23
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN
A. Pengertian Hak Tanggungan Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, maka Undang-Undang tersebut telah mengamanahkan untuk terciptanya perangkat aturan tentang Hak Tanggungan, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Dengan berlakunya UUHT lembaga jaminan hipotik dan credietverband yang berkaitan dengan tanah, dinyatakan tidak berlaku lagi. Keberadaan UUHT sangat diperlukan dalam rangka menciptakan kepastian hukum dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah, sehingga terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaan, yang bersifat sangat pentingdalam mendukung sektor keuangan dan perbankan di Indonesia. Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah, adalah: Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada 23
24
kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lainnya. Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undangundang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 7 Lahirnya
Undang-undang
Hak
Tanggungan
diharapkan
akan
memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang
selama
ini
pengaturannya
menggunakan
ketentuan-ketentuan
Creditverband dalam KUH Perdata. Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Hak Tanggungan, pada dasarnya adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya
7
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2005, hal.13.
25
meliputi benda-benda tersebut. 8 Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu Undang-undang Hak Tanggungan memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi bendabenda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
B. Ciri dan Sifat Hak Tanggungan Berdasarkan Angka 3 Penjelasan Umum dari Undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference). Dalam batang tubuh Undang-undang Hak Tanggungan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditur yang lain. 2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu 8
Purwahid Patrik, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1989, hal. 52.
26
berada (droit de suite), hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah tangan dan mejadi milik pihak lain, namun kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitur cidera janji (wanprestasi). 3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur tidak perlu menempuh acara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya yang
tidak
sedikit.
Kreditur
pemegang
Hak
Tanggungan
dapat
menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum. Selain melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6, eksekusi obyek hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan cara “parate executie” sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 158 RBg bahkan dalam hal tertentu penjualan dapat dilakukan dibawah tangan. 9 Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian darinya. Dengan telah dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin hak tanggungan tidak berarti terbebasnya sebagian obyek hak 9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2000, hal. 420.
27
tanggungan, melainkan hak tanggungan tersebut tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum terlunasi. Dengan demikian pelunasan sebagian hutang debitur tidak menyebabkan terbebasnya sebagian obyek hak tanggungan. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa
hak
tanggungan
mempunyai
sifat
tidak
dapat
dibagi-bagi
(ondeelbaarheid). Sifat tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asalkan hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa hal yang telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek hak tanggungan. Sehingga hak tanggungan hanya membebani sisa dari obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi asalkan hak tanggungan tersebut dibebankan kepada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri.
C. Proses Pembebanan Hak Tanggungan Tahap pembebanan hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Hak
28
Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap pembebanan hak tanggungan dan tahap pendaftaran hak tanggungan, yaitu sebagai berikut: 10 1. Tahap Pembebanan Hak Tanggungan Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, “pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. 2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, “pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”. Pasal 13 ayat (2) menyatakan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan APHT, PPAT wajib
mengirimkan APHT yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, 10
Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertiftkatnya, Bandung: Mandar Maju, 1997, hal. 54.
29
termasuk di dalamnya sertipikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT. 11 Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat hak tanggungan. Hal ini berarti sertipikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertipikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan 12.
D. Objek dan Subjek Hak Tanggungan 1. Objek Hak Tanggungan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
11
Ibid. Boedi Harsono dan Sudarianto Wiriodarsono, Konsepsi Pemikiran tentang UUHT, Makalah Seminar Nasional, Bandung, 27 Mei 1996, hal. 17. 12
30
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menyebutkan bahwa yang menjadi Objek Hak Tanggungan adalah: a. Hak milik. b. Hak guna usaha. c. Hak guna bangunan. d. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan hak tanggungan. Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat hak tanggungan merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka kiranya bisa kita simpulkan, bahwa hakhak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan, sebagaimana yang disebut diatas, adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Disamping itu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah berbunyi: Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.
31
Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek hak tanggungan. Perhatikan baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga dapat dibebankan “pada hak atas tanah....”, dari cara penyebutan mana kita tahu, bahwa bangunan, tanaman dan hasil karya itu hanya bisa menjadi objek hak tanggungan kalau tanah diatas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya itu berada juga dijaminkan dengan hak tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa dijaminkan dengan Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya. 13 Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut” mengingatkan kita pada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan “dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menganut asas hukum adat dan karenanya menganut asas pemisahan horisontal, namun disini disyaratkan harus merupakan satukesatuan dengan tanahnya. Kalau kita biasa membayangkan apa yang menjadi satu-kesatuan dengan tanah adalah apa yang berada di atas tanah, maka
13
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Bandung: Alumni, 1999, hal.8.
32
menurut penjelasan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ternyata meliputi juga bangunan yang ada di permukaan tanah, seperti basement. Jadi, yang ada dibawah tanah hanya meliputi bangunan, atau bagian dari bangunan, yang ada dibawah tanah, dan ada hubungannya dengan tanah yang ada diatasnya. Karenanya, tambang dan mineral tidak termasuk di dalamnya.
2. Subjek Hak Tanggungan Subjek Hak Tanggungan adalah: a. Pemberi Hak Tanggungan Pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Penyebutan “orang perseroangan” atau “badan hukum” adalah berlebihan, karena dalam pemberian hak tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang perserorangan maupun badan hukum -vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
33
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi hak tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang. Selanjutnya syarat, bahwa pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objek yang dijaminkan adalah kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan pengurusan atau beschikkingsdaden, padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan bukan pengurusan, yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan. Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran hak tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang menjanjikan hak tanggungan pada saat benda yang akan dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran hak tanggungan, benda jaminan telah menjadi milik pemberi hak tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktik, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditor. Praktiknya, sebelum berlakunya Undang-Undang
34
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditor merupakan orang perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sehingga kini orang perorangan dimungkinkan secara tegas sebagai penerima hak tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik renternir, yang menyalahgunakan peraturan hak tanggungan ini. 14 b. Pemegang Hak Tanggungan Pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima hak tanggungan, yang sesudah pemasangan hak tanggungan akan menjadi pemegang hak tanggungan, yang adalah juga kreditor dalam perikatan pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini tidak ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang hak tanggungan memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitor wanprestasi, memiliki persil jaminan. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang hak 14
H. M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama Jakarta: Penerbit CV Trisula, 1997, hal. 22.
35
tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai kreditor. Menentukan siapa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bisa bertindak sebagai pemberi hak tanggungan. Karena seorang pemegang hak tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan tanah dan pada asasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek hak tanggungan bahkan memperjanjikan. Bahwa objek hak tanggungan akan menjadi milik pemegang hak tanggungan, kalau debitor wanprestasi adalah batal demi hukum sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang hak tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, kita bisa menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang hak tanggungan adalah orang alamiah ataupun badan hukum. Yang namanya badan hukum bisa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh status sebagai badan hukum ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan Perseroan Komanditer atau commanditer venootschap. Ini membawa persoalan lain, yaitu apakah Perseroan Komanditer bisa bertindak sebagai pemegang hak tanggungan, mengingat bahwa Perseroan Komanditer di indonesia belum secara resmi diakui sebagai badan hukum, sekalipun harus diakui, dalam praktik sehari-hari kita melihat adanya pengakuan secara
36
tidak resmi dari anggota masyarakat, seakan-akan Perseroan Komanditer bisa mempunyai hak dan kewajiban sendiri. 15
15
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku Satu, Bandung: Citra aditya Bakti, 1997, hal. 268.