BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik pada dirinya sendiri maupun orang lain disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Kusumawati, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Keliat, 2012). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart, 2009). Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panic). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal disuatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) disisi yang lain (Yosep, 2008: 146) Jadi, berdasarkan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku kekerasan adalah suatu perilaku yang menggambarkan keadaan marah, agresif verbal maupun nonverbal, serta perasaan benci yang dapat menimbulkan bahaya pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
B. Perilaku Kekerasan OrangTua 1. Definisi Menurut Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2004, yaitu pasal 1 ayat 1 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnyakesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan ataupenelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalamlingkup rumah tangga.
9
10
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan verbal atau fisik yang dilakukan oleh seorang suami yang dapat berakibat kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan ekonomi pada istri (Saputri, 2008). Menurut Budiary 2008 KDRT adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggota dalam rumah tangga misalnya suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri. Penelitian Baquandi et. al (2009) menyatakan bentuk tindakan kekerasan pada KDRT meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Menurut Veralta (2010) menyatakan kekerasan dalam rumah tangga mengalami kekerasan secara fisik, psikis, ekonomi, dan seksual dan didominasi oleh kondisi ekonomi dan perselingkuhan suami dan perempuan. Strauss (1974) sebagaimana dikutip Richard J. Gelles mengemukakan beberapa alasan mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang tadinya bersifat pribadi menjadi masalah umum : a. Para ilmuwan sosial dan masyarakat umum menjadi semakin peka terhadap kekerasan. b. Munculnya gerakan perempuan yang memainkan peran khususnya dengan mengungkap
tabir
permasalahan
rumah
tangga
dan
menyampaikan
permasalahan mengenai perempuan yang teraniaya. c. Adanya kenyataan perubahan model konsensus masyarakat yang diungkapkan oleh para ilmuwan sosial, dan tantangan berikutnya adalah bagaimana menghasilkan model konflik atau aksi sosial mengantisipasi perubahan tersebut. d. Ada kemungkinan lain, dengan ditunjukkan penelitian mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dilakukan untuk mengungkap lebih mendalam sisi kekerasan dalam rumah tangga. Dari berbagai macam pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan orang tua adalah suau tindakan melukai secara fisik atau emosional yang dengan sengaja mengakibatkan kerugian atau berbahaya dikenakan pada seorang istri atau anak dalam keluarga tersebut.
11
2. Bentuk – bentuk perilaku kekerasan orang tua : Menurut Darmono (2008) bentuk–bentuk perilaku kekerasan orang tua meliputi, kekerasan fisik, emosional, seksual, sosial dan ekonomi, dan penelantaran. Berikut penjelasan dari masing –masing bentuk perilaku kekerasan : a. Kekerasan fisik (Physical Abuse) Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa penganiayaan fisik. Bentuk dar kekerasan fisik ada beberapa macam yaitu, tujuan untuk melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan atau kaki ) mulai dari pukulan, jambakan, cubitan, mendorong secara kasar, penginjakan, pelemparan, tendangan sampai penyiksaan menggunakan alat seperti, pentungan, pisau, ban pinggang, setrika, sudutan rokok, serta air keras. b. Kekerasan Emosional / Psikis (Psychological Abuse) Tindakan kekerasan yang dilakukan dengan menyerang wilayah psikologis korban, bertujuan untuk merendahkan citra seorang perempuan baik melalui kata-kata maupun perbuatan seperti, mengumpat, membentak dengan
kata-kata
kasar,
menghina,
mengancam.
Tindakan
tersebut
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tak berdaya dan penderitaan psikis berat pada psikis seseorang. c. Kekerasan Seksual ( Material abuse or theft of money or personal property ) Penganiayaan atau penyerangan seksual bukan monopoli kegiatan penjahat dan pemerkosa di luar rumah, tetapi ternyata dapat terjadi pada kehidupan ruamah tangga. Suami memaksa istrinya berhubungan seksual dengan cara yang menyakitkan (dengan alat atau perilaku sadomasochim ) adalah contok ekstrim kekerasan seksual dalam rumah tangga. Contoh kekerasan seksual yang tersamar (sering dianggap kewajaran ) adalah suami mengahruskan istri melayani kebutuhan seksualnya setiap saat tanpa mempertimbangkan kemauan istri, dengan kata lain istri tidak boleh menolak (marital rape) d. Kekerasan sosial dan ekonomi Tindak kekerasan dilakukan oleh suami dengan cara membuat istri tergantung secara ekonomi dengan cara melarang istri bekerja, atau suami
12
melarang istrinya bekerja mencari uang sementara ia juga tidak memberikan nafkah kepada istrinya, suami mengeksploitasi istri untuk mendapatkan uang bagi kepentingannya, membatasi ruang gerak ( mengontrol setiap keutusan, mengontol uang ), atau mengawasi kegiatan istri hingga mengisolasi korban dari kehidupan sosialnya.( Darmono, 2008) e. Penelantaran Rumah Tangga Penelantaran adalah jenis kekerasan yang bersifat multi dimensi ( fisik, seksual, emosional, sosial, ekonomi. Menelatarkan istri dengan cara tidak memenuhi kebutuhan dasar seperti, makanan, pakaian, pengobatan. Tidak pernah melakukan hubungan seksual terutama di saat yang memungkinkan di kedua belah pihak, membiarkan anak dan istri terlantar tanpa uang dan mempertahankan sikap tidak acuh untuk tidak berusaha mencari nafkah (kekerasan pasif ) adalah beberapa contoh dari penelantaran lainnya. (Darmono, 2008)
3. Penyebab perilaku kekeraan orang tua : Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga lakilaki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat (Ichwan, 2010). Tindakan kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh berbagai fatkor, antara lain : faktor ekonomi; kultur hegomoni yang patriarkis; merosotnya kepedulian dan solidaritas sosial; masyarakat miskin empati dan belum memasyarakatnya UU PKDRT (Hanifah, 2007). Menurut Center for Community Development and Education (2011) Adapun faktor-faktor pemicunya antara lain: a. Faktor ekonomi Kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan faktor ekonomi, antara lain karena penghasilan suami yang lebih kecil daripada penghasilan isterinya, sehingga ego sebagai seorang suami merasa terabaikan, karena ia
13
merasa tak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya dan kemudian berdampak bagi suami. b. Faktor pendidikan yang rendah Pendidikan yang rendah bagi pasangan suami isteri, yaitu karena tidak adanya pengetahuan bagi keduanya dalam hal bagaimana cara mengimbangi pasangan dan mengatasi kekurangan yang dimiliki pasangan satu sama lain dalam menyeleraskan sifat-sifat yang tidak cocok diantara keduanya. c. Cemburu yang berlebihan. Jika tidak adanya rasa kepercayaan satu sama lain, maka akan timbul rasa cemburu dan curiga yang kadarnya mungkin berlebih. Sifat cemburu yang terlalu tinggi ini bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. d. Disebabkan adanya salah satu orang tua dari kedua belah pihak, yang ikut ambil andil dalam terciptanya sebuah pernikahan. KDRT juga bisa disebabkan oleh tidak adanya rasa cinta yang dimiliki oleh seorang suami terhadap istrinya. Pernikahan mereka terjadi mungkin akibat campur tangan kedua orang tua mereka yang telah sepakat untuk menjodohkan putera puteri mereka. Pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta bisa mengakibatkan seorang suami melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang pemimpin rumah tangga, dan harapan untuk bisa mejadi seorang suami yang baik dan bertanggung-jawab tidak pernah akan dapat terwujud. Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasiagresi, dan teori kontrol. a. Teori biologis Menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa
manusia
mempunyai
suatu
keinginan
akan
kematian
yang
mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati 6 tindakan melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan.
14
Seseorang yang tidak menyukai atau marah terhadap bagian tubunya, seksual yang tidak terpenuhi sehingga melakukan kekerasan seksual. Pada keadaan ini respon psikologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takhikardi, wajah merah, menimbulkan rasa marah, merasa tidak adekuat, mengungkapkan secara verbal menjadi lega, kebutuhan terpenuhi. (Latipun, 2010). b. Teori frustasi-agresi Menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anakanaknya. Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh yang pofesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan. Frustasi adalah suatu respon yang terjadi akibat individu gagal mencapai tujuan, kepuasaan, atau rasa aman, yang biasanya individu tidak menemukan jalan keluar atas masalah yang dihadapinya. Frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan (Sarwono, 2002). Timbulnya frustasi karena suatu tekanan atau depresi sehingga muncul marah dengan masalah yang tidak terselesai sehingga menimbulkan gangguan agresif yaitu dengan marah, perilaku agresif merupakan perilaku yang menyertai marah karena dorongan individu untuk menuntut sesuatu yang dianggapnya benar, dan masih terkontrol. (Alwisol, 2006). c. Teori kontrol Ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat
15
kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
4. Respon KDRT terhadap anak Respon KDRT terhadap Anak Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology (1994), menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi. Respon kekerasan dalam rumah tangga (Efendi, 2009). a. Akibat kekerasan pada fisik (Saraswati, 2009). 1) Lecet, memar, hematom, luka bekas pukulan senjata tajam dan adanya kerusakan organ dalam. 2) Cacat, resiko cedera sebagai akibat trauma, misalnya gangguan pendengaran ,kerusakan mata dan cacat lainnya 3) Kematian 4) Kerusakan integritas kulit b. Akibat pada perkembangan kesehatan mental ( Irwanto, 2002). Perkembangan kesehatan mental pada pihak korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami perlakuan yang salah pada umumnya lebih lambat dari manusia yang normal, yaitu: 1) Mengalami gangguan kepribadian kesehatan mental yaitu menjadi kurang percaya diri, harga diri rendah, dan selalu menganggap dirinya tidak sempurna sebagai seorang istri yang sakinah dalam melayani suami atau pasangannya. 2) Koping individu tidak efektif, takut serta tingkat kecemasan yang tinggi. 3) Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan yaitu: a) Emosi Emosi adalah merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu
keadaan
biologis
dan
psikologis
kecenderungan untuk bertindak (Golmana, 2002).
dan
serangkaian
16
b) Konsep diri Adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orangorang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu (Mulyana, 2000) c) Agresif Agresif adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut (Anantasari, 2006). c. Akibat dari penganiayaan seksual (Nurul, 2004). Tanda- tanda penganiayaan seksual antara lain: 1) Trauma 2) Nyeri 3) Perdarahan anaus 4) Gangguan emosi, misalnya enuresis, anoreksia d. Akibat dari penelantaraan rumah tangga (Hayati, 2000). 1) Terpaksa masuk kedunia melacur 2) Menjadi pencuri dan mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya. 3) Merampas milik orang lain Adapun respon KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya sebagai berikut: a. Respon terhadap Anak berusia bayi Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan kemampuan kognitif dan beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa anak bayi yang menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga anak-anak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi ini pula berdampak lanjutan
bagi
ketidaknormalan
dalam
pertumbuhan
dan
perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
17
b. Respon terhadap anak kecil Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi emosinya. Penelitian Cummings dkk (1981) menilai terhadap expresi marah dan kasih sayang yang terjadi secara alamiah dan berpura-pura. Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi verbal dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan banyak peneliti berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat mengancam rasa aman anak dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak-anak yang merespon dalam interaksinya dengan kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah adanya sikap agresif terhadap teman sebayanya. Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung lebih agresif daripada anak-anak perempuan selama simulasi, sebaliknya anak perempuan cenderung lebih distress daripada anak laki-laki. Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-esteem yang rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat. c. Respon terhadap anak usia pra sekolah Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anakanak yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anak-anak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya dapat diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya dengan rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan. Kedua, 17%-nya tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya, menunjukkan perasaan emosional yang tinggi (baik positif maupun negatif) selama berargumentasi. Keempat, mereka bahagia, tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya. Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan
18
kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non-TK, baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih tinggi daripada anakanak non-TK. De Lange (1986) melalui pengamatannya bahwa KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa. d. Respon terhadap anak usia SD Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelsaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya berkenaan dengan perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan bahwa anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986, Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem prilaku lebih banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga yang tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al, 1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata,
19
memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi. Ringkasnya, dampak psikologis yang dialami anak korban kekerasan yaitu, seperti harga diri rendah, Psikosomatik, sulit menjalin relasi dengan individu yang lain, gangguan belajar, gangguan kejiwaan seperti : depresi, kecemasan berlebihan, atau gangguan identitas disasosiatif, dan juga bertambahnya resiko bunuh diri. e. Respon terhadap Anak remaja Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi telah mencapai suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar rumah, seperti kelompok teman sebaya dan pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar bahwa ada caracara yang berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di dunia ini. Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga yang penuh kekarasan cenderung dapat meningkatkan kemungkinan menjadikan isteri yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad (1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat menimulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya. Tetapi ditekankan pula oleh Rosenbaum dan O’Leary (1981) bahwa tidak semua anak yang hidup kesehariannya dalam hubungan yang penuh kekerasa akan mengulangi pengalaman itu. Artinya bahwa seberat apapun kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif.
5. Tanda dan Gejala Pada Anak Yang Mengalami Kekerasan Anak yang mengalami kekerasan akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut (Soetjiningsih, 2005) :
20
a. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya memar, nyeri perineal, sekret vagina dan nyeri serta perdarahan anus. b. Tanda gagguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis,enkopresis, anoreksia atau perubahan tingkah laku. c. Tingkah laku atau perilaku seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
6. Alasan Orang Tua melakukan Perilaku Kekerasan Orang tua memukul anak adalah kejadian yang sering kita temui seharihari. Suatu hal yang dikatakan lumrah bila bertujuan untuk mendidik anak. Bagi orang tua cara mendidik anak adalah hak prerogratif mereka. Terserah mereka bagaimana caranya. Saat ini sebagian besar orang meyakini bahwa manusia memiliki tiga entitas yang saling mempengaruhi. Yakni akal pikiran, hati nurani, dan raga. Tiga entitas tersebut memiliki fungsi masing-masing. Akal pikiran untuk berpikir, hati nurani untuk merasa dan raga untuk bertindak. Berdasarkan hati nurani dan akal pikiranlah yang membuat raga dapat bertindak. Termasuk tindakan untuk mendidik anak. Tiap orang tua untuk mendidik anak memiliki cara masing-masing. Bagi kebanyakan orang tua memilih sistem reward and punishment. Bila anak berbuat nakal maka orang tua akan menghukumnya. Akan tetapi hukuman yang sering kali dipilih adalah berupa hukuman fisik. Orang tuapun puas bila anak berhasil dijinakkan. Ginott (2001) memperingatkan orang tua akan besarnya pengaruh ancaman yang dilontarkan kepada anak. Anak-anak sangat takut apabila tidak dicintai atau ditinggalkan oleh orang tuanya. Sehingga ancaman akan meninggalkan anak, secara bergurau maupun dengan marah dapat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Tetapi kadang orang tua menjadi lepas kendali, hukuman fisik yang diberikan berlebihan. Hal inilah yang sering kita temui pada media massa. Anak disundut rokok, diseterika ataupun hukuman fisik lain yang meminta perhatian masyarakat umum. Siksaan fisik yang merupakan bagian dari kekerasan pada anak. Tentu saja bagi orang yang memiliki hati nurani, spontan mengatakan
21
bahwa hal ini merupakan masalah moral dan hukum. Suatu hal yang mesti ditindak dan dicegah untuk berulang di kemudian hari. Berbeda kasus ekstrem itu dengan bila anak ”hanya” dicubit ataupun dipukul pipinya. Suatu hal yang masih ditolerir oleh masyarakat. Karena bagi masyarakat mendidik anak dengan hukuman fisik adalah efektif. Tujuannya adalah membuat anak menjadi disiplin. Hal inilah yang menjadikan kekerasan pada anak menjadi daerah abu-abu. Di satu sisi merupakan pelanggaran hak anak tetapi di lain pihak masyarakat merasakan manfaatnya Ditinjau dari segi akal pikiran maka sesuatu yang rasional bila kita melakukan hal yang mendekati harapan kita. Usaha mendidik anak, orang tua memiliki harapannya masing-masing. Anak menjadi tidak nakal ataupun menjadi disiplin. Akan tetapi mengapa orang tua banyak memilih hukuman fisik untuk mencapai harapannya. Mungkin hal ini dikarenakan pendidikan tradisional yang masyarakat anut. Penggunaan kekerasan dalam mendidik anak sudah berakar di masyarakat Indonesia sebagai suatu yang sah. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan, yang pada gilirannya menjadi lingkaran. Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung melakukan hal yang sama terhadap anaknya dan begitu seterusnya. Anak dapat menjadi frustasi akibat hukuman fisik yang diberikan. Hal ini dapat terjadi bila anak tidak mengerti mengapa dirinya diberikan hukuman fisik tersebut.
Terutama
bila
anak
diminta
bertentangan
dengan
proses
perkembangannya. Misalnya saja, anak yang berbuat salah dalam tugas yang diberikan oleh orang tua maka langsung saja dipukul. Padahal anak sedang dalam proses pembelajaran, yang kadang bila salah merupakan suatu hal yang wajar. Apabila hal ini berlangsung terus menerus dapat membuat anak menjadi frustasi yang selanjutnya anak menjadi kebal. Anak cenderung membiarkan dirinya dihukum dari pada melakukannya (Solihin, 2004).
7. Upaya pencegahan kekerasan pada anak Upaya pencegahan tindak kekerasan pada anak yang dapat dilakukan oleh orang tua antara lain : a. Evaluasi diri mengenai pandangan orangtua tentang anak, apakah sudah tepat dan apakah kita sudah memberikan yang terbaik untuk anaknya.
22
b. Diskusi dan berbagi, dengan orang lain untuk mengetahui seberapa baik dan tepat perlakuan dan pandangan orangtua pada anak. c. Perbanyak pengetahuan, pengetahuan yang tepat dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan sehingga orangtua mampu meletakkan pandangan kita mengenai anak secara lebih tepat sehingga kita tidak akan terkungkung oleh pandangan yang belum tentu benar. d. Peka terhadap anak. Kepekaan terhadap anak akan membuat orangtua bersegara melakukan tindakan apabila kita mendapati anak menjadi korban kekerasan baik oleh anggota keluarga sendiri atau orang lain. e. Hubungi lembaga yang berkompeten. Sekarang banyak lembaga yang bergerak dibidang hukum, perlindungan anak dan aparat pemerintah atau penegak hukum yang bisa membantu menghadapi kekerasan pada anak.
C. Persepsi 1. Definisi Sebuah proses internal yang dinamakan persepsi, yang bermanfaat sebagai sebuah alat penyaring (filter) dan sebagai metode untuk mengorganisasi stimuli yang memungkinkan kita menghadapi lingkungan kita. Proses persepsi tersebut menyediakan mekanisme melalui seleksi stimuli dan dikelompokkan dalam wujud yang berarti. Akibatnya adalah bahwa kita lebih dapat memahami gambaran mengenai lingkungan yang diwakili oleh stimuli tersebut (Winardi, 2002). Persepsi mempunyai banyak pengertian, (Walgito, 2004: 87-88) ‘‘persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris’’. Persepsi menurut Mulyana (2007:179) adalah proses internal yang memungkinkan untuk memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku seseorang. Jadi, dari berbagai pendapat mengenai persepsi dapat saya simpulkan bahwa persepsi adalah sesuatu yang berasal dari diri individu yang berupa gagasan, pemikiran mengenai pemahaman gambaran mengenai suatu hal. Sedangkan pada persepsi anak adalah suatu hal atau proses yang berkaitan dengan masuknya informasi ke dalam otak anak yang berhubungan dengan lingkungan
23
sekitar, misalnya dalam kasus ini persepsi anak terhadap perilaku kekerasan orang tua.
2. Proses Pembentukan Persepsi Menurut Miftah Thoha (2003: 145), proses terbentuknya persepsi didasari pada beberapa tahapan. a. Stimulus atau rangsangan Terjadianya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu stimulus atau rangsangan yang hadir dari lingkungannya. b. Registrasi Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim kepadanya. Kemudian mendaftar semua informasi yang terkirim kepadanya tersebut. c. Interprestasi Interprestasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Proses interprestasi bergantung pada cara pendalamannya, motivasi dan kepribadian seseorang. Diknasari (2009: 1) menyatakan salah satu pembentuk persepsi yaitu perhatian, pemusatan atau kekuatan jiwa atau psikis yang tertuju pada suatu objek. Perhatian adalah banyaknya kesadaran yang menyertai suatu aktifitas yang dilakukan. Apabila ditinjau dari segi timbulnya perhatian, perhatian dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Perhatian spontan Perhatian spontan adalah perhatian yang timbul dengan sendirinya, timbul secara spontan. Perhatian ini erat hubungannya dengan minat individu, bila 10 individu telah mempunyai minat terhadap objek, maka terhadap objek biasanya timbul perhatian yang spontan, secara otomatis perhatian itu akan timbul. 2) Perhatian tidak spontan Perhatian tidak spontan adalah perhatian yang ditimbulkan dengan sengaja, karena itu harus ada kemauan untuk menimbulkannya.
24
Menurut Dimyati Mahmud, (1974: 55) proses pembentukan persepsi ada beberapa unsur yaitu: hakekat sensoris stimulus, latar belakang, pengalaman sensoris terdahulu yang ada hubungannya, perasaan-perasaan pribadi, sikap, dorongan, dan tujuan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Bimo Walgito (2004: 89-90), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi: a. Objek yang dipersepsi maksudnya, menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun stimulus terbesar datang dari luar individu. b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf maksudnya, untuk menerima stimulus, disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respon deperlukan syaraf motoris. c. Perhatian maksudnya, untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek. Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk mengadakan persepsi adanya beberapa faktor yang berperan yaitu: objek atau stimulus yang dipersepsi, alat indera dan syarafsyaraf serta pusat 11 susunan syaraf yang merupakan syarat biologis, dan perhatian, yang merupakan syarat psikologis. Jalaludin Rahmat (2005: 51) mengungkapkan ada dua faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu: a. Faktor fungsional, yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor – faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan bentuk ataustimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan pada stimuli itu.
25
b. Faktor struktural, yang berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efekefek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu.
4. Komponen persepsi Menurut Fisher, dkk (dalam Riyanti & Prabowo, 1998), komponenkomponen persepsi meliputi : komponen kognisi yang akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek, komponen afeksi yang memberikan evaluasi emosional terhadap objek, dan komponen konasi yang berperan dalam menentukan kesediaan atau kesiapan jawaban berupa tindakan.
5. Persepsi Anak Terhadap Kekerasan Persepsi anak terhadap kekerasan adalah proses pemaknaan stimulus yang di tangkap anak lewat inderanya (melihat, mendengar, merasakan kekerasan yang dilakukan orang-orang yang seharusnya menyayangi nya). Proses pemaknaan inilah yang menjadi dasar perilaku anak. (Lating, A. D, 2007) Skala persepsi anak terhadap kekerasan ini dikembangkan berdasarkan aspek-aspek dibawah ini : a. Kekerasan merupakan pewarisan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violance). Menurut Gelles (Huraerah, 2007), pewarisan kekerasan antar generasi adalah perilaku kekerasan dipelajari seorang anak dari orangtuanya kemudian mengembangkannya ketika dewasa/ menjadi orangtua nantinya. Orangtua dulunya menjadi patuh, disiplin dan berhasil karena di perlakukan keras oleh orangtua mereka masing-masing, sehingga mereka meyakini bahwa cara pendidikan yang mereka terima dahulu adalah cara yang efektif untuk menghasilkan generasi yang unggul. b. Kekerasan fisik Menurut Tampubulon, et al (2003) kekerasan fisik adalah semua tindakan yang mengakibatkan luka fisik pada anak. Kekerasan fisik itu meliputi menampar, menjewer, mencubit, memukul dengan dahan pohon, dengan tongkat, cambuk atau benda keras lainnya, melempar dengan benda keras, mendorong, menendang, membenturkan anak ke dinding, mengikat anak di pohon, push up, jalan dengan lutut dan dijemur.
26
c. Kekerasan emosional Kekerasan emosional adalah semua tindakan yang berpengaruh buruk terhadap perkembangan emosi dan sosial anak. Menurut Banton (2004) kekerasan emosional seperti memarahi, menghardik, memaki, mengatai anak sebagai anak yang tidak berguna, tidak dicintai, bodoh dan selalu mengecewakan orangtua; dan Vaughan (1996) menambahkannya yaitu membicarakan kegagalan anak terus menerus dan menghinanya. d. Kekerasan seksual Kekerasan seksual adalah semua tindakan yang memaksa atau merayu anak untuk mengambil bagian dalam aktivitas seksual, baik itu yang disadari atau tidak. Menurut Lawson (Huraerah, 2007) kekerasan seksual meliputi kontak fisik, penetrasi/ tidak penetrasi, memegang bagian tubuh yang tidak boleh disentuh, serta aktivitas bukan kontak fisik seperti mengajak anak menonton
adegan
porno,
memperlihatkan
gambar-gambar
porno,
menganjurkan anak untuk berperilaku yang tidak pantas seperti exhibitionism, mengajak anak berbicara porno, tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi atau menggunakan anak sebagai model foto porno.
D. Anak sekolah 1. Definisi Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lain. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Wong, 2009).
2. Karakteristik Anak Usia Sekolah Anak usia sekolah merupakan golongan yang mempunyai karakteristik mulai mencoba mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan norma. Di sinilah variasi individu mulai lebih mudah dikenali seperti pertumbuhan dan perkembangannya, pola aktivitas, kebutuhan zat gizi, perkembangan kepribadian, serta asupan makanan (Yatim, 2005).
27
Ada beberapa karakteristik lain anak usia ini adalah anak akan banyak berada di luar rumah untuk jangka waktu antara 4-5 jam. Aktivitas fisik anak semakin meningkat seperti pergi dan pulang sekolah, bermain dengan teman, akan meningkatkan kebutuhan energi. Apabila anak tidak memperoleh energi sesuai kebutuhannya maka akan terjadi pengambilan cadangan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga anak menjadi lebih kurus dari sebelumnya (Khomsan, 2010). Karakteristik anak usia sekolah dasar tidak hanya itu. Menurut Sumantri dan Sukmadinata dalam Wardani (2012), karakteristik anak usia sekolah dasar yaitu: a. Senang bermain Siswa-siswa sekolah dasar terutama yang masih berada di kelas-kelas rendah pada umumnya masih suka bermain. Oleh karena itu, guru sekolah dasar dituntut untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang bermuatan permainan, lebih-lebih untuk siswa kelas rendah. b. Senang bergerak Siswa sekolah dasar berbeda dengan orang dewasa yang bisa duduk dan diam mendengarkan ceramah selama berjam-jam. Mereka sangat aktif bergerak dan hanya bisa duduk dengan tenang sekitar 30 menit saja. Oleh karena itu, guru harusnya merancang model pembelajaran yang menyebabkan anak aktif bergerak atau berpindah. c. Senang bekerja dalam kelompok Oleh karena itu, guru perlu membentuk siswa menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 siswa untuk mneyelesaikan tugas secara berkelompok. Dengan bergaul dalam kelompoknya, siswa dapat belajar bersosialisasi, belajar bagaimana bekerja dalam kelompok, belajar setia kawan dan belajar mematuhi aturan-aturan dalam kelompok d. Senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung Siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret. Mereka berusaha menghubungkan konsep-konsep yang sebelumnya telah dikuasai dengan konsep-konsep yang baru dipelajari. Suatu konsep juga akan cepat dikuasai anak apabila mereka dilibatkan langsung melalui praktik dari apa yang diajarkan guru. Oleh sebab itu, guru seharusnya merancang model
28
pembelajaran yang melibatkan anak secara langsung dalam proses pembelajaran.
3. Tahap Perkembangan Anak Usia Sekolah Ciri anak usia sekolah secara perkembangan intelektual dan emosi, perkembangan bahasa, dan perkembangan moral, sosial dan sikap, perkembangan motorik, dan perkembangan keagamaan (Sofa, 2008) serta perkembangan kognitif (Piaget, 2010) sebagai berikut : 1) Perkembangan Intelektual dan Emosi Perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada berbagai faktor utama, antara lain kesehatan gizi, kebugaran jasmani, pergaulan dan pembinaan orang tua. Akibat terganggunya perkembangan intelektual tersebut anak kurang dapat berfikir operasional, tidak memiliki kemampuan mental dan kurang aktif dalam pergaulan maupun dalam berkomunikasi dengan teman-temannya. Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan jenis kelamin, usia, lingkungan, pergaulan, dan pembinaan orang tua maupun guru di sekolah. Perbedaan perkembangan emosional tersebut juga dapat dilihat berdasarkan ras, budaya, etnik dan bangsa. Perkembangan emosional juga dapat dipengaruhi oleh adanya gangguan kecemasan, rasa takut dan faktor-faktor eksternal yang sering kali tidak dikenal sebelumnya oleh anak yang sedang tumbuh. Namun sering kali juga adanya tindakan orang tua yang sering kali tidak dapat mempengaruhi perkembangan emosional anak. 2) Perkembangan Bahasa Bahasa telah berkembang sejak anak berusia 4-5 bulan. Orang tua yang bijak selalu membimbing anaknya untk belajar berbicara mulai dari yang sederhana sampai anak memiliki keterampilan berkomunikasi dengan mempergunakan bahasa. Oleh karena itu, bahasa berkembang setahap demi setahap sesuai dengan pertumbuhan organ pada anak dan kesediaan orang tua membimbing anaknya. 3) Perkembangan Moral, Sosial dan Sikap Kepada orang tua sangat dianjurkan bahwa selain memberikan bimbingan juga harus mengajarkan bagaimana anak bergaul dalam
29
masyarakat dengan tepat, dan dituntut menjadi teladan yang baik bagi anak,
mengembangkan
keterampilan
anak
dalam
bergaul
dan
memberikan penguatan melalui pemberian hadiah kepada anak apabila berbuat atau berperilaku yang positif. Terdapat bermacam hadiah yang sering kali diberikan kepada anak, yaitu yang berupa materiil dan non materiil. Hadiah tersebut diberikan dengan maksud agar pada kemudian hari anak berperilaku lebih positif dan dapat diterima dalam masyarakat luas. 4) Perkembangan motorik Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhannya. Pada fase ini ditandai dengan kelebihan gerak atau aktivitas motorik yang lincah. Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik ini, seperti menulis, menggambar, melukis, mengetik, berenang dsb. Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik di bidang pengetahuan maupun keterampilan. Oleh karena itu perkembangan motorik sangat menunjang keberhasilan belajar pserta didik. Pada usia sekolah dasar kematangan perkembangan motorik ini pada umumnya dicapai, karena mereka sudah siap menerima pelajaran keterampilan. 5) Perkembangan Keagamaan Kualitas keagamaan anak akan sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan atau pendidikan yang diterimanya. Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan agama disekolah dasar
mempunyai peranan
penting. Oleh karena itu pendidikan agama di sekolah dasar harus menjadi perhatian semua pihak. Senada dengan paparan tersebut Zakiah Darajat mengemukakan bahwa pendidikan agama di sekolah dasar merupakan dasar bagi pembinaan sikap positif terhadap agama dan membentuk pribadi dan akhlak anak. 6) Tahap cara berfikir / kognitif menurut Piaget dalam Isjoni (2010:36) Ahli-ahli teori kognitif menerangkan pembelajaran merupakan perubahan yang berlaku pada maklumat yang tersimpan dalam ingatan
30
seseorang. Mereka mengaitkan aktiviti-aktiviti pembelajaran dengan proses-proses mental dalaman iaitu fikiran, ingatan, pengetahuan danpenyelesaian masalah. Tahap kognitif merupakan tahap pemikiran yang lebih bersifat egosentris dan intuitif ketimbang logis, penalaran logika menggantikan penalaran intuitif tetapi hanya dalam situasi konkret. Kemampuan berfikir yang lebih abstrak, idealis, dan logis.
31
E. Kerangka Teori
Persepsi Anak Terhadap Perilaku Kekerasan Orang Tua
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Persepsi : 1. Objek yang dipersepsikan 2. Alat indera 3. Perhatian 4. Faktor Fungsional, yaitu pengalaman masa lalu 5. Faktor Struktural, yaitu yang berasal dari sifat stimulasi fisik dan efek – efek saraf
Perilaku Kekerasan yang terjadi di Keluarga : 1. Penganiayaan Fisik 2. Penganiayaan Emosional
Persepsi Anak Terhadap Perilaku Kekerasan mengenai : 1. Pengertian perilaku kekerasan 2. Bentuk – bentuk perilaku kekerasan 3. Penyebab Perilaku Kekerasan 4. Dampak perilaku kekerasan 5. Tanda dan gejala perilaku kekerasan 6. Alasan melakukan perilaku kekerasan
3. Penganiayaan Seksual 4. Penganiayaan Sosial dan Ekonomi 5. Penelantaran Rumah Tangga
Skema 1.1 Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini tidak ada karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.