BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Daerah Rawan Kecelakaan Lalu Lintas
2.1.1 Kecelakaan Lalu Lintas Undang-Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan dan Angkutan Jalan, mendefinisikan kecelakaan lalu lintas sebagai suatu peristiwa dijalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Dalam Peraturan Pemerintah RI No.43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, korban kecelakaan lalu lintas dapat digolongkan, menjadi: 1. Korban mati (fatal), adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah kecelakaan tersebut. 2. Korban luka berat (serious injury), adalah korban yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 hari sejak terjadi kecelakaan. Cacat tetap, bila suatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat sembuh/pulih untuk selama-lamanya. 3. Korban luka ringan (slight injury), yaitu korban yang tidak termasuk ke dalam korban mati dan korban luka berat, artinya korban tersebut tidak memerlukan rawat inap atau dirawat tidak lebih dari 30 hari di rumah sakit. 2.1.2 Identifikasi Daerah Rawan Kecelakaan Lalu Lintas Suatu lokasi dinyatakan sebagai daerah rawan kecelakaan apabila memenuhi kriteria, sebagai berikut (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004):
6
7
1. Memiliki angka kecelakaan tinggi, 2. Lokasi kejadian kecelakaan relatif bertumpuk, 3. Lokasi kecelakaan berupa persimpangan atau segmen ruas jalan sepanjang 100-300 meter untuk jalan perkotaan, dan ruas jalan sepanjang 1 km untuk jalan antarkota, 4. Kecelakaan terjadi dalam ruang dan rentang waktu yang relatif sama, serta 5. Memiliki penyebab kecelakaan dengan faktor yang spesifik. Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam Pedoman Konstruksi dan Bangunan βPenanganan Lokasi Rawan Kecelakaanβ tahun 2004, identifikasi daerah rawan kecelakaan dapat dilakukan dengan pendekatan tingkat kecelakaan, statistik kendali mutu, dan pembobotan dengan konversi biaya. 1. Pendekatan tingkat kecelakaan a. Perhitungan tingkat kecelakaan lalu lintas untuk lokasi persimpangan Tk =
πΉπΎ π 108 ππΏπΏπ π₯ π π₯ 0,1 π₯ 365
, (100JPKP)
b. Perhitungan tingkat kecelakaan lalu lintas untuk ruas jalan Tk =
Ket: Tk
πΉπ π 1008 πΏπ»π
π π₯ π π₯ πΏ π₯ 365
, (100JPKP)
: Tingkat Kecelakaan, 100JPKP
Fk
: Frekuensi Kecelakaan di persimpangan pada n tahun data
VLLP
: Volume Lalu Lintas persimpangan
n
: Jumlah tahun data
LHRΟ
: Volume Lalu Lintas Rata-rata
L
: Panjang Ruas Jalan, Km
100JPKP : Satuan tingkat kecelakaan (kecelakaan/Seratus Juta Perjalanan Kendaraan Per-kilometer)
8
2. Pendekatan statistik kendali mutu a. Statistik kendali mutu sebagai kontrol-chart UCL (Upper Control Limit) UCL = Ξ» + [2,576β(Ξ»/m)] + [0,829/m] + [1/2m]
Ket: UCL
: Garis Kendali Batas Atas
Ξ»
: Rata-rata kecelakaan dalam satuan kecelakaan per eksposure
m
: satuan eksposure, Km
b. Segmen ruas jalan yang memiliki tingkat kecelakaan yang melebihi nilai UCL didefinisikan sebagai lokasi rawan kecelakaan. 3. Pendekatan dengan pembobotan tingkat kecelakaan menggunakan konversi biaya a. Perbandingan nilai moneter dari biaya kecelakaan dengan perbandingan M : B : R : K = M/K : B/K : R/K : 1 b. Angka ekuivalen kecelakaan (AEK) dengan sistem pembobotan M : B : R : K = 12 : 3 : 3 : 1 Ket: M : Meninggal dunia B : Luka berat
R : Luka ringan K : Kerugian material
Penggunaan metode pembobotan AEK untuk mengidentifikasi daerah rawan kecelakaan didukung oleh Garber dan Hoel (2009) yang menjelaskan bahwa metode untuk merangkum kecelakaan yang umum digunakan adalah membuat perbandingan kecelakaan pada lokasi-lokasi berbeda dengan skala bobot tiap kecelakaan berdasarkan tingkat keparahannya.
9
2.2
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Gawat Darurat Keadaan gawat darurat dalam dunia kedokteran didefinisikan sebagai suatu
kondisi yang terjadi secara tiba-tiba menyebabkan kesakitan pada tubuh atau pikiran, seringkali terjadi karena cedera, infeksi, komplikasi obstetrik atau ketidakseimbangan reaksi dalam tubuh, dan merupakan salah satu manifestasi dari suatu penyakit kronis (Kobusingye et al, 2006). Menurut UU 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, kondisi gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Pelayanan kesehatan gawat darurat adalah layanan untuk menangani kondisi gawat darurat yang meliputi pemeriksaan dan penilaian kasus secara cepat, penyediaan dan pemberian intervensi yang tepat, dan transportasi yang cepat ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat sehingga dapat meningkatkan kemungkinan hidup, mengontrol morbiditas, dan mencegah keparahan dan/atau kecacatan (Kobusingye et al, 2006). Pelayanan ini adalah salah satu pelayanan kesehatan yang wajib ada dan harus dilayani oleh semua fasilitas kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan gawat darurat memiliki fungsi untuk menerima, melakukan pemeriksaan awal kasus gawat darurat, dan menstabilkan keadaan pasien yang datang dalam berbagai kondisi dengan tingkat kegawatdaruratan dan kompleksitas yang berbeda-beda (AHIA, 2014). Sistem pelayanan yang diberikan di faslitas pelayanan kesehatan gawat darurat menggunakan sistem triage, yaitu pelayanan diutamakan bagi pasien dalam keadaan darurat bukan berdasarkan antrian. Pelayanan kesehatan gawat darurat juga menyediakan sarana penatalaksanaan pasien dalam keadaan bencana, ini merupakan bagian dari perannya dalam membantu keadaan bencana yang terjadi di tiap daerah.
10
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI (2009) tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit, berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di rumah sakit diseragamkan menjadi Instalasi Gawat Darurat (IGD). Ditetapkan pula bahwa semua rumah sakit wajib memberikan pelayanan di IGD rumah sakit selama 24 jam sehari dalam seminggu. Sedangkan untuk pemberian pelayanan kesehatan gawat darurat di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (seperti: pukesmas dan klinik) saat ini belum ada peraturan yang mengatur secara khusus.
2.3
Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu komponen yang terdiri dari
perangkat keras, perangkat lunak, sumberdaya manusia, dan data yang terintegrasi secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam informasi visual berbasis geografis (Bappeda Prov. NTB, 2012). Beberapa fungsi penting dalam pengaplikasian SIG (Campbell dan Shin, 2011), yaitu: 1. Untuk menyimpan dan mengatur informasi geografis secara komprehensif. 2. Untuk menampilkan informasi geografis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. 3. Untuk menjawab pertanyaan, analisis, dan evaluasi terhadap informasi geografis.
11
2.3.1 Tipe dan Struktur Data dalam SIG SIG memiliki sistem manajemen data yang dapat mengolah dan memadukan 2 jenis data, yaitu:
Sumber: Japan Association on Remote Sensing, 1996
Gambar 2.1 Gambaran Jenis-Jenis Data dalam SIG 1. Data Atribute Data atribute adalah data yang menjelaskan karakteristik dan fenomena yang terjadi di suatu tempat, dapat berupa data kualitatif maupun data kuantitatif, misalnya: populasi, kejadian penyakit, kecelakaan, dan lainnya (Campbell dan Shin, 2011). 2. Data Spasial Data spasial adalah data asli terkait lokasi dan deskripsi keruangan lainnya yang disajikan dalam bentuk gambar permukaan bumi, misalnya: jalan, bangunan, negara, dan lainnya sesuai tujuan yang ingin dicapai (Campbell dan Shin, 2011). Data spasial sering kali memuat koordinat X dan Y yang terkait dengan lokasi setiap observasi (Maguire et al, 2008). Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format, yaitu data raster dan data vektor.
12
Data raster adalah data yang dihasilkan dari sistem Penginderaan Jauh. Tiap objek geografis direpresentasikan dengan pixel (picture element). Akurasi data raster bergantung pada resolusi atau ukuran pixel. Resolusi pixel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh tiap pixel hasil visualisasi (Maguire et al, 2008). Data raster baik untuk merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti: jenis tanah, suhu tanah, dan sebagainya. Keterbatasan data raster adalah besarnya ukuran file, semakin tinggi resolusinya maka akan semakin besar ukuran filenya (Bappeda Prov. NTB, 2012). Data vektor menampilkan gambaran permukaan bumi dengan menggunakan titik (point), garis (line/edge), dan area (daerah yang dibatasi garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama). Data vektor unggul dalam memberikan ketepatan dalam merepresentasikan fitur titik, batas dan garis lurus dan sangat berguna untuk analisis yang membutuhkan ketepatan posisi. Kelemahan data vektor adalah tidak mampu mengakomodasi perubahan gradual (Bappeda Prov. NTB, 2012). 2.3.2 Jenis-Jenis Peta yang Dihasilkan SIG Untuk memperoleh informasi yang diinginkan, SIG mampu mengubah data menjadi peta tematik. Peta tematik menggunakan berbagai simbolisasi kartografi untuk menggambarkan pola spasial tertentu dengan data kualitatif maupun kuantitatif. Adapun jenis-jenis peta tematik yang dapat dihasilkan SIG, antara lain: 1. Choropleth Map digunakan untuk menggolongkan suatu daerah dalam kelas-kelas tertentu dengan menggunakan degradasi warna untuk merepresentasikan nilai data atributnya. Tiap warna memiliki arti yang berbeda dan merepresentasikan informasi tertentu. Peta ini biasanya menggambarkan data standar, misalnya nilai rate atau proporsi, tetapi juga dapat menampilkan nilai baku untuk menunjukkan beban, ukuran yang berguna untuk perencanaan dan pemberian layanan.
13
Sumber: Public Health and Cartography Ad Hoc Committee, 2012
Gambar 2.2 Choropleth Map dalam Memetakan Kejadian HIV/AIDS 2. Dot Dencity Map menunjukkan kejadian menggunakan titik sehingga dapat menggambarkan pola dan kepadatan tertentu. Tiap titik mewakili kejadian tunggal dengan masing-masing titik ditempatkan untuk mewakili lokasi. Tiap titik dapat juga mewakili beberapa peristiwa dan ditempatkan secara acak di suatu daerah.
14
Sumber: Public Health and Cartography Ad Hoc Committee, 2012
Gambar 2.3
Dot Dencity Map dalam Memetakan Kejadian HIV/AIDS
3. Heatmap digunakan untuk menunjukkan kepadatan dari peristiwa yang terjadi pada tiap wilayah pada peta. Untuk menilai kepadatan suatu peristiwa digunakan warna tertentu, umumnya digunakan biru, hijau, kuning dan merah. Warna biru menandai daerah dengan frekuensi kejadian relatif sedikit, warna hijau dan kuning menandai daerah dengan frekuensi kejadian sedang, sedangkan warna merah menandai daerah dengan fekuensi terbanyak.
15
Sumber: Public Health and Cartography Ad Hoc Committee, 2012
Gambar 2.4
2.4
Heatmap dalam Memetakan Derajat Kesehatan di Southeastern, US
Aksesibilitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan Gawat Darurat Penilaian terhadap aksesibilitas ke fasilitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan
melalui dua aspek, yaitu: aspek sosio-ekonomi dan akses geografis (Masoodi dan Rahimzadeh, 2015). Aspek sosio-ekonomi sangat terkait dengan ketersedian fasilitas pelayanan kesehatan untuk diakses, kemampuan masyarakat untuk menjangkau biaya atau membayar fasilitas pelayanan kesehatan, serta penerimaan masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Sementara akses geografis adalah kemudahan masyarakat untuk mencapai lokasi fasilitas pelayanan kesehatan (Hewko et al dalam Apparicio et al, 2008). Saat ini SIG banyak dimanfaatkan untuk menilai akses geografis terhadap pelayanan kesehatan (Patel et al, 2012). Secara umum untuk menilai akses geografis
16
dilakukan berdasarkan pendekatan jarak atau waktu tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan (Talen dan Anselin dalam Apparicio et al, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara akses geografis ke pelayanan kesehatan terhadap derajat kesehatan masyarakat (Apparicio et al, 2008). Semakin dekat jarak dan cepat waktu tempuh ke pelayanan kesehatan dapat menurunkan risiko kematian bayi, meningkatkan derajat kesehatan lansia, mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung dan mengurangi risiko kematian pada pasien asma (Schoeps et al, 2011; Tsuji Y et al, 2012; Okwaraji dan Edmond, 2016; Jones dan Bentham dalam Garrett J.E., 1997). Ada berbagai variasi terkait standar jarak dan waktu tempuh yang digunakan untuk menilai aksesesibilita fasilitas pelayanan kesehatan. Secara umum standar jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan yang sering digunakan adalah 5 km (Van Den Broeck J et al, 1996; Armstrong et al, 2008; Okwaraji dan Edmond, 2016). Standar jarak yang sama juga digunakan oleh The Council for Scientific and Industrial Research (CSIR) (2012) menetapkan standar jarak 5 km untuk akses ke pusat kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sementara untuk standar waktu tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan umumnya digunakan 30 menit (Rutherford et al, 2009; Okwaraji dan Edmond, 2016). Jarak dan waktu ke fasilitas pelayanan kesehatan sangat perlu diperhitungkan terutama pada keadaan gawat darurat (Jordan et al, 2004) dimana pelayanan kesehatan harus dengan segera diberikan kepada pasien. Nicholl et al (2007) mengemukakan bahwa dalam keadaan gawat darurat peningkatan setiap 1 km jarak ke rumah sakit dapat meningkatkan resiko kematian pada pasien sebesar 2%. Dalam penelitian lain juga ditemukan adanya hubungan jarak dan waktu tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan pada keadaan gawat darurat dengan resiko kematian pada penderita asma,
17
dimana setiap peningkatan 10 km jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan meningkatkan resiko kematian pada pasien sebesar 10% dan peningkatan tiap 10 menit waktu tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan dapat meningkatkan resiko kematian pasien sebesar 7 % (Jones et al dalam Nicholl et al, 2007). Sampai standar jarak dan waktu tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan gawat darurat sangat bervariasi. Kota Boston misalnya yang memiliki kepadatan penduduk 5.344/km2 (relatif sama dengan kepadatan penduduk di Kota Denpasar yaitu 6.700/km2) menetapkan standar berdasarkan kondisi pasien (Sbat et al, 2013): Tabel 2.1 Standar Waktu Tempuh Keadaan Gawat Darurat di Boston Waktu Tingkat Prioritas
Tempuh
Prioritas I (keadaan sangat darurat/membahayakan kehidupan)
6 menit
Prioritas II (keadaan serius/berpotensi membahayakan kehidupan)
7 menit
Prioritas III (keadaan luka/penyakit yang tidak membahayakan nyawa)
8 menit
Di British Columbia secara nasional menggunakan standar waktu 9 menit dalam keadaan gawat darurat (Ambulance Paramedics of British Columbia, 2013). Standar 9 menit tersebut juga disarankan oleh The U.S National Institute of Health (Ministry of Health and Long Term Care, 2014). Standar 9 menit juga digunakan untuk menilai response time dalam penelitian di Taiwan (Wu et al, 2009). Standar waktu yang ditetapkan dibeberapa negara Asia, misalnya: Hongkong menetapkan standar 10 menit, Cina Shanghai menggunakan standar 8 menit untuk daerah urban, dan di Singapura menetapkan standar waktu 11 menit (Research and Library Services Division Legislative Council Secretariat, 1996). Kemudian Masoodi dan Rahimzadeh (2015) menyatakan bahwa idealnya waktu tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan dalam kondisi gawat darurat adalah antara 8-15 menit.