BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL
2.1
Pengertian Akta Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau “akta”
dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed”. Secara etimologi menurut S. J. Fachema Andreae, kata “akta” berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrift” atau surat.1 Menurut R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, kata akta berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak dari kata “actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.2 A. Pitlo, yang dikutip Suharjono mengemukakan bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.3 Pengertian mengenai akta oleh para ahli hukum diatas, maka untuk dapat dikatakan sebagai akta, suatu surat harus memenuhi syarat-syarat:4 a. Surat tersebut harus ditandatangani, hal ini untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lain atau dari akta yang dibuat oleh orang lain. Jadi tanda tangan berfungsi untuk memberikan ciri atau mengindividualisir sebuah akta ; b. Surat harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau peristiwa, yaitu pada akta harus berisi suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang diperlukan ;
1
Suharjono, 1995, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Desember, Jakarta, hlm.128. R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.9. 3 Suharjono, op.cit, hlm 43. 4 Ibid, hlm.129-130. 2
21
22
c. Surat tersebut sengaja dibuat sebagai alat bukti, maksudnya dimana di dalam surat tersebut dimaksudkan untuk pembuktian suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan hak atau perikatan. Akta adalah surat yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.5 Adapun pengertian akta merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perjanjian, yang dibuat sejak semula dan sengaja untuk pembuktian.6 Pasal 1866 KUH Perdata menyatakan bahwa “Alat pembuktian meliputi: bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Semuanya tunduk pada aturan-aturan yang tercantum dalam bab-bab berikut”. Jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling pertama dari seluruh alat-alat bukti yang disebut dalam pasal tersebut. Fungsi terpenting akta adalah sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian daripada akta dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:7 1. Kekuatan pembuktian lahir Kekuatan pembuktian lahir yang dimaksudkan ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
5
H. Zainal Asikin, 2015, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm.121. 6 Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.151. 7 Ibid, hlm.162.
23
2. Kekuatan pembuktian formil Kekuatan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan dibawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini member kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. 3. Kekuatan pembuktian materiil Kekuatan pembuktian akta materiil ini memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa akta bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta. Ditinjau dari segi pembuktian akta mempunya beberapa fungsi, yaitu:8 1. Akta berfungsi sebagai formalitas kuasa Suatu akta berfungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. apabila perbuatan hukum yang dilakukan tidak dengan akta, maka perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Dalam hal ini contoh yang dapat diambil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1945 KUH Perdata tentang sumpah dimuka hakim. Jadi akta disini digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum. 2. Akta berfungsi sebagai alat bukti Fungsi utama akta adalah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama membuat akta memang diperuntukan dan digunakan sebagai alat bukti. Bila timbul sengketa, sejak semula telah tersedia akta untuk membuktikan kebenaran perjanjian.
8
M. Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.564.
24
3. Akta berfungsi sebagai probationis kuasa Dalam hal ini akta menjadi satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Maka dari itu, fungsi akta tersebut merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu. Tanpa akta peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan. Kedudukan dan fungsi akta tersebut bersifat spesifik.
2. 2 Macam-macam Akta Pasal 1867 KUH Perdata menyebutkan bahwa “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik maupun dengan tulisan di bawah tangan”. Berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata tersebut macam-macam akta ada dua yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan. 1. Akta Autentik Menurut hukum positif pada Pasal 1868 KUH Perdata menjelaskan bahwa “suatu akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Dari penjelasan ini, akta autentik dibuat oleh di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.9 Pejabat yang berwenang membuat akta autentik salah satunya adalah Notaris, yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN-P menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
9
Ibid, hlm.566.
25
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undangundang lainnya”. Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris disebut sebagai akta notariil yang berkedudukan sebagai akta autentik, dalam Pasal 1 angka 7 UUJN-P disebutkan bahwa “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”. Hal ini sejalan dengan pendapat Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:10 a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang b. Dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat. Menurut C. A. Kraan, akta autentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:11 a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.
10
Irawan Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hlm.148. 11 Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.3-4.
26
c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut. d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. Autentik tidaknya suatu akta (otensitas) tidaklah cukup apabila akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat saja. Apabila pejabat yang tidak cakap dan tidak berwenang atau bentuknya cacat,12 dan tanpa ada kemampuan yang membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta autentik.13 Hal itu diatur dalam Pasal 1869 KUH Perdata bahwa “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditanda tangani oleh para pihak”. B. Akta Di Bawah Tangan Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat. Dalam hal ini akta di bawah tangan
12
H. Zainal Asikin, op.cit, hlm.125. Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.157.
13
27
semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. 14 Keberadaan para saksi yang menyaksikan adanya persetujuan perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani dan atau dibubuhi cap jempol oleh para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian sangatlah penting karena keberadaannya akan sangat berarti apabila dikemudian hari terjadi suatu masalah atau salah satu pihak mengingkari isi dan atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian maupun tanda tangannya dapat dijadikan saksi di persidangan pengadilan.15 Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam pasal 1869 KUH Perdata : “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditanda tangani oleh para pihak”. Dalam Pasal 1874 KUH Perdata merumuskan bahwa akta di bawah tangan ialah : a. Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan, b. Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang, c. Secara khusus ada akta di bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak. Akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya dapat menjadi mutlak apabila akta tersebut dilegalisir atau dilegalisasi oleh notaris umumnya akta dibuat sendiri oleh para pihak yang berkepentingan atas kesepakatan kedua belah pihak, 14
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.160. Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori Dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.247.
15
28
sedangkan mengenai tanda tangannya dan atau cap jempolnya dilaksanakan di hadapan Notaris, ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 1874 KUH Perdata : “Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud” Pasal 1874 a KUH Perdata : “Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut. Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dan pasal yang lalu”. Notaris dalam hal ini hanya bertanggung jawab hanya terbatas pada kebenaran tentang tanda tangan atau cap jempol pihak yang berkepentingan berdasarkan tanda pengenal yang dimiliki oleh para pihak berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan atau Surat Izin Mengemudi (SIM).16 Akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak dan tanda tangannya para pihak maupun para saksi tidak dihadapan Notaris, tetapi akta di bawah tangan tersebut di daftarkan di kantor Notaris (waarmeking). Dalam hal ini Notaris tidak
16
Ibid, hlm.248.
29
dapat dimintai pertanggungjawaban tentang kebenaran subjek hukumnya maupun tanda tangannya karena Notaris hanya mendaftar akta di bawah tangan yang sudah jadi.17 Jika ada salah satu pihak mengingkari atau tidak mengakui adanya akta dibawah tangan ini maka kekuatan pembuktian menjadi lemah, sebaliknya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan ini tidak disangkal oleh salah satu pihak yang turut mentandatangani akta di bawah tangan, maka kekuatan pembuktianya menjadi sempurna atau mutlak dan kekuatan mengikatnya sampai kepada para ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka sesuai ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata. C. Kekuatan pembuktian akta autentik dan akta di bawah tangan Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta autentik dengan akta di bawah tangan adalah:18 1. Akta autentik mempunyai tanggal yang pasti; 2. Grosse dari akta autentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial. 3. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta autentik. Di samping itu masih ada lagi perbedaan antara akta autentik dan akta di bawah tangan, yaitu:19
17
Ibid, hlm.248-249. G.H.S. Lumban Tobing,1996, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm.46-47. 19 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.37-38. 18
30
1. Akta autentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian. 2. Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas acta publica probant seseipsa yaitu suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya, sedangkan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir. Selain perbedaan yang telah diuraikan di atas, akta autentik dan akta di bawah tangan juga memiliki perbedaan dalam kekuatan pembuktiannya. Kekuatan pembukatian yang melekat dalam akta autentik terdiri atas tiga kekuatan yang melekat yaitu:20 1. Kekuatan pembuktian lahir Suatu akta autentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta autentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta autentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti lahiriah. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian lahir adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta autentik harus dianggap benar sebagai akta autentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.
20
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm.566-570.
31
2. Kekuatan pembuktian formil. Berdasarkan Pasal 1871 KUH Perdata bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta autentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta: mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim. 3. Kekuatan pembuktian materil. Dalam kekuatan akta autentik yang ketiga ini terdapat tiga prinsip yang terkandung dalam akta autentik yaitu: a) Penanda tangan akta autentik oleh seorang untuk keuntungan pihak lain, ini merupakan prinsip pokok kekuatan materil suatu akta autentik yang mana setiap penanda tangan akta autentik oleh seorang selamanya harus dianggap untuk keuntungan pihak lain, bukan untuk keuntungan pihak penandatangan; b) Seorang hanya dapat membebani kewajiban kepada diri sendiri. Prinsip ini merupakan lanjutan dari prinsip pertama. Berdasarkan prinsip ini dihubungkan dengan asas penanda tangan akta autentik untuk keuntungan pihak lain, dapat ditegakkan kekuatan materil pembuktian akta autentik meliputi: siapa yang menandatangani akta autentik berarti dengan sukarela telah menyatakan
32
maksud dan kehendak seperti yang tercantum di dalam akta, tujuan dan maksud pernyataan itu dituangkan dalam bentuk akta untuk menjamin kebenaran akta tersebut, oleh karena itu dibelakang hari penanda tangan tidak boleh mengatakan atau mengingkari bahwa dia tidak menulis atau memberi keterangan seperti yang tercantum dalam akta, namun demikian perlu diingat bukan berarti kebenaran itu bersifat mutlak sesuai keadaan yang sebenarnya. c) Akibat hukum akta dikaitkan kekuatan pembuktian materil akta autentik. Apabila terdapat dua orang atau lebih, dan antara satu dengan yang lain saling memberi keterangan untuk dituangkan dalam akta, tindakan mereka itu ditinjau dari kekuatan pembuktian materil akta autentik menimbulkan akibat hukum meliputi: keterangan
atau pernyataan itu sepanjang saling bersesuaian,
melahirkan persetujuan yang mengikat kepada mereka. Dengan demikian akta tersebut menjadi bukti tentang adanya persetujuan
sebagaimana yang
diterangkan dalam akta tersebut. Akta di bawah tangan hanya memilik dua daya kekuatan pembuktian. Tidak memiliki kekuatan pembuktian luar sebagaiman akta autentik yang tidak bisa dibantah kebenarannya oleh hakim, sehingga harus pihak lawan yang mengajukan pembuktian “kepalsuan” atas akta itu. Tegasnya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan diuraikan sebagai berikut:21 1. Kekuatan pembuktian formil. Sejauh mana daya kekuatan pembuktian formil akta di bawah tangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
21
Ibid, hlm.590-593.
33
a) Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum di dalam akta. Bedasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui siapa saja atau orang yang menanda tangani akta di bawah tangan: (1) dianggap benar menerangkan
seperti apa yang dijelaskan dalam akta, (2) berdasarkan
kekuatan formil yang demikian, mesti dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan, (3) dengan demikian daya kekuatan pembuktia akta di bawah tangan meliputi kebenaran identitas penanda tangan serta menyangkut kebenaran idenitas orang yang memberi keterangan; b) Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Daya pembuktian formalnya tidak bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain. Karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Dengan demikian keterangan yang tercantum di dalamnya tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan pihak lain karena isi keterangan yang tercantum di dalam ABT belum pasti merupakan persesuaian keterangan para pihak. Dalam ABT masing-masing para pihak dibenarkan oleh hukum untuk mengingkari isi dan tanda tangan. 2. Kekuatan pembuktian materil. Jika pada daya kekuatan pembuktian formil titik permasalahan menyangkut kebenaran isi tanda tangan dan penanda tangan, maka pada daya pembuktian materil, fokus permasalahannya berkenaan dengan kebenaran isi keterangan yang tercantum di dalam akta dibawah tangan. Prinsip yang harus ditegakkan daya pembuktian materil adalah:
34
a) secara materil isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan, harus dianggap benar; b) dalam arti apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap sebagai keterangan yang dikehendakinya; c) dengan demikian secara materil, isi yang tercantum dalam ABT mengikat kepada diri penanda tangan. Dari dua bentuk akta sifat yang melekat dalam akta autentik jika hendak dibantah terletak pada tindakan pembuktian atas kepalsauan akta tersebut. Sedangkan pada akta di bawah tangan daya kekuatan mengikatnya yang tidak memiliki pembutian keluar (harus dianggap benar, sepanjang tidak ada alat bukti yang sah dapat menggugurkannya), terletak pada tindakan untuk mendapat kekuatan sebagai alat bukti akta di bawah tangan adalah pembuktian keaslian.
2. 3 Bentuk-bentuk Akta Notariil Pada umumnya akta autentik yang menyangkut bidang perdata, dibuat dihadapan Notaris.22 Hal itu ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUJN-P menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris sebagai pejabat umum berwenang membuat akta autentik yang disebut sebagai akta notariil, dijelaskan dalam pasal 1 angka 7 UUJN-P menyebutkan bahwa “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh
22
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 571.
35
atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Akta-akta yang dibuat oleh notaris terbagi menjadi dua bentuk, yaitu Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamai akta partij (acte partij) atau akta pihak dan akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (acte ambtelijk).23 Bentuk akta notariil tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Akta Partij atau Akta Pihak Akta partij atau akta pihak yaitu akta yang dibuat berdasar keterangan atau perbuatan para pihak yang menghadap Notaris, dan keterangan atau perbuatan itu agar dikonstatir oleh Notaris untuk dibuatkan akta notariil (akta Notaris).24 Akta ini biasanya akta yang berisi dan melahirkan persetujuan bagi para pihak yang datang menghadap dan menandatanganinya di hadapan Notaris.25 2. Akta relaas atau akta pejabat Akta relaas atau akta pejabat adalah akta yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum yang memuat uraian secara autentik tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat, dialami, dan disaksikan oleh Notaris sendiri.26 Jadi inisiatifnya tidak berasal dari para pihak yang namanya diterangkan di dalam akta tersebut melainkan dari pejabat dalam hal ini Notaris.27
23
H. Zainal Asikin, op.cit, hlm.124. G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hlm.51. 25 M. Yahya Harahap II, op.cit, hlm.571. 26 Ibid, hlm.570. 27 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.158. 24
36
Dilihat dari kedua pengertian bentuk akta notariil tersebut, akta partij atau akta pihak dan akta relaas atau akta pejabat memiliki beberapa perbedaan yaitu:28 a. Akta partij atau akta pihak Undang-Undang mengharuskan adanya penandatanganan oleh para pihak, dengan ancaman kehilangan otensitasnya atau hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai
akta
di
bawah
tangan
setidak-tidaknya
Notaris
mencantumkan keterangan alasan tidak ditandatanganinya akta oleh salah satu pihak pada akhir akta, misalnya salah satu pihak mengalami cedera tangan sehingga tidak bisa menandatangani akta, sebagai ganti nya maka menggunakan cap jempol dan alasan tersebut harus dicantumkan dalam akta notariil dengan jelas oleh Notaris yang bersangkutan. b. Akta relaas atau akta pejabat Tidak menjadi persoalan terhadap orang-orang yang hadir menandatangani akta atau tidak, akta tersebut masih sah sebagai alat pembuktian. Misalnya para pemegang saham telah pulang sebelum akta ditandatangani, Notaris cukup hanya menerangkannya dalam akta. Perbedaan di atas sangat penting dalam kaitannya dengan pembuktian sebaliknya terhadap isi akta, dengan demikian terhadap kebenaran isi akta pejabat atau akta relaas tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta tersebut palsu, sedangkan pada akta partij atau pihak kebenaran, isi akta partij dapat digugat tanpa menuduh kepalsuannya dengan menyatakan bahwa keterangan dari pihak tidak benar. Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak pun
28
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hlm.52.
37
memiliki perbedaan dimana untuk membuat akta partij atau pihak notaris tidak pernah berinisiatif, sedangkan untuk membuat akta relaas atau akta pejabat justru notaris yang bertindak aktif, yaitu dengan inisiatif sendiri membuat akta tersebut.29
2. 4 Tentang Kebatalan Akta notariil merupakan perjanjian para pihak yang mengikat bagi mereka yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata kebatalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:30 1. Melanggar syarat-syarat subjektif sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUH Perdata ayat (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, dan (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. 2. Melanggar syarat-syarat objektif sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUH Perdata ayat (3) suatu pokok persoalan tertentu, dan (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Perbedaan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam 2 kelompok ini dikategorikan, apabila tidak memenuhi syarat kelompok subjektif maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan apabila tidak memenuhi syarat yang objektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum. 29
H. Zainal Asikin, op.cit, hlm.124. Habib Adjie, op.cit, hlm.52.
30
38
2.4.1 Dapat dibatalkan Sebuah akta notariil dapat dibatalkan apabila melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian, yaitu : 1. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata (kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya). Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menyatakan perjanjian adalah sah apabila diantara para pihak mengikatkan dirinya. 2. Melanggar Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata (kecakapan untuk membuat suatu perikatan). Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian adalah sah apabila para pihak cakap dalam membuat suatu perjanjian. Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta notariil. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan salah satu pihak akta tersebut dapat dibatalakan.31 2.4.2 Batal demi hukum Suatu akta notariil dapat dikatakan batal demi hukum apabila akta tersebut melanggar syarat-syarat obyektif sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata (suatu pokok persoalan tertentu). Suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah bahwa obyek perjanjian
31
Ibid., hlm.52-53.
39
tersebut haruslah tertentu, dapat ditentukan yaitu suatu barang yang dapat diperdagangkan, dan dapat ditentukan jenisnya jelas, tidak kabur. 2. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata (suatu sebab yang tidak terlarang). Suatu sebab yang halal apabila perjanjian dibuat berdasarkan kepada sebab yang sah dan dibenarkan oleh undang-undang, dan tidak melanggar ketentuang tentang isi perjanjian. Dalam hukum perjanjian ada akibat tertentu jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum tanpa perlu ada permintaan dari para pihak. Dengan demikian perjanjia dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapa pun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam akta notariil syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta yang mana telah diatur dalam Pasal 38 UUJN-P. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum.32
32
Ibid.
21