17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma Paradigma berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti model, kerangka kerja, patern atau pun contoh. Menurut Kuhn dalam Bratakusumah (2011). Paradigma adalah suatu kerangka kerja dari asumsi dasar ; termasuk standar-standar untuk menentukan validitas dari aturan pengetahuan berdasarkan bukti dan penarikan kesimpulan, dan merupakan prinsip dasar dari penyebab dan efek yang dibagi oleh komunitas ilmiah. Hal ini kemudian disimpulkan oleh Bratakusumah (2011) bahwa paradigma merupakan pola pikir yang menjadi landasan bagi setiap kegiatan dalam mencapai tujuan. Paradigma merupakan serangkaian asumsi, ide, pemahaman dan nilai-nilai (umumnya tidak tertulis) yang menghimpun
aturan-aturan tentang apa yang
relevan dan yang tidak relevan, apa pertanyaan yang harus diajukan dan apa yang tidak, apa pengetahuan yang dipandang legitimate, dan apa praktek-praktek yang dianggap benar (Nasdian, 2011). Pergeseran paradigma muncul dari proses penciptaan sosial kolektif yang global. Logika yang dominan dari paradigma ini adalah mengenai suatu ekologi manusia yang seimbang dengan sumber daya informasi dan prakarsa kreatif. Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia. Gran dalam
Korten (1998)
menyebutkan bahwa
“ Paradigma ini
memberi peran kepada individu bukan sebagai subyek melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. “ Paradigma dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah tidak hanya pembangunan yang berorientasikan kepada produksi semata, tetapi membangun sebuah kawasan secara keseluruhan yang meliputi juga aspek sosial dan lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan perpaduan dari kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pencapaian tujuan-tujuan ekonomi
18
harus selaras dengan tujuan sosial maupun kepentingan lingkungan. Selain itu, kepentingan antar kelompok masyarakat dan antar generasi mendapat perhatian besar (WCED, 1987). Ada dua unsur untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam perspektif Sosiologis. Pertama, adanya konsep yang mengatur tata kelola organisasi dalam kehidupan budaya, hubungan sesama manusia dan sumberdaya alam.
Dari
unsur
pertama
tersebut
diharapkan
menghasilkan
“social
organization” (organisasi sosial). Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk mengkoordinasikan tindakan sosial untuk mencegah kerusakan prilaku dan mempercepat perkembangan pembentukan modal sosial. Modal sosial dapat terbentuk pada setiap individu dalam organisasi. Organisasi yang diinginkan adalah yang dapat meningkatkan kapasitas sosial setiap individu sehingga lebih berdaya dan tindakannya lebih terorganisir dalam melaksanakan kegiatan pembangunan (Carnea, 1993). Salah satu kerangka strategi untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan adalah kelembagaan. Kerangka kelembagaan dalam pembangunan berkelanjutan ini adalah:
a) suatu sistem dengan fungsi yang mempunyai
hubungan dengan lingkungannya, b) adanya struktur organisasi dan prosedur yang mengatur tugas, produk, masyarakat, sumberdaya serta tujuan organisasi tersebut, c) menyiapkan ketahanan organisasi terhadap perubahan sumberdaya akibat hubungan ekonomi dan politik. 2.2 Sejarah Lahirnya Paradigma Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) pada 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 Tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa
19
tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development - WCED). PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu Sudan,
Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua
WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat dan sebagainya) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada Tahun 1987. Laporan
ini
mendefinisikan
Pembangunan
Berkelanjutan
sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting. Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
2.3 Konsep dalam Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan
berkelanjutan
(Sustainable
Development)
yang
didefinisikan oleh Lele dalam Nasdian (2010), terbagi menjadi dua definisi yaitu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan (development). Adapun pembagian definisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Dalam Gambar 8, Lele membagi konsep keberlanjutan dan pembangunan menjadi lima konotasi.
Adapun
konotasi
keberlanjutan/sustainability
terbagi
menjadi
keberlanjutan secara harfiah/literal, keberlanjutan secara ekologis/ecological dan keberlanjutan secara sosia/social.
20
Sumber : Lele,1991
Gambar 8 The Semantic of Sustainable Development Sedangkan pembangunan
konotasi sebagai
pembangunan/development proses/process
dan
terbagi
menjadi
pembangunan
sebagai
obyektifitas/objectives. Penelitian yang dilakukan adalah mencoba untuk mengkaji pembangunan berkelanjutan di Kota Sukabumi dilihat dari
konsep keberlanjutan dan
pembangunan yang telah dilaksanakan di kota tersebut. Peneliti mencoba menggali konotasi keberlanjutan baik secara secara sosia (mempertahankan dasar sosial dari kehidupan manusia), keberlanjutan secara harfiah maupun secara ekologis (mempertahankan dasar ekologis dari kehidupan manusia) dengan kebutuhan
utama
pembangunan.
(basic
needs)
masyarakat
sebagai
obyektifitas
dari
21
2.4 Definisi Pembangunan Berkelanjutan WCED
(1987)
menegaskan
bahwa
pada
dasarnya
pembangunan
berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang didalamnya eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan semuanya dalam keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Definisi ini sangat berkaitan erat dengan intra-generational equity (memenuhi kebutuhan generasi kini secara merata) dan inter-generational equity (memenuhi kebutuhan generasi kini dan generasi mendatang secara adil). George (2000) memandang kedua hal tersebut merupakan prinsip dari pembangunan berkelanjutan, intra-generational equity merupakan kondisi yang penting untuk keberlanjutan, sedangkan inter-generational equity merupakan kondisi yang penting untuk pembangunan, dimana kedua prinsip tersebut dijelaskan dalam Gambar 9. Dalam inter generational equity, prinsip equitas dalam keberlanjutan ditekankan kepada konservasi terhadap modal/kapital dalam bentuk alam, sosial maupun ekonomi sehingga tetap bernilai dan bermanfaat untuk generasi yang akan datang. Sedangkan dalam intra generational equity, prinsip equitas dalam keberlanjutan ditekankan kepada kesetaraan lokal, kesetaraan nasional maupun kesetaraan secara global. Adapun yang dimaksud kesetaraan disini adalah setara dalam terpenuhinya kebutuhan sebagai akibat adanya pengaruh distribusi, perubahan biodiversitas dan perubahan sosial. Tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ketiga aspek yaitu keberlanjutan pertumbuhan yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Selanjutnya aspek tersebut bertambah dengan adanya aspek kelembagaan yang berkelanjutan (institutional sustainability). Adapun guna mencapai tujuan dimaksud, maka strategi pembangunan harus memenuhi persyaratan seperti: sistem politik yang menjamin secara efektif dan inovasi teknologi yang menghasilkan surplus secara berkesinambungan; sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara efektif terhadap
22
permasalahan karena ketidakharmonisan dalam pelaksanaan pembangunan; dan sistem internasional dengan pola berkelanjutan dalam pengelolaan keuangan serta perdagangan. Hal itu diharapkan dapat dicapai dengan cara bertahap (reformasi) dari pemerintahan yang kini ada menuju pemerintahan baru yang lebih baik (good governance). Sustainable Development
Inter-generational equity
Intra-generational equity
Conservation of capital
Social impact assesment Local equity
Precautionary principle ecological risk
Public participation
National equity Conservation of natural capital
Zero impact of full mitigation in kind
Conservation of natural+social+econo mic capital
Distributional effects Global equity
Valuation of natural capital
Conservation of the capital into which it is converted
Biodiversity change: Different criteria apply for high and low income countries, to allow for different past contributions to impacts
Sumber : George, 2000
Gambar 9 Penjelasan prinsip equitas dalam pembangunan berkelanjutan
2.5 Perencanaan dalam Pembangunan Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur yang belum ada (Rustiadi, 2009). Paling tidak menurut Todaro (2000)
pembangunan harus
memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan
23
pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan (sustainance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial,sikap-sikap masyarakat,dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spritual. Long dalam Nasdian (2010) menyebutkan bahwa pembangunan dari perspektif sosiologi dan antropologi adalah perubahan yang sudah direncanakan, sebagai pemahaman pola pembangunan dan perubahan menyangkut jenis pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan perwakilannya untuk memulai pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Di dunia ketiga peran pemerintah sangat besar dalam menata masyarakat sesuai sasaran politik dan ekonomi tertentu. Jika di negara maju sasaran lebih utama pada bidang sosial dan ekonomi maka di negara berkembang lebih banyak ke arah perencanaan negara yang terpusat dengan mendapat bantuan luar yang banyak. Menurut Korten (1998) perbedaan pembangunan yang berpusat pada rakyat dengan berpusat pada industri adalah bahwa pembangunan yang berpusat pada rakyat secara rutin menempatkan kebutuhan-kebutuhan rakyat diatas kebutuhankebutuhan sistem produksi sedangkan pembangunan yang berpusat pada sistem produksi secara konsisten menempatkan kebutuhan-kebutuhan sistem produksi di atas kebutuhan-kebutuhan rakyat. Conyers (1994) menyebutkan
bahwa
perencanaan sosial bukan semata dokumen perencanaan tetapi lebih kepada bagaimana perencanaan sosial menjadi arahan bagi tujuan perencanaan itu sendiri. Perencanaan adalah istilah yang tidak mudah untuk didefinisikan. Para perencana sering berfikir bahwa mereka sudah mengetahui arti kata ini dengan
24
baik karena berkenaan dengan pekerjaan yang mereka kerjakan. Namun dalam prakteknya para perencana melakukan pekerjaan yang sangat beragam, sehingga mereka mengartikan hal-hal yang berbeda dengan kata istilah tersebut. Menurut Hall (2002), menyimpulkan bahwa arti “perencanaan”
adalah
proses aktivitas yang bertahap yang ditujukan untuk tercapainya suatu atau beberapa tujuan. Adapun teknis penyusunannya yang utama adalah berupa pernyataan-pernyataan (statements) tertulis, yang dapat saja dilengkapi dengan proyeksi-proyeksi statistik yang relevan, formulasi-formulasi matematis, evaluasi kuantitatif dan ilustrasi-ilustrasi diagram yang mendeskrifsikan keterkaitan komponen-komponen dari perencanaan yang disusun, dan bisa saja tanpa disertai cetak biru representasi fisik atas obyek-obyek perencanaan sama sekali. Perencanaan merupakan cara yang rasional dalam menghadapi masa depan, secara tipikal melibatkan pengumpulan data dan analisis data, mempelajari kemungkinan trend di masa depan, mempertimbangkan skenario-skenario alternatif, beberapa darinya menganalisis berapa keuntungan dan biaya yang harus dikeluarkan, memilih skenario yang disarankan dan merencanakan bagaimana mengimplementasikannya ( Kelly dan Becker, 2000). Lain halnya menurut Rustiadi et al. (2009) yang menyebutkan bahwa secara umum terdapat dua unsur penting dalam perencanaan, yaitu hal yang ingin dicapai, dan cara untuk mencapainya. Dalam proses perencanaan, kedua unsur tersebut baik secara eksplisit maupun implisit dimuat pada berbagai nomenklatur seperti; visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, aktivitas dan lain sebagainya. Proses perencanaan sebenarnya bagian dari proses capacity building, yakni membangun kapasitas kelembagaan suatu institusi (Rustiadi et al., 2009). Implementasi dari suatu perencanaan diharapkan mengarah pada tercapainya tujuan-tujuan (goals) yang diharapkan, seperti melalui proses monitoring dan evaluasi berdasarkan indikator-indikator kinerja yang ditetapkan. Hal ini diperjelas oleh Friedman dalam Korten (1998) yang menyebutkan bahwa perencanaan itu tidak sekedar sebuah pembuatan rencana tetapi lebih berarti sebagai proses “belajar bersama”, tidak memberi tekanan pada dokumen tetapi pada dialog, dan hasilnya lebih bergantung pada hubungan timbal balik pribadi-
25
pribadi menurut latar belakang khususnya dan bukan pada lembaga-lembaga yang abstrak. Sehingga dia menamakan gaya perencanaan ini sebagai transaktif dan model yang mendasarinya sebagai “social learning”. 2.6 Definisi Wilayah Pengertian wilayah menurut Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdsasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Isard
dalam Rustiadi et al. (2009)
menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekadar area dengan batas-batas tertentu. Menurutnya wilayah adalah suatu area yang memiliki arti (meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada didalamnya sedemikian rupa, sehingga ahli regional memiliki interest dalam menangani permasalahan tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan sosial-ekonomi. Dengan cara yang lain Murty dalam Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten) dan perdesaan. Tetapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Dalam mendefiniskan konsep wilayah terdapat keragaman, hal ini terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pembangunan wilayah yang dihadapi. Kenyataannnya tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Konsep wilayah yang paling klasik dalam Rustiadi et al. (2009) mengenai tipologi wilayah, membagi wilayah kedalam tiga kategori: (1) wilayah homogen (uniform atau homogeneous region), (2) wilayah nodal, dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Cara klasifikasi konsep wilayah diatas ternyata kurang mampu menjelaskan keragaman konsep wilayah yang ada.
26
Blair dalam Rustiadi et al. (2009) memandang konsep wilayah nodal terlalu sempit untuk menjelaskan fenomena yang ada dan cenderung menggunakan konsep wilayah fungsional (functional region), yakni suatu konsep wilayah yang lebih luas, dimana konsep wilayah nodal hanyalah salah satu bagian dari konsep wilayah
fungsional. Lebih lanjut Blair cenderung mengistilahkan wilayah
perencanaan sebagai wilayah administratif (administrative region). Menurut pendapat Rustiadi et al. (2009), kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region). Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam kelompok konsep wilayah perencanan, terdapat konsep wilayah administratifpolitis dan wilayah perencanaan fungsional. Gambar 10 berikut mendeskrifsikan sistematis pembagian dan keterkaitan berbagai konsep-konsep wilayah. 2.7 Indikator Pembangunan Berkelanjutan Hart
(2010) menyebutkan bahwa indikator merupakan strategi dalam
melakukan katalisasi dan monitoring terhadap kemajuan suatu daerah menuju daerah yang lebih ‘sustainable’ atau berkelanjutan. Sejumlah indikator yang inti memberikan pijakan dalam mengukur kemajuan tercapai atau tidaknya prinsip pembangunan berkelanjutan. Lebih jauh lagi disebutkan oleh Hart (2010), bahwa penetapan indikator merupakan kunci komitmen terutama untuk pemerintah dalam pencapaian prinsip pembangunan berkelanjutan, dengan indikator-indikator yang jelas maka pergerakan ke arah yang jelas dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (dalam bentuk tingkat kepuasan) dapat disesuaikan dengan kebijakan dan tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah.
27
Konsep Alamiah Nodal (Pusat-Hinterland) Homogen
Sistem Sederhana
Budaya-Lindung Desa-Kota
Wilayah
Sistem/fungsional Sistem Ekonomi – Kawasan Produksi Kawasan Industri Sistem Komplek
Sistem Ekologi:DAS, Hutan,Pesisir Sistem Sosial-Politik:Kawasan Adat, Wilayah Etnik
Wilayah Perencanaan Khusus : Jabodetabekjur,KAPET
Konsep Non Alamiah
Perencanaan/Pengelolaa Wilayah Administratif Politik :Provinsi,Kabupaten,Kota
Sumber : Rustiadi et al. (2009).
Gambar 10 Sistematika Konsep-konsep Wilayah
Menurut Hart (2010) indikator adalah sesuatu yang membantu kita untuk mengerti dimana kita, arah mana yang akan kita tempuh dan sejauh mana kita dari apa yang kita inginkan. Suatu indikator yang baik akan memberikan isyarat kepada kita tentang adanya masalah sebelum bertambah buruk dan membantu kita menyadari apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki masalah tersebut. Indikator keberlanjutan suatu komunitas menunjukkan daerah mana dalam keterkaitan antara ekonomi, lingkungan dan sosial yang lemah. Hart (2010) menegaskan bahwa indikator memberikan kepada kita dimana terjadinya masalah tersebut dan membantu menggambarkan cara untuk memperbaikinya. Indikator keberlanjutan mencerminkan kenyataan bahwa tiga segmen tersebut sangat erat dan saling berhubungan satu sama lain. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 11.
28
Selanjutnya Hart (2010) menambahkan bahwa indikator adalah sesuatu yang menunjukkan poin dari isu atau kondisi yang terjadi. Indikator bertujuan memperlihatkan kepada kita sebaik apa suatu sistem berjalan. Apabila terjadi masalah, indikator dapat membantu menentukan arah untuk mengatasi isu tersebut.
Keuntungan Pemegang Saham
Kualitas Air
Pendidikan
Kesehatan
Kualitas Udara Bahan Produksi
Kemiskinan Sumberdaya Alam Lapangan Pekerjaan
Kejahatan
Sumber: Hart, 2010
Gambar 11 Komunitas merupakan jaringan interaksi antara lingkungan, ekonomi dan sosial Indikator tersebut bermacam-macam sebagaimana jenis sistem yang dimonitor, bagaimanapun juga terdapat karakteristik tertentu yang dipunyai oleh indikator efektif yaitu : 1. Indikator
yang
efektif
adalah
saling
berhubungan
(relevant);
memperlihatkan tentang sistem yang ingin diketahui, 2. Indikator yang efektif dapat mudah dimengerti (easy to understand), bahkan oleh orang yang bukan ahli, 3. Indikator yang efektif adalah dapat dipercaya (reliable), kita dapat mempercayai informasi yang diberikan indikator tersebut, dan 4. Indikator yang efektif berdasarkan data yang (accessible data);
mudah didapatkan
informasi tersebut tersedia atau dapat dikumpulkan
pada saat masih terdapat waktu untuk bertindak.
29
Rustiadi et al. (2009) mengartikan bahwa indikator merupakan ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan di daerah menurut pedoman teknis Peringkat Kinerja Pembangunan Berkelanjutan Daerah yang diterbitkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Tahun 2001 menyebutkan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan didasarkan pada tiga prinsip yaitu Environmentally sustainable/ Ecological Balance, Socially responsible/Social Progress dan economically viable/ Economic Growth dan dijabarkan sebagai berikut;
2.7.1 Lingkungan yang Berkelanjutan dan Seimbang (Environmentally Sustainable/Ecological Balance) Environmentally sustainable merupakan prioritas pertama prasayarat tercapainya pembangunan berkelanjutan. Kelestarian lingkungan adalah suatu necessary condition tetapi bukan sufficient condition karena belum memasukkan dimensi sosial dan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan secara ekologi saja, belum mencakup sebab-sebab terjadinya unsustainable development atau pembangunan yang tidak berkelanjutan. Untuk memahaminya perlu perspektif yang lebih luas yaitu internalisasi humanisme ke dalam ekosistem. Pembangunan harus lestari secara ekologi, tetapi untuk mewujudkan hal tersebut, pembangunan juga harus socially and economically sustainable. Dua krtiteria environmentally sustainable yang dikembangkan yaitu : 1. Terjaminnya ketersediaan dan fungsi sumberdaya alam. a. Sumberdaya alam terbarui; laju eksploitasinya harus sesuai dengan kapasitas regenarisnya.
30
b. Sumberdaya alam tak terbarui; laju pengurangannya tidak boleh melebihi laju sustained income atau substitusi terbarukan yang dikembangkan melalui intervensi manusia dan manusia. 2. Rendahnya tingkat pencemaran a. Emisi pencemar tidak
boleh melebihi kapasitas asimilasi
lingkungan untuk menyerap.
2.7.2 Aspek Sosial yang Bertanggungjawab dan Berkembang (Socially Responsible/Social Progress ) Aspek sosial merupakan bagian integral dari lingkungan hidup, dan secara kolektif mencakup
manusia,
baik
orang-perorangan
maupun kelompok,
kepranataan serta interaksi yang terjadi antar komponen tersebut. Berbagai pemasalahan sosial yang kemudian timbul menuntut berbagai kuantifikasi dan kualifikasi yang spesifik dan rumit. Masalah-masalah sosial (social problems) acapkali disebut ‘intangible’, susah diukur secara konkrit/kuantitatif. Masalah-masalah sosial tidak tunduk pada ukuran-ukuran (measurements) yang menyandang derajat akurasi/presisi yang tinggi. Berbeda dengan komponenkomponen lingkungan hidup hayati dan geo-fisik yang untuk pengukurannya memiliki baku mutu (quality standars) yang jelas, baku mutu sosial tidak mudah dimantapkan karena sulit menangkap tingkat ambang batasnya, disamping sangat rentan terhadap fluktuasi waktu dan dinamika masyarakat (perubahan sosial). Oleh karena itu, yang diukur adalah gejalanya, yang kemudian secara teknis diartikan sebagai indikator. Berbagai indikator sosial yang diuraikan berikut ini yang terkait dengan penentuan peringkat kinerja pembangunan berkelanjutan daerah ditentukan berdasarkan keterkaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan, sifat data (kuantitatif), sumber atau ketersediaan data, dan metodologi pengumpulan data. Ciri-ciri socially responsible : a. Adanya keikutsertaan dari berbagai pihak yang masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab tertentu dan jelas. Hal ini didasarkan pada prinsip partisipatif, setara dan bertanggungjawab,
31
b. Hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal ini ditandai dengan tingkat ekonomi dan pendapatan masyarakat yang layak, tempat tinggal dan permukiman yang sehat dan aman, serta adanya kesempatan berusaha, dan c. Adanya pengakuan (hukum) terhadap hak-hak masyarakat serta kearifan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan adanya perlindungan hukum atas hak intelektual warga maupun kelompok masyarakat, misalnya
melalui paten, serta perlindungan terhadap hak-hak
ulayat/adat masyarakat lokal (misalnya melalui peraturan daerah yang mengakomodasi perlindungan atas hak-hak masyarakat lokal).
2.7.3 Pertumbuhan Ekonomi Viable/Economic Growth)
dan
Berkelanjutan
(Economically
Pertumbuhan ekonomi merupakan aspek yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Salah satu dari prinsip dasar pembangunan berkelanjutan adalah “Economically Viable”, yang terdiri dari empat kriteria, yaitu : 1. Pendapatan; 2. Tenaga Kerja; 3. Investasi; dan 4. Pajak dan Retribusi.
Keempat
faktor
tersebut
sebaiknya
masing-masing
mempunyai
karakteristik sebagai berikut, yaitu : 1. Pendapatan dengan pertumbuhan yang tinggi, kontribusi yang lebih menitikberatkan pada sektor-sektor non-resources based, dan distribusi secara merata; 2. Tenaga kerja dalam kondisi yang diharapkan economically viable adalah kondisi tenaga kerja yang secara jumlah dapat memenuhi kebutuhan
32
lapangan kerja dengan pertumbuhan yang optimal dan produktivitas tinggi; 3. Investasi yang diharapkan adalah investasi yang selalu tumbuh berkembang secara positif dan seimbang pada sektor-sektor non resources based dan resources based. Disamping itu juga efisiensi yang ditunjukkan dengan sejauhmana investasi tersebut bisa bermanfaat bagi pemanfaatan ekonomi, pemertaaan, dan kesetaraan antara sektor resources based dengan non resources based, dan 4. Pajak dan retribusi sebagai sumber dana pmasukan pemerintah daerah yang berasal dari kutipan setiap sektor aktivitas ekonomi, diharapkan dapat
meningkat
dan
dialokasikan
kembali
sebagai
input
bagi
pembentukan produk atau proses produksi (kegiatan ekonomi).
Selain ketiga prinsip tersebut, sekarang telah berkembang prinsip keempat yaitu Kelembagaan Berkelanjutan (Institutional Sustainability) yang dijelaskan sebagai berikut:
2.7.4 Kelembagaan Berkelanjutan (Institutional Sustainability) Kelembagaan
merupakan
faktor
yang
penting
dalam
mencapai
pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri tergantung kepada kekuatan dan kualitas lembaga/institusi negara. Kelembagaan berkelanjutan adalah kelembagaan yang memberikan kenyaman dan jaminan pada masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan minimumnya dalam volume yang stabil. Kerangka
untuk
memahami
kelembagaan
dalam
pembangunan
berkelanjutan adalah : 1) looking inward (melihat kedalam), yaitu melihat kompleksitas dalam kelembagaan itu, 2) looking outward (melihat keluar) yaitu melihat hubungan kelembagaan tersebut dengan lingkungannya, 3) institutionals strategy (strategi kelembagaan), dengan dua cara yaitu pertama, bertindak dan belajar, sedangkan kedua fokus pada masalah internal dan eksternal.Implikasi dari pembangunan kelembagaan : a)
adanya partisipasi stakeholders, b) adanya
keberhasilan program (success sells/performance), c) sering kali kompleksitas
33
tidak bisa dihindari, dan d) kemerosotan hokum (Brinkerhoff dan Goldsmith, 1992). Menurut Spencer (1989), kelembagaan yang berhasil ditentukan oleh: 1) adanya komunikasi yang formal dan informal, 2) kerjasama tim, 3) kemampuan anggota, 4) rasa memiliki terhadap organisasinya, dan 5) adanya kepemimpinan yang baik yang bisa berfungsi sebagai fasilitator. Ada beberapa indikator untuk menilai pembangunan berkelanjutan di suatu negara/kota. Hal ini seperti yang terdapat dalam Buku Indicators of Sustainable Development:Guidelines and Methodoligies - third edition ( United Nation Publicity, 2007) yang menyebutkan bahwa indikator
penilaian keberlanjutan
tersebut (yang dikeluarkan oleh Commission on Sustainable Development, United Nations) terdiri dari 14 tema utama dengan 44 sub tema, 50 indikator utama dan 46 indikator lain. Indikator menjadi sesuatu yang penting karena indikator merupakan petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan dan merupakan refleksi dari keadaan tersebut, artinya dengan menggunakan indikator maka dapat berfungsi dalam mengklasifikasi sehingga mempermudah untuk membuat suatu keputusan atau kebijakan.
2.8 Kota yang Berkelanjutan (Sustainable City) Istilah pembangunan berkelanjutan telah melampaui batas-batas ilmu pengetahuan
dan
pembangunan
bisnis
maupun
perdagangan
termasuk
pembangunan manusia, nilai-nilai dan budaya yang berbeda. Buktinya, beberapa organisasi mengacu terhadap pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable human development) sebagai lawan dari pembangunan berkelanjutan dalam rangka menekan isu-isu seperti pentingnya kesetaraan gender, partisipasi dalam proses pembuatan keputusan serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan (Regional Environmental Center, 2011). Kota-kota telah menjadi titik utama dari komponen tersebut sebagai konsumen dan distributor utama dari barang dan jasa. Bagaimanapun juga banyak kota cenderung menjadi konsumen barang dan jasa dan tergantung yang paling besar ketika terjadi pengurasan sumberdaya dari daerah lain. Sebagai hasil dari
34
meningkatnya
konsumsi
dari
sumberdaya
tersebut
serta
meningkatnya
ketergantungan terhadap perdagangan, pengaruh secara ekologi dari kota semakin melampaui lokasi geografis kota tersebut. Seiring dengan hal tersebut maka kemudian berkembang keinginan untuk membuat kota yang berkelanjutan. Berdasarkan pengertian dari Regional Environmental Center (2011), maka komunitas yang berkelanjutan (Sustainable communities) didefinisikan sebagai kota yang telah mengambil langkah-langkah untuk tetap ‘sehat’ dalam jangka waktu yang panjang. Komunitas yang berkelanjutan memiliki perasaan memiliki yang kuat. Mereka memiliki visi yang dianut dan secara aktif dipromosikan oleh seluruh sektor-sektor kunci masyarakat, termasuk pelaku bisnis, kelompok yang kurang beruntung, ahli lingkungan hidup, asosiasi kemasyarakatan, lembaga pemerintah, dan organisasi keagamaan. Komunitas yang berkelanjutan menempatkan dan membangun aset mereka serta berani untuk menjadi inovatif. Masyarakat ini menilai ekosistem yang sehat, menggunakan sumberdaya secara efisien, dan secara aktif berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan ekonomi berbasis lokal. Ada semangat relawan yang meluas dan
dihargai oleh hasil yang nyata. Kemitraan antara
pemerintah, sektor bisnis, dan organisasi nirlaba yang umum. Perdebatan publik dalam masyarakat tersebut adalah menarik, inklusif, dan konstruktif. Tidak seperti pendekatan pengembangan menekankan:
seluruh
masyarakat
komunitas
tradisional,
(termasuk
strategi keberlanjutan
kelompok
menguntungkan); perlindungan ekosistem; masyarakat
yang
tidak
berbasiskan partisipasi
yang berarti dan luas serta kemandirian ekonomi . Kota yang berkelanjutan dapat disebut sebagai ‘kota yang ideal’. Menurut Santoso (2009), untuk masa sekarang, “Kota Ideal“ yang menjadi impian paling sering dikaitkan pada dua hal. Pertama adalah dikaitkan dengan pengertian kota sebagai sebuah sistem ekologis perkotaan yang berkelanjutan, dan yang kedua adalah dengan pengertian kota yang mampu berkembang secara berkelanjutan bukan hanya dalam pengertian ekologis (Eco-City), tetapi juga yang berkembang secara berkeadilan (Justice-City), dan kota yang ekonominya tumbuh secara berkelanjutan (Growth-City) dan yang secara kultural mampu mengembangkan identitas lokal yang kuat (Urban Cultural Identity).
35
Bagaimana pun impian mengenai “Kota Ideal“ dari sebuah masyarakat selalu terikat pada tempat dan waktu. Kota yang menjadi impian sebuah masyarakat disatu pihak selalu berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku pada saat itu, dan di lain pihak sangat erat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu. Pertanyaan mengenai kota impian bagi kita di Indonesia tidak bisa lepas dari kriteria tersebut. Ada dua pertanyaan yang terkait dengan hal itu; pertanyaan pertama adalah masalah-masalah pokok mana yang sedang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia, sedangkan pertanyaan kedua adalah mengenai sistem nilai yang akan jadikan dasar untuk mendefinisikan “Kota Ideal“ yang kita impikan. Dari sistem nilai inilah sebenarnya yang akan menjiwai “roh“ dari kota impian kita. Berangkat dari sistem nilai tersebut akan lahir prinsipprinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam usaha mengantisipasi ke-empat masalah pokok yang dihadapi oleh kota-kota kita saat ini. Jadi, sistem nilai inilah juga yang akhirnya akan sangat menentukan wujud fisik, ekonomi, sosial dan budaya sebuah kota yang dianggap ideal. Selanjutnya Santoso (2009) menyebutkan kriteria dan ciri-ciri dari kota ideal tersebut yaitu : 1) Kota yang mampu mengantisipasi proses urbanisasi Dalam arti kata mampu menyediakan ruang hidup yang berkualitas bagi semua penghuninya. Hal ini bisa tercapai bila distribusi tanah perkotaan, utilitas dan fasilitas perkotaan dilakukan secara berkeadilan. Distribusi dari pemakaian tanah dan sumberdaya urban lainnya harus dilakukan secara berkeadilan dengan tujuan bisa menampung berbagai tingkat kegiatan ekonomi urban mulai dari ekonomi kampung, ekonomi urban, ekonomi regional maupun ekonomi global. Secara sosial ini berarti kota tersebut mampu mengembangkan sebuah komunitas urban baru (new urban community) yang bertumpu pada kehidupan kolektif (coexistance) yang kuat. Dari segi spasial ini berarti kita harus melakukan reorganisasi dari satuansatuan ruang (spatial entity) baik di dalam kota maupun di pinggiran kota yang mampu mewadahi lahirnya komunitas urban yang kolektif tersebut. Dari segi perumahan, kota yang ideal harus mampu menyediakan perumahan bagi semua golongan sosial masyarakat yang walaupun mempunyai standard yang berbeda
36
tetapi dapat memenuhi standar kualitas yang minimal. “Kota Ideal“ harus melindungi rumah yang ada, mengusahakan penambahan jumlah rumah (housingstock) sesuai dengan pertambahan penduduk dan secara bertahap membantu mereka yang kurang mampu untuk meningkatkan kualitas rumah mereka. Bagi mereka yang tidak mampu memiliki rumah atau bagi mereka yang hanya ingin tinggal di kota untuk sementara, maka kota perlu mengembangkan kemampuan untuk menyediakan. 2) Kota yang dapat berfungsi sebagai agent of sustainable development Dalam pengertian mampu menjadi pemacu perkembangan ekonomi nasional dalam rangka proses transformasi masyarakat Indonesia secara keseluruhan dari negara berkembang menjadi negara yang mampu bersaing secara global, demokratis dan bermartabat. Dalam kaitannya dengan itu “Kota Ideal“ harus mampu mengatasi struktur ekonomi urban yang sangat lemah dalam menghadapi dominasi ekonomi global dengan cara memperkuat ekonomi lokal dan global. Peningkatan ekonomi urban yang bertumpu pada hubungan regional yang kuat dengan wilayah di sekeliling kota harus di dasari pada prinsip keadilan dalam mendistribusikan nilai tambah yang dihasilkan dari kerjasama tersebut. Pengembangan legalinstitusional dan manajemen pemerintahan yang baik akan membantu terjaminnya keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal dan regional tanpa harus mengorbankan integrasi ekonomi urban tersebut pada pasar global. 3) Kota yang secara sosial dan kultural harus menjadi bagian terintegrasi secara lokal-regional, Bukan sebagai agen perantara yang secara sepihak mendukung kepentingan politik negara-negara adikuasa dan secara berat sebelah hanya berfungsi sebagai penyebar kultur universal yang bersifat generik di kota kota di Indonesia. Kota-kota Indonesia harus mampu berkembang menjadi kota yang secara sosial-budaya terintegrasi dalam pergaulan antar kota-kota dunia disatu pihak, tanpa kehilangan ciri lokalnya yang spesifik dilain pihak. Kemampuan ini hanya mungkin dikembangkan bila “Kota Ideal“ kita ini mempunyai akar yang kuat (embeded) baik secara ekonomi, sosial maupun kultural di wilayah dimana dia berada.
37
4) Terakhir adalah, bahwa “Kota Ideal“ yang kita impikan adalah sebuah kota yang mempunyai ketahanan yang kuat atau kemampuan yang tinggi untuk menetralisasiproses perubahan iklim dengan segala dampak dan akibatnya. Masalah yang harus mampu diatasi oleh “Kota Ideal“ yang kita impikan adalah datangnya ancaman dalam bentuk perubahan sistem ekologis. Kota yang ideal dalam pengertian ini adalah kota yang mampu menjinakkan dampak negatif dari kenaikan suhu bumi seperti perubahan, kenaikan permukaan air laut, kekeringan, banjir, dan seterusnya. Jadi sebuah kota yang ideal tidak cukup hanya mempunyai kemampuan untuk menurunkan dampak lingkungan dari aktivitas perkotaannya. Kota yang ideal juga tidak cukup hanya mempunyai kemampuan untuk membangun kota secara lebih sustainable dengan menerapkan yang dinamakan green technology, tetapi kota yang ideal harus mengembangkan kemampuannya untuk melindungi kota dan penduduk kotanya dari berbagai ancaman lingkungan (environmental threat).