasi berkembangnya lembaga swadaya untuk menggali potensi masyarakat, mempertahankan asas keahlian (meryt system) dan netralitas, mendorong fungsi Pegawai Negeri Sipil sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa dan mengembangkan profesionalisme.13 Untuk mengurangi beban persoalan dibidang kepegawaian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi secara nyata dan luas, beberapa langkah kebijakan masih mungkin diusulkan, yaitu14: Pertama, penetapan formasi Pegawai Negeri Sipil oleh Pemerintah Pusat berdasarkan standar analisis kebutuhan pegawai sesuai dengan beban kerja dan lingkup tugas yang dilakukan; Kedua,
sistem evaluasi kinerja Pegawai Negeri Sipil yang didasarkan atas standar prestasi kerja dan kompetensi kerja;
Ketiga,
pengembangan secara bertahap kemampuan kelembagaan yang menangani kepegawaian di daerah dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dimulai saat awal pelaksanaan otonomi daerah.
Dalam hubungan dengan pembinaan kepegawaian, maka dalam rangka pengembangan kualitas profesional birokrasi pemerintahan yang responsif
13
Sofian Effendi, 1999, Kebijakan Kepegawaian Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Pasca Pemilu 1999, BKN, Jakarta, h.7. 14 Prijono Tjiptoherijanto, 1999, Aparatur Negara Pada Era Reformasi, Analisis CSIS Tahun XXVIII, Nomor 2.
terhadap dinamika masyarakat dihadapkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) pertanyaan, yaitu15: a. Bagaimana membuat profesionalisme birokrasi efektif dalam menjawab berbagai perkembangan dan dinamika sosial, ekonomi dan politik yang terus berkembang; b. Apa yang bisa diperbuat oleh birokrasi dan masyarakat dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat dan masyarakat tetap memiliki respek yang tingi kepada pemerintah. Dari berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya manusia birokrasi (PNS) agar profesional sebagaimana dituntut oleh good governance tidak berbentuk dengan sendirinya, tetapi haruslah ada upaya sadar untuk mewujudkannya, yang seringkali menempuh proses yang panjang. Beberapa strategi untuk mengatasi hal tersebut adalah melalui16: a. Role modeling b. Rekrutmen, kondisi kerja dan pelatihan c. Learning process approach d. Pengembangan sumber daya birokrasi harus dilakukan bersamasama dengan penguatan organisasi e. Mutual learning process antara birokrat dan masyarakat. Bertitik tolak dari pendapat di atas, maka untuk mendukung terciptanya pemerintahan bersih dan berwibawa (clean governance) diperlukan sistem
15
Ryass Rasyid, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru, Garsif Watampone, Jakarta, h.72. 16 Moeljanto Tjokrowinoto, 2000, Strategi Pembinaan Pegawai Negeri Sipil Dalam Era Reformasi, LAN-RI, Jakarta, h.11.
kepegawaian negara baru yang dilandasi oleh kebijakan pengembangan profesionalitas sumber daya manusia (SDM) di sektor publik/pemerintah yang lebih holistik dan terintegrasi. Artinya untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang profesional perlu diadakan penataan secara integral dan komprehensif menyangkut berbagai aspek melalui instrumen kebijakan maupun konsistensi implementasinya melalui sistem pembinaan Pegawai Negeri Sipil.17 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dalam penjelasan umum nomor (1) menyebutkan bahwa “Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya pegawai negeri. Karena itu dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun yang menjadi tujuan dari pembinaan pegawai adalah sebagai berikut18: 1. Diarahkan
untuk
menjamin
penyelenggaraan
tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil
17
Tim Peneliti BKN, 2000, Inventarisasi Data Kepegawaian Instansi Pemerintah, Pusat Litbang BKN, Jakarta, h.1. 18 Munasef, 1986, Management Kepegawaian di Indonesia, Gunung Agung, Cetakan Ketiga, Jakarta, h.16-17.
guna, baik dalam sektor pemerintahan maupun badan usaha milik negara/swasta. 2. Untuk meningkatkan mutu dan keterampilan serta memupuk kegairahan
bekerja
sehingga
dapat
menjamin
terwujudnya
kesempatan berpartisipasi dan melaksanakan pembangunan secara menyeluruh. 3. Diarahkan kepada terwujudnya pegawai-pegawai yang setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah sehingga pegawai hanya mengabdi pada kepentingan negara dan masyarakat demi terwujudnya aparatur yang bersih dan berwibawa. 4. Terwujudnya suatu kompetisi yang baik dalam jumlah yang memadai, serasi dan harmonis sehingga mampu menghasilkan prestasi kerja yang optimal. 5. Terwujudnya suatu iklim kerja yang serasi dan seimbang, menjamin tercapainya kesejahteraan jasmani maupun rohani secara adil merata sehingga mampu melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan sebaik-baiknya. 6. Diarahkan penyaluran, penyebaran, dan pemanfaat pegawai secara teratur, terpadu dan berimbang yang bermanfaat bagi unit/instansi organisasi. 7. Diarahkan pada pembinaan sistem karier dan pembinaan prestasi kerja.
Dari penjelasan mengenai pembinaan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya aparatur yang profesional sebagaimana dituntut good governance tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi ada upaya sadar untuk mewujudkannya, yang seringkali menempuh proses yang panjang. Kebijakan otonomi daerah di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sistem manajemen pegawai yang sesuai dengan kondisi pemerintahan saat ini, tidak murni menggunakan unified system. Sebagai konsekuensi diterapkannya kebijakan desentralisasi, maka digunakanlah gabungan antara unified system dan separated system. Hal ini berarti ada bagian-bagian kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah, dan ada bagian-bagian kewenangan yang diserahkan kepada daerah untuk selanjutnya dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah. Prinsip lain yang dianut adalah memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekrutmennya maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungai, dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip yang dimaksud, maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada Pemerintah Daerah. Untuk mewujudkan adanya birokrasi yang memiliki kompetensi sesuai dengan tuntutan otonomi daerah, perlu adanya sistem pembinaan yang mencakup seluruh aspek pembinaan pegawai negeri sipil secara terpadu, mulai perencanaan sampai pada pemberhentiannya.19
19
S. Nurbaya, loc.cit.
Sofian Effendi mengatakan bahwa untuk meningkatkan profesionalisme pegawai negeri sipil perlu diadakan perubahan sistem pembinaan pegawai negeri sipil agar mampu menghadapi perubahan stratejik dengan efektif dan mampu mencapai tujuan berikut, yaitu: dapat memenuhi kebutuhan pemerintahan koalisi, dapat
memenuhi
tuntutan
desentralisasi
kewenangan
kepegawaian,
berkemampuan mengakomodasi berkembangnya lembaga swadaya untuk menggali potensi masyarakat, mempertahankan asas keahlian (merit system) dan netralitas, mendorong fungsi pegawai negeri sipil sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa dan mengembangkan profesionalisme.20 Ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah di Indonesia berkaitan dengan aspek kepegawaian menurut Made Suwandi sebgai berikut21: 1. Pemerintah
Daerah
umumnya
kekurangan
pegawai
yang
berkualifikasi, yang mampu bekerja secara efektif. Kondisi yang timbul adalah overstaffed and unverstaffed management dalam aspek kepegawaian. Hal ini berarti pemerintah daerah kekurangan pegawai sesuai dengan tuntutan kemampuan yang dipersyaratkan oleh suatu bidang kerja atau tugas pokok. Namun pada waktu yang bersamaan
Pemerintah
Daerah
kelebihan
pegawai
dengan
kualifikasi yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang ada.
20
Sofian Effendi, 1999, Kebijakan Kepegawaian Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintahan Pasca Pemilu, BKN, Jakarta, h.7. 21 Made Suwandi, 2001, Agenda Kebijakan Reformasi Pemerintahan Daerah, Badan Litbang Depdagri, Jakarta, h.15.
2. Ada keengganan pegawai untuk bekerja di tempat terpencil yang miskin fasilitas dibandingkan dengan di kota besar atau kantor pusat yang lebih menawarkan karier, prestise dan penghasilan. 3. Adanya
kecenderungan
Pemerintah
Daerah
penumpukan
dibandingkan
pegawai
pada
Sekretariat
dinas-dinas
yang
seyogyanya merupakan instrumen pelaksana otonomi daerah. 4. Adanya kecenderungan di antara pegawai Pemerintah Daerah lebih memburu jabatan struktural dibandingkan jabatan fungsional. 5. Kurangnya gaji menyebabkan kecenderungan pegawai untuk mencari penghasilan tambahan yang sering mengganggu waktu kerjanya. 6. Adanya kerancuan antara jabatan politis dan jabatan karier yang seyogyanya bersifat spoil system, telah menjadi meryt system. Berdasarkan poin 6 di atas, perbedaan utama antara kedua sistem ini menurut Cayer adalah “The main distinction between the two system is the spoils approach emphasizes loyality, and the meryt concept stresses competence of expertice.”22 (Perbedaan utama di antara kedua sistem ini adalah bahwa konsep spoils menekankan kesetiaan, dan konsep meryt menekankan kompetensi atau keahlian). Kelemahan dari spoils system tersebut akan mengakibatkan adanya korupsi politik dan hanya sedikit menghargai prestasi kerja pegawai. Sedangkan kebaikannya, spoils system memberikan mekanisme untuk integrasi dan kesatuan 22
N. Joseph Cayer, 1986, Public Personnel Administration in the United States 2 and ed, New York ST, Martin’Press, h.37.
sistem politik, selain itu spoils system juga membantu pembangunan dan penyatuan partai-partai politik, sehingga orang yang mempunyai hak pilih akan tertarik dengan iming-iming fasilitas yang akan diberikan kepada mereka. Selanjutnya dengan berkembangnya mata rantai partai, spoils system tersebut membantu sosialisasi politik pada berbagai kelompok ras di kota-kota besar dan menimbulkan tuntutan berbagai layanan pemerintah kepada masyarakat karena kewenangan partai yang dipilih mereka.23 Spoils system mengakibatkan adanya ketidak-adilan kepada masyarakat, oleh karena itu diadakan perubahan dengan sistem baru, di mana pegawai negeri dipilih berdasarkan suatu kompetensinya dan kemampuannya melaksanakan tugas. Sistem ini disebut meryt system, di mana semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berkompetisi agar dapat diterima sebagai pegawai negeri. Maksudnya tidak hanya mereka yang kebetulan pendukung pemimpin politik tertentu saja yang mempunyai kesempatan. Jika birokrasi memihak kepada salah satu kekuatan partai politik yang sedang memerintah, sementara itu diharapkan birokrasi pemerintah itu memberikan pelayanan kepada rakyat secara adil dan merata sebagaimana tugas dan fungsi negara dan pemerintahan pada umumnya, maka sikap pelayanan tersebut jelas tidak terpuji. Selain itu juga tidak mencerminkan sikap demokratis dan cenderung memberikan peluang bagi suburnya praktik korupsi, kolusi, nepotisme.
23
Mokhamad Syuhaddak, 1995, Administrasi Kepegawaian Negara, Teori dan Praktek Penyelenggaraannya di Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, h.36.
Upaya untuk melakukan penataan kembali (right sizing) merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk melihat seberapa jauh kepegawaian pemerintah ini bisa berperan dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Sementara itu upaya untuk melakukan evaluasi terhadap sistem, prosedur dan proses pengelolaan kepegawaian di dalam pemerintahan perlu juga diketahui dan dilakukan agar diperoleh suatu sistem yang kondusif terhadap perubahan yang ada. Penataan kepegawaian terus berlangsung dan manajemen kepegawaian berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dilakukan banyak perbaikan. Hubungan bidang kepegawaian antara pemerintah kabupaten dan kota dengan pemerintah daerah provinsi dipulihkan kembali. Guna mengurangi beban persoalan di bidang kepegawaian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi secara nyata dan luas, beberapa langkah kebijakan masih mungkin diusulkan, yaitu24: 1. Penetapan formasi pegawai negeri sipil oleh Pemerintah Pusat berdasarkan standar analisis kebutuhan pegawai sesuai dengan beban kerja dan lingkup tugas yang dilakukan; 2. Sistem evaluasi kinerja pegawai negeri sipil yang didasarkan atas standar prestasi kerja dan kompetensi kerja; 3. Pengembangan secara bertahap kemampuan kelembagaan yang menangani kepegawaian di daerah dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dimulai saat awal pelaksanaan otonomi daerah. 24
Prijono Tjiptoherijanto, 1999, Aparatur Negara Pada Era Reformasi, Analisis CSIS, Tahun XXVIII, Nomor 2.
Adapun ruang lingkup pembinaan Pegawai Negeri Sipil meliputi kegiatankegiatan sebagai berikut25: -
Penetapan formasi, dan pengadaan pegawai untuk mengisi formasi itu.
-
Kepangkatan, jabatan, pengangkatan calon pegawai negeri sipil dan pengangkatan jabatn struktural, serta pemberhentian.
-
Sumpah, kode etik dan peraturan disiplin.
-
Pendidikan dan latihan.
-
Kesejahteraan.
-
Penghargaan.
Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menegaskan bahwa kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil tidak terbatas sebagai unsur aparatur negara yang mampu menyelenggarakan pelayanan publik, tetapi juga harus mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya penyelenggaraan kebijakan pembinaan dan manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur Pegawai Aparatur Sipil Negara didasarkan atas asas: a. Kepastian hukum; b. Profesionalitas; c. Proporsionalitas; 25
h.52.
Sastra Djatmika dan Marsono, 1985, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
d. Keterpaduan; e. Delegasi; f. Netralitas; g. Akuntabilitas; h. Efektif dan efisien; i. Keterbukaan; j. Non diskriminatif; k. Persatuan dan kesatuan; l. Keadilan dan kesetaraan; m. Kesejahteraan.