BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Lingkungan; Implikasi eksternalitas Ekonomi Masalah pencemaran lingkungan pesisir dan lautan telah banyak terjadi di mana-mana, terutama di negara-negara maju dan berkembang. Pencemaran tersebut disebabkan karena masuknya zat-zat asing kedalam lingkungan, sebagai akibat dari tindakan manusia yang menyebabkan perubahan fisik, kimia dan biologis lingkungan (Cheevaporn V., Piamsak M. 2003; Suparmoko dan Maria R. Suparmoko, 2000). Berdasarkan UU No. 23/1997, pencemaran lingkungan hidup didefinisikan sebagai
peristiwa masuknya mahluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain kedalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Dengan kata lain bahwa limbah yang menyebabkan pencemaran lingkungan merupakan eksternalitas negatif dari suatu akifitas. Pencemaran pesisir dan lautan pada umumnya terjadi karena adanya pemusatan penduduk, pariwisata, dan industrialisasi di daerah pesisir. Faktorfaktor tersebut secara langsung dan tidak lansung telah banyak menyebabkan gangguan kehidupan organisme (termasuk manusia) di darat maupun perairan (Supriharyono, 2000; Clark, 1998; Costanza, 1999). Banyak anggapan bahwa laut merupakan ”tempat sampah” yang cukup praktis dan ideal, baik berupa sampah domestik, maupun limbah industri. Laut yang luas diasumsikan akan mampu menampung, menghancurkan dan melarutkan setiap bahan-bahan yang dibuang ke perairan laut. Seringkali kita lupa bahwa perairan laut merupakan suatu sistem yang memiliki batasan kemampuan dalam melarutkan dan mengurai limbah. Akibatnya terjadi penumpukan yang menyebabkan perubahan fisik, kimia dan biologis (Dahuri, 1996). Perubahan kualitas lingkungan pesisir dan laut tersebut secara lambat laun akan menyebabkan ketidakberlanjutan aktifitas ekonomi dan yang lebih fatal lagi mengancam keselamatan manusia itu sendiri. Salah
satu
5
contohnya yang cukup fenomenal adalah kasus Minamata di Jepang sekitar tahun 1950-an, yang telah menyebabkan berbagai organisme mati termasuk manusia (Supriharyono, 2000). Berkaitan dengan pengaruh bahan pencemar lingkungan pesisir dan laut, Williams (1979) mengelompokkan bahan pencemar menjadi tiga tipe, yaitu bahan patogenik, estetik dan ekomorpik. Bahan pencemar yang bersifat patogen (pathogenic pollutants) adalah bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada menusia, misalnya pencemaran logam berat. Bahan pencemar yang berkaitan dengan nilai keestetikan (aesthetic pollutants), yaitu bahan pencemar yang menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang tidak nyaman untuk indera mata, telinga atau hidung, misalnya tumpukan sampah atau limbah organik. Sedangkan bahan pencemar yang ekomorfik (ecomorphic pollutants) adalah bahan pencemar yang menghasilkan perubahan sifat-sifat fisik lingkungan, misalnya limbah air panas, minyak. Berdasarkan sumber limbah yang menyebabkan pencemaran lingkungan pesisir dapat dibedakan menjadi empat, yaitu limbah domestik/rumah tangga, limbah pertanian, limbah radioaktif dan limbah Industri. Limbah Industri walaupun sudah diproses di IPAL, kualitas buangan limbah masih di atas baku mutu lingkungan, sehingga permasalahan lingkungan masih sering muncul di daerah sekitar kawasan Industri tersebut (Russo, 2002.). Sebagian limbah industri bersifat sulit larut air, cenderung mengapung di permukaan air. Berdasarkan sifat fisik-kimia limbah, tingkah laku limbah di perairan, pengaruhnya terhadap organisme, dan jenis limbah maka limbah industri dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) Bahan Organik yang terlarut, termasuk bahan beracun, tahan urai (persisten) dan dapat diurai secara biologis (biodegradable); (2) Bahan-bahan anorganik, termasuk unsur hara; (3) Bahan-bahan organaik yang tidak terlarut; (4) Bahan-bahan anorganik yang tidak terlarut; dan (5) Bahan-bahan radioaktif (Supriharyono, 2000). Selanjutnya yang akan banyak dikutip sebagai referensi sumber pencemaran lingkungan pesisir adalah pencemaran oleh limbah dari akifitas industri minyak, karena sesuai dengan kondisi lokasi penelitian yaitu kota Dumai. Kota Dumai merupakan salah satu kota di Indonesia yang geliat pembangunan
6
ekonominya sebagian besar bertumpu pada industri terutama minyak, baik industri pengolahan minyak kelapa sawit dan pengilangan minyak bumi. Minyak bumi merupakan campuran komponen-komponen bahan organik alami yang sangat komplek. Minyak dibentuk dari hasil perombakan hewan dan tumbuh setelah waktu geologis yang cukup panjang. Minyak bumi terdapat dalam bentuk gas (gas alam), cair (minyak mentah), padat (aspal, tar, bitumen) dan kombinasi bentuk-bentuk tersebut. Minyak bumi mengandung beribu-ribu komponen kimia yang berbeda dan lebih dari 50 % berupa hidrokarbon. Sebagian besar dari hidrokarbon tidak dapat diurai secara biologis tapi relatif tidak beracun. Selain senyawa-senyawa hidrokarbon, minyak bumi juga mengandung komponen organik lainnya, yaitu komponen yang mengandung belerang, nitrogen, oksigen dan logam. Sebagian besar dari komponen-komponen yang bukan senyawa hidrokarbon dapat terurai secara biologis. Akan tetapi kemampuan dan kecepatan penguraian sangat tergantung dari kondisi lingkungan sekitarnya (Antti Pasila. 2004; Ryder, et all. 2004; Supriharyono, 2000). Menurut GESAMP dalam Supriharyono (2000) pencemara perairan pesisir dan laut oleh limbah minyak bumi dapat berasal dari 4 sumber yang berbeda, yaitu: (1) kecelakaan dan tumpahan selama proses produksi, transportasi dan penggunaan; (2) melalui limbah domestik dari industri; (3) presipitasi dari atmosfer dan (4) rembesan alamiah dari dasar laut (Tabel 2).
Tabel 2. Sumber-sumber pencemaran minyak yang terjadi di pesisir dan lautan. Sumber Pencemaran
Tahun 1973 * (Juta Ton)
Kecelakaan Tengker 0,20 Oprasi tengker 1,33 Akifitas transportasi lain 0,60 Run-Off melalui sungai dan urban 1,90 Fasilitas pantai (pabrik, 0,80 pelabuhan) Produksi minyak lepas 0,08 Jatuhan dari atmosfer 0,60 Rembesan dari alam 0,60 Total 6,11 Sumber: * NAS (1975); ** Cormack (1983)
Tahun 1978 **
%
(Juta Ton)
%
3,3 21,8 9,8 31,1
0,30 0,98 010 1,80
6,1 19,8 2,0 36,4
13,1
0,51
10,3
1,3 9,8 9,8 100
0,06 0,60 0,60 4,95
1,2 12,1 12,1 100
7
Pencemaran minyak sangat berbahaya bagi organisme, ekosistem pesisir termasuk manusia. Pada organisme dan ekosistem pesisir, pencemaran minyak bersifat lethal (mematikan) maupun sublethal (menghambat pertumbuhan, reproduksi dan proses fisiologi lainnya) (Cho, et all. 2004; Dana, et all. 2004; Katayama, et all. 2003; ).
Tabel 3. Ranking kepekaan lingkungan pesisir dan laut terhadap pencemaran minyak Ekosistem Ranking Sifat Kepekaan Terumbu Karang Mangrove Estuari Intertidal Padang Lamun Zona Upwelling Pantai Berpasir Pantai Berbatu Sumber: API (1985)
1 2 3 4 5 6 7 8
Medium-High High High High Medium-High Low Low-Medium Low
Selain pencemaran minyak, industri juga banyak menghasilkan buangan limbah logam berat. Karena pada umumnya logam berat digunakan dalam proses industri. Limbah logam berat di duga sebagai bahan penyebab pencemaran air yang cukup berbahaya. Menurut Bryen (1976) ada 18 unsur logam yang dipertimbangkan sebagai penyebab pencemaran air, misalnya merkuri (Hg), Timbal (Pb), Cadmium (Cd) dan lain-lain. Secara umum sumber pencemaran logam berat dapat dibagi dua, yaitu dari alam dan buangan akifitas manusia. Logam berat dari alam bersumber: •
Masukan dari pantai (coastal supply), yang berasal dari sungai-sungai dari hasil abrasi pantai oleh akifitas gelombang.
•
Masukan dari laut dalam (deep sea supply), meliputi logam-logam yang dihasilkan dari akifitas gunung berapi laut dandari proses kimiawi dasar laut.
•
Masukan dari lingkungan darat dekat pantai termasuk logam berat yang di bawa angin sebagai debu. Sedangkan sumber logam akibat akifitas manusia sebagian besar
dihasilkan dari akifitas industri, misalnya industri pemurnian minyak (Cd, Cr, Cu, Fe, Pb, Zn, Ni), industri kertas (Cr, Cu, Hg, Pb, Ni, Zn). Sebagian besar industri
8
menggunakan berbagai macam logam berat dalam proses produksi, hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam melacak asal sumber pencemaran tersebut. ini dikarenakan rasio logam berat yang digunakan oleh setiap industri adalah tidak sama (Takarina, et all., 2004). Logam berat pada umumnya memiliki sifat mudah larut dalam air. Sifat kelarutan tersebut menyebabkan logam berat sangat berbahaya bagi organisme dan ekosistem pesisir termasuk manusia. Pengaruh logam berat terhadap organisme laut dan manusia dapat bersifat lethal (mematikan) dan sublethal (menghambat reproduksi, penyakit)
(Cheung, et all., 2002; Grande, et all.,
2003;). Daya racun logam biasanya dinyatakan dalam Median Lethal Concentration (LC50). berdasarkan berbagai penelitian maka daya racun logam berat dapat di urutkan sebagai berikut Cu>Cd>Be>Sb>Ni>V>Pb>Ti>U>Zr>Mo. Daya racun logam berat tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik, kimia dan biologis lingkungan sekitarnya. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan, inhalasi pernapasan, maupun penetrasi kulit. Kemudian logam tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh sehingga menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh tersebut. misalnya logam Cromium (Cr) yang menyebabkan imfeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang dapat menimbulkan kanker pada organ pernapasan, seperti yang terjadi di masyarakat Pulau Hokkaido Jepang yang menderita kanker paru-paru akibat debu logam Cr4+ dari pabrik Kiryama (Russo, 2002; Wittmann, 1979;).
Pengendalian Pencemaran Lingkungan Dalam Teori Ekonomi Sumberdaya Alam, ada empat solusi yang bisa dilakukan untuk mengurangi pencemaran atau eksternalitas negatif tersebut. Pertama, dengan menginternalisasi biaya eksternalitas tersebut ke dalam biaya produksi perusahaan. Hal ini akan menyebabkan biaya produksi dari perusahaan menjadi lebih tinggi, dan harga jual produk yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Sehingga hasil penjualan dari produk tersebut dapat dikompensasikan untuk mengurangi dampak eksternalitas dari perusahaan tersebut (Anonims. 2004; Alexander, et all., 1998).
9
Kedua, adalah dengan Coasian bargaining. Cara ini menurut Coase, antara masyarakat sekitar dengan pemilik perusahaan harus melakukan perundingan antara kedua belah pihak. Masyarakat meminta secara langsung kompensasi atas derita yang diterima akibat akifitas yang dilakukan perusahaan. Dan perusahaan harus membayar sebesar kerugian yang diterima oleh masyarakat tersebut. Solusi ini dianggap paling efisien karena masyarakat bisa meminta sesuai dengan yang dideritanya tanpa melalui perantara pihak ketiga (pemerintah). Dan perusahaan juga bisa menawar sesuai dengan kemampuannya kepada masyarakat secara langsung tanpa melalui pemerintah (Cantlon, 1999). Selama
ini,
negosiasi
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
yang
mengatasnamakan masyarakat dengan pemerintah dianggap tidak efisien. Karena kompensasi yang diberikan pihak perusahaan kepada masyarakat tidak sepenuhnya diberikan kepada masyarakat. Dengan alasan biaya administrasi atau biaya negosiasi, uang jasa atau uang apapun namanya, kompensasi tersebut dipotong sepihak oleh oknum pemerintah tersebut (Anonims. 2004; Cantlon. 1999). Dengan demikian, kompensasi yang diterima masyarakat tidak sebanding dengan penderitaan yang mereka terima. Bahkan bisa jadi masyarakat tidak menerima kompensasi apapun jika masyarakat tidak mampu menuntut haknya. Masyarakat pada umumnya tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Atau bahkan tidak tahu jika mereka memiliki hak kompensasi atas eksternalitas negatif yang ditimbulkan pihak perusahaan. Kondisi ini akan semakin memperparah keadaan masyarakat. Justru kesempatan ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk memperkaya diri sendiri (Cantlon. 1999). Ketiga yaitu melalui Govenrment Intervention dan Command and Control (CAC). Cara ini yang umumnya terjadi di Indonesia. Pemerintah yang selalu mengatasnamakan masyarakat untuk memperjuangkan nasib masyarakat sekitar. Cara ini dianggap kurang efisien, karena sebagaimana yang telah disinggung di atas, hasilnya tidak bisa maksimal sampai kepada masyarakat. Cara ini dianggap tidak efisien karena memerlukan birokrasi yang panjang, yang tentu saja berpengaruh terhadap biaya yang besar. Biaya ini selain dibebankan kepada negara, juga berpeluang menggunakan ”uang” hasil negosiasi.
10
Keempat yaitu yang disebut dengan Pigovian Tax. Cara ini menurut Pigou, pajak yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah, harus diserahkan kepada masyarakat sekitarnya yang terkena dampak eksternalitas tersebut. Dana tersebut menurut Pigou harus diserahkan langsung kepada masyarakat sebesar pajak yang seharusnya dibayarkan perusahaan kepada negara. Cara ini juga dianggap lebih efisien karena jumlah yang dibayarkan bisa dihitung sebesar pajak yang harus dibayarkan kepada masyarakat.
Pendekatan Valuasi Ekonomi Pemikiran mengenai valuasi ekonomi sebenarnya bukanlah hal yang baru. Konsep ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan Undang-Undang River and Harbor Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan tentang keseluruhan manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih berkembang setelah perang dunia kedua dimana konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau tidak langsung dan yang tidak nampak (intangible). Pendekatan valuasi dapat dilakukan dengan empat pendekatan: Pertama, Perubahan produksi, ini terdiri dari produksi apa saja, misalnya produksi pertanian, perikanan, produksi air. Selain itu, perubahan tingkat kesehatan (health) dalam masyarakat yang menyebabkan produktivitas dari masyarakat tersebut menurun. Selain itu juga opportunity cost (alternatif yang hilang) juga bisa menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas, misalnya perubahan dari sopir taxi menjadi sopir bajai. Jadi sopir taksi tersebut tidak ada alternatif lagi kecuali hanya menjadi sopir taxi. Disebut juga biaya korbanan karena harus mengorbankan tidak menjadi sopir bajai. Makin banyak alternatif bagi manusia maka pilihan alternatif adalah pilihan yang terdekat yang dipilih. Contoh lain, misalnya sebelum sekolah pendapatan 1 juta, setelah sekolah uang 1 juta tersebut hilang, ini yang disebut dengan oportunity cost. Kedua, Nilai Property (Hedonic approach, nilai lahan, beda pendapatan/upah). Terjadi perubahan pendapatan. Misalnya tadinya sebagai petani, sekarang menjadi tukang batako. Ketiga, metode survey (Survey method) seperti Contingan Valuation Method/WTP, dilakukan
11
dengan mensurvey sekelompok orang untuk mengukur seberapa besar mereka mau membayar. Kempat, Pasar pengganti (surrogate market) atau disebut juga dengan travel cost. Menurut Barbier et. al. (1997), ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis dan (3) total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari akifitas tertentu, misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat. Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan menjumlahkan kehendak untuk membayar (CVM, Willingness To Pay,/WTP) dari banyak individu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, CVM merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yang dipertanyakan. Jadi dengan demikian, VE dalam konteks lingkungan hidup adalah tentang pengukuran preferensi dari masyarakat (people) untuk lingkungan hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Valuasi merupakan fundamental
untuk
pemikiran
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). Hal yang sangat penting untuk dimengerti adalah, apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan VE. Hasil dari valuasi dinyatakan dalam nilai uang (money terms) sebagai cara dalam mencari preference revelation, misalnya dengan menanyakan "apakah masyarakat berkehendak untuk membayar?". Lebih lanjut dinyatakan bahwa penggunaan nilai uang memungkinkan membandingkan antara "nilai lingkungan hidup (environmental values)" dan "nilai pembangunan (development values)". Pada prinsipnya VE bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan VE perlu diketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yang seharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut. Selanjutnya adalah apa penyebab terjadinya bias harga tersebut. Ilmu ekonomi sebagai perangkat melakukan VE
12
adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-pilihan (making choices). Pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif yang dihadapkan kepada kita tentang lingkungan hidup adalah lebih kompleks, dibandingkan dengan pembuatan pilihan dalam konteks; barang-barang privat murni (purely private goods). Dalam konteks lingkungan hidup, apa yang harus dibandingkan adalah satu barang dengan harga (priced good, private good), dan satu barang tanpa harga (unpricedgood, public good), misalnya ketika menentukan untuk investasi dalam pengendalian polusi, ketimbang kapasitas output ekonomi baru. Tetapi mungkin pula kita membandingkan dengan lebih dari dua barang tanpa harga (misalnya kualitas udara v.s. kualitas air). Dalam konteks pilihan ini diperlukan untuk memperhitungkan suatu nilai (inpute to a value) untuk barang atau jasa lingkungan (environmental good or service). Dalam pasar, individual mempraktekkan pilihan dengan membandingkan KUM mereka dengan harga produk. Mereka akan membeli barang apabila KUMnya melebihi harga, dan tidak berlaku sebaliknya. Perhitungan nilai (inputing values) melibatkan temuan beberapa ukuran dari KUM untuk kualitas lingkungan. Inilah secara esensial sebagai proses dari VE yaitu melibatkan temuan suatu ukuran KUM dalam menghadapi hambatan di mana kegagalan pasar tidak dapat memberikan harga secara langsung. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif. Dalam hal ini tidak saja market value dari barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Pertanyaan yang sering timbul misalnya bagaimana mengukur, atau menilai jasa tersebut adalah konsumen tidak mengkonsumsinya secara langsung, bahkan mungkin tidak pernah mengunjungi tempat dimana sumberdaya alam tersebut berada. Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah dengan menghitung Nilai Ekonomi Total (TEV). Nilai Ekonomi Total (NET) adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai
13
sasaran. Nilai Ekonomi Total ini dapat dipecah-pecah ke dalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi misalnya dalam kontek penentuan alternatif penggunaan lahan dari ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat (a benefit - cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem terumbu karang dapat dibenarkan (justified) apabila manfaat bersih dari pengembangan ekosistem tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan NET dari ekosistem terumbu karang tersebut. NET ini juga dapat diinterpretasikan sebagai NET dari perubahan kualitas lingkungan hidup.
Valuasi Biaya Dalam ekonomi non pasar, opportunity cost dari tenaga kerja dibagi menjadi dua bagian yaitu biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah sejumlah biaya dari hilangnya output, ditambah dengan berubahnya kebiasaan mereka bekerja. Biaya tersebut merupakan biaya yang harus diberikan kompensasi sebagai ganti rugi atas hilangnya kesempatan buruh untuk bekerja. Sedangkan biaya tidak langsung adalah jika waktu bekerja dari buruh berkurang akibat adanya penambahan teknologi baru seperti mesin baru, sehingga menyebabkan kapasitas produksi menjadi meningkat, (Abelson, 1980). Lebih lanjut Abelson (1988) mengatakan bahwa, bentuk dari biaya eksternal adalah apabila sebuah perusahaan dalam melakukan produksi menimbulkan polusi terhadap air, sehingga menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengembalikan kualitas air menjadi meningkat. Untuk mengestimasi atau mengukur biaya eksternal ini relatif sulit, tetapi pada prinsipnya biaya ini dapat dimasukkan ke dalam biaya produksi perusahaan tersebut. Masalahnya adalah tidak adanya nilai harga pasar yang jelas untuk mengestimasi biaya tersebut. Serta metode untuk mengestimasi biaya dari barangbarang yang tidak terdapat di pasar juga cukup rumit. Yang bisa dipergunakan untuk mengestimasi harga dari barang-barang yang tidak terdapat di pasar tersebut adalah melalui keinginan masyarakat untuk membayar (willingness to pay;WTP). Sebab setiap orang tidak menginginkan barang-barang tersebut punah, baik untuk kebutuhan rekreasi ataupun untuk kebutuhan lainnya. Nilai tersebut kemudian
14
dijadikan kompensai kepada masyarakat. Kemudian cara lain untuk mengestimasi biaya eksternal tersebut adalah melalui penyesuaian atau assesment dari hargaharga tersebut sebagai sebuah aset milik masyarakat. Gambar 1 di bawah ini mengilustrasikan WTP terhadap tingkat kepuasan suatu rumah tangga: The utility of income
x x
0
9,6
10,0
11.0 Income Rp.000.p.a.
Gambar 1 Penurunan Kepuasan Akibat Pendapatan
Valuasi Manfaat Menurut Abelson (1988), manfaat dari suatu program kegiatan, termasuk manfaat yang dikonsumsi oleh masyarakat dan manfaat eksternal dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (a) menurunnya biaya produksi, (b) nilai dari barangbarang yang terdapat di pasar, (c) nilai dari barang-barang yang tidak terdapat di pasar. Dalam situasi kerjasama, manfaat ini diperoleh melalui pengurangan biaya produksi dari suatu perusahaan. Kemudian biaya tersebut dapat disimpan sebagai manfaat bagi perusahaan. Manfaat bersih dari barang-barang tersebut oleh Abelson (1988) ditunjukkan oleh area A antara kurva permintaan dan biaya marginal di bawah ini (Gambar 2):
15
Harga Rp. Marginal biaya penawaran
P1 A
P0
E Kurva permintaan WTP
Q0 Q0
Jumlah barang yang dijual
Gambar 2 Manfaat Ekonomi Dari Program Kegiatan Untuk mengestimasi manfaat kotor dengan barang-barang yang ada di pasar, analisa biaya manfaat dapat menjawab hal tersebut dengan (a) memprediksi manfaat yang akan dijual di pasar, (b) menyesuaikan dengan harga pasar dari biaya yang ingin dikeluarkan oleh masyarakat (WTP) atau membutuhkan penyesuaian dengan nilai yang berlaku dalam suatu rumah tangga. Manfaat dari barang-barang yang tidak terdapat di pasar direpresentasikan oleh area dibawah garis kurva permintaan, A+B dalam Gambar di atas.
Willingness To Pay Berbagai
macam
teknik
penilaian
dapat
digunakan
untuk
mengkuantifikasikan konsep nilai. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya, Munasinghe (1993) dalam Djijono (2002). Sedangkan teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam system alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al., 1987). Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu, kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi (Pearce dan Moran, 1994). Pearce dan Moran (1994) menyatakan kesediaan membayar dari rumah tangga ke i untuk perubahan dari kondisi lingkungan awal (Q0) menjadi kondisi
16
lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam fungsi berikut:
WTPi = f (Q1 − Q0 , Pown,i , Psub ,i , S i , ) dimana: WPTi = Kesediaan membayar dari individu ke i Pown = Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan P sub,i, = Harga substitusi untuk penggunaan sumberdaya lingkungan Si, = Karateristik sosial ekonomi individu Keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang barada dalam posisi indifferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga (misalnya akibat sumberdaya makin langka) atau karena perubahan kualitas sumberdaya. Dengan demikian konspe WTP ini terkait erat dengan konsep Compensating Variation dan Equivalent Variation dalam teori permintaan. WTP juga dapat diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu. Sisi lain pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran WTP yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktik pengukuran nilai ekonomi, WTP bukan pengukuran yang berdasarkan insentif (insentive based) sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (behavioral model). Lebih jauh lagi Garrod dan Willis (1999) serta Hanley dan Splash (1993) menyatakan bahwa meski besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran 2 sampai 5 kali lebih besar daripada besaran WTP. Secara faktual, karena WTP terkait dengan pengukuran Contingen Valuation (CV) dan Economic Valuation (EV), maka WTP lebih tepat diukur berdasarkan permintaan Hicks (kurva permintaan terkompensasi) karena harga daerah di bawah kurva permintaan Hicks relevan untuk mengukur kompensasi. Dengan demikian jika terjadi perubahan −
harga dari P0 ke P akibat perubahan lingkungan, maka WTP didefinisikan sebagai berikut:
17
−
P
WTP =
∫ X (P, u )dP h
(1.1)
p0 −
= M ( P, u ) − M ( P0 , u ) −
Dimana M ( P, u ) adalah pendapatan setelah terjadi perubahan dengan utilitas konstrain dan M ( P0 , u ) adalah pendapatan awal. Persamaan di atas
mengGambarkan bahwa WTP merupakan daerah (diGambarkan dengan tanda integral) di bawah kurva permintaan Hicks yang dibatasi oleh harga pada kondisi baseline (P0) dan harga akibat perubahan (P). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik, ini setara dengan selisih pendapatan (M) yang dibutuhkan agar utilitas seseorang tetap setelah adanya perubahan.
Konsep Ekonomi Tentang Nilai
Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (Willingnes To Pay:WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa ”diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa, (Fauzi, 2004). Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus:CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus: PS) (Grigalunas and Conger, 1995: Freeman III, 2003) dalam Adrianto (2006). Lebih lanjut Adrianto (2006) mengatakan, surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara actual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak bibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser
18
(PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. Secara grafik, kedua konsep CS dan PS tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Comsumers Surplus
Suplay curve
Produsers Surplus P
Demand curve Q
Gambar 3. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen
Sementara itu, Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006) menyebutkan bahwa pengetian “value” dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai interinsik (intrinsic value) atau sering juga disebut sebagai Kantian value dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai intrinsic apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang mungkin terkait dengan komoditas lain. Komoditas yang sering disebut memiliki intrinsic value adalah komoditas yang terkait dengan alam (the nature) dan lingkungan (the environments). Sedangkan instrumental value dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu. Dalam konteks tipologi nilai seperti tersebut diatas, Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006) berargumentasi bahwa konsepsi instrumental value lebih mampu menjawab persoalan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut, daripada konsepsi intrinsic value.
Untuk mengetahui nilai
instrumental dari alam, tujuan spesifik dari upaya tersebut harus disusun. Dalam konteks ini, nilai ekonomi sumberdaya alam (the value of nature) lebih condong pada konsepsi tujuan untuk kesejahteraan manusia (human welfare). Dengan kata
19
lain, sebuah komponen alam akan bernilai tinggi apabila kontribusinya terhadap kesejahteraan manusia juga tinggi. Sebuah pemikiran anthroposentris yang memang melekat erat dengan disiplin ilmu ekonomi ortodoks. Konsep-konsep seperti individual welfare, individual preferences, dan lain-lain menjadi komponen utama bagi penyusunan konsep nilai ekonomi ini, seperti yang telah dijelaskan melalui konsep CS dan PS di atas. Dalam pandangan ecological economics, tujuan valuation tidak semata terkait dengan maksimisasi kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi, Constanza and Flke, (1997) dalam Adrianto (2006). Bishop (1997) dalam Adrianto (2006) juga menyatakan bahwa valuation berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan ekologi dan keadilan distribusi tersebut. Dalam konteks ini, Constanza (2001) dalam Adrianto (2006) menyatakan bahwa perlu ada ketiga nilai tersebut yang berasal dari tiga tujuan dari penilaian itu sendiri.
Surplus Konsumen
Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu produk dan kesediaan untuk membayar, Samuelson dan Nordhaus, 1990; Pomeroy, (1992) dalam Djijono (2002). Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berdasarkan pada hukum utilitas marginal
yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus
konsumen, karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat rendah yang sama, Samuelson dan Norhaus (1990). Pada pasar yang berfungsi dengan baik, harga pasar mencerminkan nilai marginal, seperti unit terakhir produk yang diperdagangkan, Pomeroy (1992). Secara sederhana, surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permitaan dan garis harga, Samuelson dan Nordhaus, 1990 dalam Djijono (2002). Konsumen mengkonsumsikan sejumlah barang M. Seorang akan mau membayar harga yang mencerminkan faedah marginal pada tingkat konsumsi itu.
20
Dengan melihat perbedaan dalam jumlah yang dikonsumsikan, kemauan seseorang akan membayar berdasarkan fungsi faedah marginal dapat ditentukan. Hasilnya adalah kurva permintaan individu untuk Q (Gambar 2). Karena faedah berlereng turun ke kanan (negative), maka demikian pula kurva permintaannya. Kurva permintaan ini dikenal dengan nama kurva permintaan Marshal (Hufschmidt et al., 1987). Digunakannya kurva permintaan Marshal, karena kurva permintaan tersebut dapat diestimasi secara langsung, Johansson (1987) dan mengukur kesejahteraan melalui surplus konsumen, sedangkan kurva permintaan Hicks mengukur kesejahteraan melalui kompensasi pendapatan, Turner, Pearce dan Bateman, (1994) (Gambar 4). P
R
Surplus konsumen
D N 0
Garis harga E
Q
Q
Gambar 4 Total Surplus Konsumen (Djijono, 2002)
Bidang di bawah kurva permintaan atau di atas garis harga merupakan surplus konsumen. Girgalunas dan Congar (1995) dalam Adrianto (2006) menyebutkan bahwa alat ukur yang baik untuk menghitung manfaat ekonomi bagi konsumen adalah surplus konsumen, yaitu perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dan apa yang dibayarkan. Pada kasus ini, surplus konsumen adalah keinginan konsumen untuk membayar.
Kesejahteraan
Pengertian mengenai kesejahteraan berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga keadaan sejahtera yang dialami oleh seseorang belum tentu berarti sejahtera bagi yang lainnya. Kesejahteraan tidak saja menyangkut aspek yang bersifat lahiriah atau material, tetapi juga yang bersifat bathiniah atau spritual. Dalam ekonomi mikro, indicator yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang itu dikatakan sejahtera atau tidak adalah melalui tingkat
21
kepuasan. Apabila seseorang mengaku puas dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa, maka orang tersebut dapat dikatakan sejahtera. Menurut Sukirno (1985) dalam Wiwit (2005) kesejahteran adalah suatu yang bersifat subyektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. BPS (1991) menyatakan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif, sehingga ukuran kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain. Pada prinsipnya kesejahteraan dari individu atau keluarga tersebut sudah tercapai. Kebutuhan dasar erat kaitannya dengan kemiskinan. Apabila kebutuhan dasar belum terpenuhi oleh individu atau keluarga, maka dikatakan bahwa individu atau keluarga berada dibawah garis kemiskinan. Menurut BPS (1996), pendapatan per kapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Ekonomi masyarakat yang makmur ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang tinggi, dan sebaliknya ekonomi masyarakat yang kurang makmur ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang rendah. Kesejahteraan rakyat mempunyai aspek yang sangat kompleks dan tidak memungkinkan untuk menyajikan data yang mampu mengukur semua aspek kesejahteraan. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan indikator kesejahteraan yang dipergunakan Badan Pusat Statistik dalam Susenas 1991, indikator tersebut adalah: 1)
Pendapatan per kapita per tahun
2)
Konsumsi rumah tangga per tahun
3)
Keadaan tempat tinggal
4)
Fasilitas tempat tinggal
22
5)
Kesehatan anggota rumah tangga
6)
Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan dan medis
7)
Kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan
8)
Kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi
9)
Kehidupan beragama
10) Perasaan aman dari tindakan kejahatan 11) Perasaan aman dari tindakan kejahatan Tingkat kesejahteraan sosial diukur dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga yang didasarkan pada pola pengeluaran untuk pangan, barang dan jasa, rekreasi, bahan bakar dan perlengkapan rumah tangga. Pendekatan pengamatan dilakukan terhadap kondisi perumahan, kesehatan, pendidikan, dan pola pengeluaran rumah tangga. Penilaian terhadap kondisi perumahan didasarkan pada jenis dinding rumah, jenis lantai, jenis atap serta status kepemilikan. Pendekatan untuk menilai kondisi kesehatan berdasarkan kondisi sanitasi perumahan serta kondisi perlengkapan air minum, air mandi, cuci dan kakus (BPS 1991). Tinjauan kesejahteraan masyarakat dapat pula dilihat melalui kondisi maupun fasilitas yang dimiliki suatu tempat tinggal. Perumahan (papan) adalah salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting selain makan (pagan) dan pakaian (sandang) dalam pencapaian kehidupan yang layak. Kesehatan dapat juga sebagai ukuran kesejahteraan seseorang, karena faktor yang mempengaruhi kesehatan antara lain konsumsi makanan yang bergizi, sarana kesehatan serta keadaan sanitasi lingkungan yang tidak memadai. Gizi merupakan indikator utama dalam komponen gizi dan konsumsi yang digunakan dalam mengGambarkan taraf hidup. Penyebab kekurangan gizi adalah tingkat pendidikan yang masih rendah, dan daya beli masyarakat yang rendah, serta dikatakan bahwa tingkat ekonomi yang masih rendah menyebabkan masyarakat belum mampu memperoleh pelayanan kesehatan (BPS 1993).
Analisis Prospektif Partisipatif (Participatory Prospective Analysis/PPA)
Prosepektif Partisipatif Analisis merupakan suatu metode yang digunakan dalam permasalah suatu sistem dimana pakar atau tokoh stakeholder terlibat dalam
23
pengambilan keputusan (Saur, 1991). Hatem, Caze, dan Roubelat (1993, p.18) memberikan penjelasan secara filosofis bahwa analisis prospektif merupakan ” melihat masa depan untuk menerangi saat saat ini”. Metode ini suadah di akui dan gunakan secara formal sejak 1990an oleh para peneliti dan praktisi pemabngunan Prancis (Godet, 1991). Analisis Prospektif bukan metode yang fokus untuk mengoptimasi solusi tapi untuk menetapkan pilihan-pilihan yang dibutuhkan dalam pengambillan keputusan. Analisis prospektif merupakan suatu metode Secara filosofi prinsip metode PPA adalah: (1) •
Efektif; Metode ini didesain untuk keperluan implemetasi yang memrlukan waktu yang singkat. Total waktu yang dibutuhkan untuk persiapan sampai implemetasi metode hanya 20-40 hari kerja.
•
Partisipasi; Metode PPA merupakan metode yang menggali dan melibatkan secara utuh stakeholder yang terlibat dengan sistem dalam merancang masa depan.
•
Konsistensi; metode PPA di implementasikan berdasarkan tahapan-tahapan yang sistematis dan saling terkait tiap tahapan pelaksanaan, sehingga menghasilkan suatu keputusan yang koherens.
•
Reproducibility; metode ini dapat digunakan dimanapun dan kapanpun, dengan kata lain metode ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
•
Transparansi; metode ini bukan suatu ”kotak hitam” atau manipulasi dalam implementasinya, seperti hipotesis atau formula model yang disembunyikan. Semua tahapan
merupakan dokumen
yang jelas dan detai dalam
pelaksanaannya dan kesimpulannnya merupakan kesimpulan bersama stakeholder yang terlibat. •
Aktual/Relevan; metode ini dibangun berdasarkan kebutuhan stakeholder dalam menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga hasil yang diperoleh merupakan suatu yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
Metode PPA merupakan pengembangan dari program Delphi yang menggunakan pendapat atau aspirasi stakeholder untuk pengambilan keputusan. Adapun tahapan dalam implementasi metode PPA adalah: (1) mendefinisikan batasan sistem, (2) mengidentifikasi faktor yang terkat dengan permasalahan, (3) Menjelaskan
24
variabel kunci,(4) Analisi pengaruh setiap faktor dengan memberikan skor, dan (5) interpretasi pengaruh atau ketergantungan (Gambar 5)
P e n g a r u h
Faktor Penentu INPUT
Faktor Penghubung STAKE
Faktor Bebas UNUSED
Faktor Terikat OUTPUT
Ketergantungan Gambar 5. pemetaan pengaruh dan ketergantungan faktor
Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Whittington D. Dan J. Davis, data yang diperoleh dikumpulkan dengan menggunakan teknik CVM dan dugunakan untuk memperkirakan sebuah ”fungsi penilaian”, hubungan fungsional antara kemampuan membayar responden terhadap barang atau jasa dengan karakteristik sosial ekonomi dan demografi responden. Penelitian ini dilakukan di Lugazi, Uganda selama bulan Juli 1994. Survei rumah tangga digunakan untuk mendapatkan informasi tentang penggunaan air dan sanitasi responden saat ini, karakteristik sosial ekonomi dan demografi, dan kemampuan membayar untuk perbaikan air dan sanitasi. Penyesuaian masyarakat digunakan untuk mendapatkan persepsi responden terhadap air dan sanitasi yang sudah ada, dan untuk menyediakan informasi tentang kemungkinan jenis-jenis perbaikan. Dalam kasus ini perbedaan antara survei rumah tangga dan penyesuaian masyarakat tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan. Data yang diperoleh dengan penggunaan WTP sangat kuat bahwa range dari pencarian tiap penilaian pertanyaan adalah kecil, bahkan dengan adanya pengurangan ukuran contoh yang lebih dari 70%. Penilaian ini merupakan langkah awal perbandingan pendekatan penelitian participatory yang berbeda.
25
Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan jika sistematik yang berbeda sering digunakan, dimana data yang dikumpulkan menggunakan teknik yang berbeda dan jika pendekatan secara khusus menghasilkan keakuratan dan informasi yang reliabel bagi peneliti. Penelitian selanjutnya yang dilakukan juga oleh Whitington (1995) adalah penelitian mengenai besarnya kemampuan penduduk di kota Semarang untuk membayar perbaikan sistem saluran pembuangan kotoran dengan menggunakan konsep CVM. Responden yang diteliti sekitar 42 rumah tangga di tiga kelurahan yang dipilih secara sengaja. Hasil survei menunjukkan bahwa rumah tangga yang memiliki saluran air pribadi merupakan jumlah yang minoritas. Beberapa rumah tangga tanpa saluran pribadi medapatkan air untuk minum dan memasak dari publik, dimana yang lainnya membayar lebih tinggi dari penjual air. Kebanyakan rumah tangga yang memiliki saluran air pribadi, mempunyai sumur sendiri. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kemampuan membayar rumah tangga untuk sistem pembuangan sangatlah rendah. Secara umum, hasilnya yang diperoleh mengenai perrmintaan rumah tangga untuk perbaikan sanitasi pembuangan air sangat tinggi ketidakpastiannya, masyarakat di kota Semarang terlihat tidak begitu memberikan perhatian khusus akan perbaikan saluran pembuangan air. Menurut data Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Riau tahun 2005 menyebutkan bahwa secara umum eksternalitas yang terjadi di Kota Dumai mengaku tidak merasa terganggu terhadap adanya pencemaran yang terjadi di kota Dumai. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada Gambar 6 berikut:
26
Persepsi Masyarakat Terhadap Gangguan Debu Kilang Pertamina UP II DUmai Tahun 2005
Persepsi masyarakat Terhadap Gangguan Kebisingan Aktivitas Kilang Tahun 2005
Ju m lah
30 20
Series1
Tidak
terganggu
Kurang
Sangat
terganggu
0
terganggu
10 Terganggu
Jumlah
40
60 50 40 30 20 10 0
Series1
Sangat terganggu
Terganggu
Kurang terganggu
Tidak terganggu
Tingkat Gangguan
Tingka t Ga nggua n
Jumlah
Persepsi Terhadap Bau yang Ditimbulkan Kilang Pertamina UP II Dumai Tahun 2005 70 60 50 40 30 20 10 0 Sangat terganggu
Terganggu
Kurang terganggu
Tidak terganggu
Tingkat Gangguan
Sumber: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Riau tahun 2005 Gambar 6. Persepsi Masyarakat Terhadap Gangguan Debu Kilang Pertamina UP II Dumai Tahun 2005