BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Remaja Masa remaja merupakan periode peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Pada masa ini remaja di antaranya mulai mencari identitas diri, sehingga seseorang yang sedang berada dalam masa remaja akan sangat mudah terpengaruh oleh berbagai hal di sekelilingnya, baik itu yang positif maupun yang negatif. Hal itu cenderung terjadi karena kondisi emosi remaja yang tidak stabil dan cenderung sensitif terhadap semua hal yang berkaitan dengan pribadinya dan permasalahanpermasalahan dirinya. Seiring dengan perubahan tersebut, pada usia remaja terbentuk pola konsumsi yang dapat berkembang menjadi pola konsumtif. Sedangkan dalam Santrock (2003) menjelaskan defenisi tentang remaja yang memerlukan pertimbangan tentang usia dan pengaruh faktor sosial-sejarah sehingga remaja (adolescence) dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Walaupun situasi budaya dan sejarah membatasi kemampuan kita untuk menentukan rentang usia remaja, akan tetapi dapat disimpulkan bahwa usia remaja dimulai dari 11-13 tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun. Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian. Tingkah laku remaja pada umumnya digambarkan sebagai berikut: 1.
Memiliki perasaan malu dan sensitif tapi bersamaan dengan itu mereka juga 6
seringkali berlaku agresif. 2.
Remaja mengalami ketegangan atau tekanan emosional karena mengalami konflik-konflik mengenai sikap, nilai-nilai, ideologi, dan gaya hidup yang bermacam-macam. Sebab, walaupun mereka beranjak memasuki dunia orang dewasa, mereka sebenarnya tidak dapat dikatakan sudah dewasa maupun masih anak-anak.
3.
Adanya kesiapan dalam diri remaja untuk bertindak ekstrim dan mengubah perilaku secara drastis. Itulah sebabnya kita sering menemui remaja yang bersikap dan berperilaku radikal dan memberontak.
2.1.1 Tahapan Remaja Masa remaja dibagi menjadi beberapa tahap yaitu: a. Remaja awal (early adolescent) pada usia 11-14 tahun. Remaja awal biasanya berada pada tingkat SMP, perubahan yang terjadi pada masa ini sangat cepat, baik pertumbuhan fisik dan kapasitas intelektual. Pada masa ini tugas perkembangannya lebih dipengaruhi oleh perubahan fisik dan mental yang cepat, yaitu adaptasi dan penerimaan keadaan tubuh yang berubah. b. Remaja pertengahan (middle adolescent) pada usia 15-18 tahun, biasanya duduk di bangku SMU. Pada masa ini remaja secara fisik menjadi percaya diri dan mendapatkan kebebasan secara psikologi dari orang tua, memperluas pergaulan dengan teman sebaya dan mulai mengembangkan persahabatan dan keterkaitan dengan lawan jenis. c. Remaja akhir (late adolescent) pada usia 18-22 tahun. Umumnya terjadi
7
pada akhir SMU dan universitas sampai individu mencapai kematangan fisik, emosi dan kesadaran akan keadaan sosialnya, memiliki identitas personal dalam relasinya dengan orang lain, mengetahui peran sosial, sistem nilai, dan tujuan dalam hidupnya.
2.1.2 Remaja Sebagai Konsumen Kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial bagi produsen. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, meniru teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Mall sudah menjadi rumah kedua bagi remaja yang memiliki orangtua dengan kelas ekonomi yang cukup berada dan tinggal di kota-kota besar. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif. Kaum remaja merupakan pembeli potensial untuk produk-produk seperti kaset, kosmetik, pakaian, sepatu, dan aksesoris. Hal ini disebabkan oleh sifatsifat remaja yang mudah terbujuk iklan, suka ikut-ikutan teman atau alasan konformitas tidak realistis serta cenderung boros dalam menggunakan uangnya untuk keperluan rekreasi dan hobi. Remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah 8
dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga.
2.2 Gaya Hidup Remaja Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) dan Mowen (1995) gaya hidup adalah suatu pola hidup yang menyangkut bagaimana orang menggunakan waktu dan uangnya. Gaya hidup juga dapat didefinisikan sebagai suatu frame of reference atau kerangka acuan yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku, dimana individu tersebut berusaha membuat seluruh aspek kehidupannya berhubungan dalam suatu pola tertentu, dan mengatur strategi begaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain. Gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi citra rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan, dan lain-lain. Gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang yang akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Remaja zaman sekarang berbeda dengan remaja zaman dahulu, terutama dalam gaya hidupnya. Gaya hidup remaja zaman sekarang ikut berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dan didukung oleh fasilitas-fasilitas yang ada. Remaja zaman sekarang lebih membutuhkan uang untuk membeli sejumlah pakaian baru dan barang baru yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Gaya hidup shopping mall adalah suatu pola hidup yang menyangkut bagaimana orang menggunakan waktu dan uangnya terutama dalam kegiatan berbelanja. Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) gaya hidup terdiri dari kegiatan, minat, dan opini. Kegiatan adalah tindakan nyata seperti menonton suatu media, berbelanja di toko, atau menceritakan kepada orang lain 9
mengenai hal baru (perilaku konsumtif). Minat akan semacam objek, peristiwa, atau topik adalah tingkat kegairahan yang menyertai perhatian khusus maupun terus menerus kepadanya. Oponi adalah “jawaban” lisan atau tertulis yang orang berikan sebagai respon terhadap situasi stimulus dimana semacam pertanyaan diajukan. Kasali (2000) menyatakan bahwa gaya hidup mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang. Orang akan cenderung memilih produk, jasa, atau aktivitas tertentu karena produk, jasa, dan aktivitas tersebut diasosiasikan dengan gaya hidup tertentu. Misalnya orangorang yang berorientasi pada karir akan memilih pakaian, buku, majalah, komputer, dan barang-barang lainnya yang berbeda dengan mereka yang berorientasi pada keluarga. Hawkins, Best, dan Coney (1995) memandang gaya hidup sebagai pusat dari proses konsumsi. Gaya hidup yang ditentukan oleh faktor-faktor seperti emosi, kepribadian, motivasi, persepsi, pembelajaran, aktivitas pemasaran, budaya, nilai, demografi, status sosial, dan kelompok referensi berhubungan dengan kebutuhan atau sikap yang akan menentukan proses-proses konsumsi dalam situasi-situasi yang dihadapi konsumen (pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi dan seleksi, pemilihan toko dan pembelajaran, serta proses-proses setelah pembelian terjadi). Setiap individu memiliki gaya hidup yang bersifat unik dan khas, dimana ia akan mengatur seluruh aspek hidupnya berhubungan dalam suatu pola tertentu sesuai dengan gaya hidupnya tersebut (Agustina, 2005). Pembentukan gaya hidup seseorang terjadi sejak kecil dan dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu kebudayaan, nilai-nilai yang dianut, tempat tinggalnya, temanteman sekelompok, keluarga,
10
cara belajar, kepribadian, sikap, dan lain-lain (Hawkins, Best, dan Coney, 1995). Misalnya, seorang anak yang tumbuh ditengah-tengah keluarga dan lingkungan yang mengutamakan nilai-nilai keagamaan yang kuat, akan tumbuh dengan pola hidup yang sesuai dengan nilainilai yang dianutnya. Dari cara berpikir dan bersikap sampai pemilihan pakaian dan barang-barang kebutuhan akan disesuaikan dengan pola/gaya hidupnya tersebut. Lewat gaya hidup, seorang individu juga dapat menunjukkan citra diri dan status sosialnya di tengah-tengah masyarakat (Salomon dalam Agustina, 2005).
2.3 Shopping Mall Merriam-Webster (2009) menjelaskan Shopping mall adalah sebuah tempat dimana di dalamnya terdapat toko-toko yang berhubungan sehingga pengunjung dapat dengan mudah berpindah dari satu toko ke toko yang lain.1 Konsep awal dari pusat perbelanjaan adalah sebagai tempat yang hanya menyediakan barang-barang dagangan, namun seiring dengan berjalannya waktu konsep tersebut berubah. Dengan memperluas konsep penyewa toko dan aktivitasnya, mall telah mengubah perannya sebagai wadah bisnis perdagangan menjadi pusat hiburan dan even-even budaya (Agustina, 2005). Secara umum, pusat perbelanjaan atau shopping mall dapat diartikan sebagai “kumpulan dari berbagai macam barang dan jasa”, yang diatur secara strategis untuk menarik perhatian konsumen (Agustina, 2005). Strategi pemasaran itu terus berubah selama beberapa dekade dalam masa perkembangannya. Mall telah mengalami transformasi menjadi pusat perbelanjaan sekaligus sebagai pusat hiburan. 1
Merriam-Webster.com (tanggal akses: 16 April 2009)
11
Sebelumnya para pelaku bisnis mall berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan pusat perbelanjaan yang mengutamakan efektivitas dan efisiensi waktu, hanya untuk berbelanja barang-barang kebutuhan. Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan konsumen berubah menjadi mementingkan elemen hiburan dalam pusat perbelanjaan (Agustina, 2005). Sebuah penelitian menemukan bahwa elemen hiburan merupakan sumber motivasi terkuat dalam pilihan konsumen mall, dan juga berhubungan dengan produktivitas mall (Christiansen dalam Agustina, 2005). Shopping mall adalah sebuah tempat dimana di dalamnya terdapat berbagai macam toko yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Mall atau pusat perbelanjaan di Jabotabek muncul pada tahun 1980-an, namun mulai berkembang pada tahun 1990-an, saat mall-mall besar seperti Lippo Super Mall dan Mall Pondok Indah yang beroperasi pada tahun 1994, Plaza Senayan, Megamal Pluit, dan Mall Taman Anggrek yang beroperasi pada tahun 1997, mulai dibangun. Pada tahun 1997 sudah ada 100 mall besar di Jabotabek yang sudah dibangun atau dalam proses pembangunan. (Agustina, 2005). Walaupun pembangunan mall sempat terhambat karena krisis moneter dan kerusuhan besar, namun sejak tahun 2001 bisnis properti pusat perbelanjaan mulai kembali dibangun dan berkembang pesat. Sejak akhir tahun 2003 hingga 2005, di Jakarta saja sudah ada dan akan dibangun 21 Mall, WTC (World Trade Center), International Trade Center, dan square. Misalnya, Plaza Semanggi (220.000 meter persegi), WTC Mangga Dua, Thamrin Square, dan Roxy Square (Agustina, 2005). Menjamurnya mall-mall di Jakarta dan
12
sekitarnya menandakan para pelaku bisnis mencermati adanya antusiasme dan kebutuhan masyarakat yang sangat besar akan pusat perbelanjaan, dan dengan cepat mengakomodasikan kebutuhan tersebut. Shopping mall yang dahulu hanya menjadi tempat perdagangan, terus mengalami perubahan dalam hal konsep pemasaran selama beberapa dekade dalam masa perkembangannya. Seiring dengan kemajuan jaman dimana masyarakat semakin membutuhkan sesuatu yang efisien, munculah Shopping Mall dengan konsep dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat dalam satu tempat. Dalam Shopping Mall, masyarakat dapat berbelanja, berjalan-jalan, menikmati hiburan, ke bank, makan, dan berbagai macam kegiatan lain. Shopping Mall menjadi tempat rekreasi dan tempat menghabiskan waktu luang yang penting bagi masyarakat sekarang ini, terutama yang tinggal di kota-kota besar. Mall menjadi sarana rekreasi dan hiburan yang memenuhi hampir semua kebutuhan masyarakat, mulai dari supermarket, toko-toko retail asing maupun domestik yang menjual berbagai macam produk fashion, pusat jajanan, arena bermain anak, bioskop, dan berbagai acara hiburan lainnya. Mall seperti ini dikenal dengan istilah “one stop shopping mall”, yaitu mall yang menyediakan segalanya sehingga pengunjung tidak perlu pergi ke tempat lain. Dengan demikian, mall bukan hanya menjadi tempat berbelanja, namun juga menjadi tempat rekreasi, menghabiskan waktu luang dan pusat hiburan. Oleh karena itu mall menjadi elemen penting dalam gaya hidup masyarakat perkotaan modern sehingga diberi label sebagai “sebuah fenomena kebudayaan” (Agustina, 2005). Jadi shopping mall adalah sebuah tempat yang di dalamnya terdapat pusat
13
perbelanjaan dan juga dilengkapi dengan berbagai macam hiburan serta dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat hanya dari satu tempat.
2.3.1 Pembagian Shopping Mall Shopping Mall atau pusat perbelanjaan mempunyai kelas dan segmentasinya masing-masing. Pembagian tersebut dapat berdasarkan beberapa hal, namun yang umum adalah berdasarkan jangkauan pelayanannya yang diambil dari negara asal pusat perbelanjaan, Amerika Serikat. Pembagian tersebut yaitu: Tabel 1. Pembagian Segmentasi Shopping mall Segmentasi
Jangkauan Pelayanan (orang)
Luas Bangunan (m2 )
Neighborhood Center
3000-40.000
3.00010.000
Community Center
40.000150.000
10.00030.000
Regional Center
150.000500.000
30.00060.000
Department store, pasar swalayan, berbagai jenis toko dan restoran
> 100.000
Department store, pasar swalayan, beberapa toko besar (subanchor) seperti toko buku, furniture, segala jenis toko eceran, dan restoran
Super Regional Center
> 500.000
Penyewa Tempat Pasar swalayan, restoran Fastfood, dan toko-toko jasa Department store, pasar swalayan, dan toko pakaian kasual
Jarak Tempuh (Menit)
contoh
5-10
Hero dan Supermarket
10-25
Bintaro Plaza
30
Mall Ciputra
> 30
Plaza Senayan dan Mall Taman Anggrek
Sumber: Pilars, 17-23 November 2003, h. 48
Penelitian ini mempergunakan kelas segmentasi Super Regional Center dengan pertimbangan bahwa untuk kota Jakarta kelas segmentasi ini 14
yang paling tepat berdasarkan jangkauan pelayanannya. Selain itu, dengan melihat faktor penyewa tempat yang berarti fasilitas yang disediakan, kelas ini paling memenuhi syarat untuk sebutan “one stop shopping mall” sehingga mall seperti inilah yang paling banyak menarik minat pengunjung.
2.4 Gaya Hidup Remaja dengan Keterlibatan Tinggi Terhadap Shopping Mall Teori sosial post-modern cenderung mendefenisikan masyarakat postmodern sebagai masyarakat konsumen, dengan akibat bahwa konsumsi memainkan peran penting dalam teori tersebut. Ritzer & Goodman dalam Aprianti (2005) mengatakan mall muncul sebagai salah satu alat konsumsi baru dari masyarakat post-industri atau post-modern. Selain mall, beberapa alat konsumsi baru lainnya adalah industri fast-food, cybermall, superstore, dan saluran hiburan. Dikatakan alat konsumsi baru karena terjadinya pergeseran dari masyarakat
modern
(masa
revolusi
industri
dan
kapitalisme)
yang
mementingkan produksi di bidang industri (menggunakan banyak orang yang bekerja di pabrik untuk memproduksi suatu barang) menjadi masyarakat postmodern yang lebih mementingkan konsumsi. Maksudnya adalah lebih banyak orang yang bekerja di bidang pelayanan yang berhubungan dengan konsumsi, dan lebih banyak lagi yang menghabiskan waktu senggang mereka dengan kegiatan konsumsi, sedangkan untuk produksi lebih banyak menggunakan alatalat non manusia atau mesin. Mall dapat dilihat sebagai sesuatu yang sangat dikontrol secara teknologis di semua aspek dari operasinya. Kontrol ketat mencakup suhu, lampu, acara, dan
15
barang dagangan. Tujuannya adalah untuk mengontrol konsumen. Ruang dan waktu dikontrol dengan mendesain mall tanpa jendela; hanya ada sedikit tanda pintu keluar; keseragaman mall berarti mereka dapat berada dimana saja; dalam banyak kasus tidak ada jam di mall; pemeliharaan dan penyusunan ulang periodik membuat mall seperti tidak pernah tua; ada ilusi kesempurnaan mall. Konsumen dapat berkeliaran berjam-jam tanpa menyadari berlalunya waktu. Dengan menciptakan keadaan ini, mall memungkinkan konsumen bertemu dengan banyak toko dan melihat lebih banyak barang dan jasa dan membeli lebih banyak. Mall mengatur emosi konsumen dengan memberi cahaya, keceriaan, dan lingkungan menarik. Ternyata dalam hal-hal tertentu, gaya hidup bersifat kontemporer karena dapat berubah sesuai dengan karakteristik demografi dan trend yang terjadi di sekitarnya (Engel, Blackwell, dan Miniard, 1995). Trend tersebut selalu berubah mengikuti perkembangan jaman, misalnya perkembangan teknologi komunikasi menyebabkan handphone menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat sekarang, padahal dahulu orang harus mencari telepon umum untukmenghubungi orang lain. Shopping mall merupakan salah satu trend yang terjadi di masyarakat sekarang, terutama di perkotaan. Shopping mall yang dahulu hanya menjadi tempat perdagangan, terus mengalami perubahan dalam hal konsep pemasaran selama beberapa dekade dalam masa perkembangannya (Hardjana, 1993). Seiring dengan kemajuan jaman dimana masyarakat semakin membutuhkan sesuatu yang efisien, munculah Shopping Mall dengan konsep dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat dalam satu tempat. Dalam Shopping Mall, masyarakat dapat berbelanja,
16
berjalan-jalan, menikmati hiburan, ke bank, makan, dan berbagai macam kegiatan lain. Shopping Mall menjadi tempat rekreasi dan tempat menghabiskan waktu luang yang penting bagi masyarakat sekarang ini, terutama yang tinggal di kota-kota besar. Remaja yang mengganggap Shopping Mall penting dan relevan dengan nilai-nilai, minat, dan kebutuhan dirinya maupun kelompok teman sebayanya berarti memiliki keterlibatan tinggi terhadap Shopping Mall. Keterlibatan yang tinggi terhadap sesuatu akan menyebabkan individu memberikan perhatian tinggi terhadap segala hal yang menyangkut objek tersebut (Loudon & Della Bitta, 1993). Berarti remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap Shopping Mall akan suka menghabiskan waktu dan melakukan berbagai kegiatan di sana, serta mencari segala informasi mengenai Shopping Mall misalnya informasi acaraacara hiburan yang dilakukan di sana. Remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap Shopping Mall akan menjadikan aktivitas dalam Shopping Mall merupakan bagian dari gaya hidupnya.
2.5 Perilaku Konsumtif dan Bentuk-bentuk Perilaku Konsumtif Konsumtif adalah suatu gaya hidup atau pola hidup yang dikendalikan oleh keinginan membeli barang-barang yang tidak atau kurang dibutuhkan, selalu merasa tidak puas, bergaya hidup boros dan berlebihan dalam membeli sesuatu untuk memenuhi hasrat kesenangan duniawi semata (Yuanita, 2003). Sedangkan perilaku
konsumtif
adalah
perilaku
mengkonsumsi
barang-barang
yang
sebenarnya kurang atau tidak diperlukan (khususnya yang berkaitan dengan respon terhadap konsumsi barang-barang sekunder, yaitu barang-barang yang 17
tidak terlalu dibutuhkan). Perilaku konsumtif terjadi karena masyarakat mempunyai kecenderungan materialistik, hasrat yang besar untuk memiliki bendabenda tanpa memperhatikan kebutuhannya dan sebagian besar pembelian yang dilakukan didorong keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata (Prawono, 2005). Menurut Rosandi (2004), pasar Indonesia telah diramaikan oleh berbagai macam produk impor maupun lokal. Masuknya produk-produk bermerek dari luar negeri, seperti soft drink, fast food, pakaian, handphone, dan aneka aksesoris, ikut mendukung perilaku konsumtif. Promosi-promosi yang demikian gencar oleh para produsen melalui iklan telah merubah pola hidup orang. Oleh karena itu bentuk-bentuk perilaku konsumtif pada remaja perkotaan dapat dibagi menjadi: 1.
Ketertarikan berlebih pada idola. Banyak remaja yang berusaha meniru gaya bintang idolanya, mulai dari model rambut sampai ke model pakaian. Selain itu, kaum remaja yang mempunyai tokoh idola biasanya suka mengoleksi barang-barang yang berkaitan dengan tokoh idolanya, seperti foto, poster, video, kaset/CD lagu, buku/majalah, aksesoris, stiker, atau pakaian yang bergambar tokoh idolanya. Remaja tersebut bersedia mengeluarkan banyak uang untuk membeli semua barang-barang yang berkaitan dengan tokoh idolanya dalam jumlah yang banyak dan berlebihan, bahkan mereka rela menghabiskan uang dalam jumlah yang sangat banyak hanya untuk membeli satu barang yang berkaitan dengan tokoh idolanya.
18
2.
Berbelanja tidak sesuai dengan kebutuhan. Kondisi lain yang semakin mendukung timbulnya perilaku konsumtif di kalangan remaja adalah semakin banyaknya mall atau pusat perbelanjaan modern dengan berbagai penawaran yang sangat menarik. Orang yang tadinya hanya berniat untuk sekedar “window shopping”, akhirnya membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhannya.
3.
Kebiasaan pergi ke café. Perilaku konsumtif masih diperkaya lagi oleh keberadaan café yang semakin menjamur kota besar khususnya Jakarta yang sedikit banyak mendorong semakin berkembangnya perilaku konsumtif. Biaya masuk atau cover chargenya saja sudah mahal, belum lagi harga minuman dan makanannya yang harganya jauh dari harga pasar. Para remaja seringkali pergi ke café untuk berkumpul bersama kelompoknya. Dengan pergi ke café, mereka merasa statusnya terangkat.
4.
Membelanjakan uang berlebih pada keperluan penampilan. Remaja wanita dapat membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan penampilan seperti pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu. Kondisi pasar yang lebih banyak ditujukan untuk wanita dan kecenderungan wanita lebih mudah dipengaruhi mendorong wanita lebih konsumtif daripada pria. Namun, saat ini remaja pria juga berperilaku konsumtif dengan menjaga penampilannya karena dianggap dapat menarik lawan jenisnya.
19
Karakteristik Individu yang Berperilaku Konsumtif Menurut Rosandi (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif adalah sebagai berikut: a. Karakteristik demografik Demografi adalah data yang menggambarkan suatu populasi dalam hal ukurannya (jumlah individu dalam suatu populasi), distribusinya (berdasarkan lokasi geografis dan lokasi tinggal di perkotaan, pedesaan, atau pinggiran kota), serta
strukturnya
(umur,
pendapatan,
pendidikan).
Faktor
demografi
mempengaruhi gaya hidup seseorang, dalam caranya memanfaatkan waktu, barang atau jasa yang dibutuhkannya maupun barang atau jasa yang dipilih untuk dikonsumsinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), jenis kelamin adalah sifat jasmani atau rohani yang membedakan dua makhluk sebagai pria atau wanita. Peran jenis kelamin merupakan peran determinan yang paling penting dari perilaku manusia. Selain itu pendidikan juga termasuk dalam karakteristik demografik dimana semakin tinggi pendidikan maka semakin luas wawasan mereka akan produk yang digunakan. Berdasarkan penelitian Rosandi (2004) mahasiswa pria lebih banyak menggunakan uangnya untuk membeli rokok dan memenuhi hobi-hobinya, sedangkan mahasiswa wanita lebih banyak menggunakan uangnya untuk keperluan penampilan seperti pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu.
b. Status Sosial Masyarakat terbagi atas beberapa strata sosial. Strata tersebut kadangkadang berbentuk sistem kasta dimana anggota kasta yang berbeda dibesarkan 20
dengan peran tertentu dan tidak dapat mengubah keanggotaan kasta merek. Stratifikasi lebih sering ditemukan dalam bentuk status sosial. Status sosial didefinisikan sebagai suatu kelompok yang terdiri atas sejumlah orang yang mempunyai kedudukan yang seimbang dalam masyarakat, memegang nilai-nilai, mempunyai minat dan menampilkan perilaku yang mirip. Penggolongan anggota masyarakat ke dalam status sosial tertentu menimbulkan ciri-ciri khusus atau suatu tindakan, sehingga status sosial merupakan bagian yang relatif homogen dalam memiliki nilai-nilai perilaku membeli karena adanya perbedaan kemampuan membeli sesuatu. Pada umumnya status sosial dibagi menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Ukuran atau kriteria yang biasanya dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu diantaranya adalah kekayaan dan ilmu pengetahuan sehingga dalam pergaulan sehari-hari individu cenderung mengidentifikasi diri dengan golongan status sosial tertentu. Status sosial sangat berpengaruh besar terhadap lingkungan sosial tempat individu tinggal dan bersosialisasi. Setiap tingkat sosial biasanya ditandai oleh atribut-atribut tertentu, antara lain cara bicara, berpakaian dan gaya hidup. Agar dapat diterima dalam golongan sosial tertentu individu harus memperlihatkan atribut-atribut yang sesuai, keadaan seperti ini akan mendorong seseorang untuk membeli pakaian dengan mode tertentu, mengikuti gaya hidup khusus dan mengkonsumsi barang tertentu sesuai dengan keinginannya. Perilaku konsumtif juga dipengaruhi faktor situasional seperti kondisi keuangan, waktu dan juga tempat pembelian dapat mempengaruhi perilaku membeli seseorang. Seseorang yang memiliki keuangan yang lebih cenderung akan lebih konsumtif, demikian juga dengan seseorang yang memiliki lebih
21
banyak waktu luang akan membeli lebih banyak dibandingkan yang tidak. Kenyamanan tempat pembelian juga dapat membuat seseorang betah berlamalama untuk tinggal dan membeli lebih banyak barang disana. Seorang remaja dapat menjadi konsumtif apabila keuangan orangtuanya atau keluarganya menengah ke atas maka hal tersebut dapat menjadi faktor penyebab perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai.
c. Gaya hidup keluarga Keluarga merupakan suatu unit masyarakat terkecil yang perilakunya sangat mempengaruhi dan menentukan dalam pengambilan keputusan untuk membeli suatu barang atau produk. Keluarga dapat berbentuk keluarga inti yaitu terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang hidup bersama, dan keluarga besar meliputi, ayah, ibu, anak-anak, kakek, nenek serta orang-orang yang mempunyai ikatan saudara dengan keluarga tersebut. Dalam pasar konsumen, keluarga menjadi bagian yang paling banyak melakukan pembelian. Peranan setiap anggota dalam membeli berbeda-beda menurut barang yang akan dibeli. Peran yang dilakukan oleh anggota keluarga dapat berubah-ubah, suatu saat berperan sebagai pengambil keputusan tetapi pada saat yang lain berperan sebagai perilaku pembelian. Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan sikap dan perilaku anggotanya, termasuk dalam pembentukan keyakinan dan berfungsi langsung dalam menetapkan keputusan konsumen. Gaya hidup seorang remaja 22
dapat dicerminkan dari kegiatan suatu keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Seorang ibu yang sering mengajak anaknya untuk makan di luar akan mempengaruhi kebiasaan seorang anak dalam bersikap.
d. Kelompok referensi/acuan Istilah kelompok acuan (reference group) didefinisikan sebagai kelompok orang yang mempengaruhi secara bermakna perilaku individu. Kelompok acuan memberikan standar (norma) dan nilai yang dapat menjadi perspektif penentu mengenai bagaimana seseorang berpikir atau berperilaku. Kelompok referensi merupakan kelompok sosial yang menjadi ukuran seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk kepribadian dan perilakunya. Dengan kata lain merupakan kelompok dalam mana orang ingin menjadi anggota, atau dengan mana orang lain ingin mengidentifikasikan dirinya. Kelompok referensi juga mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembeliannya dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku. Anggota-anggota kelompok referensi diantaranya adalah teman sebaya dan tokoh yang diidolakan, sering menjadi penyebar pengaruh dalam hal selera dan hobi, sehingga konsumen akan selalu mengawasi kelompok tersebut baik perilaku fisik maupun mental. Shopping Mall merupakan tempat menghabiskan waktu luang yang paling disukai oleh remaja pada konteks waktu luang (Agustina, 2005). Mereka biasanya datang dengan kelompok teman sebayanya dan melakukan berbagai aktivitasnya di sana. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Santrock (2003) dimana remaja dalam tahap perkembangan sosialnya akan lebih banyak 23
menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman sebaya daripada dengan keluarga. Rasa aman yang tadinya terdapat dalam keluarga, teralihkan kepada kelompok teman sebaya yang dianggap memiliki kesamaan sikap dan perilaku. Akibatnya, mereka seringkali melakukan konformitas dengan teman-teman sebayanya dengan memakai pakaian dan aksesoris yang sama, melakukan kegiatan sama-sama, dan memiliki opini yang sama demi mendapatkan pengakuan dari kelompok teman sebayanya (Horrooks dalam Astari 2003). Dengan begitu, jika kelompok teman sebayanya menganggap Shopping Mall sesuatu yang sangat penting, maka secara otomatis ia juga akan menganggap hal itu penting bagi dirinya.
e. Keterdedahan pada media massa Media massa dalam sejarahnya pernah memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mempengaruhi seseorang, mulai dari proses kognitif hingga menuntun perilaku kita. Tapi hal ini terjadi pada jaman perang, dimana penguasa menjadikan media massa sebagai alat propaganda untuk menakuti musuh dan menciptakan loyalitas rakyat untuk mendukung kebijakan penguasa. Model komunikasi massa yang berlaku pada saat itu adalah model linear, yaitu komunikator menyebarluaskan pesan melalui media massa, yang ditujukan pada khalayak. Model komunikasi massa seperti ini masih berlaku hingga saat ini, hanya berbeda pada konsep karakteristik khalayak. Pada waktu itu, khalayak dianggap hanya sekumpulan orang (rakyat) yang homogen dan ‘tidak berdaya’ sehingga pesan-pesan yang disampaikan pada mereka akan selalu diterima. Fenomena ini 24
kemudian melahirkan teori yang dalam ilmu komunikasi dikenal dengan teori jarum suntik (Hypodermic Needle). Perkembangan industri media massa saat ini memberi masyarakat begitu pesat. Media massa sudah berkembang menjadi bagian dari kehidupan manusia dan tidak hanya berperan sebagai penyebar informasi dari peristiwa yang terjadi, tetapi juga berperan sebagai media hiburan, pendidikan, sosialisasi, dan propaganda (Aprianti, 2005). Berbagai cara promosi yang dilakukan produsen adalah untuk mengubah perilaku konsumen agar mau membeli produk yang ditawarkan. Salah satu bentuk promosi yang dikenal masyarakat adalah iklan melalui media massa, yakni televisi, dan radio. Iklan melalui media non-cetak menyebarkan informasi disertai unsur persuasi yang ditujukan pada calon konsumen yang diharapkan dapat membeli produk yang ditawarkan tersebut. Perkembangan industri media massa mengindikasikan bahwa perilaku konsumtif
tidak terlepas dari perkembangan
teknologi informasi
dan
telekomunikasi yang nyata-nyata memiliki kontribusi luar biasa pada era globalisasi dan modernisasi dalam berbagai lapangan kehidupan. Cara-cara belanja secara instant melalui “Tele-Shopping” dan “E-Shop” misalnya membuat siapa saja, tanpa batasan umur, mudah untuk berbelanja, cukup dengan menelepon dari rumah atau memesan lewat internet, maka barang yang diinginkan akan langsung diantar sampai rumah. Iklan mempunyai pengaruh yang besar dalam menimbulkan perilaku konsumtif. Iklan-iklan yang ditampilkan di media massa, baik di TV maupun di media cetak, yang menampilkan model-model yang menggunakan produk-produk terbaru yang sedang trend, misalnya handphone, pakaian, aksesoris, atau gaya
25
rambut, memicu timbulnya perilaku konsumtif pada pemirsa/pembaca yang melihat iklan tersebut sehingga ingin membeli berbagai produk yang diiklankan. Remaja merupakan salah satu golongan masyarakat yang rentan terhadap pengaruh iklan tersebut. Remaja dalam memilih suatu barang atau merek menganggap bahwa produk tersebut sebagai identifikasi dirinya sendiri. Pemilihan barang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, kemudian dikeluarkan melalui simbol-simbol status yang mereka gunakan (Agustina, 2005). Budaya konsumtif menurut Wells dalam Rosandi (2004) sering hanya merupakan akibat dari upaya perusahaan-perusahaan multinasional yang tiada hentinya memperluas pasar bagi produk-produk olahannya. Produk-produk khas perusahaan multinasional yang membanjiri kota-kota berkembang adalah produkproduk yang tidak akan memenuhi kebutuhan rakyat banyak dan juga tidak mendorong produktivitas sebagian besar rakyat. Promosi terus menerus lewat media massa dan lewat iklan yang gencar dan bertubi-tubi, membawa dampak ke tengah rakyat bukan saja secara langsung berkaitan dengan produk-produk itu sendiri melainkan juga bahwa terutama, berkaitan dengan penciptaan iklim serakah, yakni “nafsu konsumtif” yang secara terus menerus dipupuk berdasarkan standar yang terus berubah-ubah sesuai dengan standar yang berlaku di negara industri maju. Menurut Rosandi (2004), iklim tersebut dapat menimbulkan fenomena psikologi baru yang dikenal dengan fenomena homo consumens, yakni nafsu lapar dan haus yang tidak pernah terpuaskan oleh produk-produk konsumsi yang ada, karena tak henti-hentinya dipupuk, dirangsang, dan dihembus-hembus oleh iklan baru.
26
2.7 Kerangka Pemikiran Faktor demografi juga dapat mempengaruhi keterlibatan remaja terhadap shopping mall. Karkteristik demografi terdiri dari umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Jenis kelamin dapat mempengaruhi keterlibatannya dengan shopping mall karena seorang wanita dianggap lebih konsumtif dibandingkan dengan remaja pria karena wanita dianggap lebih merawat dirinya, yaitu dengan menggunakan alat-alat kecantikan dan membeli baju. Pendidikan seorang remaja juga dapat mempengaruhi hal tersebut karena semakin tinggi pendidikannya, maka remaja memiliki terbuka terhadap segala sesuatu. Kepribadian remaja masih sangat labil dan rentan terhadap berbagai pengaruh luar yang akan membentuk sikap dan pola hidupnya, terutama dalam bersikap konsumtif. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi remaja dalam berperilaku konsumtif adalah kelas sosial, dimana remaja yang memiliki uang lebih banyak cenderung berperilaku konsumtif dibandingkan dengan remaja yang memiliki uang yang cukup. Ekonomi seorang remaja juga ditentukan oleh keluarganya karena biasanya remaja belum dapat mencari uang sendiri sehingga harus bergantung pada orang tua. Keluarga juga menjadi faktor penentu seorang remaja yang berperilaku konsumtif karena remaja dengan keluarga yang mapan akan mampu memberikan uang berlebih pada remaja. Selain itu gaya hidup sebuah keluarga dapat dilihat dari cara mereka beraktivitas sehari-hari. Keluarga yang memiliki gaya hidup shopping mall adalah keluarga yang mengandalkan mall sebagai tempat untuk mengisi waktu luangnya. Remaja yang ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan akan berusaha untuk menjadi bagian dari lingkungannya. Oleh karena itu mereka bersikap sesuai
27
dengan norma kelompoknya. Dengan sikap penyesuaian diri (conform) dengan teman-temannya menunjukkan keinginan mereka untuk diterima sebagai bagian dari kelompok. Kebutuhan mereka untuk diterima ini menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang in atau nge-trend (baju, handphone, aksesoris, makanan, gaya rambut, dan sebagainya) dan semua hal tersebut dapat dipenuhi di mall. Remaja dapat berperilaku konsumtif karena adanya keterdedahan pada media massa (mass media exposure). Kemudahan dalam mengakses pada media massa dan iklan menarik yang tersebar dimana-mana membuat para remaja mudah terbujuk oleh produk yang ditawarkan dalam iklan sehingga remaja berperilaku konsumtif. Salah satu indikator yang mempengaruhi remaja dalam berperilaku konsumtif adalah membelanjakan uang secara berlebihan pada kebutuhan sekunder. Remaja yang berperilaku konsumtif akan secara tidak sadar atau tidak memiliki alasan yang tepat untuk membeli suatu barang. Mereka hanya tertarik kepada
barang
tersebut
untuk
sementara.
Walaupun
mereka
tidak
membutuhkannya, remaja tetap membelinya. Hal tersebut mungkin karena mereka melihat orang lain membelinya atau
menganggap barang tersebut dapat
meningkatkan statusnya di hadapan orang lain. Gaya hidup “Shopping mall” adalah gaya hidup dimana seseorang memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya hanya dari mall. Masyarakat modern di perkotaan saat ini tidak terlepas dari kehidupan yang konsumtif. Produsen dapat dengan mudah menjangkau konsumen dengan bantuan media massa dan tingkat ekonomi yang cukup tinggi di perkotaan. Perilaku konsumtif perlu diwaspadai
28
karena dapat memberikan dampak-dampak negatif, yang berupa hidup boros. Mall telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat mulai dari pakaian, makanan, alat rumah tangga, dan hiburan. Semuanya ini diperoleh di satu tempat yang kemudian disebut sebagai one stop shopping mall. Gaya hidup shopping mall dapat diidentifikasi dengan mengukur ketiga komponen yaitu aktivitas, minat, dan opini seseorang. Aktivitas adalah bagaimana konsumen menggunakan waktu, seperti belanja di toko, atau berlibur. Intinya adalah “apa yang mereka lakukan, apa yang mereka beli, dan bagaimana mereka
menghabiskan
waktunya”.
Walaupun
perilaku
tersebut
mudah
diobservasi, namun alasan dibaliknya sering menjadi subjek dari penelitian. Interest atau minat adalah derajat kesukaan terhadap sesuatu yang melibatkan perhatian yang sangat kuat terhadap hal tersebut. Dengan kata lain, hal-hal yang menjadi fokus atau prioritas dari konsumen. Sedangkan opini adalah bagaimana konsumen memandang dan merasakan suatu peristiwa atau isu-isu yang umum dan besar, seperti politik, masa depan, moral, ekonomi, dan pendidikan.
Karakteristik Individu Gaya Hidup “Shopping Mall” Faktor Lingkungan
Minat
Kegiatan
Opini
Status Sosial Faktor Demografi
Gaya Hidup Keluarga Keterdedahan pada Media Massa
Tipologi Shoppers
Gambar 1. Kerangka Pemikiran 29
2.8 Definisi Operasional 1.
Faktor lingkungan adalah faktor yang dipengaruhi oleh lingkungan.
a. Jenis sekolah adalah tipe sekolah shoppers berdasarkan status sosial ekonomi sebagian besar muridnya. Kategori: a. Sekolah kelas elit (skor = 1) b. Sekolah kelas menengah (skor = 2) c. Sekolah kelas bawah (skor = 3) b. Kegiatan waktu luang adalah kegiatan yang digunakan oleh shoppers dalam mengisi waktu luangnya. Kategori: a. Olahraga (skor = 1) b. Belanja (skor = 2) c. Baca buku (skor = 3) d. Jalan-jalan (skor = 4) e. Hang-out (skor = 5) f. Main ke rumah teman (skor = 6) g. Main computer games, playstation, dan sejenisnya (skor = 7) h. Lainnya (skor = 8)
2.
Status sosial adalah status ekonomi shoppers yang diukur berdasarkan pekerjaan orangtua dan alat transportasi ke sekolah.
a. Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orangtua
shoppers.
30
Kategori: a. Karyawan Negeri (skor = 1) b. Karyawan Swasta (skor = 2) c. Wiraswasta (skor = 3) d. Tidak bekerja (skor = 4)
b. Alat transportasi ke sekolah adalah kendaraan yang digunakan untuk pergi ke sekolah. Kategori: a. Tidak berkendaraan (skor = 1) b. Sepeda (skor = 2) c. Sepeda motor (skor = 3) d. Angkutan umum (skor = 4) e. Mobil pribadi (skor = 5)
3.
Faktor demografi adalah keadaaan yang mencirikan keadaan seseorang yang berkaitan langsung dengan diri individu yang terdiri atas umur, jenis kelamin, dan pendidikan.
a. Umur adalah umur shoppers dihitung berdasarkan tahun kelahiran. Kategori: - 11 – 14 tahun (skor = 1) - 15 – 18 tahun (skor = 2) - 19 – 22 tahun (skor = 3)
31
b. Jenis kelamin dibagi menjadi laki-laki dan perempuan. Kategori: - Laki-laki (skor = 1) - Perempuan (skor = 2)
c. Pendidikan adalah pendidikan terakhir individu saat ini. Kategori: - SMP (skor = 1) - SMA (skor = 2) - Perguruan Tinggi (skor = 3)
4.
Gaya hidup keluarga adalah pola perilaku umum dalam konsumsi dan rekreasi yang dilakukan oleh keluarga.
a. Tempat berbelanja adalah tempat keluarga shoppers umumnya memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (makanan, pakaian, kebutuhan sekolah, dan lain-lain) - Berbelanja di Mall (skor = 1) - Berbelanja di pasar (skor = 2) - Lainnya (skor = 3) b. Kegiatan waktu luang adalah kegiatan yang digunakan oleh keluarga dalam mengisi waktu luangnya seperti weekend, libur, dan hari tertentu. Kategori: - Pergi ke mall (skor = 1) - Pergi ke tempat hiburan (skor = 2) - Pergi ke restoran (skor = 3)
32
- Pergi ke pusat perbelanjaan (skor = 4) - Jalan-jalan keluar negeri (skor = 5) - Lainnya (skor = 6) c. Jenis pengeluaran terbesar keluarga untuk pembayaran barang atau aktivitas tertentu. - Biaya pendidikan (skor = 1) - Makan atau minum (skor = 2) - Rekreasi atau hiburan (skor = 3) - Pakaian dan perlengkapannya (skor = 4) - Alat elektronik (skor = 5) - Lainnya (skor = 6)
d. Alat pembayaran adalah uang atau semua jenis mekanisme pembayaran lainnya yang berfungsi menggantikan uang. - Tunai (skor = 1) - Debit (skor = 2) - Credit card (skor = 3) - Flash card (skor = 4) - Lainnya (skor = 5) 5.
Keterdedahan pada media massa adalah diukur melalui frekuensi dan jenis media massa yang dimanfaatkan. Kategori: a. Jenis media massa: - Media cetak (koran, majalah, brosur, pamflet, spanduk) (skor = 1)
33
- Media elektronik (televisi, radio, internet) (skor = 2) b. Media cetak dibagi menjadi: - Majalah (skor = 1) - Koran (skor = 2) - Brosur (skor = 3) - Pamflet (skor = 4) - Spanduk (skor = 5) - Lainnya (skor = 6) c. Frekuensi memanfaatkan media cetak: - Tidak Pernah (skor = 1) - Jarang (skor = 2) - Sering (skor = 3) d. Media elektronik dibagi menjadi: - Televisi (skor = 1) - Radio (skor = 2) - Internet (skor = 3) - Lainnya (skor = 4) e. Frekuensi memanfaatkan media elektronik: - <1 jam per hari (skor = 1) - 1-3 jam per hari (skor = 2) - 3-5 jam per hari (skor = 3) - >5 jam per hari (skor = 4)
34
6.
Gaya hidup “shopping mall” adalah kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan bersama teman-temannya, minat-minat apa saja yang mereka miliki, dan bagaimana opini mereka tentang hal yang berlangsung di dalam mall. Tinggi atau rendahnya gaya hidup shoppers dalam hal ini ditunjukkan dengan akumulasi skor skala frekuensi yang terdiri dari pertanyaan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan berbagai indikator gaya hidup. Kategori: a. Kegiatan adalah berbagai aktivitas yang berkaitan dengan hiburan (beginner) di dalam mall.
Jenis kegiatan yang dilakukan di dalam mall. - Olahraga (skor = 1) - Main game (skor = 2) - Nonton bioskop (skor = 3) - Nyalon (skor = 4) - Makan (skor = 5) - Hang-out (skor = 6) - Window shopping (skor = 7) - Shopping (skor = 8) - Lainnya (skor = 9)
Frekuensi mengunjungi mall dalam satu bulan. - < 3 kali (skor = 1) - 3 – 5 kali (skor = 2) - 6 – 8 kali (skor = 3)
35
- 9 – 11 kali (skor = 4) - > 11 kali (skor = 5)
waktu yang dihabiskan di dalam mall. - < 1 jam (skor = 1) - 1 – 2 jam (skor = 2) - 2 – 3 jam (skor = 3) - 3 – 4 jam (skor = 4) - > 4 jam (skor = 5)
Jumlah uang yang dibelanjakan adalah jumlah uang yang dikeluarkan oleh shoppers per bulan. - < Rp. 50.000 (skor = 1) - Rp.50.000 – Rp.100.000 (skor = 2) - Rp.100.000 – Rp.300.000 (skor = 3) - Rp.300.000 – Rp.500.000 (skor = 4) - Rp.500.000 – Rp.1.000.000 (skor = 5) - > Rp.1.000.000 (skor = 6)
Tempat yang dikunjungi di dalam mall. - Butik (skor = 1) - Restoran (skor = 2) - Gerai aksesoris (skor = 3) - Café (skor = 4) - Gerai kosmetik (skor = 5) - Toko buku (skor = 6) - Bioskop (skor = 7)
36
- Toko musik (skor = 8) - Toko handphone (skor = 9) - Lainnya (skor = 10)
Tujuan ke mall. - Membeli kebutuhan sehari-hari (skor = 1) - Bersosialisasi dengan teman (skor = 2) - Mengisi waktu luang (skor = 3) - Lainnya (skor = 4)
Orang yang diajak pergi ke mall. - Orang tua (skor = 1) - Saudara (skor = 2) - Pacar (skor = 3) - Teman (skor = 4) - Sendiri (skor = 5)
b. Minat: minat akan suatu objek, peristiwa atau topik, dan perhatian secara khusus atau terus menerus kepada objek, peristiwa, atau topik tersebut. -
Alasan membeli barang. - Manfaat (skor = 1) - Harga (skor = 2) - Kualitas (skor = 3) - Discount (skor = 4) - Model (skor = 5) - Merek (skor = 6)
37
- Lainnya (skor = 7) -
Alasan memilih mall yang sering dikunjungi. - Barangnya murah-murah (skor = 1) - Dekat dengan rumah (skor = 2) - Banyak fasilitas hiburan (skor = 3) - Enak dan nyaman (skor = 4) - Banyak tempat hang-out (skor = 5) - Lainnya (skor = 6)
-
Alasan belanja ke mall. - Nyaman (skor = 1) - Gengsi (skor = 2) - Kualitas terjamin (skor = 3) - Fasilitas terjamin (skor = 4) - Banyak pilihan (skor = 5) - Lainnya (skor = 6)
-
Barang yang diminati di dalam mall. - Perlengkapan olahraga (skor = 1) - Buku (skor = 2) - Alat hiburan (CD, DVD) (skor = 3) - Perlengkapan berpakaian (skor = 4) - Makanan / minuman (skor = 5) - Alat-alat rumah tangga (skor = 6) - Barang elektronik (Skor = 7) - Lainnya (skor = 8)
38
-
Tempat yang disukai - Game center (skor = 1) - Supermarket (skor = 2) - Restoran (skor = 3) - Gerai aksesoris (skor = 4) - Butik sepatu (skor = 5) - Butik pakaian (skor = 6) - Lainnya (skor = 7)
c. Opini: pendapat mengenai suatu objek, peristiwa, atau topik. -
Harga barang di mall diukur dengan satu pernyataan. Bila menjawab: - Ya (skor = 3) - Tidak (skor = 2) - Ragu-ragu (skor = 1)
-
Kualitas barang di mall diukur dengan dua pernyataan. Bila menjawab: - Ya sebanyak 2 (skor = 3) - Ya sebanyak 1 (skor = 2) - Tidak ada ya (skor = 1)
-
Mall sebagai gaya hidup remaja diukur dengan 4 pernyataan. Bila menjawab: - Ya sebanyak 4 (skor = 5) - Ya sebanyak 3(skor = 4) - Ya sebanyak 2 (skor = 3) - Ya sebanyak 1 (skor = 2)
39
- Tidak ada ya (skor = 1) -
Fungsi mall diukur dengan menggunakan dua pernyataan. Bila menjawab: - Ya sebanyak 2 (skor = 3) - Ya sebanyak 1 (skor = 2) - Tidak ada ya (skor = 1)
-
Skor pada keempat opini dijumlah kemudian dikelompokkan menjadi:
-
Penilaian positif (skor = 12 – 14)
-
Tak tentu (skor = 7 – 11)
-
Penilaian negatif (skor = 4 – 7)
40