BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI NELAYAN TRADISIONAL DALAM UNCLOS 1982 2.1 Tentang Nelayan 2.1.1 Pengertian Nelayan Memberikan definisi terhadap nelayan bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah mengingat ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, seperti apakah definisi nelayan tersebut mengacu kepada pekerjaan, tempat tinggal ataupun status pekerjaan.1 Pengertian nelayan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang atau masyarakat yang mata pencarian utamanya adalah menangkap ikan,2 sedangkan menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) nelayan buruh, (2) nelayan juragan, dan (3) nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.3 1
Mulyadi. S, 2005, Ekonomi Kelautan, PT Grafindo Persada, Jakarta, h. 171
2
http://kbbi.web.id/nelayan
3
Ibid
Berdasarkan penggolongan sosialnya nelayan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu : Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jarring, dan perlengkapan lainnya), struktur masyarakat ini terbagi menjadi kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenanganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas.4 Kedua, dari skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi menjadi nelayan besar di mana jumlah modal yang diinventasikan dalam usaha perikanan relative banyak, dan nelayan kecil justru sebaliknya. 5 Ketiga, dari tingkat teknologi peralatan tangkap ikan, yang terbagi menjadi modern yaitu nelayan yang menggunakan teknologi penangkpan yang lebih canggih dari nelayan tradisional.6 Kemudian dari perbedaan sumber daya, latar belakang sampai ekonomi membuat Nelayan dapat dibagi menjadi beberapa kategori menurut kepemilikan kapalnya yaitu: 7 1. Nelayan pemilik, nelayan yang memiliki kapal perahu atau kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk memperoleh hasil laut. 4 Bagong Suyanto, 2013, Anatomi Kemiskinan dan strategi penanganannya, In-Trans Publishing, Surabaya, h.53 5
Ibid
6
Ibid
7
Mubyarto, 1984, Nelayan dan Kemiskinan, Rajawali, Jakarta, h.63
2. Nelayan juragan, nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia tidak memiliki kapal. 3. Nelayan buruh, nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan. 2.2. Nelayan Tradisional 2.2.1 Pengertian Nelayan Tradisional Di lingkungan masyarakat pesisir, nelayan tradisional adalah kelompok yang paling menderita, miskin dan acapkali merupakan korban proses marginalisasi akibat kebijakan modernisasi perikanan. Secara umum, yang disebut nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana.8 Nelayan tradisional juga diartikan sebagai orang yang bergerak di sektor kelautan dengan menggunakan perahu layar tanpa motor, sedangkan mereka yang menggunakan mesin atau perahu motor merupakan nelayan modern.9 Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Asri. Untuk menjawab pertanyaan klasifikasi nelayan tradisional dan modern, Asri membuat dua kemungkinan jawaban, yaitu nelayan yang muncul akibat dari kegiatan warisan turun temurun dan nelayan yang tumbuh didasarkan pada pertimbangan ekonomis semata. Kalangan nelayan pertama adalah yang termasuk ke dalam kategori nelayan tradisional. Dengan 8
Bagong Suyanto, op.cit, h. 59
9
Mulyadi, 2005, op.cit, h.173
demikian, kategori sebagai nelayan tradisional menurut Asri, tidak saja mengacu kepada alat atau teknologi yang dipergunakan untuk menangkap ikan, tetapi juga adanya faktor kegiatan yang diwariskan secara turun temurun oleh sang nelayan. Hal tersebut diperkuat dengan adanya data bahwa sekitar 70% dari nelayan yang berusaha dengan perahu tanpa motor adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara turun temurun. Artinya, Nelayan Tradisional muncul sebagai kelanjutan dari usaha orang tua yang juga memiliki kegiatan utama sebagai nelayan.10 Kemudian menurut Sawit dan Sumiono, nelayan tradisional adalah nelayan skala kecil yang mempunyai ciri-ciri: (1) kegiatan lebih padat kerja (labour intensive) dengan alat tangkap sederhana, (2) teknologi penangkapan atau pengelolaan ikan masih sangat sederhana, (3) tingkat pendidikan dan keterampilan relatif rendah dan sederhana.11 Berbeda hal dengan Rachmat Safa’at, nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan perahu layar tradisional tak bermotor maupun bermotor tempel, menggunakan peralatan tangkap yang masih tradisional seperti jaring, pancing, petorosan, atau toros, dan lain sebagainya.12 Sedangkan nelayan tradisional yang dimaksud di dalam skripsi ini dibatasi pada nelayan tradisional yang daerah operasinya berada sampai ke Negara-Negara 10
Asri, 2000, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Perikanan Laut: Studi Kasus Kapal Motor di Kota Padang, Tesis Universitas Andalas, Padang, h.78
11
Sawit dan Sumiono dalam Rachmad Safa’at, 1998, “Perlindungan Hukum Hak Adat Kelautan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan: Studi Kasus Nelayan Masangan di Kedung Cowek – Surabaya,” Tesis Magister Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Indonesia, Depok, h. 7 12
Ibid
tetangga. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tidak mendefinisikan secara jelas siapa yang dimaksud dengan nelayan tradisional. Undang-undang tersebut hanya memberikan definisi nelayan pada umumnya saja sebagai orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa menjelaskan jenis nelayan apa yang dimaksud dalam Pasal tersebut. Selanjutnya, di dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, pengertian nelayan kecil dipersempit dengan memasukan unsur penggunaan kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT, di samping bahwa nelayan tersebut melakukan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.13 Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan nelayan tradisional secara umum, nelayan tradisional adalah nelayan yang hanya mencari ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, biasanya nelayan ini dalam usahanya menangkap ikan hanya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada sejak turun menurun, baik mengenai jenis tangkap dan wilayah tangkapannya. Di dalam pasal 1 ayat (8) UNCLOS 1982, nelayan tradisional didefinisikan sebagai nelayan-nelayan yang sumber utama kehidupan secara langsung melakukan penangkapan ikan tradisional di Daerah Perikanan yang ditetapkan di dalam perjanjian tersebut. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 Memorandum of Understanding 1974 antara Indonesia dan Australia, yang disebut sebagai nelayan tradisional adalah 13 Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Undang-Undang No.. 45 tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN. 5073, Pasal 1 ayat (11)
nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan maupun berbagai jenis organisme tidak bergerak di perairan Australia selama beberapa dekade dengan cara-cara tradisional14 Sedangkan klarifikasi mengenai perikanan tradisional atau perikanan skala kecil sampai sekarang masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Jika mengacu kepada pendapat Smith, pengklasifikasian tersebut didasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap, dan jarak daerah penangkapan dari pantai. Lebih lanjut, Smith mengungkapkan karakteristik skala perikanan
dengan
cara
membandingkan
perikanan
berdasarkan
technico-
socioeconomic nelayan dan membaginya ke dalam 2 golongan, yaitu nelayan industri dan nelayan tradisional.15 Selain itu, Smith juga mengungkapkan karakteristik perikanan kecil, yaitu sebagai berikut16: 1. Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali. 2. Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan adakalanya pendapatan keluarga ditambah dari pendapatan di luar dari kegiatan penangkapan. 3. Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri
14
Najmu Laila, Op.cit h.113
15
Smith dalam Iwan Setiawan, 2008, Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap: Suatu Analisis Program Pemberdayaan Nelayan Kecil, Institut Pertanian Bogor, Bogor, h. 12-13 16
Najmu Laila, loc.cit
4. Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin. 5. Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan. 6. Hasil tangkapan per-unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai sangat rendah. 7.
Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisir dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau dijual di laut.
8.
Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya.
9. Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal.
2.2.2 Sejarah Nelayan Tradisional di Indonesia Awal mula kemunculan Nelayan Tradisional di berbagai daerah di Indonesia ditandai dengan adanya organisasi nelayan tingkat lokal, seperti misalnya Ikatan Nelayan Saijaan (INSAN) Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan, Solidaritas Nelayan Kabupaten Bengkalis (SNKB), Forum Komunikasi Nelayan Jakarta (FKNJ). Bahkan organisasi nelayan tradisional yang dibentuk di jaman orde baru lebih dikenal
sebagai organisasi yang mengerjakan program-program bantuan pemerintah khususnya dari Departemen Kelautan dan Perikanan.17 Kemudian muncul ancaman dari disahkannya Keputusan Menteri Nomor 06 tahun 2008 yang memperbolehkan penggunaan jaring trawl/pukat harimau/pukat hela beroperasi di perairan Kalimantan Timur bagian Utara. Sehingga bagi nelayan tradisional hal ini akan menjadi kemunduran pengelolaan laut serta sumber-sumber agraria di dalamnya. Maka pada awal tahun 2008 berbagai perwakilan organisasi nelayan lokal melakukan pertemuan di Jakarta dan mendeklarasikan terbentuknya KPNNI (Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional). KPNNI yang akan mempersiapkan berdirinya sebuah organisasi nelayan tingkat Nasional. Kemudian pada Tanggal 11-12 Mei 2009 di Manado berlangsunglah Kongres Nelayan Tradisional Indonesia I bertepatan dengan kegiatan World Ocean Conference (WOC) Dalam kongres tersebut disepakati bahwa nama organisasi nelayan saat itu yang berlaku sampai sekarang yakni KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia).18 1.2.3
Karakteristik Sosial Nelayan Tradisional
Nelayan tradisional pada dasarnya adalah salah satu kelompok masyarakat pesisir yang memiliki kerentanan ekonomi dan secara sosial relatif
paling
tertinggal. Dari 200 nelayan tradisional yang diteliti oleh Bagong Suyanto pada tahun 2004, hanya 1% yang mengaku pernah kuliah, dan 12% mengaku 17 Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, 2014, “Sejarah”, URL : http://knti.or.id/sejarah/ diakses tanggal 5 Mei 2015 18
Ibid
berpendidikan SLTA. Sebagian besar nelayan tradisional hanya berpendidikan SD (60%), dan bahkan 5% responden mengaku sama sekali tidak mengenal bangku sekolah.19 Untuk bekal mencari ikan di laut, letar belakang pendididikan seseorang memang tidak penting. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikit-banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi kecapakan mereka melaut. Karakteristik sosial mereka yang masih rendahpun terlihat dari kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang paling biasa, sehingga anak-anak merekapun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang setinggi-tingginya. 20 1.2.4
Karakteristik Ekonomi Nelayan Tradisional
Komunitas desa pantai, khususnya nelayan tradisional pada dasarnya adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil laut. Seperti juga masyarakat pantai yang kehidupannya tergantung pada irama musim, pasang surut kelangsungan hidup keluarga nelayan tradisional sangat dipengaruhi musim panen dan paceklik ikan.21
19
Bagong Suyanto. op.cit, h. 63
20
Ibid
21
Ibid
Bagi nelayan tradisional jelas tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka semakin terburuk tatkala sumber daya laut semakin langka. Studi yang dilakukan Suyanto dkk (2004) menyatakan bahwa Nelayan tradisional dikatakan kelompok masyarakat paling miskin dan tidak berdaya karena mereka rawan menjadi eksploitasi para tengkulak dan pengijon dan pendapatan perbulannya hanya berkisar 250-500 ribu dengan jumlah anak 2-3 orang. Seseorang yang bekerja sebagai nelayan tradisional, kondisi ekonominya bisa dipastikan kurang lebih sama dengan buruh nelayan. Hanya bedanya buruh nelayan berpenghasilan kecil karena sistem bagi hasil yang timpang, maka untuk nelayan tradisional penghasilan mereka pas-pasan karena jumlah tangkapan yang relatif sedikit. 22 2.2.5 Pengertian Hak Penangkapan Ikan Tradisional berdasarkan UNCLOS 1982 Hak penangkapan tradisional merupakan terjemahan bebas dari istilah traditional fishing right yang dimaksud di dalam UNCLOS 1982 (dan konvensikonvensi hukum laut lainnya) ataupun peraturan-peraturan yang menyebutnya demikian. Hak Penangkapan Ikan tradisional merupakan hak yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisional Negara tetangga untuk melakukan penangkapan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. 23 Hak 22
Bagong Suyanto. loc.cit
23 Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut, Jakarta, h.7
tersebut merupakan hak yang diberikan kepada nelayan tradisional Negara tetangga untuk melakukan penangkapan ikan secara tradisional di Perairan kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral.24 Pengakuan terhadap hak tersebut diakomodir di dalam Bab IV Pasal 51 ayat (1) UNCLOS 1982 yang menyebutkan : “Tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 49, Negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan Negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah Negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak akan kegiatan demikian, berlaku, atas permintaan salah satu Negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan Negara ketiga atau warga Negaranya.” Dengan melihat Pasal 51 UNCLOS 1982, hak perikanan tradisional tidak diperoleh secara langsung. Hak itu dapat diperoleh oleh suatu Negara dengan berbagai syarat dan ketentuan teknis yang diatur selanjutnya adalam perjanjian bilateral kedua Negara yang bersangkutan, seperti jenis ikan apa yang boleh diambil, menggunakan alat tangkap jenis apa, di mana lokasi penangkapan (fishing ground ) harus dilakukan, berapa jumlah nelayan tradisional yang akan melakukan penangkapan, jenis kapal seperti apa yang boleh digunakan dan lain sebagainya. Oleh karena hal itulah hak perikanan tradisional tidak serta-merta langsung menjadi hak setiap nelayan di suatu Negara kepulauan. Hal ini juga diperkuat dengan adanya syarat adanya perjanjian bilateral yang menjadi alat legitimasi dari negara yang bersangkutan. 24
Ibid
2.3 Penyebaran Nelayan Tradisional di Kepulauan Indonesia Pulau yang ada di wilayah Indonesia berjumlah lebih dari 17.000 pulau baik yang besar maupun yang kecil. Dengan banyaknya jumlah pulau menyebabkan Indonesia memiliki garis pantai yang panjangnya sejauh 81.000 km dan merupakan salah satu garis pantai yang terpanjang di dunia. Adanya garis pantai yang panjang menguntungkan bagi Negara itu, batas-batas wilayah laut di Indonesia harus diakui oleh dunia Internasional25 Berdasarkan Pasal 46 UNCLOS 1982, Negara kepulauan adalah NegaraNegara yang seluruhnya terdiri dari suatu atau lebih kepulauan. Adapun yang di maksud dengan kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambung (inter-connecting waters), dan karakteristik ilmiah lainnya dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk satuan instrinsik geografi, ekonomi, dan politis atau secara historis memang dipandang demikian.26 Negara kepulauan menarik garis pangkal (baseline) dengan menggunakan metode garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Konsekuensi penarikan garis pangkal dengan cara demikian adalah terjadinya perubahan status bagian-bagian laut yang tadinya merupakan laut bebas menjadi laut wilayah Negara Kepulauan tersebut dibarengi dengan berbagai pengaturan lain yang memberikan jaminan 25
26
Erika J., 2014, Teritorial Kelautan Indonesia, Aryhaeko Sinergi Persada, Surakarta h. 79
Mohamed Munavvar, 1995, Ocean States : Archipelagic Regimes in the Law of the Sea, Dordrecht : Martinus Nijhoff, h.5
terhadap hak lintas damai (right of innocent passage)27 dan hak lintas melalui aluralur laut kepulauan (the right of archipelagic sealanes passage), bagi kapal asing dalam laut pedalaman Negara kepulauan. Selain itu, Negara kepulauan juga harus menghormati hak-hak penangkapan tradisional dari Negara-Negara tetangga dan perjanjian-perjanjian yang telah ada dengan Negara lain. 28 Garis pangkal kepulauan juga cara formal diakui eksistensinya dalam UNCLOS 1982, tegasnya dalam Bab/Bagian IV Pasal 46-54, yang secara khusus mengatur tentang Negara kepulauan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa garis pangkal kepulauan ini khususnya hanya diterapkan oleh Negara kepulauan, meskipun secara geografis Negara itu berbentuk kepulauan, maka Negara yang demikian tidak menetapkan garis pangkal kepulauan. Negara itu hanya bisa menerapkan garis pangkal normal dan garis pangkal lurus dalam pengukuran lebar laut teritorial. 29 Tentang garis pangkal kepulauan secara khusus diatur dalam Pasal 47 ayat 1-9 Ayat (1) UNLCOS 1982, menegaskan hak Negara kepulauan untuk menetapkan garis pangkal kepulauan. Selanjutnya ditegaskan tentang cara menarik menarik garis pangkal kepulauan, yakni dengan menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Syarat garis lain adalah seperti yang ditegaskan pada ayat (2) pada UNCLOS 27
Lihat Pasal 18-19 UNCLOS 1982
28
Lihat Pasal 311 (2) UNLOS 1982
29
Wayan Parthana, op.cit.,h.77
1982, bahwa panjang garis pangkal kepulauan tidak boleh melebihi dari 100 mil laut, kecuali hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan diperkenankan melebihi dari panjang tersebut hingga pada panjang maksimum 125 mil laut. 30 Hal inilah yang menyebabkan banyaknya nelayan tradisional yang tersebar di beberapa titik pulau Indonesia, seperti di Perairan Laut antara Australia-Indonesia, Papua Nugini dan Malaysia yang bisa bebas menggunakan Hak tradisionalnya untuk menangkap ikan. Hal ini pula masuk ke dalam wilayah Negara lain sesuai dengan perjanjian bilateral yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat (6) dalam UNCLOS 1982 yang menegaskan tentang perairan di Negara kepulauan yang terletak antara dua bagian dari suatu Negara tetangganya yang secara langsung berada dalam posisi berdampingan. Pada perairan kepulauan itu, Negara tetangga memiliki hak-hak serta kepentingan-kepentingan lainnya yang secara sah memang ada jauh sebelumnya, dan secara tradisional dilaksanakan oleh Negara tetangga di dalam perairan tersebut. 31
30
Ibid
31
Wayan Parthiana, Op.cit., h.78