BAB II STUDI PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Umum Jembatan box girder adalah sebuah jembatan dimana struktur atas jembatan terdiri dari balok-balok penopang utama yang berbentuk kotak berongga. Box girder biasanya terdiri dari elemen beton pratekan, baja struktural, atau komposit baja dan beton bertulang. Bentuk penampang dari box girder umumnya adalah persegi atau trapesium dan dapat direncanakan terdiri atas 1 sel atau banyak sel.
Gambar II-1 Jembatan Box Girder (http://meniksipil.blogspot.co.id/2011/10/macam-macam-struktur-jembatan.html)
Alasan menggunakan struktur box girder pada perencanaan ini adalah karena menurut box girder mempunya beberapa keuntungan (JEMBATAN BOX GIRDER SEGMENTAL, Johanes B Borsak P Sitanggang, Nova Arstriyanto, Himawan Indarto, Parang Sabdono) :
II - 1
BAB II STUDI PUSTAKA 1. Lebih efisien untuk penampangnya karena memiliki berat struktur yang lebih ringan. 2. Dari segi struktur kuat terhadap momen torsi karena merupakan satu kesatuan struktur. 3. Kuat terhadap gempa
Gambar II-2 Box Girder (Sumber: https://fadlyfauzie.wordpress.com/2012/12/02/mengenal-jembatan-box-girder/)
Jembatan box girder beton umumnya dipadukan dengan sistem prategang. Konsep prategang adalah memberikan gaya tarik awal pada tendon sebagai tulangan tariknya serta memberikan momen perlawanan dari eksentrisitas yang ada sehingga selalu tercipta tegangan total negative baik serat atas maupun bawah yang besarnya selalu dibawah kapasitas tekan beton. Struktur akan selalu bersifat elastis karena beton tidak pernah mencapai tegangan tarik dan tendon tak pernah mencapai titik plastisnya.
II - 2
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-3 Kabel Tendon pada Girder (Sumber: https://fadlyfauzie.wordpress.com/2012/12/02/mengenal-jembatan-box-girder)
Menurut Pedoman Persyaratan Umum Perencanaan Jembatan, Struktur jembatan yang berfungsi paling tepat untuk suatu lokasi tertentu adalah yang paling baik memenuhi pokok-pokok perencanaan jembatan yang meliputi: a. Kekuatan dan stabilitas struktur (structural safety) b. Keawetan dan kelayakan jangka panjang (durability) c. Kemudahan pemeriksaan (inspectability) d. Kemudahan pemeliharaan (maintainability) e. Kenyamanan bagi pengguna jembatan (rideability) f. Ekonomis g. Kemudahan pelaksanaan h. Estetika i. Dampak lingkungan pada tingkat yang wajar dan cenderung minimal
II - 3
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-4 Bentang Ekonomis Jembatan Bentang Ekonomis Jembatan (sumber: kajian DR. Ir. Mustazir- UGM)
2.1.1 Abutmen/ Kepala Jembatan Bangunan bawah jembatan yang terletak pada kedua ujung jembatan yang berfungsi memikul reaksi beban pada ujung jembatan dan dapat juga berfungsi sebagai dinding penahan tanah
Gambar II-5 Abutment/Kepala Jembatan (Sumber http://meniksipil.blogspot.co.id/2011/10/macam-macam-struktur-jembatan.html)
II - 4
BAB II STUDI PUSTAKA 2.1.2 Pier/Pilar Perencanaan pilar merupakan hal yang sangat penting dan mendasar yang akan mempengaruhi estetika, keekonomisan serta perilaku struktur dari jembatan. Pilar akan menerima gaya dari gelagar. Secara prinsip pemakaian beton pada pilar mempunyai dasar yang kuat mengingat akan mengalami gaya tekan yang besar. Pilar untuk jembatan box girder beton akan menerima gaya yang besar akibat bentang jembatan yang besar serta berat box girder itu sendiri. Penampang pilar dapat dibuat massif ataupun berongga.
Gambar II-6 Pilar Jembatan (http://meniksipil.blogspot.co.id/2011/10/macam-macam-struktur-jembatan.html)
2.1.3 Girder/Gelagar Box girder adalah sebuah jembatan dimana struktur atas jembatan terdiri dari balok-balok penopang utama yang berbentuk kotak berongga. Box girder biasanya terdiri dari elemen beton pratekan, struktural baja, atau komposit baja dan beton bertulang. Bentuk penampang dari box girder umumnya adalah persegi atau trapezium dan dapat direncanakan terdiri atas 1 sel atau banyak sel.
II - 5
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-7 Girder Jembatan (http://asiyahku.blogspot.co.id/2012/07/download-teknik-sipil-i.html)
2.1.4
Lock Up Device Fungsi dari lock up device adalah untuk memberikan suatu hubungan yang kaku (rigid link) antara dek jembatan dengan abutmen atau pilar jembatan, sehingga pada akibat beban yang cepat dangan durasi yang pendek seperti gempa, tabrakan, rem, gaya tersebut akan disalurkan ke perletakan. Akibat beban yang terjadi perlahan-lahan seperti suhu, susut dan rangkak, maka tidak terjadi hubungan kaku sehingga tidak terjadi penyaluran gaya.
Gambar II-8 Lock Up Device (http://meniksipil.blogspot.co.id/2011/10/macam-macam-struktur-jembatan.html)
II - 6
BAB II STUDI PUSTAKA 2.1.5
Modular Expansion Joint Sebagaimana umumnya jembatan bentang panjang, pergerakan pada dek jembatan akan selalu terjadi dan harus diakomodasi dengan baik. Untuk mengakomodasi pergerakan yang relative besar tersebut. Umumnya digunakan expansion joint tipe modular.
Gambar II-9 Modular Expansion Joint (http://meniksipil.blogspot.co.id/2011/10/macam-macam-struktur-jembatan.html)
2.1.6
Mehanical Bearing Sebagaimana umumnya jembatan bentang panjang, gaya-gaya pada perletakan akan memiliki magnitude yang besar. Untuk itu tipe perletakan yang digunakan pada jembatan bentang panjang adalah perletakan yang mempunyai kemampuan menahan gaya yang besar. Tipe perletakan mekanik seperti pot bearing dan spherical bearing umum digunakan pada jembatan bentang panjang.
II - 7
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-10 Mechanical Bearing (http://meniksipil.blogspot.co.id/2011/10/macam-macam-struktur-jembatan.html)
II - 8
BAB II STUDI PUSTAKA 2.2 Pengertian dan Prinsip Beton Prategang 2.2.1 Pengertian Beton Prategang Definisi beton prategang menurut beberapa peraturan adalah sebagai berikt: a. Menurut PBI – 1971 Beton prategang adalah beton bertulang dimana telah ditimbulkan tegangantegangan intern dengan nilai dan pembagian yang sedemikian rupa hingga tegangan-tegangan akibat beton-beton dapat dinetralkan sampai suatu taraf yang diinginkan. b. Menurut Draft Konsensus Pedoman Beton 1998 Beton prategang adalah beton bertulang dimana telah diberikan tegangan dalam untuk mengurangi tegangan tarik ptensial dalam beton akibat pemberian beban yang bekerja. c. Menurut ACI Beton prategang adalah beton yang mengalami tegangan internal dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat mengimbangi sampai batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban eksternal. Dapat ditambahkan bahwa beton prategang, dalam arti seluas-luasnya, dapat juga termasuk keadaan dimana tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh reganganregangan internal diimbangin sampai batas tertentu, seperti pada konstruksi melengkung.
2.2.2 Prinsip Dasar Beton Prategang Beton adalah material yang kuat dalam kondisi tekan, tetapi lemah dalam kondisi tarik, kuat tariknya bervariasi dari 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Karnea rendahnya kapasitasi tarik tersebut, maka retak lentur terjadi pada taraf pembebanan
II - 9
BAB II STUDI PUSTAKA yang masih rendah. Untuk mengurangi atau mencegah berkembangnya retak tersebut, gaya konsentris atau eksenteris diberikan dalam arah longitudinal elemen structural. Gaya ini mencegah berkembangnya retak dengan cara mengeliminasi atau sangat mengurangi tengang tarik di bagian tmpuan dan daerah kritis pada kondisi beban kerja, sehingga kapasitas lentur, geser, dan torsional peampang tersebut. Penampang dapat berperilaku elastis, dan hamper semua kapasitas beton dalam memikul tekan dapat secara efektif dimanfaatkan di seluruh tinggi penampang beton pada saat semua beban berkerja di struktur tersebut. Gaya longitudinal yan diterapkan diatas disebut gaya prategang, yaitu gaya tekan yang memberikan prategangan pada penampang di sepanjang bentang suatu elemen structural sebelum bekerjanya beban mati dan beban hidup transversal atau beban hidup horizontal transien. Jenis pemberian gaya prategang, bersama besarnya, ditentukan terutama berdasarkan jenis sistem yang dilaksanakan dan panjang bentang serta kelangsingan yang dikehendaki. Karena gaya prategang diberikan secara longitudinal di sepanjang atau sejajar dengan sumbu komponen struktur, maka prinsip prategang dikenal sebagai pemberian prategang.
Gambar II-11 Prinsip Dasar Prategang (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”)
II - 10
BAB II STUDI PUSTAKA Berdasarkan gambar II-11, dapa dijelaskan bahwa blok-blok beton bekerja bersama sebagai sebuah balok akibat pemberian gaya prategang tekan P yang besar. Meskipun mungkin blok-blok tersebut tergelincir dan dalam arah vertical mensimulasikan kegagalan gelincir geser, akan tetapi pada kenyataanya tidak demikian. Hal ini disebabkan adanya gaya longitudinal P.
2.2.3 Konsep Dasar Beton Prategang Menurut T.Y. Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep yang berbeda dapat dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang. a. Konsep pertama Sistem prategang untuk mengubah beton menjadi bahan yang elastis. Ini merupakan pemikiran Eugene Freyssinett yang memvisualisasi beton prategang pada dasarnya adalah beton yang ditransformasi dari bahan yang getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan terlebih dahulu atau disebut juga prategang. Dari konsep ini lah kita bisa menyebut tidak ada tegangan tarik pada beton. Pada umumnya jika tidak ada tegangan tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi retak dan beton tidak merupakan bahan yang getas lagi melainkan berubah menjadi bahan yang elastis. Dalam bentuk yang paling sederhana,balok persegi panjang diberi prategang oleh sebuah tendon sentris. Lihat Gambar II-12. Akibat gaya prategang F, akan timbul tegangan tekan merata sebesar : = Jika M adalah momen eksternal pada penampang akibat beban dan berat sendiri balok, maka tegangan pada setiap titik sepanjang penampang akibat M adalah :
II - 11
BAB II STUDI PUSTAKA .
=
Dimana y adalah jarak dari sumbu yang melalui titik berat dan I adalah momen inersia penampang. Jadi distribusi tegangan yang dihasilkan adalah: =
±
.
Gambar II-12 Distribusi Tegangan Beton Prategang Sentris (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”) Bila tendon ditempatkan eksentris (sebesar e), maka distribusi teganganya (lihat gambar II - 13) menjadi: = Dimana
+
+
adalah tegangan akibat momen eksentris.
Gambar II-13 Distribusi Tegangan Beton Prategang Eksentris (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”)
II - 12
BAB II STUDI PUSTAKA b. Konsep kedua, sistem prategang untuk kombinasi baja mutu tinggi dengan beton. Konsep ini mempertimbangka beton prategang sebagai kombinasi (gabungan) dari baja dan beton, seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan beton menahan tekanan, dengan demikian kedua bahan membentuk kopel penahan untuk melawan momen eksternal (gambar II - 14). Pada beton prategang, baja mutu tinggi dipakai dengan jalan menariknya sebelum kekuatanya dimanfaatkan sepenuhnya. Jika baja mutu tinggi ditanam pada beton, seperti pada beton bertulang biasa, beton disekitarnya akan menjadi retak berat sebelum seluruh kekuatan baja digunakan.
Gambar II-14 Momen Penahan Internal pada Balok Beton Prategang & Beton Bertulang (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”)
Gambar II-15 Balok Beton menggunakan Baja Mutu Tinggi (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”)
II - 13
BAB II STUDI PUSTAKA c. Konsep ketiga, Sistem prategang untuk mencapai perimbangan beban. Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai suatu usaha untuk membuat seimbang gaya-gaya pada sebuah batang (lihat Gambar 1.5 dan Gambar 1.6). Penerapan dari konsep ini menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan gaya-gaya yang bekerja pada beton sepanjang beton.
Gambar II-16 Balok Prategang dengan Tendon Parabola (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”)
Gambar II-17 Balok Prategang dengan Tendon membengkok (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”)
II - 14
BAB II STUDI PUSTAKA 2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Beton Prategang a. Kelebihan Beton prategang memberikan kelebihan-kelebihan teknis besar dibandingkan dengan konstruksi lainnya (beton bertulang biasa) seperti : Terhindarnya retak terbuka di daerah beton tarik, jadi lebih tahan terhadap korosif.
a) Pada beton bertulang b) Pada beton prategang Gambar II-18 Perbandingan Lendutan dan Retak antara Beton Bertulang dan Beton Prategang (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”) Penampang struktur lebih kecil/langsing, sebab seluruh penampang dipakai secara efektif. Terlihat bahwa kekuatan penampang beton pratekan enam kali lebih besar jika dibandingkan dengan beton bertulang.
a) Pada beton bertulang b) Pada beton prategang Gambar II-19 Penampang Beton Efektif (sumber : Edward G. Nawy, Bambang Suryoatmono. “Beton Prategang Jilid I”) Ketahanan geser balok bertambah, yang disebabkan oleh pengaruh pratekan yang mengurangi tegangan tarik utama. Pemakaian kabel yang melengkung, khususnya dalam untuk bentang panjang membantu mengurangi gaya geser yang timbul pada penampang tempat tumpuan.
II - 15
BAB II STUDI PUSTAKA Jumlah berat baja prategang jauh lebih kecil dibandingkan dengan berat baja tulangan biasa (1/5 – 1/3), sehingga berkurangnya beban mati yang diterima pondasi. Biaya pemeliharaan beton prategang lebih kecil, karena tidak adanya retakretak pada kondisi beban kerja (terhindar dari bahaya korosi). b. Kekurangan Dituntut kualitas bahan yang lebih tinggi (pemakaian beton dan baja mutu yang lebih tinggi), yang harganya lebih mahal. Dituntut keahlian dan ketelitian yang lebih tinggi.
II - 16
BAB II STUDI PUSTAKA 2.3 Material 2.3.1 Beton Berdasarkan SNI 2004 tentang beton untuk beton pratekan diperlukan mutu beton yang tinggi (min K-300) karena mempunyai sifat penyusutan dan rangkak yang rendah mempunyai modulus elastisitas dan modulus tekan yang tinggi serta dapat menerima tegangan yang lebih besar dibandingkan beton mutu rendah. Sifat-sifat ini sangat penting untuk menghindarkan kehilangan tegangan yang cukup besar akibat sifat-sifat beton tersebut. Sedangkan menurut ACI 318, beton mutu tinggi adalah beton yang mempunyai kuat tekan silinder melebihi 6000 psi (41,4 MPa). Untuk beton dengan kuat tekan antara 6000 sampai 12.000 psi (42-84 MPa). Dalam daerah angker, yang tegangan-tegangan dukungnya menjadi lebih tinggi, beton berkekuatan tinggi dipilih untuk menghindarkan pengangkuran khusus, sehingga dapat memperkecil biaya. Pada beton prategang penting untuk mengetahui diagram tegangan-regangan untuk memperkirakan kehilangan gaya prategang dan juga untuk analisis penampang.
Gambar II-20 Diagram Tegangann- Regangan Beton menurut Hognestad
II - 17
BAB II STUDI PUSTAKA 2.3.2 Tulangan Baja Non Prategang Secara umum, tipe tulangan baja untuk elemen non prategang adalah : 1. Batang polos 2. Batang ulir (hot rolled) 3. Jaring kawat las
(Sumber : http://slideplayer.info/slide/3664646/)
Gambar II – 21 Tipe Tulangan Baja Non Prategang Maksud dari penggunaan baja tulangan, yaitu : 1. Meningkatkan kekuatan lentur ultimate 2. Memberikan ketahanan geser 3. Mencegah bursting dan spalling pada zona angkur Berdasarkan grade yang ditentukan sesuai dengan “Standard Spesificaation for Deformed and Plain-Billet Stell Bars” ASTM A615, jenis tulangan baja ada 3, yaitu: 1. Grade 60 = 400 mPa. Ukuran diameter tulangan D10 sampai D56. Umumnya digunakan pada bangunan dan jembatan. 2. Grade 40
II - 18
BAB II STUDI PUSTAKA = 280 mPa. Diameter tulangan D10 sampai D19. Bersifat lebih daktail. 3. Grade 75 = 525 mPa. Diameter tulangan D19 sampai D56 Adapun bentuk kurva hubungan tegangan regangan untuk berbagai jenis tulangan terlihat pada Gambar II – 21.
(Sumber : http://slideplayer.info/slide/2799199/)
Gambar II – 22 Kurva Hubungan Tegangan dan Regangan Tulangan non Prategang
2.3.3 Tulangan Baja Prategang Baja mutu tinggi merupakan bahan yang umum untuk menghasilkan gaya prategang dan mensuplai gaya tarik pada beton prategang. Yang menjadi penting juga dalam baja prategang adalah diagram tegangan-regangannya. Diagram tegangan-regangan baja prategang (mutu tinggi) berbeda dengan baja beton biasa (lihat Gambar II - 27). Pada baja prategang diagram tegangan regangannya tidak tetap, tergantung dari diameter baja dan bentuknya.
II - 19
BAB II STUDI PUSTAKA Sedangkan pada baja biasa, mempunyai diagram tegangan-regangan yang tetap untuk setiap diameter.
Gambar II-23 Diagram Tegangan-Regangan Baja
2.3.4 Kabel/Tendon Kabel/tendon merupakan bahan yang umum dipakai pada struktur beton prategang. Kabel baja untuk beton prategang terdiri dari kawat baja kawat baja disediakan dalam bentuk gulungan, kawat dipotong dengan panjang tertentu dan dipasang di pabrik atau lapangan. Baja harus bebas dari lemak untuk menjamin rekatan antara beton dengan baja prategang. Untaian kawat (strand) banyak digunakan untuk beton prategang dengan sistem pascatarik. Untaian kawat yang dipakai harus memenuhi syarat seperti yang terdapat pada ASTM A 416. Untaian kawat yang banyak digunakan adalah untaian tujuh kawat (seven wire strand) dengan dua kualitas: Grade 250 dan Grade 270 (seperti di Amerika Serikat). Diameter untaian kawat bervariasi antara 7,9 – 15,2 mm. Tegangan tarik (fp) untaian kawat adalah antara 1750 – 1860 Mpa. Nilai modulus elastisitasnya, Ep= 195 x 103Mpa. Tegangan tarik tipikal pada baja pratekan dapaat dilihat pada lampiran III.
II - 20
BAB II STUDI PUSTAKA
(sumber : Beton Prategang, Edward G Nawy :2001)
Gambar II-24 Diagram Tegangan-Regangan Tendon Ada jenis kabel prategang, yaitu : 1. Kawat (wire) relaksasi rendah atau stress-relieved tak berlapisan 2. Untaian kawat (strand) relaksasi rendah atau stress-relieved strands tak berlapisan 3. Batang-batan baja mutu tinggi tak berlapisan (bar) Menurut referensi “Prestressed Concrete Analysis and Design by Naaman”, macammacam kabel prategang adalah kawat berpenampang bundar, kawat bertakik (indented wire), sumi twist, two ply wire 2 lapis, untaian 7 kawat (seven wire strand), round bar (batang berpenampang bundar) dan threaded bar. Untuk elemen baja, misalnya kawat baja, kabel batang, kawat untai atau suatu bundel darri elemen-elemen tersebut yang digunakan untuk memberi gaya prategang pada beton atau disebut juga tendon dibagi 2 jenis yaitu : 1. Tendon lurus 2. Tendon tidak lurus
II - 21
BAB II STUDI PUSTAKA Pada tendon lurus banyak digunakan pada balok pracetak dengan bentang sedang, sedangkan penggunaan beton tidak lurus atau lengkung lebih umum digunakan pada lemen pascatarik atau posttensioning yang dicor di tempat. Tendon tidak lurus dibagi 2 macam, yaitu : 1. Tendon Drapped Mempunyai alinymen lengkung secara gradual, seperti berbentuk parabolik yang digunakan pada balok yang mengalami beban eksternal terbagi merata. 2. Tendon Harped Tendon miring dengan diskontinuitas alinyemen di bidang-bidang dimana terdapat beban terpusat, digunakan pada balok yang terutuama mengalami beban transsversal terpusat.
(a)
(b)
II - 22
BAB II STUDI PUSTAKA
(c) (sumber : Beton Prategang, Edward G Nawy :2001)
Gambar II-25 Bentuk-bentuk tendon. a) Tendon lurus, b) Tendon Draped c) Tendon Harped Keuntungan penggunaan tendon berbentuk Draped dan Harped yaitu : 1. Balok prategang yang dihasilkan mampu memikul beban besar karena adanya efek penyeimbang komponen vertikal dari tendon prateganng tak lurus. 2. Kekuatan tekan seragam jika tendon bekerja di pusat berat beton di tumpuan. 3. Strands yang diperlukan lebih sedikit. 4. Penampang beton lebih efisien
(sumber : Beton Prategang, Edward G Nawy :2001)
Gambar II-26 Jenis Tendon Prategang
II - 23
BAB II STUDI PUSTAKA
(sumber : Beton Prategang, Edward G Nawy :2001)
Gambar II-27 Angkur hidup untuk Multistrand (VSL)
(sumber : Beton Prategang, Edward G Nawy :2001)
Gambar II-28 Contoh Angkur Tengah (VSL)
II - 24
BAB II STUDI PUSTAKA
(sumber : Beton Prategang, Edward G Nawy :2001)
Gambar II-29 Contoh Angkur Mati (VSL)
2.3.5 Selongsong A. Formed Ducts Selongsong yang dibuat dengan menggunakan lapisan tipis yang tetap di tempat, harus berupa bahan yang tidak memungkinkan tembusnya pasta semen. Selongsong tersebut harus mentransfer tegangan lekatan yang dibutuhkan dan harus dapat mempertahankan bentuknya pada saat memikul berat beton. Selongsong logam harus berupa besi, yang dapat digalvanisasi. B. Cored Ducts Selongsong seperti ini harus dibentuk tanpa adanya tekanan yang dapat mencegah aliran suntikan. Semua material pembentuk saluran jenis ini disingkirkan.
II - 25
BAB II STUDI PUSTAKA Semua selongsong harus mempunya bukaan untuk suntikan di kedua ujung. Untuk kabel drapped, semua titik yang tinggi harus mempunyai celah suntikan kecuali di lokasi dengan kelengkungan kecil, seperti pada slab menerus. Celah suntukan atau lubang buangan harus digunakan di titik-titik rendah jika tendon akan diletakkan, diberi tegangan dan disuntuk pada cuaca beku. Semua celah atau bukaan suntikan harus dapat mencegah bocornya suntikan. Untuk tendon yang terdiri dari kawat, batang atau strands, luas selongsong haruss sedikitnya dua kali luas netto baja prategang. Untuk tendon yang terdiri atas satu kawat, batang atau strands, diameter selongsongnya harus seddikitnya ¼ lebih besar daripada diameter nominal kawat, batang atau strands. Sesudah selongsong diletakkan dan pencetakan selesai, harus dilakukan pemeriksaan untuk menyelidiki kerusakan selongsonng yang mungkin terjadi. Selongsong harus dikencangkan dengan baik pada jarak-jarak yang cukup dekat untuk mencegah peralihan selama pengecoran beton. Semua lubang atau bukaan di selongsong harus diperbaiki sebelum pengecoran beton. Celah atau bukaana untuk penyuntikan harus diangkur dengan baik pada selubung dan pada baja tulangan atau cetakan untuk mencegah peralihan selama operasi pengecoran beton.
(sumber : Beton Prategang, Edward G Nawy :2001)
Gambar II-30 Selongsong (duct) tendon
II - 26
BAB II STUDI PUSTAKA 2.3.6 Angkur Suatu alat yang digunakan untuk menjangkarkan tendon kepada komponen struktur beton dalam sistem posttensioning atau suatu alat yang digunakan untuk menjangkarkan tendon selama proses pengerasan beton dalam sistem posttensioning.
2.3.7 Daerah aman kabel Definisi dari daerah aman atau daerah kern adalah daerah yang dibatasi oleh batas atas dan bawah kabel dimana tempat kedudukan atau lokasi resultan gaya tekan atau garis tekan atau C line (Compression line, Pressure line, Thrust line) harus berada di dalam daerah ini agar tegangan tarik dan tegangan tekan yang terjadi masih dalam batas tegangan yang diizinkan. Penentuan daerah aman untuk menentukan lokasi kabel prategang pada elemen balok prategang, yaitu : Untuk batas atas atau kern atas dimana tegangan tarik tidak boleh terjadi,
Sedangkan untuk batas bawah atau kerna bawah dimana tegangan tarik tidak boleh terjadi
e diukur atau di plot dari kern atas. Dimana : e = eksentrisitas MT = Momen total akibat beban mati dan beban hidup MG = Momen total akibat beban mati dan beban hidup Pe = Gaya prategang efektif setelah terjadi kehilangan gaya prategang
II - 27
BAB II STUDI PUSTAKA Ada beberapa kemungkinan daerah aman dalam suatu perencanaan, yaitu :
(a)
(b)
(c) (sumber : Struktur Beton Prategang, Nova)
Gambar II-31 Tipe-tipe daerah aman dalam suatu perencanaan. a) Sesuai untuk perencanaan, b) Perencanaan optimum, c) Perencanaan tidak memenuhi syarat
a. Pada tengah bentang, dimana jarak antara batas atas dan batas bawah cukup besar maka posisi kabel dapat ditempatkan diantara kedua batas tersebut (Gambar II – 31a). Hal ini sesuai dengan perencanaan yang diinginkan. b. Pada tengah bentang, dimana batas atas dan batas bawah saling berhimpit maka posisi kabel harus tepat berada di titik yang berhimpit tersebut (Gambar II-31b). Perencanaan pada kondsi seperti ini adalah sangat optimum. c. Pada tengah bentang, dimana daerah aman berada diluar penampang yang kurang besar atau memadai sehingga perencanaan dimensi harus dirubah.
II - 28
BAB II STUDI PUSTAKA 2.4 Pembebanan Di Indonesia peraturan tentang pembebanan jembatan jalan raya telah diatur dalam aturan Pembebanan Jembatan Jalan Raya tahun 1987 (PPJR 1987). Ternyata peraturan tersebut masih perlu disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang berkembang saat ini. Tahun 1993 PPJR 1987 diperbaharui dengan BMS (Bridge Management System). BMS 1992 adalah hasil kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Australia. Berdasarkan PPJR 1987, pembebanan jembatan dikategorikan dalam ; 2.4.1 Beban Primer Yang tergolong beban primer adalah ; a) Beban Mati Beban mati adalah beban seluruh beban yang berasal dari berat sendiri struktur atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dihitung berdasarkan volume dikalikan dengan berat jenis bahan. Apabila bahan tertentu memberikan nilai berat isi yang jauh menyimpang, maka harus ditentukan dan disetujui pihak berwenang dan selanjutnya digunakan. Untuk unsur tambahan dapat bervariasi pada jembatan misalnya : 1. Perawatan permukaan khusus. 2. Pelapisan ulang dianggap menyimpang dan dianggap 50 mm aspal beton. 3. Perhitungan beratnya : t x d x Bj aspal dimana : t = tebal perkerasan d = lebar efektif jalan 4. Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton.
II - 29
BAB II STUDI PUSTAKA 5. Tanda – tanda dan perlengkapan jalan. b) Beban Hidup Beban lalu-lintas adalah semua beban yang berasal dari berat kendaraan yang bergerak dan beban orang yang berjalan kaki dianggap bekerja pada jembatan. Beban lalu-lintas pada jembatan ditinjau dalam dua macam pembebanan, yaitu beban lajur D yang merupakan beban jalur untuk gelagar dan beban truck T yang merupakan beban untuk lantai kendaraan. Beban pada lantai kendaraan dan jalur lalu lintas Jalur lalu lintas mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar maksimum 3,75 meter. Sedangkan beban lalu lintas untuk perencanaan jembatan terdiri atas beban lajur "D" dan beban truk "T. Untuk lebar jalur minimum harus digunakan untuk menentukan beban ‘’D’’ perjalur. Jumlah jalur lalu lintas untuk lantai kendaraan yang di gunakan untuk menentukan beban ‘’D’’ per jalur di tentukan menurut lampiran V, jumlah jalur jembatan ini digunakan dalam menentukan beban ‘’D’’ pada perhitungan reaksi perletakan. Beban D Beban lajur "D" bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur "D" yang bekerja tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri. Secara umum, beban "D" akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan yang mempunyai bentang sedang sampai panjang, sedangkan beban "T" digunakan untuk bentang pendek dan lantai kendaraan. Dalam menghitung momen maksimum positif akibat beban lalu-lintas atau beban hidup (beban merata dan beban garis) pada gelagar etakan atau simple span,
II - 30
BAB II STUDI PUSTAKA dipakai satu beban terpusat yang diletakkan ditengah-tengah bentang dan beban merata sepanjang bentang gelagar. Dalam keadaan tertentu beban "D" yang harganya telah diturunkan atau dinaikkan mungkin dapat digunakan. Beban lajur "D" terdiri dari beban tersebar merata (BTR) yang digabung dengan beban garis (BGT) seperti terlihat dalam Gambar II - 29. Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut : L< 30 m : q = 9,0 kPa L > 30 m : q = 9,0 ( 0.5 + 15/L ) kPa dengan pengertian : q adalah intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan dan L adalah panjang total jembatan yang dibebani (meter). Panjang yang dibebani L panjang total BTR yang bekerja pada jembatan. BTR mungkin harus dipecah menjadi panjang-panjang tertentu untuk mendapatkan pengaruh maksimum pada jembatan menerus atau bangunan khusus. Beban garis (BGT) dengan intensitas p kN/m harus ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas p adalah 49,0 kN/m. Untuk mendapatkan momen lentur negatif maksimum pada jembatan menerus, BGT kedua yang identik harus ditempatkan pada posisi dalam arah melintang jembatan pada bentang lainnya.
II - 31
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-32 Distribusi Beban D yang bekerja pada Jembatan
Gambar II-33 Hubungan Beban Terbagi Rata (BTR) dengan Panjang Jembatan Beban "D" harus disusun pada arah melintang sedemikian rupa sehingga menimbulkan momen maksimum adalah sehingga menimbulkan momen maksimum. Penyusunan komponen-komponen BTR dan BGT dari beban "D" pada arah melintang harus sama. Penempatan beban ini dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Bila lebar jalur kendaraan jembatan kurang atau sama dengan 5,5 m, maka beban "D" harus ditempatkan pada seluruh jalur dengan intensitas 100 %. 2. Apabila lebar jalur lebih besar dari 5,5 m, beban "D" harus ditempatkan pada jumlah lajur lalu lintas rencana (nl) yang berdekatan dengan intensitas 100%. Hasilnya adalah beban garis ekuivalen sebesar nl x 2,75 q kN/m dan beban terpusat ekuivalen sebesar nl x 2,75 p kN, keduaduanya bekerja berupa strip pada jalur selebar nl x 2,75 m;
II - 32
BAB II STUDI PUSTAKA 3. Lajur lalu lintas rencana yang membentuk strip ini bisa ditempatkan dimana saja pada jalur jembatan. Beban "D" tambahan harus ditempatkan pada seluruh lebar sisa dari jalur dengan intensitas sebesar 50%. Susunan pembebanan ini bisa dilihat dalam Gambar II-34. 4. Luas jalur yang ditempati median harus dianggap bagian jalurdan dibebani dengan beban yang sesuai, kecuali apabila median tersebut terbuat dari penghalang lalu lintas yang tetap.
Gambar II-34 Penyebaran Pembebanan pada Arah Melintang Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebar pada seluruh lebar balok (tidak termasuk kerb dan trotoar) dengan intensitas 100% untuk panjang terbebani yang sesuai. Beban T Beban truk "T" adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan berat. Pembebanan truk "T" terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti terlihat dalam Gambar II - 35. Berat dari masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar
II - 33
BAB II STUDI PUSTAKA yang merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah-ubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.
Gambar II-35 Pembebanan truck ”T” (500 kN) Dalam arah melintang terlepas dari panjang jembatan atau susunan bentang, hanya ada satu kendaraan truk "T" yang bisa ditempatkan pada satu lajur lalu lintas rencana. Kendaraan truk "T" ini harus ditempatkan di tengah-tengah lajur lalu lintas rencana seperti terlihat dalam Gambar II - 35. Jumlah maksimum lajur lalu lintas rencana diberikan dalam Lampiran VI lajur – jalur ini ditempatkan di mana saja antar kerb. Beban pada Trotoar, Kerb dan Sandaran Kontruksi trotoar harus diperhitungkan terhadap beban hidup sebesar 500 kg/m2. Dalam perhitungan kekuatan gelagar karena pengaruh beban hidup pada trotoir, di perhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoar. Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaran harus diperhitungkan untuk dapat menahan satu beban horizontal kearah melintang jembatan sebesar 500 kg/m’ yang bekerja pada puncak yang bersangkutan atau pada tinggi 25 cm di atas permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm. Tiang – tiang sandaran pada setiap tepi trotoar harus
II - 34
BAB II STUDI PUSTAKA diperhitungkan untuk dapat menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m’, yang bekerja pada tinggi 90 cm di atas lantai trotoar. Faktor Beban Dinamis (FBD) 1. Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan. Besarnya FBD tergantung kepada frekuensi dasar dari suspensi kendaraan, biasanya antara 2 sampai 5 Hz untuk kendaraan berat, dan frekuensi dari getaran lentur jembatan 2. Besarnya BGT dari pembebanan lajur "D" dan beban roda dari Pembebanan Truk "T" harus cukup untuk memberikan terjadinya interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan jembatan. 3. Untuk pembebanan "D" FBD merupakan fungsi dari panjang bentang ekuivalen seperti tercantum dalam Gambar II-32. Untuk bentang tunggal panjang bentang ekuivalen diambil sama dengan panjang bentang sebenarnya. Untuk bentang menerus panjang bentang ekuivalen LE diberikan dengan rumus : =
.
LAV adalah panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang disambungkan secara menerus. Lmax adalah panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang disambung secara menerus.
Sumber : RSNI T-02-2005 Gambar II-36 FBD untuk BGT untuk Pembebanan Lajur ”D”.
II - 35
BAB II STUDI PUSTAKA Gaya akibat tekanan tanah Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus direncanakan dapat menahan tekanan tanah sesuai rumus-rumus yang ada. Beban kendaraan di belakang bangunan penahan tanah diperhitungkan senilai dengan muatan tanah setinggi 60 cm.
2.4.2 Beban Sekunder Beban Angin Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung kecepatan angin rencana seperti berikut : = 0.0006
(
)
[
]
dengan pengertian : adalah kecepatan angin rencana (m/s) untuk keadaan batas yang ditinjau. adalah koefisien seret Ab adalah luas koefisien bagian samping jembatan (m2) Kecepatan angin rencana harus diambil seperti yang diberikan dalam Lampiran VIII. Luas ekuivalen bagian samping jembatan adalah luas total bagian yang masif dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka luas ekuivalen ini dianggap 30 % dari luas yang dibatasi oleh batangbatang bagian terluar. Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas. Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai dengan rumus : = 0.0012 dimana CW = 1.2
II - 36
(
)
[
]
BAB II STUDI PUSTAKA Gaya akibat perbedaan suhu Pengaruh temperatur dibagi menjadi : 1. Variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan dalam menghitung pergerakan pada temperatur dan sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung beban akibat terjadinya pengekangan dari pergerakan tersebut. Variasi temperatur rata-rata berbagai tipe bangunan jembatan diberikan dalam Lampiran IX. Besarnya harga koefisien perpanjangan dan modulus elastisitas yang digunakan untuk menghitung besarnya pergerakan dan gaya yang terjadi diberikan pada Lampiran IX. 2. Variasi temperatur di dalam bangunan atas jembatan atau perbedaan temperatur disebabkan oleh pemanasan langsung dari sinar matahari di waktu siang pada bagian atas permukaan lantai dan pelepasan kembali radiasi dari seluruh permukaan jembatan di waktu malam. Pada tipe jembatan yang lebar mungkin diperlukan untuk meninjau gradien perbedaan temperatur dalam arah melintang. Gaya Rem Bekerjanya gaya-gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi, harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh ini diperhitungkan senilai dengan gaya rem sebesar 5% dari beban lajur D yang dianggap ada pada semua jalur lalu lintas, tanpa dikalikan dengan faktor beban dinamis dan dalam satu jurusan. Gaya rem tersebut dianggap bekerja horisontal dalam arah sumbu jembatan dengan titik tangkap setinggi 1,8 m di atas permukaan lantai kendaraan. Beban lajur D disini jangan direduksi bila panjang bentang melebihi 30 m, digunakan q = 9 kPa.
II - 37
BAB II STUDI PUSTAKA Gaya rem tidak boleh digunakan tanpa memperhitungkan pengaruh beban lalu lintas vertikal. Dalam hal dimana beban lalu lintas vertikal mengurangi pengaruh dari gaya rem (seperti pada stabilitas guling dari pangkal jembatan), maka Faktor Beban Ultimit terkurangi sebesar 40% boleh digunakan untuk pengaruh beban lalu lintas vertikal. Pembebanan lalu lintas 70% dan faktor pembesaran di atas 100% BGT dan BTR tidak berlaku untuk gaya rem.
Gambar II-37 Gaya Rem per lajur 2,75 m (KBU) Sumber : RSNI T-02-2005 Gaya Gempa Pengaruh gempa rencana hanya ditinjau pada keadaan batas ultimit. 1. Beban horizontal statis ekuivalen Perhitungan beban statis ekuivalen untuk jembatan- jembatan dimana analisa statis ekuivalen adalah sesuai dengan kondisi jembatan. Untuk jembatan besar, rumit dan penting mungkin diperlukan analisa dinamis. Sesuai standar perencanaan beban gempa untuk jembatan (Pd.T.04.2004.B). Beban rencana gempa minimum diperoleh dari rumus berikut : ∗
Dimana : =CS Dengan pengertian :
II - 38
=
BAB II STUDI PUSTAKA ∗
= Gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN) = Koefisien beban gempa horizontal = Koefisien geser dasar untuk daerah, waktu dan kondisi setempat yang sesuai
I = Faktor kepentingan ditentukan dari Lampiran XI. Faktor lebih besar memberikan frekuensi lebih rendah dari kerusakan bangunan yang diharapkan selama umur jembatan. S = Faktor tipe bangunan yang berkaitan dengan kapasitas penyerapan energi (kekenyalan) dari jembatan. WT = Berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa, diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN). 2. Beban horizontal statis ekuivalen Gaya vertikal akibat gempa boleh diabaikan sesuai dengan kondisi dan situasi Jembatan. Untuk perencanaan perletakan dan sambungan, gaya gempa vertikal dihitung dengan menggunakan percepatan vertikal (keatas atau kebawah) sebesar 0.1g, yang harus bekerja secara bersamaan dengan gaya horisontal. Gaya ini jangan dikurangi oleh berat sendiri jembatan dan bangunan pelengkapnya. Gaya gempa vertikal bekerja pada bangunan berdasarkan pembagian massa, dan pembagian gaya gempa antara bangunan atas dan bangunan bawah harus sebanding dengan kekakuan relatif dari perletakan atau sambungannya. 3. Tekanan tanah lateral akibat gempa Gaya gempa arah lateral akibat tekanan tanah (tekanan tanah dinamis) dihitung dengan menggunakan faktor harga dari sifat bahan, koefisien
II - 39
BAB II STUDI PUSTAKA geser dasar C diberikan dalam Lampiran XIII dan faktor kepentingan I Faktor tipe struktur S untuk perhitungan kh harus diambil sama dengan 1,0. Pengaruh dari percepatan tanah arah vertikal bisa diabaikan. Gaya akibat gesekan pada tumpuan-tumpuan bergerak Jembatan harus pula ditinjau terhadap gaya yang timbul akibat gesekan pada tumpuan bergerak, karena adanya pemuaian dan penyusutan dari jembatan akibat perbedaan suhu atau akibat – akibat lain. Gaya gesek yang timbul hanya ditinjau akibat beban mati saja, sedang besarnya ditentukan berdasarkan koefesien gesek pada tumpuan yang bersangkutan dengan nilai sebagai berikut : a. Tumpuan rol baja Dengan satu atau dua rol……………………………….. 0,01 Dengan tiga atau lebihl rol……………………………....0,05 b. Tumpuan gesekan Antara baja dengan campuran tembaga keras ………......0,15 Antara baja dengan baja atau besi tuang ………………..0,25 Antara karet dengan baja atau beton …………….............0,15- 0,18 Tumpuan – tumpuan khusus harus disesuaikan dengan persyaratan spesifikasi dari pabrik material yang bersangkutan atau didasarkan atas hasil percobaan dan mendapatkan persetujuan pihak yang berwenang. Beban Pejalan Kaki Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan pejalan kaki dan trotoar pada jembatan jalan raya juga harus direncanakan untuk memikul beban per m2 dari luas yang dibebani. Apabila trotoar memungkinkan
II - 40
BAB II STUDI PUSTAKA digunakan untuk kendaraan ringan atau ternak, maka trotoar harus direncanakan untuk bisa memikul beban hidup terpusat sebesar 20 kN.
Gambar II-38 Pembebanan untuk pejalan kaki Kombinasi Pembebanan Konstruksi jembatan harus ditinjau berdasarkan pada kombinasi pembebanan dan gaya yang mungkin bekerja. Tabel II-1: Kombinasi Pembebanan
COMB
KOMBINASI PEMBEBAN DAN GAYA
1 2 3 4 5 6
M + (H+K) M + A + SR + Tm COMB 1 + Rm + Gg + A + SR + Tm M + Gh + Tag + Cg + Tu M + P1 (KHUSUS JEMBATAN BAJA) M + ( H + K ) + Ta + SR + Tb
TEGANGAN YANG DIGUNAKAN TERHADA TEGANGAN IZIN 100% 125% 140% 150% 130% 150%
Sumber : RSNI T-02-2005 Keterangan : A
= Beban Angin
Gg
= Gaya gesek pada tumpuan bergerak
Gh
= Gaya horisontal ekivalen akibat gempa
II - 41
BAB II STUDI PUSTAKA (H+K)
= Beban hidup dan kejut
M
= Beban mati
P1
= Gaya pada waktu pelaksanaan
Rm
= Gaya rem
SR
= Gaya akibat susut dan rangkak
Tm
= Gaya akibat perubahan suhu (selain susut dan rangkak)
Ta
= Gaya tekanan tanah
Tu
= Gaya angkat
2.4.3 Beban Khusus Beban dan Gaya selama pelaksanaan Gaya-gaya khusus yang mungkin timbul dalam masa pelaksanaan pembangunan jembatan, harus ditinjau dan besarnya dihitung sesuai dengan cara pelaksanaan pekerjaan yang digunakan.
II - 42
BAB II STUDI PUSTAKA 2.5 Kehilangan Gaya Prategang Gaya prategang pada beton mengalami proses reduksi yang progresif (pengurangan secara berangsur-angsur) sejak gaya prategang awal diberikan, sehingga tahapan gaya prategang perlu ditentukan pada setiap tahapan pembebanan, yaitu dari tahapan transfer gaya prategang ke beton sampai ke berbagai tahapan prategang yang terjadi pada kondisi beban kerja hingga mencapai kondisi ultimit. Pada dasarnya nilai masing-masing kehilangan gaya prategang adalah kecil, tetapi apabila dijumlahkan dapat menyebabkan penurunan gaya jacking yang significant, yaitu ± 15% - 25%, sehingga kehilangan gaya prategang harus dipertimbangkan. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk meminimalkan kehilangan gaya prategang adalah : 1. Mutu beton yang digunakan, minimal 40 MPa untuk memperkecil rangkak 2. Tendon yang digunakan adalah mutu tinggi yang memiliki relaksasi rendah. Kehilangan gaya prategang dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (Edward G.Nawy): 1. Perpendekan elastis beton. 2. Rangkak. 3. Susut. 4. Relaksasi tendon. 5. Friksi. 6. Pengangkuran
II - 43
BAB II STUDI PUSTAKA A. Komponen struktur pratarik ∆
= ∆
,
+∆
+ ∆
+ ∆
+ ∆
Dimana : ∆
= ∆
(
)
,
= waktu pada saat jacking : waktu pada saat transfer (kondisi awal). : waktu pada saat kehilangan gaya prategang sudah stabil. Tegangan awal prategang dapat dihitung dengan persamaan berikut : ∆
= ∆
−∆
,
− ∆
Tegangan efektif prategang dapat dihitung dengan persamaan berikut : ∆
= ∆
−∆
B. Komponen struktur pasca tarik ∆ Dimana : ∆
= ∆
+ ∆
+ ∆
+ ∆
+ ∆
+ ∆
≠ 0 , jika tendon-tendon ditarik dan diangkur tidak dalam waktu
bersamaan. Tegangan awal prategang dapat dihitung dengan persamaan berikut : =
− ∆
− ∆
Tegangan efektif prategang dapat dihitung dengan persamaan berikut : =
− ∆
Untuk sistem pasca tarik, kehilangan tegangan akibat relaksasi mulai dihitung dari waktu terjadinya transfer tegangan.
II - 44
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-39 Tegangan akibat prategang sebelum losses jangka panjang (Pi)
Gambar II-40 Tegangan akibat prategang dan berat sendiri sebelum losses (Pi) (sumber : Ria Catur Yulianti , Modul Beton Prategang)
Gambar II-41 Tegangan akibat prategang, berat sendiri dan beban layan setelah losses jangka panjang (Pe) (sumber : Ria Catur Yulianti , Modul Beton Prategang) 2.6.1 Kehilangan gaya prategang akibat pemendekan elastis beton Beton memendek pada saat gaya prategang bekerja. Hal ini disebabkan karena tendon yang melekat pada beton sekitarnya secara simultan juga memendek,
II - 45
BAB II STUDI PUSTAKA sehingga tendon tersebut akan kehilangan sebagian dari gaya prategang yang dipikulnya. A. Elemen Pratarik Untuk elemen-eleman pratarik, gaya tekan yang dikerjakan pada balok oleh tendon menyebabkan perpendekan longitudinal pada balok seperti terlihat pada Gambar II-23.
Gambar II-42 Perpendekan Elastis (sumber : Ria Catur Yulianti , Modul Beton Prategang) Jika setelah transfer tegangan akibat Pi beton mengalami perpendekan ∆ES maka: =
∆ Dimana :
=
∆
=
=
=
=
adalah tegangan beton pada level baja akibat gaya prategang
awal. Jika tendon memiliki eksentrisitas di tengah bentang dan momen akibat berat sendiri diperhitungkan, maka : = −
II - 46
+
BAB II STUDI PUSTAKA B. Elemen Pasca Tarik Pada elemen-elemen pasca tarik, kehilangan akibat perpendekan elastis bervariasi dari nol jika semua tendon didongkrak secara simultan, hingga setengah dari nilai yang dihitung pada kasus pratarik dengan pendongkrak sekuensial digunakan, seperti pendongkrak dua tendon sekaligus. ∆
=
1
(∆
)
dimana j menunjukkan jumlah operasi penarikan/pengangkuran (tendon yang ditarik terakhir tidak mengalami kehilangan gaya prategang ini).
2.6.2 Kehilangan gaya prategang akibat relaksasi tendon Tendon stress relieved mengalami kehilangan pada gaya prategang sebagai akibat dari perpanjangan konstan terhadap waktu. Besar pengurangan prategang bergantung tidak hanya pada durasi gaya prategang yang ditahan, melainkan juga pada rasio antara prategang awal dan kuat leleh baja prategang
. Kehilangan
tegangan seperti ini disebut relaksasi tegangan. Peraturan SNI 03-2847-02 membatasi tegangan tarik di tendon sebagai berikut : 1. Akibat pengangkuran tendon 0.94 Tetapi tidak lebih besar dari nilai terkecil 0.8
dan nilai maksimum yang
direkomendasikan oleh pabrik pembuat tendon prategang atau perangkat angkur. 2. Sesaat setelah penyaluran gaya prategang 0.82 0.74
.
II - 47
tetapi tidak lebih besar dari
BAB II STUDI PUSTAKA 3. Tendon pasca tarik, pada daerah angkur dan sambungan, segera setelah penyaluran gaya 0.7 Dan nilai
dapat dihitung dari :
-
Batang Prategang,
= 0.8
-
Tendon stress relieved, ,
= 0.85
-
Tendon relaksasi rendah,
= 0.9
Kehilangan gaya prategang akibat relaksasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : ∆ Dimana
=
−
: tegangan prategang yang tersisa pada baja setelah relaksasi.
Untuk stress- relieved wires, besarnya relaksasi dapat dihitung sebagai berikut: =1−
log 10
− 0.55
Dimana : t : durasi waktu kondisi terbebani (dalam jam) Untuk low-relaxation strands/bars, besarnya relaksasi adalah sebagai berikut : =1−
log 45
− 0.55
2.6.3 Kehilangan gaya prategang akibat rangkak Rangkak adalah bertambahnya deformasi beton secara bertahap pada suatu tegangan tertentu. Secara umum, kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : ∆
=
Dimana = ∅( , ) dapat dihitung sebagai berikut : =
II - 48
BAB II STUDI PUSTAKA .
=
Dimana
.
= rangkak ultimit (dapat diambil = 2.35) =
tegangan beton pada level centroid tendon prategang
Dan, berdasarkan ACI-ASCE, kehilangan tegangan akibat rangkak dapat dirumuskan sebagai berikut : ∆
∆
= ̅ −
= ∆
(
=
̅ )
−
Dimana : = 2.0 untuk komponen struktur pratarik, 1.60 untuk komponen struktur pasca tarik = Tegangan beton pada level pusat berat baja akibat semua beban mati tambahan yang bekerja setelah prategang diberikan
2.6.4 Kehilangan gaya prategang akibat susut Susut pada beton disebabkan oleh menguapnya air pada adukan beton setelah dicor,
yang
mengakibatkan
pengurangan
volume.
Susut
pada
beton
mengakibatkan perpendekan kabel-kabel yang ditegangkan. ∆
=
1. Moist curing/perawatan basah (setelah 7 hari) =
Dimana : (
35 +
(
)
) adalah regangan susut ultimit (820 x10-6 mm/mm) dan t
adalah waktu dalam hari setelah susut mulai ditinjau.
II - 49
BAB II STUDI PUSTAKA 2. Steam curing/perawatan uap (setelah 1 hari) =
55 +
(
)
Untuk komponen struktur pasca tarik, kehilangan prategang akibat susut agak lebih kecil karena sebagian susut telah terjadi sebelum pemberian pasca tarik. Jika kelembaban relatif diambil sebagai nilai prosentase dan efek rasio V/S ditinjau, maka persamaan yang digunakan untuk menghitung kehilangan prategang akibat susut adalah sebagai berikut dimana nilai
bisa dilihat
dalam lampiran I : ∆
=
= 8.2
10
1 − 0.06
(100 −
)
2.6.5 Kehilangan gaya prategang akibat angkur Kehilangan karena dudukan angkur pada komponen struktur pasca tarik diakibatkan adanya blok-blok pada angkur pada saat gaya jacking ditransfer ke angkur. Kehilangan ini juga terjadi pada landasan cetakan prategang pada komponen struktur pratarik akibat dilakukannya penyesuaian pada saat gaya prategang ditransfer ke landasan. Cara ini mudah untuk mengatasi kehilangan ini adalah dengan memberikan kelebihan tegangan. Pada umunya besarnya kehilangan karena dudukan angkur bervariasi antara 1/4 inchi – 3/8 inchi untuk angkur dengan dua blok. Besar pemberian kelebihan tegangan yang dibutuhkan bergantung pada sistem pengangkuran yang digunakan karena setiap sistem mempunyai kebutuhan penyesuaian sendiri-sendiri, dan pembuatnya diharpkan mensuplai data mengenai gelincir yang dapat terjadiakibat penyesuaian angkur. Jika ∆A adalah besar gelincir, L adalah panjang tendon dan Eps adalah modulus kawat prategang, maka kehilangan prategang akibat gelincir angkur menjadi :
II - 50
BAB II STUDI PUSTAKA
∆
=
∆
2.6.6 Kehilangan gaya prategang akibat friksi Kehilangan prategang terjadi pada komponen struktur pasca tarik akibat adanya gesekan antara tendon dan beton di sekelilingnya. Besarnya kehilangan ini merupakan fungsi dari alinyemen tendon, yang disebut efek kelengkungan, dan deviasi lokal di dalam alinyemen tendon, yang disebut efek wobble. Besarnya koefisien kehilangan sering dihitung dengan teliti dalam menyiapkan gambar kerja dengan memvariasikan tipe tendon dan ketepatan alinyemen saluran. Efek kelengkungan dapat ditetapkan terlebih dahulu, sedangkan efek wobble merupakan hasil dari penyimpangan alinyemen yang tidak disengaja atau yang tak dapat dihindari, karena daluran tidak dapat secara sempurna diletakkan. Kehilangan tegangan friksional maksimum terjadi di ujung balok jika pendongkrakan dilakukan dari satu ujung. Dengan demikian, kehilangan akibat adanya gesekan bervariasi secara linier di sepanjang bentang balok dan dapat diinterpolasi untuk lokasi tertentu jika dikehendaki perhitungan yang lebih teliti. A. Efek Kelengkungan Pada saat tendon ditarik dengan gaya F1 di ujung pendongkrakan, tendon tersebut mengalami gesekan dengan saluran di sekitarnya sedemikian hingga tegangan di tendon akan bervariasi dari bidang pendongkrakan ke jarak L di sepanjang bentang. Jika panjang tendon yang sangat kecil dibuat sebagai diagram benda bebas seperti terlihat dalam Gambar II - 24, maka dengan mengasumsikan bahwa µ adalah koefisien gesekan antara tendon dan salurannya akibat efek kelengkungan, maka : =
II - 51
BAB II STUDI PUSTAKA atau = − Dengan mengintegrasikan kedua sisi persamaan di atas log
= −
Jika α = L/R, maka =
=
( )
Gambar II-43 Kehilangan Tegangan akibat Friksi Kelengkungan (sumber : Ria Catur Yulianti , Modul Beton Prategang) (a). Alinyemen tendon, (b). Gaya-gaya di segmen yang amat kecil dimanaa F1 ada di ujung jacking, (c). Poligon gaya dengan mengasumsikan bahwa F1= F2 di segmen kecil dalam (b) B. Efek Wobble Misalkan bahwa K adalah koefisien gesek antara tendon dan beton di sekitarnya akibat efek wobble atau efek panjang. Kehilangan gesek yang diakibatkan oleh ketidaksempurnaan dalam alinyemen di seluruh panjang tendon, tidak peduli apakah alinyemennya lurus atau drapped. Kemudian,
II - 52
BAB II STUDI PUSTAKA dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sama dengan yang telah digunakan = −
dalam menurunkan persamaan log
, maka :
= − atau =
Dengan menggabungkan efek wobble dengan efek kelengkungan, maka = atau, jika dinyatakan dalam tegangan, = Jadi, kehilangan tegangan ∆ ∆
akibat gesekan dapat dinyatakan dengan
=
= (1 −
−
)
Dengan mengasumsikan bahwa gaya prategang antara bagian awal dari porsi yang melengkung dan ujungnya kecil (±15 %), maka adalah cukup akurat untuk menggunakan tarik awal untuk seluruh kelengkungan. = − (
∆
)
+
dimana L dinyatakan dalam meter Karena rasio tinggi balok terhadap bentangnya kecil, maka proyeksi tendon dapat digunakan untuk menghitung α. Dengan mengasumsikan bahwa kelengkungan tendon sesuai dengan busur lingkaran, maka sudut pusat α di sepanjang segmen yang melengkung di dalam Gambar II – 25 besarnya dua kali kemiringan di ujung segmen. Jadi, tan
2
=
/2
=
2
Jika, =
1 2
II - 53
2
=
4
BAB II STUDI PUSTAKA Maka : =
8
Gambar II-44 Evaluasi Pendeketan Sudut Tendon (sumber : Ria Catur Yulianti , Modul Beton Prategang) Lampiran II memberikan nilai-nilai disain untuk koefisien gesek kelengkungan µ dan koefisien gesek panjang atau wobble K yang dikutip dari SNI 03-28472002.
II - 54
BAB II STUDI PUSTAKA 2.6 Tegangan-tegangan yang diizinkan 2.6.1 Tegangan izin beton Ada dua tahap utama dalam penentuan kemampuan layan struktur beton prategang. Tahap pertama adalah tahap transfer dimana kekuatan beton masih rendah, beban pada struktur masih minimum (hanya beban mati dan beban kosntruksi yang bekerja), sedangkan gaya prategang mencapai nilai puncaknya. Tahap kedua adalah ketika semua kehilangan sudah tercapai dan semua beban sudah bekerja, dengan nilai gaya prategang mencapai nilai terendah. Pada kedua tahap tersebut semua persyaratan harus dipenuhi. Berdasarkan SNI 2847:2013 tentang persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung komponen lentur struktur beton prategang diklasifikasikan ke kelas U dimana ft, tegangan serat terjauh yang dihitung dalam kondisi tarik pada daerah tarik pratekan yang dihitung saat beban layan, dengan ft ≤ 0.62
diberikan tegangan
ijin beton untuk komponen struktur lentur tidak boleh melebihi nilai sebagai berikut: 1. Pada saat transfer (sesaat sesudah penyaluran gaya prategang/sebelum terjadinya kehilangan prategang) -
Tegangan serat tekan terluar (σci) = 0,6
-
Tegangan serat tarik terluar (σti) = 0,25
2. Pada kondisi beban layan (sesudah memperhitungkan semua kehilangan tegangan yang terjadi) -
Tegangan serat tekan terluar (σc) = 0,45
-
Tegangan serat tarik terluar (σt) = 0,5
II - 55
BAB II STUDI PUSTAKA 2.6.2 Tegangan izin beton ACI pasal 18.5.1 mengatur tentang tegangan tarik kabel sebagai berikut : 1. Akibat gaya dongkrak (tendon jacking force). Gaya ini juga disebut dengan gaya prategang awal (intial tensioning). Ambil nilai yang terkecil dari 2 pernyataan dibawah ini : σps ≤ 0.94σ’py ≤ 0.85σ’pu Dimana : σps = tegangan tarik izin kabel prategang σpy = tegangan leleh kabel prategang σpu = tegangan tarik batas kabel prategang 2. Segera setelah terjadinya transfer gaya prategang dari kabel ke beton (final prestress). Ambil nilai yang terkecil dari 2 pernyataan dibawah ini : σps ≤ 0.82σ’py ≤ 0.74σ’pu 3. Tegangan tarik izin kabel pada daerah angkur. Untuk elemen posttensioning, segera setelah angkur dipasang : σps ≤ 0.94σ’pu
II - 56
BAB II STUDI PUSTAKA 2.7 Metode Konstruksi Secara umum metode pelaksanaan jembatan beton dibedakan menjadi Cast insitu dan Precast segmental. Cast insitu merupakan metode pelaksanaan Jembatan dimana dilakukan pengecoran di lokasi pembangunan sedangkan Precast segmental merupakan metode pelaksanaan dimana beton disuplai dari luar berupa Precast yang siap untuk dilakukan instalasi. Metode Cast insitu terdiri dari: a. MSS (Movable Scaffolding System) b. ILM (Increamental Launching Method) c. Balanced Cantilever dengan FormTraveller d. Cable Stayed dengan Form Metode Precast Segmental terdiri dari: a. Balanced Cantilever Erection With Launching Gantry b. Balanced Cantilever Erection With Lifting Frames c. Span by Span Erection With Launching Gantry d. Balanced Cantilever Erection With Cranes e. Precast Beam
2.7.1 Incremental Launching Method (ILM) Incrementally Launched Method (ILM) adalah suatu metode erection pada konstruksi jembatan bentang panjang. Metode ini ditemukan oleh Prof. Dr. Ing. F. Leonhardt dan partnernya Willi Baur. Metode ini telah dipatenkan sejak tahun 1967. Diperkirakan lebih dari 1000 jembatan di dunia dibangun dengan mengunakan metode incremental launching.
II - 57
BAB II STUDI PUSTAKA Dengan menggunakan ILM, jembatan itu dibangun memiliki syarat bahwa tidak diperbolehkan adanya gangguan pada sisi bawah lantai jembatan. Penggunaan metode tersebut memang membutuhkan lahan yang terbilang luas di lokasi belakang abutment untuk produksi segment lantai jembatan. Metode ini terdiri dari pengerjaan superstruktur yang dikerjakan segmen demi segmen pada casting yard yang terletak di belakang salah satu abutmen jembatan. Setiap segmen beton dicor bersambung dengan segmen sebelumnya yang sudah dikerjakan. Kemudian secara keseluruhan superstruktur diluncurkan ke depan sejauh panjang segmen tersebut. Prosedur ini dilakukan secara berulang hingga jembatan berada pada posisi akhir
Gambar II-45 Incremental Launching Method (http://en.vsl.cz/incremental-launching-method/)
II - 58
BAB II STUDI PUSTAKA 2.7.2 Mekanisme Pelaksanaan Metode Erection Incrementally Launched pada Jembatan
Gambar II-46 Mekanisme Pelaksanaan ILM (http://en.vsl.cz/incremental-launching-method/) Mekanisme proses pelaksanaan erection jembatan dengan menggunakan metode ILM ini dapat dijelaskan secara prinsip sebagai berikut : 1. Lantai jembatan diproduksi di area belakang jembatan secara kontinu pada tiap segment. Segment tersebut dihubungkan secara monolit dengan segment sebelumnya. Panjang segment berkisar 15 – 25 meter.
Gambar II-47 Produksi Lantai Jembatan (http://nusantarabajaprima.com)
II - 59
BAB II STUDI PUSTAKA Urutan konstruksi pada casting yard adalah sebagai berikut : a. Tempatkan tulangan flange dan tulangan web di dalam cetakan segmen yang sudah dipasang b. Tempatkan tendon flange dan web c. Pengecoran bottom slab d. Pengecoran web e. Pengecoran deck slab f. Tunggu sampai beton mengeras g. Setelah itu top flange tendon dan bottom flange tendon diberi tegangan h. Setelah selesai baru lah segmen siap diluncurkan
Gambar II-48 Construction Cycle Time (http://en.vsl.cz/incremental-launching-method/) 2. Pada bagian ujung depan lantai dipasang nose yang terbuat dari struktur baja. Nose tersebut akan berfungsi sebagai tambahan lantai sedemikian mengurangi momen yang besar yang terjadi ketika rangkaian pelat lantai membentuk struktur kantilever. Nose berfungsi mengurangi besarnya momen kantilever yang terjadi. Nose didesain seringan mungkin untuk mengurangi tambahan
II - 60
BAB II STUDI PUSTAKA beban yang harus dipikul oleh struktur lantai jembatan. Struktur nose memiliki panjang sekitar 65% dari bentang jembatan.
Gambar II-49 Nose Jembatan (http://www.vslkorea.co.kr) 3. Pada saat segment yang telah diproduksi dan umur beton telah mencukupi, maka seluruh lantai jembatan didorong dengan menggunakan metode Pulling Jack yang dipasang di abutmen.
Gambar II-50 Pulling Jack (http://nusantarabajaprima.com) 4. Permukaan pilar dikondisikan memiliki tahanan geser yang kecil. Hal ini untuk memudahkan proses mendorong rangkaian segment lantai jembatan. Dapat menggunakan suatu alat khusus dengan permukaan teflon.
II - 61
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-51 Perkuatan Pillar (http://manajemenproyekindonesia.com) 5. Jika diperlukan berdasarkan perhitungan, dapat ditambahkan temporary support di tengah bentang antara pilar jembatan. Temporary support ini akan berfungsi mengurangi besarnya momen yang dipikul oleh struktur pelat lantai jembatan.
Gambar II-52 Temporary Support Tower (http://manajemenproyekindonesia.com) 6. Pilar jembatan dapat ditambahkan perkuatan. Hal ini disebabkan jembatan akan mendapat beban horizontal tambahan selama prose launching. Tambahan beban ini akan mempengaruhi kemampuan pilar dalam menahan beban. Untuk
II - 62
BAB II STUDI PUSTAKA mengatasi tambahan beban gaya horizontal, maka pilar dipasang perkuatan kabel.
Gambar II-53 Perkuatan Pilar dengan Kabel (http://manajemenproyekindonesia.com)
2.7.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Erection Incrementally Launched pada Jembatan a. Kelebihan Metode Erection Incrementally Launched pada jembatan 1. Tidak memerlukan perancah dalam pembuatan struktur lantai jembatan. 2. Tidak menggangu area di bawah lantai jembatan. 3. Kebutuhan lahan di belakang jembatan relatif minim karena lokasi fabrikasi segment tidak berpindah tempat. 4. Waktu pelaksanaan lebih cepat. b. Kekurangan Metode Erection Incrementally Launched pada jembatan 1. Hanya dapat diaplikasikan pada bentang jembatan pendek atau terbatas. 2. Diperlukan beberapa struktur sementara yaitu nose, temporary tower, perkuatan pilar, dan lain-lain. 3. Hanya dapat digunakan pada jembatan lurus atau kurva tetap.
II - 63
BAB II STUDI PUSTAKA 4. Membutuhkan area bebas dibelakang jembatan sebagai lokasi fabrikasi segmen lantai jembatan.
2.7.4 Preliminary Design 2.7.4.1 Pemilihan Panjang Bentang Beberapa hal yang harus diperhatikan saat mendesain panjang bentang adalah sebagai berikut (The design and construction of incrementally launched bridges, DMR) : 1. T-Beam merupakan penampang bentang yang paling ekonomis untuk panjang bentang dibawah 30 m 2. Box Girder merupakan penampang bentang yang paling ekonomis untuk panjang bentang 40-50 m 3. Panjang bentang lebih dari 60 m memerlukan pilar sementara di tengah bentang. Peluncuran dari kedua sisi diperbolehkan, tetapi sangat memerlukan biaya yang besar 4. End Spans seharusnya mendekati 0.8 dari panjang internal spans 2.7.4.2 Pemilihan Tinggi Penampaang Persyaratan konstruksi ILM adalah membutuhkan ratio tinggi dan panjang yang lebih rendah dibandingkan dengan metode konvensional. Panduan dalam memilih tinggi profil ditunjukkan pada Gambar II-54.
II - 64
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-54 Selection of Girder Depth (The design and construction of incrementally launched bridges, DMR) 2.7.4.3 Momen Lentur saat Launching Pendekatan envelopes momen positiv dan negativ dilihat Gambar II-55.
Gambar II-55 Approximate moment envelopes during launching (The design and construction of incrementally launched bridges, DMR) Pendekatan momen pada Gambar II-55 berlaku pada internal span yang sama dan dengan end span sepanjang 0.8 dari panjang internal span. Pendekatan besarnya envelopes momen tidak termasuk momen akibat perbedaan penurunan pillar dan momen akibat temperatur.
II - 65
BAB II STUDI PUSTAKA 2.7.4.4 Bentuk Penampang Momen negatif maksimum saat peluncuran adalah sekitar dua kali momen positif momen positif maksimum. Oleh sebab itu, ratio yang paling efisien adalah Zt : Zb = 1 : 2. Tipe konstruksi ini cocok untuk jembatan dengan lebar yang besar. Karena dibutuhkan lebar minimum pada bottom flange dimana pada lebar minimum tersebut sulit untuk meletakan tendon prategang dengan untuk jarak antar tendon yang sesuai. Beban mati juga tidak banyak berubah dengan lebar, semakin luas maka semakin efektif. Beberapa tipikal penampang box girder ditunjukan pada Gambar II – 56.
(a)
(b)
II - 66
BAB II STUDI PUSTAKA
(c) Gambar II-55 Typical Cross Section. a) span 42.5 m b) span 35 m. c) span 49 m (The design and construction of incrementally launched bridges, DMR)
2.7.4.5 Launching Prestress Tendon prategang saat peluncuran diletakan pada flange dan pengaplikasian prategang seragam. Mengikuti rasio Mneg : Mpos = Zt : Zb = 2, rasio prategang antara top flanges dan bottom flanges adalah 2:1. Tiap tendon membentang sepanjang 2 segmen, sehingga mengurangi jumlah angkur yang diperlukan. Hal ini dapat dilakukan karena momen belum sepenuhnya terjadi sampai tiap segmen diluncurkan sampai melewati abutment terakhir.
2.7.4.6 Final Continuity Prestress Tendon tambahan ditempatkan di web dan diberi tegangan setelah jembatan sudah mencapai posisi final. Final Continuity Prestress ditempatkan pada bagian tengah bentang dan pada tumpuan. Tendon biasanya membentang sepanjang 1 sampai 2 bentang. Double end stressing mungkin diperlukan untuk mengatasi kehilangan gaya prategang akibat gesekan pada long tendons. Konfigurasi tendon prategang bisa dilihat pada Gambar II – 56.
II - 67
BAB II STUDI PUSTAKA
Gambar II-56 Typical configuration for continuity prestress (The design and construction of incrementally launched bridges, DMR) Pada bagian tengah bentang, web tendon tidak boleh terlalu rendah dengan alas bawah karena besarnya tegangan yang disalurkan dari launching bearing. Jarak minimum yang diperbolehkan adalah 150 mm, dapat dilihat pada Gambar II – 57.
Gambar II-57 Minimum clearance (The design and construction of incrementally launched bridges, DMR)
II - 68