BAB II TINJAUAN TEORI
A. Definisi dan Anatomi Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal. Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar (Walley, 1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan. Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
5
Gambar 1. Sistem Pencernaan Tubuh Manusia (Sumber: Syaifuddin, 1997)
6
Susunan saluran pencernaan terdiri dari: 1. Mulut (oris) Terdiri dari 2 bagian: a. Bagian luar yang sempit / vestibula yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir, dan pipi 1) Bibir Disebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan disebelah dalam ditutupi oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutupi bibir. Levator anguli oris mengangkat dan depressor anguli oris menekan ujung mulut. 2) Pipi, dilapisi dari dalam oleh mukosa yang mengandung papila, otot yang terdapat pada pipi adalah otot buksinator. 3) Gigi b. Bagian rongga mulut atau bagian dalam, yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis disebelah belakang bersambung dengan faring. c. Palatum terdiri atas 2 bagian yaitu:Palatum Durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah tulang maksilaris dan lebih kebelakang terdiri dari 2 tulang palatum. Palatum Mole (palatum lunak) terletak dibelakang yang merupakan lipatan menggantung yang dapat bergaerak, terdiri atas jaringan Fibrosa dan selaput lendir.
7
d. Lidah Terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja otot lidah ini dapat digerakkan kesegala arah. Lidah dibagi atas 3 bagian: 1) Radiks Lingua = pangkal lidah 2) Dorsum lingua = punggung lidah 3) Apeks Lingua = ujung lidah Pada pangkal lidah yang belakang terdapat epligotis. Punggung
lidah
(dorsum
lingua),
terdapat
putting-putting
pengecap/ujung saraf pengecap. Frenulum lingua, merupakan selaput lendir yang terdapat pada bagian bawah kira-kira ditengah-tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak selaput lendir. Flika sub lingua, terdapat disebelah kiri dan kanan frenulum lingua. Disini terdapat pula lipatan selaput lendir. Pada pertengahan flika sub lingua ini terdapat saluran dari glandula parotis, sub maksilaris dan glandula sub lingualis. 1) Kelenjar Ludah Merupakan kelenjar yang mempunyai duktus yang bernama duktus wartoni dan duktus stnsoni. Kelenjar ludah ada 2,yaitu: a) Kelenjar ludah bawah rahang (kelenjar submaksilaris) yang terdapat di bawah tulang rahang atas pada bagian tengah. b) Kelenjar ludah bawah ludah (kelenjar sublingualis) yang terdapat disebelah depan dibawah lidah.
8
Dibawah kelenjar ludah bawah rahang dan kelenjar ludah bawah lidah diantara lipatan bawah lidah bagian bawah dari lidah disebut koronkula sublingualis serta hasil sekresinya berupa kelenjar luadah (saliva). Saliva dihasilkan didalam rongga mulut disekitar rongga mulut. Disekitar rongga mulut terdapat 3 buah kelenjar ludah yaitu: c) Kelenjar parotis, letaknya dibawah depan dari telinga diantara prosesus mastoid kiri dan kanan os mandibular,duktusnya duktus stensoni.Duktus ini keluar dari glandula parotis menuju kerongga mulut melalui pipi (muskulus buksinator) d) Kelenjar submaksilaris, terletak dibawah rongga mulut bagian belakang, duktusnya bernama duktus wartoni, bermuara di rongga mulut bermuara didasar rongga mulut. Kelenjar ludah didasari oleh saraf-saraf tak sadar. 2) Otot lidah Otot ekstrinsik lidah berasal darirahang bawah (M.mandibularis, oshitoid dan prosesus steloid) menyebar kedalam lidah membentuk anyaman bergabung dengan otot intrinsik yang terdapat pada lidah. M.Genioglossus merupakan otot lidah yang terkuat berasal dari permukaan tengah bagian dalam yang menyebar sampai ke radiks lingua.
9
2. Faring (tekak) Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan (esofagus), didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit. Disini terletak persimpangan antara jalan nafas dengan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang. Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung dengan perantaran lubang bernama koana. Keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantara lubang yang disebut ismus fausium. Tekak terdiri dari: a. Bagian superior (nasofaring ),bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. b. Bagian media (orofaring),berbatas kedepan sampai diakar lidah bagian superior disebut faring = faring yang menghubungkan tekak dengan tenggorokan (trakea). c. Bagian inferior = bagian yang sama tinggi dengan faring. 3. Esofagus (kerongkongan) Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai masuk kardiak dibawah lambung.
10
Lapisan dinding esofagus dari dalam ke luar terdiri dari : lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler dan lapisan otot memanjang longitudinal. Esofagus terletak dibelakang trakea dan didepan tulang punggung setelah melalui toraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung. 4. Gaster (Lambung) Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama didaerah epigaster.Lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak dibawah diafragma didepan pankreas dan limpa, menempel disebelah kiri fundus uteri. Lambung terdiri dari 6 bagian yaitu : a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol keatas terletak di sebelah kiri osteum kardium dan biasanya penuh berisi gas. b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada bagian bawah kurvatura minor. c. Antrum pylorus,bagian lambung berbebtuk tabung mempunyai otot yang tebal membentuk sfingter pilorus. d. Kurvantura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum kardiak sampai ke pilorus. e. Kurvantura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor. Terbentang dari sisi kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju
11
kekanan sampai ke pilorus anterior. Ligamen gastro linealis terbentang dari bagian atas kurvatura mayor sampai ke limpa. f. Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana esofagus bagian abdomen masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik. 5. Intestinum minor (usus halus) Adalah bagian dari system pencernaan makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada seikum, panjangnya kurang lebih 6 meter. Lapisan usus halus retdiri dari : lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan
otot
melingkar
(m.sirkuler),
lapisan
otot
memanjang
(m.longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah liar). a. Duodenum (usus 12 jari) Panjangnya kurang lebih 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung kanan kiri. Pada lengkungan ini terdapat pancreas. Dan bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit disebut papilla vateri. Pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledukus) dan saluran pancreas (duktus pankreatikus). b. Yeyenum dan ileum, mempunyai panjang kurang lebih 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah yeyenum dengan panjang kurang lebih 2-3 meter dan ileum dengan panjang kurang lebih 4-5 meter. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.
12
Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mensentrika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk mesenterium.
Sambungan
antara
yeyenum
dan
ileum
tidak
mempunyai batas yang tegas. Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoseikalis, orifisium ini diperkuat dengan sfingter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukini. Mukosa usus halus, permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan pencernaan dan absorbsi. Lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan submukosa yang dapat memperbesar permukan usus. Pada penampang melintang vili dilapisi oleh epitel dan kripta yang menghasilkan bemacam-macam hormone jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan. 6. Intestinum Mayor (usus besar) Panjangnya kurang lebih 1,5 meter lebarnya 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang,dan jaringan ikat. Lapisan usus besar terdiri dari : a. Seikum Di bawah seikum terdapat appendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga jaga umbai cacing, panjangnya 6 cm.
13
b. Kolon asendens Panjangnya 13 cm terletak dibawah abdomen sebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati membengkak ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum. c. Appendiks (usus buntu) Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir seikum mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan dapat di lewati oleh beberapa isis usus. Appendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor terletak horisontal di belakang seikum. d. Kolon transversum Panjangnya kurang lebih 38 cm, membujur dari kolon asendens sampai ke kolon desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura linealis. e. Kolon desendens Panjangnya kurang lebih 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke bawah dari fleksurs linealis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid. f. Kolon sigmoid Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S. Ujung bawahnya berhubung dengan rectum.
14
g. Rectum Terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga di depan os sakrum dan os koksigis. h. Anus Adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rectum dengan dunia luar (udara luar). Terletak diantara pelvis terletak diantara pelvis, dinding diperkuat oleh 3 sfingter : Sfingter ani internus, sfingter levator ani, sfingter ani eksternus i. Pankreas Merupakan kumpulan kelenjar yang mempunyai saluran, masingmasing kelenjar bersatu di duktus pankreatikus. Pankreas berfungsi sejumlah enzim yaitu lipase, enzim-enzim proteolitik, amilase asam nukleat. Selain itu juga menghasilkan hormon glukagon dan insulin. j. Hepar Terletak pada bagian atas rongga abdomen disebelah kanan bawah diafragma, menghasilkan empedu yang disimpan dalam kandung empedu.Hati memilki saluran yang disebut duktus hepatikus bertemu dengan duktus sistikus dari kandung empedu di duktus koledokus. Empedu dalam hepar mengandumg garam empedu yang membantu
15
dalam proses metabolisme lemak, pigmen-pigmen feses, kolesterol, gram dan air. (Syaifuddin,1997)
B. Etiologi Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya. Faktor predisposisi Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :
16
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe). 2. Kelainan sistem pencernaan. 3. Kelainan sistem pekemihan. 4. Kelainan tulang belakang.
C. Klasifikasi Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu : 1. Tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu. 2. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalan keluar tinja. Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu : a. Anomali rendah Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
17
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius. b. Anomali intermediet Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal. c. Anomali tinggi Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm. Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I
dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia
rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonium maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
18
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1 cm dari kulit pada invertogram, perlu juga dilakukan pembedahan.
19
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1cm dari kulit dapat segera dilakukan pembedahan definitive. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
D. Patofisiologi Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan. Berkaitan dengan sindrom down. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan. Terdapat tiga macam letak : 1. Tinggi (supralevator) : Rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit
20
perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital. 2. Intermediate
:
Rectum
terletak
pada
m.levator
ani
tapi
tidak
menembusnya. 3. Rendah : Rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
E. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi, 2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996). Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
F. Pemeriksaan Penunjang Untuk
memperkuat
diagnosis
sering
diperlukan
pemeriksaan
penunjang sebagai berikut : 1. Pemeriksaan radiologis Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
21
2. Sinar X terhadap abdomen Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya. 3. Ultrasound terhadap abdomen Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor. 4. CT Scan Digunakan untuk menentukan lesi. 5. Pyelografi intra vena Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter. 6. Pemeriksaan fisik rectum Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari. 7. Rontgenogram abdomen dan pelvis Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
22
G. Pathway Keperawatan Gangg. pertumbuhan Fusi Pembentukan anus dari tonjolan embriogenik
ATRESI ANI
Feses tidak keluar
Vistel rektovaginal
Feses Menumpuk
Feses masuk ke uretra
Mikroorganisme masuk saluran kemih Peningkatan tekanan intra abdominal
Reabsorbsi sisa metabolisme oleh tubuh Dysuria
Mual, muntah Operasi: Anoplasti, Colostomi
Keracunan
Resiko nutrisi kurang dr kebthan
Perubahan defekasi
G3 rasa nyaman
G3 Eliminasi BAK
Resti nyeri
Trauma jaringan
Pengeluaran tdk terkontrol
Iritasi mukosa
Resti kerusakan integritas kulit
Nyeri
Perawatan tidak adekuat
Gngguan rasa nyaman
Resti Infeksi
(Sumber : Rahmat Yuwono, 1999)
23
H. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Medis a. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital. b. Colostomi sementara 2. Penatalaksanaan Keperawatan a. Pengkajian Diperlukan mengetahui
pengkajian
masalah
pasien
yang
cermat
dengan
tepat,
dan sebab
teliti
untuk
pengkajian
merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi : 1) Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah. 2) Pola nutrisi – Metabolik Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari anestesi. 3) Pola Eliminasi Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi
24
kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley & Wong, 1996). 4) Pola Aktivitas dan Latihan Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot. 5) Pola Persepsi Kognitif Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan. 6) Pola Tidur dan Istirahat Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi. 7) Konsep Diri dan Persepsi Diri Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges, 1993). 8) Peran dan Pola Hubungan Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran (Doenges, 1993).
25
9) Pola Reproduktif dan Sexual Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges, 1993). 10) Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges, 1993). 11) Pola Keyakinan dan Nilai Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana, 1998). b. Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996). c. Diagnosa Keperawatan Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh
26
diagnosa keperawatan yang spesifik. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu: 1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001). 2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges,1993). 3) Gangguan
integritas
kulit
berhubungan
dengan
kolostomi
(Doenges,1993). 4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges, 1993). 5) Kecemasan keluarga berhubungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi (Suriadi, 2001). 6) Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges, 1993). 7) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges, 1993). 8) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan penumpuksan secket berlebih (Doenges, 1993). 9) Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Whaley & Wong, 1996). d. Intervensi Keperawatan Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut :
27
1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik) berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi, 2001). Tujuan yang diharapkan yaitu terjadi peningkatan fungsi usus, dengan kriteria hasil : pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek, terbentuknya tinja, tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan. Intervensi : a) Dilatasikan anal sesuai program. b) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal. 2) Gangguan
integritas
kulit
berhubungan
dengan
kolostomi
(Doenges, 1996). Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi gangguan integritas kulit, dengan kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti. Intervensi : a) Kaji area stoma. b) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma. c) Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma. d) Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran stoma.
28
e) Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma. 3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges, 1993). Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal. Intervensi : a) Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau perawatan. b) Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi. c) Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih. d) Pantau dan batasi pengunjung, beri isolasi jika memungkinkan. e) Beri antibiotik sesuai advis dokter. 4) Bersihan
jalan
nafas
tidak
efektif
berhubungan
dengan
penumpukkan sekret berlebih (Doenges, 1993). Tujuan yang diharapkan adalah mempertahakan efektif jalan nafas, mengeluarkan sekret tanpa bantuan dengan kriteria hasil : bunyi nafas bersih, menunjukkan perilaku perbaikan jalan nafas misalnya, batuk efektif dan mengeluarkan sekret. Intervensi : a) Kaji fungsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot tambahan.
29
b) Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif, catat karakter, jumlah spuntum, adanya hemaptoe. c) Berikan posisi semi fowler dan Bantu pasien untuk batuk efektif dan latihan nafas dalam. d) Bersihkan secret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan. e) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi. f) Kolaborasi pemberian mukolitik dan bronkodilator. 5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges, 1993). Tujuan yang diharapkan adalah kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi, dengan
kriteria hasil : menunjukkan peningkatan BB, nilai
laboratorium normal, bebas tanda mal nutrisi. Intervensi : a) Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan. b) Kaji kesukaan makanan anak. c) Beri makan sedikit tapi sering. d) Pantau berat badan secara periodik. e) Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk makan. f) Beri perawatan mulut sebelum makan. g) Berikan isirahat yang adekuat.
30
h) Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan kalori sesuai program diit. 6) Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi (Suriadi, 2001 : 159). Tujuan yang diharapkan adalah memberi support emosional pada keluarga, dengan kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan
dan
pemahaman
terhadap
kebutuhan
intervensi
perawatan dan pengobatan. Intervensi : a) Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan. b) Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah. c) Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien. d) Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien. e) Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan pengkajian. 7) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges, 1996). Tujuan yang diharapkan adalah pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien akan tampak rileks, dengan kriteria hasil : ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.
31
Intervensi : a) Tanyakan pada pasien tentang nyeri. b) Catat kemungkinan penyebab nyeri. c) Anjurkan pemakaian obat dengan benar untuk mengontrol nyeri. d) Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi. 8) Resiko
tinggi
terhadap
konstipasi
berhubungan
dengan
ketidakadekuatan masukan diit (Doenges, 1993). Tujuan yang diharapkan adalah pola eliminasi sesuai kebutuhan, dengan kriteria hasil : BAB 1x/hari, feses lunak, tidak ada rasa nyeri saat defekasi. Intervensi : a) Auskultasi bising usus. b) Observasi pola diit dan itake cairan 9) Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1996). Tujuan yang diharapkan adalah pasien mau menerima kondisi dirinya sekarang, dengan kriteria hasil : pasien mentatakan menerima perubahan ke dalam konsep diri tanpa harga diri rendah, menunjukkan penerimaan dengan merawat stoma tersebut, menyatakan perasaannya tentang stoma. Intervensi : a) Kaji persepsi pasien tentang stoma.
32
b) Motivasi pasien untuk megungkapkan perasaannya. c) Kaji ulang tentang alasan pembedahan. d) Observasi perilaku pasien. e) Berikan kesempatan pada pasien untuk merawat stomanya. f) Hindari menyinggung perasaan pasien atau pertahankan hubungan positif. 10) Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Walley & Wong, 1996). Tujuan yang diharapkan adalah pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah, dengan kriteria hasil keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawata untuk bayi di rumah. Intervensi : a) Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan perawatan. b) Ajarkan untuk mengenal tanda – tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat. c) Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal secara tepat. d) Ajarkan cara perawatan luka yang tepat. e) Latih pasien untuk kebiasaan defekasi. f) Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat)
33
e. Implementasi Keperawatan Seperti tahap lainnya dalam proses keperawatan fase pelaksanaan terdiri dari : validasi rencana keperawatan, dokumentasi rencana keperawatan dan melakukan tindakan keperawatan. 1) Validasi rencana keperawatan Suatu tindakan untuk memberikan kebenaran. Tujuan validasi data adalah menekan serendah mungkin terjadinya kesalahpahaman, salah persepsi. Karena adanya potensi manusia berbuat salah dalam proses penilaian. 2) Dokumentasi rencana keperawatan Agar rencana perawatan dapat berarti bagi semua pihak, maka harus mempunyai landasan kuat, dan bermanfaat secara optimal. Perawat hendaknya mengadakan pertemuan dengan tim kesehatan lain untuk membahas data, masalah, tujuan serta rencana tindakan. 3) Tindakan keperawatan Meskipun
perawat
sudah
mengembangkan
suatu
rencana
keperawatan yang maksimal, kadang timbul situasi yang bertentangan
dengan
tindakan
yang
direncanakan,
maka
kemampuan perawat diuji untuk memodifikasi alat maupun situasi. f. Evaluasi Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terus menerus dengan melibatkan klien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam
34
hal ini diperlukan pengetahuan kesehatan dan strategi evaluasi. Tujuan dari evaluasi adalah menilai apakah tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.
35