BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Implementasi dalam Pelaksanaan Kebijakan Implementasi merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan (Ripley et al, 1982). Implementasi kebijakan menurut Howlet et al (1995) dikutip oleh Subarsono (2012) yaitu suatu proses melaksanakan kebijakan agar mencapai hasil. Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat (Akib, 2008). Dalam implementasi suatu kebijakan akan dinilai siapakah yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan, apa yang mereka kerjakan dan bagaimana dampak dari kebijakan tersebut bagi lingkungan (Subarsono, 2012). Van Meter dan van Horn (1975) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saransaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikan, tahap implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
10
11
Ripley (1986) memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kebijakan. Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan pelaksana agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian. Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan pelaksana kebijakan mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan pelaksana kebijakan melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual. Keberhasilan
kebijakan
dikaji
berdasarkan
perspektif
proses
implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya (Akib, 2008).
12
Berdasarkan pengertian implementasi di atas, van Meter dan van Horn (1975) mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu Implementasi yang disebut dengan
A Model of The Policy
Implementation , yaitu: 1.
Ukuran - ukuran dasar dan tujuan kebijakan Ukuran dasar dan tujuan kebijakan harus tersusun dengan jelas, diperlukan untuk mengarahkan dalam pelaksanaan program kebijakan, agar sesuai dengan program yang sudah direncanakan. Tujuan kebijakan dalam pelaksanaan konseling dengan menggunakan ABPK adalah adanya peningkatan pengetahuan peserta yang dapat mendorong kelestarian kepesertaan program KB dan mencegah terjadinya kejadian drop out peserta KB, serta meningkatkan kualitas penggunaan dan cakupan peserta KB.
2.
Sumber daya Sumber daya dalam kebijakan merupakan salah satu kunci keberhasilan implementasi program kebijakan yang dipengaruhi oleh pemanfaatan sumber daya manusia (penerima program, pelaksana program dan pembuat kebijakan), biaya, waktu serta sarana prasarana. Dalam implementasi kebijakan, sumber daya manusia merupakan penggerak dan pelaksana program, dengan dukungan modal untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak terhambat serta adanya waktu yang mendukung pelaksanaan program tersebut.
13
3.
Karakteristik badan pelaksana Ciri dari badan pelaksana/instansi menjadi hal yang penting, karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat dipengaruhi oleh ciriciri yang tepat dengan badan pelaksana. Karakteristik badan pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi. Subarsono (2012) menyatakan bahwa kualitas suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri para aktor pelaksana, diantaranya
tingkat
pendidikan,
kompetensi
dalam
bidangnya,
pengalaman kerja dan integritas sosial. 4.
Kondisi ekonomi, sosial dan politik Kondisi ekonomi, sosial dan politik mempunyai pengertian sejauh mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, serta bagaimana dampak kebijakan publik yang telah tersusun terhadap lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
5.
Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan pelaksanaan Komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan, yang tidak hanya dalam organisasi, namun antar organisasi yang berkaitan. Pelaksana kebijakan dalam memberikan pelayanan publik akan dipengaruhi oleh bagaimana cara, standar dan tujuan komunikasi antar pelaksana dan sejauh mana standar dan tujuan tersebut dapat berfungsi sebagai sarana pengawasan dan penegakan hukum.
14
6.
Sikap para pelaksana/disposisi implementor Sikap pelaksana dalam menjalankann tugas dan tanggung jawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin dalam menjalankan tugas sesuai tugas pokok dan fungsinya sehingga dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan. Tiga hal penting yang perlu ada dalam sikap para pelaksana antara lain yaitu respon para pelaksana/implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, pemahaman pelaksana mengenai isi kebijakan dan intensitas implementor.
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan Ukuran dan tujuan kebijakan
Karakteristik badan pelaksana
Disposisi Pelaksana
Kinerja Implementasi
Sumber daya Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Gambar 2.1. Model Implementasi Kebijakan (Sumber : van Meter & van Horn,1975) B. Konseling 1.
Pengertian Secara etiomologi, konseling berasal dari bahasa Latin “Consilium” artinya dengan atau bersama yang dirangkai menerima atau memahami sedangkan dalam bahasa Angglo Saxon istilah konseling berasal dari
15
“Sellan” yang berarti menyerahkan atau menyampaikan. Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah yang berakhir pada teratasinya masalah yang dihadapi peserta. Bantuan yang diberikan
kepada
individu
yang
sedang
mengalami
hambatan,
memecahkan sesuatu melalui pemahaman terhadap fakta,harapan, kebutuhan dan perasaan peserta (Sagala, 2011). Konseling adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dengan panduan keterampilan interpersonal,
bertujuan
untuk
membantu
seseorang
mengenali
kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar atau upaya untuk mengatasi masalah tersebut (Sulastri, 2009). Konseling merupakan aspek yang sangat penting dalam pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi. Dengan melakukan konseling berarti petugas membantu dalam memilih dan memutuskan jenis kontrasepsi yang akan digunakan sesuai dengan pilihannya dan disamping itu dapat membuat merasa lebih puas (Siswanto, 2010). Pietrofesa dikutip oleh Nurihsan (2010) menunjukan sejumlah ciriciri konseling profesional sebagai berikut : a.
Konseling merupakan suatu hubungan profesional yang diadakan oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk pekerjaannya itu.
b.
Dalam hubungan yang bersifat profesional itu, peserta mempelajari keterampilan pengambilan keputusan,pemecahan masalah, serta tingkah laku atau sikap baru.
16
c.
Hubungan profesional itu dibentuk berdasarkan kesukarelaan antara peserta dan konselor. Konseling merupakan bagian dari proses Komunikasi, Informasi
dan Edukasi (KIE). Diharapkan
melalui KIE dapat meningkatkan
pengetahuan mengenai cara memilih alat kontrasepsi dan metode/alat kontrasepsi yang digunakan sesuai bagi peserta sehingga angka drop out dapat diperkecil dan membina kelestarian peserta KB. Melalui proses KIE calon peserta atau yang sudah menjadi peserta KB mendapat informasi yang tepat tentang jenis kontrasepsi, keuntungan, kerugian, efek samping dari penggunaan kontrasepsi, kepuasan terhadap salah satu kontrasepsi serta keinginan untuk mendapatkan pelayanan ulang dari kontrasepsi yang telah digunakan. Setelah mendapatkan informasi maka calon peserta atau peserta dapat mengambil keputusan untuk memilih dan memakai metode kontrasepsi. Proses KIE diharapkan meningkatkan motivasi dan terjadi peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam menggunakan KB, melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga sehingga tercapai norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (Handayani, 2010). 2.
Tujuan Konseling dalam Pelayanan KB a. Meningkatkan penerimaan Dalam proses konseling, peserta akan mendapatkan informasi yang benar mengenai program KB, diskusi bebas, berbicara dan
17
komunikasi secara non verbal dengan pemberi pelayanan. Dengan komunikasi interpersonal dan kedekatan yang baik antara peserta dan pemberi pelayanan, dapat meningkatkan penerimaan KB oleh peserta terhadap informasi yang telah diberikan selama konseling. b. Menjamin pilihan yang cocok. Dengan adanya konseling yang baik, maka diharapkan metode kontrasepsi yang dipilih peserta merupakan metode yang sesuai dengan pilihan dan kebutuhan peserta, sehingga peserta merasa cocok dan nyaman selama menggunakan metode yang telah dipilih. c. Menjamin penggunaan cara yang efektif. Konseling yang efektif diperlukan agar peserta mengetahui bagaimana menggunakan alat kontrasepsi dengan benar dan bagaimana cara mengatasi apabila terjadi efek samping ataupun informasi yang keliru tentang metode kontrasepsi yang digunakan. d. Menjamin kelangsungan KB yang lebih lama. Peserta yang memahami profil alat kontrasepsi yang digunakan, akan dapat memilih metode kontrasepsi secara bertanggung jawab, dan melakukan kunjungan ulang apabila terdapat efek samping maupun untuk mendapatkan metode ulang.
Dengan pengetahuan dan
pemahaman yang baik mengenai metode KB yang digunakan, peserta akan lebih memahami bagaimana yang harus dilakukan ketika terjadi efek samping penggunaan metode, sehingga kejadian drop out peserta bisa dicegah (Hartanto, 2010).
18
3.
Tempat dan Pemberi Pelayanan Konseling Tidak semua sarana kesehatan dapat dijangkau oleh klien, oleh karena itu tempat pelayanan konseling ada 2 (dua) jenis tempat pelaksanaan konseling, yaitu konseling di lapangan dan klinik. a.
Konseling KB di lapangan. Dilaksanankan oleh : petugas di lapangan ( PPLKB, PLKB, PKB, PPKBD, Sub PPKBD, dan Kader yang sudah mendapatkan pelatihan konseling yang standar Informasi yang diberikan, mencakup : 1) Pengertian manfaat perencanaan keluarga. 2) Proses terjadinya kehamilan/reproduksi sehat. 3) Informasi berbagai kontrasepsi yang benar dan lengkap (cara kerja, manfaat, memungkinan efek samping, komplikasi, kegagalan, kontraindikasi, tempat pelayanan
kontrasepsi,
komplikasi, kegagalan, ko yang dimaksud bisa diperoleh, rujukan dan biaya). 4) Informasi tentang berbagai metode kontrasepsi. b.
Konseling di klinik/ fasilitas kesehatan Dilaksanakan oleh petugas medis dan paramedis yang terlatih, yaitu : Dokter, Bidan, Perawat serta Bidan di desa. Dilakukan di fasilitas kesehatan dan diupayakan agar diberikan secara perseorangan di ruangan khusus. Informasi yang diberikan, mencakup : 1) Memberikan informasi kontrasepsi yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan klien.
19
2) Memastikan bahwa kontrasepsi pilihan klien telah sesuai dengan kondisi kesehatannya. 3) Membantu klien memilih kontrasepsi lain seandainya yang dipilih ternyata tidak sesuai dengan kondisi kesehatannya. 4) Merujuk klien seandainya kontrasepsi yang dipilih tidak tersedia di fasilitas kesehatan atau jika klien membutuhkan bantuan medis dari ahli seandainya dalam pemeriksaan ditemui masalah kesehatan lain (Kemenkes RI, 2014). 4.
Jenis Konseling a.
Konseling Awal Konseling awal bertujuan untuk memutuskan metode apa yang akan dipakai, didalamnya termasuk mengenalkan pada peserta semua cara KB atau pelayanan kesehatan, prosedur klinik, kebijakan dan bagaimana pengalaman peserta pada kunjungannya itu. Bila dilakukan dengan objektif, konseling awal membantu peserta untuk memilih jenis KB yang cocok untuknya. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat konseling awal antara lain menanyakan pada peserta cara apa yang disukainya, dan apa yang dia ketahui mengenai cara tersebut, menguraikan secara ringkas cara kerja, kelebihan dan kekurangannya.
b.
Konseling Khusus Konseling khusus mengenai metoda KB memberi kesempatan pada peserta untuk mengajukan pertanyaan tentang cara KB tertentu
20
dan membicarakan pengalamannya, mendapatkan informasi lebih rinci tentang cara KB ynag tersedia yang ingin dipilihnya, mendapatkan bantuan untuk memilih metoda KB yang cocok serta mendapat penerangan lebih jauh tentnag bagaimana menggunakan metoda tersebut dengan aman, efektif dan memuaskan. c.
Konseling Tindak Lanjut Bila peserta datang untuk mendapatkan obat baru atau pemeriksaan ulang maka penting untuk berpijak pada konseling yang dulu. Konseling pada kunjungan ulang lebih bervariasi dari pada konseling awal. Pemberi pelayanan perlu mengetahui apa yang harus dikerjakan pada setiap situasi. Pemberi pelayanan harus dapat membedakan antara masalah yang serius yang memerlukan rujukan dan masalah ynag ringan yang dapat diatasi di tempat (Hartanto, 2010).
5.
Tahap Konseling dalam Pelayanan KB Dalam pelayanan KB di Indonesia, tahapan konseling lebih dikenal sebagai SATU TUJU. SA
: SApa dan SAlam kepada peserta secara terbuka dan sopan. Berikan perhatian sepenuhnya kepada mereka dan berbicara di tempatyang nyaman serta terjamin privasinya. Tanyakan kepada peserta apa yang perlu dibantu serta jelaskan
T
: pelayanan apa yang diperoleh. Tanyakan kepada peserta informasi tentang dirinya. Bantu
21
peserta untuk berbicara mengalami pengalaman Keluarga Berencana. Tanyakan kontrasepsi yang diinginkan oleh U
: peserta. Coba tempatkan diri kita didalam hati peserta. Uraikan kepada peserta mengenai dan pilihannya dan diberi
TU
: tahu apa pilihan kontrasepsi, bantu peserta pada jenis kontrasepsi yang diingini. BanTUlah peserta menentukan pilihannya. Bantulah peserta berpikir mengenai apa yang paling sesuai dengan keadaan dan
J
: kebutuhannya.
Doronglah
peserta
untuk
U
: keinginannya dan mengajukan pertanyaan.
menunjukkan
Jelaskan secara lengkap bagaiman menggunakan kontrasepsi pilihannya. Perlunya dilakukan kunjungan Ulang. Bicarakan dan buatlah perjanjian kapan peserta akan kembali untuk melakukan pemeriksaaan lanjutan atau permintaan kontrasepsi jika dibutuhkan (Saifuddin, 2010).
C. Alat Bantu Pengambilan Keputusan 1. Pengertian Alat Bantu Pengambilan Keputusan ber KB merupakan suatu alat bantu yang digunakan oleh pemberi pelayanan KB untuk membantu peserta dalam membuat keputusan mengenai metode kontrasepsi yang akan digunakan, memberikan informasi yang lengkap mengenai pilihan
22
metode kontrasepsi, dan diharapkan nantinya peserta akan menggunakan metode kontrasepsi pilihannya dengan baik. ABPK ini merupakan suatu model alat bantu interaktif yang dapat membantu pemberi pelayanan dalam upaya pendekatan terhadap peserta dalam proses konseling KB (WHO, 2006). Dalam ABPK ini terdapat dua hal yang menjadi fokus, yaitu : a. Fokus terhadap kualitas ABPK disusun untuk meningkatkan kualitas program keluarga berencana pada tingkat pelayanan primer dan sekunder, sehingga diharapkan ABPK dapat memberikan kepuasan terhadap calon peserta ataupun peserta KB, peserta mau menggunakan salah satu metode kontrasepsi dengan aman dan sesuai dengan pilihannya. b. Fokus terhadap hak reproduksi Setiap wanita berhak memutuskan berapa jumlah anak dan jarak antar kehamilan dalam merencanakan keluarga. Dengan alat bantu ini peserta akan mendapatkan informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi
dan KB sehingga diharapkan dapat
meningkatkan peran peserta dalam memilih metode kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya (WHO, 2006). Di Indonesia, ABPK diterbitkan oleh STAR H bekerja sama dengan BKKBN dengan mengadopsi DMT menurut WHO (2006). ABPK Ber-KB tidak hanya berisi informasi mutakhir seputar kontrasepsi/KB namun juga
23
standar proses dan langkah konseling KB yang berlandaskan pada hak peserta KB (Kemenkes, 2015). 2. Tujuan ABPK a. Meningkatkan keterlibatan peserta secara penuh dalam pengambilan keputusan keluarga berencana sehingga mereka membuat keputusan mengenai metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan dengan kebutuhan mereka. b. Meningkatkan kualitas informasi yang akurat yang diberikan oleh pemberi pelayanan kepada peserta dalam program konseling KB dan kesehatan reproduksi c. Meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi pemberi pelayanan sehingga mereka dapat berinteraksi lebih baik dan positif kepada peserta dan memberikan kualitas pelayanan KB yang baik (WHO, 2006). 3. Fungsi ABPK ABPK merupakan alat bantu yang berfungsi ganda, sebagai : a. Membantu pengambilan keputusan metode KB b. Membantu pemecahan masalah dalam penggunaan KB c. Alat bantu kerja bagi pemberi pelayanan d. Menyediakan referensi/info teknis e. Alat bantu visual untuk pelatihan pemberi pelayanan baru (BKKBN, 2015).
24
4. Kelebihan ABPK ABPK dalam pelayanan KB merupakan suatu alat bantu yang berbeda dari flipchart biasa, karena dalam ABPK ini mempunyai kelebihan diantaranya : a. Membimbing pengambilan keputusan dan menyediakan informasi. b. Fokus pada pemilihan dan penggunaan metode KB sekaligus mencakup isu HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi lainnya. c. Proses tanggap/berorientasi terhadap peserta. d. Tiap peserta hanya melihat pada halaman yang relevan baginya. e. Berguna bagi peserta kunjungan ulang dan peserta dengan kebutuhan khusus (BKKBN, 2015) 5. Prinsip ABPK Penggunaan ABPK dalam program KB, menggunakan prinsip konseling yang baik, diantaranya adalah : a. Keputusan pilihan metode KB ada di tangan peserta. b. Pemberi pelayanan membantu peserta dalam mengambil keputusan. c. Pemberi pelayanan menghormati keinginan peserta. d. Pemberi pelayanan menanggapi pertanyaan, pernyataan dan kebutuhan peserta. e. Pemberi pelayanan mendengar peserta secara aktif (WHO, 2006; BKKBN, 2012).
25
6. Isi ABPK Isi dalam ABPK di Indonesia diadopsi dari panduan WHO (2006) yang telah didasari oleh evidence based bidang medis, komunikasi dan ilmu sosial, yaitu : a. Informasi teknis pada penggunaan kontrasepsi. Informasi ini diambil dari WHO dari dua dasar pedoman keluarga berencana, kriteria kelayakan medis untuk penggunakan kontrasepsi (WHO, 2004), dan praktek rekomendasi penggunaan kontrasepsi (WHO, 2005). b. Informasi teknis tambahan mengenai kontrasepsi dan topik-topik kesehatan reproduksi lainnya yang berasal dari panduan keluarga berencana, teknologi kontrasepsi essensial (JHU/PKC, 2003) dan pedoman kesehatan reproduksi WHO lainnya, yang termasuk bimbingan mengenai kontrasepsi darurat dan seksual infeksi menular. c. Proses konseling dalam penggunaan ABPK didasarkan pada model normatif pengambilan keputusan, dikembangkan oleh WHO dan JHU PKC, berdasarkan
penelitian pada komunikasi kesehatan dan
konseling. Dalam ABPK, terdapat beberapa bagian modul, yaitu : a. Modul 1, yang berisi konseling pada peserta baru. b. Modul 2 dan 3, berisi konseling pada peserta yang melakukan kunjungan ulang, baik pada peserta yang mengalami masalah pada metode kontrasepsi yang digunakan ataupun pada peserta yang ingin mendapatkan metode ulang.
26
c. Modul 4, berisi perlindungan ganda pada peserta yang menginginkan metode kontrasepsi dan ingin melindungi dari penularan penyakit menular seksual. d. Modul 5, berisi lembar tambahan ABPK e. Modul 6, berisi konseling pada peserta yang memiliki kebutuhan khusus yaitu remaja, masa mendekati menopause, nifas, dan peserta yang menderita HIV/ AIDS (BKKBN, 2011). 7. Dalam
menggunakan
ABPK,
seorang
pemberi
pelayanan
harus
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut (BKKBN, 2015) : a. Setiap lembar ABPK terdiri dari dua sisi yaitu satu sisi merupakan sisi yang dapat dibaca oleh pemberi pelayanan, sedangkan sisi lain merupakan hal yang dapat dibaca oleh peserta. b. Perhatikan halaman daftar isi yang terletak pada 4 halaman pertama APBPK. c. ABPK dilengkapi tab pemisah untuk memudahkan pemberi pelayanan menemukan topik yang dibutuhkan, yaitu : 1) Bagian pertama ABPK, ditandai dengan tab di sisi kanan membantu peserta baru dalam membuat keputusan tentang suatu metode KB serta membantu peserta yang melakukan kunjungan ulang dalam memecahkan masalah/efek samping yang mungkin timbul. 2) Bagian kedua, tab di sisi bawah berisi informasi mengenai masing masing metode KB bagi peserta. Informasi tersebut dapat memastikan
pilihan
pilihan
peserta
dan
membantu
peserta
27
menggunakan metode dengan benar. Masing-masing bab metode dalam ABPK berisi informasi tentang kriteria persyaratan medis, efek samping, cara pakai, waktu kunjungan ulang dan hal yang perlu diingat oleh peserta selama menggunakan metode KB. d. Bagian kiri atas tiap halaman ABPK merupakan judul dari topik yang dipilih. e. Perhatikan petunjuk yang terdapat pada bagian bawah halaman sebelum membuka halaman berikutnya sesuai kebutuhan peserta. f. Perhatikan nomor halaman yang berbeda untuk tiap topik yang berbeda. 8. Menggunakan ABPK untuk kondisi peserta KB yang berbeda Bagian awal dalam ABPK yang digunakan dalam pelayanan KB membantu pemberi pelayanan dalam melaksanakan konseling pada peserta KB dengan berbagai keluhan dan kebutuhan yang berbeda, yaitu : a. Peserta baru memerlukan bantuan untuk memilih metode yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Tab pemilihan metode dapat membantu pemberi pelayanan dalam membahas kebutuhan tersebut dan membantu peserta baru membuat keputusan. b. Semua peserta KB harus mempertimbangkan kebutuhan metode perlindungan ganda, yaitu perlindungan terhadap risiko penularan infeksi menular seksual (IMS), HIV/AIDS dan virus hepatitis B serta perlindungan terhadap kehamilan. Dengan melihat perkembangan saat ini risiko penularan IMS, HIV/AID dan Hepatitis B tinggi, setiap peserta harus memahami risiko dan upaya perlindungan diri. Apabila
28
terjadi kesulitan dalam memulai konseling mengenai hal tersebut, pemberi pelayanan harus menggunakan ketrampilan yang baik dalam membuka percakapan. c. Pada peserta dengan kebutuhan khusus, yang mencakup peserta dengan usia muda, ibu hamil/nifas, pasca aborsi,dan peserta yang menderita HIV/AIDS perlu dilakukan konseling secara khusus sesuai dengan kondisinya. d. Peserta yang melakukan kunjungan ulang dan memiliki masalah dalam penggunaan metode KB, atau peserta yang hanya ingin mendapatkan metode ulangan, maka tab klien dapat membantu memenuhi kebutuhan mereka (BKKBN, 2012). Berikut adalah ringkasan langkah kunci yang perlu pemberi pelayanan lakukan dengan berbagai jenis kondisi peserta KB yang berbeda : a. Pertama, bukalah tab selamat datang, dan temukan alasan kunjungan pada tab yang sesuai. b. Tab dengan warna hijau, yaitu pada peserta baru yang ingin memilih metode, tanyakan apakah sudah ada gambaran tentang metode pilihannya. Jika ada apakah pilihannya tersebut sesuai dengan kebutuan dan situasi peserta. Kaji mengenai kebutuhan perlindungan ganda. Jika tidak ada gambaran, diskusikan mengenai kebutuhan dan situasi peserta, kaji mengenai kebutuhan perlindungan ganda dan beberapa pilihan metode yang berbeda. Selanjutnya bukalah tab metode untuk
29
mengkaji metode secara lengkap dan memastikan pilihan peserta. Kemudian berikan metode yang telah dipilih peserta. c. Tab warna pink untuk peserta yang memerlukan perlindungan terhadap IMS, buka tab perlindungan ganda dan jelaskan kepada peserta, kemudian buka tab diskusikan pilihan peserta ,jika diperlukan bantu peserta menilai risiko, dan kecocokan pilihan. Selanjutnya bukalah tab metode untuk mengkaji metode secara lengkap dan memastikan pilihan peserta. Kemudian berikan metode yang telah dipilih peserta. d. Tab warna biru untuk peserta dengan kebutuhan khusus, buka halaman yang sesuai di bagian remaja, klien usia 40-an, hamil/post partum, post aborsi, dan yang menderita HIV/AIDS. e. Tab warna ungu untuk peserta yang melakukan kunjungan ulang, tanyakan metode yang dipakai adakah keluhan atau tidak. Bila tidak ada keluhan periksa kondisi kesehatan peserta dan kemungkinan perlu perlindungan ganda, berikan metode ulangan. Bila ada keluhan, bantu atasi efek samping atau apabila peserta ingin ganti cara buka tab metode untuk peserta baru. f. Pada halaman dengan tab warna orange, terdapat penjelasan mengenai metode KB yaitu tinjauan dan informasi dasar, kriteria persyaratan medis, kemungkinan efek samping, cara pakai, waktu memulai metode dan hal yang harus diingat.
30
Gambar 2.2. Alur Cara Menggunakan ABPK Pada Peserta KB Dengan Kebutuhan Berbeda (Sumber : Kemenkes RI, 2012) 9. Persiapan dan Cara Menggunakan ABPK a. Lembar balik ABPK diletakkan berdiri, sehingga pemberi pelayanan dan peserta KB bisa melihat halaman tersebut pada sisi masing-masing. Halaman pada sisi peserta dan pemberi pelayanan beri kata-kata yang sama dengan lebih banyak informasi dan saran pada sisi pemberi pelayanan dan lebih banyak gambar pada sisi peserta KB.
31
b. Pemberi pelayanan harus mempelajari terlebih dahulu media ABPK agar
bisa
membiasakan
diri
dengan
informasi
dan
cara
menggunakannya. c. ABPK hanya berisi hal pokok, upayakan ketika melakukan konseling dengan peserta gunakan komunikasi efektif dengan melibatkan peserta. d. Beberapa kata atau gambar kemungkinan tidak sesuai dengan keadaan tempat pelayanan, seperti metode KB yang tersedia, maka dalam ABPK bisa dicoret. e. Gunakanlah kalimat sendiri, informasi dalam ABPK hanya sebagai kata kunci. f. Pemberi pelayanan dapat membacakan informasi untuk peserta dan mendiskusikannya sesuai dengan kebutuhan.
D. Penelitian Yang Relevan Penelitian dengan judul Kinerja Program Konseling dengan Menggunakan Alat Bantu Pengambil Keputusan Ber-KB di Kabupaten Klaten, belum pernah dilakukan sebelumnya, namun terdapat penelitian yang mendekati penelitian ini, diantaranya adalah : 1. Kostania,
Gita
(2013),
dengan
judul
Pengaruh
Konseling
Menggunakan Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) Ber-KB Terhadap Penggunaan Intra Uterin Devices (IUD) (Studi Pre Eksperimen di Desa Platarejo Kecamatan Giriwoyo Kabupaten Wonogiri Tahun 2013). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini
32
yaitu konseling dengan menggunakan ABPK dan penggunaan IUD, dengan metode penelitian kuantitatif, pre eksperimen studi intact group, dengan metode pengambilan sampel purposive sampling dan tehnik analisa chi square. Hasil yang didapat yaitu terdapat pengaruh penggunaan ABPK ber KB dalam konseling terhadap penggunaan kontrasepsi IUD (X2=8,571). 2. Penelitian
yang
dilakukann
oleh
Rokhmah
(2014),
Evaluasi
Penggunaan Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) dalam Pelayanan Keluarga Berencana oleh Bidan Puskesmas di Kota Cirebon. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan hasil penelitian bahwa penggunaan ABPK oleh Bidan puskesmas dalam pelayanan KB belum berjalan dengan baik. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Rahimah tahun 2013 mengenai Efektifitas Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan Metode Ceramah dan Media Leaflet terhadap Pengambilan Keputusan PUS dalam Memilih Alat Kontrasepsi di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh efektifitas Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan metode ceramah dan media leaflet terhadap pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi. Jenis penelitian kuasi-eksperimental, dengan rancangan perlakuan ulang dengan menggunakan 3 kelompok, yaitu kelompok yang diberi intervensi metode ceramah, kelompok media leaflet dan kelompok kontrol. Alat pengumpulan data adalah
33
kuesioner dan uji yang digunakan adalah uji Wilcoxon dengan tingkat signifikasi (α) sebesar 0,05. Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa pengambilan keputusan responden sebelum diberikan intervensi dengan metode ceramah adalah 41,66% dengan kategori cukup dan sesudahnya mengalami peningkatan menjadi 56,18% dengan kategori cukup dan p value = 0,001. Pengambilan keputusan responden sebelum diberikan intervensi dengan media leaflet adalah 35,47% dengan kategori ragu-ragu dan sesudahnya mengalami peningkatan menjadi 67,38 % dengan kategori baik dan p value = 0,001. Hal ini berarti bahwa secara statistik dapat diketahui bahwa ada pengaruh pemberian Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) terhadap pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi dengan metode ceramah dan leaflet dimana nilai p<0,05 (p=0,001). Pada kelompok kontrol pengambilan keputusan pada saat pretest adalah 58,46 % dengan kategori cukup menjadi 65,38% pada saat postest dengan kategori baik. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh pengambilan keputusan dalam memilih alat kontrasepsi dimana nilai p>0,05 (p=0,068). 4. Penelitian yang dilakukan oleh Chandradewi (2013) berjudul “Pengaruh Pemberian Konseling Keluarga Berencana (KB) Terhadap Alat Kontrasepsi IUD Post Plasenta Di RSUP NTB Tahun 2013” yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian konseling KB terhadap pemilihan alat kontrasepsi IUD Post Plasenta di RSUP NTB
34
tahun 2013. Jenis penelitian yang digunakan yaitu eksperimen semu (quasi experiment) dengan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang bersalin di RSU Provinsi NTB mulai pada tanggal 5 Agustus sampai 15 Agustus tahun 2013 yaitu sejumlah 70 orang. Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel minimal sejumlah 30 sampel dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik non probability sampling dengan metode pengambilan sampel secara accidental. Setelah diberikan konseling KB, ibu bersalin yang memilih alat kontraspsi IUD Post Plasenta dan non IUD Post Plasenta sama banyak 50% dalam hal ini ada peningkatan keputusan memilih alat kontrasepsi IUD Post Plasenta. Dan secara statistic ada pengaruh pemberian konseling KB terhadap pemilihan alat
kontrasepsi IUD Post Plasenta dengan menggunakan uji
statistik paired t test didapatkan nilai p = 0,001 (p<0,05). 5. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2010) yang berjudul “Hubungan Konseling Keluarga Berencana (KB) dengan Pengambilan Keputusan Pasangan Usia Subur (PUS) dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi”. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan konseling Keluarga Berencana (KB) dengan pengambilan keputusan pasangan usia subur (PUS) dalam penggunaan alat kontrasepsi. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif jenis survei dan dilakukan pendekatan secara case control. Populasi dalam penelitian ini adalah semua PUS di Desa Karang Klesem Kecamatan Purwokerto Selatan, yaitu berjumlah 999 PUS. Jumlah Sampel dalam penelitian ini adalah 159 PUS, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu PUS akseptor KB dan PUS non akseptor KB. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan Agustus 2010 di Desa Karang Klesem Kecamatan
35
Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan Pasangan Usia Subur (PUS) akseptor KB mendapatkan konseling KB yaitu sebanyak 88 (100,0%) responden dan sebagian besar Pasangan Usia Subur (PUS) non akseptor KB tidak mendapatkan konseling KB yaitu 54 (76,1%) responden, dan hanya 17 (23,9%) responden yang mendapatkan konseling KB. Hasil anasilis secara statistik terdapat hubungan sangat signifikan antara konseling Keluarga Berencana (KB) dengan pengambilan keputusan Pasangan Usia Subur (PUS) dalam penggunaan alat kontrasepsi karena didapatkan hasil ρ=0,00.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada variabel
yang
diteliti
yaitu
pelaksanaan
konseling
dengan
menggunakan alat bantu pengambilan keputusan di Kabupaten Klaten, dengan desain penelitian kualitatif, pengambilan sampel purposive sampling, dengan menganalisa lima variabel dalam implementasi kebijakan menurut van Meter dan van Horn (1975), yaitu ukuran dasar kebijakan, sumber daya dalam kebijakan, karakteristik badan pelaksana, sikap para pelaksana dan komunikasi antar organisasi.
E. Kerangka Berpikir Kebijakan KB, kesehatan reproduksi dan kependudukan di Indonesia merupakan program MDGs yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan kesehatan wanita, menurunkan angka kematian ibu, dan meningkatkan jumlah wanita usia subur (WUS) yang terpenuhi kebutuhannya dalam KB. Salah satu kegiatan yang dilakukan yaitu konseling dengan menggunakan alat
36
bantu ABPK yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi, KB dan perencanaan keluarga. Upaya pemerintah untuk menunjang kebijakan tersebut yaitu dengan menyiapkan ukuran dasar dan tujuan kebijakan agar pelaksanaan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi berjalan terarah, menyiapkan tenaga kesehatan yang berkompeten (bidan) sebagai pemberi pelayanan kesehatan melalui jenjang pendidikan formal dan pelatihan kompetensi, serta penyediaan sarana prasarana sebagai pendukung pelaksanaan kegiatan. Sumber daya manusia yang berkompeten baik pada tingkat pembuat kebijakan dan pelaksana pelayanan KB dan kesehatan reproduksi akan menciptakan komunikasi antar organisasi dan karakteristik badan pelaksana yang baik sehingga program konseling dengan ABPK di lapangan bisa berjalan dengan baik. Program konseling dengan menggunakan ABPK ini menekankan kepada kemandirian peserta KB dalam memutuskan metode kontrasepsi yang akan digunakan sesuai dengan pilihan dan kebutuhannya dalam merencanakan keluarga. Hasil yang diharapkan dalam konseling menggunakan ABPK yaitu akan terbentuk pengetahuan, sikap dan perilaku peserta KB sehingga akan terjadi peningkatan kualitas penggunaan KB, penurunan angka kejadian drop out dan peningkatan cakupan peserta KB.
37
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan
Ukuran dan tujuan kebijakan Karakteristik badan pelaksana
Disposisi Pelaksana
Kinerja program konseling dengan ABPK
Sumber daya Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Gambar 2.3. Kerangka berpikir
Keterangan : : faktor yang diteliti : faktor yang tidak diteliti
1. Peningkatan cakupan peserta KB 2. Penurunan angka kejadian drop out peserta KB 3. Peningkatan kualitas penggunaan KB 4.