BAB II Tinjauan Teori
A. Media, Politik dan Budaya 1. Wacana: Bahasa dan Pergelaran Kuasa Membahas media massa sebagai representasi kekuasaan dapat diamati dari aspek produksi wacana dalam media, praktek bahasa yang dipakai serta pengetahuan yang dihasilkan. Bagian ini akan membahas teori tentang bahasa serta kekuasaan yang dihasilkan. Bahasa dan kekuasaan biasanya dibahas secara terpisah, yang pertama masuk dalam kajian linguistik sementara yang terakhir masuk dalam ilmu politik. Dalam pandangan empiris-positivis, bahasa semata dipahami sebagai alat komunikasi atau sebuah sistem kode dan nilai yang menunjuk pada suatu realitas monolitik. Bahasa dianggap tidak memiliki kendala atau pun distorsi sejauh ia dinyatakan secara logis, sintaktis dan memiliki hubungan dengan pengamatan empiris.7 Sementara teori politik konvensional melihat bentuk kekuasan sebagai suatu kepemilikan kedaulatan individu atau kelas, bentuk kekuasaan dianalisis dengan memfokuskan diri pada medan geopolitik dengan tipologi kekuasaannya.8 Pandangan seperti ini ditolak oleh aliran lain semisal fenomenologi dan kritis, bahkan pembahasan lebih radikal tentang bahasa dan kekuasaan muncul dalam aliran pasca-strukturalisme, terutama melalui konsep kuasa-pengetahuan Michel
7
Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Bahasa dan Kekuasaan: Politik wacana di Panggung Orde Baru,” dalam Yudi latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan 1996. hal: 18-19. 8 Ibid, hal: 21
10
Foucault yang melihat pengetahuan dan kekuasaan dalam satu lingkup yang sulit dipisahkan. Pergeseran fokus kajian kekuasaan muncul dari perubahan pemahaman yang mendasar terhadap bahasa. Perubahan tersebut mencakup dua dimensi, Ontologis dan Epistemologis, bahasa dilihat sebagai praktek, paradigma dan representasi.9 Dalam dimensi Ontologis, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk mengetahui, tapi sebagai bagian yang ada. Bahasa tidak dilihat sebagai sesuatu yang netral dan konsisten melainkan sebagai produk zaman, kumulasi ekspresi suatu kebudayaan, atau sebagai representasi kekuasaan. Bahasa adalah partisipan yang turut bermain dalam proses tahu, proses budaya dan politik, bukan cermin transparan yang menangkap dan memantulkan obyek secara jernih. Dengan pemahaman semacam itu, terjadi dilema eksistensial dalam proses mengetahui, karena proses mecari tahu dan menyampaikan pengetahuan sepenuhnya berlangsung melalui bahasa, pada sisi lain distorsi penggunaan bahasa dapat menjauhkan kita dari realitas.10 Ketika ingin mengetahui kecenderungan kelompok lain, kita harus memakai bahasa, dan kelompok lain dapat memperjelas atau sebaliknya mengaburkan kekuatan dan kecenderungan kelompoknya juga melalui bahasa. Maka posisi sosial politik sebuah kelompok tergantung pada praktek bahasa yang dipakai. Dengan demikian, Pada dimensi Epistemologis, yang dilihat adalah bahasa sebagai praktek, bagaimana bahasa terus menerus disebarkan dan terungkap dalam pembicaraan dan tulisan dalam interlokusi dan peristiwa nyata, penggunaan 9
Mochtar Pabottingi, Komunikasi Politik dalam Transformasi Ilmu Politik, dalam Prisma 6, Juni 1991. hal: 14 10 Ibid.
11
bahasa macam ini oleh Ricoeur disebut discourse,11 dalam bahasa indonesia disebut diskursus atau wacana. Jika bahasa sebagai praktek dan digunakan dalam peristiwa nyata, maka individu yang terlibat dalam praktek bahasa dituntut berpihak dan menentukan posisi.12 Sebagai wacana, bahasa dilihat sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak universal. Wacana terikat waktu, tempat dan konteks pergulatan politis-ideologis tertentu. Setiap jaman atau kekuasaan mempunyai praktek bahasa sendiri, dan praktek bahasa ini menggiring kita pada jalur dan arah pemikiran tertentu, maka bahasa di sini berfungsi sebagai Paradigma. Menurut Foucault, bahasa sebagai paradigma bisa disamakan dengan doktrin yang mengikat orang pada jenis praktek bahasa tertentu dan tidak memungkinkan mereka melakukan praktek bahasa lain. Di sini terjadi penghambaan ganda, penghambaan orang pada bahasa dan penghambaan bahasa pada sekelompok pemegang kekuasan tertentu.13 Pemahaman ini lahir dari kenyataan bahwa di mana pun kita tidak bebas menuliskan atau mengatakan apa saja yang kita kehendaki, kita terikat oleh ‘aturan’ yang melekat pada latar atau konteks peristiwa masing-masing. Setiap situasi mempunyai wacana sendiri, misalnya pemakaian bahasa di pengadilan
11
Dalam Mochtar Pabottingi, Ibid, hal: 16 Bahasa yang dimaksud agaknya lebih mirip dengan pengertian bahasa jawa dalam lingkup kehidupan orang jawa sehari-hari. Dalam bahasa jawa ada klasifiksi penggunaan bahasa, jawa ngoko (kasar) dan krama (halus). Bahasa tidak bersifat netral sebab pengguna bahasa harus menilai lawan bicaranya melalui penggunaan bahasa, apakah lebih tua dan dihormati, mempunyai posisi sejajar dengan pembicara atau lebih rendah, apakah harus menggunakan bahasa ngoko atau krama. Penilaian terhadap lawan bicara harus dilakukan sebab jika salah menggunakan bahasa akan disebut ‘durung njawani’, bukan hanya berarti tidak bisa bahasa jawa tapi sekaligus ter-eksklusi atau dikeluarkan dari ‘dunia jawa,’ dianggap sebagai orang yang tidak tahu nilai, norma, dan belum dianggap sebagai orang jawa. Lihat pembahasan senada dalam tulisan Ariel Heryanto, Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia, Prisma No.1 tahun XVII, terutama hal: 5 13 Loc.cit. 12
12
berbeda dengan bahasa yang dipakai antar teman maupun di sekolah. Setiap jaman mempunyai praktek bahasa sendiri tergantung penguasa, misalnya saat Orde Lama bahasa Indonesia dikuasai oleh wacana ‘revolusioer’, sementara pada masa Orde Baru wacana kita didominasi kata ‘Pembangunan’. Selain dipahami sebagai praktek dan paradigma, bahasa juga dilihat sebagai Representasi. Bagaimana bahasa menggambarkan sesuatu, tidak hanya obyek benda tapi juga manusia serta peristiwa tertentu. Menurut John Fiske, representasi dilakukan melalui tiga proses.14 Pertama, peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh individu. Aspek yang dilihat berkaitan dengan fisik seperti pakaian, lingkungan, ucapan, suara ekspresi, gerak-gerik dan perilaku. Kedua, bagaimana realitas itu digambarkan dengan menggunakan perangkat teknis seperti kata, kalimat, proposisi, grafik dsb. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan dalam kode representasional, bagaimana obyek digambarkan sehingga dapat dimengerti. Dan ketiga, peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Agar dapat dimengerti gambaran tersebut harus disesuaikan dengan koherensi sosial seperti kelas sosial, kepercayaan dan wacana dominan. Representasi bahasa membentuk jenis subjek, tema dan strategi wacana tertentu. Dalam bahasa tergambar hubungan-hubungan politis sebab bahasa adalah ruang pergelaran kuasa-kuasa tertentu. Menurut Foucault tindakan manusia, praksis yang dibentuk untuk menangkap aturan-aturan dan memberinya makna tidak hanya dicari lewat memahami subyek dan kepentingan yang dicarinya, tapi 14
Dalam Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001, hal:114-115
13
juga dengan melihat praksis yang melekat dalam wacana dan turut menciptakan subjek, objek serta hubungan antar mereka.15 Konsep kuasa-pengetahuan adalah konsep paling menonjol dalam teori wacana Foucault. Penyelenggaraan kekuasaan terus-menerus akan menciptakan pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain.16 Jalinan antara kekuasaan dan pengetahuan begitu kuat sehingga tidak mungkin ada kekuasaan tanpa ditopang pengetahuan, dan sebaliknya tidak mungkin pergelaran pengetahuan tanpa menghasilkan efek kuasa. Hubungan kekuasaan tak dapat terwujud, disusun dan dimapankan tanpa mengumpulkan, mengedarkan dan memberdayakan wacana tertentu. Wacana yang terbentuk lewat berbagai sarana, misalnya buku, film, pidato dan media massa membentuk pengetahuan yang diterima individu sebagai kebenaran, dan pengetahuan ini dipakai sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Menurut Foucault, mustahil penyelenggaraan kekuasaan tanpa suatu “ekonomi politik kebenaran” yang beroperasi melalui dan berdasarkan jalinan dengan kekuasaan.17 Kebenaran bukan sesuatu yang datang dari langit, juga bukan sebuah konsep yang abstrak melainkan diproduksi. Setiap kekuasaan menghasilkan kebenaran sendiri yang disebarkan melalui wacana, dan khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran
15
Muhammad A.S. Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran “Discursive Practice”,” dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan 1996. hal: 84. 16 George J. Aditjondro, Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas, Kalam edisi 1-1994. hal 54. 17 Untuk pembahasan lebih lengkap tentang ekonomi politik kebenaran, lihat tulisan George J. Aditjondro, Ibid, hal: 60.
14
yang ditetapkan tersebut.18 Jika wacana dipahami sebagai paradigma, pemikiran seseorang akan tunduk dan terarah pada kebenaran sebagaimana didefinisikan dalam wacana yang dibentuk dan disebarkan oleh kekuasaan. Dengan demikian kekuasaan tidak menindas secara langsung tapi membentuk regulasi dan normalisasi dalam bidang tertentu, mengontrol, mengatur dan mendisiplinkan individu, membentuk kategori-kategori perilaku sebagai baik dan buruk. Wacana menghasilkan kekuasaan yang tidak menindas secara langsung sebab wacana menghasilkan otoritas legitimatif berdasarkan pengetahuan yang terbentuk dalam tiap wilayah diskursif. Setiap bidang wacana mempunyai kuasa serta otoritas masing-masing, misalnya ahli ekonomi, politik, hukum dsb. Mereka mempunyai otoritas dan berkuasa di bidang masing-masing dan “menghalangi” pihak yang dianggap tidak mempunyai kapabilitas untuk masuk dalam bidang itu. Menurut Foucault, salah satu sifat wacana adalah mampu menghimpun berbagai wacana dalam masyarakat dan berfungsi melestarikan hubungan kekuasaan. Dalam mayarakat sebenarnya terdapat bebagai macam wacana, tapi kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga menjadi wacana dominan sedangkan wacana lainnya terpinggirkan.19 Dominasi wacana dilakukan lewat berbagai medium, semisal buku, pidato, film, media massa dan lain-lain. Praktek-praktek diskursif membentuk legitimasi dan delegitimasi terhadap kelompok lain, misalnya melalui representasi maupun misrepresentasi. Legitimasi dilakukan melalui representasi atau penggambaran kelompok sendiri secara positif berdasarkan kebenaran yang beredar melalui wacana yang dibentuk. Sebaliknya 18 19
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Media, Yogyakarta: LkiS,2001, hal: 67. Ibid, hal. 77.
15
delegitimasi terhadap kelompok lain dapat dilakukan dengan cara misrepresentasi atau penggambaran secara keliru. Misalnya dengan memakai standart kebenaran sama, tapi bukan menggambarkan secara positif melainkan mengkonfrontasikan kelompok lain sebagai kelompok yang menyimpang karena tidak sesuai dengan standart kebenaran yang beredar dalam wacana dominan. Dalam media, awak media dapat mendukung praktek delegitimasi dengan cara menghalangi atau membatasi kelompok lain untuk masuk dalam media, menggambarkan kelompok tersebut sebagai pihak yang bukan ahlinya, tidak layak sebagai sumber yang dapat dipercaya, tidak kredibel, meragukan visi, pengetahuan serta latar belakangnya.20 Penyerangan terhadap kelompok lain juga bisa dilakukan dengan menampilkan tokoh dari pihak lain yang dianggap otoritatif dan sah untuk membuat penilaian serta klarifikasi. Strategi wacana semacam ini bisa menimbulkan apa yang disebut van Dijk sebagai Inferiorisasi,21 kelompok yang terus menerus terdelegitimasi akan menerima dirinya sebagai orang kecil, pinggiran, sebagai pihak yang memang bersalah, tidak pantas untuk dipercaya dan dihargai.
2. Berita dalam Pandangan Cultural Studies Salah satu ciri Cultural Studies adalah mengkaji persoalan dari sudut praktik kebudayaan dan kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah mengungkapkan hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi
20
Agus Sudibyo, Citra Bung Karno, Analisis Berita Pers Orde Baru, Yogyakarta: Bigraf, 1999. hal.20-21 21 Ibid.
16
praktek kebudayaan.22 Menurut Raymond Williams, budaya bisa diartikan sebagai cara hidup yang dijalankan dan dipegang teguh, makna dan nilai yang menginformasikan tindakan manusia, diwujudkan dalam dan melalui hubungan sosial, kehidupan politik dan lainnya.23 Namun budaya tidak turun dari langit, agar menjadi dominan dan efektif, perlu dikukuhkan lewat institusi yang ada dalam masyarakat misalnya institusi pendidikan, media massa serta institusi lain. Media massa mendapat perhatian penting dalam Cultural Studies sebab saat sekarang media massa memasuki hampir seluruh dimensi kehidupan individu dan sosial, berpengaruh penting dalam penyebaran nilai dan pandangan tertentu melalui pesan yang disampaikan, baik dalam bentuk berita maupun produk lain. Sebagai produk media, berita dilihat sebagai teks kebudayaan sebab terbentuk melalui konstruksi individu wartawan maupun institusi media yang melibatkan pandangan, nilai dan evaluasi dalam konteks tertentu lewat bahasa. Pada akhirnya realitas yang didefinisikan media membentuk praktek sosial tertentu dalam masyarakat. Karena realitas terbentuk melalui praktek bahasa, maka peristiwa yang ada dalam berita tidak dilihat sebagai cermin realitas, dan media tidak dilihat sebagai institusi netral sebab mengukuhkan praktek sosial melalui realitas yang didefinisikan oleh kelompok tertentu lewat praktek bahasa.
22
Ziauddin Sardar dan Borin van Loon, Mengenal Cultural Studies for Beginners, (terj), Bandung: Mizan, 2001, hal. 9. 23 Seperti dikutip Stuart Hall, Raymond Williams menyatakan, “culture is the way social live is experienced and handled, meanings and values which inform human action, which are embodied in and mediate social relations, political live, etc.” Lihat Chris Newbold, “Approach to Cultural Hegemony Within Cultural Studies,” dalam Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed), Approaches to Media, A Reade,r Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 329
17
Berita adalah produk utama media massa disamping opini, iklan serta rubrik lainnya. Menurut Micthel V. Charnley, berita adalah laporan tercepat dari suatu fakta atau kejadian yang faktual, menarik bagi sebagian besar pembaca serta menyangkut kepentingan mereka.24 Tidak ada definisi tunggal mengenai berita sebab banyak faktor yang membangun sebuah berita, seperti dikemukakan Earl English dan Clarence Hach, “News is difficult to define, because it involves many variable factors,” (berita sulit didefinisikan sebab mencakup banyak faktor variabel).25 Pembahasan di sini tidak terfokus pada definisi berita, tapi lebih ditekankan pada elemen-elemen yang membangun berita serpti bahasa dan makna, realitas serta institusi media. Uraian berikut lebih banyak didasarkan pada pemikiran Stuart Hall, pendiri Centre for Contemporary Cultural Studies di Univesitas Birmingham Inggris.
2.1. Bahasa dan Makna Titik pijak Cultural Studies yang dapat dipakai dalam melihat produksi berita adalah bahasa dan makna. Perhatiannya bukan hanya pada tataran pesan yang disampaikan, tapi merambah bangunan makna yang ada di balik pesan. Dalam kajian Antropologi Budaya, Sapir-Whorf mempunyai hipotesis menarik, dia mengatakan bahwa
setiap budaya mempunyai cara yang berbeda dalam
mengklasifikasikan dunia, dan akan direfleksikan dalam struktur semantik serta
24 25
Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Praktis, Bandung: Remadja Rosdakarya, 1999, hal. 2 Ibid.
18
linguistik yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda.26 Berdasarkan hipotesis tersebut, Stuart Hall berpendapat bahwa kejadian dan segala sesuatu yang ada di dunia tidak mengandung makna tunggal, utuh dan hakiki dalam dirinya sendiri melainkan ditransfer melalui bahasa. Makna yang disampaikan lewat bahasa adalah produksi sosial, sebuah praktek, sebab tidak ada bahasa yang bersifat personal, bahasa senantiasa disusun dalam lingkup sosial, untuk berhubungan dan memahami orang lain. Dengan begitu, dunia dibuat menjadi bermakna melalui bahasa dan simbolisasi. Karena makna tidak ada dengan sendirinya tapi diproduksi, maka agar satu makna menjadi dominan harus diproduksi secara tetap dibanding makna lain. Makna tersebut harus mendapat kepercayaan, legitimasi dan diterima secara umum. Pada sisi lain, produksi makna juga menyangkut marjinalisasi, penilaian secara rendah dan delegitimasi terhadap konstruksi makna alternatif.27 Jika makna tidak tergantung pada bagaimana adanya tapi bagaimana sesuatu ditandakan (signified), maka suatu kejadian dapat ditandakan dengan cara berbeda. Makna tidak ditentukan oleh struktur realitas yang ada dalam dirinya, tapi ditentukan oleh keberhasilan kerja pemaknaan melalui praktek sosial. Dengan begitu makna menjadi arena perjuangan kelompok, setiap kelompok sosial bisa jadi mempunyai makna yang berbeda terhadap satu hal, tapi agar satu makna menjadi dominan, harus memenangkan kompetisi tersebut lewat representasi melalui bahasa. Dengan demikian, fungsi bahasa sebenarnya tidak hanya mengambarkan dunia,
26
Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 355 27 Ibid.
19
tapi mengaturnya. Bahkan John Austin mempunyai motto, “we not only say things in words, we do things with words.”.28 Karena fakta tidak tersedia dengan sendirinya tapi digambarkan lewat bahasa, maka satu fakta agar menjadi sebuah berita harus direpresentasikan kembali melalui kata dan kalimat yang dapat dimengerti oleh jurnalis maupun pembacanya. Tapi bahasa yang direpresentitasikan oleh wartawan adalah bahasa yang menang dalam arena perjuangan makna dan pada sisi lain menyingkirkan makna alternatif. Karena itu bahasa harus dilihat sebagai agen yang menyusun realitas, bukan sebagai alat pengiriman netral yang secara langsung menunjukkan sebuah dunia tanpa melalui praktek bahasa.
2.2. Realitas Jika dunia dibentuk melalui praktek bahasa, maka realitas di dalamnya juga tergantung pada praktek bahasa yang dilakukan. Berbeda dengan paradigma positivistik yang melihat relitas sebagai sesuatu yang ada di luar individu dan dapat diamati, Cultural Studies melihat realitas atau peristiwa yang diliput media merupakan sesuatu yang ditentukan secara sosial. Menurut Stuart Hall, tidak ada sesuatu yang hidup kecuali ada dalam dan untuk bahasa atau wacana. Meskipun dunia hidup di luar bahasa, kita hanya bisa merasakannya melalui penerimaan dalam wacana.29 Definisi mengenai realitas ini diproduksi secara terus-menerus melalui praktek bahasa, dan selalu bermakna sebagai pendefinisian secara selektif
28
Steven Connor, Theory and Cultural Value, Blackwell publisher,Oxford UK. & Cambridge USA, hal. 103. 29 Dalam Robert A. Hackett, “Decline of A Paradigm?, Bias and Objectivity in News Media Studies,” dalam Critical Studies in Mass Communication, Vol.1, No. 3, hal. 258
20
atas realitas yang hendak ditampilkan.30 Namun pendefinisian ini tidak hanya dilihat sebagai bentuk distorsi atau pun refleksi dari sesuatu yang nyata, konstruksi realitas semacam ini dilihat sebagai proses pembentukan realitas sosial secara aktif. Menurut Stuart Hall, berita tidak bisa dilihat secara sederhana sebagai laporan tentang seperangkat fakta yang ada dengan sendirinya, realitas yang ada dalam berita merupakan hasil konstruksi media dengan cara tertentu. Media tidak cuma mereproduksi tapi mendefinisikan realitas dengan memilih definisi tertentu. Realitas tersebut ditopang dan diproduksi melalui praktek bahasa, melalui pendefinisian secara selektif bagaimana realitas tersebut digambarkan. Dengan demikian, berita bukan sekedar pembawa makna yang sudah ada sebelumnya. Media dilihat sebagai pembentuk realitas yang melibatkan proses seleksi dan presentasi, penyusunan dan penentuan, membuat sesuatu menjadi berarti. Media menyeleksi, menyusun, menampilkan dan mengkondisikan makna. Bukan hanya memindahkan makna yang sudah ada sebelumnya, tapi sebagai kerja aktif membuat sesuatu lebih berarti.31 Realitas dalam media tidak dapat dilihat semata sebagai seperangkat fakta sebab sudah terdistorsi oleh kelompok dominan, sebagai hasil ideologi atau pandangan tertentu yang memenangkan perjuangan makna lewat praktek bahasa.
30 31
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS, 2001, hal. 34 Tepatnya Stuart Hall menyatakan bahwa berita sebagai: “the result of a particular way of constructing reality. The media defined, not merely reproduced, “reality”. Definitions of reality were sustained and produced through all those linguistic practices (in the broad sense) by means of which selective definitions of “the real” were represented. It implies the active work o selecting and presenting, of structuring and shaping: not merely the transmitting of an already existing meaning, but more active labour of making things mean.” Dalam Robert Hackett, op. cit, hal. 258
21
Tiap kelompok mungkin mempunyai “kebutuhan” terhadap sebuah peristiwa dan akan berusaha mengendalikan atau mendefinisikan realitas dengan cara yang berbeda. Karena itu bisa dimengerti kenapa satu masalah menjadi berita besar dan kadang sama sekali disembunyikan dari publik, kenapa satu peristiwa diberitakan dengan menonjolkan aspek tertentu. Menurut Molotch dan Lester, peristiwa adalah apa yang biasa kita perhatikan, suatu peristiwa dinilai penting tergantung pada manfaat yang bisa diambil oleh orang atau kelompok yang mencoba mengendalikan pengalaman.32
2.3. Institusi Media Institusi media mendapat perhatian utama dalam Cultural Studies sebab saat ini media massa mengukuhkan kepemimpinannya dalam wilayah budaya secara meyakinkan dibanding saluran budaya tradisional yang ada sebelumnya. Media mempunyai arti penting sebab hampir keseluruhan wilayah informasi publik, produksi dan konsumsi pengetahuan sosial tergantung pada alat komunikasi modern tersebut. Media massa mempunyai tanggung jawab dalam menyediakan dasar bagi kelompok sosial untuk mengkonstruksi kesan (Image) tentang kehidupan, makna, praktek dan nilai kelompok lain. Selain itu, media massa menyediakan kesan, gambaran serta ide tentang totalitas sosial, media massa menyediakan sebuah konsensus. Seakan semua bagian yang ada dan terpecahpecah bisa disatukan sebagai satu kesatuan yang utuh.
32
Dalam Robert Hackett, Ibid. hal. 257-258.
22
Dalam pandangan Stuart Hall, media mempunyai fungsi kultural yang sangat besar.33 Pertama, menyediakan dan mengkonstruksi kesan (image) serta pengetahuan sosial secara selektif yang melaluinya kita dapat merasakan ‘dunia’, melihat kehidupan orang lain, dan secara imajiner mengkonstruksi kembali kehidupan kita dan kehidupan pihak lain dalam suatu dunia yang dapat dimengerti secara keseluruhan, media massa membawa kita pada sebuah totalitas kehidupan. Kedua, merefleksikan kembali kesan pluralitas yang telah dibentuk media, menyediakan kosa kata, gaya hidup dan ideologi yang jadi tujuan bersama. Dalam media massa, jenis-jenis pengetahuan sosial yang berbeda diklasifikasi, diurut (ranking) dan ditertibkan, kemudian diletakkan pada konteks rujukan dalam peta realitas yang dipilih oleh media. Seperti dikatakan Halloran, fungsi media adalah menyediakan realitas sosial yang belum ada sebelumnya, atau memberi arah baru pada kecenderungan yang sudah ada. Media menyediakan kriteria mengenai sikap maupun perilaku baru yang dapat diterima secara sosial, sedangkan kesalahan anggota masyarakat dalam mengadopsinya digambarkan sebagai bentuk penyimpangan sosial yang tidak bisa diterima.34 Pengetahuan sosial yang diedarkan media massa disusun dalam klasifikasi normatif dan evaluatif, dalam makna dan interpretasi yang dipilih. Karena tidak ada wacana, ideologi atau sistem nilai yang utuh dalam semua pengetahuan sosial, maka seharusnya lebih banyak nilai dan makna dibandingkan dengan apa yang didefinisikan oleh kelompok dominan. Media secara selektif
33
Stuart Hall, “Culture, The Media and Ideological Effect,” dalam James Curran, Michael Gurevitch dan Janet Woollacott (ed), Mass Communication and Society, Beverly Hills: Sage publication, 1977. hal. 340-342 34 Dalam Stuart Hall, Ibid.
23
mengklasifikasikan sistem nilai tersebut berdasarkan pemetaan yang ditetapkan oleh kelompok dominan. Jika dalam kehidupan sosial tidak ada pengetahuan tunggal, maka proses seleksi yang dilakukan media massa juga menyingkirkan pengetahuan alternatif. Di sini, kerja media bersifat ideologis sebab mengukuhkan peraturan tiap bidang, secara aktif menguasai realitas tertentu, menawarkan pemetaan dan kode yang menandakan wilayah dan menetapkan kejadian dalam konteksnya masing-masing sesuai kepentingan kelas dominan dan menyingkirkan wacana yang tidak dibutuhkan oleh kelas dominan. Fungsi ketiga media massa adalah mengorganisasikan, menyusun dan membawa apa yang telah secara selektif digambarkan dan diklasifikasikan. Di sini tingkat integrasi dan kepaduan, hubungan dan kesatuan imajiner mulai dibangun, dan pada saat yang sama kepentingan kelas, kekuasaan dan eksploitasi digelar melalui opini publik dan konsensus. Namun media tidak begitu saja merefleksikan dan mengokohkan konsensus secara langsung, media lebih dilihat sebagai institusi yang membantu memproduksi konsensus yang membentuk kesadaran. Konsensus yang terbentuk melalui media tidak dilihat sebagai sesuatu yang alamiah sebab terjadi dalam pertukaran yang tidak seimbang antara kelompok dominan dan pinggiran, antara massa yang tidak mempunyai akses terhadap pusat kekuasaan versus kelompok yang mampu mengorganisir opini secara besar. Media bersifat ideologis bukan karena memihak kelompok dominan secara langsung dan terang-terangan. Agar dalam operasionalisasi sehari-hari tampak seimbang dan independen, media tidak secara langsung mengambil petunjuk dari penguasa maupun kelompok dominan, atau secara sadar membelokkan berita
24
untuk melapangkan definisi dominan. Tapi media harus sensitif terhadap dan hanya bisa bertahan secara legitimate dengan beroperasi dalam batasan atau kerangka yang ‘disetujui oleh setiap orang’ untuk menjadi konsensus. Media mengorientasikan dirinya dalam konsensus, pada saat yang sama berusaha membentuk konsensus dan menjalankannya sesuai kebiasaan yang berkembang, media menjadi bagian dalam proses dialektik dari produksi kesadaran. Media membentuk sekaligus merefleksikan konsensus, lantas mengorientasikannya dalam wilayah kekuatan kepentingan sosial kelas dominan dalam negara.35 Dari uraian di atas, bisa dilihat bagaimana proses komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sosial ternyata tidak berjalan seimbang sebab kelompok tertentu mempunyai kekuasaan dan akses lebih besar dibanding kelompok lain. Pergulatan sosial lewat praktek bahasa dan perjuangan dalam memenangkan makna yang berlangsung dalam arena sosial dan ditopang media massa hanya mengukuhkan dominasi kelompok tertentu dan menindas atau menyingkirkan wacana alternatif yang dibawa kelompok lain. Realitas yang terbentuk dan dikukuhkan media sering kali menguntungkan kelas dominan dan dilembagakan dalam wilayah kehidupan sosial. Seperti dikemukakan oleh Stuart Hall, media massa mendefinisikan dan mengkonstruksi hubungan sosial dan politik, menjadi sarana produksi ekonomi, media massa menjadi kekuatan utama (Material Force) dalam sistem industri modern, mendefinisikan teknologi dan mendominasi budaya.36
35
Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: Return of The Repressed in Media Studies,” dalam Approaches to Media, A Reader, Oliver Boyd-Barrett and Chris Newbold (ed) Arnold: London. New York. Sydney. Auckland. 1995. hal. 362. 36 Stuart Hall, “Ideology and Communication Theory,” dalam Brenda Dervins et al. (ed) Rethinking Communication: Paradigm Issues. Newbury Park: Sage Publication, 1986, hal. 43.
25
3. Ekonomi Politik Media Perspektif ekonomi politik berusaha menjelaskan bagaimana dan oleh siapa kekuasaan dalam media dijalankan, pusat perhatian analisisnya adalah struktur kepemilikan dan kontrol yang dijalankan dalam media. Perspektif ini mengadopsi pendekatan Marxist yang didasarkan pada asumsi bahwa isi media serta makna yang terkandung dalam pesan media ditentukan oleh basis ekonomi di mana pesan tersebut diproduksi. Organisasi media komersial harus memenuhi kebutuhan pengiklan dan membuat produk yang bisa memenuhi kebutuhan audien secara maksimal, dengan demikian media komersial dikontrol oleh institusi politik dominan, pemerintah tingkat menengah sampai tingkat bawah, atau kerja media harus sesuai dengan konsesus yang ada dalam masyarakat. Namun penjabaran secara detil mengenai pengaruh determinasi ekonomi terhadap isi pesan media bersifat kompleks dan seringkali problematis. Menurut James Curran, minimal ada dua hal yang harus diperhatikan dalam melihat hubungan antara determinasi ekonomi dan isi pesan media dalam perspektif ekonomi politik. Pertama, pada level mikro dilihat melalui ideologi profesional dan praktik kerja yang ada dalam institusi media. Kedua, pada level makro melihat interaksi institusi media dengan lingkungan sosial politiknya.37 Kajian tentang ideologi profesional berasal dari studi tentang kepercayaan, nilai dan prosedur kerja profesional yang berakar dari sosiologi profesi. Dalam jurnalisme, kajian mengenai profesionalisme memunculkan tuntutan yang kuat tentang otonomi profesional yang diturunkan dari prinsip demokrasi, yaitu 37
James Curran (et. al), “The Study of The Media: Theoritical Approach”, dalam Oliver BoydBarrett& Peter Graham, Media, Knowledge and Power, Rootledge, London&New York: Open University, 1990, hal: 66-70
26
kebebasan berkespresi dan hak untuk tahu bagi publik. Ideologi profesional juga mengembangkan komitmen untuk menghargai nilai-nilai semacam obyektivitas, imparsialitas (tidak memihak) dan fairness (kejujuran). Masalah profesionalisme dalam media massa mengundang perdebatan antara kaum pluralist dan Marxist. Kalangan pluralist percaya bahwa klaim otonomi dan komitmen untuk menjalankan prinsip obyektivitas dan imparsialitas sebagai panduan dan aturan kerja profesional bisa dilaksanakan. Tapi pandangan tersebut ditolak oleh kaum Marxist, mereka menganggap klaim obyektivitas dan imparsialitas dalam profesionalisme tunduk dalam ideologi dominan. Kontrol terhadap proses produksi pesan dan makna oleh media profesional dibatasi dan ditentukan oleh budaya dominan. Namun kedua kubu setuju terhadap pandangan bahwa institusi dan kelompok yang kuat dalam masyarakat mempunyai akses khusus terhadap media, sebab mereka dianggap lebih kredibel dan terpercaya, dan karena mereka punya sumber dalam proses informasi mereka bisa menawarkan pandangannya kepada media dengan cara yang atraktif dan berguna. Pada level makro, interaksi antara media dengan sumber dari institusi politik dan negara merupakan titik krusial yang harus dilihat dalam memahami proses produksi dalam media. Organisasi media hidup dalam hubungan yang menguntungkan dengan lingkungannya, bukan hanya dalam hal ekonomi tapi juga “bahan mentah” bagi isi yang dibuat oleh media. Dalam pandangan pluralist, saling ketergantungan antara media dan institusi dala masyarakat cenderung seimbang. Pada satu sisi media tergantung pada institusi sentral dalam masyarakat untuk mendapatkan “bahan mentah”, pada sisi lain institusi sosial juga tergantung
27
pada media untuk mengkomunikasikan pandangannya kepada publik. Dalam pandangan Marxist, otonomi media cenderung bersifat relatif dan marjinal. Media dilihat sebagai institusi yang terbelenggu dalam struktur kekuasaan berjalan seiring dengan institusi dominan dalam masyarakat. Dalam pandangan ini media mereproduksi pandangan institusi dominan, bukan sebagai perspektif alternatif tapi sebagai pusat perspektif yang natural dan nyata.
4. Relasi Makna Teks antara Media dan Audien Dalam studi media terdapat dua pandangan mengenai bagaimana khalayak menafsirkan teks. Pandangan pertama melihat khalayak sebagai pihak yang pasif. Media dibayangkan sebagai entitas yang otonom dan aktif, sementara khalayak sebagai entitas yang pasif. Pandangan kedua melihat khalayak sebagai entitas yang aktif dan dinamis dalam memilih media dan berita apa yang sesuai dengan dirinya, bahkan khalayak juga dinilai aktif dalam memaknai isi media.38 Pada masa Perang Dunia, media dilihat sebagai agen propaganda yang mempunyai pengaruh sangat kuat dan berperan sebagai pencuci otak bagi khalayak dan pada sisi lain khalayak dilihat sebagai pihak yang pasif. Namun dalam masa berikutnya, teori efek kuat semacam teori peluru maupun jarum hipodermik mulai direvisi. Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa publik bersifat aktif dalam mengkonsumsi teks. Teori semacam uses and gratification berpendapat bahwa publik atau audien lebih bersifat aktif menggunakan media secara variatif sesuai dengan kebutuhannya.
38
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta:LKiS, 2001, hal: 13-14
28
Penelitian uses and gratification mengalihkan perhatian dari ide tentang efek “terukur” media terhadap khalayak menjadi analisis tentang bagaimana publik menggunakan media. Penelitian ini dirintis dari bidang kajian psikologi sosial yang memperkenalkan konsep bahwa persepsi audien terhadap pesan secara radikal bisa berbeda dari makna yang dimaksudkan oleh pembuat pesan. Subyektivitas audien dikonstruksi melalui interaksi dengan kondisi material tertentu yang ada dan keragaman bentuk-bentuk simbolik. Pandangan ini biasanya dikaitkan dengan konsepsi simbolik suatu kebudayaan dan memeriksa interaksi makna simbolik dalam komunikasi.39 Menurut Stevenson, kajian tentang produksi makna harus dikaitkan dengan kekuasaan. Karena itu, kajian mengenai kemampuan interpretaif audien terhadap pesan simbolik juga harus diletakkan dalam teori sosial kritis dan normatif. Salah satu kajian yang melihat pengaruh media terhadap audien adalah esai Stuart Hall tentang encoding/decoding. Hall berpendapat, ada perbedaan mendasar dalam proses sosial antara penyusunan dan penerimaan pesan atau teks media. Bentukbentuk budaya diterima dan ditafsirkan melalui perpaduan antara sejarah spesifik relasi institusional, politik, budaya, dan akses terhadap teknologi yang relevan.40 Dalam pandangan Stuart Hall, ada tiga bentuk pembacaan audien terhadap pesan yang dibuat oleh pembuat teks.41 Pertama, posisi pembacaan dominan (dominant-hegemonic position). Posisi ini terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang bisa diterima umum, sehingga pembaca akan menafsirkan dan
39
Nick Stevenson, Understanding Media Culture, Social Theory and Mass Communication, London. Thousand Oaks.New Delhi: Sage Publications, 1995, hal: 76-77. 40 Ibid, hal: 78 41 dalam Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis teks Media, Op cit, hal: 94-96
29
membaca pesan atau tanda yang sudah diterima umum. Dalam posisi ini diasumsikan tidak ada perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca. Penulis menggunakan kode-kode budaya, posisi politik yang diyakini dan menjadi kepercayaan pembaca, sehingga pesan tersebut terjadi kesesuaian ketika sampai ke tangan pembaca. Kedua, pembacaan yang dinegosiasikan (negotiated code/position). Dalam posisi ini tidak ada pembacaan dominan, kode yang disampaikan oleh penulis ditafsirkan secara terus-menerus di antara kedua pihak. Penulis menggunakan kode aatau kepercayaan poitik yang dipunyai khalayak, tapi ketika diterima oleh khalayak tidak dibaca dalam pengertian umum, tetapi pembaca akan mengunakan kepercayaan dan keyakinan tersebut dan dikompromikan dengan kode yang disediakan oleh penulis. Ketiga, pembacaan oposisi (oppositional code/position) posisi ini kebalikan dari posisi pertama karena pembaca menandakan kode secara berbeda atau berseberangan dengan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Pembacaan oposisi muncul kalau penulis tidak menggunakan kerangka acuan budaya atau kepercayaan politik khalayak pembacanya, sehingga pembaca akan menggunakan kerangka budaya atau politik sendiri. David Morley meneliti program televisi Nationwide dengan menggunakan konsep yang dikembangkan oleh Stuart Hall. Dengan berpijak pada pendapat Hall, Morley menyatakan bahwa proses pemaknaan tergantung pada struktur internal pesan media dan latar belakang kultural penonton. Untuk memahami bagaimana teks dikaitkan dengan praanggapan kultural audien, Morley melihat
30
pada bagaimana teks memposisikan audien. Nationwide memposisikan audien terutama sebagai warga negara secara individual yang hidup komunitas politik nasional.42 Karena itu, dalam analisis ideologi yang harus dilakukan adalah dengan mengungkapkan bagaimana suatu teks memproduksi posisi subyek. Hasil pengamatan Morley menunjukkan, dengan menggunakan strategi pemaknaan (decoding) yang berbeda, makna dominan dalam teks dapat dilawan dengan menggunakan strategi pembacaan kultural audien.
B. Dialektika Perkembangan Pers Indonesia 3. Pers Indonesia Dalam Konstelasi Sistem Pers Dunia Tingkat demokratisasi sebuah negara dapat dilihat dari kehidupan pers negara tersebut, sejauh mana negara menjamin kemerdekaan pers sehingga bisa menjalankan fungsi kontrol sosialnya secara optimal. Secara ideal pers diharapkan menjadi pilar keempat demokrasi atau sebagai “anjing penjaga” bagi penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Dilihat dari sudut pandang Public Sphere, pers diharapkan menjadi elemen dasar proses demokrasi, menjadi arena dan saluran debat terbuka, menyebarkan informasi serta opini secara luas dan terbebas dari kekuasaan negara serta pasar. Selain fungsi politik, pers juga mempunyai dimensi ekonomi. Pers butuh modal untuk menghidupi diri serta orang-orang di dalamnya. Bahkan saat sekarang ada kecenderungan di mana pers mengarah sebagai industri skala besar, menjadi konglomerasi yang menjangkau bidang usaha lain.
42
Nick Stevenson, Op. Cit, hal: 79
31
Pers Indonesia juga lahir dari semangat kebebasan serta idealisme untuk memberdayakan masyarakat serta sebagai alat kontrol sosial. Namun dalam prakteknya idealisme tidak selalu bisa menjadi ruh kehidupan pers, batasan struktural maupun kultural siap menjegal. Batasan itu bisa muncul dari negara, kapital maupun dari dalam masyarakat sendiri. Pada satu sisi pers berusaha mewujud sebagai “pejuang” atau “aktivis” maupun “anjing penjaga” yang berdiri berhadapan dengan penguasa dan berjuang melawan rejim yang represif. Namun pada sisi lain pers juga butuh modal untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Lebih dari itu, pers bisa berjalan sebagai instutusi kapital yang berorientasi pada pasar dan keuntungan. Tinjauan tentang sistem pers biasanya mengacu pada empat sistem pers yang sudah dikenal yaitu sistem pers Liberal, Otoriter, Marxis dan Tanggung Jawab Sosial. Namun ketika perang dingin berakhir yang ditandai runtuhnya Uni Soviet, Herbert Altschull memperkecil pembagian sistem pers menjadi tiga, yakni Sistem Pasar yang ada negara kapitalis, Sistem Marxis yang ada dalam negara sosialis dan Sistem Berkembang yang ada di negara sedang berkembang.43 Dari pembagian tersebut, Altschull merumuskan kebebasan pers masing-masing sistem sebagai berikut: Sistem Pasar, kebebasan pers terwujud dengan memberi kebebasan kepada wartawan dari segala bentuk kontrol eksternal. Pers juga tidak difokuskan untuk melayani kekuasaan negara, juga tidak membutuhkan kebijaksanaan pers nasional untuk menjamin adanya kebebasan pers. Sistem Marxis, pers dituntut untuk
43
Ana Nadya Abrar, Panduan Buat Pers Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993, hal:3
32
menyiarkan pendapat semua golongan masyarakat. Orientasi kebebasan pers dalam sistem marxis adalah untuk menghambat dan menangkal ancaman dari luar. Pers juga butuh kebijaksanaan pers nasional untuk menjamin pelaksanaan kebebasan pers sesuai kehendak pemerintah. Sistem Berkembang, wartawan bebas menentukan mana yang dianggap sebagai baik dan buruk, namun kepentingan nasional dinilai lebih penting dibanding kebebasan pers. Sistem ini juga membutuhkan kebijaksanaan pers nasional untuk melindungi kebebasan pers yang legal. Dari perbedaan kebebasan pers antara masing-masing sistem, tujuan jurnalisme dari masing-masing sistem juga berbeda. Dalam Sistem Pasar, tujuan jurnalismenya adalah untuk mencari kebenaran, memenuhi tangggung jawab sosial, mendidik dalam arti sebenarnya dan melayani khalayak dengan jujur dan mendukung doktrin kapitalis. Pada Sistem Marxis, tujuan jurnalismenya adalah menyelidiki kebenaran dan mendidik khalayak dalam pengertian politik, namun pengertian mendidik ditentukan oleh negara atau partai. Sistem ini juga bertujuan melayani khalayak dengan tuntutan agar khalayak mendukung doktrin sosialis dan membentuk pandanagn serta perilaku. Dalam Sistem Berkembang, tujuan jurnalisme yang harus dicapai adalah melayani kebenaran dan memenuhi tanggung jawab sosial. Sistem ini juga bertujuan mendidik khalayak dalam penegertian politik, namun kriteria mendidik tidak ditentukan oleh pemerintah maupun pers. Melayani khalayak bersama dengan pemerintah untuk mencapai
33
tujuan yang berbeda dan menggunakan jurnalisme damai sebagai alat perdamaian.44 Lantas termasuk sistem mana pers Indonesia? penggolongannya tidak bisa ditetapkan secara mutlak dengan memasukkan semua ciri yang ada dalam setiap sistem, tapi berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dalam pers Indonesia. Pada masa Orde Baru, tetatnya kontrol pemerintah terhadap pers membuat pers Indonesia dikategorikan dalam pers otoriter Secara politik, pers Indonesia pasca reformasi bebas dari campur tangan pemerintah sejak Departemen Penerangan dibubarkan. Pers bebas mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, suatu hal yang tidak mudah dilakukan pada masa Orde Baru. Meskipun saat ini telah dibentuk Departemen Komunikasi dan Informasi, otoritas lembaga ini tidak seperti Departemen Penerangan yang begitu berkuasa pada jaman Orde Baru. Aturan tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) juga telah dicabut dan seiring dengan itu banyak bermunculan media baru. Kebebasan pers juga diatur dalam Undang-Undang Pers. Secara ekonomi, pers diakui sebagai lembaga ekonomi, walaupun tujuannya hanya sebatas untuk kesejahteraan karyawan (pasal 3, ayat 2: Undang-Undang Pers tahun 1999). Kebebasan pers di Indonesia pasca reformasi memepunyai beberapa implikasi, pada satu sisi media menjadi partisan, condong kepada salah satu kelompok sosial. Namun pada sisi lain muatan berita cenderung bombastis, berkisar pada masalah seks, kekerasan, kejahatan dan hiburan. Tujuannya adalah untuk menarik pangsa pasar yang luas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. 44
Ana Nadya Abrar, Media dan Minimnya Semangat Gender, Pantau edisi 08/Maret-April 2000, hal: 75
34
Kecenderungan pers Indonesia pasca reformasi mengarah menjadi industri padat modal, berteknologi tinggi dan profesionalisme manajemen, semua mengarah pada pers industri yang tidak berbeda dengan pers pasar. Kecenderungan yang ada dalam pers Indonesia sejalan dengan pers barat, yaitu pers bebas dari campur tangan pemerintah, hubungan antara pers dan pemerintah saling berhadapan, pers sebagai ajang bisnis besar, mempunyai pengaruh kuat dalam kehidupan sosial politik dan teknik persurat-kabaran sudah modern dengan ditunjang teknologi tinggi.45 Dorongan kuat ke arah kapitalisme media membawa pers Indonesia dalam kekuatan yang oleh van Peursen disebut sebagai “kekuatan dan daya-daya tak berwajah,” sebuah kecenderungan yang berlangsung dalam masyarakat modern karena perkembangan teknologi, pola organisasi dan struktur masyarakat yang menimbulkan desakan-desakan tertentu sehingga memaksanya bertindak dan berperilaku tertentu, tunduk dalam kekuasaan politik atau justru larut dalam kekuasaan pemilik modal.46 Pasca reformasi, kecenderungan pers untuk tunduk dalam kekuasaan politik semakin kecil, justru yang lebih kuat adalah kecenderungan untuk larut dalam tekanan pemilik modal. Lebih jauh pers Indonesia bisa terjebak dalam cengkeraman kapitalisme global yang mengarahkan pada suatau kebebasan pers yang berpihak pada kepentingan modal dan tidak sepenuhnya fungsional bagi proses demokratisasi.47
45
F. Rachmadi, Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, Jakarta: Gramedia, 1991, hal: 48. 46 Rizal Malarangeng, Pers Orde Baru, Tinjauan Isi Harian Kompas dan Suara Karya, seri monograf Fisipol UGM, 1994, hal: 1 47 Dedy N. Hidayat (ed), Pers Dalam Revolusi Mei, Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta: Gramedia, 2000, hal: 445
35
Ada satu hal menarik yang terjadi dalam pers Indonesia pasca reformasi, ketika tidak ada lagi otoritarianisme negara, justru muncul kecenderungan di mana pers mendapat tekanan dari masyarakat, baik secara komunal maupun personal. Batasan-batasan struktrural dan kultural tersebut kadang harus membuat pers melakukan kompromi, bahkan harus tunduk. Berikut akan diuraikan secara singkat beberapa moment maupun kecenderungan yang terjadi dalam perjalanan kehidupan pers Indonesia.
2. Pers Indonesia Masa Penjajahan Sejarah perjuangan pers Indonesia dalam mewujudkan idealisme dimulai sejak republik ini masih dalam cengkeraman penjajah. Dalam masa perjuangan, Tirtoadisoeryo mendirikan Medan Prijaji, surat kabar pertama yang dibiayai, disunting dan diterbitkan oleh orang Indonesia.48 Sebenarnya pada kurun waktu sebelumnya telah muncul beberapa surat kabar yang diterbitkan oleh Belanda dan orang cina, baik dalam bahasa belanda, melayu maupun cina. Dan ketika muncul berbagai organisasi kebangsaan, pers juga mengelompokkan diri sesuai aliran politik dan organisasinya. Pada masa perjuangan, pers menjadi partner bagi para pemimpin pergerakan. Kaum pergerakan juga berperan sebagai wartawan dan penulis dalam surat kabar. Peran penting pers masa itu adalah memperluas penggunaan bahasa
48
Yazuo Hanazaki, Pers Terjebak (terj), Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1998, hal: 9
36
Indonesia, pers menjadi simbol perlawanan dan sebagai medium identitas persatuan nasional.49 Pada saat yang sama pers Indonesia juga berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda. Karena khawatir dengan munculnya pers nasionalis, pada tahun 1931 Belanda mengeluarkan Ordonansi Pers (Persbreidel Ordonnantie), dengan peraturan itu pemerintah berhak menghentikan penerbitan surat kabar untuk sementara demi ketertiban umum. Dengan undang-undang tersebut, penutupan pers paling lama berlangsung selama delapan hari. Bila pers yang dibungkam masih melawan, pembredelan masih bisa diperpanjang selama 30 hari lagi. Untuk media mingguan, jangka waktu pembredelan paling lama tiga kali edisi media tersebut, setelah itu pers boleh terbit kembali.50 Akibat peraturan tersebut, sekitar 27 surat kabar nasionalis ditutup oleh Belanda. Ketika Jepang menggantikan kedudukan Belanda, pers menjadi alat propaganda perang dan memobilisasi rakyat demi kepentingan Jepang. Pada tahun 1942 sampai 1945, pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 tentang Surat Izin Terbit (SIT), sensor preventif dan menempatkan penasehat yang berwarga negara Jepang di kantor pers pribumi.51
3. Pers Indonesia Masa Bung Karno Ketika Indonesia merdeka, surat kabar yang sebelumnya dikuasai penjajah diambil alih oleh Indonesia. Pertumbuhan pers pada masa awal kemerdekaan belum memperlihatkan pertumbuhan maksimal. Ketika Indonesia memberlakukan 49
Ibid, hal:10 Buruk Pemerintah, Pers Dicacah, Tempo, 26 Januari 2000, hal: 102. 51 Ibid. 50
37
UUD Sementara Tahun 1950, pemerintah menjamin kekebasan pers sehingga muncul berbagai surat kabar. Setiap orang bisa menerbitkan surat kabar atau majalah tanpa harus meminta ijin dari penguasa, cukup dengan menunjukkan bahwa dia punya uang.52 Era liberal ditandai dengan peningkatan jumlah surat kabar dan oplahnya. Pada tahun 1950 terdapat 67 harian berbahasa Indonesia dengan tiras sekitar 338.300 eksemplar dan pada tahun 1957 meningkat menjadi 96 harian dengan oplah mencapai 888.950 eksemplar.53 Kebebasan politik dalam Demokrasi Liberal (1950-1959) berimbas pada kehidupan pers. Surat kabar bebas berafiliasi dengan partai tertentu, bahkan beberapa partai menjadikan surat kabar sebagai organ politik, seperti Harian Rakjat (organ PKI), Pedoman (berorientasi pada PSI), Suluh Indonesia (organ PNI) dan Abadi (organ Masyumi). Pada masa ini Mochtar Lubis juga menerbitkan Indonesia Raja (1949), surat kabar yang berpengaruh karena keberaniannya dalam membongkar skandal korupsi yang melibatkan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdoel Gani, mengkritik Undang-Undang Kerjasama Pertahanan (Mutual Security Act) dengan Amerika, bahkan menyoroti perkawinan rahasia Bung Karno dengan Hartini.54 Dalam pandangan Orde Baru, kondisi pers Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dinilai sebagai kondisi terburuk karena menyebabkan kekacauan politik, menjadi alat organisasi politik dan melayani kepentingan faksi, sehingga gagal meciptakan stabilitas nasional. Namun pengamat barat E. Schumacher justru
52
Yazuo Hanazaki Op Cit. hal: 12 Ibid. hal: 13 54 Ibid. hal: 14 53
38
menilai kebebasan saat itu sebagai kebebasan sepenuhnya yang tidak mungkin dicapai oleh negara-negara barat sekalipun.55 Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin Tahun 1959, pers berada dalam kondisi terjepit. Sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Bung Karno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT) dengan syarat-syarat tertentu, misalnya harus patuh kepada Manifesto Politik Soekarno, ikut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, federalisme dan separatisme.56 ketika diberlakukan undang-undang darurat perang, peta kekuatan pers cenderung seimbang. Hampir semua surat kabar pernah dibredel oleh penguasa perang. Menurut Harold Crouch dan Ulf Sundhaussen, surat kabar Harian Rakjat milik PKI tergolong surat kabar yang paling sering dibredel. Dengan demikian, pada masa ini tidak ada pers dominan yang bisa menciptakan opini publik secara maksimal, baik pers komunis maupun non komunis berada dalam posisi seimbang karena sama-sama menjadi sasaran intimidasi penguasa militer/perang.57 Ketika kekuatan politik pada masa Demokrasi Terpimpin (terutama tahun 1962-1965) didominasi oleh tiga kekuatan: Bung Karno, militer dan PKI, peta kekuatan pers juga ikut berubah. Ketika PKI dekat dengan Bung Karno, pers komunis dan simpatisannya (biasanya pers nasional sayap kiri) menduduki posisi dominan dalam menciptakan opini publik dan politik serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Surat kabar Harian Rakjat tirasnya mencapai 75.000
55
Ibid. hal: 15 Ibid. hal: 16 57 lihat catatan kaki nomor 7 dalam Akhmad Zaini Abar, 1966-1974, Kisah Pers Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 1995, hal: 51 56
39
eksemplar pada tahun 1964, dan pada tahun 1965 mencapai 85.000 eksemplar.58 Tapi domimasi pers komunis dalam menciptakan opini publik dan mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah bukan dominasi utuh. Penciptaan opini publik serta pengaruhnya dalam menetukan kebijaksanaan politik yang dilakukan pers komunis harus selalu mengikuti logika kepentingan politis dan retoris Bung Karno, meskipun di balik itu terselip kepentingan PKI dan simpatisansimpatisannya.59 Sedangkan pers yang non atau anti komunis saat itu tergolong pers periferal atau pinggiran. Pers yang tergolong periferal meliputi pers agama, pers kelompok BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme), dan pers militer. Pers agama adalah pers yang berafiliasi dengan partai agama, misalnya surat kabar Duta Masyarakat (berafiliasi dengan Partai Nahdatul Ulama), Sinar Harapan berafiliasi dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) lahir pada 27 april 1961, serta harian Kompas yang lahir 28 Juni 1965 berafiliasi dengan Partai Katolik. Kompas tergolong pers yang moderat dalam menghadapi aksi-aksi politik PKI.60 Untuk melawan pengaruh komunis yang makin meluas, Adam Malik, B.M. Diah serta kelompok anti komunis lainnya mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Pers kelompok BPS antara lain harian Merdeka milik B.M Diah, Berita Indonesia (simpatisan Partai Murba), Indonesian observer dan Warta Berita semuanya terbit di Jakarta, Indonesia Baru dan Waspada (Medan), Suara Merdeka (Semarang), Kedaulatan Rakyat (Yongyakarta), Harian Suara Rakyat (Surabaya) dan Pikiran Rakyat (Bandung) yang tergolong progresif dalam 58
Op Cit. hal: 17 Akhmad Zaini Abar, Loc Cit 60 Ibid, hal: 52 59
40
menentang aksi-aksi politik PKI.61 Konflik antara golongan komunis dengan non komunis masuk dalam dunia pers, misalnya perseteruan antara surat kabar Harian Rakjat dengan Merdeka. Karena Bung Karno menilai PKI lebih berguna bagi landasan politiknya, Bung Karno melarang keberadaan BPS, dan pada periode Februari sampai Maret 1965 sekitar 27 surat kabar pendukung BPS dibubarkan.62 Untuk mengimbangi kekuatan komunis pasca pembubaran BPS, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Pada saat yang sama Frans Seda dari Partai Katolik juga berniat mendirikan surat kabar, Jenderal A.H. Nasution dan A.Yani mendukung gagasan tersebut. Maka lahirlah surat kabar Kompas yang dipercayakan kepada P.K. Ojong dan Jacob Oetama. Harian Berita Yudha terbit pada 9 februari 1965 di bawah kontrol kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto. Harian Angkatan Bersenjata terbit pada 15 maret 1965 berada di bawah kontrol Kepala Perangan Staf ABRI, Mayor Jenderal Sugandhi. Kedua harian ini diterbitkan sebagai reaksi dan tindakan politik Angkatan Darat atas dilarangnya sebagian besar pers BPS.63 Pada Bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan peraturan bahwa surat kabar harus berasal dari sembilan partai politik yang ada. Aturan ini sebagai usaha Bung Karno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai dapat langsung mengendalikan pers. Selama masa Demokrasi Terpimpin, meski tingkat inflasi sangat tinggi dan harga kertas koran impor sangat mahal, jumlah tiras surat kabar saat itu cukup tinggi. Pada tahun 1961 terdapat 61 penerbitan dengan tiras 692.500 eksemplar, 61
Ibid, hal: 52-53 Yazuo Hanazaki Op. Cit. hal: 18 63 Akhmad Zaini Abar, Op. Cit hal: 53 62
41
dan empat tahun kemudian meningkat menjadi 114 surat kabar dengan tiras mencapai 1.469.350 eksemplar. 64
4. Pers Masa Orde baru Konflik antara PKI dan militer berakhir setelah peristiwa G30S, militer keluar sebagai pemenang. Kekuatan PKI hancur dalam waktu yang singkat, dan kekuasaan Bung Karno diambil alih oleh Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan secara bertahap naik menjadi presiden Indonesia kedua. Pangdam VII/Jakarta Raya Mayjen Umar Wirahadikusumah menandatangani surat perintah no.01/Drt/10/1965 yang memerintahkan kepada Panglima Daerah Kepolisian VII/Jakarta Raya utuk menguasai semua perusahaan percetakan. Khusus untuk percetakan Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata supaya dilakukan pengamanan fisik.65 Tribuana Said mencatat penerbitan yang dibreidel permanen karena di tuduh terlibat dan mendukung peristiwa G30S, antara lain: Harian Rakjat, Kebudayaan Baru, Bintang Timur, Warta Bhakti, Ekonomi Nasional, Gelora Indonesia, Ibu Kota, Huo Chi Pao, Chung Cheng Pao, Suluh Indonesia, Bintang Minggu, Berita Minggu, semuanya terbit di Jakarta. Warta Bandung (Bandung); Gema Massa (Semarang); majalah Waspada (Yogyakarta); Jalan Rakyat, Jawa Timur, Trompet Masyarakat, Indonesia, Generasi (Surabaya); Suara Khatulistiwa, Kalimantan Membangun, Duta Nusa (Pontianak); Pikiran Rakyat, Trikora (Palembang); Suara Persatuan (Padang); Sinar Massa dan Berita Rovolusi (Pekan Baru); 64 65
Yazuo Hanazaki Op. Cit. hal: 18 Y. Krisnawan, Pers Memihak Golkar?, Suara Merdeka Dalam Pemilu 1992, Jakarta: Institut Studi Arus informasi, 1997, hal: 24-25.
42
Harian Harapan, Goting Royong, Bendera Revolusi, Pembangunan, Patriot, Angin Timur, Tavip serta Bintang rakyat (Medan).66 Setelah membreidel 46 surat kabar dan majalah, militer juga mengadakan pebersihan terhadap ratusan wartawan yang punya hubungan dengan PKI.67 Pasca G30S, peta kekuatan pers Indonesia didominasi oleh pers militer. Pers yang tidak dibreidel seperti Kompas, Duta masyarakat dan Sinar Harapan pun ada dalam pengaruh militer, semua penerbitan harus minta izin penguasa militer agar dapat terus melanjutkan penerbitannya. Dengan alasan negara dalam keadaan bahaya, semua berita tentang politik dan militer harus sesuai dengan versi penguasa militer, sehingga secara langsung maupun tidak, media massa saat itu ikut dalam “kampanye” untuk menumpas PKI dan simpatisan-simpatisannya. Militer (terutama Angkatan Darat) mendapat keuntungan dari pemberitaan pers non/anti komunis, misalnya muncul isu tentang penyiksaan yang dilakukan PKI terhadap para jenderal yang diculik, berita tentang kejahatan politik yang dilakukan oleh orang-orang PKI seperti Subandrio, Omar Dhani dan lainnya sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahmillub. Berita-berita tersebut memudahkan kelompok anti komunis dalam memobilisasi massa untuk menghancurkan PKI berserta simpatisannya. Sebaliknya pers anti komunis juga mendapat keuntungan dari militer, mereka merasa mendapat teman perjuangan dalam melawan musuh utamanya, PKI. Sebagai pejabat baru, Soeharto butuh dukungan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, maka pers dibiarkan menjadi lebih bebas dibanding masa Demokrasi 66 67
Akhmad Zaini Abar,, Op. Cit, hal: 54-55. Yazuo Hanazaki, Op. Cit. hal: 19
43
Terpimpin. Pada periode tahun 1965-1972, Soeharto mengeluarkan Surat ijin Terbit (SIT) mencapai 1.559 buah,68 ia juga menghidupkan kembali beberapa surat kabar yang dilarang terbit pada masa kekuasaan Bung Karno seperti Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober1968), Pedoman (November 1968) dan Abadi (Desember 1968).69 Pers Indonesia pada awal masa kekuasaan Orde Baru lebih berorientasi kepada rakyat dan sangat kritis ketika meliput keadaan yang kontras pada masa itu. Pada tahun 1969, surat kabar Indonesia Raya memuat laporan tentang pembantaian sekitar 2.000-3.000 orang tahanan politik di Purwodadi (Jawa Tengah) dan pemerintah tidak melakukan tindakan apapun berkaitan dengan berita tersebut. kemudian surat kabar Sinar Harapan juga mengangkat kasus penyelewengan di Pertamina dan pemerintah juga tidak mengambil tindakan.70 Namun kebebasan itu hanya bertahan sebentar, lambat laun pemerintah mulai turut campur dalam kehidupan pers. Pada tahun 1971, ketika jadwal pemilu semakin dekat, Ali Moertopo sebagai aparat Operasi Khusus (Opsus) ikut campur dalam pemilihan ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pemerintah menghendaki B.M. Diah agar terpilih kembali sebagai ketua PWI, namun beberapa cabang yang tidak menyukai B.M. Diah lebih memilih Rosihan Anwar sebagai kandidat. Pada saat kongres ke-14 PWI di Palembang, Rosihan Anwar tepilih menjadi ketua, tapi pemerintah tetap mengangkat B.M. Diah sebagai ketua,
68
Ibid. hal: 19. Akhmad Zaini Abar,, Op. Cit, hal: 56. 70 Yazuo Hanazaki Op Cit. hal: 20. 69
44
akibatnya kepengurusan PWI terpecah menjadi dua kelompok, PWI Rosihan dan PWI Diah. Namun pada bulan Maret 1971 kedua kelompok tersebut bersatu.71 Ketika suhu politik semakin tinggi, pemerintah lebih ketat lagi dalam mengawasi pers. Pada tahun 1973, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro mencabut Surat Ijin Terbit (SIT) surat kabar Sinar Harapan untuk sementara dengan tuduhan membocorkan rahasia negara karena menyiarkan isi RAPBN 19743-1974 sebelum pemerintah mengumumkannya secara resmi.72 Pada hari berikutnya Kopkamtib juga memperingatkan harian Pos Kota, Kami dan Merdeka supaya tidak lagi menyiarkan intrik-intrik politik yang tidak benar.
4.1. Peristiwa Malari Meskipun sering mendapat tekanan dari pemerintah, pers masih terus berusaha melancarkan kritik terhadap kebijakan yang diambil oleh Orde Baru, dan pada bulan Oktober 1973, pers mendapat rekan seperjuangan yaitu mahasiswa yang bangkit kembali melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Mereka mengkritik politik pembangunan yang dipilih Orde Baru serta kebijakan ekonomi yang dijalankannya bersifat pilih kasih sehingga hanya menguntungkan pengusaha non pribumi. Mereka juga menyoroti keberadaan Asisten Pribadi Presiden (Aspri) yang tingkah laku politik dan ekonominya dinilai buruk dan tercela. Demonstrasi terus berlangsung sampai awal tahun 1974. Selain mahasiswa dan pers, cendekiawan seperti Soedjatmoko, Suhadi Mangkusuwondo dan Darojatun K. Jakti sebelumnya juga mengkritik arah 71 72
Ibid. Akhmad Zaini Abar,, Op. Cit, hal: 71.
45
dan politik pembangunan yang dipilih Orde Baru. Bahkan di akhir tahun 1973 Bung Hatta melontarkan kritik tajam, pembangunan Orde Baru menurutnya telah memperlebar jurang kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Kritik yang dilakukan pers dan mahasiswa pada paruh awal bulan Januari 1974 semakin tajam ketika harga kebutuhan pokok melonjak naik. Karena suasana makin panas, Presiden Soeharto menerima 85 orang delegasi dari 35 Dewan Mahasiswa yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Pertemuan tersebut membahas berbagai masalah yang hangat dan menjadi keprihatinan masyarakat. Mereka mengajukan beberapa tuntutan:73 1. Mengenai kepemimpinan yang hendaknya terbuka 2. Lembaga penyalur pendapat rakyat hendaknya kuat dan terbuka 3. Politik luar negeri hendaknya mementingkan kepentingan dan kebanggaan nasional 4. Pembangunan hendaknya menjamin keseimbangan pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik serta distribusi hasil pembangunan yang merata. Hasil dialog tersebut oleh mahasiswa dianggap belum memuaskan dan mereka bertekad untuk melanjutkan aksi-aksi mereka di jalan. Maka pada tanggal 14 januari mereka demonstrasi di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma memprotes kedatangan Tanaka, Perdana Menteri Jepang saat itu. Demonstrasi besar juga terjadi pada hari berikutnya di Jakarta, mereka menentang masuknya modal asing (terutama Jepang) serta tingkah laku tercela pengusaha Jepang di
73
Ibid, hal: 200
46
Indonesia. Mereka menuntut pembubaran Aspri; penurunan harga dan pemberantasan korupsi. Namun demonstrasi ini berubah menjadi kerusuhan massa. Ribuan massa di luar mahasiswa melakukan perusakan serta pembakaran mobil atau motor merek Jepang, gedung dan lainnya. kerusuhan ini juga merenggut 11 nyawa dan ratusan orang luka-luka. Iklim kebebasan pers yang dirasakan pada masa awal kekuasaan Orde Baru lenyap setelah terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Malari menandai putusnya aliansi antara pemimpin Orde Baru dengan mahasiswa dan kaum intelektual yang mendukung Soeharto dalam menjatuhkan Soekarno. Pemerintah menangkap dan menahan sejumlah aktivis mahasiswa dan cendekiawan yang suka mengkritik kebijakan pemerintah. Selain itu pemerintah juga membreidel 12 surat kabar yang dianggap terlalu kritis dan berani yaitu harian Abadi, Indonesia Raya, Kami, Pedoman, Nusantara, Jakarta Times, mingguan Wenang, Mahasiswa Indonesia (Bandung), majalah Pemuda Indonesia, Ekspresi, harian Suluh Berita (Surabaya), mingguan Indonesia Pos (Ujung Pandang). Setelah peristiwa Malari, pembredelan terhadap pers terus berlangsung.74. Misalnya ketika mahasiswa demo besar-besaran menentang pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden Indonesia serta kampanye anti korupsi, pers meliputnya secara besar-besaran. Akibatnya pada tanggal 20 Januari 1978 pemerintah cabut izin 14 penerbitan, termasuk 7 surat kabat utama Jakarta. Pada tahun 1986 Sinar
74
Pembredelan-pembredelan terhadap media cetak bisa kita lihat dalam tahun-tahun 1978, tahun 1983, tahun 1986, tahun 1987, tahun 1990, dan tahun 1994. Baca dalam Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers dan Politik Indonesia”, dalam Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1997, hal. 60.
47
Harapan dibredel karena menyoroti rencana pemerintah untuk mencabut izin 44 monopoli impor, surat kabar tersebut juga menjelaskan bahwa ijin impor tersebut dimiliki keluarga Soeharto serta pengusaha yang dekat dengan penguasa Orde Baru.75 Peristiwa Malari dan pembredelan yang masih terus dilakukan sesudah itu membuat membuat radikalitas Pers Indonesia terus menurun, bahkan dalam tubuh pers ada ketakutan untuk menyampaikan kritik, terutama kritik kepada penguasa Tekanan-tekanan yang dilakukan oleh penguasa membuat pers sangat akomodatif terhadap kehendak dan kepentingan penguasa. Wajah dan bahasa kekuasaan banyak diproduksi dan direproduksi oleh pers, baik secara sadar ataupun tidak sadar.
4.2. Pembredelan Tempo 1994 Sejarah pembredelan terhadap pers terus mengalami pasang surut dalam kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Namun pembredelan terhadap majalah Tempo, Detik dan Monitor perlu dibahas di sini karena pembredelan tersebut melahirkan fenomena menarik yakni perlawanan kaum jurnalis terhadap penguasa dan lahirnya kelompok jurnalis oposan. Pada tahun 1994 Menristek B.J. Habibie berencana membeli 39 kapal selam bekas dari Jerman, namun tanpa ada konsultasi dengan pihak Angkatan Bersenjata RI (ABRI). Ketika hendak dibawa pulang ke Indonesia, salah satu dari kapal selam tersebut hampir tenggelam di perairan Spanyol. Saat sampai di Indonesia, lagi-lagi terjadi masalah, anggaran dana untuk perbaikan kapal selam tidak
75
Hanazaki, Op. Cit, hal: 23
48
disetujui oleh Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad karena dinilai terlalu besar. Meskipun Habibie merevisi anggaran tersebut, Mar’ie masih memintanya untuk lebih memperkecil anggaran tersebut. Masalah kapal selam dan perselisihan dua menteri dalam masalah anggaran tersebut tidak luput dari pemberitaan pers.76 Melihat liputan pers yang cukup tajam, Soeharto dalam sebuah kesempatan menyatakan akan menegur dengan keras pers yang dianggap mengganggu stabilitas nasional, yaitu media yang memberitakan tentang perselisihan para menteri. Orang-orang kalangan pers sendiri mengira ucapan Soeharto hanya akan diwujudkan dalam bentuk teguran keras, bukan pembredelan. Namun pada 21 Juni 1994, Subrata, Dirjen Pers dan Grafika Departemen Penerangan mengadakan jumpa pers yang menjelaskan tentang pencabutan izin majalah Tempo, Editor dan Detik. Ternyata masyarakat tidak tinggal diam menghadapi pembredelan tersebut, beberapa organisasi sosial membuat pernyataan keprihatinan atas pemberdelan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Kalangan pers juga tidak mau kalah, ada rasa simpati dalam rekan-rekan pers yang antara lain diwujudkan dengan mengangkat tulisan tentang pembredelan. Bahkan para intelektual dan mahasiswa juga mengorganisir demonstrasi di berbagai kota besar di Indonesia untuk menentang kebijakan Orde Baru terhadap pers, aksi tersebut juga diikuti oleh kalangan wartawan. Melihat aksi yang marak dan dilakukan oleh beberapa kalangan, pemerintah tidak tinggal diam, pada tanggal 27 Juni pemerintah
76
Ibid, hal: 148
49
mengirimkan pasukan keamanan untuk membubarkan secara paksa para demonstran dan menangkap para aktivis. Namun para wartawan terus menggalang kekuatan untuk menentang represi yang dilakukan terhadap mereka. Pada 7 Agustus 1994 para wartawan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka mendeklarasikan pernyataan sikap yang dikenal sebagai “Deklarasi Sirnagalih” yang berisi pernyataan menolak segala bentuk campur tangan, intimidasi, sensor dan pembredelan yang mengingkari kebebasan bependapat dan hak warga negara dalam memperoleh informasi.77 AJI lantas mendaftarkan diri sebagai anggota International Federation of Journalist (IFJ) di Brussel. Secara terang-terangan AJI meyatakan mengambil sikap oposisi terhadap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu notabene berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah. AJI juga mendirikan majalah Independen pada tahun 1995, sebuah media bawah tanah yang menyoroti kebijakan-kebijakan pemerintah, oplahnya mencapai 10.000 eksemplar. Orde Baru tak pernah tinggal diam menghadapi pergerakan kaum jurnalis, pemerintah terus mengekang gerakan para wartawan yang tergabung dalam AJI. Melalui PWI, pemerintah berusaha memotong gerakan para anggota AJI dengan mencabut keanggotaannya dari PWI dan membuat rekomendasi terhadap media massa untuk tidak mempekerjakan wartawan yang tergabung dalam AJI.. Kuatnya dominasi PWI saat itu membuat media mengambil kebijakan yang dinilai paling aman. Dua reporter Jakarta Post tidak diijinkan meliput acara APEC serta tidak memperpanjang kontrak wartawan lainnya yang ikut bergabung dalam AJI.
77
Ibid, hal.165
50
4.3. Munculnya Kapitalisme Media Secara politis kontrol pemerintah terhadap pers memang semakin ketat. Namun keberhasilan ekonomi Orde Baru berpengaruh terhadap kemajuan bidang pendidikan serta standart kehidupan sehingga minat baca masyarakat juga ikut meningkat. Pada akhir tahun 1970-an pers Indonesia telah berhasil memenuhi syarat sebagai media massa, antara lain dilihat dari jumlah surat kabar yang dipasarkan.78 Sebelum peristiwa Malari, pers Indonesia digerakkan oleh semangat idealisme, dimodali oleh editor, didukung pengusaha kecil dan menengah yang masih satu aliran dengan surat kabar yang disokongnya. Berita belum dianggap sebagai suatu komoditi, walaupun Tempo misalnya sudah didirikan dengan dukungan pengusaha-pengusaha besar.79 Namun pada paruh kedua perkembangan ekonomi dasawarsa 80-an, perusahaan pers mulai tumbuh pesat, meski hanya terkonsentrasi pada beberapa gelintir orang. Kecenderungan konglomerasi ini mengancam kelangsungan hidup pers karena pada satu sisi perusahaan pers kecil perlahan-lahan dikuasai oleh segelintir orang. Konglomerasi dilihat sebagai ancaman karena dengan terpusat pada segelintir orang, media dalam satu konglomerasi cenderung mempunyai isi yang sama, hal tersebut berpotensi untuk memonopoli wacana mapuan pendapat umum. Daniel Dhakidae mengatakan, pers Indonesia pada pemerintahan Orde Baru mengalami transformasi dari sebuah wadah wacana politik menuju pers
78 79
Ibid, hal.26 David T. Hill, Kata Pengantar untuk buku Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia, Kasus Koran Indonesia Raya, LSPP, Jakarta, 1995, hal. 16-17.
51
industri komersial.80. Konsentrasi untuk mendapat keuntungan besar dari bisnis pers menjadi semacam pelarian bagi wartawan karena dalam situasi represif sulit bagi wartawan untuk mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Namun keuntungan finansial itu berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin tumpul. Peningkatan oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan utama, prioritas pers Indonesia adalah perolehan keuntungan, bukan kualitas berita.81 Memang secara politis penguasa Orde Baru mengekang kehidupan pers agar tidak bersikap kritis terhadap neguasa, namun pada sisi lain pemerintah justru mengembangkan industri media dengan memberikan lisensi untuk mendirikan media baru. Langkah ini bisa dilihat sebagai usaha untuk tetap melanggengkan dominasi terhadap media, sebab pemerintah hanya memberi lisensi kepada keluarga maupun konglomerat yang dekat dengan pusat kekuasaan. Dengan memberikan lisensi kepada keluarga dan pengusaha yang dekat dengan penguasa, pemeritah tetap bisa mengendalikan bahkan menjadikan media sebagai perpanjangan tangan negara dalam mempengaruhi ataupun mengarahkan pendapat umum masyarakat.82 Perkembangan menuju kapitalisme industri media pada era Orde Baru yang mengarah kepada kepemilikan modal melalui proses-proses komersialisasi, liberalisasi, dan internasionalisasi tidak lepas dari intervensi negara dalam sektor
80
Daniel Dhakidae, “The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry” (Disertasi), sebagaimana dikutip Krishna Sen and David T Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford, University Press, 2000, hal. 51. 81 Lukas Luwarso, “Pers Indonesia: Pergulatan Untuk Kebebasan, dalam Atmakusumah” (Penyunting), 10 Pelajaran Untuk Wartawan, LSPP kerja sama dengan Kedubes Swiss dan UNESCO, Jakarta, 2000, hal. 76. 82 David T. Hill, Kata Pengantar untuk buku Ignatius Haryanto, Pembredelan Pers di Indonesia, Kasus Koran Indonesia Raya, LSPP, Jakarta, 1995, hal. 18.
52
industri media.83 Pertama, proses komersialisasi media tidak lepas dari kebijakankebijakan rezim Orba, khususnya pada awal pemerintahan. Peralihan dari Pers Perjuangan atau Pers Politik menjadi Pers Industri antara lain difasilitasi oleh pencabutan ketentuan produk rezim Orde Lama yang mengharuskan semua media berafiliasi dengan organisasi atau partai politik tertentu (Kepmenpen RI No. 29/1965). Pencabutan ketentuan itu mendorong pers untuk makin berorientasi ke pasar dan dikelola secara komersial. Bila pada era sebelumnya para wartawan lebih mementingkan idealisme pers dan cenderung menganggap urusan-urusan teknis bisnis sebagai interupsi yang tidak menyenangkan, maka pada masa Orde Baru para wartawan semakin menempatkan aspek bisnis sebagai bagian integral dari kegiatan jurnalisitik mereka bila mereka tidak ingin media mereka tersingkir dari pasar.84 Kedua, dominasi peran negara dalam proses liberalisasi industri media, khususnya dari segi penambahan pemain dalam industri media, terlihat dari jumlah lisensi yang diberikan untuk mendirikan perusahaan pers. Tetapi dengan kewenangan negara untuk memberikan lisensi, barriers to entry ke pasar media tidak sepenuhnya “alamiah”. Bagi mereka yang ingin menjadi pemain dalam industri media, halangan yang harus mereka hadapi tidak hanya bersumber dari kondisi persaingan pasar, melainkan juga halangan politis yang diciptakan oleh
83
Dedy N. Hidayat, “Pers Dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy N. Hidayat, et. al, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal. 143. 84 Walaupun demikian, intervensi rezim Orde Baru dalam proses komersialisasi industri media tidak di arahkan untuk membentuk industri yang mandiri. Di samping berbagai kontrol politik yang ada, penguasa Orde Baru juga menerapkan kontrol dari segi ekonomi, antara lain dengan monopoli pemasokan kertas koran oleh Aspex Papers yang di miliki oleh Bob Hasan, salah seorang kroni presiden Soeharto pada waktu itu.
53
penguasa. Kasus-kasus pemberian lisensi secara selektif, sebagaimana halnya kasus-kasus pencabutan izin terbit yang didasarkan azas pertimbangan politis, tercatat cukup banyak.85 Dari segi politik, masuknya para kroni dan anggota keluarga Candana ke sektor industri media merupakan bagian dari proses political vertical integration antara unsur-unsur elite penguasa dengan unsur-unsur pers. Terlebih lagi bila integrasi tersebut didasarkan atas motivasi kepentingan politik. Motivasi para kroni dan anggota keluarga Soeharto untuk melakukan investasi di sektor industri media memang bisa didasarkan atas kepentingan ekspansi bisnis dalam sektor tersebut.86 Keberhasilan industri pers, peningkatan tiras dan jumlah iklan yang berjalan seiring dengan pengendalian pers oleh pemerintah membuat pers Indonesia menjadi kurang militan dan lebih defensif. Di bawah berbagai kekangan kebijaksanaan pers Orde Baru, menurut Todung Mulya Lubis, banyak surat kabar menjadi mapan sebagai perusahaan bisnis, dan tidak lagi sekedar sebagai surat kabar, pers juga tergantung dari kebaikan pemerintah.87
4.4. Kontradiksi Dalam Pers Orde Baru Sebuah rezim yang dikenal otoriter, kuat dan berkuasa selama tiga puluh tahun pada akhirnya harus tumbang diterjang gelombang reformasi. Faktor yang dianggap bisa menjelaskan penyebab tumbangnya Orde Baru adalah kontradiksi 85
Dedy N. Hidayat, “Pers Dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam Dedy N. Hidayat, et. al, Pers dalam “Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal. 144. 86 Ibid, hal: 146. 87 Yasuo Hanazaki, Op. Cit, hal: 26.
54
yang ada dalam sistem yang telah dibangunnya, termasuk sistem kapitalisme terutama kapitalisme dalam sektor media massa yang kadang-kadang justru bertentangan dengan kapitalisme global. Faktor lain yang juga menentukan runtuhnya rezim adalah peran agen sosial, yakni intelektual, aktivis dan pers, baik individu maupun institusi. Pembahasan di sini akan melihat pada peran pers dalam proses “Revolusi Mei” baik masalah kontradiksi dalam industri media maupun kontradiksi antara agen dengan struktur kekuasaan media. Secara umum, kontradiksi yang terjadi dalam industri media mencakup sejumlah dimensi. Pertama, kontradiksi yang bersumber dari posisi ganda pers, di satu pihak sebagai instrumen hegemoni dalam struktur politik otoritarian Orde Baru, dan di lain pihak sebagai institusi kapitalis dalam sektor industri media. Sebagai instrumen hegemoni, media -melalui komoditi informasi dan hiburan yang diproduksi- diharapkan berperan menjaga stabilitas struktur otoritarian yang ada serta stabilitas hegemoni ide-ide yang dijadikan pembenaran eksistensi struktur otoritarian Orde Baru. Untuk itu semua produksi informasi dan hiburan harus sesuai dengan horison pemikiran dan kepentingan rezim Orde Baru. Di lain pihak, sebagai institusi kapital yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, pers harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar. Karena itu, pers berusaha menyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi ekonomi dan politik yang lebih berani.88
88
Dedy N. Hidayat, Op. Cit hal: 152.
55
Kontradiksi kedua adalah benturan kepentingan untuk melakukan ekspansi kapitalisme di sektor industri media –di mana negara perlu memainkan peran untuk berdiri di atas kepentingan pemilik modal atau kepentingan akumulasi modal secara umum di sektor industri media– dan kepentingan sekelompok pemilik modal, khususnya para kroni yang menanamkan modalnya di sektor media. Kepentingan pertama menuntut mobilisasi pemilik modal sebanyak mungkin untuk melakukan investasi atau ekspansi di sektor media sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan politik rezim penguasa. Namun pemilik modal yang “memenuhi kriteria politik” tidak sedikit, termasuk pemilik modal yang mampu melakukan investasi di sektor televisi, maka dominasi para kroni di sektor tersebut bisa terancam. Pertimbangan seperti itu, di samping tentu pertimbangan politik, mungkin juga mendasari pemberian lisensi secara selektif di sektor industri televisi, yakni lisensi hanya diberikan kepada para kroni Soeharto, tetapi tidak kepada konglomerat lain, khususnya yang telah memiliki pengalaman di sektor media cetak.89 Kontradiksi ketiga menyangkut posisi perkembangan kapitalisme Orde Baru sebagai bagian dari sistem kapitalisme global. Impuls ke arah liberalisme sistem kapitalisme global serta prinsip perdagangan bebas lintas negara telah memunculkan kontradiksi di sektor media, yakni antara tuntutan untuk membuka diri terhadap investasi modal asing dan kepentingan untuk melakukan proteksi terhadap kepentingan segmen kapitalis domestik tertentu yang akan terpukul oleh masuknya modal besar dari luar. Sejumlah pemilik modal domestik yang mampu
89
Ibid, hal: 152.
56
mengundang masuknya pemodal asing sebagai partner, khususnya para kroni Soeharto, jelas akan diuntungkan oleh masuknya pemodal asing. Di sisi lain, pemodal asing sendiri mungkin juga akan cenderung bekerja sama dengan para kroni yang memiliki aset kekuasaan politik.90 Kontradiksi keempat berkaitan dengan fakta bahwa meskipun dalam era Orde Baru usaha pers lebih merupakan capitalist venture yang sekaligus dikontrol secara ketat oleh penguasa demi kepentingan politik penguasa, tradisi pers sebagai “pers perjuangan” yang mempunyai misi ideal masih tetap hidup di kalangan tertentu jurnalis senior. Generasi baru jurnalis Indonesia, walaupun oleh sejumlah pengamat dinilai semakin banyak terdiri dari kelompok yang apolitis dan menerima ideologi profesional yang menekankan objektifitas pemberitaan, pemisahan fakta dan opini, dan metode-metode ilmiah dalam pengumpulan serta analisis data, ternyata masih memiliki segmen aktivis yang bersikap kritis terhadap Orde Baru serta terlibat atau memiliki kedekatan dengan kegiatan advokasi sejumlah isu kemasyarakatan. Mereka memiliki konsepsi bahwa pers adalah the fourth estate yang memainkan peran sebagai watch dog, pers tidak boleh netral dalam masalah yang bertentangan dengan prinsip kebenaran, keadilan, demokrasi, hak-hak azasi, dan sebagainya. Konflik-konflik antara pimpinan atau pemilik media (yang mewakili kepentingan ekonomi usaha pers atau kepentingan politik penguasa) dan pekerja industri media, khususnya para jurnalis muda, telah cukup banyak diungkap.91 Kelompok jurnalis profesional ini semakin banyak yang lulus dari perguruan tinggi, dan merupakan bagian dari 90 Ibid 91
, hal: 153. Ibid, hal: 154.
57
kelas menengah yang memiliki akses ke berbagai media serta sumber informasi internasional dan bersikap kritis terhadap rezim penguasa. Akhirnya, kontradiksi yang tidak kalah penting adalah antara kepentingan industri media untuk memperoleh keuntungan dan kepentingan konsumen untuk memperoleh informasi yang objektif, netral dan berimbang. Tuntutan untuk memperoleh informasi dalam kualitas seperti itu khususnya muncul dari kalangan kelas menengah yang selain memiliki daya beli (salah satu karakteristik utama yang meningkatkan nilai lebih khalayak media sebagai komoditi di pasar pengiklan) juga memiliki sikap kritis serta menggunakan pemberitaan media internasional sebagai standar menilai kualitas produksi informasi media lokal.92 Kontradiksi dalam struktur industri media pada gilirannya juga melahirkan pengelompokan sosial, yang saling berinteraksi dalam bentuk aliansi atau konflik. Hubungan konflik, baik latent maupun manifest, secara garis besar melibatkan kelompok rezim penguasa Orde Baru (beserta kelompok dan organisasi yang berafiliasi pada rezim penguasa, seperti PWI, pemilik modal dan jurnalis propemerintah) dan berbagai kelompok lain dalam tubuh industri media. Para jurnalis ada yang tetap tergabung dalam mainstream media misalnya tergabung dalam PWI, atau memilih oposisi dengan menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) maupun kelompok jurnalis media alternatif (seperti SiaR, Kabar Dari Pijar) yang lahir sebagai salah satu bentuk resistensi terhadap represi rezim penguasa setelah kasus pembredelan tahun 1994.93
92 93
Ibid, hal: 155. Ibid.
58
5. Pers Pasca Reformasi Dengan berakhirnya rezim Orde Baru, industri pers tanah air mengalami perubahan signifikan sebagai akibat dari tuntutan reformasi. Perubahan tersebut diawali dengan deregulasi industri pers oleh Menteri Penerangan Yunus Josfiah pada masa pemerintahan Presiden Habibie, yakni dicabutnya Permenpen No. 01/Per/Menpen/1984 tentang ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang pada masa lalu menjadi dasar hukum pembredelan sejumlah media. Sebagai gantinya, dikeluarkan surat keputusan Menteri Penerangan yang memberikan kemudahan dalam memperoleh SIUPP (SK No. 132/1998). SIUPP bisa diperoleh hanya dengan mengisi formulir permohonan, akte pendirian perusahaan, dan susunan pengurus penerbitan pers. Bila pada masa Orde Baru pengajuan permohonan SIUPP butuh rekomendasi PWI, hal itu sekarang tidak diperlukan lagi. Pemerintahan habibie juga mencabut SK No. 47/Kep/Menpen/75 mengenai pengukuhan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia,94 sehingga kaum jurnalis bebas membentuk organisasi wartawan dan pada sisi lain mengakui keberadaan organisasi wartawan non pemerintah yang telah muncul pada masa Orde baru seperti AJI. Deregulasi ke arah liberalisasi industri pers yang ditempuh pasca Orde Baru makin meningkatkan kondisi pasar dan meningkatkan persaingan dalam industri pers, baik dalam merebut khalayak maupun pengiklan. Ini berarti tekanan pasar terhadap pers akan semakin meningkat. Meningkatnya tekanan pasar secara langsung akan amat berpotensi menempatkan dominasi kepentingan modal dalam 94
Tim Editor, “Pers Pasca Orde Baru: Rich Media Poor Democracy?”, dalam Dedy N. Hidayat dkk, “Pers daam Revolusi Mei”: Runtuhnya Sebuah Hegemoni, Jakarta, Gramedia, 2000, hal: 451.
59
penentuan kebijakan pemberitaan serta proses-proses produksi komoditi informasi dan hiburan.95 Deregulasi industri pers pada hakikatnya adalah penghapusan state regulation dan diganti oleh market regulation, di mana mekanisme pasar lebih ditentukan oleh the invisible hand berupa kaidah permintaan-penawaran, logika sirkuit modal, rasionalitas maksimalisasi produksi dan konsumsi. Mekanisme pasar akan menciptakan tekanan-tekanan agar setiap pelaku pasar memenuhi kaidah, logika, serta rasionalitas yang berlaku. Memang banyak yang menilai semakin besar peran yang dimainkan oleh kekuatan pasar akan semakin besar pula “kebebasan” konsumen untuk melakukan pilihan. Namun di sisi lain, “kebebasan” konsumen untuk memilih dalam pasar bebas informasi dan hiburan itu sendiri sebenarnya dibatasi oleh berbagai kondisi struktural. Selain itu, regulasi industri pers yang sepenuhnya diserahkan kepada “the invisible hand” mekanisme pasar tidak selalu identik dengan kebebasan pers atau kebebasan publik untuk mengemukakan pendapat, untuk memperoleh akses ke media, atau memperoleh keragaman opini, versi, dan perspektif pemberitaan.96 Karena itu, tekanan pasar –yang tidak hanya berupa pemenuhan selera publik dan kepentingan pengiklan– serta kepentingan-kepentingan akumulasi modal, secara sistematis berpotensi mempengaruhi kualitas kebebasan pers di tanah air dalam berbagai segi. Pertama, hanya media yang mampu memenuhi permintaan pasar, khususnya pasar pengiklan, yang akan terus bertahan. Kedua,
95 96
Ibidt, hal: 452. Ibid, hal: 453.
60
isu-isu yang ditampilkan oleh media cenderung terbatas pada isu-isu yang tidak bertentangan dengan kepentingan eskpansi dan akumulasi modal di sektor industri media. Ketiga, bagi kelompok publik yang tidak memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan kekuatan massa, peluang untuk memperoleh akses ke media guna menyuarakan isu kepentingan mereka tentu akan diperkecil oleh kepentingan industri yang cenderung menampilkan berita yang memiliki nilai jual atau memiliki bobot politik, karena menyangkut kepentingan kelompok politik yang besar dan terorganisir.97 Keempat, sejumlah isu sosial, yang sebenarnya menyangkut kebutuhan dasar segmen masyarakat tertentu, seperti isu tunawisma dan pengangguran cenderung dinilai tidak memiliki nilai berita yang bisa dijual. Kelima, dominasi kepentingan akumulasi modal dan keuntungan industri media akan membuat akses ke media amat terbatas, yaitu hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi. Keenam, era liberalisasi industri pers dewasa ini juga amat berpotensi menciptakan hambatan bagi berkembangnya pers yang bebas, yang mampu menyuarakan berbagai kepentingan publik dan memberikan akses memadai kepada publik.98 Dengan demikian, kebebasan pers dalam konteks liberalisasi industri pers dewasa ini tidak secara langsung merupakan kebebasan pers yang fungsional bagi proses-proses demokratisasi. Di satu pihak, institusi pers sebagai satu kombinasi antara kegiatan pers dan kepentingan modal memang telah terbebas dari kekangan 97 98
Ibid, hal: 454. Ibid, hal: 455.
61
rezim penguasa, namun di lain pihak tampak semakin tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses “alami” akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditi informasi. Kebebasan pers yang fungsional bagi proses demokratisasi, yaitu kebebasan pers yang mampu menciptakan public sphere dalam sebuah sistem demokrasi -dimana wacana publik mengenal legitimasi penguasa berlangsung dalam kawasan yang relatif terlindung dari intervensi politik penguasa dan penetrasi kepentingan modal- masih harus terus diperjuangkan oleh publik.
6. Pers dan Tekanan Massa Meskipun setelah masa reformasi pers bebas dari tekanan penguasa dan tidak ada lagi aturan-aturan yang mengancam kebebasan pers, namun hal itu tidak berarti pers benar-benar bebas. Ada fenomena yang cukup menonjol dalam pers Indonesia, di mana jurnalis mengalami berbagai tekanan baik bersifat fisik seperti penembakan, pemukulan, penusukan dan penghilangan, maupun kekerasan non fisik seperti ancaman, teror, penghinaan, pelecehan dan pelarangan meliput.99 Jika pada masa sebelumnya kekerasan dilakukan oleh aparat pemerintah/militer/polisi, trend yang terjadi sekarang adalah kekerasan justru dilakukan oleh kelompok sipil yang merasa tidak puas dengan pemberitaan sebuah media. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Mei 2000 sampai Mei 2001 telah terjadi beberapa serangan fisik yang dilakukan oleh satgas partai poltik, ormas sipil
99
Hanif Suranto dkk, Laporan Tahunan 1998/1999 Pers Indonesia Pasca Soeharto, Setelah Tekanan Penguasa Melemah, Jakarta: LSPP dan AJI, 1999, hal: 62
62
bahkan mahasiswa.100 Hampir setiap bulan selalu terjadi tindak kekerasan terhadap wartawan, mulai dari sekedar ancaman hingga penculikan dan penganiayaan berat yang akibatkan jatuhnya korban jiwa. Pada periode tersebut AJI mencatat terjadi 88 kasus kekeraan terhadap wartawan oleh masyarakat sipil. Pelakunya adalah ormas dan underbow organisasi politik tertentu, beberapa di antaranya adalah bagian dari kelompok berkuasa saat itu seperti Satgas PDIP, Banser/Ansor, dan pendukung Bupati/Walikota.101 Selain dilakukan oleh kelompok yang menjadi bagian dari kelompok penguasa, kerasan terhadap wartawan juga dilakukan oleh ormas-ormas yang membawa nama kelompok besar masyarakat, etnis lokal mayoritas, serta kelompok massa yang membawa nama Islam. Peristiwa penyerbuan yang menarik perhatian publik adalah pendudukan kantor Jawa Pos oleh orang-orang NU dan Banser-Ansor. Kejadian tersebut dipicu oleh pemberitaan Jawa Pos yang menampilkan berita tentang PKB dan PBNU dengan menampilkan infografis gambar ketua PBNU Hasyim Muzadi, padahal seharusnya yang terpasang adalah gambar Hasyim wahid. Akibat pendudukan tersebut aktivitas jurnalistik tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga pada hari berikutnya surat kabar Jawa Pos tidak terbit. Kelompok yang membawa atribut Islam sepanjang tahun 2000-2001 tercatat telah melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis dan media sebanyak 11 kali.102 Paling banyak dilakukan oleh Laskar Jihad yakni 7 kali, pelaku lainnya
100
Eddy Suprapto dkk, Annual Report 2000-2001:Euforia, Konsentrasi Modal dan Tekanan Massa, AJI, Jakarta, 2001, hal: 77 101 Ibid, hal: 80 102 Ibid, hal: 81
63
adalah Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta (FKUIS), Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Front Pembela Islam (FPI) dan Front Umat Islam (FUI). Beberapa wartawan dari BBC, AFP, serta wartawan freelance ditangkap dan dianiaya ketika hendak meliput aktivitas di kamp latihan Laskar Jihad. Mereka juga diancam akan dibunuh jika memberitakan peristiwa tersebut. Di Solo, FKUIS menuntut Pos Kita minta maaf di lima media cetak karena memuat berita yang dinilai tendensius dan provokatif karena memuat berita tentang ancaman pembakaran gereja-gereja di Solo. Pengusaha juga ikut melakukan tindakan kekerasan terhadap wartawan, masalahnya juga hampir sama, yakni tidak puas dengan pemberitaan yang dibuat oleh media. Kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha biasanya dilakukan sendiri atau memakai tangan orang lain. Wartawan harian Lantang diculik selama tiga hari dan dianiaya oleh sidikat pembuat vcd porno, diduga terkait dengan pemberitaan tentang sindikat pembuat vcd porno yang melibatkan bintang lokal berusia muda. Sedangkan Mustafa, wartawan harian Utusan diculik dan disekap selama berjam-jam karena mengungkap kegiatan bisnis Among, pengusaha Riau, karena kegiatan bisnis tersebut mengandung manipulasi.103 Kekerasan oleh pengusaha terhadap pers juga terjadi pada tahun 2003, anak buah Tomy Winata menyerbu kantor redaksi Tempo terkait berita tentang dugaan keterlibatan Tomy Winata dalam proyek Pasar Tanah Abang. Kasus ini Akhirnya masuk ke pengadilan.
103
Ibid, hal: 89
64