BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM JAMINAN DAN SISTEM RESI GUDANG 2.1
Hukum Jaminan
2.1.1
Pengertian Hukum Jaminan Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan dalam bahasa Belanda
“zakerheidesstelling” atau dalam bahasa Inggris “security of law”1. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, ketentuan hukum yang mengatur tentang hukum jaminan dapat dikaji dalam Buku II KUH Perdata dan Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah diubah menjadi Stb. 1937 Nomor 190 tentang Creditverband. Dalam buku II KUH Perdata, ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum jaminan adalah gadai dan hipotek, dimana gadai diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata sampai Pasal 1160 KUH Perdata, sedangkan hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata. Creditverband merupakan pembebanan jaminan bagi orang bumi putra (Indonesia asli). Hak atas tanah yang dapat dibebani creditverband adalah hak milik, hak guna bangunan (HGB) dan hak guna usaha (HGU). Bagi orang Eropa atau bukan orang bumi putra, berlaku ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hipotek. Pada zaman Jepang, ketentuan hukum jaminan tidak berkembang, karena pada zaman ini ketentuanketentuan hukum yang diberlakukan dalam pembebanan jaminan didasarkan pada ketentuan hukum yang tercantum dalam KUH Perdata dan Creditverband. Pada era sebelum reformasi terjadi dualisme dalam pembebanan jaminan, terutama hak 1
H. Salim HS., 2012, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 5.
18
atas tanah. Secara formal pembebanan jaminan hak atas tanah berlaku ketentuanketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tetapi secara materiil yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak berlaku ketentuan dalam Buku II KUH Perdata dan Creditverband. Tapi sejak diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka dualisme hukum dalam pembebanan hak atas tanah tidak ada lagi, karena secara formal maupun materiil berlaku ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pada era reformasi pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, karena kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia atas tersedianya dana sehingga perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan fidusia serta untuk menjamin kepasrian hukum bagi pihak yang berkepentingan2. Dalam Keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada pada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta menyimpulkan bahwa istilah hukum jaminan meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun perorangan, sehingga dalam seminar tersebut memberikan perumusan pengertian hukum jaminan berdasarkan pada pembagian jenis lembaga hak jaminan3. Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, hukum jaminan adalah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya 2 3
Ibid, hlm. 1. Rachmadi Usman,2009 , Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
19
sebagai jaminan, perarturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberi kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan dengan adanya lembaga jaminan maka harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, jangka waktu lama serta bunga yang relatif rendah4. Menurut J.Satrio, hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur5. Menurut Salim HS., hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit6. Menurut Thomas Suyanto hukum jaminan adalah ketentuan mengenai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu barang7. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum jaminan adalah ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan penerima jaminan atau kreditur, sebagai akibat dari pembebanan utang tertentu dengan peyerahan kekayaan debitur atau pernyataan kesanggupan bahwa debitur dapat menanggung pembayaran kembali utang tesebut. Berdasarkan perumusan pengertian hukum jaminan di atas, terdapat beberapa unsur-unsur penting yang membentuk rumusan tersebut, yaitu sebagai berikut:
4
Ibid, hlm 6. Ibid. 6 Ibid. 7 Frieda Husni Hasbulah, 2002, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid II, Ind-Hill-Co, Jakarta, hlm. 6 5
20
1. Adanya kaidah hukum yang mengatur mengenai jaminan, dimana kaidah hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu kaidah hukum yang tertulis seperti traktat, yurisprudensi serta peraturan perundangundangan dan kaidah hukum tidak tertulis yaitu kaidah hukum khususnya hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang di masayarakat. 2. Adanya pemberi dan penerima jaminan atau debitur dan kreditur. Yang termasuk pihak pemberi jaminan atau debitur adalah perseorangan atau badan hukum, sedangkan yang termasuk pihak penerima jaimnan atau kreditur adalah badan hukum yang memberi fasilitas kredit, badan hukum disini dapat berupa lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonbank. 3. Adanya jaminan, sehingga jaminan tersebut dapat diserahkan oleh debitur kepada kreditur sebagai garansi bahwa debitur akan melunasi utangnya terhadap kreditur. 4. Adanya utang-piutang, karena tanpa adanya hubungan hukum ini maka perjanjian jaminan tidak akan pernah terjadi. 5. Adanya faslitas kredit dari penerima jaminan atau kreditur, karena penyerahan kekayaan debitur sebagai jaminan dilakukan agar debitur tersebut mendapatkan fasilitas kredit dari kreditur.
21
2.1.2
Sumber Hukum Jaminan Berdasarkan pengertiannya sumber hukum dibagi menjadi tiga yatu
sebagai berikut8: 1. Sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum positif, wujudnya dalam bentuk yang konkret, yakni berupa keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan. 2. Sumber hukum yang diartikan sebagai tempat ditemukannya atauran dan ketentuan hukum, berwujud peraturan atau ketetapan, baik tertulis atau tidak tertulis. 3. Sumber hukum dalam artian hal-hal yang dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang untuk mennetukan isi hukum positif yang akan dibentuk. Pengertian dasar hukum atau sumber hukum pada skripsi ini adalah tempat ditemukannya aturan dan ketentuan hukum serta peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis yang mengatur mengenai hukum jaminan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jaminan. Aturan dan ketentuan hukum dan perundangundangan jaminan yang dimaksud adalah hukum positif, yaitu ketentuan jaminan yang sedang berlaku saat ini. Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan jaminan, dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:
8
Ibid, hlm. 3.
22
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP Perdata) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan terjemahan dari Burgelijk Wetbookyang berasal dari Belanda, berdasarkan asas konkordansiberlaku di Indonesia mulai tahun 1848. Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUH Perdata ini memuat hukum perdata meteriil terkecuali hukum dagang9. Ketentuan jaminan dapat dijumpai dalam Buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Ketentuan mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, lembaga dan hak jaminan dalam KUH Perdata diatur pada Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Pengaturan tentang piutang-piutang tersebut dimulai dari Bab XIX tentang Piutang Dengan Hak Mendahulukan yang diatur mulai dari Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149, kemudian pada Bab XX dibahas tentang Gadai yang diatur mulai pada Pasal 1150 sampai dengan 1161, pada Bab XXI membahas tentang Hipotek yang diatur mulai Pasal 1162 sampai dengan 1232. 2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang) Pada dasarnya KUH Dagang mengatur mengenai hukum perdata khusus yang terdiri dari dua buku yaitu, Buku I mengatur tentang Dagang Pada Umumnya dan Buku II mengatur tentang Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban yang Timbul dari Pelayaran. Dalam KUH Dagang, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan 9
L.J. van Apeldoorn, 1985, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 22, terjemahan Supomo, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 236.
23
hukum jaminan adalah ketentuan mengenai pembebanan hipotek atas kapal laut yang dimuat dalam Buku II, mulai dari Pasal 309 sampai dengan 319. 3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ini yang berhubungan dengan hukum jaminan yaitu terdapat pada Pasal 51 yang menyatakan bahwa lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan pada hak tanah adalah Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga hipotek dan credietverband, yang akan diatur dalam suatu undang-undang tersendiri. 4. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Tanggungan ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 yang disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan mengatur berbagai hal baru berkenaan dengan lembaga Hak Tanggungan. Dengan berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan ini, maka ketentuan-ketentuan mengenai credietverband seluruhnya tidak berlaku lagi dan ketentuanketentuan mengenai hipotek yang menyangkut pembebanan hipotek hak atas tanah beserta dengan benda-benda yang berkaitan dengan
24
tanah tidak berlaku lagi, sedangkan ketentuan tentang pembebanan hipotek atas benda-benda lainnya yang bukan hak atas tanah dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, masih tetap berlaku, hal ini dimuat dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Hak Tanggungan. 5. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang selanjutnya disebut Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa selama peraturan perundang-undangan mengenai fidusia yang ada belum dicabut, diganti atau diperbarui maka semua peraturan perundang-undangan tentang fidusia selama berdasarkan undang-undang fidusia dan tidak bertentangan dengan undang-undang fidusia dinyatakan tetap berlaku dengan mengadakan penyesuaian seperlunya. 6. Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Undang-Undang ini mengalami perubahan pada tahun 2011 menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang. Perubahan yang terjadi tidaklah pada keseluruhan pasal-pasalnya melainkan pada beberapa pasal saja, sehingga ketentuan pasal-pasal yang lainnya masih tetap berlaku.
25
2.2
Perkembangan Sistem Resi Gudang
2.2.1
Perkembangan Sistem Resi Gudang Sebelum Disahkannya UndangUndang No. 9 Tahun 2006 Sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang
Sistem Resi Gudang, transaksi Resi Gudang atau warehouse receipt telah dilakukan baik di negara maju seperti Amerika dan Kanada maupun di negara berkembang seperti Filipina, India, Ukraina, Brazil dan Zambia serta transaksi ini juga telah dilakukan di negara dengan perekonomian dalam transisi (transition country) seperti Polandia. Transaksi Resi Gudang ini melibatkan dua pihak yaitu depositor atau yang disebut dengan pemilik barang, dimana depositor ini dapat berupa producer, farmer, group, trader, exporter, processor atau individual dan warehouse operator atau yang disebut dengan pengelola gudang. Depositor menyimpan komoditinya pada warehouse operator, kemudian Depositor akan menerima warehouse receipt atau resi gudang dari pengelola gudang. Dalam implementasi transaksi resi gudang, dilibatkan pula lembaga-lembaga lain seperti perusahaan asuransi kegiatan, perusahaan penjamin, perusahaan kliring komoditi dan perbankan10. Praktik perdagangan dan pembiayaan kredit dengan skema mirip Resi Gudang sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem resi Gudang sudah sering dilakukan dalam kegiatan bisnis di Indonesia melalui model jaminan fidusia. Jaminan Resi Gudang pada dasarnya merupakan bagian dan perkembangan lebih lanjut dari jaminan fidusia hanya saja
10
Ramlan Ginting, 2005, Keterkaitan Perbankan dalam Transaksi Warehouse Receipt, Makalah Seminar Nasional Resi Gudang 15 November 2005, Buletin Hukum Perbankan & Kebanksentralan Volume 3 Nomor 3 Desember 2005, diakses dari www.bi.go.id tanggal 08 April 2015, hlm. 14-15.
26
objek dan jaminan fidusia lebih luas, yaitu mencakup benda bergerak dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebankan dengan hak tanggungan maupun dengan hipotik, sedangkan objek jaminan Resi Gudang hanya khusus ditujukan bagi benda bergerak hasil pertanian, perkebunan atau perikanan saja. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sejarah perkembangan jaminan Resi Gudang tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan jaminan fidusia11. Indonesia telah menggunakan jaminan fidusia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, yang semula jaminan fidusia berasal dari zaman Romawi. Dalam hukum Romawi lembaga fidusia ini dikenal dengan nama fiducia cum creditore contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat oleh kreditur yang isinya adalah debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda sebagai jaminan utangnya dengan kesepakatan bahwa debitur akan tetap menguasai secara fisik benda tersebut dan kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya sudah dibayar lunas, cara penyerahan dan pemindahan kebendaan pada jaminan fidusia ini dinamakan constitutum possessorium12. Selain melalui jaminan fidusia, skema mirip resi gudang sebagai alternatif pembiayaan bagi pengusaha, produsen kecil (termasuk petani) yang tidak memiliki akses kredit langsung di Indonesia dilakukan melalui skema Collateral Management Agreement (CMA). Skema CMA melibatkan tiga pihak, yaitu pemilik barang,
11 12
Iswi Hariyani dan R. Serfianto, op.cit, hlm. 40. Rachmadi Usman, op.cit, hlm. 151.
27
pengelola agunan dan bank sebagai penyandang dana, namun skema ini lebih banyak dimanfaatkan oleh eksportir dan bersifat tertutup13. 2.2.2
Perkembangan Sistem Resi Gudang Sebelum Disahkannya UndangUndang No. 9 Tahun 2006 Setelah berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem
Resi Gudang di Indonesia pemerintah mulai membentuk Kredit Usaha Rakyat dengan Jaminan Resi Gudang, membangun Gudang Terakreditasi meskipun dengan jumlah yang belum banyak14. Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/MDAG/PER/11/2011 tentang Barang Yang Dapat Disimpan Di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang Pasal 1 Angka 2 menyatakan bahwa: “Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang.”
Dokumen tersebut dapat dipakai untuk transaksi mirip surat berharga, sehingga petani dapat mengajukan pembiayaan ke lembaga keuangan bank maupun nonbank yang sudah terikat kerja sama dengan Lembaga Jaminan Resi Gudang. Perkembangan Resi Gudang pasca diundangkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 masih belum berjalan baik, bahkan mantan Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali mengaku kecewa atas perkembangan Resi Gudang yang dinilainya lamban karena pada tahun 2007 dari tujuh provinsi yang mengajukan rencana program Resi Gudang hanya terealisasi dua provinsi saja, padahal anggaran yang disediakan adalah Rp. 24.000.000.000 (dua puluh empat 13
Ashari, 2010, ICASEPS Working Paper No.102-Prospek Sistem Resi Gudang (SRG) Sebagai Alternatif Pembiayaan Sektor Pertanian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, hlm. 11. 14 Iswi Hariyani dan R. Serfianto, op.cit, hlm. 44.
28
miliyar)15. Agar pengajuan pembiayaan dengan Resi Gudang dapat berjalan lancar maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu16: 1. Komoditas yang disimpan rentan terhadap fluktuasi harga, namun pada masa-masa tertentu harganya dapat naik; 2. Komoditas tersebut memiliki daya simpan yang cukup lama, seperti gabah, jagung atau kedelai; 3. Gudang memenuhi syarat dan sebaiknya sudah berupa silo; 4. Komoditas yang disimpan mudah dinilai dengan uang dan harus ada yang ahli menaksir, terutama bagi pengelola dana; 5. Pengawas atau pemegang kunci gudang harus dapat dipercaya. Dalam pola Resi Gudang, petani menyerahkan gabahnya ke Pengelola Gudang untuk disimpan di gudang milik Unit Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA), dan kemudian petani mendapatkan bukti penyimpanan dalam bentuk Resi Gudang. Selanjutnya Resi Gudang dijadikan jaminan ke lembaga keuangan untuk mendapatkan dana talangan. Petani mendapatkan dana senilai 70% (tujuh puluh persen) dari total harga gabah yang dititipkan di gudang berdasarkan harga yang berlaku di pasaran saat itu. Setelah berjalan beberapa waktu (3-4 bulan), yaitu pada saat dimana harga gabah di pasaran cukup tinggi, pemilik dana serta manajer atau pengurus UPJA menjual gabah milik petani. Penjualan biasanya dilakukan dengan sistem lelang untuk mendapatkan harga tertinggi. Dari hasil penjualan tersebut petani dapat menebus dan mengembalikan pinjaman ke lembaga
15 16
Iswi Hariyani dan R. Serfianto, op.cit, hlm. 55. Iswi Hariyani dan R.Serfianto, op.cit, hlm. 45.
29
keuangan. Selanjutnya setelah dikurangi harga penjualan gabah tersebut (sesuai dengan harga pasar pada saat perjanjian Resi Gudang), akan terdapat selisih harga atau keuntungan. Keuntungan tersebut selanjutnya dibagi ke semua pihak yang terikat kontrak pola Resi Gudang dengan proporsi sesuai dengan kesepakatan17. Sistem ini sangat membantu para petani untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa harus terbelit hutang dan harus membayar bunga yang tinggi kepada rentenir atau tengkulak. 2.3
Tujuan dan Manfaat Sistem Resi Gudang Dalam penjelasan Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi
Gudang menyatakan bahwa Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, menjamin, dan melindungi kepentingan masyarakat, kelancaran arus barang, efisiensi biaya distribusi barang, serta mampu menciptakan iklim usaha yang dapat lebih mendorong laju pembangunan nasional. Untuk mendukung maksud tersebut diperlukan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan sektor-sektor terkait yang mendukung Sistem Resi Gudang, serta Pasar Lelang Komoditas. Pada bagian menimbang Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang menyatakan bahwa tujuan pemberlakuan Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang adalah sebagai berikut: 1. Sebagai salah satu instrument pembiayaan untuk mendukung kelancaran produksi dan distribusi barang.
17
Iswi Hariyani dan R. Serfianto, op.cit, hlm. 46.
30
2. Sebagai pendukung terwujudnya kelancaran produksi dan distribusi barang serta Resi Gudang dapat menjadi salah satu instrumen pembiayaan. 3. Sebagai landasan hukum yang kuat sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang melakukan kegiatan dalam sistem Resi Gudang. Dalam upaya peningkatan kapasitas pada sektor pertanian dalam hal mendukung perekonomian nasional, Sistem Resi Gudang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar karena penerapan Sistem Resi Gudang memiliki prospek yang cukup baik dalam rangka peningkatan pendapatan usaha tani melalui tunda jual dimana saat panen raya petani menyimpan hasil pertanian di gudang, kemudian penjualan dilakukan pada saat harga komoditas pertanian telah tinggi, hal ini dapat meminimalisir penimbunan barang oleh pedagang pengumpul. Menurut Sadaristuwati, resi gudang memiliki posisi yang penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di sektor pertanian, karena resi gudang merupakan salah satu bentuk sistem tunda jual yang menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai tukar petani. Selain itu di era modern ini, dimana perdagangan yang bebas sudah dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia maka resi gudang sangat diperlukan untuk membentuk petani menjadi seorang entrepreneur dan mandiri. Sistem Resi Gudang dapat mengatasi penurunan harga pada perdagangan komoditas pertanian sehingga petani bisa mendapatkan peningkatan harga jual komoditas. Selain bagi kalangan petani keberadaan Sistem
31
Resi Gudang juga bermanfaat bagi dunia perbankan, pelaku usaha dan pemerintah, dimana beberapa manfaat tersebut adalah sebagai berikut18: 1. Ikut menjaga kestabilan serta dapat mengendalikan harga komoditi. 2. Memberikan jaminan modal produksi karena adanya pembiayaan dari lembaga keuangan. 3. Adanya jaminan ketersediaan barang dan bahan baku industri khususnya pada agroindustri. 4. Ikut menjaga stok nasional dalam rangka menjaga ketahanan dan ketersediaan pangan nasional. 5. Mampu melakukan efisiensi baik logistik maupun distribusi. 6. Memberikan kontribusi fiskal kepada pemerintah. 7. Mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan bidang usaha yang terkait dengan Sistem Resi Gudang lainnya. Berdasarkan uraian dari manfaat Sistem Resi Gudang di atas, dapat dikatakan bahwa Sistem Resi Gudang sangat membantu mewujudkan salah satu cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995 yang selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Dengan adanya Sistem Resi Gudang Indonesia tidak perlu lagi mengimpor beras dari negara-negara lain, cukup dengan mengandalkan beras dari dalam negeri yang kualitasnya tidak kalah dengan kualitas beras di negara lain. Selain mampu mengurangi impor beras, Sistem Resi Gudang juga mampu membantu negara meningkatkan kesejahteraan rakyat 18
Ashari, op.cit., hlm. 15.
32
dengan perekonomian tergolong menengah kebawah karena dapat membantu para petani menjaga kestabilan harga dari hasil pertaniannya.
33